Senin, 29 September 2014

Fatal Frame XXX

Sebuah desa yang pernah menghilang ditelan kabut. Tempat bersemayamnya sebuah ritual berdarah. Kini kembali menampakkan kehadirannya. Lolongan serigala yang kelaparan kembali terdengar, ketika kupu-kupu merah kembali beterbangan. Raungan jiwa-jiwa yang tersesat... Jeritan penderitaan.. Kini terdengar dengan nada yang semakin meninggi. Beberapa puluh tahun sekali, sepasang anak kembar akan menyelesaikan ritual yang konon dilakukan untuk memenuhi hasrat roh-roh jahat yang bersemayam pada lembah neraka. Sebuah tempat sunyi kelam yang tersembunyi di salah satu sudut desa itu. Biasanya, anak yang terlahir lebih dahulu akan dianggap sebagai sang kakak. Namun, menurut kepercayaan para penganut sekte aliran hitam yang bercokol sekian lama di tempat itu, anak yang lahir lebih dahulu, justru adalah sang adik yang dibantu keluar dari rahim sang ibu oleh kakaknya. Mereka yang terpilih..sepasang anak kembar akan berkorban, demi hasrat iblis yang tak hentinya meminta tumbal. Ketika sebuah kain merah yang terjuntai menghubungkan mereka, ritual itu akan dimulai...

~*----------*~
Mio & Mayu
"Aaachhh mio..... terus... Ahhh..."
Di tepi sebuah danau kala sang surya telah membumbung di angkasa. Sepasang gadis remaja saling memuaskan hasrat. Cahaya matahari yang menyelinap di sela awan putih berarak, menerpa tubuh mereka yang saling merapat di atas rerumputan. Sebuah pohon yang tak seberapa besar, menjadi saksi bisu pergumulan mereka. Terlihat di sana, gadis berbaju merah dengan pita kecil tersemat di sela kedua payudaranya. Rambutnya panjang sebahu, tergerai lurus, tersibak desiran angin. Dialah Mio, remaja cantik dengan dada membusung, sedang memanjakan vagina saudara kembarnya yang berbaring seraya mencengkeram akar-akar pohon dengan kedua tangannya.
"Hihihi.... Udah keenakan ya...." Gadis itu mengangkat wajahnya yang sempat terbenam di sela kedua paha mulus milik saudara kembarnya.
Saudara kembarnya, yang memiliki wajah cantik serupa, kini mulai membuka kelopak matanya perlahan. kemeja merah dengan warna senada dengan yang dikenakan Mio masih dikenakannya kendati seluruh kancing yang menautkan kedua sisinya telah terlepas. Postur tubuhnya pun serupa, dengan dada sama besar yang membusung, mereka bagai pinang dibelah dua. Hanya model baju dan gaya rambutlah yang membedakan mereka. Rambut kedua gadis itu sama-sama tergerai sebatas bahu. Namun, jika Mio membiarkan rambutnya tetap lurus, lain hal dengan saudaranya. Rambut berwarna cokelat itu ia potong model shagy dan di blow mengarah ke dalam. Dialah Mayu, saudara kembar Mio.
"Yahh... Kok gak diterusin sih?" Mayu mengusap-usap klitorisnya yang berada di hadapan wajah Mio.
"Sama-sama dong sayang.... Kamu tuh maunya enak sendiri..." Mio kini menegakkan badannya.
Jemarinya yang lentik, dengan lincah meraih kancing-kancing berwarna hitam yang mengaitkan kemejanya. Perlahan, kemeja itu mulai terbuka. Dimulai dari kancing paling bawah, lalu keatas. Pita kecil berwarna merah itu ia tarik dengan sebelah tangan, dan diletakkan di rerumputan. Sepasang payudara ranum itu kini membusung bebas di tengah udara. Mempertontonkan puting mungil berwarna kemerahan yang telah mengeras. Mio mulai merangkak naik ke atas tubuh Mayu yang masih berbaring di tanah.
"Mmmhhhh...yyaahhh... Terus... Aaacchhh.."
Mayu menggeliang perlahan ketika Mio menyapukan lidah pada sekujur tubuhnya seraya merangkak naik. Payudara Mio kini menggantung. Ujung puting susu itu ikut membelai tubuh indah Mayu ketika ia merangkak.
"Ssshhh mmmhh....." Mio mendesah pelan merasakan sensasi ketika puting payudaranya bergesekan.
Mayu mulai merangkulkan kedua lengannya, meraba tubuh Mio yang sedang menghujaninya dengan berjuta rangsangan nikmat. Sebuah lecutan listrik pada otaknya, membuat tubuh Mayu menegang ketika bibir Mio mulai mengecup dan mengulum puting payudaranya. Mayu memejamkan matanya rapat-rapat. bibir bagian bawahnya yang mungil ia gigit dengan gemas. Desiran angin pegunungan yang sejuk, seakan membuai angannya agar terbang menjauh.

Mio memainkan lidahnya sejenak. Seakan mengundang puting susu Mayu untuk berdansa bersama lidahnya.
"Nnnggghhhhh..... Isepin toket aku Mio... Ahhhh....."
Mio mengecup lembut puting itu, lalu kembali beranjak naik.
"Mio..... Tega banget sih nyiksa akuuhhh.. Aaacchh..." Racauan Mayu ketika Mio beranjak dari payudaranya tiba-tiba berhenti.
Sapuan lembut itu kini meraih titik paling sensitif dari tubuh bagian atasnya. Mio tahu, saudaranya itu sangat senang jika lehernya dijamah. Dengan perlahan, lidah Mio menyapu leher jenjang saudaranya dari kiri ke kanan.
"Ooohhhh... Yesss.... Mio....."
Mayu mencengkeram kuat bahu saudaranya. Sapuan lidah itu kini berganti, menjadi sebuah kecupan lembut yang semakin menguat.
"Cupppp" kecupan itu meninggalkan rona merah yang sangat kontras dengan warna kulit Mayu.
"Enak kan???" Mio tersenyum puas memandang wajah Mayu yang tenggelam dalam hasrat birahi yang semakin memuncak.
"Hihihi.... Kamu emang paling ngerti aku kak..."
Wajah mereka saling berhadapan. Dua pasang mata berwarna cokelat kini bertemu pandang. Perlahan, saling mendekat. Senti demi senti, hingga jarak antara kedua bibir mereka sudah tidak ada lagi. Tubuh kedua insan itu kembali merebah, larut dalam pergumulan mengejar nafsu yang kian membara. Mio dan Mayu, sepasang saudara kembar itu mulai meraba tubuh pasangannya. Jemari lentik mereka mulai menjamah, mencari arah jalan pulang kedalam sebuah lorong sempit yang hangat.
"Aaaaahhhh..." Mio mendesah.
"Iyyyaaaaaahhh.... Disitu kak.... Masukinn...ahhh..." Mayu menyahut
Kedua tangan mereka kini telah menemukan pasangan hidupnya. Perlahan, Mio dan Mayu membuka paha mereka lebar-lebar. Rok bermotif kotak-kotak merah itu tersingkap. Membuka tabir yang menghalangi kedua vagina mereka dari pandangan. Mereka kembali larut dalam pagutan mesra, lidah mereka menarikan tarian abadi dalam rongga mulut mereka yang saling berhimpit.
"Mmhh....mmmhhhh..." Hanya gumaman kecil yang terdengar ketika jemari mereka mulai bergerak-gerak lincah di dalam liang persenggamaan yang kian basah.
Rongga itu mulai berdenyut, jemari tangan mereka dapat merasakan dengan jelas, hasrat pasangan mereka yang semakin memuncak. Tangan yang lain, seakan mengetahui apa yang menjadi kewajibannya. Mereka bergerak bersamaan, gerakan itu serupa, sangat presisi. Bagai bayangan yang bergerak di balik cermin. Kedua tangan itu kini meraih puting susu pasangannya. Sedikit gerakan mencubit, memutar, memilin, dan menarik-narik, membuat kedua insan itu kian terpacu untuk mempercepat kocokan pada vagina pasangannya. Badai lecutan listrik terjadi dalam kepala mereka. Dapat mereka rasakan dengan jelas, aliran hangat dari darah yang berdesir pada sekujur tubuh. Tengkuk mereka semakin hangat, berbanding lurus dengan suhu lidah mereka yang semakin liar bertautan.
"Aaaahhhh....ahhhh..." Mereka melepaskan pagutan itu, tak kuasa menahan desahan yang meronta ingin di dengar dunia.
Nafas mereka kian memburu. Kocokan pada vagina mereka juga kian cepat. Seiring dengan makin kuatnya denyutan vagina yang menjadi pertanda puncak kenikmatan itu semakin dekat.
"Aaaahhhhh....aaaaaaaaaaccchhh....." Mayu mendesah hebat. Diikuti oleh Mio dengan nada yang sama. Paduan suara mereka seakan menyanyikan sebuah lagu yang membuai nafsu mereka.
Tiga jemari kini mereka masukkan sedalam mungkin pada vagina pasangannya.
"Ooohhhhhh...... Sedikit lagi Mayu....aaaaahhhhh......." Mio mulai meracau.
"I-iyaahh..... Aku jugaaaa.........."
Jemari itu mereka tancapkan serentak. Sedalam mungkin, dapat mereka rasakan ujung jemari mereka menyentuh mulut rahim pasangannya. Ketika jemari itu mulai bergerak liar, lenguhan panjang terdengar.
"Kkyyaaaaaaaahhhhhh....." Mayu mendongakkan wajahnya.
"Aaakkhh...aaaaaaaaaahhhhhhh..." Diikuti oleh Mio.
Dari sela jemari yang masih menancap dalam vagina mereka, sepercik cairan hangat menyeruak keluar. Menandakan puncak kenikmatan yang telah mereka raih bersama-sama

~*----------*~
"Cantik banget......" Mayu yang sedang mengaitkan kancing kemejanya tiba-tiba berseru.
"Hmmm??? Apa?" Mio menoleh
Seekor kupu-kupu dengan warna merah menyala, kini terbang menghampiri mereka. Mata mereka seakan terhipnotis oleh kupu-kupu yang terbang seraya meninggalkan jejak cahaya merah di udara. Bagai seekor burung phoenix yang teramat cantik. Perlahan, kupu-kupu cantik itu mendekati Mayu.
"Kak.... Liat..." Mayu tersenyum riang.
Kupu-kupu itu kini hinggap di dadanya. Mio mandang takjub. Belum pernah sekali pun dalam hidup mereka, melihat kupu-kupu secantik itu. Namun, belum sempat mereka mengagumi keindahan kupu-kupu itu, ia menghilang. Bagai kemilau api yang terbang keudara. Kupu-kupu itu menguap, hilang tanpa bekas.
"Aaakkhhhh...." Mayu tiba-tiba memekik.
"Mayuuu....." Mio mengulurkan tangan meraih tubuh adiknya.
Sebuah bayang-bayang transparan kini terlihat melingkar di leher Mayu. Sebuah rantai mengikat lehernya.....
"Mayu..... K-kamu ngak apa-apa"
Mio terlihat panik, namun bayang-bayang transparan yang melingkar di leher Mayu kini memudar. Mayu masih terdiam. Mencoba mengatur napasnya yang sempat tercekik.
"Apa itu tadi??" Tanya Mio.
Mayu hanya menjawab dengan menggelengkan kepala. Ia sendiri tak tau pasti, apa yang barusaja terjadi pada dirinya. Dengan sebelah tangan, Mayu mencoba meraba lehernya. Namun ia tak menemukan apa-apa. Mio sudah sedikit tenang, ia kembali merapikan pakaiannya.
"Ya udah... Kita pulang aja yuk... Ngak enak lama-lama disini. Mayu mau makan a........" Mio menoleh kearah Mayu, namun saudara kembarnya sudah tak ada disana. "Pa......"
Mio menoleh kesegala arah, mencoba mencari kemana Mayu pergi.
"Mayuu....." Panggil Mio lirih.
Separuh kancing bajunya belum selesai ia kaitkan, Mio segera bangkit berdiri.
"Mayu......." Panggilannya kini sedikit agak keras. Mio mulai berjalan.
Mio berjalan ke arah jalan setapak satu-satunya yang menghubungkan danau itu dengan tempat tinggal mereka.
"Mayuuuuu....." Mio mulai putus asa. Ia berlari kecil untuk mengejar Mayu.
Ketika ia menyeberangi sebuah sungai kecil. Sosok Mayu terlihat berjalan diantara pepohonan hutan yang menjulang tinggi. Mio menyadari, Mayu tidak berjalan pulang.
"Mayuuu.... Kamu mau kemana?" Mio kembali melangkah, meninggalkan jembatan kayu kecil tempatnya berpijak.

Di kejauhan, Mayu melangkah dengan tertatih-tatih. Mio masih ingat betul, kecelakaan saat Mayu jatuh terperosok kedalam jurang ketika mereka bermain dahulu kala. Saat itulah Mayu mendapat cidera di pergelangan kakinya.
"Mayu... Tungguin aku....." Mio mencoba memanggil sekali lagi. Namun Mayu tak juga menjawab.
Mayu di kejauhan, tampak berbelok di pepohonan. Mio mengejarnya secepat mungkin. Langkah Mio berderap diantara pepohonan. Menerobos semak pendek sebatas mata kaki. Ia kini telah berdiri di tempat Mayu berbelok.
"M-Mayu....." Ucap Mio lirih.
Sosok Mayu kini terlihat sebagai perempuan yang mengenakan yukata berwarna putih. Di pinggangnya, sehelai kain merah menjuntai, nyaris menyentuh tanah. Mereka kini berada di tengah hutan. Mayu tetap melangkah, tak ada apapun yang menghalangi pandangan Mio dari sosoknya. Namun, ketika Mayu melangkah kedalam bayang-bayang pepohonan, ia lenyap.
"Mayuuuu......" Mio yang sempat diam, kini kembali mengejar saudara kembarnya.
'Ada apa sebenarnya.... Mayu kemana.....' Suara batinnya menggema.
Mio tak menyadari, didalam hutan itu tepat kearah ia berlari. Sebuah batu berukir teronggok di atas tanah. Langkah kaki Mio semakin mendekat, tiba-tiba...Cahaya matahari terik kini tak lagi terlihat. Bayang-bayang pepohonan kink berubah menjadi kegelapan total. Sunyi, bahkan serangga-serangga hutan tak menyerukan kehadiran mereka. Mayu melayangkan pandangan ke sekeliling tempatnya berpijak. Hutannya masih sama, namun keadaannya sungguh berbeda. Gelap, hanya seberkas cahaya temaram yang dapat membimbing langkahnya. Mio memandang ke langit. Siang telah berganti malam, matahari digantikan bulan purnama perak yang bersinar terang.
'I-ini dimana.....' batinnya bertanya-tanya.
Belum sempat ia mencari jawaban, sosok Mayu kembali terlihat. Mayu berjalan di tengah hutan, masih mengenakan yukata putih dengan ikatan selendang merah di pinggangnya.
"Mayu...." Mio mencoba memanggil, alih-alih suara lantang, yang terdengar dari bibir mungilnya hanya seperti bisikan lirih.
"Aku harus pergi...." Suara Mayu terdengar pelan sekali terbawa dalam hembusan angin.
'Apa yang dia pikirin sih.....' Batin Mio bertanya kembali.
"Mayuu......" Dalam tiap langkahnya, Mio berusaha memanggil Mayu.
Di sela pepohonan, sangat kontras dengan kegelapan malam, terlihat nyala api di kejauhan. Gemerlap cahaya kemerahan itu terlihat janggal. Belum pernah rasanya mereka mengetahui bahwa ada pemukiman di sekitar hutan itu. Mio kini tak lagi berlari, hanya berjalan cepat. Matanya kini menangkap siluet bayangan Mayu yang berdiri memandang kebawah sebuah tebing. Tebing itu tak seberapa tinggi, kira-kira lima belas meter tingginya. Mio sampai di sana. Sebuah ruang terbuka yang tak ditumbuhi oleh pepohonan, atau mungkin pepohonan disana telah ditebang habis. Di tengah lahan terbuka seluas empat ratus meter persegi, terdapat susunan beberapa buah batu besar, mirip stonehedge, hanya saja batu-batu itu berbentuk lebih meruncing. Keempat penjuru lahan itu diisi oleh obor besar dengan nyala api yang cukup terang. Dengan keempat kaki yang terbuat dari kayu, obor itu berdiri menerangi tiap sudut.

"Mayu... Ada apa?" Mio menghampiri saudara kembarnya yang sedang memandang ke bawah tebing.
Disanalah mata Mio menangkap pemandangan sebuah desa yang cukup luas. Tak terlalu banyak rumah yang berdiri di desa itu, namun kesemuanya memiliki ukuran yang cukup besar. Atap-atap bergelombang menghiasi tiap-tiap rumah berwarna kelabu, seakan baru saja dihujani oleh debu letusan gunung berapi.
"Aku ngak tau Mio... Dimana kita?" Mayu menoleh kearah Mio berdiri, wajahnya tampak sayu, nyaris tanpa ekspresi.
"A-aku belum pernah tau disini ada desa... Ngak ada yang pernah cerita...." Mio menggeleng, wajahnya tampak cemas.
Bagaimana tidak, mereka kini telah berdiri di tanah yang sama sekali tak di ketahui. Sosok rembulan yang bersinar terang sama sekali tak membantu, justru membuat mereka semakin bingung. Seolah mereka baru saja masuk dalam pusaran waktu. Beberapa menit yang lalu, mereka sedang asyik bercumbu dalam teriknya sinar matahari. Namun, kini mereka berada di tengah malam, disebuah desa entah dimana.
"Srinnnggg......" terdengar suara berdesing, seperti dua mata pisau yang digesekkan satu sama lain.
Sosok kupu-kupu merah itu kembali terlihat, kali ini di sebuah jalan setapak beberapa meter dari tempat mereka berdiri.
"Kita harus cari jalan pulang...." Mio berjalan mendekat kearah jalan setapak dimana kupu-kupu merah itu muncul. Sekali lagi, kupu-kupu merah itu menghilang.
Jalan setapak yang berkelok di hadapannya tampak mengarah ke pusat desa.
"Ayo kita ke sana.... Siapa tau kita bisa minta bantuan kepada penduduk..." Mio mengulurkan tangan ke arah Mayu yang berjalan mendekat dengan langkah yang masih tertatih-tatih.
Jemari mereka bertemu, saling menggenggam. Mio tak ingin jika sampai Mayu berjalan meninggalkan dirinya, ia harus bisa memastikan bahwa mereka dapat pulang dengan selamat. Langkah mereka kini membelah rerumputan yang tak seberapa tinggi, menyusuri jalan setapak menuju ke pusat desa. berjalan di antara pohon yang tinggi menjulang, Mio tetap menggengam pergelangan tangan Mayu erat-erat, membantu agar adiknya tidak sampai terjatuh.
"Mio......" Mayu berseru.
Sebuah benda berkilau terlihat diantara bayang-bayang pepohonan. Jari telunjuk Mayu kini ia arahkan kepada benda itu. Mio menoleh tanpa bertanya, ia bisa menerka bahwa Mayu baru saja melihat sesuatu. Mio menoleh menatap kearah yang ditunjukkan Mayu. Sebuah tas kecil berada di balik rerumputan, kilauan itu adalah pantulan cahaya bulan yang jatuh pada sebuah gantungan kunci pada tas itu.
"Punya siapa ya?" Mio bergumam.
"Mungkin punya penduduk. Bawa aja dulu, nanti kita kasih kalo ketemu seseorang..." Mayu menyahut.
Mio mengangguk. Ia mengulurkan tangan meraih tas yang ternyata berwarna hitam. Sesaat yang lalu, mereka pikir warna hitam itu hanya karena bayangan.

