Jumat, 08 Februari 2013

Cinta dan Derita sang Mawar liar BUNGA-BUNGA TERAKHIR BUAT ALFI



Hari-hari kami berlalu tanpa mbak Narti. Tak cuma mang Gimin yang merasa kehilangannya, akupun begitu sedih. Hanya mbak Narti-lah yang menjadi temanku sekaligus saudara yang memanjakanku. Setelah kepergiannya, mami segera mendatangkan penggantinya. Tak tanggung-tanggung dua orang sekali gus. Ke dua-duanya berusia paruh baya. Keduanyapun sangat baik dan sopan kepadaku. Namun entah mengapa aku tak bisa mengakrabkan diri dengan mereka seperti halnya terhadap mbak Narti. Yang paling menderita tentu saja adalah mang Gimin. Ia sempat jatuh sakit sehingga tubuhnya semakin kurus. Setelah sembuhpun ia lebih banyak menyendiri dan melamun. Aku sungguh iba terhadap nasibnya. Sebisanya aku menghiburnya dengan membuatkan makanan kesukaannya. Hingga pada suatu hari setelah pulang sekolah. Seperti biasa mang Gimin menjemputku.
"Non ndak les hari ini?"
"Lagi males!” jawabku ketus. 
Saat itu hatiku memang sedang kesal. Bagaimana tidak hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-17 tetapi tak ada perayaan sama sekali, jangankan kue tart, papi dan mami juga tak ada. Mereka bahkan lupa menelponku hari ini hanya sekedar untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku.
“Non..”panggil mang Gimin lembut
“Apa!”aku menimpalinya dengan wajah cemberut.
“Selamat ulang tahun, ya. Semoga si non panjang umur dan tambah cantik”
“Arggg!….kok mamaang tahu hari ini Sabrina ulang tahun?” jeritku girang bercampur heran mengapa justru dia yang ingat akan hal ini.
“La iyalah..mamangggg he he he”jawabnya dengan kocak
“Hi hi hi Makasih ya mang Sabrina jadi tambah sayang sama mamang” ujarku kolokan. Terus terang saja aku begitu tersanjung akan perhatiannya padaku meski itu hanya sebuah ucapan selamat ulang tahun saja.
“Eng….mamang mau kasih hadiah ulang tahun buat non”
“Wahh..hadiah apa sih mang?” tanyaku antusias.
"Gimana kalau siang ini kita nyelup aja?" ajaknya 
"Beneran nih mamang?" aku gembira akan ajakannya.
Hasratku memang sudah tak dapat kutahan lagi. Semua itu adalah gara-gara mbak Narti. Sudah dua minggu ini aku terpaksa puasa karena mang Gimin ngambek dan susah diajak bicara. 
"Iya tapi kita tidak bisa ngelakukannya di rumah soalnya ada orang-orang itu.”
Aku baru sadar. Sejak adanya dua orang pembantu baru itu kami jadi tak mungkin dapat melakukan hal itu di rumah seperti dulu lagi.
"Habis bagaimana mangg?" tanyaku agak kecewa. 
Padahal aku sudah berharap sekali dia peting siang itu. Aku sudah kebelet dan kangen pada rasa kenikmatan itu. Dan aku tak ingin menundanya lagi. Vaginaku langsung gatal dan berdenyut-denyut begitu dia mengajakku melakukannya. 
"Non tenang saja. Mamang sudah ada rencana buat kita" ujarnya.

Ternyata, dengan gajinya mang Gimin berniat menyewa sebuah kamar di hotel bintang dua. Sepertinya ia memang sudah merencanakan ini sejak awal buat menyenangkanku. Untungnya ini bukan waktunya orang-orang ngamar jadi suasana di loby hotel sedang sepi soalnya aku merasa risih karena masih memakai seragam sekolahku. Setelah ia mendapatkan kamar kamipun naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar mungil itu.
“Hi hi hi ga sabaran betul nih?” godaku melihat ia begitu tergesa-gesa menanggalkan pakaiannya. Ia melemparnya hingga berserakan di lantai kamar. 
“Mamang  sudah kangen banget sama non…”jawabnya. 
Sepertinya ia memang tidak bohong. Terbukti benda berurat yang berada di selangkangannya itu sudah berdiri kukuh di antara rerimbunan bulu-bulu kusut yang beruban. Ternyata tanda-tanda ketuannya terlihat hingga ke bagian itu. Ketika aku baru saja selesai melepas sepatu dan rok seragam sekolahku, ia langsung menarik pinggangku sehingga aku terduduk di atas pangkuannya secara berhadapan. Kini posisi dadaku berada tepat di depan wajahnya. Aku dapat merasakan hembusan napasnya yang memburu karena dada tuanya di sesaki nafsu birahi. Sepertinya ia tak ingin membuang-buang waktu. Tangannya segera melepasi kancing blous-ku satu persatu. Berikutnya kaitan bra-ku menyusul ia lepaskan. Begitu bagian atas tubuhku terbuka, secepat kilat mulutnya langsung menyergap puting kiri-ku.
“ARGGHHHHHH…MAMAAANGGGG!” rintihku. 
Giginya yang ompong itu menjadikan setiap kecupan dan hisapannya begitu istimewa. Kedua tanganku langsung meraih kepalanya dan menariknya semakin erat ke dadaku sedangkan ia sendiri merangkul pinggangku. Terasa juga hangat dari penisnya yang terjepit oleh perut kami berdua. Mang Gimin terus saja mengemuti puting payudaraku meski kedua-duanya sudah sangat menegang. Ia memang suka berlama-lama melakukan itu. Mang Gimin punya segudang teknik dalam memberiku kenikmatan melalui aksi meneteknya. Terkadang ia mengisap secara kencang seakan ingin membuat putingku mengeluarkan susu dan saat terlepas ia menggantinya dengan permainan lidah. Kadang-kadang ia menggigit-gigit putingku dengan gusinya yang tak bergigi itu. Atau kepalanya bergerak maju mundur seperti burung pelatuk. Saat maju bibirnya memagut putingku lalu menariknya mundur menjauh ke ambang batas kekenyalan putingku hingga terpental lepas dari bibirnya. ia melakukan itu secara berulang-ulang diiringi suara cplak-cplok. Tetapi jujur apapun yang ia lakukan selalu saja itu mendatangkan jutaan kenikmatan bagiku. Ia memang ‘pandai’ dalam urusan itu. Dan akibat lain dari itu dadaku yang semula hanya berukuran 34b itu kini mengembang semakin besar dan kencang hanya dalam beberapa bulan saja. 

