Kamis, 30 Agustus 2012

Reborn Slut Christie: Back to Black

Christie

Siang itu udara sangat panas. Aku menikmati waktu santaiku dengan nonton tv di ruang tengah, gorden kututup supaya cahaya matahari tidak terbias di layar tivi, dan AC kunyalakan. Rumah ini memang masih agak berantakan,  maklum, rumah baru dan kami pun belum lama pindahan. Pembantu dua orang yang dijanjikan agen pembantu rumah tangga terlambat datang sehingga belum ada yang mengurus beres-beres. Aku tidak teralalu mempermasalahkan sih, enaknya jadi lebih privat karena cuma kita berdua di rumah, tidak enaknya ya semua pekerjaan harus dikerjakan sendiri. Dua minggu lalu kami baru saja kembali dari bulan madu di Jepang.  Suamiku, Peter, sudah kembali bekerja, dan cutiku masih sampai minggu depan sehingga jadilah siang itu aku sendirian di rumah. Karena di rumah sendiri, aku cuma pake celana pendek dan kaos buntung sehingga tubuhku yang mulus terpampang menggiurkan. Maklum lah kan pengantin baru, sebelum nikah sudah diet dan jaga badan baik-baik. Oh iya sebelumnya aku memperkenalkan diri dulu, namaku Christie, 25 tahun, tinggiku 165 cm, berat 48 kg dengan rambut hitam lurus sebahu lebih sedikit. Kulitku putih karena aku berdarah  Chinese. Ketika sedang asyik-asyik nonton drama Korea kesukaanku tiba-tiba terdengar suara musik bel rumah ini berbunyi. Dengan malas aku keluar.
“Duh...siapa sih siang-siang panas begini?” gerutuku dalam hati.
Aku membuka pintu dan melihat ke arah pagar rumah.
 “Ya?” kataku pada pria yang menunggu di depan gerbang itu.
 “Permisi, Bu,” kata tamu itu dengan sopan.
Seorang pria setengah berumur empat puluhan lebih. Orangnya agak lebih tinggi sedikit dari aku karena tubuhku termasuk tinggi juga. Ia memakai seragam pabrik suamiku.
“Saya dari pabrik, disuruh Bapak nganterin gulungan kain yang mau disimpan di rumah Bu”
“Ohh begitu, sebentar ya Pak, ambil kunci dulu” kataku seraya kembali ke dalam mengambil kunci pagar.
Aku kembali lagi membawa kunci dan membuka gembok lalu gerbangnya, dan orang itupun memundurkan truknya memasuki pekarangan  rumahku. Walau baru pernah bertemu, aku sama sekali tidak ada pikiran negatif karena tahu dia adalah bawahan suamiku dilihat dari seragam pabriknya dan kendaraannya.

Pria itu pun mulai menurunkan satu  persatu gulungan kain dari truk dan kuantar ke gudang di dekat taman belakang tempat menyimpan stok barang dan peralatan. Sekilas aku merasa familiar dengan orang ini. Mukanya seperti pernah kulihat dimana ya? Ah..,mungkin hanya perasaan saja. Masa aku kenal dengan buruh seperti ini? Aku ke dapur dekat situ untuk menyiapkan minuman untuknya sementara ia terus sibuk memindahkan barang.
“Nah… Bu, ini yang terakhir” panggilnya. “bisa tolong Ibu cek ulang di sini?”
Kuhampiri dia seraya berkata “Boleh, ini Pak, tehnya di minum dulu” sambil kutawarkan teh dingin padanya.
 “Makasih Bu” katanya meraih gelas dari tanganku dan menghabiskan isinya sekali teguk.
“Oke deh Pak, ini aja? Bapak titip apa lagi gak?” tanyaku
Bukannya jawaban yang kuterima, tiba-tiba aku merasakan punggungku didorong dari belakang sampai terhempas ke atas tumpukan kain lalu secepat kilat ia menindihku.
“Aaahh.. . apa-apaan ini!!!” aku terpekik.
Sebelum aku sempat menjerit lagi, tangannya menutup mulutku menyebabkan aku sulit bernafas. Dipindahkannya berat badannya sehingga tubuhnya lebih mantap menindihku. Aku terbeliak ketakutan. Aku sangat takut saat itu, sungguh aku takut sekali. Kupikir diriku akan segera menjadi korban pemerkosaan brutal, terus terang aku jijik sekali melihat tampangnya yang jauh dari ganteng itu. Ia lalu melepas topi petnya dan menatap wajahku.
“Non Christie…” ia menyebut namaku, tatapannya nanar “Udah lupa yah sama Bapak? Dulu kita kan pernah gituan di rumah teman Non”
Mataku membelakak, ketakutanku bercampur dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Aku baru ingat lagi orang ini, bedanya sekarang tidak lagi berkumis tipis seperti dulu dan nampak lebih gemuk. Memoriku melayang kembali ke kehidupanku lima tahun yang lalu ketika aku masih di bangku kuliah dan menjalani profesi sebagai SPG dan model freelance. Kuakui saat itu kehidupanku bisa dibilang sangat liar. Dugem, free sex, alkohol bahkan narkoba bukan hal yang asing bagiku.

-----------------------------------
Lima tahun yang lalu

Saat itu aku menghadiri pesta pribadi seorang teman yang merayakan ulang tahunnya. Seiring waktu yang semakin malam, pesta itu semakin liar hingga akhirnya menjadi pesta orgi atau pesta seks.  Para undangan khusus, yaitu yang tetap tinggal hingga pesta biasa berakhir, termasuk diriku, mulai melucuti pakaian pasangan masing-masing hingga tinggal mengenakan pakaian dalam saja. Dua gadis berstriptease di tengah ruangan yang besar mulai mengeluarkan provokasi yang menantang para pria dan wanita di ruangan itu yang jumlahnya sekitar belasan orang untuk melepaskan pakaian mereka jika mereka memang berani. Banyak dari para undangan menyanggupi tantangan tersebut karena kebanyakan dari mereka memang sudah setengah mabuk atau minimal tipsy. Gery, salah seorang teman priaku berusaha menciumku. Walaupun aku awalnya berusaha menolak tetapi karena ulah tangannya yang meremasi seluruh bagian tubuhku membuatku menjadi tidak kuasa menahan libido, belum lagi saat itu aku sudah setengah sadar karena telah dicekoki minuman sebelumnya. Tubuhku pun limbung dan terduduk di sofa besar tempat kami bersantai dan sepasang payudaraku langsung menjadi sasaran tangan Gery ditambah lagi bibirnya yang langsung nyosor tanpa permisi lagi. Pertahananku pun hancur total dalam waktu singkat. Ia melucuti pakaianku satu demi satu hingga tak tersisa apapun lagi di tubuhku. Aku pun membalas dengan membuka pakaiannya sambil bercumbu panas. Setelah sama-sama bugil, Gery memintaku mengoral penisnya. Tanpa disuruh lagi aku pun menundukkan badanku dan mengarahkan penisnya yang kugenggam ke mulutku. Kepalaku naik turun mengulum penis itu kadang aku menjilatinya seperti es lilin. Saat sedang mengoral Gery tiba-tiba ada sebuah tangan yang merenggangkan pahaku, jari-jarinya langsung masuk dan mengocoknya dengan cepat. Ternyata Paul, salah satu teman cowokku yang lain, ikut bergabung menjarah tubuhku. Sambil mengocok vaginaku, mulutnya nyosor mengenyoti payudara kananku dan tangannya bergerilya menggerayangi tubuhku. Mendapat perlakuan seperti itu dari kedua pria ini, kontan saja wajahku memerah menahan gejolak nafsu yang sudah tak tertahan lagi, sesekali keluar desahan sensual dari bibirku.
 “Akhh…eennhh…” desahku ketika jari Paul mempermainkan klitorisku, belum lagi dengan remasan tangannya di payudaraku.
 Kedua tangan Paul lalu menarik kedua pahaku sehingga posisiku kini berbaring menyamping di sofa besar itu sambil tetap mengoral penis Gerry. Ia mengangkat paha kananku dan menaikkkannya ke bahunya
 “Gua masukin ya Tie. Tahan dulu sebentar yah.” kata Paul sembari mengarahkan kepala penisnya ke liang senggamaku.

Aku yang sudah birahi tinggi tinggal pasrah saja ketika vaginaku ditembus oleh penis Paul. Dalam setarikan nafas saja ia sudah berhasil melesakkan separuh dari batang kemaluannya ke dalam liang kenikmatanku. Aku mengejang karena rasa nyeri, tubuhku menggelinjang dan mulutnya mulai mengeluarkan desahan. Tanpa buang waktu lagi, Paul menyodokkan penisnya lebih dalam dengan bernafsu. Kocokan penisnya semakin lama semakin cepat saja. Aku mengikuti saja irama permainannya sambil  terus mengulum dan mengocoki penis Gerry. Aku menyapukan pandangan ke sekelilingku, semua orang di ruangan ini telah hanyut dalam pusaran birahi, suara desahan memenuhi ruang tamu yang luas ini bercampur baur dengan suara musik, aura mesum terasa pekat sekali. Aku melirik ke arah tangga dekat posisiku, di sana kulihat Sandra, teman dekatku, sedang dicumbu pasangannya dalam posisi berdiri dari saling mencium dan meremas, keduanya mulai membuka pakaian pasangan masing-masing. Sandra duduk di tangga dan membentangkan kedua kakinya. Pria itu langsung melumat vaginanya dengan bernafsu. Ia mendesis tak karuan menahan rasa geli campur nikmat dari jilatan pria itu. Mulutnya mengeluarkan desahan sambil menggoyang-goyangkan pantatnya. Pesta semakin menggila saat satpam rumah dan juga beberapa sopir yang tadinya cuma menunggu di luar dipersilakan ikut serta dalam orgy ini. Entah siapa yang mengajak mereka ikutan, kulihat wajah-wajah mupeng mereka melihat pesta seks di ruangan ini. Tanpa malu-malu mereka segera saja mengambil jatah masing-masing. Seorang supir bertubuh gempal mendekati Lina yang tengah berwoman on top di atas penis Andre di permadani bulu domba tidak jauh dari tempatku. Pria itu membuka celananya di depan Lina dan mengeluarkan penisnya yang sudah tegang, kemudian ia meraih kepala Lina dan menjejali mulut temanku itu dengan penisnya. Lina nampak menggelengkan kepala menolak namun tidak berdaya karena penis itu sudah masuk ke mulutnya dan pria itu memaju-mundurkannya seperti bersetubuh. Caroline dan Anna yang sedang berlesbian ria disantroni oleh si satpam penjaga rumah ini dan seorang pria lain berwajah tirus. Si satpam mendekap tubuh telanjang Caroline dan memagut bibirnya sambil tangannya menggerayangi tubuh mulusnya, si pria berwajah tirus membuka kedua paha Anna lalu membenamkan wajahnya di selangkangan gadis itu. Anna pun menggeliat dan mulutnya mengeluarkan erangan nikmat karena jilatan pria itu pada wilayah kewanitaannya. Sementara aku sendiri kini berposisi doggie di atas sofa dan Paul melanjutkan sodokannya dari belakang sementara tangan dan mulutku sibuk melayani penis Gerry yang duduk selonjoran.
"Ssshh.. Aaahh...cepetan lagi.... gua mau keluar nih!" desahku keenakan.
"Bareng ya Tie...aaahh...tahhnn.. Bbenntaar llaggii.. Ssshh.. Aaahh aahh" erang Paul bersamaan dengan mengalirnya spermanya ke dalam vaginaku
Aku menggelinjang dan mendesah panjang menahan kenikmatan yang luar biasa ini. Setelahnya aku melepaskan diri dari pelukan kedua pria itu karena aku merasakan ingin buang air kecil yang tidak bisa kutahan lagi, mungkin karena aku minum cukup banyak sebelumnya. Tentu tidak enak kalau tiba-tiba aku ngompol di tengah persenggamaan sehingga kuputuskan untuk ke toilet dulu sekalian break sebentar.

“Ntar dong Tie, gua kan belum nih!” protes Gerry sambil meraih pinggangku ketika aku berdiri.
“Bentar yah, abis ini, gua ke toilet dulu, kebelet nih!” jawabku menepis tangannya, “sama yang lain aja dulu gih!”
“Ok deh, cepetan ya Tie!” katanya sambil menepuk pantatku, uh...dasar!
Aku bergegas ke toilet terdekat, tapi sepertinya ada orang di dalam karena pintunya terkunci. Aku tahu di lantai atas juga ada toilet, maka aku menaiki tangga melewati Sandra dan pasangannya yang sedang berasyik masyuk. Dengan sedikit tertatih, aku melangkahkan kaki ke atas hingga mencapai kamar mandi. Setelah buang air akibat kebanyakan minum tadi, aku membersihkan kewanitaanku dengan semprotan dengan mengusap-usapnya. Saat mau keluar dan membuka pintu aku terkejut melihat seorang pria sudah berdiri di ambang pintu, ia dengan cepat menyisipkan tangannya ke celah pintu dan meraih daunnya, kemudian dengan sangat sigap pula masuk ke dalam sebelum aku sempat mencegahnya. Hal yang sungguh sangat tidak mengenakkan aku. Aku memang dalam keadaan fly dan horny berat namun tidak pernah berharap orang seperti ini menjadi pasanganku. Peristiwa itu rasanya berlangsung demikian cepat, bahkan kemudian lelaki itu merapatkan dan langsung mengunci pintu hingga kini benar-benar aku bersamanya dalam kamar mandi tertutup dan terkunci ini. Ini adalah sebuah kekeliruan yang besar.
“Mau apa? Minggir!” aku langsung marah dan menghindar dengan melengos ke arah pintu, tetapi kembali dia lebih sigap dari aku.
"Tenang, Non, jangan takut. Saya nggak akan menyakiti Non kok, malah bikin Non keenakan. Saya udah dari di bawah tadi ngincer Non tapi Non lagi sibuk sama dua cowok itu. Akhirnya Non ke atas juga, sendirian lagi. Saya kepingin banget ngentotin Non, boleh kan? Kan lagi pesta nih!" kata orang itu dengan memandangkan matanya tajam ke tubuh telanjangku.
Sungguh omongan orang ini benar-benar menjijikkan, tak punya malu, dasar kampungan, gerutuku dalam hati. Sepanjang kehidupan seksku aku selalu melakukannya dengan pria yang suka sama suka, tidak pernah dengan paksaan, mereka yang pernah bercinta denganku juga tidak pernah omong sembarangan yang bernada tidak sopan seperti ini. Omongan pria ini kurasakan sangat kurang ajar dan merendahkan diriku. Limbung dan ketakutan yang amat sangat langsung melanda diriku, bulu kudukku merinding. Aku merasa begitu sangat lemah dan tak berdaya saat dia meraih lengan dan pinggangku hingga aku jatuh dalam dekapannya. Aku meronta berusaha lepas, tapi...pria ini terlalu kuat bagiku, ditambah lagi aku masih dalam keadaan mabuk dan terangsang, sehingga perlawananku hanya setengah hati. Dia mendorongku hingga ke tembok dan langsung mengulum bibirku yang ranum, lalu diciuminya bagian telinga dan leherku. Aku masih terus meronta namun aku juga semakin menikmati perlakuannya. Sementara itu tangan kasarnya menggerayangi lekuk-lekuk tubuhku. Sambil terus memagut bibirku ia meraba-raba buah dadaku. Terasa suatu kenikmatan tersendiri pada syarafku ketika payudaraku dipermainkan olehnya.