"Crek....." secarik kertas terjatuh dari dalam tas kecil itu, resleting tas itu rusak, sehingga kertas itu jatuh. Mio memungutnya, kertas itu tampak seperti sebuah koran yang disobek untuk membuat kliping.
"All God's Village" Mio membaca tulisan headline pada potongan koran itu.
"Apaan itu kak?" Tanya Mayu, namun Mio hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Mio meneruskan membaca secarik kertas yang digenggamnya.
'All God's Village.... Desa yang pernah hilang dari peta, sungguh aneh menyikapi fenomena ini. Bagaimana sebuah desa kecil dengan puluhan penduduk tiba-tiba lenyap tanpa bekas. Bangunan, penduduk, kuil-kuil, semuanya lenyap. Yang tersisa dari desa itu hanyalah hamparan tanah kosong tak berarti. Beberapa orang tim ekspedisi pernah mengutarakan niat untuk memecahkan misteri tersebut, namun tak satu pun dari mereka kembali. Desa yang menjadi saksi bagaimana kekejaman sebuah ritual sekte penganut ilmu hitam itu tetap menjadi misteri, mungkinkah suatu hari.....'
Kata-kata itu terpotong. Sepertinya masih banyak informasi yang seharusnya ada dalam artikel tersebut, namun apa daya, kalimat itu hanya sampai disana.
"Maksudnya?" Mayu mengerutkan dahi, ia sedikit berjongkok memperhatikan Mio yang mulai mengaduk-aduk isi tas kecil itu.
Dalam hati Mio kini tersimpan rasa penasaran yang mulai tumbuh, ia tak dapat menahan diri untuk tidak mengaduk-aduk isi tas yang bukan miliknya itu. Sebuah foto, dan catatan dengab tulisan tangan kini berada di genggaman Mio. Dua orang tampak dalam gambar itu, sepertinya mereka pasangan kekasih, atau suami-istri. Mio meletakkan kembali foto itu kedalam tas, lalu mulai membaca catatan yang masih berada di tangannya. Isi catatan itu berbunyi.
'Jangan sekalipun ada yang mencari kami, desa itu berbahaya... Lari... Anggota ekspedisi yang lain sudah tak akan kembali...'
Sekali lagi Mio memandang dengan rasa ingin tau. Mungkinkah desa yang sedang mereka tuju adalah desa yang 'konon' pernah hilang? Ia tak tau pasti, namun jika benar, maka mereka harus segera mencari cara untuk pergi.
"Mio....." Mayu kembali memanggil kakaknya.
"Mayu, kita harus cepat pergi.... Kita nggak boleh disini... Berbahaya, kamu jangan jauh-jauh ya..."
Raut wajah Mio terlihat cemas ketika mengucapkan kalimat itu.
Mereka kembali berjalan, menyusuri rerumputan menuju desa itu. Tas hitam kecil itu kini tersandang di bahu Mio. Tak seberapa jauh, hanya beberapa puluh meter lagi mereka akan sampai di desa itu.
"nnnggggiinggg..........." sebuah bunyi mendengung terdengar.

Desa itu telah nampak di mata mereka. Jalan setapak itu melebar, terhubung dengan jalan di antara rumah-rumah penduduk. Sesosok bayangan terlihat di kejauhan. Sosok tinggi mengenakan busana putih pada tubuhnya. Mirip dengan bayangan Mayu yang sebelumnya terlihat memasuki hutan.
'Kenapa Mayu pergi kesini?' Pertanyaan itu terlintas dalam benak Mio.
Mereka terus melangkah, bayangan itu bergerak memasuki sebuah rumah besar yang terletak di sisi kiri jalan. Rumah itu hampir seluruhnya terbuat dari kayu, dengan beberapa bagian tembok yang terbuat dari semen dan bebatuan.
"Ada orang... Ayo kita tanya...." Kata Mio singkat.
Gadis itu segera menarik tangan adiknya. Mereka berjalan perlahan menghampiri rumah itu. Di dalam bangunan besar yang memancarkan aura suram itu terlihat sebuah cahaya remang-remang. Mio dan Mayu menghentikan langkah mereka tepat di depan sebuah pintu berdaun satu yang terbuat dari kayu.
"Mio..... Kita harus gimana..." Suara Mayu terdengar lirih.
Di pundak kanan Mio, gadis itu merasakan Mayu meletakkan tangan pundaknya. Mio mengulurkan tangan membelai jemari-jemari Mayu. Namun tanpa ia sadari, ketika ia masih membelai jemari-jemari di pundaknya, Mayu melangkah mendekati pintu kayu itu.
'I-ini..... Sia.......siapa..?'
Raut wajah Mio berubah pucat, jemari di pundaknya masih ia rasakan. Tapi Mayu kini berdiri di hadapannya. Perlahan, jemari tangan itu menarik diri kebelakang. Dengan jantung berdebar cepat, Mio menoleh. Jantung Mio terasa melompat-lompat. Meronta ingin keluar dari relung dadanya. Napas gadis remaja itu tercekat sesaat ketika ia menoleh, mencari sosok yang memegang pundaknya. Mayu yang menyadari sesuatu telah terjadi, kini memalingkan pandangan dari pintu dihadapannya. Ditatapnya wajah Mio yang kini memandang kosong ke arah jalan setapak yang mereka lalui sebelumnya.
"K-kenapa Mio...?"
Mayu bejalan mendekat, menghampiri Mayu yang masih diam terpaku. Bola mata Mio menerawang, bergerak-gerak mencari sekelebat sosok yang sempat ia rasakan kehadirannya. Angin dingin kembali berhembus, menyibak rambut kedua gadis itu. Mayu terlihat cemas memandang Mio yang kini menundukkan kepalanya.
"Nggak.... Nggak ada apa-apa..." Mio berusaha tersenyum untuk menenangkan adiknya, walau ia sadar senyum dipaksakan yang tersungging di bibirnya tak akan membuat keadaan lebih baik.
Mereka kembali memandangi rumah tua itu, di sisi pintu kayu yang mulai lapuk terdapat sebuah papan kayu kecil bertuliskan 'Osaka'.
"Tok...tok...tok" Mio mencoba mengetuk pintu kayu itu dengan tangan kanannya. Di samping tubuhnya, Mayu merapat seraya memeluk lengan kiri Mio.
Tak ada jawaban.
"Ayo.... Kita masuk...." Mio meraih gagang pintu.
Mayu mencengkeram lengan Mio kuat-kuat, seakan memberi isyarat untuk tidak masuk ke dalam rumah tua itu.
"Nggak apa-apa.... Kalau dia marah, kita minta maaf....." Mio membelai jemari Mayu.

"Cekrekkk......" pintu kayu itu didorong oleh Mio dengan tangan kanannya. Mereka melangkah masuk.
"Nnnggiiinnngggg......." Bunyi mendengung itu kembali terdengar.
Mio menelan ludah. Ia masih belum mengerti, darimana asal suara yang membuat bulu tengkuknya berdiri. Mereka kini berada di beranda rumah itu. Di tembok sebelah kiri, terdapat jeruji kayu yang memisahkan tempat mereka dengan sebuah ruangan kecil. Di hadapan mereka sebuah pintu kayu kembali menyambut. Tak ada lagi keraguan untuk mundur, Mio kembali meraih gagang pintu berikutnya.
"Kriieeekkkkkkk....." Pintu itu berderit ketika Mio membukanya. Kali ini sebuah ruangan besar berada di hadapan mereka. Ruangan itu tampak jauh lebih suram dibandingkan dengan keadaan di luar rumah. Lantai-lantai kayunya sudah begitu lapuk. Debu tebal menutupi seluruh sudut yang bisa mereka lihat. Di sisi kiri ruangan itu, terdapat tangga menuju lantai dua, di tengah ruangan, sebuah perapian kecil teronggok dengan arang kayu yang sudah berwarna putih. Tampak sudah lama tak digunakan. Sementara di sisi kanan ruangan, terdapat sebuah lorong gelap dengan tirai lapuk yang menjuntai. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Kedua gadia itu berjalan ke tengah ruangan, menghampiri sebuah buku berwarna merah yang tergeletak di sisi perapian. Buku itu juga telah diselimuti debu tebal, sama dengan semua benda dalam ruangan itu.
"Pukk...pukk...." Mio menepuk cover buku yang tak seberapa tebal itu dengan tangan kanannya.
Halaman dalam buku itu mulai lengket satu sama lain. Namun tulisan di dalamnya masih cukup jelas terbaca.
'Aku tak bisa terus berada disini... Aku ingin pergi, tapi tak tau caranya.
Seluruh penduduk sudah kehilangan kewarasannya, sama seperti suamiku....'
Mio memandang halaman-halaman berikutnya yang masih kosong, beberapa lembar kertas yang mungkin ada tulisan lain sudah di robek, entah oleh siapa.
"Mio.... Ayo kita pergi aja.... Aku takut..."
Mayu tak berbohong, Mio dapat melihat dengan jelas raut wajah adiknya yang menyiratkan kecemasan.
“Mayu... Tadi kamu kenapa pergi ke dalam hutan?" Tanya Mio.
"Ehh?? Aku???" wajah Mayu terlihat bingung.
"Iya... Tadi kamu pergi ke dalam hutan, aku ngejar kamu... Tau-tau hari berubah malam, semuanya gelap... Kamu......." Mio sejenak ragu "aku liat kamu pakai yukata putih" akhirnya Mio melengkapkan kalimatnya yang sempat terputus.
"Yukata???... Masa sih?" Mayu mengerutkan dahi "aku nggak tau apa yang terjadi, tau-tau aku udah ada di tempat ketemu sama kamu..." Mayu mencoba menjelaskan.
Mio tampak tak percaya, namun masuk akal juga, bagaimana Mayu bisa meninggalkannya cukup jauh dengan keadaan kaki seperti itu, sedangkan Mio berlari cukup cepat untuk mengejarnya.
"Ya udah... Ngak usah dipikirin... Ayo kita pergi dari sini..." Mio bangkit berdiri, menyambar pergelangan tangan Mio, lalu bergerak menuju pintu tempat mereka masuk.
“Srekk.... Srekk....” Langkah kaki mereka membelah debu tebal yang menutupi lantai kayu lapuk di bawah telapak kaki mereka. Batin mereka masih bertanya-tanya. Bagaimana mereka bisa sampai di tempat ini.
“ceklek.....ceklekkk....ceklek...” Beberapa kali Mio berusaha membuka pintu itu, namun sialnya pintu itu terkunci. Mereka kini terkurung dalam rumah tua yang menyeramkan.

Deg.....jantung Mayu seakan berhenti. Ia yang sebelumnya sedang mengamati Mio, kini terjebak dalam bayang-bayang yang muncul dalam kepalannya. Suara-suara parau terdengar, ruangan dalam rumah ini tergambar jelas, hanya saja dalam warna yang jauh berbeda, abu-abu. Seorang pria berdiri di dekat perapian, di tangannya tergenggam sebuah parang besar. Mayat-mayat bergelimpangan disana-sini. Begitu juga dengan darah yang masih mengucur deras dari leher salah satu mayat. Seringai licik pria itu semakin membuat Mayu ketakutan. Mayu sama sekali tak dapat bernapas, ketika pria dalam bayangannya itu mendekati sosok seorang perempuan. Wanita itu tampak putus asa. Berulang kali ia mengulurkan tangan, seakan memohon ampunan. Alih-alih berhenti mendekat. Dari pria itu kini terdengar suara tawa penuh kepuasan. Parang besar itu diangkatnya tinggi-tinggi. Lalu diayunkan dengan cepat ke arah wajah sang wanita yang kini terbelalak. Tubuh Mayu bergetar, kendati bayangan itu telah menghilang, gadis berbaju merah itu masih tampak shock. Ingin sekali ia menceritakan apa yang baru saja ia lihat.
“M-Mio.....” Mayu mulai panik memandangi Mio yang terus berusaha membuka pintu masuk.
“terkunci.... kita harus cari jalan lain....” Mio terlihat mulai panik, karena sesungguhnya pintu yang
mereka lalui tak memiliki lubang kunci. Seperti ditahan oleh kekuatan yang tak terlihat.
“sringg........” suara bergemerincing kembali terdengar. Kupu-kupu merah itu kembali menampakkan diri di lorong gelap yang berada di sisi kanan ruangan besar itu. Mayu kini mengurungkan niatnya untuk bercerita.
“kesana....” Mayu berkata pelan, perhatiannya kini teralih pada sosok kupu-kupu merah yang terbang di lorong.
“ohhh .. nggak-nggak..... terakhir kali kita ngikutin kupu-kupu itu, kita malah terjebak disini... ingat?” Mio berusaha meyakinkan adiknya.
“kak..... kita ngak punya pilihan.... perasaan aku ngak enak....” Mayu merajuk, mencoba meyakinkan Mio untuk mencari jalan keluar yang lain.
Deg...Deg...Deg...Jantung Mio terpacu, ia masih ingat betul perasaan takut ketika ada telapak tangan yang hinggap di pundak kanannya.
“oke.....” Mio menundukkan kepala “kita cari jalan lain...”
“tapi........... jangan pergi lagi....” kali ini Mio yang mencengkeram pergelangan tangan Mayu.
Mayu hanya menganggguk.
Apa sebenarnya kupu-kupu merah itu, apakah ia adalah arwah yang berusaha menuntun mereka kesuatu tempat? Kenapa? Mereka mulai melangkah, menyusuri koridor gelap yang ternyata sangat menakutkan. Berkali-kali Mio mendelikkan matanya, memandang berkeliling, khawatir jika tiba-tiba ada sosok menyeramkan yang melompat ke arah mereka. Membayangkannya saja sudah membuat nyali mereka ciut. Kupu-kupu itu terbang ke sebelah kiri, di tengah lorong itu terdapat sebuah persimpangan. Arah kiri akan menuntun mereka memasuki sebuah lorong gelap lainnya, di ujung lorong itu terdapat sebuah pintu, sedangkan di arah kanan, terdapat sebuah tangga menuju lantai dua. Mungkin tangga alternatif selain yang terdapat di ruangan besar di depan.

“sreekkkk........” Mio menggeser pintu yang terdapat di ujung lorong. Sebuah ruangan yang cukup besar ada didalamnya. Tersekat oleh sebuah kelambu yang memisahkan ruangan itu menjadi dua bagian. Pintu tempat mereka masuk berada di bagian tengah ruangan, di sisi kiri, mereka dapat melihat sebuah taman dari jendela yang disekat dengan jeruji kayu. Mio melangkah masuk terlebih dahulu, disusul oleh Mayu di belakangnya. Mio memandang ke arah kanan, tempat yang tersekat oleh sebuah kelambu tipis itu terisi oleh sebuah rak buku yang berjajar di dinding, sebuah peti besar dengan ukiran etnik yang apik terlihat disana, berada di depan rak-rak buku yang tertutupi debu tebal. Namun tak seperti ruangan besar di depan, lantai ruangan itu cukup bersih dari debu. Mio melangkah mendekati peti berwarna hitam itu, di atasnya terdapat secarik perkamen, terlihat cukup tua karena perkamen itu mulai berwarna kekuningan. Mio membungkukkan badannya, meraih secarik perkamen lusuh itu, lalu membacanya. Sebuah tulisan tercetak pada lembaran perkamen lusuh itu.
‘camera Obscura...
Mata untuk melihat dunia lain...’
Di bawah dua baris tulisan itu terdapat beberapa instruksi untuk menggunakan kamera yang dimaksud.
Mio mencoba membuka peti kayu itu, benar saja, di dalamnya terdapat sebuah kamera tua berbentuk persegi, lensa dibagian depan kamera itu juga dapat memanjang layaknya kamera profesional. Yang membedakannya hanyalah bentuk perpanjangan lensa yang terlihat seperti piramid berundak dengan lensa lingkaran di puncaknya. Mio mencoba meraih kamera itu. Perlahan, jemarinya semakin dekat.
“aaaaarghh.......” Mio menarik tangannya. Sesaat sebelumnya, sebuah adegan terasa di putar dalam pikirannya.
Seorang pria tampak berdiri. Memandang dengan sorot mata penuh keingintahuan. Kamera obscura tergenggam erat di tangannya. Di hadapan pria itu, terdapat sebuah kuil tua entah dimana. Pria itu berdiri di pekarangan kuil, memandang lekat-lekat sebuah batu besar yang ditempeli jimat-jimat. Sebuah tali melingkar dibagian atas batu itu, mirip sebuah ikat kepala dengan kertas putih berbentuk zig-zag yang diikatkan pada tali itu. Pria itu mengangkat kamera yang digenggamnya, mengarah lurus ke tempat batu besar itu terletak. Ia mengintip, melalui cermin kecil yang terdapat di bagian belakang kamera itu.
“aaaaaaaaa.........” Pria itu menjerit.
Tubuhnya terangkat dari tanah, dapat ia lihat dengan jelas melalui celah kamera itu, puluhan tangan berwarna putih melesat berusaha menggapainya. Kamera itu terjatuh di tanah, sementara tubuh pria itu menegang, menggeliang penuh derita. Memperjelas maksud teriakannya.