“Manggg...udahan gelii!” erangku sambil memegang ke wajahnya dengan kedua tanganku dan menahannya agar tak lagi menyentuh dadaku. 
Aku tak tahan lagi ia begitukan. kedua putingku menjadi terlalu sensitif. Bila tersentuh rasanya geli  bukan main.
“Kalau gitu mamang maenin yang bawah ajah ya non” balasnya. Aku menggangguk setuju. Lalu ia merebahkan tubuhku dari pangkuannya ke atas kasur. 
“Garrgggggg Mangggggg!!” aku terpekik geli. 
Ternyata mang Gimin kembali menangkap puting yang sudah dalam keadaan sangat sensitif itu. Duh gelinya!! sampai-sampai jemariku mencengkram seprey kuat-kuat.Dasar Si tua ini memang nakal! Padahal ia sendiri sudah tahu jika aku tak tahan lagi dikerjai seperti tadi. Untungnya ia segera melepasnya kembali jika tidak bisa-bisa pipisku muncrat di atas kasur  gara-gara  ulahnya. 
“Aaa..Mamang nakal! Katanya tadi mamang mau gituin yang bawah” rajukku manja.
“He he he maaf ya non. Habisnya mamang masih gemes sama dadanya non yang cantik ini”
“Ah masa sih mang? Bukannya punya mbak Narti lebih cantik dan lebih besar dari punya Sabrina?”pancingku pingin tahu sebenarnya kriteria macam apa yang menjadi kesukaannya.
“Bukan masalah besarnya non. Tapi bentuknya. Punya non bulat dan masih kenyal ndak seperti punya Narti yang sudah kendor”
“Bener begitu?.” Tanyaku ragu. Aku tak tahu ia mengatakan itu secara jujur atau karena ia masih marah terhadap mantan istrinya itu. 
“Lha iya non mana mungkin juga buah lokal ngalahin buah improt!”jawabnya menegaskan.
“Hi hi hi mamang bisa jaah!” Aku tertawa geli mendengar cara ia mengungkapkan hal itu. Tapi pujiannya membuatku tersipu dan merasa bangga setidaknya kini aku sudah bisa mengugguli mbak Narti di sisi itu.
“Mamang terusin sekarang ya non”
Mang Gimin menjulurkan lidahnya menyapu permukaan dadaku lalu turun ke arah perutku. Sesenti demi sesenti kulitku ia jelajahi dengan bibir dan lidahnya. Tak sedikitpun yang ia lewatkan. Layaknya seperti seekor kucing yang memandikan anaknya. Membuat tubuhku yang sudah basah oleh keringat menjadi semakin basah oleh air liurnya. Hingga penjelajahan itu terhenti. Ternyata tujuan akhir itu masih terbungkus oleh pakaian terakhirku, celana dalam bermotif bunga milikku. 

Hanya sepersekian detik saja benda penghalang itu sudah terlempar jauh ke sudut kamar. Aku sendiri yang melakukannya. Aku tak ingin benda itu menunda kenikmatan yang akan ia berikan kepada diriku. Kini tak ada lagi yang menghalangi lidah mang Gimin mencapai ketempat yang sama-sama kami ingini. Yaitu vaginaku.
“Maaaaangggg ayooo!...kok cuma diliatiin!” rengekku tak sabar karena ia belum juga menyentuhku di bagian itu.
“Sebentarrr Noooonn....duhhh canntikknya!...Mamang betul-betul tambah cinta sama nonn”  kudengar ia mendesah lirih. 
Aku juga tak tahu apa sih yang membuatnya suka berlama-lama memandangi bagian itu. Bukankah selama ini dia sudah sering melihatnya. Lagian tak ada yang berubah pada anuku itu.
“Hssssss...maangggg...” aku mendesis saat sapuan pertama melintas cepat secara vertikal di atas permukaan vaginaku. Lalu di susul oleh sapuan demi sapuan berikutnya yang membuat jiwaku melambung keawang-awang. 
Slikk..slepp..slikk...suara erotis itu mengiringi setiap gerakan lidahnya saat menari-nari dengan lincah di dalam rongga vaginaku. Tubuhku meliuk ke sana kemari semakin menjadikan seprey ranjang itu kusut tak karuan. Aku tahu dalam kondisi itu cairan cintaku akan tumpah ruah. Dan aku tahu ia akan menelan setiap tetesnya. Tak menunggu waktu lama buat orgasmeku terjadi.
“OUUUUUUUGHHHHH MAAAAAANGGGG!!” aku memekik nikmat. 
Terjadinya memang begitu cepat dan kuat.  Dan saat itu terjadi Mang Gimin menghisap ‘kacang’ku kuat-kuat. Menjadikan kenikmatan itu semakin tak tertahankan. Kedua pahaku secara reflek mengapit kepala mang Gimin. Pinggulku menghentak. Berayun tak tentu arah. Dan aku sudah tak perduli kain seprey hotel ini bakal robek oleh cengkramanku. Oughhhhh nikmatnya! Rasa geli nikmat itu yang membuatku semakin ketagihan! semakin membuatku butuh padanya! Semakin membuatku  sayang pada mang Gimin sopir tua-ku itu! Lalu semua terlihat memutih....sensasi menyenangkan bercampur rasa ngantuk menyerangku. Itu orgasmeku yang pertama setelah beberapa mingguan puasa gara-gara kasus perginya mbak Narti. Setelah kenikmatan awal tadi berlalu kepala mang Gimin terus berada di selangkanganku. Ia semakin telaten memesrahiku dengan lidahnya hingga dua puluh menit ke depan. Seperti biasanya ia memang tak pernah terburu-buru dalam melakukan keintiman. Setiap tahapan foreplay ia lakukan secara komplit dan sabar. Lidahnya terus meniti gairah yang ada di kewanitaanku. Setiap beberapa menit sekali aku kembali jobol ia buat. Sesungguhnya aku suka sekali saat dia mengerjaiku dengan lidahnya. Apalagi sampai orgasme berulang kali seperti ini.   Hanya saja aku merasa kali ini ia terlalu lama melakukannya dan ini sungguh tak biasa. Selain itu ia juga tak  memberiku kesempatan buat melakukan hal yang sama terhadap dirinya. Seakan ia tak ingin kehilangan fokusnya dalam merangsangku. 