"Pak... Ouuhh...jangan!" rintihku saat tangannya sedang asyik memencet dan memilin-milin putingku.
Selain berpetualang di payudaraku, tangannya juga aktif menggerayangi bagian tubuhku yang lain, sedangkan lidahnya masih menggumuli lidahku dalam ciuman-ciumannya yang penuh desakan nafsu yang semakin menjadi-jadi. Kini ia mulai meremas-remas kedua belah gumpalan pantatku yang memang montok itu.
"Ouh.. Ouuh...hentikan Pak...!” erangku ketika jari-jemarinya mulai menyentuh bibir kewanitaanku.
Permintaanku itu tak diindahkannya, sebaliknya ia menjadi semakin bergairah. Ibu jarinya mengurut-urut klitorisku dari atas ke bawah berulang-ulang. Aku semakin terangsang dan berulang kali menjerit tertahan dibuatnya. Setelah puas memagut bibirku, kepalanya turun ke arah dadaku. Ia menciumi belahan buah dadaku yang laksana lembah di antara dua buah gunung yang menjulang tinggi. Aku yang sudah pasrah semakin menggelinjang dan merintih tatkala ia menciumi ujung buah dadaku yang kemerahan. Tiba-tiba aku merasa seperti kesetrum ketika lidahnya mulai menjilati ujung puting susuku yang sensitif.
"Ini baru tetek yang bagus, mantep tenan, emmmm!" gumam pria itu seraya melahap payudaraku yang ranum itu.
Gelitikan-gelitikan lidahnya pada ujung puting susuku membuatku menggeliat kegelian. Tapi aku tidak mampu berbuat apa-apa.
Beberapa saat kemudian, ia melepaskan diri dan menarik tubuhku ke arah shower.
“Sambil mandi ya biar seger, kebetulan Bapak juga belum mandi hari ini!” sahutnya sambil membuka pakaiannya dengan terburu-buru.
Ketika ia membuka celana dalamnya, maka terlihat olehku penisnya yang sudah ereksi penuh itu. Tiba-tiba saja aku menjadi tegang lagi dan terhenyak memandangi benda yang terletak di antara kedua paha pria itu. Penis itu panjang dengan kepala bersunat dengan urat-urat yang menonjol seperti akar pohon dan kepalanya berbentuk bulat lonjong seperti cendawan. Bulu kudukku merinding membayangkan vaginaku akan segera dimasuki penis mengerikan itu, namun di sisi lain aku juga tak dapat menyembunyikan kekagumanku. Seolah-olah ada pesona tersendiri hingga pandangan mataku seakan-akan terhipnotis dan terus tertuju ke penis pria itu. Ia menatap diriku yang sedang terpana, lalu ia mendekatiku seraya memutar keran, sehingga dari pancuran shower air hangat menyirami tubuh kami bak hujan. Dengan sangat bernafsu ia kembali melumat bibirku, aku pun membalas cumbuannya dengan bergairah, ada rasa geli saat bulu-bulu halus di wajahnya mukaku. Tanganku dengan agak bergetar meraih penisnya dan meremasnya. Oh...penis ini begitu perkasa, baru pernah aku menemukan yang seperti ini. Aku pun mulai menyingkirkan perasaan malu dan tidak senangku pada orang ini, aku ingin menikmatinya dulu selagi bisa. Oh Tuhan...apakah rasa maluku sudah dihilang akibat mabuk? Hatiku masih ada pergumulan, namun tubuhku terus bekerja mengikuti naluri seksku. Sambil terus berpagutan kukocoki penisnya.  Pria itu memain-mainkan lidahnya di dalam mulutku dan aku merespon dengan ikut menggerakkan lidahku

"Akhh..", desahnya melepaskan pagutannya, sejenak ia menghentikan permainannya dan menatapku.
"Non sudah ahli banget yah, bikin Bapak tambah nafsu. Ayo Non, buat Bapak senang, servis Bapak dong, jangan malu-malu, kita kan lagi pesta seks nih!”
Aku menatapnya dengan mata sayu, alkohol masih terus membuaiku sehingga aku tanpa ragu memeluknya, kemudian menciumi dadanya, menjilati putingnya, mengisap-isapnya dan sesekali kutarik dengan mengatupkan bibirku pada ujung putingnya yang ditumbuhi beberapa helai bulu panjang itu. Inchi demi inchi tubuhnya yang telah basah kujilati, sampai pada perutnya yang agak bulat dan ditutupi bulu-bulu yang lebat di sekitar pusarnya, hingga jilatan bibirku sampai pada bulu kemaluannya. Ia mengelus-elus rambutku sambil mendesah. Jilatanku semakin turun dan kini merasakan daging kenyal laki-laki tersebut. Aku sangat menikmati penisnya yang begitu besar dan panjang. Aku membuka mulutku untuk menelan batang itu, mulutku merasakan daging kenyal tersebut. Aakhh.. begitu besar, panjang dan membengkok ke samping. Penisnya semakin mengeras saat kedua bibirku membetot daging besar tersebut, perlahan aku mengeluarkannya hingga sampai ujung batas antara kepala dan batangnya. Aku dapat merasakan kepala penisnya semakin membesar dan padat saja di dalam mulutku, perlahan aku mengeluarkannya, tanganku terus memegang batangnya dengan erat. Kepalanya yang disunat kujlati, lubang kencingnya terbuka lebar, aku menariknya, merekahkannya sehingga lubang kencing itu semakin terlihat dan kujilati lubang tersebut.
"Ooohh...Non!” desahnya keenakan dan menekan penisnya kembali ke dalam mulutku.
Aku menelan penis itu, merasakan urat-urat batangnya semakin membesar, kedua bibirku merapat hingga ujung gigi taringku merasakan kekenyalan batang kontolnya dan aku semakin menekannya.
"Ooh.. Akkhh..", desahannya semakin kuat terdengar.
Batang penisnya berdenyut-denyut di dalam mulutku. Perlahan aku menelan batang tersebut hingga tenggelam seluruhnya di dalam mulutku dan merasakan ujungnya yang seperti jamur memasuki tenggorokanku. Mulutku pun penuh dengan penisnya. Sedikit demi sedikit aku mengeluarkan penisnya dengan terus merapatkan lidahku ke arah batangnya agar dapat menikmati kekenyalan dan kekerasan batang tersebut. Kira-kira sepuluh menitan kumanjakan penisnya dengan teknik oralku, ia tidak tahan lagi tapi tidak ingin buru-buru keluar.  Ia membalikkan tubuhku hingga memunggunginya lalu mendorong punggungku ke depan hingga aku pun refleks menyandarkan kedua telapak tangan ke tembok untuk bertumpu.

Kini posisi tubuhku menungging sambil berdiri. Tangannya meraih selangkanganku, kurasakan jarinya membuka bibir vaginaku, tangannya yang satu mengarahkan penisnya memasuki liang kenikmatanku. Disapukannya kepala penisnya ke bibir vaginaku, lalu pelan pelan didorongnya hingga masuk semua lalu didiamkannya sejenak, benda itu terasa sangat sesak di vaginaku. Dia memandangku dengan senyum puas, menepuk pantatku, lalu mulai menggoyangkan pantatnya maju mundur mengocok vaginaku, tangannya meraba buah dadaku lalu wajahku dan jarinya dimasukkan ke mulutku, kukulum dan kupermainkan jarinya dengan lidahku. Kocokan pria itu serasa menggesek semua sisi dinding vaginaku, begitu nikmat hingga aku melayang dibuatnya, sehingga aku tak tahan untuk tak menjerit karenanya. Bukan saja tubuhku yang bergetar,  tapi juga kemaluanku. Perasaanku bercampur aduk antara malu, karena vaginaku ternyata memberikan respon spontan yang berbeda dengan pikiranku, dan kenikmatan yang terasa mulai menjalari sekujur tubuhku. Ia memuji liang kemaluanku yang basah dan berdenyut-denyut memijiti penisnya.  Sementara tangannya terus meremas-remas buah dadaku, akibatnya kedua putingku pun jadi semakin mengeras, tangan satunya mengelus-elus tubuhku, paha, punggung, pantatku... seluruh bagian sensitifku tidak luput dari jamahannya. Kemudian ia menyabuni tubuhku dengan sabun batangan yang dari tempat sabun di dekat kami. Sekujur tubuhku pun mulai licin dan dipenuhi busa sabun. Ditariknya rambut panjangku ke belakang sehingga wajahku terdongak dengan tubuh menegang merasakan sodokan demi sodokan. Aku pun menjerit antara sakit dan nikmat, namun ia tak mempedulikan jeritanku, justru semakin kuat dia menggenjotku, sesekali diiringi tamparan ringan pada pantatku.
“Hhsshhh...Non...namanya siapa Non? Kita belum kenalan” tanyanya sambil terus menggenjot.
“Chh...Christie” jawabku sambil mendesah.
“Nama yang cantik....secantik orangnya heeehh...hhhhuuuhh!” ia menyodok semakin keras saja.
Aku menoleh ke belakang melihat wajah sangarnya menyeringai menikmati persetubuhan ini. Permainannya yang kasar sungguh membawaku melayang mengarungi lautan kenikmatan.
“Saya Adang Non, supirnya Non Anna, dia juga udah sering ngerasain kontol Bapak kok!”
Aku tidak peduli apa yang dikatakannya, genjotannya memang nikmat dan membuaiku. Sedang enak-enaknya dilanda birahi, tiba-tiba ia menarik lepas penisnya dari liang senggamaku lalu duduk di lantai kamar mandi sambil menarik tubuhku sehingga kali ini aku terduduk di pangkuannya saling berhadapan. Mungkin karena merasa tanggung dan fly, tanpa diminta, aku sendirilah yang meraih penis itu dan mendudukinya hingga benda itu kembali melesak masuk ke vaginaku.
“Aaahhh....” erangku dengan kepala menengadah.

Aku pun mengimbanginya dengan goyangan pantat, dinding vaginaku meremas remas kejantanannya yang berada di dalamnya. Akhirnya kurasakan tubuhnya menegang, cengkeraman di buah dadaku makin kuat dan menyemburlah cairan nikmat memenuhi celah celah kenikmatanku, terasa hangat, seiring dengan denyutan denyutan kuat menghantam dinding-dinding kewanitaanku. Pak Adang menjerit keras dalam kenikmatan bercinta saat kuremas remas dengan otot otot vaginaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena dunia serasa makin berputar dan aku baru menemukan diriku terbangun di atas ranjang keesokan harinya saat jam telah menunjukkan pukul sembilan lebih. Tubuhku telanjang hanya tertutup oleh selimut, bekas-bekas cpangan terlihat di beberapa bagian tubuhku. Masih terasa sedikit mutar-mutar, aku semalam minum lumayan banyak nampaknya. Di sebelahku aku mendapati Vania, seorang temanku juga, ia masih terlelap, sama-sama telanjang seperti aku. Aku tidak tega membangunkannya, maka akupun ke bawah untuk mencari pakaianku. Hendro, seorang cowok yang semalam ikutan party berinisiatif menawariku dan beberapa wanita tumpangan. Aku pun meninggalkan rumah mewah itu bersama beberapa orang. Itu adalah terakhir kalinya aku ke sana, Pak Adang sudah tidak terlihat lagi, dan saat itu juga aku berharap tidak akan pernah bertemu lagi dengannya, namun takdir berkata lain....

----------------------------------
Sekarang
Adang


Karena perlawananku yang tak kenal menyerah dia dengan cepat menelikung kedua tanganku ke belakang sehingga aku merintih kesakitan.
“Aduhh...sakit...lepasin! Apa yang Bapak lakukan.. disini? Mau apa??” jeritku terengah,
Berat badannya membuatku sukar berkata-kata.
“Hehehe....Bapak mau menikmati Non lagi, kaya dulu!” katanya tenang, suaranya tegas.
“Tapi...jangan...aku sudah menikah, jangan kurang ajar!!”
“Hehe...Bapak bukan pengen minta nikah sama Non, cuma minta kawin...boleh kan?”
“Keterlaluan...jadi Bapak mau perkosa saya?” kataku sambil terus berusaha lepas, sungguh sifat tidak tahu malunya belum berubah.
“Hus… jangan buang-buang tenaga lah, Non nggak bakal lepas dari saya. Seenggaknya, siang ini” katanya sambil tertawa kecil.
“Lepasin Pak, atau saya teriak! Tetangga akan mendengar!”
“Bener nih mau teriak? Non ga kangen main sama Bapak lagi, ntar orang lain tau kita pernah gituan dulu gimana hayo?” ejeknya sambil membelai rambutku. “menyerah ajalah, Bapak janji, ini bukan perkosaan, karena Non juga pasti sebenernya mau”
Tidak...aku bukanlah aku yang dulu lagi, aku kini telah bersuami.  Seketika itu penyesalan melanda hatiku, aku merasa telah menghianati suamiku. Aku sendiri bingung, tidak tahu apakah aku rindu kehidupan liarku yang dulu atau apa? Sekali lagi, aku tidak tahu, bahkan dari semakin ia menggerayangiku, semakin terangsang dan pasrah aku seperti waktu di kamar mandi dulu. Tiba-tiba timbul kesadaranku. Kudorong dadanya supaya ia melepas pelukannya pada diriku.
"Pak, jangan Pak, ini nggak pantas kita lakukan..!" kataku terbata-bata.
Pak Adang memang melepas ciumannya di bibirku, tetapi kedua tangannya yang kokoh itu masih tetap mendekapku dengan erat. Aku juga tidak berusaha melepaskan diri dari dekapannya.
"Nggak pantas gimana Non, toh Bapak sama dengan suami Non sama-sama pernah ngentotin Non" ujar Pak Adang yang terdengar seperti desahan.
Setelah itu ia kembali mendaratkan ciuman. Dijilati dan diciuminya seluruh wajahku, lalu merembet ke leher dan telingaku. Aku memang pasif dan diam, namun perlahan tapi pasti nafsu birahi semakin kuat menguasaiku. Harus kuakui, pria ini sangat pandai mengobarkan birahiku. Jilatan demi jilatan lidahnya di leherku benar-benar telah membuat diriku terbakar dalam kenikmatan. Bahkan dengan suamiku sekalipun aku belum pernah merasakan rangsangan sehebat ini.  
 “Non Christie…” katanya, dan dia mulai mencium bibirku.
Aku berusaha mengelak, tapi tangannya memegangi kepalaku, dan bibir tebalnya mulai menyapu-nyapu lembut bibirku yang kukatupkan rapat.
“Santai Non...jangan tegang gini, kan ga enak” katanya sambil terus mencium dan menggerayangi payudaraku.
“Ah...Pak, saya..” tak sengaja aku bersuara, dan kesempatan itu diambilnya untuk memagut bibirku, lidahnya ikut menambah rangsangan dalam ciuman yang makin dalam itu.