“Mio..........” Mayu meraih pundak saudara kembarnya.
Mio sedang memegangi dahinya dengan sebelah tangan, seakan rasa sakit yang tak tertahankan baru saja menerpa dirinya. Namun Mio sadar, itu bukanlah rasa sakit. Rasa itu, adalah ketakutan. Mio kembali melirik secarik kertas yang didalamnya terdapat cara penggunaan kamera ‘obscura’. Ia mulai mengerti, mengapa pria dalam bayangannya itu berteriak. Kamera obscura adalah sebuah alat yang bukan hanya digunakan untuk melihat roh-roh gaib. Kamera itu juga dapat menyegel kekuatan arwah gentayangan yang ‘mungkin’ dapat melukai seseorang. Ya, kamera obscura adalah sebuah senjata. Mio meraih kamera itu, lalu menunjukkannya pada Mayu.
“ini kamera obscura...” Mio menjelaskan pada Mayu tentang kamera yang kini ia genggam dengan tangannya. “ini bisa membantu kita keluar...” lanjut Mio.
“kamu yakin?” Mayu mengepalkan tangan kanannya di dada. ia ragu, lebih tepatnya khawatir.
Bagaimana jika roh-roh jahat itu justru menyerang mereka karena memiliki kamera obscura.
“kita nggak punya banyak pilihan... aku sendiri juga nggak yakin... tapi apapun itu, kita harus coba..”
Mio bangkit dengan kamera obscura tergenggam ditangannya. “ayo... kita coba keluar....”
Mayu tak banyak bertanya, ketika Mio kembali meraih pergelangan tangannya, dan menariknya kembali ke ruang besar di depan pintu masuk.
“hufff.........” Mio menghela napas sejenak.
Jemarinya gemetar ketika gadis itu mencoba mengarahkan kamera obscura ke pintu masuk yang terkunci. Deg....Deg....Deg....jantung Mio berdebar kencang, sungguh rasa takut yang luar biasa ia rasakan ketika Mio berusaha memberanikan diri mengintip dari celah kecil pada kamera itu.
“hhhhhh.........” Napas Mio tercekat.
Mayu memandang saudaranya dengan tatapan penuh kekhawatiran. Dari celah kamera itu, Mio dapat melihat dengan jelas, sosok wanita yang berdiri di depan pintu masuk. Rambut hitam panjang tergerai lurus menutupi wajah dan dadanya, baju putihnya lusuh bersimbah darah. Matanya memandang angker dari celah antara rambut hitamnya. Namun yang lebih menakutkan lagi, kepala wanita itu terbelah.
“jepreeetttttttt.................” Mio menekan tombol pada kamera untuk mengambil foto wanita itu.
“kyaaaaaaaa...........................” kali ini giliran Mayu yang berteriak.
Sosok wanita misterius yang sebelumnya tak terlihat, kini terpantul jelas di bola mata Mayu.
“d-dia......diaa...........” Mayu mundur beberapa langkah.
Ia masih ingat betul, wajah wanita itu sama seperti wanita yang ia lihat dalam bayangan mengerikan itu.
Mio tak sempat untuk mengkhawatirkan apa yang dimaksud oleh mayu dengan kata ‘dia’. Perhatiannya kini ia curahkan sepenuhnya pada sosok mengerikan yang mulai mendekat.
“hi...hi...hi...” tawa menyeramkan itu terdengar, menggema berulang kali dalam ruangan kelam tempat Mio dan Mayu berdiri.
“m-mundur........” Mio menghardik pada sosok wanita misterius itu.
Ia mencoba mengarahkan kamera dalam genggamannya kepada sosok mengerikan yang bergerak semakin mendekat. Mio mundur beberapa langkah, jemarinya seakan kaku, tak sanggup menekan tombol kamera untuk mengambil gambar hantu yang mulai mengulurkan tangan pada tubuhnya.
“jedug..........” kaki Mio terantuk kayu, tubuh langsingnya terhuyung ke belakang.
“Mioo..........” Mayu dengan sigap berusaha menangkap tubuh kakaknya.
“bruuukkk........” Sepasang gadis itu kini tersungkur dilantai.
Debu-debu pekat beterbangan. Tangan wanita misterius itu telah menggapai baju yang dikenakan Mio.
“Aaaaarrrghhhhh.........” Mio memekik.

“ssssreeeeettt............” tubuhnya terangkat ke atas sesaat sebelum pakaian yang ia kenakan robek. Kamera yang sempat ia genggam kini terjatuh.
“bruuuukk........” Mio kembali jatuh mengantam lantai kayu. Tubuh mulusnya kini terpampang. Mayu kini berdiri, mencoba menerjang tubuh sang wanita misterius agar menjauh dari Mio. Namun bagai menerjang asap, tubuh Mayu malah terhuyung menembus sosok misterius yang ternyata tak mampu ia sentuh.
“Maaayuuu...........” Mio memekik, memandang tubuh Mayu kini terjerembab di tanah.
Sosok misterius itu mengalihkan pandangan pada sosok Mayu yang sedang berusaha untuk bangkit.
Tangan-tangan dingin yang sempat dirasakan Mio menyentuh tubuhnya, kini terulur pada Mayu.
“breeeekkkkkkkkkk...........” Dengan kasar, sosok misterius itu mencabik pakaian Mayu hingga bertebaran di lantai.
“Kyaaaaaaa................” Mayu memekik. Kedua tangannya kini ia silangkan di dada.
Mio memandang dengan ngeri ketika sosok misterius itu kembali mengulurkan tangan ke arah Mayu.
“Miiioooo............” teriakan Mayu kembali menggema.
Sosok wanita misterius itu kini menggenggam kedua tangan Mayu, lalu ia tekan ke atas lantai.
“hi.....hi.....hi.....”
Tawa mengerikan kembali terdengar dari sosok misterius itu. Sosok itu mendekatkan wajahnya ke arah payudara Mayu yang membusung keatas. Mayu mencoba meronta untuk melepaskan diri. Kakinya menendang-nendang ke segala arah. Namun, seperti yang sebelumnya, gerakan Mayu hanya menembus tanpa mampu melukai sosok misterius yang mulai menjamah tubuhnya.
“Aaaaaakkhhh..........” Mayu kembali memekik, kepalanya kini mendongak ke atas.
Rasa mendesir kini mengalir di seluruh tubuhnya ketika bibir dingin milik sosok misterius itu mengulum puting susunya yang mengeras.
‘a-apa....... ‘ batin Mio.
Matanya terbelalak melihat adegan panas yang diperankan oleh Mayu dan sosok misterius yang kini mulai menghisap-hisap payudara Mayu. Mio menoleh ke arah kamera obscura yang teronggok di atas lantai kayu. Ia segera meraih kamera itu, mengarahkan lensanya ke arah sosok misterius yang sedang mencumbui tubuh indah Mayu.
“jepreeeeet................” Mio menekan tombol kamera yang digenggamnya.
“kyaaaaahhhhhhhhh...........” sosok misterius itu memekik.
Tubuh abu-abu transparannya sempat berpendar biru terang sebelum akhirnya terlempar ke arah dinding dan menghilang. Menyisakan butir-butir cahaya biru yang terbang ke arah kamera obscura dalam genggaman Mio.
“ping......” kamera obscura berbunyi pelan, sebuah titik terlihat menyala di sebelah kiri dari celah pada balik kamera itu.
“Mayu.............”
Mio merangkak cepat menghampiri tubuh Mayu yang masih tergeletak di tanah. Mata Mayu terpejam. Dari bibir Mayu, Mio dapat mendengar suara desahan dan erangan lembut.

“nnnggghhh......ssshhh..ahhh....”
“Mayuuu...... sadar....” Mio mengguncang-guncang tubuh adiknya.
Perlahan Mayu membuka matanya. Alih-alih memandang sayu, mata Mayu kini terbelalak lebar.
Sosok misterius itu kembali. Kini sosok itu berdiri di belakang Mio yang sedang bersimpuh sambil mengulurkan tangannya.
“Aaaaaaaaaaaakkkkhhh................” Mio menjerit.
Tangan-tangan dingin itu kini meraih kedua payudaranya. Kamera obscura kembali terlempar dari genggaman Mio.
“hi......hi.....hi.......”
Mio dapat mendengar dengan jelas, sosok misterius itu tertawa di samping telinga kirinya.
“nnnnggghhhhhhh..........” Mio mengerang.
Sebuah lidah dingin kini menyapu lehernya yang putih. Seperti ditempeli es batu, Mio dapat merasakan rasa dingin itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia gemetar, kedua kakinya tak mampu lagi menopang tubuh indahnya. Mio kini berlutut diatas lantai. Jemari sosok misterius itu masih meremas kasar kedua payudaranya. Rasa takut sudah menguasai Mio, ia tak mampu bergerak, apalagi meronta. Mayu yang sadar akan keadaan Mio, segera meraih kamera obscura yang terjatuh. Gemetar, Mayu dapat merasakan dengan jelas, rasa takut yang sedang menerpa Mio. Ia berusaha mengarahkan kamera obscura dengan susah payah.
“pipp...pipp...pippp....”
Kamera obscura kembali berbunyi. Sebuah tanda merah bersinar di bagian belakang kamera itu. Mayu tak ambil pusing, ia mengumpulkan segenap keberanian, lalu menekan tombol di sisi atas kamera itu.
“CRAAAAAZZZZ.................” sosok misterius itu berpendar merah, cengkeramannya pada tubuh Mio terlepas.
“aaarrrghhhhhhhhhhhhhh.......” sosok itu mengerang kesakitan, seakan terbakar, tubuh sosok misterius itu perlahan menghilang.
“nggghhhh.........oohhh............” Mio masih mengerang di atas lantai. Tubuhnya terpampang jelas, raut wajah Mio terlihat aneh, seperti seseorang yang hampir merasakan kenikmatan.
“Mio.........” Mayu meraih tubuh Mio dan mendekapnya dalam pelukan hangat.
Mayu tau betul, perasaan seperti apa yang kini dirasakan oleh Mio. Gemetar kedinginan, namun penuh kenikmatan. Itulah yang dirasakan oleh Mayu ketika sedang dicumbui oleh sosok misterius itu. sungguh aneh, bagaimana ia bisa merasakan kenikmatan di balik rasa takut yang menyelubung.

“M-Mayu.........” Mio berkata lirih.
“ssshh.... sudah... nggak apa-apa.... aku tau rasanya......” Mayu mencoba menenangkan Mio yang masih gemetar ketakutan.
“bagaimana bisa?” Mio berkata pelan seraya berusaha berdiri.
Mayu membantunya berdiri. Kedua pakaian mereka kini sudah tak bisa mereka kenakan, tubuh molek kedua gadis itu kini terpampang di tengah ruangan gelap.
“aku nggak tau kak..... hantu itu aneh...”
“ayo kita keluar..........”
Mio menyambar sebuah kain yang menggantung dari langit-langit, kemudian menyobeknya menjadi dua untuk menutupi tubuh mereka.
“sringggggg............................” kupu-kupu merah kembali menampakkan dirinya.
Terbang ke atas melalui tangga di sisi kiri ruangan, kupu-kupu itu seakan membimbing Mio dan Mayu untuk naik ke lantai atas.
“kak..........” Mayu memandangi kupu-kupu merah itu.
“ayo kita ke atas..... kupu-kupu itu pasti punya maksud tersendiri.....” kata Mio.
Ia kini mulai menyadari, kupu-kupu itu membimbing mereka untuk keluar dari desa ini. Karena kupu-kupu merah itulah, mereka menemukan kamera obscura yang mampu melawan roh jahat. Dengan alasan itu, Mio dan Mayu mulai melangkah menaiki tangga kayu yang berderit di setiap langkah mereka. Di lantai dua, mereka menemukan sebuah pintu kayu. Sepertinya terdapat ruangan lain dalam rumah besar ini.
“sreekk.....” Mio menggeser pintu kayu itu.
Ruangan di dalamnya tampak lebih besar daripada ruangan tempat mereka menemukan kamera obscura. Ruangan itu terbagi menjadi dua segmen, yang dipisahkan oleh bilik yang dapat digeser. Di ruangan sebelah kiri, mereka dapat melihat keluar rumah melalui jeruji kayu yang menutupi jendela, di sebelah kanan, terdapat sebuah lemari besar yang pintunya dapat digeser. Di hadapan lemari itulah, Mio menemukan sebuah buku berwarna merah, mirip dengan yang ia temukan di ruangan bawah sebelumnya.
‘satu-persatu mereka saling bunuh....hasrat itu sungguh membuat orang-orang jadi gila. Aku ingin pergi...’
Lagi-lagi, halaman lain buku itu telah di robek, menyisakan halaman-halaman kosong yang tersisa.
Mio masih mengamati buku itu lekat-lekat.
“sebenarnya apa sih yang coba disampaikan buku ini.....” Mio menoleh kebelakang.

Mayu sudah tak ada di ruangan itu. Rasa khawatir kembali menjalar dalam tubuh Mio. Ia segera menghambur keluar ruangan. Ketika pintu kamar itu terbuka, Mio menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencoba mencari keberadaan Mayu. “srekkk......” sebuah pintu terdengar di geser. Mio berlari ke arah tangga tempat ia naik. Di sanalah ia melihat Mayu berjalan melalui pintu masuk dan menghilang.
“Mayuuuuuuu......................”
Mio beregas menuruni tangga. Ia khawatir, jangan-jangan Mayu akan pergi seperti sebelumnya.
“duk...duk....dukk...” Mio berlari cepat di atas lantai kayu. Debu-debu kembali beterbangan.
Dengan sebelah tangannya, Mio menutup hidung dan mulutnya, mencegah debu-debu itu agar tidak terhirup ke dalam paru-parunya.

~***~
Mayu

‘ikuti aku.....’ suara itu terus terngiang.
Membawa diriku pergi entah kemana. Aku hanya bisa mendengar Mio berteriak memanggil namaku, tanpa punya kekuatan untuk menjawab panggilan itu. Tubuh ini terasa hangat, ketika aku berjalan mengejar kupu-kupu merah itu. Namun, rasa dingin yang tiba-tiba datang membuatku ingin memekik. Seorang wanita berpakaian putih terlihat oleh mataku. Ia mengenakan yukata dengan noda merah disana-sini. Di pinggangnya, aku dapat melihat seuntai kain berwarna merah yang menjulur hingga nyaris menyentuh tanah. Ia berjalan pelan menjauh. Entah apa yang mendorong diriku untuk mengikutinya. Aku berbelok menuju sebuah lorong gelap. Tubuhku serasa diseret, aku mencoba mengambil alih kuasa atas kedua kakiku. Namun kakiku tetap melangkah mengikuti kemana wanita berpakaian putih itu pergi. Di sanalah, aku berdiri mengulurkan tanganku pada sebuah pintu besar. Entah kekuatan dari mana, pintu besar itu kudorong dengan mudahnya.
~***~

“Mayuuuuuu............” Mio menyeruak keluar dari rumah besar itu.
Kain yang ia lilitkan pada tubuhnya nyaris terlepas ketika Mio berlari mengejar sosok Mio yang terlihat di kejauhan.
‘b-bayangan itu lagi..........’ batin Mio seakan mengingatkan pemandangan yang pernah ia lihat sebelumnya.
Mayu terlihat mengenakan yukata putih, dengan kain merah terlilit di pinggangnya.
‘aku harus cepat...........’
“Mayu......................” Mio mencoba memanggil sekali lagi, sama seperti ketika ia mengejar Mayu yang berjalan memasuki hutan.
Mio berbelok pada sebuah persimpangan, sebuah lorong gelap telah menyambutnya. Namun tak ada waktu untuk ragu-ragu. Jika ia salah langkah, ia akan kehilangan Mayu, mungkin untuk selamanya.
“M-Mayu..........” mata Mio terbelalak ketika Mayu melangkah melewati sebuah pintu besar yang entah membawanya ke mana.
“Maaaayyyuuuuuu..................” Mio mempercepat larinya, kain yang melilit tubuhnya berkibar. Ia mencoba meraih tubuh Mayu yang tetap berjalan meninggalkan dirinya.
Pintu itu menutup pelan, jarak Mio dengan pintu itu masih tersisa sepuluh meter lagi.
“Tidaaaaakkkkkkkk............”
“Crek......” pintu itu berbunyi pelan ketika menutup.
“Aaaaarrghhh....uuuuggghhh....” sekuat tenaga, Mio berusaha mendorong pintu besar itu, namun pintu itu tak bergeming. Sama seperti pintu di dalam rumah besar yang sama sekali tak mampu ia buka. Kain yang Mio lilitkan pada tubuhnya terlepas. Tak kuasa untuk terus menempel ketika tubuh Mio mengguncang-guncang pintu besar dihadapannya. Tanpa ia sadari, tiga pasang mata sedang memandangi tubuhnya yang terpampang jelas di tengah udara malam. Bagai terhisap dalam pusaran air yang membeku. Tubuh Mio diam tak bergerak. Bibirnya tak mampu bersuara, kedua tangannya tak mampu meronta, kakinya tak lagi mampu berkelana. Hanya ada matanya yang memandang ngeri ke arah tiga sosok mengerikan yang mencumbui tubuhnya.
‘tidaaaakkkk..........’ batin Mio berteriak.
Ingin rasanya ia menggelepar bagai ikan yang kehilangan air. Ketiga sosok itu tak lain adalah arwah penghuni desa ini. Yang satu berperawakan tinggi kurus, lidahnya menjuntai melewati dagu, matanya hilang sebelah, tongkat yang dibawanya kini menyibak lipatan vagina Mio. Perlahan-lahan, sosok itu memutar-mutar tongkat yang terasa dingin namun lembut. Sosok yang lain sedang mengulum payudara kanan Mio dengan kasar. Mio dapat merasakan gigi-gigi taringnya yang tajam menancap dingin tanpa meninggalkan luka. Sabit yang dibawanya menghilang ketika jatuh di atas tanah. Sosok yang terakhir adalah yang paling menyeramkan. Sebuah parang ia genggam dengan tangan kirinya. Dengan tangan kanan yang bergerak bebas, ia menjambak rambut Mio. Memaksa gadis itu untuk menengadah ke langit ketika sosok itu melesakkan penisnya ke dalam bibir mungil yang bergetar kedinginan. Lantas apa yang membuatnya seram? Sosok itu tak berkepala. Tongkat yang menancap di vaginanya kini ditarik keluar. Sementara sosok tinggi kurus itu mulai memamerkan batang kemaluannya. Yah, mungkin itu batang kemaluannya.