"Manggg udahan dulu jilatnyaa ...... celupinnn sekaranggg!" rengekku tak sabar lagi. 
Aku sudah ia buat orgasme berkali-kali. Dan aku ingin orgasme berikutnya langsung dihasilkan oleh jejalan penisnya yang terbungkus penuh dari pangkal hingga ke ujung oleh  keriput-keriput itu. Mang Gimin-pun mengangkat wajahnya keluar dari selangkanganku. 
“He he he non sudah kangen ama kontol mamang ya?”
“Iya! Cepetann masukinnn!”
Tetapi aku dibuatnya heran ketika ia memintaku tetap terlentang. Dan ia tak mengambil posisi di belakang tubuhku seperti biasanya. Malahan justru mau menindihku.
“Lho mangg, kok?”
“Kita cobain dari depan ya non.” 
“Emangnya kenapa kalau dari belakang?”tanyaku.
“Ndak pa pa sih. Tapi yang pastinya lebih enakan dari depan. Lebih asoooy”
“Bener  mang?” 
“Masa sih mamang bohong? Makanya mamang pingin si non nyobain dulu. Kalau ternyata nanti ndak enak baru kita ganti dengan cara biasa” Ujarnya berusaha meyakinkanku.
“Iya deh mang. Cepetan!” 
Tentu saja aku tak ingin berlama-lama menunda kenikmatan ini sehingga  aku langsung saja menyetujui buat melakukannya dalam posisi baru itu. Terlebih dahulu Mang Gimin meletakan sebuah bantal di bawah pinggulku. Selanjutnya ia menindih tubuhku dari depan seperti yang sering ia lakukan dengan Mbak Narti dulu. Bibirnya langsung memagut leherku yang jenjang.
“Oughhhtt…manggggg” rintihku ketika kurasakan ujung kontolnya maju secara perlahan menusuk dan membelah bibir vaginaku.
Lep! Ia berhasil masuk dan berhenti pada kedalaman biasa. 
“Ouhhh…mamaaaangggg” rintihku nikmat.
Betapa kangennya aku dengan rasa nikmat yang satu ini. Penisnya memang tak tertandingi oleh kelincahan lidahnya. Dan rasa nikmat itu semakin menjadi-jadi saat ia mulai memaju-mundurkan pinggulnya. Clakk Clek! Clak Clek! Suara itu muncul seiring kocokannya. Cairan cintaku semakin banyak meluber keluar dari sela-sela tautan kemaluan kami berdua. Ternyata benar apa yang dikatakannya tadi. Memang lebih banyak kesenangan bila ia memesraiku dalam posisi berhadapan seperti saat itu ketimbang melakukannya dengan cara biasa. Kami jadi lebih leluasa berciuman. Dan ia bebas menetek secara bergantian pada kedua payudaraku disepanjang keintiman itu. Dan itu semua semakin mempercepat proses orgasmeku.
“Mamangggg sayangggg…Sabrinaa sudah mauu dapetttt…Oghhhhh” rintihku.
Dia juga tahu itu! Kocokannya semakin ia percepat namun tak sampai membuat penisnya hanya tertanam nyaris sepertiga bagian itu terlepas dari vaginaku. Memang tak mudah tapi mang Gimin mampu melakukan itu secara konsisten. Hanya dalam tempo beberapa detik kemudian aku mendapatkan orgasmeku.

“AAARRRGGGHHHHHH!!!” pekikku membahana. 
Nikmatnya sungguh tak terkira. Begitu kuat! Begitu mengguncang! Lunas sudah penantian panjangku selama beberapa minggu ini. Kenikmatan seperti inilah yang sangat kudambakan.
“Ohh mamangg...”bisikku lirih setelah orgasme hebat itu usai. Napasku masih terengah-engah. 
“He he he Gimana? Benar lebih enak kan?” tanyanya menegaskan bahwa dia tidak bohong.
Aku menggangguk.
“Non Sabrina suka sama kontol mamang?“
Aku kembali mengangguk. Tentu saja! Biar keriput aku suka. Biar item aku juga suka. Pokoknya aku cinta sekali sama penis tuanya. Lalu permainan cinta itu berlangsung lagi semakin membara. Tetapi suatu yang tak biasa kembali terjadi. Kami bercinta sudah selama satu jam-an dan aku sudah enam kali mendapat orgasme. Namun mang Gimin belum satu kali-pun muncrat. Dari wajah keriputnya yang sudah begitu pucat ituaku tahu ia sengaja menundanya. Selain itu akupun dapat merasakannya dari denyutan penisnya yang telah mengembang penuh itu di dalam jepitan mulut vaginaku. 
“Mamangg..kenapa di tahan-tahan pipisnyaa?” tanyaku heran kenapa ia mati-matian dengan sekuat tenaga bertahan dari desakan kenikmatan itu.
Sesekali akupun dapat merasakan gemetar dari tubuhnya yang kurus itu.
“Sebentar lagiii ajaa nonnn..biar tambah asooyy heggg” jawabannya.
Banyak sekali keganjilan yang terjadi siang itu. Aku juga merasa ia berusaha mencicil-cicil penisnya masuk lebih jauh dari biasanya hingga beberapa kali aku meringis kesakitan. 
Namun aku tak terlalu memperdulikan semua itu. Yang lebih mendominasi diriku adalah kenikmatan demi kenikmatan yang ia suntikan kepadaku. Yang semakin lama menjadi semakin menggila saja.
“N..ooon..”tiba-tiba ia memanggilku dengan suara serak di tengah kemesraan yang membuncah itu.
“I.iyaa mangg...semprotinnn sekarangg ..Sabrina jugaa sudahh hampirrr deapettt lagii” 
Saat itu kupikir ia sudah akan melepas ejakulasinya dan memintaku bersiap menerima semprotan nikmatnya. Sementara diriku sendiri sudah merasakan jika orgasmeku segera tiba lagi. Sebuah orgasme yang lebih enakdari sebelumnya.
"Nonn...”panggilnya lagi
“Iyaaa...mangg”
“Kita..kitaa....entotan yuk" bisiknya lirih dan tergagap. 
“Nge...ntott Manggg?”Tanyaku kaget sambil memandang wajahnya. Matanya menatapku lekat-lekat.
“Iyaaa noon..Mamang nyelupnya sampe ke dasar. Mamang mau muncratinnya pas penis mamang mentog di dalem nonoknya non. Mau ya nooon?” Suaranya bergetar menandakan napsunya semakin tak terbendung. 
“Manggg Janggannn. !…Sabrinaa tidakkk mauuu!” jawabku tegas. 
Aku suka akan kenikmatan-kenikmatan itu tapi aku juga tak ingin berbuat lebih dari yang pernah kami lakukan. Apalagi sampai harus menyerahkan keperawananku padanya!

“Ndak pa pa noon....ntar juga non ngerasain yang lebih enak dari sebelumnya..mamang masukin sekarangg ya non” Ia mengatakan itu sambil memajukan pinggulnya secara perlahan membuat ujung penisnya masuk agak jauh ke dalam.
“AWWW!!..Sakit! 
Dari situ aku tahu ia bersungguh-sungguh akan melakukan niatnya itu.
“Mangg Cabuuuttt!!...Sabrinaa gaa mauu!!”
Aku-pun meronta berusaha agar terlepas dari tindihan tubuhnya. Tetapi mang Gimin dengan sigap mencekal pergelanganku dengan erat. Lalu ia pentangkan kedua tanganku di sisi kepalaku sehingga aku benar-benar tak berkutik di bawah tindihannya. Penisnyapun sejak tadi sudah dalam posisi terbaik. Terjepit hingga sepertiga bagian di dalam vaginaku. Menunggu pemiliknya menentukan nasib bagi duapertiga bagian sisanya. 
“Manggg jangaannn nodai Sabrinaaa.. huu huu” mohonku dengan memelas padanya. 
Sadar jika aku akan ternoda air mataku mulai tumpah di tengah kecemasan dan keputus asaan yang melanda hatiku. Aku cuma berharap pada detik-detik terakhir ia masih mau mengurungkan niatnya itu. 
"Mamangg tidak kuat lagii, nonn. Mamangg entot non sekarangg!!...” 
Ternyata harapanku saat itu sia-sia.Mang Gimin sudah menekan.....
“Maaaanggg Sakiiiiiiiiiiiittt!!!” pekikku saat rasa sakit semakin menyengat kewanitaanku.
Tak ada yang bisa mencegahnya saat itu.
“Oughhhh!Perett tenannnn! Enakkk ! Rapettt!!"
Sambil meracau keenakan ia terus masuk. Selaput daraku sempat menahan terjangan penisnya beberapa detik sebelum akhirnya terkoyak dan menyebabkan rasa nyeri luar biasa  di dalam kewanitaanku. Bleeeeeesss!!
“AWWWWWWWWW..!!!” aku terpekik kesakitan. 
Seketika itu penisnya meluncur dengan mulus memasuki area kewanitaanku yang selama ini belum pernah ia singgahi. Dalam hitungan detik aku merasakan ia  melepas ejakulasinya yang ia tahan-tahan sejak tadi. CROOOOOTTTT!!!
"ARRRRGHH NONOOOK!!!!” mang Gimin membentak jorok tanpa sadar. 
Belum pernah kudengar ia jorok seperti itu sebelumnya. Kupikir ia tak dapat lagi mengontrol ucapannya di tengah kenikmatan dasyat yang ia peroleh dari liang perawanku. CRROOOTTTTTTT!!! .....CROOOOOTTTT!!!!!
“ARRGGGHHHH !!!NONOOK!!!” 