 Oooh....sensasi pada malam lima tahun lalu kembali kurasakan, pria kasar yang mengantarku ke surga kenikmatan yang menjadi guilty pleasureku.  Aku kembali ingat waktu itu.
“Rileks Non, kaya waktu dulu, nikmati aja, pejamkan mata Non… balas ciuman Bapak“ dengan lembut ia menahan daguku, dan mencumbuku, makin lama makin panas
Perasaan bersalah pada suami dan jijik berkecamuk dalam hatiku karena ia berhasil dengan cepat mengobarkan nafsuku hingga aku mulai liar. Tak sadar kubalas ciumannya, ini masih paksaan, tapi aku rasakan pertahananku runtuh sedikit sedikit. Aku merindukan permainannya yang kasar itu… Peter adalah suami yang baik, tapi kenangan gila lima tahun yang lalu, kini muncul lagi bersamaan dengan datangnya orang yang melakukannya denganku dan semua gelora terpendam dalam dadaku seakan terbebas.
“Jangan malu-malu lagi Non, cuma kita berdua di sini, peluk Bapak! Seperti dulu!” katanya.
Sia-sia aku berusaha menolaknya. Maafkan aku Peter… aku tidak kuat lagi... sekali ini saja…kuharap sekali ini saja, tidak akan lagi sesudah hari ini. Berikan aku waktu, sebentar saja…sekali saja…untuk mengulang kegilaan masa lalu yang kembali menggelegak dalam diri ini.
“Non Christie… , gak nyangka ya kita bisa ketemu lagi, ternyata penganten barunya Koh Peter itu Non, Bapak udah liat Non waktu di resepsi.”
“Bagaimana mungkin Pak?”
“Bapak udah di tempat Koh Peter dua tahun lalu, udah pindah dari tempat yang dulu lah, bapak juga gak pernah mimpi bisa ketemu Non lagi.”
 “Tapi saya sudah bersuami Pak, ini bukan dulu lagi!”
“Hehe...si Non, Bapak gak akan nikahin Non kok tenang aja, masa ngerebut Non dari atasan sendiri? Bapak cuma mau ngawinin aja! Tau kan bedanya nikah sama kawin?”
 “Dasar gila…” makiku sambil memeluknya. “tolong Pak sekali ini aja...jangan lagi! Ingat saya sudah menikah!”
“Hehehe...oke, kecuali kalau Non emang pengen lagi!” jawabnya cengengesan
Benar-benar tidak tahu malu dan kampungannya omongan pria ini, tapi aku justru terangsang oleh perlakuannya. Sensasi yang berbeda yang tidak kudapat dari suamiku yang lembut. Ia mulai melucuti pakaianku satu persatu mulai dari kaosku kemudian celana pendekku. Dipandangnya tubuh telanjangku seakan ia tak pernah melihat wanita sebelumnya. Payudaraku tampak menantang, puting susuku merah muda, dadaku naik turun terangsang hebat. Lalu ia pun melepaskan kemejanya, celananya, semuanya… Lalu ia kembali berbaring disampingku, menciumi setiap senti tubuhku. Tangannya meraba kulitku… lalu ditundukkannya kepalanya dan ia mulai mengerjai putting susuku, dijilat, dihisap, digigit kecil. Yang kanan, setelah ia berlama-lama menyiksa bukit itu, perhatiannya pindah ke yang kiri. Dikerjai seperti itu juga. Punggungku naik, kusodorkan payudaraku padanya.
“Oh…. Paakk… aduuuhhh…sssshh!“ desahku

Dengan ganas ia meremas kedua gunung kembarku bergantian. Diselipkannya tangannya ke balik punggungku untuk mempermudah dan membuat payudaraku lebih membusung menantang. Aku tak pernah merasakan payudaraku sekencang itu, serasa mau pecah. Pak Adang benar-benar lihai memanjakan birahiku. Mulutnya beralih menciumi perutku yang mulus rata, tangannya memegang pinggulku, ciumannya terus merayap ke bawah hingga ke selangkanganku. Aku pasrah ketika ia membentangkan kedua pahaku, dan sejenak dipandanginya kemaluanku. Aku memalingkan wajah ke samping dan memejamkan mata, malu aku diperlakukan seperti itu olehnya. Sebentar kemudian kurasakan sesuatu menggelitik vaginaku. Aku membuka mataku perlahan dan kulihat kepala Pak Adang sudah terbenam di selangkanganku yang telah terbuka lebar.
"Ooh gila, kenapa aku bisa menikmati permainan terlarang ini, ini selingkuh dan tidak pantas?" aku masih sempat berpikir demikian namun segera terhempas lagi oleh gelombang birahi yang menggetarkan naluri kewanitaanku.
Kubiarkan buruh suamiku ini bermain di vaginaku dan kunikmati permainan lidahnya yang  membuatku menggelinjang-gelinjang kenikmatan.
"Ugh.., shh..!" aku mulai mendesis sambil menggigit bibir bawah.
Kubenamkan kepala Pak Adang lebih dalam untuk mendapatkan kenikmatan lebih. Pria itu menjilatiku dengan hebatnya hingga beberapa saat diangkatnya pinggulku hingga terangkat dan ia memegangi kedua betisku dengan erat.Maka posisi vaginaku sekarang menantang ke atas. Pak Adang kembali menjilati vaginaku dengan mahirnya. Cukup lama juga ia melumat vaginaku, lidahnya mengorek-ngorek bagian dalamnya disertai hisapan-hisapan yang menimbulkan sensasi yang sungguh luar biasa dan membuatku larut dalam kenikmatan. Penisnya sendiri sudah kaku dan tampak besar. Tanpa kusadari, aku kini sedang meraba kemaluannya yang tegang itu. Setitik cairan membasahi ujung kepalanya. Kuusap cairan itu merata lalu kucium jari-jariku, oh...baunya sungguh tajam. Tangannya mulai bergerak lagi memutir-mutir puting susuku.Kurasakan selangkanganku sudah basah kuyup. Aku memang gampang sekali terangsang. Aku ingin memasukkan benda itu ke mulutku, tapi ia mencegahnya. Jemarinya menggosok-gosok selangkanganku.
“Bapak mau ngentotin Non sekarang!” katanya singkat lalu menguakkan pahaku.
Ia mengarahkan dan membimbing penisnya ke mulut vaginaku. Ia tampak tak tahan lagi untuk segera menyetubuhiku.
“Pak… tolong pelan-pelan ya…aku.. saya masih nggak biasa...apalagi punya Bapak kelihatan gede sekali.” Kurasakan wajahku bersemu merah, malu membiarkan diri sepasrah itu.
“Non Christie...Non tambah cantik aja apalagi waktu konak gini“ katanya nampak makin bernafsu memandangiku.
Dengan sekali sentakan keras penisnya melesak masuk ke dalam vaginaku sampai kurasakan buah pelirnya menghantam pantatku. Aku pun merintih keras karenanya, tanganku refleks memeluknya.

“Pak… jangan goyang dulu, agak sakit… mungkin otot-otot itu saya belum biasa..”
“Ahhhhhh… masih seret aja memekmu Non!” katanya sambil lalu mencium bibirku
Kami berpagutan dengan panasnya, tangan kasar pria itu memijit-mijit payudaraku sampai aku rileks lagi. Tak lama kemudian, setelah merasa aku siap, ia pun mulai bergerak, berputar-putar sebentar mengaduk vaginaku, kepala penisnya yang bersunat itu menyentuh dinding vaginaku. Rasanya enak sekali, terutama saat benda itu menggosok klitorisku. Kemudian dengan penuh perasaan ia menarik penisnya sampai hampir lepas, lalu dengan perlahan ia menghujamkannya lagi ke dalam vaginaku. Untuk beberapa menit ia mengulangi gerakan yang sama, pelan… pelan… lalu berputar supaya kepala penisnya menggosoki klitorisku yang membengkak.  Aku tak tahan lagi, kenikmatan yang luar biasa yang belum pernah kudapat dari suamiku.
“Pak… oh….oh…….ooohhhhh… cepat dong… entot aku sepuasmu!” erangku sambil berusaha menggerakkan pinggulku agar sensasinya lebih mantap.
Ya Tuhan...aku tidak sadar kata-kata itu terlontar dari mulutku barusan. Sudah sedemikian gatalkah aku sampai tidak bisa mengendalikan diriku lagi? Aku yang dulu mungkin begitu, tapi aku sudah bukan yang dulu, aku telah menikah dan bertekad untuk menjalani kehidupan baru. Tapi bayang-bayang masa laluku yang liar kembali menghantuiku seolah memanggilku kembali.
“Siap terima sodokan yang lebih keras Non?” tanya Pak Adang sambil menyeringai mesum
“I..iya… udah terbiasa sekarang Pak… ayo.. entot saya kuat-kuat…saya nggak tahan lagi!!”
Aku telah takluk pada birahiku dan membiarkannya mengendalikanku sehingga menjadi wanita liar yang tanpa malu-malu memohon dari buruh suamiku yang bisa dibilang memperkosaku. Permainan pun berlanjut, Pak Adang benar-benar ganas menyetubuhiku di antara tumpukan gulungan kain. Aku digarapnya habis-habisan sampai mendesah-desah tak tertahankan hingga tubuh kami bermandikan keringat. Ketika aku mencapai orgasme kira-kira setelah digenjot 20menit, tiba-tiba ia berhenti. Ia sendiri belum orgasme, penisnya masih keras sekali. Kulihat ia mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.
“Sebentar Non” katanya agak terengah-engah “Bapak belum mau keluar… masih mau ngentotin Non selama mungkin”
Selama mungkin...benar-benar tidak tahu malu orang ini, ia menganggapku, istri atasannya ini, sebagai pelacur yang dapat ia pakai seenaknya saja. Rahangnya tegang, jelas sekali ia mencoba mengontrol birahinya agar tidak lekas memuncak. Kurasakan penisnya mengendur, lalu ia berbisik.
”Tolong diisep yah Non?”

Aku mengangguk dan naik ke tubuhnya yang telentang di atas gulungan kain. Kami pun melakukan gaya 69. Birahi yang bergolak membuatku tak ragu lagi ngemut-ngemut penisnya, sementara ia mainin jari-jarinya di vaginaku yang sudah basah kuyup. Clep...cleepp....ckkk...cclllkk....demikian suaranya ketika ia mencucuk-cucukkan jarinya ke liang kenikmatanku. Aku merasakan penisnya mengeras dan membesar lagi di tengah emutan dan kocokanku, ia menarik sebuah bangku kayu dan duduk di atasnya kemudian disuruhnya aku naik ke penisnya yang perkasa itu. Aku pun naik ke pangkuannya dan mulai naik-turun, sementara Pak Adang mengenyoti kedua payudaraku. Rasanya sungguh tak terlukiskan, aku merintih, mengerang, serta memacu badanku naik turun secepat mungkin. Setelah lima belas menitan ia menyetopku lagi. Kini disuruhnya aku berbalik, hingga sekarang aku duduk membelakanginya. Tangan pria itu bergerak liar menggerayangi payudara dan bagian tubuhku lainnya.
“Pak… entot saya lagi…capek nih, kalau saya di atas tusukannya kurang kuat…ooohhh…. entot saya yang sekeras mungkin Pak” mohonku ketika aku tak tahan lagi.
Pak Adang menuruti dan kali ini dia tidak menahan-nahan lagi, dengan bertenaga disodoknya aku yang berposisi dogie style sambil berpegangan pada bangku. Dituntunnya penisnya ke arah lubang vaginaku, dan sebentar saja aku sudah melayang ke langit ke tujuh menikmati penis Pak Adang yang panjang dan besar. Meskipun rasa perih dan penuh menyesak di vaginaku namun kenikmatan yang kurasakan mampu membuatku melupakannya . Otomatis jepitan kemaluanku makin kencang dan denyutan-denyutan dinding kemaluanku memanjakan penis pria itu.
"Oh Non memekmu luar biasa, benar-benar seret, masih sama kaya dulu" sahut Pak Adang sambil mulai memompa batang kemaluannya dengan kecepatan meningkat.
Ketika gelombang orgasme itu kembali menerpaku, aku tak dapat menahan diri untuk tidak menjerit… kupegang erat-erat kaki bangku itu, kugigit bibirku, air mataku sampai mengalir saking kuatnya orgasmeku kali itu. Tak lama kemudian, Pak Adang akhirnya keluar juga, kurasakan badannya menegang kemudian disusul denyutan keras di vaginaku. Begitu keras dan deras semprotan spermanya hingga aku tersentak kaget menerima sensasi itu, bagian dalam vaginaku terasa hangat oleh cairan itu, kemudian juga kurasakan cairan hangat itu meleleh sebagian membasahi selangkanganku. Tubuhku langsung melemas setelah orgasme dahsyat tersebut, aku langsung terkulai di atas gulungan kain, demikian pula Pak Adang yang menjatuhkan diri di sampingku. Napas kami sudah ngos-ngosan, aku dapat merasakan deru nafasnya yang masih kencang, keringat mengucur membasahi tubuh kami berdua dan sudah bercampur menjadi satu.

Setelah beristirahat sebentar, Pak Adang memeluk tubuhku dan memagut bibirku sebelum kembali berpakaian. Pak Adang menyusun kembali gulungan-gulungan kain yang berjatuhan akibat pergumulan kami tadi. Aku diam membisu dan tidak berani menatap wajahnya ketika ia selesai membereskan dan hendak berpamitan di dekat pintu keluar.
“Saya pulang dulu Non Christie!” pamitnya
 Aku mengangguk, tanpa berkata apapun, dalam hatiku masih gundah karena aku baru saja melakukan perselingkuhan dengan orang yang adalah buruh suamiku sendiri walau kunjungannya membebaskanku dari beban masa lalu.
“Kalau Non masih mau lagi...bisa panggil saya atau datang aja ke pabrik” katanya sambil meraba pantatku.
“Cukup...sekali ini aja...tolong jaga tingkah Bapak!” kutepis tangannya dan berkata dengan agak ketus.
“Yakin Non ga pengen gituan sama Bapak lagi heh?” tiba-tiba ia mendekapku dan tangannya menyusup masuk lewat bagian atas celanaku.
“Aaahh...Pak mau apa lagi? Lepaskan!” aku meronta berusaha lepas, “aaahh....aahhh!” tangannya segera saja menyentuh vaginaku dan mengobok-oboknya.
“Jawab yang jujur...Non suka kan ditusuk-tusuk kontol yang gede daripada ngentot sama suami sendiri?” tanyanya dekat telingaku sambil jarinya mencucuk-cucuk vaginaku.
“Eeenngghhh...nnggahhh....iya Pak, suka!” jawabku sambil mengerang tidak tahan dengan jari-jarinya yang mengaduk-aduk vaginaku, wilayah intimku itu pun kembali mengeluarkan lendir lagi.
“Jadi Non bersedia kalau saya ajak ngentot lagi? Atau jadi budak seks saya heh?” tanyanya lagi, jarinya semakin dalam menusuk-nusuk vaginaku dan kini menemukan klitorisnya.
“Mau Pak...sssshhh...bersedia...aaahh...aaahh!” jawabku sambil terus mendesah karena jari-jari pria itu semakin ganas bermain-main di vaginaku sehingga aku pun tidak malu-malu mengeluarkan isi hatiku karena nafsu kembali mengendalikanku.
“Hehe...gitu dong, oke sekarang antar saya keluar tanpa memakai apa-apa!” perintahnya.
Aku terhenyak, bagaimana kalau ada yang melihat aku membukakan gerbang tanpa seutas benang menempel di tubuhku? Namun aku pasrah saja ketika Pak Adang kembali melucuti satu persatu pakaianku, tangan kanannya masih terus mengobok-obok vaginaku menjaga birahiku tetap mendidih.
“Tenang Non, daritadi jarang ada orang lewat kok hehehe...” sahutnya saat membuka celana dalamku, pakaian terakhir yang melekat di tubuhku.
Jantungku begitu berdebar-debar saat aku mengantarnya ke truk tanpa mengenakan apapun. Kurasakan angin membelai-belai tubuh telanjangku. Dalam hati aku terus berharap jangan sampai ada orang lewat melihat keadaanku seperti ini.
Sore hari jam enam lebih, Peter pulang dari pabrik. Kusambut dia seperti biasa, dengan pelukan dan ciuman mesra, yang tidak biasa adalah aku menyambutnya hanya dengan memakai sandal jepit saja. Ya...aku tidak memakai apapun menyambutnya di depan pintu sehingga dia bengong dan bernafsu melihatku seperti itu. Aku katakan padanya aku sedang ingin saat itu karena nafsuku menggebu-gebu. Dia pun langsung mendorong tubuh telanjangku ke sofa di ruang tengah dan menindihnya. Di sana kami bercinta selama beberapa saat sebelum makan malam dan setelahnya ketika mandi bareng. Peter memelukku dengan hangat seusai bercinta, ah… dadanya yang bidang dan tatapannya yang teduh itu. Kusadari betul aku cinta padanya, tapi untuk soal bercinta aku tak bisa menyangkal bahwa aku mendapatkan lebih kepuasan ketika dengan Pak Adang tadi siang dibanding dengan suamiku ini.