Mio membelalakkan matanya. Memandang ngeri kearah selangkangan arwah tinggi kurus yang memamerkan batang kemaluannya. Penis itu........... bercabang dua.
“Aaaaaaaaaakkkhhhh..........” satu hentakan keras pada vagina dan anusnya membuat Mio memekik.
Liang senggama dan anusnya merekah ketika penis bercabang itu menyeruak masuk ke dalam, menyebarkan hawa dingin keputus asaan. Penis sosok tanpa kepala itu terlepas ketika Mio memekik tertahan. Kembali Mio merasakan jambakan yang membuat lehernya hampir patah.
“oohhkkk...oohhkkkkk......oohhkkk....”
Mio ingin menangis sekeras-kerasnya. Sama sekali tak pernah terlintas dipikirannya, bahwa suatu saat ia akan diperkosa dengan brutal oleh tiga sosok gaib yang kini menikmati tiap jengkal tubuhnya. Mio meronta, berharap mampu melepaskan diri dari jerat setan yang membelenggu tiap helai ototnya. Ia mencoba menendang kesana-sini. Namun ia menemui nasib yang sama dengan Mayu. Serangannya sama sekali tak mampu mengenai sosok-sosok yang terus menghujami tubuhnya dengan berjuta rangsangan.
‘kameranya..........’ batin Mio berseru.
Matanya mencoba melirik kesana-sini mencari keberadaan kamera Obscura. Satu-satunya harapan adalah dengan memotret kelakuan biadap yang dilakukan ketiga sosok gaib tersebut. Ia melirik ke kiri, memutar-mutar matanya, mencoba mencari keberadaan kamera itu. tubuh semi-transparan dari sosok tanpa kepala itu sedikit memudahkan dirinya. Namun tak ada apapun di sana. Ia beralih melirik sisi kanan, memandangi tiap jengkal payudaranya dilumat habis oleh taring-taring tajam yang terus menancap. Samar-samar Mio dapat melihat puting susunya yang mengacung tegang. Sungguh ironis, saat dirinya diperkosa habis-habisan, puting susu itu begitu menikmati tiap sapuan dingin yang mendarat di atasnya.
‘itu dia............’
Batin Mio ingin bersorak. Ia telah menemukan kamera obscura, tergeletak dibalik tubuh bungkuk yang sedang mengulum payudaranya. Namun akal sehat Mio membuat kesenangan batinnya sirna. Kamera itu tergeletak cukup jauh untuk ia gapai dengan tangannya.
“ooohhkkk....ohhhkkkk...ohhkkk.....”
Bibir mungilnya terus menjadi sasaran memuas nafsu hantu tanpa kepala. Mio mencoba menggelepar, menggerakkan tubuhnya untuk mendekat ke arah kamera obscura. Perlahan-lahan, ia mendekati kamera itu. tangan kanannya ia ulurkan sejauh mungkin. Jemari lentik miliknya menggapai-gapai, mencoba meraih secercah harapan yang tersisa.
“Ooooooorrrrhhhh........” sosok yang menghujami vagina dan anusnya mengerang hebat.
Gerakan tubuhnya bagai banteng liar yang berusaha menjatuhkan seorang koboi dalam arena rodeo. Sialnya, Mio mulai merasakan getaran-getaran hebat yang menjalari seluruh tubuhnya. Untungnya, hujaman-hujaman pada vaginanya membuat tubuh Mio bergeser semakin dekat kearah kamera yang coba ia raih.
‘sedikit lagi......sedikit lagi......’
Jarak antara jemarinya dengan tombol kamera itu hanya tersisa beberapa senti.
“jepreeeeeetttttt..............”
Tombol mungil itu akhirnya ditekan. Mio meringis ketika penis bercabang yang menancap di vagina dan anusnya tercabut tiba-tiba.


“Grooooaaaaaaaa...............”
Ketiga sosok yang menyetubuhi Mio terpelanting ke belakang. Mereka memekik menahan api merah yang mulai membakar tubuh mereka sedikit demi sedikit. Mio merangkak, mencoba meraih kamera obscura dengan tangannya dan bergerak menjauh. Tubuh sintalnya masih tak tertutup sehelai benang pun. Payudaranya berayun-ayun ketika Mio mulai melangkahkan kakinya. Ketiga sosok hantu itu mulai menguasai diri. Mereka mengejar Mio dengan tubuh yang masih terbakar api. Deg.... Deg.... Deg....
Mio mulai ragu, ia harus memutuskan apakah ia akan lari meninggalkan Mayu atau melawan ketiga sosok hantu itu sendirian.
“aaaakkhh.........” Mio menjerit.
Kaki kirinya baru saja dicengkeram oleh sesuatu yang dingin. Sesuatu yang memiliki aura jahat.
Rupanya sosok tanpa kepala itu mampu bergerak dengan sangat cepat, hingga Mio tak sempat melarikan diri. Mio jatuh terjerembab. Payudaranya terasa nyeri karena menghantam tanah. Mio membalikkan badan, ia meronta, mencoba melepaskan kakinya dari cengkeraman hantu tanpa kepala yang mengerikan. Kamera obscura masih tergenggam erat di tangannya. Sebuah sabit putih transparan melesat dan menancap di bahu kiri Mio.
“Aaaarrghhhhh..........” Mio kembali memekik.
Bukan rasa sakit yang menyebabkanya menjerit, namun hawa dingin yang menusuk hingga ke tulangnya dan membuat bahu kirinya tak mampu bergerak. Mio mengarahkan kameranya ke arah tiga sosok itu.
“cekrekk....cekrekkk....cekrekkk............” berulang kali ia menekan tombol, namun tak terjadi apa-apa,
film dalam kamera itu telah habis.
“TOLOONNNNGGGGG....................” Mio menjerit sekeras mungkin.
Mio meronta, walau ia tau tak akan banyak pengaruhnya. Ia mencoba melepaskan diri, namun jerat cengkeraman dingin pada kakinya terlalu kuat. Sosok yang melemparkan sabit kini menyeringai lebar, memamerkan gigi taring panjang yang berderet tak beraturan. Api merah yang membakar ketiga sosok itu mulai menghilang. Sosok dengan penis bercabang kini memutar-mutarkan tongkat dalam genggamannya. Siap menghujamkan sebuah pukulan yang dapat membuat kesadaran Mio menghilang. Tanpa sadar, Mio menitikkan air mata. Ia sudah siap dengan takdir yang akan ia alami. Diperkosa oleh tiga sosok gaib hingga mereka puas, hingga tubuh Mio terbaring kaku tak berdaya. Hingga jantungnya berhenti berdetak karena hawa dingin yang menusuk.
“grooaa......”
Sosok dengan penis bercabang kini mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Mio membelalakkan mata, bersiap menerima hantaman telak pada dahinya.
“CRAAAAAAAAAAAAAZZZZZZZZZZZ.................. .”
Ketiga sosok hantu itu kembali terpelanting, kali ini lebih jauh dari sebelumnya. Api biru yang berkobar membakar tubuh mereka tanpa ampun. Ketiga sosokitu meronta, bersujud, berguling-guling. Memohon agar api biru itu mengampuni perbuatan mereka. Perlahan-lahan, sosok mereka lenyap. Hancur terbawa angin, sama seperti sosok hantu wanita dengan kepala terbelah yang pernah di hadapi Mio dan Mayu. Mio membelalakkan mata. Tak terbesit sebuah gagasan, mengapa hal itu terjadi. Hingga sebuah telapak hangat mendarat di bahunya.

“kamu ngak apa-apa?” sapa seseorang.
Mio memandangi sosok itu. rupanya dialah yang telah menolong Mio agar lolos dari maut. Ia adalah seorang gadis, mungkin sebaya dengan Mio dan Mayu. Rambutnya berwarna cokelat muda diikat kuncir dua di sisi kanan dan kiri kepalanya. Sebuah kamera obscura digenggamnya erat-erat, sangat mirip dengan kamera milik Mio namun dengan beberapa perbedaan pada detail designnya. Tubuh gadis itu hanya di balut oleh sebuah kimono lusuh berwarna cokelat yang berlumuran bercak darah disana-sini.
“i-iya..... kamu yang nolong aku?” Mio berusaha bangkit, lalu membersihkan kulit tubuhnya yang kotor oleh debu dan tanah. Hingga ia sadar, bahwa dirinya sedang tidak mengenakan busana sama sekali.
“kyaaa...........” Mio terbelalak, lalu berusaha menutup payudara dan vaginanya dengan telapak tangan, walau ia sadar itu sama sekali tak ada artinya.
“hahaha......... sudah-sudah... kita kan perempuan, nggak usah malu....” gadis penolong itu memungut segelai kain lusuh yang tergeletak di tanah, lalu menyerahkannya pada Mio untuk menutupi tubuhnya.
“m-makasih banyak.........” Mio segera melilitkan kain itu, mukanya bersemu merah.
“aku Mio....... Mio Amakura......” lanjut Mio.
“Miku....... Miku Hinasaki, panggil saja Miku....” gadis penolong itu menjabat tangan Mio.
“ayo ikut aku, kita cari pakaian yang lebih pantas.....”
Mio sempat ragu-ragu. Apakah sosok Miku benar-benar manusia seperti dirinya, ataukah hanya hantu yang menyamar. Namun ia tak punya pilihan selain berpikir positif, toh Miku telah menolongnya, ia juga memiliki kamera obscura, kecil kemungkinannya bahwa Miku juga adalah roh jahat seperti yang lain, Akhirnya Mio mengikuti kemana Miku berjalan, mereka memasuki sebuah gudang kecil tak jauh dari tempat Mio berusaha meloloskan diri dari kejaran tiga sosok mengerikan yang berusaha memperkosa dirinya. Di dalamnya, Miku menemukan sebuah kimono lusuh berwarna hijau lumut.
“ini..... pakai ini saja, jauh lebih baik daripada kamu pakai kain itu...” Miku menyerahkan kimono hijau itu kepada Mio.
“sekali lagi terima kasih banyak... Miku...” Mio menerima kimono itu, lalu segera mengenakannya. Sementara itu, Miku masih mengaduk-aduk sebuah kotak penyimpanan, berharap menemukan kimono lain untuk mengganti kimono dengan bercak darah yang ia kenakan. Tanpa ragu, Miku menanggalkan kimono berdarah yang ia kenakan. Memperlihatkan lekuk tubuh sempurna bak seorang ratu pada Mio. Rupanya, Miku juga tak memakai pakaian lain selain kimono berdarah yang membungkus tubuhnya.
“glek...........” Mio menelan ludah memandang kearah payudara Miku yang berukuran cukup besar.
Ia mendekap payudaranya sendiri, meremasnya perlahan. Lalu ia sadar, bahwa ia iri dengan ukuran payudara Miku.
“kamu kenapa?”  Miku mengerutkan dahi ketika memandangi perangan Mio yang aneh.
“n-nggak..hehe....” Mio segera melepaskan cengkeraman pada payudaranya sendiri, lalu menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung. Wajahnya seketika memerah.
“memangnya ada apa dengan toketmu?” tanya Miku.

“squeezzzeee.....squezzzeee.....” tanpa sebuah peringatan, tangan Miku kini meremas payudara Mio perlahan.
“Eeeeekkkkkkk............” Mio mundur selangkah, lalu menyilangkan tangan di dada. wajahnya semakin memerah, jika di biarkan beberapa lama lagi mungkin Mio akan pingsan karena jantungnya yang berdebar cepat.
“lhoo...... kok kabur?” Miku merapihkan kimono biru yang ia temukan.
“ihhh...... kamu sih tiba-tiba remas toket aku........”
“haha.... aku kira kenapa...”,”sesama perempuan ngak perlu malu, kan sudah punya masing-masing...”
“i-iya.....”
Selesai mengenakan pakaian yang lebih ‘pantas’ kedua gadis itu kembali melangkah keluar dari ruangan kecil tempat mereka menemukan kimono.
“jadi...... siapa kamu?” tanya Mio. Kalimat itulah yang sedari tadi ingin meluncur keluar dari bibir mungilnya.
“aku Miku.... kita kan sudah kenalan...”
“eehm... bukan itu, kenapa kamu disini?”
“ohhh.....”Miku mendelik, matanya tiba-tiba terbelalak ketika melihat tas kecil yang disandang Mio di bahunya. “lohh......... ini kan punya Mafuyu........” lanjutnya.
“Mafuyu??”Mio mengerutkan keningnya.
“dimana kamu temukan tas ini Mio?” Miku bertanya dengan antusias.
“di jalan setapak menuju kesini.... apa kamu kenal pemilik tas ini?”
“kenal.............”

-------------------------
Miku
Miku
Mungkin tak ada kata yang dapat menggambarkan apa yang kurasakan saat ini, selain ketakutan tentunya. Dengan modal kepercayaan diri yang lebih tepat untuk di sebut ‘nekat’, aku berjuang mencari Mafuyu, kakakku yang hilang ketika mendatangi Himuro Mansion. Tempat itu adalah rumah dengan aura mistis yang kuat. Tempat dimana terjadi pembantaian besar. Di sanalah aku menemukan kamera obscura yang dibawa oleh Mafuyu, kamera ini sebelumnya adalah milik ibuku Miyuki. Kamera obscura dikatakan memiliki kemampuan untuk melihat apa yang tidak bisa di lihat oleh mata biasa. Tadinya aku mengira hal itu hanyalah sebuah cerita rakyat atau mitos.mungkinkah kamera seperti itu ada, tapi mengingat ibuku memiliki indera ke enam, aku mempercayainya. Setelah mengalami kejadian mengerikan yang tak mampu kuceritakan, aku akhirnya menemukan sebuah fakta, bahwa Kirie, hantu wanita yang mati mengenaskan di Rope Palace sedang mencari Mafuyu. Kirie, meninggal dalam sebuah ritual yang entah apa maknanya. Kepala, kedua tangan, dan kedua kakinya telah terpisah dari tubuhnya. Menandakan sebuah ritual pengorbanan paling mengerikan telah ia jalani. Akhir perjalanan membawaku bertemu dengan Mafuyu. Saat itu kami berada di sebuah gua, Kirie yang dikenal sebagai Shrine Rope Maiden, akan mengakhiri ritual. Ia mengikat seluruh tali pusaka yang mengikat tubuhnya agar tak lagi terlepas. Dinding-dinding gua berguncang, bergetar seakan ingin runtuh dan menimbun kami. Aku berlari bersama Mafuyu untuk menyelamatkan diri. Namun di dalam pelarian kami, Mafuyu menghentikan langkahnya.
“aku tidak bisa meningalkan Kirie sendirian... aku harus menemaninya menjalani penderitaan yang tak berkesudahan....”,”pergilah Miku.... selamatkan dirimu....”
Saat aku keluar, saat itulah aku memandangi jiwa mereka yang terperangkap di Himuro Mansion terbang ke angkasa. Aku mulai menjalani hari-hari baru, bekerja sebagai asisten fotografer freelance. Sejak saat itu, aku tak lagi bisa melihat apa, yang tak di lihat oleh orang lain.

-----------------------------------
“m-maaf.... aku tidak bermaksud...” Mio membungkukkan tubuhnya meminta maaf
“yah.... tidak apa-apa kok...” gadis cantik itu tersenyum pada Mio. Parasnya yang anggun sungguh tak menyiratkan bahwa ia pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
“lalu.... kenapa kamu bisa ada disini Miku?”
Miku menggeleng pelan, raut wajahnya berubah sendu. “entahlah.... aku sendiri belum pernah kesini sebelumnya, tempat ini asing...”,”aku sedang tidur... dalam mimpiku, aku melihat bayangan wanita dengan kimono putih berjalan ditengah hutan, aku mengikutinya dan sampai disini...”
Mio seakan tak percaya. Bagaimana mungkin Miku bisa terjebak besama dirinya. Apakah semua ini hanya sebuah kebetulan semata? Ataukah keharusan yang tak terelakkan
“lalu.......” lanjut Miku “aku melihat Mafuyu..... dia berjalan di samping wanita itu”
“hhhhhh......” Mio menghela napas sejenak.
“kita senasib Miku.... kita ngak mau kehilangan seseorang yang amat berharga, tak ingin berpisah walau sesaat” lanjutnya.
“yah... aku pikir juga begitu.... aku cuma ingin bertemu Mafuyu.... sekali lagi”
Keduanya terdiam. Mio menatap sejenak pada jalan menuju pintu besar tempat Mayu menghilang.
“lihat..... pintu itu dijaga kekuatan roh... kamu ngak akan bisa membuka pintu ini kalau belum menemukan ‘kuncinya’” Miku mengarahkan telunjuknya pada pintu yang kini berpendar kebiruan.
“kunci?” Mio mengerutkan dahinya. Sebelumnya, ia sempat menemukan pintu seperti ini di dalam Osaka House. Namun pintu itu dengan mudah dibuka hanya dengan memfotonya saja.
“coba kau foto pintu ini...” perintah Miku.
Mio merogoh tas kecil milik Mafuyu tanpa banyak bertanya. Camera Obscura kini tergenggam di tangannya. Ia mengintip dari celah viewfinder lalu mengarahkannya para pintu.
“cekrek....” tombol shutter telah ditekan.
Kini, sebuah bayangan terlihat pada celah viewfinder. Sebuah sumur dengan ember yang tergantung pada atap yang menaunginya.
“apa yang kau lihat?” tanya Miku.
“sumur.... sebuah sumur tua, ada ember tergantung di atasnya....” jawab Mio.
“itu artinya kamu harus cari tempat itu, lalu kamu foto, baru pintu ini bisa dibuka...”
Mio mengerutkan dahinya lagi dan lagi. Seakan begitu takjub tentang pengetahuan yang dimiliki Miku tentang dunia antah berantah tempatnya terdampar bersama Mayu.
“tapi dimana? Tanya Mio.
“sebentar lagi juga tahu.......”