Mang Gimin terus meracau jorok sambil menghentakan pinggulnya belasan kali menuntaskan sengatan kenikmatan yang menderanya. Meski sakitnya luar biasa namun tak urung kenikmatan yang begitu kental yang telah di susupkan mang Gimin sejak tadi akhirnya  meletup juga. Syaraf kenikmatan yang berada di sepanjang liang senggamaku yang dilalui oleh batang penisnya langsung berkontraksi dengan begitu kuatnya. 
“ARRGGGHHHHHHHH!!!!!....” giliranku yang terpekik kuat.
Kenikmatan kali ini sangat luar biasa. Hingga aku tak lagi dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Kenikmatan yang mampu merubah penolakanku tadi menjadi sebuah penerimaan total. Tanpa sadar aku mendekap tubuhnya erat dengan kedua tangan dan kakiku. Lenganku kurangkulkan di lehernya sementara itu kedua kakiku kusilangkan di pinggangnya. Membuat dirinya seperti sebuah guling dalam dekapanku. Membuat tubuh kami bersatu tanpa jarak dan pembatas lagi. Akhirnya tubuh tua itu ambruk di atas tubuhku. Kami berdua tak sadar beberapa saat setelah mengalami orgasmedasyat barusan. Ketika segalanya usai. Akupun tersadar apa yang telah terjadi. Hatiku tercekat oleh rasa kuatir. Di saat itulah kurasakan pegangannya pada kedua lenganku sudah terlepas. Pada kesempatan itu aku langsung mendorong tubuhnya sekuat tenaga hingga terlentang di sebelahku. Plopp! Penisnya tercabut lepas dari vaginaku dengan menyisakan rasa nyeri. Aku dapat melihat dengan jelas cairan lendir berwarna merah yang menyelimuti permukaan penisnya hingga ke bagian jembutnya yang beruban itu  Aku yakin sekali  itu adalah darah keperawananku yang bercampur dengan pejuhnya. Cairan yang sama juga mengalir keluar dari vaginaku dan menodai kain seprey di sekitar selangkangku. Sadar aku benar-benar telah ternoda. Tangiskupun pecah! Aku menangis sejadi-jadinya menyesali keperawananku yang direngutnya tepat di hari ulang tahunku yang ke-17 itu. Aku tak pernah siap untuk yang satu ini. Dan ketika hal itu terjadi hatiku galau sekali. Aku sangat takut membayangkan kemarahan mami kepadaku. Aku takut karena tak ada seorang pemudapun yang kelak mau menjadi suamiku.Aku takut…dan aku sungguh takut. Ketika melihat aku menangis mang Giminpun seakan baru tersadar akan perbuatannya padaku.
“Non….Maafkan mamang ya....” bisiknya lembut  berusaha menghiburku.  
“Hu huu huu mamangg jahatt!Kenapa mamang tega menodai Sabrina?!” pekikku kesal sambil memukuli dada keriputnya.
“Mamang ngaku salah. Sejak dulu mamang memang kepingin entotan sama non. Tapi Narti selalu melarang mamang. Katanya si non belum siap buat itu.Sudah hampir satu tahun-an mamang menahan keinginan tersebut. Dan...tadi itu mamang sudah tidak kuat lagi. Mamang pikir non juga sudah pingin...ndak tahunya...hhhhhh. Tetapi mamang siap bertanggung jawab atas semua kesalahan yang mamang perbuat pada non. Mamang akan nikahi non” 

“Enak saja mamang ngomong! Sabrina ngga mau kawin sama mamang! Mamang tidak mikirin masa depan Sabrina! Mamang jelekk!!. Sabrina benci sama mamang!! Huu Huu” pekikku sambil mendorong tubuhnya menjauh dengan sekuat tenagaku. 
Lalu aku menumpahkan semua rasa kesalku dalam tangis. Mang Gimin menghela napas. Wajahnya murung mendengar ucapanku.
“Baiklah…. Mamang terima kalau si non memang benci dan ndak mau memaafkan mamang.”
“Ahhhhh!!! Sabrina ngga mau denger lagiii! Sabrinaaa benciiii..benciiii!! huu huu huu” aku berteriak sambil membekap telingaku dengan kedua telapak tanganku. 
Mang Gimin tak berani lagi berkata-kata. Kepalanya menunduk dengan wajah kalut. Lima belas menit berlalu tangisku sedikit mereda. Kini suasana kamar tak lagi seramai tadi hanya terdengar segukanku. Tetapi kemarahanku terhadapnya tetap membumbung tinggi. Kami berdua tak lagi berkata satu sama lain. Masing-masing tenggelam dalam pikiran. Entah apa pula yang sedang dia  pikirkan! Aku sama sekali tak ingin tahu. Aku merasa muak dan tak ingin berlama-lama lagi di tempat ini. Kuraih pakaianku yang tercecer. Lalu memakainya kembali satu demi satu tanpa membersihkan diri terlebih dahulu.Duh! Ngilunya! Keluhku saat berusaha memakai celana dalamku. 
“Non..? udah mau pulang?”tanya  binggung dan belum tahu harus berbuat apa saat melihat diriku bergegas berpakaian. 
“Ahhh!! Bodohh!”
Aku tak ingin pulang bersamanya. Aku tahu ia pasti bakal menghalangiku pergi sendiri. Namun sebelum sadar dan ia mencegatku,  aku sudah lebih dahulu pergi keluar dari kamar meninggalkannya sendiri. 
“Noonnn! Tunggu mamang!” panggilnya.
Aku terpaksa berjalan tertatih-tatih karena rasa sakit di selangkanganku menghalangiku untuk lari. Sesampainya di pinggir jalan aku langsung naik ke dalam sebuah angkutan umum yang kebetulan sedang stop di situ.Kulihat mang Gimin muncul dari arah lobby dengan terengah-engah tapi sudah terlambat baginya buat menyusulku sebab angkot yang kutumpangi sudah bergerak menjauh.