##################################
Dua hari kemudian

Hari jadi pabrik keluarga suamiku dirayakan bersama dengan segenap buruh, karyawan, hingga beberapa anggota keluarga suamiku. Setelah potong tumpeng acara dilanjutkan dengan makan bersama bergaya prasmanan di ruang makan yang luas ini. Tentu saja sebagai istri, aku pun turut mendampingi suamiku pada hari itu, pakaian yang kukenakan adalah sebuah gaun terusan warna biru dengan bawahan cukup pendek sehingga memperlihatkan sepasang paha indahku. Sebenarnya dari awal aku sudah merasa tidak enak karena Pak Adang terlihat di antara para hadirin, matanya terus menatap padaku seolah-olah mengajak untuk melakukan seperti kemarin itu lagi. Aku berusaha menghindarinya dengan terus berada di dekat suamiku. Saat itu aku sedang berdiri di sudut sebuah meja panjang menikmati puding. Suamiku tidak jauh dari situ sedang mengobrol dengan kakaknya dan dua orang staff pabrik. Tiba-tiba saja bulu kudukku merinding saat terdengar suara dari belakang menyapaku, suara yang tidak asing....dan tidak kuharapkan sama sekali.
“Non....eehhh...Bu Christie, gitu aja ya saya panggilnya di sini? Cantik sekali hari ini, kangen sama saya ga hehehehe....” Pak Adang terkekeh menyapaku, tangannya memegang segelas juice buah.
“Pak Adang...tolong jaga sikap, ini di depan umum, suami saya ada di situ” aku berusaha bersikap wajar namun menegaskan nada bicaraku padanya.
Aku berpikir di keramaian begini tidak mungkin lagi orang itu berani macam-macam, tapi dugaanku ternyata salah karena tidak lama kemudian mulai kurasakan tangannya di paha belakangku, bergerak naik ke pantatku. Aku terkejut dan menggigit bibir agar tidak mendesah, terus terang aku terangsang sekali karena bagian tengah agak ke belakang dari lutut ke pahaku cukup sensitif.
“Pak jangan gila ya...tolong hentikan!” aku tetap memandang ke depan sambil menepis tangannya
“Santai Bu, posisi kita bagus nih, agak pojok jadi gak ada yang liat, mending Ibu wajar aja supaya gak ada yang tau” katanya dekat telingaku dan tangannya kembali menjamah pantatku.
Kuperhatikan sekitar ternyata benar juga posisi meja panjang ini memang di pojok ruangan dan aku berdiri di belakang meja jadi leluasa baginya untuk grepe-grepe. Aku diliputi perasaan gundah, takut siapa tahu ada yang memperhatikan, apalagi posisi suamiku hanya beberapa langkah dariku, tapi juga mulai terangsang jadi aku mendiamkanya saja. Melakukan perbuatan mesum di tengah situasi berbahaya begini ternyata menimbulkan sensasi seru juga.
“Say...sini dong cepat bawa gua menjauh dari sini!” aku berdoa dalam hati agar Peter mengakhiri obrolannya dan menarikku pergi dari sini.
Mungkin karena aku diam saja, tangannya mulai berani bergerak perlahan terus menyingkap rokku dan meremasi pantat kiriku, tangan kasarnya dapat kurasakan membelai-belai kulit pantatku. Aku pun merasa semakin tak karuan. Sambil menahan rasa nikmat yang mulai menjalari tubuhku aku menggigit bibir karena takut nanti bersuara, aku mencoba menyuapkan potongan puding ke mulutku agar terlihat wajar. Kucoba untuk menyatukan kaki supaya tangannya tidak bisa menggerayang lebih jauh, tapi jari-jarinya tetap masih bisa menggeliat-geliat menggelitik. Di antara perasaan nikmat plus tegang, tangan pria itu semakin berani, sehingga aku pun tak tahan dan melenguh sedikit tapi tidak mengundang perhatian orang. Tapi Pak Adang justru makin berani setelah mendengar desahanku. Dia menggeser telapak kakiku dengan telapak kakinya sehingga pahaku merenggang, lalu ia sisipkan jemarinya ke dalam celana dalamku lewat belakang.
“Pak Adang cukup....ini sudah keterlaluan!”aku membentak pelan sambil menengok ke samping, dia sendiri berdiri menghadap ke arah lain sambil tetap memegang gelasnya sehingga dari jauh tidak terlihat sedang terjadi apapun di antara kami.
“Ibu nikmati aja sambil awasin keadaan” katanya lalu meneguk minumnya
Uuuhh...benar-benar gila, apa dia tidak tahu sedang dimana dan bagaimana berisikonya situasi sekarang? Tapi memikirkan itu malah membuatku jadi lebih terangsang, bahkan aku membayangkan lebih liar lagi diriku disetubuhi olehnya di tengah-tengah hadirin dan suamiku sendiri, itulah sebabnya aku tetap bertahan disitu padahal aku kan bisa saja buru-buru menghindar darinya.

Karena merasakan aku sudah takluk olehnya, dia lebih berani lagi, kini ia berjongkok sehingga tubuhnya tidak terlihat di balik meja panjang ini. Oh...gila, berani-beraninya dia malah menurunkan celana dalamku. Aku menendang-nendangkan pelan kakiku untuk mengusirnya, tapi dia malah nyengir sambil menempelkan telunjuk di depan hidungnya. Jantungku berdebar kencang seiring celana dalam itu makin melorot melalui pahaku. Suamiku masih saja asyik dalam obrolannya, dia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan kah di sini? Dasar bodoh!! Makiku dalam hati. Aku tertegun karena tidak menyangka dia seberani itu tapi tak kuasa untuk bertindak. Kakiku mulai lemas, mungkin karena kenikmatan yang dihasilkan oleh gerakan jemarinya. Aku terhanyut oleh sensasi itu, terpaku pada posisiku, pura-pura menikmati makanan sambil kuat-kuat menggigit bibir menahan nikmat itu. Akhirnya ia berdiri juga sambil memasukkan celana dalamku yang berhasil ia lepaskan ke kantong celananya.
“Yuk kita bicara di toilet atas aja, toilet pria ya...disana lebih aman!” katanya pelan tanpa menengok ke arahku, lalu ia menjauhiku.
Entah mengapa aku rasanya tidak bisa menolak ajakannya, apalagi celana dalamku direbut olehnya. Buru-buru aku menghabiskan pudingku, lalu menghampiri Peter.
“Say...gua ke toilet dulu ya, lu masih lama di sini kan?”
“Oh, ok deh say, see you” jawabnya santai sambil tersenyum padaku
Setelah basa-basi singkat dan pamitan pada teman-teman ngobrol Peter, aku pun segera ke tempat yang dimaksud Pak Adang di lantai dua gedung ini. Lantai ini adalah kantor tempat para staff pabrik, jadi kondisinya lebih rapi dan bersih dibandingkan di tempat produksi di bawah sana, demikian pula toiletnya yang seperti di mall atau hotel. Saat itu di sana sepi karena semua sedang makan di bawah. Dengan dada berdebar-debar aku membuka pintu toilet pria. Aku menyusuri koridor toilet, tiba-tiba saja aku hampir jantungan karena lenganku ditarik dan tubuhku langsung ikut terseret masuk ke dalam sebuah kamar bilik. ‘Cklek!’ orang itu dengan cekatan menutup pintu dan menguncinya.
“Eeeeerrrrhh....kurang ajar! Apa maksud semua ini Pak!?” aku geram dan mencoba menampar wajahnya yang tersenyum memuakkan itu.
“Eeeiitt....eit...galak banget, belum apa-apa udah main tampar” Pak Adang dengan sigap menangkap pergelangan tanganku, “tapi Ibu tambah cantik loh kalau lagi marah” ejeknya.
“Iiihh...lepasin, bajingan...lepas...! eeeemmmhh!” protesku tak bisa berlanjut, tiba-tiba saja bibir Pak Adang sudah mengulum bibirku.
Aku tersentak, mencoba menghindar dan mendorong tubuh pria itu. Tetapi tentu saja Pak Adang terlalu kokoh bagiku, dan tembok di belakangku sama sekali tidak memberi peluang untuk menghindar. Pria ini dengan leluasa bisa melumat bibirku dan tangan satunya merambat ke bawah menyingkap bagian bawah gaunku. Aku dapat merasakan tangan kasarnya mengelus pahaku naik terus hingga ke pantatku yang sudah tidak bercelana dalam. Sebuah gelombang kenikmatan bagai menerpa seluruh tubuhku. Ciuman Pak Adang yang bergairah itu dengan cepat meluluhkan pertahananku. Walaupun hatiku kesal dan pikiranku berontak, tetapi tubuhku terkulai lemas tak berdaya. Bahkan kedua tanganku tidak lagi mendorong dada Pak Adang, malah kini mulai melingkari pundak lebar pria itu. Secepat datangnya rasa kesal, secepat itu pula birahiku terpicu. Aku benar-benar sial hari itu. Maksud hati ingin berwibawa, apa daya tubuhku merindukan pria itu, sentuhan erotisnya dan keperkasaannya. Benar-benar sial!

Mulutku yang terkatup rapat kini mulai melayani cumbuan si buruh pabrik ini. Cepat sekali aku terangsang olehnya. Kubiarkan ia melumat bibirku dan memainkan lidahnya di dalam rongga mulutku. Sebentar saja aku sudah kehilangan kendali atas diriku. Pak Adang semakin berani, menciumi leher dan tengkukku sambil meremasi payudaraku. Salah satu tangannya dengan mudah masuk menelusup ke leher bajuku yang rendah dan menemukan payudaraku di balik cup bra. Aku mengerang perlahan merasakan putingku diraba-raba oleh jari besarnya yang bagai mengandung setrum. Aku cepat sekali terhanyut oleh alunan birahi yang dibangkitkan dengan sempurna oleh pria ini. Tubuhku menggeliat-geliat tak terkendali. Mataku terpejam nikmat. Seluruh ujung-ujung syaraf di badannya menimbulkan rasa geli yang melenakan. Ketika tengah melayang-layang di alunan birahi itu lah tiba-tiba Val mendengar langkah kaki lagi.
“Ahhh...tolong hentikan semua ini Pak...mmhhh!” desahku
Aku tak sepenuh hati ingin melepaskan diri, karena tubuhku terus minta digerayangi dan disetubuhi. Tenagaku seolah hilang, hanya bisa mengerang menggigit bibir bawah agar suaraku tidak terlalu keras.
Mataku terus terpejam, seakan-akan takut terbangun dari mimpi yang menggairahkan ini. Rasa geli-nikmat memenuhi seluruh permukaan dadaku, membuatku menggelinjang-gelinjang liar. Tangannya yang lain kini mulai bermain di kewanitaanku, mengusap-membelai bibir-bibirnya.
“Ahhh,...Pak!” aku mendesah kegelian dan membuka kedua pahaku semakin lebar.
Mulut Pak Adang telah berpindah dari mulutku turun ke payudaraku. Aku semakin mendesah, kubusungkan dadaku ke depan mengundang Pak Adang untuk lebih kuat mengenyot payudaraku.
Jari-jari besarnya menguak bibir vaginaku, lalu menggosok-gosok bagian dalamnya. Jari itu terus mengorek ke dalam dan menemukan klitorisku yang sensitif. Dengan jari tengah, ia mengurut-menelusur tonjolan itu.
“Geli Pak...aaahhh!!” aku menjerit tertahan merasakan kenikmatan datang dari mana-mana.
Kini, sama sekali tidak ada rasa jijik, marah, maupun rasa bersalah karena berselingkuh di kepalaku. Cuma ada kenikmatan dan keinginan untuk segera melanjutkan percintaan liar ini ke tingkat yang lebih tinggi.
“Ibu udah kangen sama kontol saya kan, udah gatel minta ditojos lagi?” katanya dengan menyeringai mesum.
“Nggak...bukan begitu...aahhh....aahhh!” wajahku merah sekali karena memang benar apa yang dikatakannya, namun aku masih belum mau mengaku kalau aku semurahan itu.
“Nggak salah maksudnya? Heh...!” balasnya sambil menghujamkan jarinya makin dalam ke liang kenikmatanku hingga aku tersentak
"Uuuhhh!!!" rintihku ketika ternyata jarinya mengobok-obok dengan ganas liang vaginaku
Tubuhku terasa melayang-layang karena diserang di bagian-bagian yang sangat sensitif. Satu tanganku mencengkram rambut Pak Adang.
“Mmmmhhh!” tiba-tiba mulutnya kembali melumat mulutku yang mengap-mengap.
Jari-jarinya ditarik keluar dari vaginaku, tapi tidak selesai sampai situ. Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, Pak Adang mengangkat kaki kiriku yang ia sangga dengan tangannya yang kokoh. Kurasakan ujung kejantanan pria itu mulai menyeruak di masuk membelah bibir vaginaku. Oh!.. besar dan kenyal sekali kejantanan itu, menerobos perlahan, meregangkan lebih jauh lagi dinding-dinding kewanitaanku, membuatku itu menjerit nikmat. Sungguh seperti dibelah dua rasanya di bawah sana. Seperti diterobos oleh batang yang keras yang memenuhi seluruh rongga yang sudah basah dan berdenyut-denyut itu. Kejantanan yang membawaku serasa terbang kemarin lusa kembali kurasakan. Pak Adang menekan lebih dalam lagi penisnya hingga tertanam dalam-dalam, menyentuh dinding paling belakang vaginaku. Belum apa-apa, aku sudah merasakan klimaksnya mulai terbentuk lagi.