Tepat setelah Miku selesai berbicara, sebuah suara dengung terdengar.
“siiiinngggggggggg....................” Kupu-kupu merah kembali menampakkan kehadirannya.
“tuh... betul kan?” Miku tersenyum.
“curaaanngg.... kamu kok tau semuanya sih?” Mio memajukan bibirnya.
“hihi... namanya juga pengalaman...”
“kalo begitu, kamu harus tolongin aku nemuin Mayu...”
“Mayu?”
“iya... dia saudara kembarku, aku dan Mayu terjebak disini.... aku harus selametin dia....”
“selamatkan? Maksud kamu Mayu masih hidup?”
“ehhh??”
“m-maaf.... bukan begitu maksudnya.....” Miku sadar, ucapannya tadi tak seharusnya dikatakan begitu gamblang. “maksud aku....ehem..... gini... Mafuyu itu udah meninggal kan? Aku pikir kamu mau ketemu sama roh Mayu.... begitu”
“bukan.... bukan gitu... aku kejebak disini ngak sengaja... Mayu bilang dia ngeliat cewe... pakai yukata putih, trus dia ngikutin kesini.... trus..... dia pergi kebalik pintu....”
“ohhh jadi itu alasan kamu mau kesana.... bilang dong.....”
“jadi kamu mau kan bantu aku temuin Mayu....” Mio merajuk. Kedua tangannya kini mencengkeram kuat kimono yang dikenakan oleh Miku.
“i-iya.... jangan tarik-tarik, nanti lepas....”
“hehe... maaf...”
Miku membetulkan posisi kimononya yang sedikit berantakan karena ditarik oleh Mio. Pikirannya yang sempat tertuju pada Mafuyu seorang, kini mulai beralih pada gadis dengan mata berbinar yang membutuhkan pertolongannya. Terlebih karena di desa itu ada seseorang ‘hidup’ yang berusaha diselamatkan oleh Mio. Ia kini tak punya banyak pilihan. Lagipula, mendengar ucapan Mio bahwa Mayu mengikuti wanita beryukata putih, membuat Miku sadar bahwa tujuan mereka mungkin searah.
“ya sudah... ayo kita ikutin kupu-kupunya...” Miku yang sudah selesai membereskan kimononya, kini membalikkan badan. Menghadap ke arah kupu-kupu merah yang terbang kian menjauh.
“mmhh.... iya...”

~***~

Mereka berjalan cukup jauh, melewati lorong yang sempat dilalui Mio sampai ketempat itu, berbelok lalu sampai di persimpangan jalan tepat di pintu masuk Osaka House. Sempat terpikir oleh Mio, apakah tangan dingin yang menggengam bahunya adalah tangan Miku.
‘ahh.. bukan... tangan Miku hangat... nggak dingin seperti itu’ batin Mio. Ia masih ingat betul suhu tangan Miku ketika payudaranya diremas. Mengingat hal itu, hasrat Mio mulai bergejolak.
Mio bukanlah gadis yang memiliki kelainan sex atau cenderung memiliki orientasi lesbi. Baginya, mau pria atau wanita, yang penting bisa saling memuaskan. Mungkin itu semua terjadi karena Mio selalu mandi bersama dengan Mayu, entahlah. Orang bilang istilahnya bisex.
“itu sumurnya......” Miku melihat sebuah sumur yang cukup tua namun ciri-cirinya serupa dengan yang disebutkan oleh Mio.
“jadi... aku harus foto sumur ini?”
“yup.... ayo cobain....”
Mio mengarahkan kameranya, mengintip melalui viewfinder, lalu memotret sumur itu. Sebuah bayangan lain lagi-lagi terlihat. Gambar pintu besar yang sempat tak bisa dibuka, kini terlihat terbakar dengan nyala api berwarna biru terang.
“pintunya terbakar.....” kata Mio.
“ya.... itu artinya udah bisa dibuka...” Miku menyahut.
“yang bener.... yaudah, ayo kesana Miku.... siapa tau kamu juga ketemu Mafuyu di tempat Mayu...”
“oke.... kita ngak boleh buang waktu....”
“CLAAAAANNGGG.............” sesaat setelah langkah kaki mereka yang pertama sebuah bunyi nyaring terdengar dari sebuah ruangan tak jauh dari tepat mereka berdiri.
Keduanya menoleh, perasaan Mio kembali dirundung ketakutan. Mungkin ia masih trauma dengan kejadian dirinya hampir diperkosa oleh tiga sosok menyeramkan itu. namun kali ini situasi dan keadaannya jauh berbeda. Tak ada rasa dingin yang ia rasakan. Bulu kuduknya juga tidak berdiri. Sementara Mio sempat was-was. Miku terlihat tenang-tenang saja, seraya memandang ke arah kamera Obscura miliknya.
“i-itu apa.....Miku...” Mio mendekat, merangkul lengan kanan Miku dengan erat.
“aku nggak tau Mio... yang pasti bukan hantu lagi...” Miku menyahut.
“kok kamu yakin?”
Miku memandang wajah Mio yang sedikit ketakutan. Matanya yang cokelat sama sekali tak menyiratkan rasa takut. Bukan karena ia telah lebih berpengalaman, namun karena kamera Obscura tidak pernah berbohong.
“kamu tenang aja Mio... ini namanya ‘sense’.... lihat..”
Miku menunjukkan sebuah filamen yang tersemat di sebelah kanan viewfinder kamera Obscura miliknya. Ya.. pada kamera milik Miku, terdapat dua buah filament. Berbeda dengan yang dimiliki oleh Mio. Milik Mio hanya memiliki sebuah filament yang pernah berpendar merah ketika berhadapan dengan hantu didalam Osaka House.
“filament ini akan menyala kalau ada hantu di dekat kita...”
“ohhh bgitu... kok aku nggak punya?”
“bukan ngak punya... cuma kamu belum dapat... mungkin nanti kita bakal nemuin filament buat kameramu entah dimana...” lanjut Miku.

“CLAAAANNNGGG.........” suara itu kembali terdengar. Mio hampir saja terperanjat kaget. Namun mendengar penjelasan Miku, ia bisa sedikit tenang.
“ayo kita periksa..” ajak Miku.
“t-tapi....”
“sudahlah Mio.... siapa tau disana ada sesuatu yang bisa jadi petunjuk tentang Mayu... benar kan?”
“i-iya sih..... tapi kan....”
“ssstttt...... udah kamu percaya aja sama aku....”
Sesaat Mio ingin membantah ucapan Miku sekali lagi. Namun sepertinya ia harus menerima pendapat Miku kali ini. Bagaimanapun Miku jauh lebih berpengalaman menghadapi situasi seperti sekarang ini. Mungkin saja apa yang dikatakan oleh Miku ada benarnya. Mereka mulai melangkah. Setapak demi setapak, mendekati ruangan yang kini terlihat seperti gudang dengan pintu yang dikunci dari luar.
“ayo masuk.....” kata Miku.
“.......................” Mio tak menjawab. Apapun yang akan terjadi, ia sudah menyerahkan semuanya pada intuisi Miku.
Tangan kiri Miku mendekat. Ia akan meraih kunci yang membelenggu ruangan itu.
“siapa diluar.....?” sapa seseorang dari dalam.
Kali ini Mio benar-benar terperanjat kaget. Kedua tangannya mencengkeram kuat lengan Miku.
Namun tak hanya Mio, Miku pun terperanjat kaget dan serta merta menarik kembali tangannya yang hampir meraih kunci pintu itu.
“hei...... tolong aku.....” suara dari dalam ruangan kembali terdengar. Sepertinya suara seorang laki-laki.
“s-siapa didalam.....” Miku mulai terbata-bata.
Belum pernah sekalipun ia bertemu dengan orang lain dalam dunia asing ini selain dengan Mio. Begitu pula dengan petualangannya sebelumnya di Himuro mansion.

To be continued...
By: Optimus21

Senin, 22 September 2014

Bakso Maknyus ala Pak Fahri



Sesosok pria berusia 40an akhir dan bertubuh gempal itu dengan sabar melayani para pelanggan yang berebut membeli baksonya. Tak kenal lelah dan selalu tersenyum walau peluh bercucuran karena panasnya . Pak Fahri, nama pria pemilik warung mie bakso yang terkenal di kota itu. Begitulah situasi sehari-hari di warung mie bakso itu, para mahasiswa dari kampus dekat situ, para pekerja bangunan sampai keluarga tampak ramai duduk di area makan depan warung. Suasana khas warung bakso terlihat dari meja dan bangku panjang yang tersedia. Ruangannya yang cukup luas dan memanjang agak gerah karena kurangnya kipas. Kadang Pak Fahri nampak kewalahan karena pelanggan berjubel di gerobaknya untuk antri membeli mie baksonya, sehingga membuat beliau susah bergerak dan terkadang batuk - batuk, mungkin karena tak sempat mengambil nafas di tengah kegerahan dan kesibukannya. Meskipun begitu senyum selalu menghiasi wajahnya, sungguh sosok yang sangat gigih dalam menjalani profesinya. Dalam hal kesabaran beliau sudah tidak bisa diragukan lagi. Bagaimana tidak, ketika sedang melayani para pembeli, ada saja pembeli nakal yang sering kali ada yang mengambil kuah seenaknya kadang nyangkut juga beberapa butir bakso dan tidak dibayar sepeserpun, kadang mangkuk atau gelas pecah oleh pembeli yang tidak sengaja menjatuhkannya tapi beliau tak pernah ngomel - ngomel seperti tukang bakso kebanyakan paling beliau hanya senyum mesem sambil mengatakan tidak apa-apa pada si pembeli yang meminta maaf padanya, ia bahkan menolak ketika si pembeli itu hendak mengganti mangkoknya, baru setelah orang yang memecahkan mangkok itu memaksanya menerima uang itu barulah ia menerimanya.
“Yah lain kali hati-hati aja Den supaya ga pecah lagi” begitu katanya dengan ramah.
Harga yang pas bagi kantung orang banyak, namun dengan porsi yang ‘generous’ serta rasanya yang ‘mak...nyus’ (kata Pak Bondan), plus kebersihan warung serta keramahan pemiliknya, itulah faktor-faktor yang membuat warung mie bakso Pak Fahri selalu ramai dikunjungi orang. Namun satu faktor lagi yang membuat orang selalu ingin menyisihkan uang untuk membeli mie baksonya adalah rasa simpati juga kasihan. Ya...Pak Fahri hanya tinggal berdua dengan Hamzah, putranya 17 tahun, yang menderita keterbelakangan mental, remaja pria ini juga membantunya melayani para pembeli di warung berukuran sedang itu. Sementara istrinya sudah lama meninggal dalam kecelakaan ketika Hamzah masih kecil. Sejak itu pria itu berjuang keras sendiri memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Warung itu buka mulai pukul enam pagi hingga hingga pukul tiga sore, kadang kalau jualannya sudah habis ia biasa menutup warung. Anehnya warung yang ramai itu hanya dijalankan oleh mereka berdua, memang terkadang ada karyawan lain yang bertugas sebagai pelayan dan kasir namun tidak lama mereka tiba-tiba menghilang.
“Udah pulang lagi, gak cocok kayanya kerja di sini...” itulah jawaban Pak Fahri bila ditanya pelanggan mengenai karyawannya yang tidak terlihat lagi, “soalnya saya emang rewel soal kebersihan, kotor dikit atau racikannya salah dikit saya pasti tegor, ya gimana ya? Itu mau gak mau harus, kan demi kepuasan pelanggan juga”
Tingkah laku Hamzah yang seperti anak-anak namun rajin membantu ayahnya itu pun mengundang simpati pelanggan. Kadang para mahasiswa yang makan di situ memberikannya alat tulis, mainan, pakaian, atau hadiah lainnya untuk remaja tersebut yang diterimanya dengan penuh rasa syukur dan terima kasih pada mereka.

###########################
Suatu siang
jam makan siang


Pak Fahri

Warung Pak Fahri, seperti biasa, sedang ramai dikunjungi pembeli. Pak Fahri seperti biasa sangat sibuk meracik bumbu dan menuangkan kuah ke mangkok yang dipesan, juga sesekali menerima dan mengambil uang kembalian, sementara Luthfi lalu-lalang membawakan pesanan yang sudah jadi pada pelanggan. Televisi yang dipasang di atas sedang menayangkan berita mengenai menghilangnya pengacara kontroversial Farhat Abass di kota tersebut.
“Kena sumpah pocongnya sendiri kali tuh orang!” celetuk seorang mahasiswa disambut gelak tawa teman-temannya.
“Syukurin tuh, makanya jangan banyak bacot ngehakimin orang melulu, kaya sendirinya udah bener aja” seorang gadis lain berkata dengan sinis lalu menggigit bakso urat yang disendoknya.
“Menghilangnya di kota ini loh, lokasinya gak jauh dari sini lagi” kata seorang pegawai negeri pria, “cuma mobilnya doang yang tersisa, mungkin penculikan kali ya”
“Bodo amat lah, semoga gak pernah nongol lagi tuh mahluk” timpal rekannya yang lebih tua, “banci satu itu pantesnya dijadiin bakso kaya gini nih” sambil menusuk sebutir bakso tenis dari mangkoknya “terus....emmmhhh....” lanjutnya seraya menggigit bakso itu, telur puyuh dan daging cincang di dalamnya yang juicy itu pun mengisi mulut si pria itu yang melahapnya dengan nikmat.
Pak Fahri nampak senyum-senyum sambil terus sibuk mendengar obrolan para pelanggannya.
“Pak! Tambah lagi dong, ususnya banyakan ya” sahut seorang pemuda menyodorkan mangkok kosong ke dekatnya, “kaya lebih enak hari ini, dagingnya pasti segar ya Pak?”
“Selalu Den, Bapak selalu pakai daging segar supaya kualitasnya gak nurun” jawab Pak Fahri sambil menuangkan kecap ke dua mangkok mie, Hamzah langsung mengambil nampan tersebut setelah ayahnya selesai, “nih...segini Den...cukup ga?” ia lalu menuangkan jeroan beserta kuah yang disendoknya dari panci.
“Cukup Pak, makasih ya!” pemuda itu kembali ke mejanya.
“Pak! Yamien manis dua dibungkus ya...dua-duanya pake bakso-pangsit!” sahut seorang pria dari bangku dekat situ yang hampir menghabiskan makanannya.
“Siap bos!” jawab pria ramah itu.
“Pak bihun asin, pake bakso yang gede ya!” pinta seorang staff kantoran yang datang bersama seorang temannya, “lu pesen apa Jo?” tanyanya pada temannya yang baru pernah ke warung tersebut.
“Saya es kelapa muda aja Pak!” kata temannya, lalu keduanya duduk agak di pojok
“Disini paling terkenal baksonya terutama yang urat, ga mau nyoba lu?” kata si pria pertama itu.
“Gua belum laper, lagian di keluarga gua daridulu gak pernah makan bakso soalnya lu ga pernah tau bahan apa yang dipakai untuk membuatnya” jawab temannya dengan suara dipelankan.
Waktu terus bergulir, pembeli datang dan pergi, mulai masuk setengah dua, suasana warung mulai lenggang, hanya terlihat lima orang sedang makan di sana dan seorang wanita menunggu di samping gerobak untuk pesanan yang dibungkus. Setelah menerima uang dari si wanita itu, Pak Fahri mengelap keringat di dahinya lalu mulai menghitung rezeki yang masuk hari itu.
“Apa nih Pak? Kayanya enak?” tanya Luthfi, tukang parkir preman yang mau bayar menunjuk ke arah makanan di piring.
“Ooh...ini sih gak dijual, buat makan kita nanti, iga bakar bumbu...” jawabnya
“Nyoba satu yah Pak!” Luthfi nyelonong mengambil sepotong daging iga itu, dikeratnya daging itu, pria itu mengangguk-angguk merasakan lemak dan bumbu yang mengundang selera itu mengalir di mulutnya, “wuih...maknyus, si bapak bukan cuma pinter bikin bakso ternyata ya” komentarnya.
“Hehehe...ya maklumlah harus bisa masak, udah ga ada istri ini lah” kata Pak Fahri, “nih kalau mau ambil aja lebih deh Fi...” ia mengeluarkan plastik kecil dan memasukkan tiga kerat daging iga itu ke dalamnya.
“wah bener nih Pak...lagi dong dua lagi, enak sih” kata Luthfi tak tahu diri,
“Boleh, kita juga cuma duaan, ga bakal abis semua sehari” tanpa terlihat keberatan, pria itu menambahkan dua kerat lagi.
“wah makasih banget Pak, lain kali jualan iga bakar juga pasti laku”
“Ah...belum kepikir lah, takutnya gak kepegang, hahaha”
Jam dua lebih, dua orang terakhir membayar dan pergi sehingga tinggallah si penjual bakso itu dan putranya yang keterbelakangan mental. Langit sudah mendung, sayup-sayup gerimis kecil mulai turun membasahi bumi. Pak Fahri selesai menghitung uang, ia bersyukur pendapatan hari ini cukup banyak sehingga sekarang hujan pun tidak mengapa, lagipula sebentar lagi sudah waktunya tutup. Saat itu Hamzah sudah naik ke atas untuk tidur siang setelah disuruh naik oleh ayahnya karena sudah sepi dan tinggal tunggu tutup.