Dari situ aku tak langsung pulang. Aku mampir di sebuah mall. Aku sengaja tak ingin bertemu dengannya di rumah. Di sebuah cafe aku duduk merenung. Pikiranku masih terus dibayangi oleh kekuatiran. Hatiku masih kalut sekali. Dapat kubayangkan bagaimana hebohnya malam pernikahanku kelak ketika calon suamiku mendapati aku sudah tak perawan lagi. Bagaimana murka dan malunya mami karena anak gadis yang ia yakini mampu menjaga kehormatannya itu ternyata tak berbeda jauh dengan seorang pelacur. Semua kekuatiran  itu semakin menumpuk rasa kecewa dan marahku pada mang Gimin. Salahku sendiri telah memberi peluang kepadanya selama ini. Seharusnya aku tak boleh percaya  jika orang seperti dia  akan menjaga komitmen yang kami telah kami sepakati. Hiiiiii!! Untungnya aku tidak sedang dalam kondisi subur. Tak dapat kubayangkan jika aku sampai hamil olehnya. Kapok! Kapok sekali rasanya! Lalu bagaimana aku harus bersikap kepadanya setelah ini? Kupikir sebaiknya aku menghentikan semua ini dan tak usah bertemu lagi dengannya. Aku harus bisa mencari alasan yang masuk akal ke mami agar bajingan tua itu secepatnya dipecat!. Sorenya setelah cukup menenangkan diri aku baru pulang ke rumah. Kulihat mobil yang biasa dipakainya buat menjemputku tak nampak di garasi. Kupencet bell. Pas ketika gerbang pagar dibuka dari dalam. Tiba-tiba mobil mang Gimin datang. Ia bergegas turun dari mobil dan dengan tergesa-gesa menghampiriku.
“Aduhhh nonnn..kemana sajaa...mamaangg kuatir sekaliii..”ujarnya. Raut kecemasan membias di wajah tuanya.
“Minggir!!” tubuh tua itu kudorong sehingga ia ke jatuh ke tanah. Aku berlari masuk ke dalam rumah. Masih sempat kudengar salah satu pembantu baruku yang membukakan pagar tadi bertanya kepadanya.
“Ada apa sih kang?! Kok nona kita sampai murka begitu?! Pasti situ telat jemput lagi ya? Waduhhh kalau nyonya besar sampai tahu, beliau pasti marah-marahi lagi! Ntar kalau nyonya besar nanya, kakang jelasin saja sendiri. Kita-kita ndak mau ikut-ikut kena murkanya nyonya besar!”
Mang Gimin diam tak menjawab.

###########################

Besoknya, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke sekolah. Tapi aku  tak ingin diantar olehnya lagi. Jadi aku terpaksa naik angkot. Begitupun saat pulang sekolah. Meski ia tetap datang menjemputku aku bersikeras tak pulang bersamanya. Aku langsung melompat ke dalam sebuah angkot. Kulihat mobilnya berjalan mengiringi kemanapun angkot tersebut membawaku. Seperti kemarin aku tak langsung pulang ke rumah. Segaja aku berhenti dan berpindah-pindah angkot dengan tujuan membuatnya semakin panik. Dari wajahnya terlihat sekali begitu bingung dan kuatirnya dia saat memastikan aku turun atau tidak setiap kali angkot yang membawaku berhenti. Terakhir aku sengaja mengambil angkot yang berada berseberangan jalan dengannya. Tiba-tiba... Bruaaaakk!  Aku sempat menoleh ke sebrang jalan. Kulihat sebuah  gerobak buah sudah terguling sementara isinya bertumpahan di trotoar. Ternyata mang Gimin  menabrak gerobak milik pedagang buah dipinggir jalan. Gara-gara terus-terusan memperhatikan diriku konsentrasi mengemudinya terpecah. Tentu saja si tukang buah malang tersebut tak membiarkan ia berlalu begitu saja. Si Tua itu terpaksa menyelesaikan masalah yang baru di buatnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan diriku. Rasain! Makan tuh jelek! Umpatku dari kejauhan.Dan kuyakin ia semakin panik karena kehilangan jejakku dan seperti kemarin setelah ini ia akan mencariku ke sana kemari tanpa arah tujuan yang jelas. Aku merasa cukup puas melihat hasil pembalasanku padanya hari ini. Tetapi anehnya terbesit juga rasa kasihanku melihat si tua itu pontang panting. Duh! Kenapa aku ini?.Kenapa juga aku mendadak merasa rindu kepada si tua jelek itu! GrrraH! Ini tak boleh terjadi! Ujarku mencoba menguatkan tekatku. Perasaanku tak boleh terhanyut oleh wajah memelas tuanya itu!. Semua itu hanyalah topeng. Dia itu adalah penjahat yang telah merusak masa depanku!.  Dan dia harus diberi pelajaran yang setimpal atas kejahatan yang ia lakukan padaku. Yang barusan itu belum seberapa. Dia harus merasakan pembalasanku yang lebih dasyat. Sehingga membuatnya tahu apa sebenarnya yang di sebut sebagai penderitaan!. Dan puncaknya saat mami pulang nanti.  Dia harus dipecat!

#######################
Hari minggu pagi yang cerah di sebuah taman kota. 

Taman ini begitu luasnya dihiasi beberapa kolam besar. Pohon-pohon besar menjadikan kawasan ini bersih dan asri. Banyak sekali orang yang datang dengan mengajak serta keluarganya buat berolahraga sambil  berekreasi. Hal itu juga dimanfaatkan oleh beberapa pedagang buat menawarkan rupa-rupa makanan dan minuman. Aku duduk di bawah sebuah pohon flamboyan yang rindang setelah dua jam-an melakukan joging. Duh sial betul! Umpatku ketika kurogoh kantung hotpant-ku. Ternyata aku lupa menyisipkan uang buat membeli air minum. Padahal tadi sudah kupersiapkan. Mungkin tertinggal di atas meja. Biarlah nanti saja minumnya toh aku tak begitu haus. Sebaiknya aku duduk saja dulu di sini. Sambil beristirahat jemariku mengutak atik tombol hp-ku. Membalas sms mami. Aku begitu asyik hingga tak menyadari seseorang sudah berdiri di dekatku.
“Non... ini minumnya”
Aku mendongak. Ternyata orang itu Mang Gimin. Ia menyodorkan sebotol air mineral kepadaku sambil cengar-cengir. 
Huh! Ngapain juga ia ikut-ikutan kemari?!. Bikin orang makin sebal saja. Sebenarnya aku joging pagi ini juga ada kaitannya dengan dia. Entah mengapa sejak dinodainya hari itu aku bukan hanya membencinya namun juga selalu terbayang akan dasyatnya orgasme yang menderaku saat itu. Jika sudah begitu kemaluanku mendadak berdenyut-denyut dan terasa gatal sekali. Celanaku menjadi basah oleh cairan yang memancar dari dalam kewanitaanku. Yang lebih menyebalkan lagi tadi malam aku sampai-sampai mimpi berintim dengan mang Gimin. Oleh karena itu aku sengaja berolahraga pagi ini buat mengalihkan pikiranku yang sedang kacau. Tiba-tiba saja terbetik sebuah  rencana buat mengerjainya. Aku bangkit dan meninggalkan tempatku membaca tadi. Namun hp-ku sengaja kutinggalkan di sana. Lalu bergegas menuju ke dalam sebuah WC umum yang tak jauh dari situ.
“Lho nonn? ...Noon..hp-nya ketinggalan?!” Kudengar ia memanggilku namun aku tak ingin menanggapi. 
Ia memungut hp-ku dari atas rumput. Tetapi kutahu ia tak akan menyusul diriku ke dalam WC perempuan. Kuintip dari celah pintu ia masih duduk di situ sambil memegang botol airminum dan hp-ku. Kusengaja berlama-lama di situ. Ketika ia lengah aku menyelinap keluar dari WC itu dan menjauh dari situ. Tak jauh dari situ kulihat sekumpulan pemuda sedang nongkrong makan mie gerobakan. Bagus! Ini sesuai sekali dengan rencanaku.