Secara naluriah, aku pun mulai menggoyang-goyangkan pinggulku. Seluruh liang kewanitaanku dipenuhi batang kenyal-panas yang menimbulkan gelora birahi berkepanjangan. Badanku mulai bergetar keras merasakan serbuan-serbuan kenikmatan menyebar ke seluruh tubuh. Terlebih lagi, jari Pak Adang memilin-milin puting susuku yang sudah sangat mengeras itu. Kejantanannya yang tegak-tegang kini keluar masuk, menimbulkan suara-suara sensual bagai lesung yang sedang disodok-sodokan ke palung becek. Akibat gerakan ini pula, klitorisku serasa semakin geli karena bergesekan dengan penisnya. Belum pernah aku mengalami kenikmatan begitu dahsyat dari suamiku tercinta. Sodokan-sodokan Pak Adang terasa semakin cepat dan semakin liar karena vaginaku juga semakin berlendir. Kedua tanganku memeluk erat tubuhnya. Wajahku semakin merona kemerahan akibat terangsang hebat. Mataku kini setengah terbuka, tetapi pandanganku menerawang. Mulutku terbuka lebar, tetapi hanya dengusan nafas yang keluar menderu-deru. Sekitar seperempat jam disetubuhi dalam posisi berdiri akhirnya aku tak sanggup lagi menahan terpaan gelombang orgasme. Untungnya aku masih bisa menahan tidak menjerit dengan menutupkan telapak tangan ke mulut dan menggigit jariku walau susah sekali
“Hhhssshhh....aaahhh....Pak!!” aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara, desahanku keluar juga ketika gelombang itu mulai surut, sungguh melegakan rasanya.
Di tengah orgasme, Pak Adang masih terus menyodok-nyodokkan penisnya. Dunia terasa meledak berkeping-keping bagiku, yang setiap kepingannya adalah sebentuk kenikmatan tiada tara. Aku semakin tak kuat menahan tubuhku yang bergetar.

Batang kemaluan pria ini begitu kuat, kokoh dan tahan lama. Hingga orgasmeku reda pun belum juga menunjukkan tanda akan menyemburkan cairan putih kentalnya. Maka aku kini berinisiatif melepaskan diri dari dekapannya hingga penisnya pun terlepas dari jepitan vaginaku.
“Biar sekarang saya yang selesaikan Pak!” kataku sambil duduk di kloset dan meraih penisnya yang basah blepotan cairan kewanitaanku.
Tanpa basa-basi lagi aku membuka mulut dan memasukkan benda itu ke mulutku. Kujilati dengan lembut kemudian kuhisap dan kupilin-pilin dengan lidahku, suamiku pun biasanya tidak akan tahan lama kalau kuperlakukan begini
“Sssippp...gitu dong...oooh....eeeemmm!” kali ini ganti Pak Adang yang mengerang karena merasakan kenikmatan dioral olehku
Tak sampai sepuluh menit kemudian, wajahnya tampak menegang dan ia cengkeram pundakku dengan sangat erat. Aku menyadari apa yang akan terjadi, tapi aku terus saja menghisap penisnya yang makin berkedut-kedut dan seperti yang kuduga. Cret....cret...semburan spermanya masuk ke dalam mulutku tanpa bisa dihalangi lagi. Aku sendiri sejujurnya sudah benar-benar menunggu momen ini. Dan dengan iringan lenguhannya yang keluar terbata-bata dari mulutnya, akhirnya sebuah kedutan besar menggoncang rongga mulutku. Cairan putih kental menyemprot langit-langit mulutku. Setiap kedutannya selalu diikuti dengan semprotan air mani hangat. Mulutku langsung penuh. Tangannya meraih dan menekan kepalaku untuk lebih menghunjamkam penisnya hingga menyentuh tenggorokanku. Aku pun terpaksa menelan semua cairan kentalnya, termasuk  menjilat yang masih tersisa di batang kemaluannya dengan lahapnya. Batang penis itu melemas dalam genggamanku. Nafas kami ngos-ngosan terdengar di toilet ini.
“Ibu...hehehe...Ibu masih marah sama saya gak?”
Aku tidak bisa menjawab selama beberapa saat, sebenarnya ingin aku memarahi dan menamparnya, namun setelah kuingat lagi kenikmatan yang diberikannya padaku, aku malah tersenyum dalam hati, tentu aku gengsi menunjukkan perasaan itu padanya.
“Saya cuma minta Pak...” aku mulai bersuara,’di depan tolong jaga sikap, jangan sampai kaya tadi lagi!”
“Hehe...beres Bu, di depan saya akan jaga sikap, tapi kalau di belakang...boleh kan?” godanya seraya meraih dadaku dan meremasnya.
Aku menepis tangannya dan segera kurapikan kembali gaunku dan membuka pintu toilet. Untung hari itu aku memakai make up tipis sehingga tidak terlalu terlihat kacau setelah bercinta, hanya tinggal merapikan rambutku dengan tangan sudah cukup. Setelah keluar dari sana baru lah aku ingat, aku belum meminta kembali celana dalamku, tapi sudahlah daripada aku kembali lalu dikerjai lagi olehnya.

Aku kembali ke bawah tanpa mengenakan celana dalam di balik gaunku, aku merasakan orang-orang di sekitarku memandang padaku, apakah mereka tahu apa yang baru terjadi di toilet atas atau aku tidak memakai celana dalam? Ah...mungkin hanya perasaanku sih, beginilah kalau baru berbuat dosa, selalu merasa yang tidak-tidak. Sambil menarik nafas panjang aku berjalan tegak seperti tidak ada apa-apa. Aku mencari Peter dan kutemui dia dengan mudah sedang berdiri menyantap makanannya di dekat sebuah meja hidangan sambil ngobrol dengan seorang pria setengah baya. Kuhampiri mereka menyapa. Peter memperkenalkan diriku pada pria itu yang bernama Ahmad, mitra usaha perusahaan ini. Pria berkumis dan bertubuh tambun itu menjabat tanganku agak lama, matanya memandangku seperti ingin menelanku saja. Aku merasakan sekali hal itu, namun aku tetap berusaha bersikap sopan membalas basa-basinya.
“Kalian memang pasangan yang serasi, ganteng dan cantik”, pujinya pada kami
"Sama sama, terima kasih Pak Ahmad, anda ini bisa aja ah!", jawab suamiku bangga.
“Hahahaha....kalau punya istri cantik gini harus dijaga baik-baik, ngerti? Hahaha!” pria tambun itu berkelakar.
Peter tertawa merespon gurauannya, tapi dalam hati aku merasa tidak suka dengan pria ini, sepertinya ucapannya tadi mengandung niat tersembunyi.
"Rupanya kamu punya fans say!", kata suamiku setelah Pak Ahmad beralih ke undangan lain meninggalkan kami berdua.
"Habis kamu ninggalin aku, jadi aja banyak yang genit ngincer istrimu ini, hihihi", jawabku sambil mencubit lengannya.
Akhirnya setelah jamuan usai aku dan Peter kembali ke kantornya. Dengan menyesal aku menolak keinginannya untuk main quickie karena vaginaku masih terasa memar dan nyeri dihajar Pak Adang.
“Ya udah, gapapa, kamu pulang aja dulu istirahat oke!” katanya, “see you tonight”
Kami berpagutan ringan sebelum aku meninggalkannya di kantor. .
 Edan, hanya kata itu yang ada dalam benakku saat mengingat pesta seks liar di masa aku kuliahku, berlanjut ke perkosaan oleh buruh suamiku hingga akhirnya menjadi skandal perselingkuhan. Pak Adang telah berhasil menggali sisi liarku yang telah lama terkubur, aku dibuat liar kembali olehnya, aku telah menjadi istri binal. Sungguh ini bukan kehendakku tapi aku sangat menikmatinya. Entah mengapa aku mulai menyukai ditindas secara seksual dan diperlakukan kasar dalam berhubungan seks. Walau sebenarnya aku tidak suka diperlakukan tidak senonoh seperti itu namun di sisi lain menjadi mainan seks membuatku sangat terangsang. Kunyalakan tape mobilku, secara kebetulan radio mengalunkan lagu ‘Back to Black’nya  Amy Winehouse yang tepat sekali mendeskripsikan diriku sekarang


"He left no time to regret
Kept his dick wet
With his same old safe bet
Me and my head high
And my tears dry
Get on without my guy
You went back to what you knew
So far removed from all that we went through
And I tread a troubled track
My odds are stacked
I'll go back to black"

"We only said good-bye with words
I died a hundred times
You go back to her
And I go back to.....
I go back to us
I love you much
It's not enough
You love blow and I love puff
And life is like a pipe
And I'm a tiny penny rolling up the walls inside"

By: Christ1987

Minggu, 26 Agustus 2012

The Amulet


Jason Ramsey

Sinopsis :

Kehidupan Jason Ramsey berubah selamanya ketika ia menyelamatkan seorang pria tua aneh dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, dan ia diberi hadiah sebuah Amulet yang memberikan kemampuan menjadi tak terlihat. Bisakah Jason menggunakan kemampuan itu untuk mendapatkan hati Becky sang cheerleader, gadis impiannya yang bahkan tak kenal siapa Jason itu? Atau itu malah akan membuka matanya untuk menerima seseorang yang selama ini sudah ada di hadapannya?

***

Jason menatap benda di tangannya, terpesona oleh kilauannya yang sedikit bercahaya di bawah permukaannya yang halus dan mengkilap berwarna hitam keemasan. Jantungnya masih berpacu atas peristiwa yang baru saja terjadi, dan nafasnya masih tersengal. Hingga dia kembali tenang, Jason selalu bertanya-tanya bagaimana ia akan bereaksi dalam situasi krisis, dan sekarang ia tahu jawabannya. Beberapa menit sebelumnya, ia memutuskan untuk berhenti di perpustakaan dalam perjalanan pulang dari sekolah, ia ingin meminjam sebuah buku untuk menyelesaikan penelitiannya pada pelajaran sejarah yang harus dikumpulkan Senin depan. Sedikit kutu buku, dia bekerja keras untuk mendapatkan nilai A pada tahun terakhirnya, Jason membutuhkan beasiswa untuk bisa kuliah. Berdiri di pojok menunggu lampu merah berganti, pikirannya mengembara pada Becky Johnson. Becky telah pindah ke kota ketika mereka di kelas 10, dan sejak itu Jason naksir padanya. Cantik dan atletis, Becky segera bergabung dengan kelompok elite di sekolah, menjadi seorang cheerleader dan anggota tim renang. Dan meskipun ia telah berbagi banyak kelas dengan Becky selama dua tahun terakhir, gadis itu mungkin tak kenal sama sekali padanya. Sebelum kedatangannya, Jason adalah bintang kelas. Tapi sekarang, dia harus berjuang keras untuk menjaga nilai-nilainya tetap tinggi, karena sekarang dia menghabiskan setengah waktunya untuk mendengarkan guru, dan setengah lainnya menatap Becky, si cantik. Jason begitu asyik melamun tentang Becky, hingga ia tak melihat saat seorang kakek tua memakai topi shuffle melewatinya, dan masuk ke jalan. Saat Jason membayangkan bagaimana Becky tampak seksi dengan rok cheerleader-nya, sesuatu mengganggu otaknya, menuntut perhatian. Realitas akhirnya menang, dan ia menyadari apa yang dilihatnya: Seorang pria tua sedang menyebrangi jalan di depannya, sudah berada lebih dari setengah jalan. Dari kanan, ia bisa melihat sebuah truk pickup besar mendekat, datang dengan cepat dan tak menunjukkan tanda-tanda melambat. Selama sepersekian detik, Jason tahu apa yang akan dia lihat; orang tua itu akan mati, dengan kondisi yang mengerikan. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ia bergerak. Jason belum pernah bermain satu olahraga yang terorganisir, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, tubuhnya telah berubah dari seorang yang pendek dan kurus, menjadi murid senior yang tinggi, bugar dan ramping, otot-otot tumbuh dimana sebelumnya ia tak memilikinya. Dan sekarang ia menggunakan semuanya, berlari menyeberang jalan lebih cepat dari yang pernah ia lakukan sebelumnya. Tapi itu rasanya lambat sekali. Rasanya seperti sedang berjalan di pasir hisap, dan truk itu terlalu dekat pada si orang tua - dan sekarang dia juga - bisakah Jason keluar dari jalan tepat waktu? Pria itu masih jauh, dan dia hampir bisa merasakan panas datang melalui bumper depan truk. Tiba-tiba, semuanya menjadi bertambah cepat. Dia melompat ke arah orang itu, menubruk punggungnya, memeluknya dan berguling ke depan. Detik berikutnya mereka berdua tergeletak di trotoar, dan Jason bersumpah ia merasakan bumper truk menyerempet sepatu kanannya. Pengemudinya membunyikan klakson dengan keras tapi tak pernah melambat.

Orang tua itu mengerang kesakitan, dan Jason menyadari bahwa ia tengah berbaring di atasnya. Dia segera berlutut dan membungkuk memeriksa orang itu. Jason bernapas keras, tapi masih mampu berkata sambil terengah,
"Apakah anda baik-baik saja?" tanyanya sambil memegang bahu pria itu.
Sebuah erangan kecil adalah satu-satunya jawaban.
"Maaf jika aku menyakitimu," lanjut Jason, "tapi truk itu... datang dengan cepat, dan anda..."
Mata pria itu terbuka, ia menatap berkeliling, sedikit bingung tapi menunjukkan tanda-tanda mendapatkan kembali kesadarannya.
"Apa yang terjadi?" katanya dengan suara lemah.
"Ada sebuah truk datang mendekat," kata Jason, kata-katanya mengalir keluar, "dan anda berada di tengah jalan, dan aku tak berpikir... aku benar-benar minta maaf jika aku menyakitimu."
Pria itu mencoba bangkit, tetapi Jason menahannya dengan kuat ke bahunya.
"Tolong, Pak, tetaplah di sana. Aku akan minta bantuan seseorang untuk memanggil ambulans."
Sekelompok kecil penonton mulai berkumpul di sekitar mereka.
"Tidak," jawab orang itu, suaranya sedikit lebih kuat sekarang, "Aku akan baik-baik. Hanya sedikit sakit saja. Dimana topiku?"
Jason hampir tertawa, berpikir bahwa itu lucu. Orang tua ini lebih khawatir pada topinya daripada dirinya sendiri padahal saat itu ia tengah terbaring di trotoar. Jason melihat sekeliling, tapi tak bisa menemukannya. Dia akhirnya melihat benda itu di bawah kaki si orang tua, Jason segera menariknya keluar. Topi itu jadi pipih, Jason berusaha untuk mendorongnya kembali ke bentuk semula sebelum menyerahkannya.
"Tolong bantu aku berdiri," kata pria itu, setelah menempatkan kembali topi yang sudah cacat itu ke kepalanya.
"Anda yakin?" Jason jawab, wajahnya tampak khawatir.
"Bantu aku ke bangku yang di sana. Aku hanya butuh mengatur napasku." sahut si orang tua.