Ketika sedang nonton TV, seorang gadis bule menyandang tas ransel lumayan besar melintas dan ternyata ia memasuki warung sederhana Pak Fahri.
“Selamat siang...apakah ini Mie Bakso Pak Fahri?” sapanya dengan logat bulenya yang kental, senyum manis pada wajahnya menambah kecantikannya.
“Ohh...iya iya, silakan duduk, mau makan apa Non?” Pak Fahri balas menyapa gadis itu dan mempersilakannya duduk setelah terpana beberapa detik karena terpesona.
Gadis bule ini bernama Jill Richardson (19 tahun), asal Australia, ia cukup fasih berbahasa Indonesia, karena pernah mempelajarinya dalam ekstrakurikuler semasa sekolah dulu. Dalam rangka mengisi liburan kuliahnya, ia melakukan perjalan wisata ke Indonesia secara backpacker, ini bukanlah kali pertama ia ke Indonesia  sehingga ia cukup berani melakukan perjalanan wisata ini. Secara fisik, Jill termasuk yang di atas rata-rata, dengan mata indah kehijauan saat itu rambut coklat sedadanya diikat ekor kuda, tubuhnya memang tidak terlalu tinggi namun membentuk lekuk yang indah karena terawat baik, terutama payudaranya yang montok bulat menjadi salah satu daya tariknya, selain itu kulitnya juga putih mulus, tidak pucat dan berbercak merah seperti beberapa bule lain. Kaos you can see warna kelabu dipadu dengan celana pendek hijau yang menggantung sejengkal dari lututnya semakin memperlihatkan keindahan tubuhnya sehingga tidak heran sempat membuat si tukang bakso ini terpana ketika ia datang tadi.
“Kata orang, tempat ini makanannya enak, jadi saya ke sini!” katanya setelah memesan seporsi yamien asin dengan bakso tenis.
“Hehe...makasih Non, orang terlalu melebih-lebihkan saja, ini cuma warung sederhana kok” kata Pak Fahri merendah sambil membuatkan pesanan gadis bule itu, “nah silakan Non!” ia lalu menghidangkan pesanan gadis itu.
Semangkok mie bertabur bawang goreng, cacahan daging dan dihias daun seledri beserta semangkuk sup berisi 2 butir bakso tenis ditambah segelas teh hangat yang menggugah selera kini tersaji di depan Jill.
“Thank you, saya makan dulu Pak!” katanya tersenyum.
Pertama kali makanan tersebut datang, Gadis Australia itu mencicipi dulu kuah baso disusul mie-nya tanpa ditambah dulu dengan bumbu-bumbu lain. Setelah memanjakan mulut dengan beberapa suapan kecil kuah yang masih panas itu, Jill akhirnya menambahkan sedikit kecap manis, cuka, dan sedikit sambal. Gadis itu mengejapkan mata merasakan rasanya yang jadi lebih segar dan enak, terlebih setelah ia mengggigit potongan bakso tenisnya.
“Bagaimana? Enak Non?” tanya Pak Fahri ingin mengetahui respon pelanggan mancanegaranya.
Jill mengangguk, “very nice, ini enak sekali Pak!” katanya puas.
“Hehehe...bagus deh, saya ke atas dulu yah sebentar” kata pria itu lalu masuk ke dalam.
Ia naik ke atas sebentar untuk melihat keadaan putranya. Di atas ranjang, Hamzah telah terlelap sambil memeluk boneka teletubbies kesayangannya. Pak Fahri tersenyum melihat ekspresi polos anak semata wayangnya yang tengah terlelap lalu menutup pintu kamar dan kembali ke bawah.
Saat itu hujan sudah turun sangat deras, sesekali kilat menyambar dan disusul bunyi guntur. Memang akhir-akhir ini sering hujan besar bahkan terkadang sampai banjir. Bagi Jill menikmati mie bakso hangat di tengah cuaca seperti ini menambah nikmatnya. Ia memang sangat menikmati perjalanan single backpacker perdananya ini, jiwanya seolah seperti burung yang terbang tinggi.
“Apa ini Pak?” tanya gadis itu ketika Pak Fahri tiba-tiba meletakkan segelas minuman hangat di mejanya, ia agak bingung karena tidak memesannya.
“Bonus dari saya Non...gak usah bayar, gratis, ini namanya bandrek, enak diminum kalau lagi hujan-hujan gini” kata pria itu.
“You mean Free?”
“No…. bukan free, bandrek Non… Bandrek.” Pak Fahri terlihat sekali kurang begitu dalam bahasa inggrisnya. Jill tertawa geli melihat gelagat pak Fahri yang mencoba menjelaskan dengan kalimat yang campur aduk bahasanya sambil menunjuk-nunjuk gelas minuman yang diberikannya.
“Oh.. thank you very much, it looks good, kelihatannya enak… ” ia lalu menyeruput sedikit minuman yang masih panas itu, “mmm...enak, rasanya hangat!”
Pak Fahri duduk di bangku di depan gadis itu. Sambil Jill menikmati makanannya pelan-pelan, mereka saling memperkenalkan diri dan mulai mengobrol . Ia bercerita banyak mengenai tempat-tempat yang telah dikunjungi di Indonesia serta kesan-kesannya. Karakter Jill yang supel dan penuh keingintahuan bertemu dengan Pak Fahri yang mampu mengimbangi pembicaraan gadis itu dengan cepat membuat suasana menjadi akrab. Pria itu menjelaskan situasi kota ini dan memberi rekomendasi mengenai tempat-tempat yang jangan dilewatkan untuk dikunjungi, juga saran dan masukan lain. Jill mendengarkan penuturan pria itu sambil mangut-mangut sesekali menyuapkan makanan ke mulutnya, pak Fahri pun bilang kepada Jill, bahwa dia adalah turis yang paling cantik yang pernah datang mengunjungi warungnya. Mendengar sanjungan pria itu, Jill tersenyum simpul dan berterima kasih atas pujian itu.

Jill

“Maaf permisi sebentar Non Jill, saya mau tutup warung dulu, ini udah waktunya” Pak Fahri permisi setelah melihat jam menunjukkan pukul tiga lebih seperempat.
“Ooh sorry, sepertinya saya harus cepat-cepat menghabiskan makanan saya” kata Jill.
“Ga...ga apa-apa Non makan santai aja dulu, lagian ini hujannya besar sekali, tunggu aja dulu di sini, kalau hujannya udah berhenti baru pergi”
“Okay kalau begitu, saya tunggu”
Pak Fahri pun menutup warungnya, ia menarik pintu lipat dari papan kayu itu lalu mencantelkan gembok tanpa menguncinya.
“oh ya, Pak..istri bapak dimana?” tanya Jill setelah menghabiskan suapan terakhirnya.
“sudah meninggal lama Non”
“oh maaf, Pak..saya tidak tau, Pak…”.
“nggak apa-apa kok Non..,saya cuma tinggal berdua sama anak..”.
Jill mengangguk-anggukan kepala, “lalu anak bapak...?”
“lagi tidak di sini”
Hujan belum ada tanda-tanda mereda, Jill berpikir, apakah selama ini pria tua ini tidak pernah merasa kesepian tinggal sendirian. Selain itu, rasa kagum muncul di hatinya. Ia memandang pria di depannya ini sebagai seorang yang mampu bekerja keras, dan kelihatan begitu tegar meski sudah lama ditinggal istri dan membesarkan anaknya seorang diri. Sikapnya pun sopan, sedari tadi ia tidak mendapatinya mencuri-curi pandang tubuhnya seperti beberapa pria lain. Didorong rasa simpati dan kasihan, Jill ingin sekali membuat pria yang sangat baik dan sopan seperti Pak Fahri senang. Dalam pikirannya, hadiah yang mungkin akan membuat tukang bakso ini senang dan juga yang dia rasa paling tepat untuk pria yang benar-benar kesepian sepertinya adalah dengan memberikan tubuhnya agar pria itu bisa memenuhi kebutuhan biologisnya. Di saat yang sama, entah mengapa, ia merasakan libidonya bangkit, mungkin akibat situasi dan kondisi yang mendukung, hanya berduaan dengan pria dengan hujan deras di luar. Tapi, ia tidak ingin membuat dirinya nampak seperti pelacur dengan menawarkan diri terang-terangan. Namun, setelah dipikir-pikir, tak apalah, sebuah hadiah yang memang pantas ditawarkan untuk pria yang baik dan sopan seperti Pak Fahri. Secara fisik memang pria ini jauh dari tampan. Namun harus diakui badannya berotot karena terbiasa kerja keras, mungkinkah penisnya juga perkasa?
“God, what am I fucking think?” omelnya dalam hati merasa nafsunya dengan cepat naik, “what's the matter with me? How could I imagine to have sex with him?” disingkirkannya pikiran itu dari benaknya
Namun sebentar kemudian, pikiran tersebut menyergapnya lagi, menggodanya dengan bayangan-bayangan erotis yang tak seharusnya dia lamunkan. Jill merasakan putting susunya mulai mengeras di balik bra-nya, dirasakannya selangkangannya menjadi basah oleh birahinya dan nafasnya menjadi tersengal.

"Pak...eerr terima kasih atas bandrek dan keramahannya, saya jadi bingung bagaimana membalasnya"
"Oohh...gak apa apa Bapak ikhlas kok, ga mengharapkan balasan apa-apa”
“Memangnya bapak gak pernah merindukan kehangatan seorang wanita selama ini?” Jill mulai menggodanya.
“Eng… tentu saja Non, biar gimanapun, saya ini khan seorang laki-laki normal.”
“Don’t you think I’m pretty? Apa menurut bapak saya cantik?” gadis itu memajukan dadanya semakin memperlihatkan belahan payudara serta gunung kembarnya yang makin menonjol di balik kaosnya pada si tukang bakso yang duduk di hadapannya itu.
“Non, ini… kenapa jadi begini?” Pak Fahri terlihat kikuk namun ia sudah tahu kalau jalan ceritanya bakal jadi begini. “Kalau tetangga tahu, saya bisa… “
Untuk beberapa saat, Jill tak mampu berkata apa-apa. Dia sudah berkelakuan layaknya seorang wanita jalang murahan di hadapan pria asing yang baru dikenalnya, begitu mudah ia mengucapkan kata-kata
rayuan untuk menggodanya. Selintas ia malu akan dirinya dan benaknya memutar dengan keras untuk mendapatkan sebuah pembenaran atas tingkah lakunya tadi. Mark...ia teringat lagi mantan pacarnya yang ia tangkap basah sedang bercinta dengan wanita lain di ketika berkunjung ke flatnya. Ia langsung memutuskan Mark saat itu juga setelah melempar kalung pemberiannya ke wajah pemuda itu. Sedih dan marah mengisi hatinya mengingat penyelewengan orang yang pernah dicintainya itu sehingga ia merasa ingin melampiaskannya sekarang pada pria asing ini.
“No one needs to know, gak ada yang perlu tau... saya malah jadi sungkan kalau bapak menolak, hhmmm...bagaimana kalau....”
"kalau apa non???"
"kalau saya...." Jill menghela nafas sejenak sebelum meneruskan, “kalau saya mencium bapak?”  suaranya sedikit bergetar saat dia memandang pria itu dan ia memutuskan untuk semakin maju, semakin berani
Pria itu terhenyak, kaget namun ada senang juga.
“Ahh...hehe Non Jill lagi bercanda kali ya, masa non masih muda dan cantik mau cium bapak yang sudah tua ini?” tanya Pak Fahri menahan diri.
“Really... tidak bolehkah saya berterima kasih?“ jawab Jill lalu bangkit berdiri dan duduk di sebelah kanan pria itu.
Pak Fahri makin berdebar-debar dibuatnya terlebih ketika gadis bule itu benar-benar memajukan wajahnya lalu bibirnya yang lembut mencium pipi kanan dan kirinya. Keduanya saling bertatapan lama, hening sejenak, hanya terdengar suara hujan deras di luar dan hanya mereka berdua di ruangan itu. Wajah mereka saling mendekat lagi, Jill mencium bibir tebal Pak Fahri dengan lembut, cukup lama. Si tukang bakso terdiam, ia biarkan bibir ranum gadis bule itu mengecup bibirnya dengan lembut. Tak lama kemudian barulah ia membalas ciuman gadis bule itu. Percumbuan mereka semakin dipenuhi nafsu birahi. Pak Fahri mengeluarkan lidahnya, berusaha memasuki rongga bibir Jill.
Gadis itu pun membalas tak kalah liar, lidah mereka saling bertemu dan mereka berciuman dengan penuh nafsu. Lidah mereka saling melilit dan air ludah mereka tercampur, hingga menetes ke pipi masing-masing. Mereka saling berciuman amat panasnya, nafas mereka mulai terengah-engah karena nafsu. Kedua tangan Jill melingkari leher pria itu sementara tangan kokoh Pak Fahri juga mulai mendekap tubuh Jill dan membelai punggungnya. Seiring nafsu yang semakin membuncah, Pak Fahri mulai berani meraba buah dada Jill yang semakin menggelinjang mendapat sentuhan di daerah sensitifnya itu. Tangan pria itu meremas pelan kedua payudara sekal Jill dari luar kaos u can see-nya.
Birahi Pak Fahri semakin menggelegak, ciumannya mulai merambat ke leher jenjang gadis bule itu dengan rakus. Hal yang sama juga dirasakan oleh Jill, ia mendesah keenakan. Matanya terpejam meresapi setiap rangsangan dari si tukang bakso itu. Ia memegang kepala Pak Fahri dan meremas rambutnya.
“Oohh … it feels good, enak pak, “ desahan keluar dari mulut bule cantik itu merasakan lidah Pak Fahri menyapu telak lehernya dan menciumi telinganya.

Pak Fahri semakin beringas, kedua tangan yang tadinya meremas payudara Jill kini berusaha menyingkap ke atas kaosnya sehingga terlihatlah payudara montoknya yang masih dibungkus bra warna hitam. Tak ada penolakan dari gadis itu ketika Pak Fahri menyentuh payudaranya. Kini Jill yang melepaskan pergumulan mereka dan menatap pria itu dengan tatapan sayu.
“Saya mau tanya, Bapak rindu sama istri?” tanyanya dengan nafas memburu
“eeehh...iya, kangen sih Non....ini...kita”.
“kalau gitu, sekarang ini bapak anggap saja saya istri bapak..” katanya “saya akan nemenin bapak..” ia meletakkan tangan Pak Fahri di paha kanannya.
“jadi...maksud Non Jill, bapak boleh….gini?” Pak Fahri mulai mengelus-elus paha mulus itu, Jill mengangguk dan tersenyum.
Elusan tangan pria itu semakin dalam merayapi paha Jill, sungguh halus kulit gadis Australia ini. Pak Fahri terus mengelus-elus paha Jill sambil tangan satunya meremasi payudara gadis itu. Ia menyusupkan tangannya ke dalam, menyentuh paha bagian dalam Jill.
“hmmm…”, lirih Jill sambil tetap tersenyum.
Elusan-elusan si tukang bakso sedikit demi sedikit membangunkan gairah Jill. Dengan lembut dan perlahan belaian pria itu telah sampai di selangkangan. Meski sudah lama tidak bermain seks, insting pejantannya masih ada, dia tahu bagaimana membangkitkan gairah seorang wanita. Tangan kasarnya terus mengelusi kedua pangkal paha Jill, nafas gadis itu dibuatnya semakin berat.
“eemmhhh…”, Jill sedikit bergetar saat Pak Fahri mulai merabai bagian tengah selangkangannya, meskipun masih tertutup celana, belaian itu begitu terasa dan menghanyutkan.
“Non Jill…boleh saya buka aja beha-nya?” Pak Fahri meminta ijin sambil meremas payudara kiri gadis itu
“Of course..”, jawab Jill sambil tersenyum.
Gadis itu lalu menggerakkan tangannya ke belakang meraih kaitan bra-nya dan melepasnya. Pak Fahri perlahan melepaskan kaos beserta bra gadis itu yang telah terbuka, Jill mengangkat kedua lengannya membiarkan penutup tubuh atasnya itu melolosi tubuhnya. Mata Pak Fahri tak bisa lepas dari pemandangan yang begitu indah yang ada di depannya. Kedua gunung kembar Jill yang tadi tersembunyi di balik cup bra kini terekspos jelas, bulat montok dengan putingnya yang coklat. Ditambah lagi dengan lekuk-lekuk tubuh gadis itu yang sempurna, perut rata, kulit yang putih dan mulus. Pak Fahri belum pernah melihat tubuh wanita yang begitu indah dan sangat sempurna sehingga matanya nanar seperti mau lepas dari rongga matanya. Tak tahan, dengan penuh nafsu, ia mengarahkan kepalanya ke sana. Sambil terus meremas-remas, ia mengenyoti kedua payudara montok Jill, mulut gadis itu menceracau tak jelas dalam bahasa Inggris. Jemari tangan kiri Pak Fahri terus memilin puting payudaranya hingga jadi semakin mencuat kemerahan, sedang mulutnya mengecupi yang satunya lagi. Diperlakukan seperti itu, tentu membuat desahan nikmat Jill semakin terdengar keras. Gadis bule itu menggeliat geli sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan memegangi kepala si tukang bakso yang terus menyusu di bulatan payudaranya. Tangan Pak Fahri mulai turun ke arah perutnya dan terus ke menyusup masuk ke balik celananya, ia merasakan permukaan vagina gadis itu mulus tidak berbulu.
”Ahh...” desah Jill ketika jemari pria itu menyentuh wilayah segitiga emasnya yang sudah basah.
Pak Fahri semakin berani menggerayangi alat kelamin gadis bule cantik itu. Jari tengahnya tepat ‘membelah’ bibir vagina Jill, lalu  menggerakkannya ke atas dan bawah untuk semakin meningkatkan birahi gadis itu. Seiring dengan gesekan jari pria itu di belahan vaginanya, kedua pahanya semakin membuka lebar.
“uummhhh heemmhhh…”, gumam Jill dengan mata terpejam, sementara Pak Fahri tersenyum, tangannya terasa semakin panas sekaligus lembap.
Tiba-tiba Jill melenguh lebih panjang dan menggeliatkan tubuh saat merasakan ada sesuatu benda yang masuk ke dalam vaginanya, benda itu berputar-putar seperti sedang mengebor vaginanya. Senyum pria itu makin lebar melihat reaksi sang gadis, jari telunjuknya menyusul masuk ke dalam liang vagina Jill. Keadaan terus berlanjut, kedua jari pria itu bergerak keluar masuk menggeseki dinding vagina dan klitoris gadis itu. Yang terdengar kini hanyalah suara desahan pelan Jill di tengah bunyi hujan deras di luar. Ia memegangi tangan pria itu agar tetap berada di sana, tetap mengerjai vaginanya. Tangan kanan Pak Fahri bergerak ke arah dadanya dan menangkap bongkahan indah tersebut.Sementara tangan Jill secara refleks, juga meremasi batang kemaluan Pak Fahri yang masih tersimpan rapi di balik celananya.