“Tolonggg bangg!.... tolooong!” aku langsung menubruk salah satu dari mereka dengan memasang wajah ketakutan.
“Eng a.adaa apaa?“ tanya pemuda itu tergagap. Hi hi Kukira ia grogi karena berhadapan dengan seorang cewek indo yang sangat cantik.
“Handphone saya bangg!....handphone saya di jambret!” lanjutku.
“Hah?! Di..manaa neng?” Pemuda yang lain-pun langsung berdiri dan meletakkan piring mereka.
“Di situu bang, di dekat kolam sana. Orangnya juga belum kabur jauh. Mungkin masih berkeliaran di dekat WC”
“Ayo neng tunjukin ke abang yang mana orangnya!”ujar seseorang dari mereka begitu bersemangatnya. Dasar buaya! Apakah dia akan sesemangat itu  jika saja yang minta pertolongan adalah seorang nenek-nenek?! Huh!.
“Tet..tapii bang saya takut soalnya dia sudah sejak kemarin-kemarin ngincar saya”ujarku berkelit.
“OK! Kalau gitu tunjukin saja ciri-ciri orangnya dan si neng tunggu saja di sini. Biar kita-kita yang beresin.”
Aku menjelaskan secara garis besar perawakan mang Gimin kepada mereka.
“Oya bang, Hp saya itu berwarna coklat!” tambahku. Setelah merasa cukup info dariku merekapun pergi.
Yes! Sempurna. Meskipun hatiku diliputi rasa dendam namun begitu kuanggap permainan yang kulakukan ini tidaklah berbahaya. Dan aku yakin Mang Gimin pasti tak bakalan diapa-apakan oleh mereka. Begitu si tua keropos itu mengaku maka masalahnya bakal langsung selesai. Aku hanya ingin para pemuda itu membuatnya sport jantung. Dari kejauhan aku memperhatikan drama yang kusutradarai tersebut berlangsung. Jelas dengan mudah mereka menemukan mang Gimin. Lalu dengan cepat mereka berempat menggelilingi mang Gimin. 
“Hi hi hi Rasakann! Kena kau sekarang bajingan tuir!” umpatku dalam hati.
Aku mencoba berusaha mendekat agar aku bisa mendengar suara percakapan mereka dan dapat melihat wajah tua itu saat ketakutan namun aku tak boleh terlihat baik oleh mang Gimin atau oleh keempat pemuda tadi. Sampai jarakku yang cukup dekat dan kudengar salah satu dari mereka berbicara membentak-bentak akupun berhenti dan mengintip dari balik sebuah pohon. 

“Sudahlah pak!Kenapa tak mengaku saja dan bapak kembalikan saja hp-nya itu sehingga bapak tidak dapat masalah!”ujar seorang ibu ikut menasehati. Ternyata kehebohan itu membuat beberapa orang yang lalu lalang ikut-ikutan nimbrung.
Hei! Sepertinya ada yang terjadi diluar skanorioku. pikirku  
“Iya nih tua-tua kok blagu banget!”ujar salah satu pemuda itu kesal.
“Mungkin dia pikir kita jadi ngga tegaan sama orang tua”timpal pemuda yang lain.
Suasana semakin memanas karena mang Gimin terus bungkam. 
“Bego! Kenapa juga ia tidak langsung mengaku saja.” umpatku pada mang Gimin.
“Sinii!” Salah satu pemuda itu nampak sudah tak dapat menahan emosinya mencoba merampas paksa hp milikku dari tangan mang Gimin. 
Namun mang Gimin tak membiarkan hal itu terjadi. Ia justru memegang benda itu semakin erat. Bukk!! Tiba-tiba sebuah tinju melayang menghantam wajah mang Gimin. Kulihat tubuh tua kerempeng itu jatuh terjengkang. Dan di susul oleh pukulan dan tendangan dari pemuda lainnya mendera tubuh rentanya. Lho?! Lho? kok malah jadi begini? Aku kaget dan panik. Sungguh! Aku benar-benar tak menyangka jika kejadiannya akan menjadi segawat ini. Apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah sebaiknya aku biarkan saja hal itu? Bukankah aku sangat ingin ia mendapat ganjaran dari perbuatannya padaku? Bukk! Bukk! Plakk! Tubuh tua itu menggelung seperti tringgiling sementara belasan hantaman terus menghujaninya tanpa belas kasihan. Duhhh...akuu..akuu benar-benar tak tegaa melihatnya...Akhh.. aku jadi bingung...dan tak tahu apa sebenarnya yang kuinginkan.
“Stopp!! Hentiiiikann!” pekikku sambil berlari menyeruak masuk ke dalam kerumunan. Begitu melihatku, para pengeroyok itu menghentikan aksinya.
Tetapi ada seseorang yang belum juga berhenti memukuli mang Gimin meski yang lain sudah berhenti. Kulihat sejak awal dialah yang paling bersemangat menjadi pahlawan. Pukulannya diayunkan bertubu-tubi ke wajah sopir tuaku itu. Dan yang semakin membuatku miris ketika melihat mang Gimin menerima setiap hantaman tersebut tanpa melakukan perlawanan sedikitpun. Dengan kemarahan kudorong orang gila kesurupan itu sekuat tenaga sehingga ia tersungkur mencium tanah.
“Hei! Apa-apaan nih!!” protesnya.
“Setannn kamu yaa!! Saya kan sudah bilang berhentii!..Sembarangan saja!!”
“Lho kok marah-marah. Bukannya neng sendiri tadi bilang bapak ini ngejamret hp-nya neng?!”
“Begoo! Bukan dia orangnya!!Yang ini sopir saya!”
“Jadii bukan bapak ini, toh?. Lantas yang mana jambretnya neng?”
“Tidak tahu! mungkin sudah kabur!” 
“Lho ..kalau begitu anu..eng..maafin kita-kita ya pak.Soalnya si neng tadi ngasih ciri-cirinya si penjambretnya mirip banget sama bapak ini..”

Setelah mendengar pengakuanku satu persatu orang-orang yang ikut menghajar mang Gimin bubar dengan sendirinya secara diam-diam. Mungkin mereka takut terkena tuntutan karena salah menjatuhkan tangan. Untung saja tak ada polisi di sekitar tempat kejadian. Tinggalah aku dan mang Gimin yang masih terkapar di rerumputan sambil merintih-rintih kesakitan. Wajah tuanya lebam di sana sini. Hidungnya mengucurkan darah. Aku mencoba membantunya berdiri. Susah sekali ternyata. Mang Gimin langsung terduduk lagi di rumput sambil meringis kesakitan. Aku sempat kuatir jika ada tulang-tulang tuanya yang patah gara-gara insiden tadi. Saat itu pandangannya beradu tatap denganku. Aku menjadi serbah salah. Matanya yang sendu itu seakan mengatakan kepadaku jika ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan ia pasrah menerima apapun hukuman dariku. Meski aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Tetap saja butiran bening menetes tanpa dapat kucegah.
“Sebaiknya kita pulang saja sekarang ya non” ajaknya lembut sambil menyeka pipiku.
“Ma..mangg sudah kuat jalan?” tanyaku ragu melihat ia masih begitu susahnya buat berdiri.
“Ya non..mamang sudah ndak apa-apa” jawabnya. Ia berjalan tertatih-tatih  mengiringiku menuju ke mobil.