Setelah sedikit upaya dari keduanya, Jason akhirnya membantu orang itu duduk di bangku, dan kerumunan kecil yang menonton mereka mulai bubar.
"Duduklah di sini, di sampingku, nak," kata pria itu, "Aku ingin mengucapkan terima kasih atas apa yang kau lakukan. Siapa namamu?"
"Jason. Jason Ramsey. Dan terima kasih kembali. Tapi aku tadi benar-benar tak berpikir ketika melakukan itu, jadi..."
"Keberanian seperti itu tak memerlukan pikiran," jawab orang itu, "Kau hanya melakukannya." Dia menambahkan, "Aku Malchediel." Orang itu memperkenalkan dirinya.
"Senang bertemu anda Mr. Malchediel," kata Jason, mengulurkan tangannya.
"Panggil saja Malchediel," kata pria itu, menyambut tangan Jason dan menggenggamnya erat-erat. Mata Malchediel yang biru cerah terfokus pada remaja itu, dan menatapnya begitu intens, ia sepertinya menatap menembus dirinya.
"Ok, emm, Malchediel," kata Jason, sedikit bingung dengan cara pria itu menatapnya. Si orang tua juga masih meremas tangannya, lebih lama dari jabat tangan yang seharusnya. Dan jauh lebih keras juga, padahal orang itu baru saja roboh tak bertenaga.
"Berapa umurmu, nak?" tanya Malchediel.
Jason pikir ini jadi semakin aneh, tapi tetap menjawab, "Baru delapan belas tahun."
Tatapan orang tua itu berlangsung sedikit lebih lama lagi, sebelum akhirnya  mengambil sebuah keputusan.
"Perbuatan besar dari keberanian pantas mendapat balasan yang besar, apakah kau setuju Mr. Ramsey?" tanyanya.
Jason tampak merasa malu. "Aku tak ingin uang."
"Bagus, karena aku juga tak akan menawarkan uang." kata orang itu.
Muka Jason berubah warna menjadi merah terang. "Maaf, aku tak bermaksud..."
"Uang bukanlah hadiah yang besar," lanjut Malchediel, "tapi ini..." Dia merogoh sakunya dan mengambil suatu benda. Dia memegang tangan Jason dalam genggamannya, menempatkan benda itu ke telapak tangannya, dan menutup jari-jari remaja itu hingga membentuk kepalan.
"Anda benar-benar tak harus memberiku..." Jason memulai.
"Tapi ingat, nak..." orang itu terus melanjutkan, seperti menganggap Jason tak sedang bicara, "kekuatan tanpa kebijaksanaan adalah kombinasi yang berbahaya.”
Jason tak yakin apa yang orang tua itu sedang bicarakan, sehingga ia berkata, "Terima kasih." dengan nada suara sedikit bertanya. Orang tua itu menganggap ini lucu, dan tertawa lepas. Dia memang tampaknya telah pulih dari penderitaannya. "Oh, kau memang akan berterima kasih padaku..." kata Malchediel, masih tersenyum, dan setelah jeda menambahkan, "...nanti." Dan dia tertawa lagi. Setelah itu dia bangkit dari bangku, jauh lebih bugar dari seorang tua yang baru saja dijatuhkan ke trotoar beton.

"Aku harus pergi sekarang," katanya, membetulkan topinya yang rusak, "tapi terima kasih sekali lagi atas tindakanmu yang berani."
"Sama-sama," jawab Jason, berdiri juga, "Dan terima kasih atas... eh... hadiahnya." Dia melambaikan tangannya yang tertutup dan tersenyum.
"Senang bertemu denganmu Jason," kata Malchediel, dan berbalik untuk pergi. Lalu ia berbalik dan berkata, "Oh, satu hal yang sangat penting. Pertama kali kau menggunakannya, kau harus berada dalam kamarmu, sendirian." Dia memberi Jason satu senyum misterius terakhir, dan berbalik dan berjalan menjauh, tak melihat ke belakang.
Jason melihat dia pergi, dan ketika orang itu berbelok, ia kembali duduk di bangku dan membuka tangan terkepalnya, melihat hadiah yang diterimanya. Ini adalah semacam kalung. Melekat pada rantai perak tipis, tampak sebuah batu berbentuk titik air mata berwarna hitam, berukuran panjang sekitar dua inci dan satu inci lebarnya. Dan meskipun batunya berwarna hitam, ketika ia melihat lebih dekat, sinar matahari berkilauan di sepanjang permukaan dan sepertinya mengeluarkan warna dari interiornya. Tampaknya seolah-olah lautan warna yang berputar-putar di dalamnya, perpaduan warna merah, hijau dan biru, berputar dan bergulung antara satu sama lain. Dia belum pernah melihat benda yang seperti ini. Dia memegang di antara jari-jarinya dan mengusap, merasakan permukaan licin ketika di sentuh. Ini mengingatkannya pada batu-batu yang dipoles yang bisa dibeli di salah satu stan suvenir kaki lima. Tapi ini jauh lebih bagus, jauh lebih berwarna, dan dia bersumpah ia bisa merasakan sedikit getaran saat ia memegangnya. Ah, ini pasti hanya imajinasinya. Dia mungkin masih gelisah karena kejadian barusan yang hampir membuat dirinya terbunuh. Dia ingin memakainya, dan menemukan pengaitnya, membukanya, dan hendak meletakkannya di lehernya ketika ia ingat peringatan orang tua itu yang mana harus sendirian ketika memakainya. Ia mempertimbangkan untuk tetap memakainya, tapi teringat sorot mata orang tua itu, dan memutuskan lebih baik ia menunggu saja. Sambil menggenggam kalung itu erat-erat di tangannya, ia pulang ke rumah, perpustakaan dan buku yang ia cari benar-benar terlupakan.

***
 
Lima belas menit kemudian Jason duduk di tempat tidur dengan pintu kamar terkunci, meskipun orang tua dan adik perempuannya keluar ke suatu tempat. Dia membolak-balik batu di tangannya berulang-ulang, saat jemarinya menyentuh permukaannya halus, mengamati pusaran warna yang ada di bagian dalamnya. Bahkan meskipun jauh dari sinar matahari, warna-warna masih ada di sana, seolah-olah batu itu diisi dengan cairan kental bercahaya. Jari-jarinya sedikit gemetar ketika ia menemukan dua ujung dari pengaitnya, dan menaruh di lehernya. Dia tak yakin mengapa dia merasa gugup. Itu hanya hadiah konyol dari seorang pria tua konyol, yang mungkin pikun, atau paling tidak bingung akibat terhempas ke tanah. Tak ada yang terjadi ketika ia memakainya. Kedua pengait bertemu, dan ketika ia menguncinya, Jason merasakan sensasi kesemutan yang hampir tak terlihat mengalir melalui tubuhnya. Dia duduk dan menunggu, untuk menunggu sesuatu yang dia sendiri juga tak yakin. Dia tak merasa perbedaan apapun. Dia mengambil napas dalam-dalam. Tidak, tak ada apa-apa. Jason tersenyum. Oh yah, dia juga tak menginginkan hadiah dari orang tua itu. Dan orang tua tampak menikmati memberikannya padanya, sehingga paling tidak ada sesuatu yang baik dari itu. Plus, ini adalah perhiasan yang indah, dan akan terlihat bagus di lehernya. Mungkin Becky akan memperhatikan dia sekarang. Mengingat tugas sekolahnya, Jason melihat jam. Dia masih punya waktu untuk pergi ke perpustakaan sebelum tutup. Dia ingin melihat seperti apa kalung itu di lehernya, sehingga ia bangkit dan berjalan ke cermin meja rias. Pada awalnya, apa yang dia lihat tak masuk di otaknya. Bingung, Jason tahu ia melihat sesuatu yang aneh, tapi terlalu luar biasa untuk diproses. Dia menatap tercengang pada bayangan dicerminnya, atau lebih tepatnya, ketiadaan bayangannya. Karena, meskipun pakaiannya ada di sana, bergerak seolah-olah ada efek khusus aneh seperti di film, dirinya sama sekali tak terlihat. Itu terlalu banyak untuk dipahami. Tertegun, Jason mundur dari cermin hingga bagian belakang kakinya menabrak tempat tidur, dan dia duduk. Apakah ia tadi hanya melamun apa yang telah dilihatnya? Dia yakin begitu. Karena apa yang telah dilihatnya itu tak mungkin terjadi. Jason mengangkat tangannya di depan wajahnya. Yang dilihatnya adalah manset kemeja yang terbuka, tampak seolah-olah sesuatu berada di dalamnya, tapi tak ada di sana. Pikirannya melayang lagi, dan dia memejamkan mata. Tapi bukannya kegelapan, ia terus melihat lengan bajunya melambai di depan wajahnya. Pada beberapa titik yang hampir tak dipahami, itu masuk akal. Jika kamu bisa melihat menembus tanganmu, kau juga pasti dapat melihat menembus kelopak matamu. Tapi itu benar-benar jauh di luar logika.

Panik, Jason meraih pengaitnya, meraba-raba sejenak, dan dengan cepat melepas kalung itu, melemparkannya ke atas tempat tidur. Dia menutup matanya lagi, dan kali ini kegelapan datang. Ia menutupi wajah dengan tangannya, dan ia menahannya di sana sampai napasnya tenang, dan detak jantungnya berhenti berdebar keras di dadanya. Pikirannya akhirnya bisa memproses apa yang telah dilihatnya. Menghilang! Kalung itu membuatnya tak terlihat. Tapi bagaimana mungkin? Itu tak mungkin. Walaupun ia mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri, dia juga tahu apa yang telah dilihatnya. Setelah guncangan itu mereda, ia perlahan mulai menyadari bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang buruk. Jason mengambil kalung itu lagi, dan kali ini jari-jarinya benar-benar gemetar. Dia kembali ke cermin, dan ia senang melihat bayangannya menatap ke arahnya. Memegang kalung pada kunci penjepitnya, ia sekali lagi memakainya di sekitar lehernya, menonton dirinya secara dekat di cermin. Pada saat penjepit terhubung, tubuhnya menghilang dari pandangan. Satu detik masih ada, dan detik berikutnya sudah menghilang. Perasaan bingung datang kembali, tapi kali ini agak berkurang. Dan setelah menatap cermin untuk beberapa saat, ia bahkan berhasil tersenyum. Lalu senyumnya berubah menjadi seringai lebar. Jason menghabiskan satu jam berikutnya di kamarnya bereksperimen dengan kemampuan barunya. Efeknya lebih mengejutkan ketika dia melepas semua pakaiannya, dan tak ada apapun ketika ia melihat ke cermin. Ia tertawa keras ketika ia mengangkat bola bisbol dari atas meja, dan menyaksikannya mengapung di sekitar ruangan, seolah-olah itu terikat tali. Jason menemukan bungkusan setengah kosong Doritos di laci teratas, dan bereksperimen dengan makanan. Ia takut ia akan melihat makanan dikunyah meluncur ke tenggorokannya, tapi yang membuatnya lega, begitu dia meletakkan sekeping makanan itu dalam mulutnya dan menutup bibirnya, itu menghilang. Jason bermain-main dengan memasang kalung itu dan melepasnya kembali, mendapatkan kesenangan melihat dirinya menghilang dan muncul kembali. Dia masih sibuk memainkannya ketika ia mendengar ibunya pulang di lantai bawah rumahnya.Dia membeku, tak yakin harus berbuat apa. Tapi Jason menyadari hal ini akan menjadi ujian sempurna. Jika, untuk beberapa alasan, kalung itu hanya membuatnya berpikir bahwa ia tak terlihat, dan ternyata ibunya melihat dia, dia hanya akan melihat dia berdiri telanjang di kamarnya. Agak aneh, tapi tak terlalu buruk. Jason bergerak sepelan mungkin, dan membuka pintu kamar tidurnya. Dia berpikir untuk duduk di tempat tidur, tapi menyadari berat badannya akan menciptakan lekukan aneh dalam kasur yang ibunya akan melihat. Jadi dia hanya berdiri di depan cermin, menunggu.
"Jason!" teriak ibunya dari lantai bawah. "Apa kau di rumah?"
Dia tetap diam.
Ibunya datang naik ke lantai dua, dan tahu dia akan memeriksa kamarnya untuk melihat apakah ia berada di sini dengan headphone terpasang. Benar saja, beberapa detik kemudian kepala ibunya muncul melongok ke dalam kamar.
"Ja-" ia mulai, tapi ketika dia melihat ruangan yang kosong, dia berhenti. "Hah, aku berani bersumpah aku mendengar dia bergerak di sekitar sini. Oh yah, aku pasti sudah pikun." kata ibunya saat ia berjalan ke kamar tidurnya sendiri.
Jason tersenyum lebar. Berhasil! Ibunya menatap ke arahnya tapi tak melihatnya. Setelah beberapa saat, ia mendengar shower di kamar mandi orangtuanya, dan mengambil kesempatan untuk berpakaian dan pergi ke luar, terlebih dulu memastikan untuk melepas kalungnya dan mengantongi di sakunya. Jason tak bisa menahan senyumnya saat ia berjalan melalui komplek rumahnya. Menghilang! Semua orang pasti pernah bermimpi untuk bisa melakukan ini, kan? Pikirannya berpacu dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi.

***

Samantha Scott

Jason tiba kembali ke rumah setengah jam kemudian, dan sedang berjalan di trotoar ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ternyata tetangganya Samantha Scott berdiri di pagar antara halaman rumah mereka, melambai padanya. Sedikit kesal, ia mendekat untuk bicara dengannya. Sam, adalah gadis sebelah rumah. Mereka tinggal bertetangga seumur hidup mereka, dan telah bermain bersama saat balita. Tapi ketika dia menjadi sedikit lebih besar dan telah mencapai umur tertentu dan menganggap bermain dengan anak perempuan adalah 'memalukan', Sam ia anggap jadi menyebalkan yang terus-menerus akan mengganggu dia dan teman-temannya. Sam selalu ingin bermain dengan mereka, dan akan mengikuti mereka di mana-mana. Karena ini, mereka memperlakukannya dengan buruk, dan Jason bergabung dengan ikut menyakiti Sam juga. Tapi saat mereka bertambah besar dan masuk SMU, mereka menjadi teman lagi, meskipun ia masih menganggap dia sedikit mengganggu. Samantha selalu berusaha untuk bicara dengannya, sama seperti yang dia lakukan sekarang. Saat ia berjalan mendekat dan mendapat pandangan yang lebih baik dari dirinya, ia mengingatkan bahwa, seperti dirinya, Sam juga telah berubah selama beberapa tahun terakhir. Beberapa tahun yang lalu dia bertubuh kurus dan canggung, dengan rambut merah tebal yang sulit diatur pada tubuh tinggi kurusnya. Dia telah mengenakan kacamata dengan lensa tebal, dan karena mereka, ia dan teman-temannya memberinya julukan 'Botol cola'. Tapi sekarang tubuhnya sudah berisi, pinggul muncul yang mana dulu tak ada, diikuti dengan banyak lekuk feminin lain di tempat yang pas. Ia mengintip payudara Sam yang terdorong keluar dari kemeja flanel saat ia membungkuk di pagar, Jason yakin sudah lebih besar dari yang terakhir kali ia lihat. Tak besar sekali, tapi bulat indah. Dan Sam telah kehilangan botol kola-nya. Sekitar dua tahun lalu dia beralih ke lensa kontak, dan sekarang, ironisnya, mata cerah hijau-nya adalah fitur terbaiknya. Rambutnya tak lagi liar, dan dia membiarkannya lurus melewati bahunya.
"Hei, Sam," katanya saat sambil tiba di pagar. "Lagi ngapain?"
"Nggak banyak, Jason," kata Sam tersenyum, "Hanya menyelesain beberapa pekerjaan di halaman sebelum orangtuaku pulang. Sedang sibuk apa sekarang?"
"Nggak banyak juga," jawab Jason, "Mengerjakan satu tugas yang harus dikumpulin minggu depan." Dia jelas tak bisa bilang padanya apa yang sebenarnya ia lakukan.
"Ada rencana buat akhir pekan?" tanya Sam, dan dia menekan lebih dekat pada pagar. Jason tak bisa menahan untuk menatap ke bawah dan melihat dengan jarak dekat pada payudara gadis itu.
"Eh... nggak juga," sahut Jason, sedikit malu saat ia menatap ke atas dan tahu Sam telah memergokinya memeriksa tubuhnya. Tapi dia sepertinya terlihat tak keberatan. Bahkan, dia tampak semakin senang. "Pergi ngumpul dengan beberapa teman," lanjutnya. Dia mungkin akan melakukan sesuatu dengan sahabatnya Danny, tetapi dia belajar untuk tak menyebutkan nama Danny pada Sam.