“Tunggu sebentar...” tiba-tiba gadis bule itu mengeluarkan tangan pria itu dari celananya dan bangkit berdiri.
Pak Fahri terpana menyaksikan Jill dengan gerakan erotis melepas celananya sendiri. Gadis itu lalu menaikkan pinggulnya ke tepi meja tepat di hadapannya. Yang paling menarik perhatiannya tentu daerah segitiganya, begitu bersih, tanpa bulu yang menutupinya, dan kelihatan sangat menggiurkan. Sungguh kewanitaan yang begitu indah, bibir vaginanya berwarna seperti kulit di sekitarnya dan masih rapat walaupun sudah bukan perawan.
“Bapak suka?” tanya Jill sambil mengangkangkan kaki lebih lebar lagi, memamerkan belahan vaginanya yang sudah merekah indah kepada pria itu.
“Ehehehe....iyahh “ gumam Pak Fahri mengagguk-angguk
“Nikmati Pak...bikin saya puas!” sahut gadis bule itu lirih, matanya sayu dan wajahnya bersemu kemerahan akibat birahi yang makin tak terkendali.
Tak perlu menunggu lama lagi, Pak Fahri sudah membenamkan wajahnya di selangkangan Jill, dihirupnya dalam-dalam kewanitaan itu.
“hmmhh…”, desah Jill merasakan hangat dan basah mengenai vaginanya.
Jelas itu lidah Pak Fahri, belaian-belaian nakalnya di daerah pribadinya sungguh menghanyutkan Jill dalam arus kenikmatan. Tanpa sadar, kaki kanan Jill disampirkan ke atas bahu kiri pria itu. Tanpa mampir ke otaknya, tubuh gadis itu merespon kenikmatan yang sedang ia rasakan secara alamiah. Dengan meletakkan satu kaki di bahu si tukang bakso, tentu selangkangannya akan semakin terbuka dan ia akan semakin leluasa dan semakin banyak memberikan kenikmatan. Benar saja, pintu surga dunianya semakin terbuka, Pak Fahri pun semakin gencar menyerbu wilayah terlarang itu. Dengan rakusnya, ia melahap vagina Jill habis-habisan. Tak henti-hentinya, lidah pria itu menyapu setiap jengkal dari daerah segitiga yang mulus tak berbulu itu, lidahnya terus menggali, menggali, dan menggali lebih dalam lagi ‘tambang’ yang ada di hadapannya sehingga Jill pun menggeleng-gelengkan kepala, menggeliat-geliat, kedua pahanya semakin menjepit kepala pria itu.
“aaaahhh ooouuhhh yesss...more...”
Jill pun menekan dan menahan kepala Pak Fahri di selangkangannya. Vaginanya menjadi bulan-bulanan si tukang bakso yang kegirangan mendapat rejeki nomplok seperti itu. Terkurung di antara paha mulus itu tentu membuat Pak Fahri bersemangat. Pandangannya tertutup vagina gadis itu dan hidungnya hanya mencium aroma khas liang sorgawi, sungguh keadaan ‘terjepit’ yang paling menyenangkan bagi pria itu. Jill benar-benar terhanyut, meresapi kenikmatan luar biasa yang dirasakannya pada bagian bawah tubuhnya.
“AAAKKKHHHH !!”, Jill mengerang panjang, kedua pahanya menjepit kepala Pak Fahri dengan sangat kencang, perutnya agak ke atas
Kucuran cairan yang berasal dari kewanitaan gadis Australia itu tak ubahnya bagai air mata yang menyegarkan dahaga Pak Fahri. Pria itu menyeruput habis habis dalam hitungan detik saja, lidahnya pun mengorek-ngorek sisa cairan yang tertinggal di dalam rongga vagina gadis itu. Pria ini ternyata cukup mengetahui bagaimana cara memberi kenikmatan sensual pada wanita.
“Non Jill…”, ujar Pak Fahri mengelus-elus paha gadis bule itu.
Jill tersenyum puas dan merundukkan tubuhnya, Pak Fahri pun langsung berdiri memeluk tubuhnya. Keduanya berpelukan begitu erat menciptakan pemandangan yang sensual dan erotis. Kekontrasan di antara dua insan manusia itu justru menambah aura erotis dan sensual yang ada. Jill, si gadis bule yang begitu cantik dan putih mulus sudah telanjang bulat sepenuhnya, memeluk Pak Fahri, pria gempal setengah baya dan berkulit gelap dan masih berpakaian lengkap.
“mmm…ccpphhh..mmm…”. Ciuman yang terjadi begitu mesra dan kompak. Keduanya bergantian saling lumat dan pagut. Bibir Jill yang lembut membuat pak Fahri benar-benar gemas. Dilumat, dihisap, dikenyot, dikulum, bibir Jill habis-habisan diserbu Pak Fahri. Lidah keduanya pun tak jarang saling belit, saling kait, dan saling silang.
“hmmm…mmm…”. Terlihat jelas sekali kalau tak hanya Pak Fahri yang menikmati percumbuan ini, tapi Jill juga sangat, sangat menikmatinya. Rambut Jill pun menutupi sisi kiri dan kanan seperti tirai/hordeng yang menutupi bibir mereka berdua yang menyatu seakan tak ingin ada seorang pun yang melihat percumbuan mereka.
“Uuah..”, Jill mengatur nafasnya setelah melepaskan bibirnya dari bibir Pak Fahri dan menegakkan tubuhnya.

Kini ia ingin sekali melihat kejantanan Pak Fahri. Tubuh pria ini nampak bugar dan kekar, pastilah senjata di balik celananya itu perkasa, sebuah batang yang hitam, besar, dan berurat terbayang di pikiran Jill. Semakin ‘gatal’ rasanya sehingga tangannya pun semakin aktif, setelah membuka pakaian atas Pak Fahri, tangannya merayap ke bawah meremas selangkangan pria itu yang telah menggelembung, ia menggenggam sesuatu yang keras.
“Sebentar yah Non!” kata Pak Fahri lalu dengan sangat tergesa-gesa, ia membuka celana dan celana dalamnya sendiri. Kedua mata Jill langsung tertuju ke benda yang menggantung di tengah-tengah selangkangan pria itu, benda itu begitu kokoh, panjang, dengan ujung bersunat, gadis itu menelan ludah membayangkan batang perkasa itu mengaduk-aduk vaginanya.
 “masukkin Pak…”, Jill yang birahinya sudah meledak-ledak meminta pria itu untuk menjejali vaginanya dengan benda itu.
Kedua kaki gadis bule itu terbuka dengan sangat lebar, Jill juga menyibakkan bibir vaginanya sendiri seolah mengundang penis Pak Fahri agar segera masuk ke dalam. Tanpa buang waktu lagi, kepala  penis pria itu pun sudah menempel di bibir vagina Jill.
“Oh yesss....eeemmm”, desah Jill ketika pria itu memajukan pinggulnya perlahan, kepala penisnya mulai mendobrak masuk ke dalam liang kewanitaannya.
 Jill merasa bagian bawah tubuhnya benar-benar penuh sesak dengan batang besar milik Pak Fahri yang semakin melesak masuk. Sensasi yang luar biasa pun dirasakan Pak Fahri, penisnya terasa begitu terjepit dan terasa seperti diurut-urut. Setelah beberapa kali tarik-dorong, akhirnya seluruh batang penisnya berhasil menancap di dalam liang vagina gadis bule itu dengan sangat kokoh. Ia diam sejenak untuk menikmati liang vagina Jill yang begitu hangat dan peret, penisnya seperti dicengkram dengan sangat kuat oleh dinding vagina gadis itu. Belum lagi rasa hangat yang menyelimuti batangnya. Desahan-desahan pelan mulai mengalun dari mulut Jill saat tukang bakso itu mulai menggerakkan pinggulnya. Dengan lembut, pria itu terus berusaha memompa penisnya dengan perlahan.
“sshh ooouuhh uummhh..yeaaah!!!”, racau Jill merasakan sensasi nikmat dari vaginanya yang dirojok-rojok.
Sementara Pak Fahri terus menggasak liang vagina Jill. Ia menyodoknya dengan penuh perasaan namun cukup kuat untuk membuat gadis bule itu tersentak-sentak.
“ookkhh…aahhh....God i like it!!”, Jill mengerang lebih nyaring saat Pak Fahri menyodok vaginanya sampai mentok.
Tukang bakso itu terus menggenjot dengan ritme sedang agar Jill yang sedang digenjotnya juga menikmatinya. Gadis itu meletakkan kedua telapak tangannya pada meja sehingga buah dadanya nampak membusung menantang. Pak Fahri pun menangkupkan kedua tangannya dan menggenggam kedua gunung kembar itu. Ia remasi payudara Jill yang terasa sangat empuk dan kenyal itu. Kedua kaki indah Jill melingkar erat di pinggang Pak Fahri. Merasa gadis itu semakin terhanyut dalam kenikmatan, Pak Fahri mulai mempercepat genjotannya.
“I’m coming....yyaahhh...sshhh...aaahh...aahhhh!!!”, Jill mengerang panjang saat gelombang orgasme melanda tubuhnya, pria itu terus menyodok-nyodokkan penisnya berusaha menyusulnya ke puncak.
Hujan masih deras di luar sana mengaburkan bunyi pergulatan seks di kedai tersebut, nafas keduanya menderu-deru, bulir-bulir keringat keduanya telah membasahi tubuh masing-masing. Kedua insan beda ras beda negara itu bercinta dengan sangat bergairah, begitu menggelora. Desahan-desahan penuh kenikmatan keluar dari mulut keduanya. Keduanya saling berpelukan dengan erat sementara alat kelamin mereka terus bergesekkan semakin cepat dan tanpa henti sampai lima menitan kemudian...
 “OOKKHH...Non Jill...enakkkhhh !!!!”, erang Pak Fahri melepas orgasmenya, ia akhirnya berhasil menyusul gadis itu ke puncak kenikmatan.
Jill akhirnya bisa bernafas lega setelah pria itu menghentikan sodokannya. Keduanya sama-sama meraih puncak kenikmatan yang mereka bangun bersama. Rasa hangat dan becek terasa oleh  di liang kewanitaannya. Tubuh Jill terkulai lemas di meja sehabis mendapatkan orgasme tadi. Wajah cantiknya nan sendu itu menatap Pak Fahri dengan senyuman puas. Pak Fahri membaringkan tubuhnya disamping gadis bule itu dan dia mengusap-usap buah dadanya lembut. Jill memainkan jari-jarinya di penis pak Fahri yang sudah lemas kembali, tapi si penis belum juga mau bangkit kembali.

Setelah beristirahat beberapa saat, Jill menggeser tubuhnya turun dari meja dan bersimpuh di antara kedua paha Pak Fahri. Ditatapnya sejenak penis yang setengah bangun itu, lalu dikocoknya perlahan benda itu dan dimasukkannya ke dalam mulutnya.
“Uugghh…” lenguh Pak Fahri merasakana sensasi geli setiap kali gadis itu menghisap penisnya.
Ketika penisnya mengeras lagi, dikeluarkannya benda itu dari mulutnya dan disapukannya lidahnya dari pangkal hingga ke ujungnya. Dikenyot-kenyotnya buah zakarnya dan disapukannya lidahnya lagi ke batangnya yang berurat. Pak Fahri menikmati permainan mulut dan lidahnya dengan mengelusi rambut gadis itu, ia melihat bagaimana gadis bule itu menservis senjatanya.
“Non, udah dulu, nanti keburu keluar, sekarang Non nungging aja!” kata Pak Fahri beberapa menit kemudian karena tidak ingin buru-buru ejakulasi
“Oke...I see, saya siap mulai lagi!” sambil tersenyum Jill melakukan perintah pria itu.
Ia membungkukkan badan dengan kedua tangan berpegangan di pinggir meja. Menganggap gadis itu sudah siap,Pak Fahri segera memasukkan penisnya ke lubang vaginanya dari arah belakang, vagina yang sudah becek itu menelan penis itu dengan mudah. Dengan berpegangan pada pinggang Jill yang ramping, ia pun mulai menggerakkan badannya maju mundur. Batang penisnya kembali menghentak-hentak keluar-masuk di lorong vaginanya, mula-mula dengan perlahan-lahan, namun makin lama semakin bertambah temponya. Sesungguhnya Jill belum benar-benar lepas dari buaian orgasmenya. Vaginanya masih terasa gatal dan setiap gerakan, betapa pun kecilnya, menyebabkan kegelian itu menjalar ke mana-mana di tubuhnya. Dengan cepat ia merasa birahinya sudah bangkit kembali, dan tanpa sadar ia mulai menggoyang-memutar pinggulnya, membuat penis Pak Fahri yang serasa diaduk-aduk di liang kewanitaannya. Tubuh Jill mulai terguncang-guncang dan dari mulutnya kembali terdengar desahan sensual
”Ough... aahhh, more Pak...aaawww” jeritnya kecil ketika tangan pria itu menampar bongkahan pantatnya yang menggemaskan, “Bapak nakal...aahh...” ia menengok ke belakang.
“Ehehehe...abis gak tahan Non, montok banget..ssshhh...sshh!!” kata pria itu sambil terus menggenjot dan plak...sekali lagi ia menampar pantat Jill yang sebelah seperti penunggang kuda memecut tunggangannya.
Selama beberapa saat Pak Fahri menyetubuhi Jill dengan cepat dan bertenaga, hingga akhirnya ia pelankan helaannya dan meraih payudara gadis itu untuk diremas-remas. Sesudah itu ia naikkan lagi tempo genjotannya. Akibatnya Jill pun mulai ribut lagi
”Uughh... ughh... oughh...”
Jeritan gadis itu semakin membangkitkan nafsunya, sehingga ia menggoyang tubuhnya semakin cepat dan makin bertenaga. Tak lama kemudian, akhirnya gelombang orgasme menerpa bak tsunami meluluh-lantakan segalanya. Pak Fahri menggeram-mengerang keras, menghujam cepat dan pendek berkali-kali.
“Uuuhhh...keluar enakkkhh!!” ia mengerang-menggeram, menegakkan tubuhnya sambil menghujamkan penisnya dalam-dalam, menumpahkan cairan kental panas ke vagina Jill yang telah berdenyat-denyut.
Sementara Jill membelalakkan mata dengan pandangan kosong merasakan sebuah kenikmatan luar biasa menyergap tubuhnya. Lalu pandangannya mengabur dan merasakan tubuhnya seperti melayang-layang..Kenikmatan yang bertubi-tubi menghempas tubuhnya sedemikian rupa sehingga ia tidak lagi bisa merasakan ketika penis pria itu memuncratkan cairan kental panas mengisi seluruh bagian dalam kewanitaannya, membuat liang sorgawi itu penuh. Saat penis pria itu tercabut dari liang kewanitaannya, cairan cinta berleleran di sela-sela paha gadis itu. Jill hanya bisa terpejam dan mengerang pelan, nyaris tak terdengar. Ia menjatuhkan tubuh ke kursi terdekat dan bersandar dengan nafas naik-turun. Cairan putih kental nampak meleleh dari vaginanya yang mekangkang membasahi kursi di bawahnya
“Owh...how wonderful!” gumam gadis itu dalam hati

Dipandangnya Pak Fahri yang juga terduduk lemas di kursi seberangnya, penis pria itu nampak menyusut setelah orgasme dahsyat tadi. Lama juga keduanya terduduk lemas dengan tubuh berkeringat di kursi. Pak Fahri yang bangkit duluan menawarkan minuman pada gadis itu.
"Mau minum apa Non? Bapak ambilin!" tawarnya
"Oh,...saya rasa saya perlu yang menyegarkan!” jawab Jill tersenyum lemah
Pak Fahri berjalan menuju lemari penyimpanan minuman di sudut warung, dua botol teh botol Sosro dingin segera diraihnya. Setelah membuka tutupnya dan memasukkan sedotan, ia menghampiri Jill dan menyodorkan botol tersebut. Dengan lahap gadis Australia itu meneguk minuman yang menyegarkan itu. Sekejap kemudian botol sudah kosong.
“Hujannya sudah kecil” kata Jill mendengar suara hujan di luar mulai mereda, sudah tidak ada lagi suara guntur, namun masih turun rintik-rintik, “saya rasa saya sudah bisa berangkat”
“Masih belum bener-bener berenti Non” kata tukang bakso itu, “sambil nunggu Non mau lihat-lihat ke belakang? Tempat saya bikin bakso?” tanyanya.
“Ah tentu saja, saya senang sekali mempelajarinya!” sahut Jill antusias, ia bangkit dari kursi dan meraih celananya.
“Ehh...ga usah Non, ga usah dipake dulul, takutnya di dalam kotor” Pak Fahri mencegah gadis itu yang hendak memakai kembali pakaiannya, “lagian Non lebih cantik kalau gak pakai apa-apa kok”
“Hahaha...” Jill tertawa lepas, “Bapak ini pintar merayu ya....baiklah kalau begitu saya tidak akan pakai dulu bajunya”
Akhirnya gadis itu mengikuti pria itu ke belakang hanya dengan memakai sepatu dan kaos kakinya yang sedari tadi belum dilepas. Inilah rupanya tempat pria ini mengolah makanan yang menjadi dagangannya itu. Ruangan yang berukuran sedang itu tertata bersih dan rapi. Di sana terdapat sebuah alat penggiling daging, sebuah rak yang di dalamnya berisi toples-toples kecil bumbu masakan, sebuah lemari pendingin berukuran sedang untuk menyimpan persediaan daging, tungku memasak, serta peralatan masak yang menggantung dan tergeletak di meja. Pak Fahri menjelaskan sepintas alat-alat yang ada di sana dan cara-cara mengolah bakso supaya menjadi enak. Jill berjalan ke sebuah jendela di belakang, ia menggeser tirainya sedikit sehingga ia dapat melihat keluar, ke arah sebuah kebun kecil di belakang sana. Pak Fahri berdiri di belakangnya, menjelaskan bahwa di sana ia menanam beberapa jenis tanaman yang dibutuhkan untuk bumbu seperti cabe, bawang, daun seledri, dll. Dengan menanam secara mandiri harga pun dapat ditekan sehingga lebih ringan di tangan pembeli. Jill berdecak-decak kagum mendengar penjelasan pria itu, ia memang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi mengenai hal-hal baru.
Sambil membicarakan tanaman, Jill merasakan tubuh pria itu dekat sekali di belakangnya, sangat dekat bahkan. Sebuah aliran birahi samar-samar kembali menjalari tubuh gadis itu. Ia menengok ke sebelah mendapati sebuah meja panjang dengan marmer hitam panjang di atasnya, tingginya sepinggang orang dewasa lebih sedikit. Lantai di bawahnya berlapis tegel kuning dengan kisi-kisi pembuangan air di sudutnya.
“Ini tempat nyembelih Non” kata pria itu menerangkan.
“Nyembelih?” tanya Jill
“Eeemmm...motong maksudnya...” pria itu memperagakan gerakan memotong daging, “daging besar dipotong di sini jadi kecil-kecil, hehe gitu maksudnya!”
Jill mengangguk-angguk.
“Oh iya, Non Jill mau saya bersihin gak sebelum pergi? Biar segar badannya” kata pria itu seraya mengambil selang berwarna hijau yang terhubung pada kran ledeng dekat situ, “ini biasa buat bersihin daging, tapi airnya bersih kok”
Gadis itu tersenyum, “Bapak mau bersihin saya atau mau pegang-pegang badan saya lagi?” godanya.
“Hahaha...mungkin dua-duanya Non, ya kan kalau bersihin ya harus pegang-pegang dong supaya lebih bersih. Gimana Non? Kalau Non gak keberatan, berbaring aja di sini, biar Bapak bersihin” katanya sambil menepuk-nepuk meja marmer itu.
Jill terdiam sejenak, aneh juga harus melakukannya di meja jagal. Namun ia kemudian tersenyum.
“Haha...saya jadi merasa seperti hewan mau dipotong, selera anda memang funny Pak!” katanya sambil melepaskan sepatu dan kaos kakinya dan naik ke meja tersebut, “oke...Pak silakan bersihkan badan saya!” ia terbaring telentang pasrah tanpa sehelai benangpun.