##############################
Di tengah perjalanan pulang ke rumah

Entah mengapa kali ini aku mau saja ketika diajaknya pulang. 
“Non...”Panggilnya.
 Aku diam sok tahan harga. Padahal sebenarnya hatiku terisris-iris melihat wajahnya yang babak belur.
“Mamang tahu. Si  non benci sekali sama mamang...”
Ia terus berbicara meski aku tak menanggapinya.
“Non.. mamang cuma mau bilang. Saat papi non pulang dari luar kota mamang akan mengaku sama papi non.”
Aku terkejut mendengar omongannya itu.
“Lho, buat apa mang?! Mamang mau bikin masalah ini semakin runyam, yah?!”tanyaku berang.
“Non ndak usah kuatir. Mamang tak akan menceritakan soal hubungan kita sebelumnya. Mamang akan katakan bahwa mamang telah memperkosa non dengan cara membius non terlebih dahulu dengan obat tidur. Biarlah mamang mati ditembak sama papinya non buat menebus kesalahan yang mamang buat terhadap non”
“Kok mamang ngomong begituuu?!” entah mengapa aku menjadi panik mendengar dia ngomong nekat seperti itu. 
Bukan karena takut akan rahasiaku selama ini terbongkar namun lebih kepada membayangkan kemurkaan papi terhadapnya. Dan kupikir apa yang ia katakan bisa saja terjadi. Sebab papi mungkin saja memiliki senjata api meski dia adalah warga negara asing di sini.
“Buat apa lagi mamang hidup.Mamang sudah ndak punya siapa-siapa lagi. Istri mamang... Narti..tega ninggalin mamang. Sekarang non Sabrina juga membenci mamang.Lagian mamang juga sudah tua. Mati sekarang atau nanti juga tak ada bedanya buat mamang”
“Maang jangan lakukan ituu! Sabrina ga mau mamang melakukan ituuu!”rengekku. 
Mang Gimin belumlah sempat lagi berkata, tiba-tiba hidungnya kembali mengucurkan darah segar. Iapun terpaksa meminggirkan lagi mobil kami ke tepi jalan. Kali ini aku tak tinggal diam. Segera kuambil tisyu dari sakuku. Lalu mengusap lelehan darah yang keluar. Lalu kutahan tisyu tersebut pada hidungnya agar pendarahannya terhenti.
“Duh! Apa yang telah aku lakukan ini? Kenapa aku menjadi begitu lemah?” tanyaku dalam hati. “Kemanakah kemarahan dan kebencianku kemarin-kemarin itu? Amarah yang didasari oleh rasa kuatirku yang berlebihan itu. Bagaimana dengan rencana-rencanaku buat mencelakainya. Sebaiknya kuteruskan atau .......?”

Tidak! Rasanya....Aku tak bisa!. Aku jelas tak sanggup membencinya. Melihat dia dihajar seperti tadi dan kondisinya saat ini saja aku sudah tak tega. Apalagi membiarkan ia mengaku pada papi. Ia pasti celaka. Lantas bagaimana dengan semua kekuatirku selama ini? Soal keperawanan pada saat malam pernikahan itu? Lalu kemarahan dan kekecewaan mami? Saat itu akal sehatku mencoba mengambil alih kendali diriku dari perasaanku.Aku harus fokus dan lebih realistis. Baiklah! Sebaiknya kukupas saja satu persatu. Pertama-tama bukankah papi dan mami memintaku memproritaskan pendidikan di atas urusan lain? berarti pernikahanku baru terjadi setelah aku menyelesaikan kuliahku. Jadi hal itu masih sangat lama kan? Dan saat itu terjadi aku sudah tinggal di Amerika. Siapa tahu aku justru kawin sama orang bule yang notabene tidak perduli soal keperawanan. Sekaligus dengan begitu mami tidak bakalan tahu jika tak ada orang yang mempersoalkannya. Jadi apa lagi yang harus aku kuatirkan? Aku juga tak seharusnya menyalahkan mang Gimin dalam hal ini. Kalau kupikir sudah sewajarnya ia tak dapat mengendalikan nafsunya. Sudah hampir tiga minggu sejak di tinggal mbak Narti dia tidak dapat penuntasan.Lagian apakah mungkin seseorang keranjingan seks seperti dia cukup terpuaskan hanya dengan melakukan petting? Rasanya mustahil. Apalagi yang wanita yang sedang ia mesrahi adalah seorang gadis remaja yang mengiurkan seperti diriku yang memang sejak awal ingin ia perawani. Sedangkan aku sendiri tak dapat memungkiri pada saat ia menggagahiku selain rasa takut dan sakit saat itu akupun merasakan kenikmatan yang luar biasa yang belum pernah kurasakan. Bahkan begitu dasyatnya sampai tak dapat kulukiskan dengan kata-kata.  Lantas mengapa aku menguatirkan segala tetek bengek yang menghalangiku buat menikmati kenikmatan dasyat tersebut? Setelah hidungnya tak lagi mengeluarkan darah.
“Mangg. ..”panggilku.
“Iya non”
“Sabrina mau maafin mamang.”
“Lho?! Beneran nih non?” Ia terbengong. Sepertinya ia tak menyangka jika aku tiba-tiba akan memaafkan dirinya.
“Iyah! Asal mamang janji tidak kasih tahu soal ini ke papi” 
“Memangnya kenapa non? Mamang memang pantas di hukum atas kesalahan yang mamang lakukan pada non Sabrina”
“Sabrinaa ...Sabrina ga mau mamang celaka.”jawabku menunduk malu.
“Nonn...? ”
Lalu suasana sempat  hening sejenak. 