"Mungkin kita bisa ngumpul bareng dan ngobrol cerita kabar masing-masing," kata Sam penuh harap.
"Ngobrol?" jawab Jason.
"Kau tahu," kata Sam, "bicara tentang apa yang telah kita lakukan, dan bicara tentang hal-hal yang menyenangkan yang biasa kita lakukan."
Sebuah kenangan berkelebat dalam pikiran Jason. Suatu hari ia dan teman-temannya keluar naik sepeda, dan Sam mengikuti mereka ke mana-mana. Mereka mencoba agar dia ketinggalan, tapi dia sama cepatnya dengan mereka. Akhirnya, Jason berhenti, turun dari sepeda, berjalan ke arah Sam yang duduk di sepedanya, dan mendorongnya dengan kasar. Sepedanya ambruk, Sam jatuh bersama dengan sepedanya, dan ia mendarat keras di tanah.
"Pulanglah Botol cola!" dia berteriak, "Kami nggak ingin kau bersama kami." Dia dan teman-temannya pergi, tertawa dan mengabaikan tangisnya.
"Hal menyenangkan yang biasa kita lakukan?" kata Jason, merasa malu.
"Ya, seperti waktu kita pergi ke sungai di hutan, dan menangkap berudu?"
"Ya, aku ingat," katanya, berpikir keras. Itu sebelum Sam menjadi gangguan.
"Dan aku tak bisa menangkap satupun, jadi kau yang menangkap buatku?"
Jason nyengir. "Ya, kau takut pada berudu."
"Aku nggak takut," kata Sam, pura-pura marah. "Mereka menggeliat-geliat terus untuk bisa dipegang."
"Yah, ok," kata Jason, masih nyengir. "Terserah apa katamu."
"Lihat kan?" sahut Sam, "Inilah sebabnya mengapa kita harus ngobrol. Jadi aku bisa menjernihkan kesalahpahaman seperti ini yang kau punya tentangku." mata hijaunya berkilauan saat ia tersenyum.
"Ok, Sam, kita akan keluar bareng." terpikir oleh Jason ia mungkin menikmatinya lebih dari yang awalnya ia kira.
"Bagus. Sekarang aku harus menyelesaikan halaman ini dan mandi sebelum tidur."
"Ok." Jason tak tahan mengintip sekali lagi bagaimana payudara gadis itu menekan kencang kancing bajunya sebelum mundur dari pagar. "Sampai nanti, Sam." pamitnya.
"Kau juga, Jason." Sam memberi dia gelombang selamat tinggal.

Jason berbalik kembali menuju rumahnya, dan saat ia berjalan, ia menemukan dirinya berpikir tentang kata-kata terakhir Sam. Gadis ini, yang telah jadi teman bermainnya, temannya, musuhnya, dan sekarang temannya lagi, belum pernah sekalipun menjadi subyek fantasi seksualnya. Tapi sekarang, yang bisa ia pikirkan hanyalah bagaimana tubuhnya terlihat ketika di kamar mandi, penuh sabun dan licin. Dia membayangkan tangan Sam meluncur di atas kulitnya, mencuci keringat dari tubuhnya sehabis membersihkan halaman. Dia bertanya-tanya apakah jari-jarinya akan berlama-lama di putingnya lebih lama dari yang diperlukan, mencubit mereka sedikit, membuat mereka kaku. Dalam buku yang kadang-kadang ia membaca, cewek melakukan hal-hal semacam itu. Jason berharap dapat menonton Sam melakukan itu. Mengawasinya membersihkan tubuhnya yang telanjang, sekarang semua berlekuk dan menonjol di tempat yang tepat. Jadi sangat berbeda dengan apa yang dulu ia lihat. Dia berharap ia bisa melihatnya...Jason ingat kemampuan barunya. Tentu saja! Dia berbalik kembali ke arah Sam, yang telah melanjutkan pekerjaannya, dan mengawasinya. Dia pikir dia mungkin melihat lebih banyak dari tubuh Sam segera. Jason bergegas masuk ke rumahnya, mengatakan halo kepada ibunya, dan mengatakan ia akan ke kamarnya buat belajar. Ketika ia sampai di sana, ia menanggalkan semua pakaiannya, lalu memasang kalung itu di lehernya. Dia memeriksa cermin untuk memverifikasi apakah itu masih bekerja, dan senang bayangannya sudah tak ada. Jason keluar dengan diam-diam ke lorong, menutup pintu, dan bergerak menuruni tangga. Ibunya sedang sibuk di dapur, dan ia mampu keluar dari pintu belakang tanpa diketahui. Aneh rasanya berada di luar rumah dan telanjang, dan ia tak ingat kapan terakhir ia melakukannya. Dia pernah skinny-dipping dengan teman-temannya ketika mereka bersepeda ke Blue Lake ketika mereka masih anak-anak, tapi tak bisa memikirkan pernah melakukannya lagi setelah itu. Saat Jason berjalan menuju pagar antara halaman belakang, ia bisa melihat bekas kakinya yang telanjang sedang membuat cekungan di rumput. Dia yakin jika seseorang ada sekitar situ, mereka akan mengetahuinya. Melompati pagar dengan mudah, ia berjalan ke pintu belakang rumah Sam. Saat ia sampai di sana, Sam muncul di sudut rumahnya, membawa sapu dan tempat sampah, dan menuju halaman belakang gudang rumahnya.

Ketika gadis itu menghilang ke gudang, Jason mengambil kesempatan untuk membuka pintu belakang dan menyelinap ke dalam, menutup dengan pelan-pelan di belakangnya. Ia sudah berada di rumah ini sering sekali ketika ia masih anak-anak, dan tahu semua ruangan di rumah itu. Kamar Sam ada di lantai atas di ujung lorong, dan ia berlari ke tangga dengan mengambil dua  langkah sekaligus. Jason baru saja mencapai kamar itu ketika ia mendengar Sam datang di lantai bawah. Dia segera mencari-cari tempat yang aman untuk berdiri - tempat di mana Sam tak akan bertubrukan dengannya secara tak sengaja. Di kaki tempat tidur ada meja rias dengan cermin, dan di samping itu adalah lampu lantai yang tinggi. Di antara kedua benda itu ada cukup ruang baginya untuk berdiri. Dia pindah ke tempat itu, dan mendengarkan suara yang datang dari bawah, hampir tenggelam oleh suara detak jantungnya berdentum keras di telinganya. Jason mencoba menenangkan napasnya, berharap Sam jangan keburu masuk, karena ia yakin gadis itu akan mendengarnya. Lega, ia mendengarnya bergerak di dalam dapur, dan Jason mampu mengambil napas panjang dan menyesuaikan dirinya sendiri sebelum ia mendengar langkah kaki Sam menaiki tangga. Ketika gadis itu muncul di ambang pintu, jantung Jason mulai berpacu lagi. Sam masih seperti ketika ada di halaman, kecuali sekarang dia sedang memegang segelas jus jeruk. Sam meminumnya, dan meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidurnya. Jason tak yakin apa yang akan terjadi berikutnya, tapi Sam tak membuang-buang waktu sebelum mulai membuka pakaiannya. Menginjak bagian belakang sepatu dengan kaki yang lain, dia menarik tumit keluar dan menendang sepatunya ke pojok, kemudian mengulangi tindakan serupa pada kaki yang lain. Jason senang dia tak memilih sudut itu buat berdiri. Tangan Sam turun ke kancing celana jeans-nya, membuka kancing itu, menarik ritsleting, dan mendorongnya ke bawah pahanya, membungkuk ketika jeans-nya sampai di lutut. Jason berdiri berdampingan dengannya, dan dia bisa melihat celana dalam putih muncul mengintip di bagian bawah baju gadis itu saat Sam membungkuk. Sam melangkah keluar satu kaki dari jeans-nya dan kemudian yang lain, dan melemparkan celana jeans itu ke sudut di atas sepatu. Jason tersenyum. Setidaknya Sam bukan orang yang terlalu rapi. Kaus kaki adalah berikutnya, dan ia melihat sekilas sesuatu yang putih saat Sam membungkuk. Jason mulai mengeras. Langkah selanjutnya mengejutkannya. Sam berjalan mendekat sampai ia berada tepat di depannya, dan menyalakan lampu dimana Jason berdiri di sampingnya. Ketika tangannya menggapai saklar, hanya beberapa inci dari bahu Jason. Lebih dekat lagi dan Sam akan menyentuhnya. Ketegangan Jason sebagian besar langsung menghilang kekakuannya, saat jantungnya memukul-mukul dadanya lagi. Sam pindah ke bagian depan meja riasnya, dan melihat dirinya di cermin saat jari-jarinya melepas kancing bajunya, membukanya satu per satu. Jason berdiri kurang dari empat meter darinya, dan Jason menyaksikan dengan saksama. Ketika kancing terakhir dibuka, kemeja Sam sebagian terbuka dan dia bisa melihat bagian tengah bra gadis itu, juga berwarna putih, dan terisi penuh oleh payudaranya. Mata Jason terfokus pada kulit halus di bagian atas tali bra Sam, dan bagaimana lengkungan lembut membengkak ke atas dari kekangan ketat di bawahnya.

Mata Jason menatap ke bawah, di atas hamparan datar perut Sam, dan berhenti pada segitiga putih halus dari nilon, membentang di atas gundukan itu ada sedikit tonjolan. Dia bisa mendeteksi lekukan vertikal pada gundukan itu, dan mencoba membayangkan seperti apa bibir vagina Sam tampak di bawahnya. Kemaluannya mengeras lagi. Sam melihat dirinya di cermin, seperti kebanyakan orang lakukan ketika mereka sendirian, akan melakukan berbagai bentuk ekspresi wajah. Dia menoleh bolak-balik untuk setiap sisi. Tangannya ke atas dan dia menyisir rambut dengan jari-jarinya, menjauhkan dari wajahnya. Selanjutnya, blusnya lepas, dengan cepat melonggarkan dari bahunya dan melemparkannya ke sudut tempat pakaian kotor. Dia berbalik ke arah cermin dan menangkup payudaranya melalui bra-nya, mengangkat dan meremasnya bersama-sama. Dia menahan seperti itu untuk beberapa saat, menilai bagaimana payudaranya terlihat, dan membiarkanny turun lagi. Jason menyukai bentuk payudara itu. Ini bukan gadis yang dulu pernah menangkap berudu bersama, dan tentu saja bukan lagi 'gangguan' yang pernah ia perlakukan dengan kejam. Ini adalah seorang wanita, dan ia terpesona dengan bagaimana Sam telah berubah ketika Jason lama tak melihatnya. Dengan sentuhan cepat dari pengait di antara payudaranya, bra itu terbuka dan terlihat di depannya. Sam dengan cekatan melepas bra dan melemparkannya pergi, dan payudaranya bergoyang lembut oleh gerak itu, seolah-olah merayakan kebebasannya. Berdiri kokoh dan tegak, dengan areola berwarna merah muda menghadapi sedikit ke atas, dan tonjolan dari puting jelas ada ditengah-tengahnya. Jason hampir saja mengeluarkan suara saat ia mengambil napas. Benda itu terlihat luar biasa. Dia telah melihat gambar wanita telanjang sebelumnya, tapi ini adalah pertama kalinya ia pernah sedekat ini dengan payudara telanjang yang asli. Penuh dan bulat, ia ingin menjangkau dan menyentuhnya. Sam berada cukup dekat sehingga akan mudah melakukannya. Ada garis-garis samar di kulit gadis itu karena bekas tali dari bra-nya, dan dia mengusapnya tanpa sadar dengan jarinya. Dia memegang payudaranya lagi, melakukan gerakan yang sama yang ia lakukan ketika memakai bra, menonton dirinya sendiri saat dia menekannya bersama-sama ke atas. Jason menatap dengan penuh perhatian saat puting Sam mengeras sedikit, dan tumbuh memanjang. Dan kemaluannya mengejang tajam ketika ia melihat Sam menyelipkan tangannya ke depan, dan menemukan putingnya dengan ujung jari sambil meremas dengan lembut antara ibu jari dan telunjuk. Dia melihat Sam sedikit menggigil juga, dan mengangkat tangan ke rambutnya, merapikannya lagi.