Pak Fahri mulai menyiramkan air ke tubuhnya, menggosokinya dengan lembut membuat gadis itu merasa nyaman. Siraman air dingin dari selang itu memberinya kesegaran dan sentuhan-sentuhan erotis pria itu membuatnya terbuai, ia merasakan aliran sensual merayapi tubuhnya, apakah ronde berikutnya akan dimulai? Ia belum tahu pasti. Matanya terpejam menghayati tangan pria itu membersihkan tubuhnya. Siraman air tidak terasa lagi, sebagai gantinya tiba-tiba ia merasakan bibir pria itu menempel di bibirnya. Serta merta ia pun menyambutnya dengan hangat, lidah mereka saling belit selama beberapa saat hingga pria itu menarik lidahnya, sepertinya hendak mengakhiri percumbuan. Tiba-tiba jret....takk....!!! terdengar suara daging terpotong dan disusul bunyi logam beradu dengan meja marmer di bawahnya. Mata Jill yang terpejam langsung membelakak, ia tidak sempat menyadari apa yang terjadi karena kepalanya telah terpisah dari tubuhnya. Pak Fahri menjenggut rambut panjang gadis itu dan mengangkat kepalanya yang terpotong sambil terus mencium bibirnya selama beberapa detik.
“Mmmhhh...” ia melepas ciumannya dan menatap potongan kepala gadis itu yang masih membelakakkan matanya, “maaf yah Non, Bapak lagi butuh daging gadis muda yang rasanya enak itu, Non datang di saat yang tepat membawa daging impor lagi hehehehe...”
Ia lalu meletakkan kepala itu di atas meja di sebelahnya dan mulai beralih ke arah tubuhnya yang masih mengucurkan darah dengan deras pada potongan lehernya. Lelehan darah membasahi lantai di bawahnya mengalir bersama sisa air ke saluran pembuangan air. Tanpa membersihkan cipratan darah pada wajah dan tubuhnya lebih dulu, Pak Fahri mulai memposisikan ujung golok dagingnya pada ulu hati tubuh tak berkepala itu lalu ia tekan dan tarik hingga membelah perut yang mulus dan rata itu. Kembali darah tercurah membasahi meja. Hati, jantung, usus, semuanya jelas terpampang dihadapannya. Dengan tenang seperti melakukan pekerjaan biasa, ia mengeluarkan isi perut Jill dan menampungnya pada sebuah baskom besar. Kemudian, bagaikan seorang tukang daging di pasar, pria itu dengan santai memotong buah dada Jill dan memotong daging dari bagian tubuh lainnya yang telah ia pilah-pilah lalu ditampung di sebuah baskom lainnya. Daging-daging terpilih itu ia cuci hingga bersih dari darah lalu dibawanya ke arah mesin penggiling. Mesin dinyalakan, satu-persatu potongan daging manusia itu ia masukkan ke lubang di atas mesin yang lalu secara otomatis mengelurkan hasil gilingannya ke baskom lainnya. Total didapat dua baskom ukuran sedang dari daging yang masih ‘segar’ tersebut.

Kembali ke meja penjagalan di mana tubuh Jill sudah tidak berbentuk lagi. Tubuh gadis malang itu kini hanya berupa bagian-bagian yang terpisah-pisah. Kaki, tangan, serta tubuh telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian, beberapa di antaranya sudah tinggal berupa tulang yang masih bermandikan darah, sementara kepala gadis itu tergeletak di meja lain, matanya yang membelakak menatap ke arah tubuhnya yang sudah tidak utuh lagi. Pemandangan menjijikkan itu nampaknya bagi Pak Fahri merupakan hal yang biasa saja, tanpa tergesa-gesa ia membereskan sisa pekerjaannya. Daging yang tersisa ia sayat hingga habis dan ia letakkan di wadah lain. Kurang lebih setengah jam kemudian yang tersisa tinggal tulang-belulang merah darah. Pria itu mengambil sebuah plastik hitam besar yang biasa dipakai untuk membuang sampah lalu memasukkan tulang-tulang itu ke dalamnya. Terdengar suara langkah menuruni tangga dari ruangan sebelah.
“Pak...Bapak!!” terdengar suara Hamzah memanggil ayahnya.
“Sini Nak! Bapak lagi sibuk! Tolong bantuin Bapak dong!” sahut Pak Fahri menanggapi panggilan anaknya itu.
Hamzah menemui ayahnya yang masih telanjang dengan tubuh berlumuran darah itu di dapur belakang, namun tampaknya pemuda keterbelakangan mental itu tidak merasa ngeri ataupun kaget.

“Bapak lagi potong daging? Ehehehe!” ia tertawa polos sambil memeluk boneka Telletubies merah kesayangannya.
“Iya, kamu datang tepat waktu nak.” pak Fahri berkata sambil merenggut rambut kepala Jill yang bertengger di atas meja di sampingnya, masih dengan mimik wajahnya yang terkejut dengan mata membelalak lebar. “Cepat, yang ini masih segar.” Katanya sebelum melempar kepala itu ke arah Hamzah yang buru-buru melepas bonekanya dan menangkap kepala gadis malang itu.
“Hehehe, yang ini cantik pak. Kok rasanya sayang kalo di…”
“Halaaah, sudah gak usah banyak omong. Nanti keburu telat, ini semua buat kebaikan kamu juga nak. Ayo, kamu udah tau caranya khan?”
“Iya pak, Hamzah ngerti.” Dengan santainya pemuda itu meletakkan kepala Jill di atas sebuah talenan kayu yang cukup besar dengan posisi wajah yang menghadap ke arahnya. Kemudian meraih sebilah pisau daging yang sudah tajam terasah, diangkatnya tinggi-tinggi pisau itu.
“Awas nak, jangan sampai berceceran. Sayang kalau terbuang.”
“Iya pak.” Sahut si pemuda dengan seringai polos di wajahnya, yang entah bagaimana tampak mengerikan di sinari lampu redup bohlam berwarna kuning yang menggantung dengan malasnya di atas dapur si tukang jagal itu. Dengan satu kali ayunan di tetakkannya pisau daging itu di ubun-ubun kepala si gadis malang, kemudian dengan jari-jari pada kedua tangannya pemuda itu mengoyak tengkorak kepalanya hingga terbelah. Dengan satu tangan diraupnya sebongkah otak yang masih berdetak dari dalam tempurung kepala Jill. Diangkatnya gumpalan otak itu tinggi-tinggi seolah memamerkan pada ayahnya, “Pak… masih hangat pak.”
“Bagus nak, ayo dihabiskan. Biar kamu tambah pinter.” Sahut Pak Fahri menyemangati anaknya.
Pak Fahri berjalan ke arah rak hendak mengambil bumbu dan alat masak lain, dipungutnya boneka Telletubies yang tadi dijatuhkan Hamzah ketika menangkap kepala Jill. Ia letakkan boneka tersebut di meja, namun wajahnya jadi terkejut melihat sesuatu di layar pada perut boneka itu yang dapat diselipkan sesuatu.
“Loh nak...ini kok bisa disini sih?” tanyanya pada Hamzah seraya mengeluarkan SIM yang terselip di perut Telletubies yang berlayar itu.
Hamzah yang tengah menyendok otak Jill seperti makan puding itu menengok sejenak,”Ooohh...itu punya om yang Hamzah tusbol itu”
“Iya tau...yang bapak tanya, kok bisa benda ini ada di sini? Bapak kan udah larang keras untuk mengambil barang punya orang lain, itu dosa, tau?” pria itu terlihat agak marah pada anaknya dan memukulkan boneka itu ke kepala Hamzah.
“Soalnya Pak....soalnya....” jawab Hamzah dengan gayanya yang lugu, “om itu kan  gendut, imut, mirip boneka Hamzah....jadi...jadi....Hamzah kasiin ke dia, jadi boneka Hamzah punya nama sekarang...Hamzah bisa baca loh Pak, nih liat!” pemuda kelainan mental itu meraih SIM yang dipegang ayahnya, “Farrr....hat....aaa...basss! bener kan Pak? Jadi boneka ini Hamzah kasih nama Farhat”
“Iya...iya...Hamzah pinter, tapi tetap ngambil barang orang lain itu gak boleh, ngerti?” tegas Pak Fahri yang dibalas anaknya dengan anggukan, “Bapak ambil ya kartu ini, ntar malem mau dibakar sama barang-barang di tas gede di warung depan, kamu ambil apa lagi nggak?”
“Nggak Pak, Hamzah cuma ambil kartu itu aja, gak ambil apa-apa lagi,sumpah!”
“Ya udah kamu terusin aja makannya dulu, abis itu bantu bapak beres-beres yah!” kata Pak Fahri seraya mengambil sebuah sendok dan beberapa bumbu masak, “eh iya...hati-hati nyendoknya, matanya jangan sampe rusak nak, besok mau bapak pake buat bikin sop mata kesukaan kamu”
“Yee....asyyiikk...hore...Bapak mau bikin sop mata, kayanya bakal enak Pak, soalnya ini matanya bagus, warna ijo, Hamzah baru pernah liat yang kaya gini!” kata pemuda itu kegirangan sambil menatap mata Jill yang memandang kosong.

***
Hampir seminggu sejak kedatangan Jill ke warung bakso pak Fahri, dan hampir seminggu pula warung baksonya dijejali oleh pelanggan baik tetap maupun barunya pak Fahri. Pelanggan yang datang lebih ramai bila dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.
“Baksonya tambah enak aja pak Fahri, resep baru ya?” celetuk seorang bapak pekerja kantoran yang merupakan pelanggan tetap yang tengah sibuk menikmati satu porsi bakso yang terhidang di hadapannya.
“Biasa aja kok Pak, masih resep warisan, dagingnya aja yang lagi bagus.”
“Pake daging apa emang pak? Sapi impor ya?” timpal rekan kerja si bapak yang duduk di sebelahnya.
“Yah, gitulah Pak.” Jawab pak Fahri yang disertai beberapa gelak tawa dari pelanggan-pelanggan yang ikut sibuk menikmati hidangan masing-masing.
Tak berapa lama kemudian Luthfi datang dengan membawa seorang gadis. Usianya masih belia dan bila dilihat dari pakaian yang dikenakan oleh gadis ini sepertinya dia baru datang dari kampung. Kaos ketat murahan di balut dengan jaket jeans lusuh sebagai atasannya dan celana jeans ketat model legging yang terlihat agak kotor sebagai bawahannya.
“Pak Fahri. Bapak masih butuh karyawan gak? Saya liat setelah si Nanik keluar berapa bulan lalu kan belum ada yang kerja lagi.” tanya Luthfi sambil melirik meja kerja pak Fahri mencari makanan yang sekiranya dapat di comoti.
“Nah, yang kamu bawa ini siapa Fi? Saudaramu?”si gadis yang tahu tengah dibicarakan diam saja malu-malu dan kalau pak Fahri tak salah lihat, wajahnya seperti mau menangis. Buru-buru di tutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang kotor.
“Bukan pak, ini cewek saya temuin lagi tidur di terminal bis waktu saya lagi markir. Dia dateng dari kampung, saya takut dia dikerjain sama anak-anak terminal. Makanya saya bawa dia kemari.” Jelas Luthfi yang terlihat agak sedikit kecewa karena tak ditemukannya makanan siap comot di meja pak Fahri.
“Memangnya nama kamu siapa?” tanya pak Fahri ramah sambil mempersilahkan gadis kampung itu duduk. Gadis itu masih belum buka suara karena masih menahan tangisnya. Pak Fahri menyuruh Hamzah untuk menyuguhinya segelas air putih, gadis itu malu-malu menerima gelas yang disodorkan pemuda itu dan meminumnya.
“Eh iya, Fi...mau kerupuk kulit gak? Ini baru aja digoreng dan dikemas pagi tadi...ambilin di dapur nak!” pintanya pada Hamzah.
Sebentar saja Hamzah kembali dengan membawa beberapa kantong kerupuk kulit yang sudah dikemas dalam plastik kecil.
“Masih garing terus kulitnya yang spesial kali ini, lembut tapi kriuk gitu, dicoba deh!” Pak Fahri menyodorkan sebungkus pada si preman tukang parkir itu.
“Wah makasih nih, jadi ngerepotin? Dicoba dulu yah” ia menyobek kemasannya, mengambil sepotong kerupuk kulit itu dan kriuk....ia mengangguk-angguk merasakan kerupuk kulit yang gurih itu, “wahhh....top ini Pak, kulit sapi muda ya? Atau sapi impor? Nanti malem buat temen makan nasi goreng wuihh...pas banget tuh!”
Pak Fahri tersenyum puas melihat krupuk kulit buatannya itu memuaskan selera yang memakannya, ia memberikan lima bungkus untuk Luthfi lalu pamit dengan hati gembira karena mendapat makanan gratis lagi.
“Nah...udah tenang sekarang?” Pak Fahri kembali pada gadis kampung yang sudah mulai reda tangisnya itu, ia mulai mengangkat wajahnya yang menunduk, “kita kenalan aja dulu, nama bapak Fahri, nah itu putra bapak, namanya Hamzah, kalau adik namanya siapa?” tanyanya dengan ramah.
“Nama saya Lastri pak, saya baru datang pertama kali ke sini. Kampung saya di Cilacap, saya dijanjiin mau dikasih kerjaan jadi pembantu rumah tangga.” Gadis kampung itu menyeka air matanya sebelum meneruskan ceritanya. “Tapi semalam bisnya telat, jadi begitu saya sampai disini. Lowongan pekerjaannya udah diisi sama orang lain.”
“Nah, terus nak Lastri kenapa sedih? Gak tau jalan pulang?” tanya Pak Fahri yang melihat peluang di depan matanya.
“Bukan pak, saya gak punya ongkos pulang ke kampung.”
“Lantas kenapa kamu gak telepon aja keluarga kamu di kampung minta dijemput?”
“Keluarga saya gak ijinin saya kerja di luar kota. Jadi saya kabur dari rumah pak.” Terang Lastri sambil tangisnya meledak lagi tampak sekali menyesali keputusan buruk yang telah diambilnya. Sedangkan senyum pak Fahri semakin merekah lebar mendengar semua penuturan gadis kampung yang polos itu.
Diperhatikannya tubuh Lastri yang berkulit putih bersih khas kembang desa. Dengan buah dada yang jelas mencetak di kaos ketatnya, pak Fahri tak perlu menebak-nebak lagi berapa ukurannya.
"Hmm... begini saja nak Lastri. kalo kamu mau, kamu boleh bekerja disini selama beberapa hari. Yahh... anggap saja gajinya  buat kamu tabung untuk ongkos pulang kembali ke kampung. Kalo kamu betah dan mau terus bekerja disini, saya pun gak bakal melarang. Saya cuma niat membantu kamu saja." usul pak Fahri dengan raut wajah yang meyakinkan.
"Bener pak? bapak ijinin saya bekerja disini?"
"Iya, kamu boleh tinggal disini. saya ada kamar kosong di atas."
"Terima kasih ya pak, saya betul-betul gak akan mengecewakan bapak." kata Lastri buru-buru sambil meraih tangan pak Fahri dan menciumnya. Air mata Lastri yang tadinya sudah kering pun kembali keluar karena tersentuh akan kebaikan hati pak Fahri.
"Sudah... sudah, kamu pasti lapar. Sebentar lagi sudah waktunya tutup, saya buatin kamu bakmie buat ganjal perut sebelum kita makan malam." usul pak Fahri, dan Lastri pun bukannya tak mau, karena memang sejak semalam perutnya belum diisi dengan makanan. dia mengambil tempat duduk yang kosong dan menerima makanan yang disuguhkan pak Fahri dengan berkali-kali ucapan terima kasih terlontar dari mulutnya.
Sementara Lastri menyantap bakmie buatan pak Fahri. Pelanggan yang memang sudah tahu jam buka dan tutupnya warung bakso pak Fahri, satu persatu meninggalkan tempat itu sehabis mengisi perut mereka. Pak Fahri pun dengan santai menutup warungnya, ia menarik pintu lipat dari papan kayu itu lalu mencantelkan gembok tanpa menguncinya. Kemudian ia masuk ke dapur, mengambil sebuah gelas dan membuat bandrek hangat untuk diberikan kepada si gadis kampung, dan tentu saja tak lupa ia memasukkan obat perangsang dosis tinggi seperti yang diberikan pada Jill hampir sepekan yang lalu.
"Kebetulan nih, stok daging udah mau habis." gumam pak Fahri dengan seringai jahat di wajahnya.

By: Shusaku
Special thanks to: Jimmy Jinx yang sudah membantu penulisan cerita ini

NB:
  • Cerita ini adalah effek samping dari semingguan dijejali film Untold Story 1 dan 2 dan Meat Grinder
  • Cerita ini hanyalah fiktif belaka kalau ada kesamaan tempat dan tokoh di dunia nyata insya allah come true seperti di cerita (terutama tokoh yg di dunia nyatanya :D , u know who...)
  • Tidak ada satupun seseorang atau binatang yang disakiti dalam penulisan cerita ini
  • Don’t try this at home, unless you want to become psycho or serial killer