Sam dengan cepat berpaling, mengaitkan ibu jarinya di sisi celana dalamnya, dan menyelinap mereka ke bawah pinggulnya, sedikit membungkuk. Jason dapat melihat sekilas ada rambut kemerahan menyembul dari bawah pantat saat gadis itu membungkuk, dan kemudian meluruskan tubuhnya lagi, membiarkan celana dalamnya jatuh di kakinya. Dengan gerakan yang terlatih, Sam menendang celana dalamnya hingga bergabung dengan teman-teman mereka di pojok kamar. Berjalan menuju pintu, Sam mengambil jubah merah muda dari gantungan di bagian belakang, dan menghilang ke lorong. Beberapa detik kemudian dia mendengar pintu lain ditutup. Itu terjadi begitu cepat, Jason tak mendapatkan kesempatan yang baik untuk memeriksa pantat gadis itu saat dia berjalan pergi. Jason mendengar air mengalir, dan menganggap itu adalah dari shower. Dia berpikir tentang fantasinya untuk melihat tubuh Sam penuh sabun, tapi tak tahu apakah itu mungkin sekarang. Sam mungkin telah mengunci pintu kamar mandi - adik perempuan Jason selalu melakukannya - dan bahkan jika adiknya tak menguncinya, ia tak yakin ia ingin mengambil risiko mencoba untuk membukanya sementara Sam berada di sana. Jason memutuskan dia akan menunggu di sini sampai Sam kembali. Karena, gadis itu tak membawa pakaian apapun ketika keluar, selain jubah, jadi Sam harus kembali ke kamarnya setelah dia selesai mandi. Mengambil kesempatan itu, Jason memutuskan untuk memeriksa kamar Sam. Meninggalkan tempat persembunyiannya, satu telinganya terus mendengarkan suara di kamar mandi saat ia melihat sekeliling. Ia berada di ruangan ini beberapa kali sebelumnya, kembali ketika mereka masih kecil. Mereka menghabiskan banyak waktu berbaring di lantai di samping tempat tidurnya bermain permainan papan dan kartu. Suatu kali mereka membangun tenda di tempat tidur menggunakan selimut dan dua sapu, dan berpura-pura mereka berkemah di hutan. Mrs. Scott membawakan sandwich dan kotak jus untuk makan siang, dan mereka memakan makanan perkemahan dalam kegelapan tenda mereka, berpura-pura ada beruang di luar dan menginginkan makanan mereka. Ketika menjadi terlalu pengap di bawah tenda, mereka menjulurkan kepala keluar untuk menghirup udara segar, berbaring berdampingan telungkup dengan tangan mereka memeluk satu sama lain. Dia tersenyum mengingatnya. Ada banyak lagi. Sam benar dengan mengatakan mereka harus ngobrol untuk tanya kabar masing-masing. Jason membuat keputusan untuk mencoba menghabiskan waktu dengannya akhir pekan ini. Meskipun, ia tak yakin ia bisa menghadapi Sam sekarang setelah melihatnya telanjang.

Sebuah bingkai foto di dinding menarik perhatiannya. Itu adalah bingkai kolase, dengan berbagai ukuran foto di dalamnya. Dia berjalan mendekat dan melihatnya dengan seksama. Itu semua foto Sam, diambil di berbagai usia. Ada dia ketika bayi, yang digendong oleh ibunya, dan di samping itu dia pada hari pertama masuk TK, tampak culun dengan pakaian sekolah barunya. Dia sudah memakai kacamatanya saat itu, tapi belum setebal beberapa tahun terakhir. Ada foto dirinya di pantai, dan Jason menduga Sam berada di kelas delapan pada saat itu. Dia mengenakan bikini mandi merah, dan bahwa tubuh kurus itu tak mungkin menjadi orang yang sama yang barusan telanjang di depannya. Di mana semua lekuk dan tonjolan itu berasal? Foto berikutnya membuatnya tersenyum. Itu adalah foto mereka berdua, duduk berdampingan di ayunan yang masih ada di halaman belakang rumahnya, sekarang berkarat dan tak terpakai. Mereka sekitar umur delapan pada saat itu, keduanya berpakaian seperti bajak laut. Atau, lebih tepatnya, bagaimana mereka berpikir bajak laut akan berpakaian. Mereka memakai bandana hitam, dengan penutup mata terbuat dari karton dan tali, dan mereka telah menggunakan make-up ibu Sam untuk membuat jenggot palsu. Rambut merah Sam yang liar itu mencuat dari bagian belakang bandana, membuatnya terlihat lebih seperti ayam jago dari pada bajak laut. Ayunan mereka ditarik bersama-sama, ditahan di sana dengan tangannya meraih ke belakang punggungnya dan memegang rantai di sisi jauh. Di sisi lain, ia memegang pedang plastik kecil di atas kepalanya. Lengan Sam dengan santai melingkar di leher Jason. Jika ia ingat benar, ayunan itu adalah kapal bajak laut mereka, dan setiap permainan bajak laut yang mereka mainkan adalah beberapa variasi dari Jason menyelamatkan dia dari bahaya. Dia telah membunuh penjahat rekaan dalam usaha menyelamatkan Sam, dan Sam selalu menunjukkan penghargaannya dengan memeluk Jason erat-erat ketika ia menyelamatkannya. Jason begitu asyik dalam kenangannya, sampai tak mendengar air telah dimatikan. Dia terkejut oleh suara pintu kamar mandi yang terbuka, dan hampir menjadi panik. Tapi dia bergerak cepat kembali ke tempat kedudukannya semula, tepat pada waktunya saat Sam kembali memasuki kamarnya, menutup pintu di belakangnya. Sekali lagi, Jason harus menenangkan napasnya sehingga Sam tak bisa mendengar.

***

Sam sekarang mengenakan jubah merah muda, dan rambutnya dibungkus handuk biru menyerupai sorban. Itu tampak sangat cocok untuknya, dan Jason pikir itu pastilah merupakan bakat bawaan seorang cewek untuk melakukannya, karena adiknya Jenny selalu tampak sama baik jika memakainya. Duduk di atas tempat tidur, Sam meminum jus jeruknya, dan melepas handuk dari kepalanya. Basah, rambutnya tampak lebih coklat daripada merah, tapi saat dia mengeringkannya dengan handuk, warnanya kembali. Sam mengambil sisir dari laci dan mulai menyisir rambutnya. Jason menyaksikan dengan tertarik. Itu tak sebagus ketika melihatnya telanjang, tapi masih tetap menarik menonton seseorang yang berpikir bahwa ia sendirian saja. Sam tampak begitu alami duduk di sana, dan ia merasa dekat dengannya. Ketika Sam menaruh sisir itu, ia mengambil sebotol lotion kulit. Perhatian Jason langsung meningkat. Ini pasti akan menarik. Melepaskan ikatan sabuk jubahnya, Sam mendorongnya dari kedua bahunya. Jatuh kembali di tempat tidur, meninggalkan dia benar-benar telanjang. Sam duduk menyamping darinya, dan Jason hanya melihat bagian sisi gadis itu, tapi tetap saja itu merupakan suatu profil yang sangat indah. Payudara Sam masih berdiri tegak, meskipun sekarang sedikit lebih jauh daripada tampilan close-up yang ia nikmati sebelumnya. Melihat ke bawah di antara kedua kaki gadis itu, Jason bisa melihat bagian atas rambut kemaluan Sam, warnanya indah, coklat kemerahan. Sam mulai menyebarkan lotion pada dirinya sendiri, menuangkan ke telapak tangannya dan mengoleskan ke kulitnya. Tangannya yang pertama, dan kemudian ia pindah ke payudaranya, memegang masing-masing di satu tangan sementara tangan lainnya meratakan lotion. Dia menghabiskan waktu ekstra pada putingnya, dan Jason bisa melihat puting itu mengeras lagi. Jason membayangkan dirinya menempatkan mulutnya pada salah satunya, dan merasanya mengeras pada lidahnya. Kemaluannya mengeras memikirkan itu. Aroma strawberry dari lotion sampai ke hidung Jason, dan ia menarik napas dalam-dalam. Tangan Sam pindah ke bawah, meratakan lotion pada perutnya dan kemudian ke bagian atas kakinya. Dia harus melebarkan kakinya sedikit untuk mencapai paha bagian dalamnya, dan Jason berharap ia sedang menonton dari sisi depannya. Kaki bagian bawah berikutnya, dan Sam menyandarkan pergelangan kaki masing-masing di lutut saat ia mengoleskan lotion pada kulitnya. Jason bisa melihat Sam melakukan ini sepanjang hari, tapi gadis itu sudah meletakkan lotion. Jason jadi bertanya-tanya, apa yang akan terjadi berikutnya. Apakah waktunya pakai piyama? Dia bertanya-tanya apa yang dipakai Sam untuk tidur.

Tapi Sam malah secara mengejutkan menata bantal, menarik penutup lampu ke bawah, dan berbaring di tempat tidur. Jason bertanya-tanya apakah gadis itu akan tidur, meskipun sekarang baru sekitar jam sembilan. Apakah Sam benar-benar tidur telanjang? Pikiran itu menggairahkannya. Tapi jika Sam tidur, mengapa tak mematikan lampu? Dari cara dia berbaring, Jason jadi mempunyai sudut pandang yang bagus di antara kaki Sam yang sedikit terbuka. Dia hampir bisa melihat garis bibir vagina gadis itu tepat di tengah rambut keritingnya. Jason berharap dapat melihat lebih dekat, tetapi memutuskan untuk tak mengambil risiko itu. Tangan Sam kembali ke payudaranya. Pada awalnya Jason berpikir Sam sedang menambah lotionnya lagi, tapi ternyata tidak. Sam menangkup kedua payudaranya dengan lembut, menelusurkan jari-jarinya melingkar lembut di sekitar areolanya, dan untuk ketiga kalinya sejak Jason menonton, putingnya menegang menjadi keras. Sam memainkan kukunya dengan ringan di atas tonjolan kaku itu, menjentikkan dengan lembut. Napas Sam meningkat, dan Jason baru sadar apa yang sedang dilakukan gadis itu. Dia masturbasi! Atau apa pun namanya ketika seorang cewek melakukannya. Gila! Penis Jason yang setengah keras, langsung jadi seperti batu. Jason sendiri telah melakukan ini sudah berkali-kali, dan dia mendengar cewek melakukannya juga, tapi ia tak pernah percaya. Tapi di sini sekarang, dia berada di barisan terdepan dalam menonton demonstrasi hal yang sangat pribadi. Sam mencubit putingnya, memilin di antara ibu jari dan jari telunjuk. Dia mengeluarkan erangan lembut dan meremas lebih keras, pinggulnya secara refleks bergerak dalam irama lambat. Mata Jason terbuka lebar, dan ia mencoba untuk meresapi setiap detail adegan di hadapannya. Dia ingin menyimpannya dalam memori, jadi dia bisa menariknya keluar kapan saja ia mau. Tangan Sam meluncur ke bawah perut halus dan menyapu ikal lembut rambut kemaluannya. Dia menangkupkan gundukan itu bersamaan saat kakinya membuka sedikit lebih lebar, dan ia memegang vaginanya seolah melindunginya, tangannya bergerak dalam lingkaran kecil yang lambat. Jari tengahnya terselip di antara bibir kemaluannya, dan dia mengeluarkan erangan tertahan. Kakinya membuka lebih lebar, dan dia menarik kakinya dan lututnya ke luar, memperlihatkan seluruh kemaluannya dihadapan Jason. Pinggulnya bergoyang dengan ritme lambat terhadap jari-jarinya, dan erangannya jadi lebih jelas.

Jason ingin lebih dekat. Sam mengeluarkan suara cukup banyak jadi suara kecil yang Jason buat tak akan ketahuan. Hati-hati ia melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, memastikan untuk tak membentur lampu dalam usahanya melihat lebih dekat. Mengambil langkah lambat ke depan, dia berdiri di kaki tempat tidur, menatap ke bawah antara kedua kaki Sam yang terbuka. Jari gadis itu bergerak dalam gerakan melingkar kecil, membuat suara-suara basah yang lembut. Dari sudut ini ia juga bisa melihat payudara Sam dengan lebih baik, mengawasinya bergoyang lembut saat tubuh Sam bergerak. Payudara itu sedikit jatuh kesamping saat tangan Sam yang lain sibuk bergantian mencubit di kedua putingnya, memilin dan meremas yang satu dan kemudian yang lain. Jason tak pernah tahu bahwa seorang gadis ingin payudaranya diperlakukan seperti ini, tapi yang jelas Sam menikmatinya. Merasa lebih berani, Jason memutuskan untuk lebih dekat dan diam-diam berlutut di kaki tempat tidur, membungkuk sampai dia hanya beberapa meter dari kaki Sam yang terbuka lebar. Jika Sam menendang salah satu kakinya, mungkin akan tepat mengenai wajah Jason, tapi itu kesempatan yang layak dicoba. Dia bisa melihat semuanya sekarang. Jason juga bisa mencium aromanya. Aroma seorang cewek yang terangsang bercampur dengan aroma stroberi dari lotion memenuhi penciumannya, dan ia berpikir bahwa ia belum pernah mencium bau yang senikmat itu. Jari Sam sekarang bergerak lebih cepat, membuat suara-suara keras yang basah saat jari itu meluncur naik turun di tempat yang sama. Jason bisa melihat lipatan merah muda di bagian dalam vagina Sam, basah dan mengkilap karena cairannya. Dia membungkuk lebih dekat, dan sekarang dia begitu dekat, ia bisa menyentuhnya. Jason bertanya-tanya bagaimana reaksi Sam jika ia memindahkan jarinya pergi dan menciumnya di sana, tepat di mana jari itu sekarang berada. Rasanya terasa seperti apa?
"Yeah," kata Sam lirih, hampir tak terdengar. Itu kata pertama yang Jason dengar dari gadis itu sejak ia ada di sana.
Pinggul Sam bergerak lebih cepat, menekan kembali dengan keras terhadap sentuhannya sendiri. Napasnya jadi terengah-engah, dan erangan kecil memenuhi ruangan itu. Jason mengamati jari-jari yang bertambah cepat, cairan yang basah menutupi permukaannya.
"Yeah, yeah, yeah, yeah," bisik Sam berulang-ulang, hampir seperti ia sedang membaca mantra.
Tiba-tiba tubuhnya menegang, otot-ototnya pengencang saat pantatnya naik dari tempat tidur. Kakinya melebar bahkan lebih luas dan vaginanya mendorong maju melawan gesekan jarinya.
"Yeah, yeah, yeah, oh Jason… Uuhhhhh..." kata-kata Sam melemah menjadi erangan kacau saat orgasme melanda membanjiri tubuhnya.
Jason tak bisa melepaskan pandangan mata darinya. Goncangan kenikmatan tampak jelas pada tubuh Sam dan wajahnya berkerut dalam ekstasi. Setelah beberapa saat, tubuh gadis itu turun kembali di atas tempat tidur, kakinya meluncur ke bawah selimut. Napasnya mulai melambat, dan ia tampak seperti dalam keadaan mimpi yang menyenangkan.

Jason masih tak percaya apa yang baru saja disaksikannya. Mantan partner bajak lautnya sewaktu kecil mendapatkan orgasme yang luar biasa tepat di depannya. Dia bertanya-tanya apakah ia akhirnya akan terbangun untuk menyadari bahwa sepanjang hari ini hanyalah sebuah mimpi yang fantastis. Napas Sam mulai teratur dan Jason tahu bahwa Sam sedang dalam proses untuk tidur. Sam bergerak sekali, menggeser tubuhnya dari posisi telentang, menjadi miring dengan kaki meringkuk ke atas. Pantat Sam menghadap ke arahnya, dan ia bisa melihat seberkas rambut kemaluannya lagi. Dia tampak puas berbaring disana, napasnya memasuki irama tidur yang tenang. Jason mengawasinya selama beberapa saat sebelum memutuskan sudah waktunya untuk pergi. Dia mengambil selimut di bagian bawah tempat tidur, dan menarik ke atas tubuhnya, menutupi sekitar bahu Sam. Gadis itu bergerak sedikit, menggumam sesuatu, dan kembali tidur. Membuka pintu pelan-pelan, Jason menyelinap keluar diam-diam di lorong, melihat untuk terakhir kali ke arah Sam sebelum menutup pintu di belakangnya. Saat ia berjalan kembali ke rumahnya, ia mencoba mengingat apakah ia telah mendengar kata-katanya dengan benar. Apakah Sam benar-benar meneriakkan namanya ketika ia orgasme?

BERSAMBUNG
By: S.Wolf