“Tapi..tapi apa bener si non sudah tidak benci lagii sama mamang?” Rupanya dia masih ragu. Tak hanya ucapan, dari kerut wajahnya juga menyiratkan itu.
“Lho iya. Emangnya mamang tidak percaya sama Sabrina?” aku agak tersinggung karena ia meragukan ketulusanku.
“Bukan begituuu... Soalnya mamang sendiri rasanya tak dapat memaafkan kesalahan mamang terhadap non. Mamang menyesal sekali. Rasanya lebih baik mamang dipukulin dan disiksa seperti tadi ketimbang dibenci sama non.” 
Aku bisa mengerti sekarang. Ternyata ia takut sekali jika aku memaafkannya hanya karena tak ingin persoalan kami ini diketahui oleh papi bukanlah karena aku sungguh-sungguh ingin memaafkannya. Aku bangkit dari kursiku dan menyebrang ke posisi duduknya. Kerangkul lehernya erat dan kupagut bibir tua itu dalam ciuman. Ia  tersentak kaget. Aku tahu ia tak menyangka aku akan berbuat seperti itu. Tapi itu hanya sesaat dan aku merasakan ia membalas kecupanku.
“Nah..Mamang sudah percayakan kalau Sabrina sungguh sudah maafin mamang?” tanyaku setelah ciuman kami terlepas.
“Iyaa nonn..mamang percaya sekarang. Terima kasihh ya non.”
Cepat-cepat kulepas rangkulanku dan kembali ke kursiku. Padahal aku pingin sekali lebih lama dalam pelukannya. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang lain menjalari hatiku. Tak hanya letupan kerinduan  yang kurasakan namun juga...kenyamanan ...ketentraman.... serta perasaan takut kehilangan darinya. Terus terang tak bertegur sapa dengannya satu minggu ini sudah terasa menyiksa diriku. Tapi.. tapii aku takut ketika rasa sayangku kepadanya semakin membesar. Aku rasa belum siap buat....... jatuh cinta padanya.
“Mangg ayoo anterin pulang sekarang. Sabrina haus nih. Ntar sekalian Sabrina obatin lukanya mamang pas sudah di rumah”
“Oh Iyaa non iya non.” Jawabnya cepat ia baru tersadar jika aku memang belum minum sejak tadi. ”Oya Nonn..besok pagi biar mamang anterin ke sekolah ya?”
“He eh!”ujarku sambil mengangguk mengiyakannya. Hatikupun terasa lega sekali. Tak ada lagi kekuatiran seperti kemarin-kemarin. Begitu juga dengan dirinya. Aku dapat melihat senyumnya kembali tersungging di antara memar-memar wajah tuanya. Suasana penuh emosi selama sepekan ini telah kembali mencair. Keceriaan telah kembali ketengah-tengah kami berdua.

######################
Kesokannya, Hari senin, sepulang sekolah. 

Mobil mang Gimin sudah menungguku di dekat gerbang.
“Mang, kita ke hotel yang tempo hari itu yuk” ajakku bersemangat ketika ia baru akan menstarter mobil.
“Haah, Non?!” mang Gimin justru terbengong menanggapi keinginanku itu. 
“Lho, kenapa mang? Biar kali ini Sabrina yang bayar kalau mamang ngga punya uang” Memang sejak pelajaran jam pertama aku sudah horny sekali. Dan aku butuh yang ‘satu’ itu. Aku pingin lagi merasakan yang seperti tempo hari itu. Yang ada rasa sakitnya itu.
“Bu..bukann begituu...Tapiii mamang cuma heran. Kok non ndak kapok begituan sama mamang?”
“Aaaaaaa mamaaaang!!” aku berteriak ngembek sambil memukul-mukul bahunya. 
“Iyaa nonn..iyaa!. Duhh! Mamang kan ndak nolak dan cuma nanya saja.” katanya mencoba menenangkan diriku. Tanpa banyak tanya lagi mang Gimin langsung tancap gas menuju hotel tersebut.

##############################
Satu jam kemudian, Di dalam kamar hotel.

Hentakan gitar listrik mengawali lagu I For You dari Luna Sea yang mengalun dari HP-ku saat Mang Gimin melesakkan ujung penis tuanya ke dalam vaginaku setelah nyaris setengah jam-an memberiku foreplay. Mendadak ia menahan laju pinggulnya sambil bertanya.
“Nonn,boleh mamang masukin semuanya?” 
“Ihhh mamangg! La iyalah mang! Ngapain lagi minta izin segala. Sabrina kan sudah ngga perawan lagi.Lagian mana mau Sabrina ngajak kemari kalau cuma buat dicelup.” Gerutuku seraya membesarkan mataku. Dasar bego!. Bikin buyar konsentrasi saja! 
“He he iya juga” 
Perlahan ia menurunkan pinggulnya. Penisnyapun masuk sedikit-demi sedikit.
“Uhhh..pelannn..pelannn dongg maaaaangg” keluhku saat kurasakan ngilu ketika benda itu menyeruak masuk dan menyentuh bekas-bekas luka keperawananku.
Blesssssss! Dan penis perkasa mang Gimin bersarang seluruhnya di dalam vaginaku. Pubiknya mentog  menekan pubikku. Alat vital kami kembali bertaut secara utuh! Ini merupakan kali kedua kami melakukannya. Tak ada pemaksaan kali ini. Tak ada lagi kecemasan di hatiku. Memang masih ada rasa perih saat ia memasukiku namun tak seheboh ketika aku diperawaninya dulu. Tapi aku benar-benar menikmati kehadirannya ke dalam diriku kali ini.
“Ughhhhhhhhhh...manggggggg...” rintihku. 
“Masihh sakitt ya non?”tanyanya terbata-bata.
“He ehh sedikit..”jawabku lirih. 
Mang Gimin mendiamkan penisnya mengeram tanpa gerakan. Lalu bibirnya yang tebal dan kasar memagut bibirku. Memberiku ciuman yang ketat. Aku bisa merasakan kemaluannya berdenyut-denyut hebat di dalam liang vaginaku dan menimbulkan rasa gatal yang nikmat. Mang Gimin memang punya otot tantra yang sangat kuat. Saat di luar benda di selangkangannya itu mampu melenting seratus delapan puluh derajat hingga menampar perutnya.  Dapat dibayangkan bila mang Gimin mempergunakan keahliannya itu saat penisnya tengah di dalam vagina. Benda itu bak hidup. Mengembang mengempis. Menekan  semua syaraf kenikmatanku! Semakin lama penisnya mendekam  di dalam sana  semakin menggila nikmatnya. Penis mang Gimin seakan mengaktifkan picu ribuan ranjau kenikmatan di sepanjang liang vaginaku yang peka.
“Ohgghhh m..amanggg!!.....”aku kembali merintih dan menggerinjal. Bukan karena sakit namun karena enaknya sudah tidak mampu lagi aku tolerir. 
“Iyaa.. nooon?”tanya mang Gimin pura-pura bego. Ia jelas tahu apa yang tengah aku rasakan saat ini. Ia pasti merasakan otot-otot liang senggamaku membengkak meremasi penisnya.
“E..naak.bangettt!”rintihku jujur. 
“He he he kalau sudah ndak sakit mamang kocokin sekarang ya?”katanya

Lalu secara perlahan sekali ia tarik penisnya,  Aaaaaa....!. aku menatap wajahnya dengan tatapan tak rela. Aku tak ingin ia mencabutnya. Tapi sedetik kemudian ia turun menghujam secara cepat. Blesssss!
“M..aamaaaanggggg!!” rintihanku semakin keras begitu penisnya kembali amblas....Tandas ke dalam liang senggamaku!. Kedua bola mataku berotasi atau lebih tepat di sebut mendelik sejenak sebelum terpejam ketat. 
Ia ulangi gerakan itu beberapa kali sebelum akhirnya pinggulnya bergerak maju dan mundur secara lembut dan teratur  sambil memeluk pinggangku erat. Akhirnya ...Kami benar-benar bersenggama! Ngentot! Ya.. ini merupakan persetubuhan yang sebenarnya bukan lagi sebuah peting seperti yang biasa kami lakukan dulu-dulu itu. Nikmatnyapun sungguh tak terkira ! Puluhan kali lipat lebih kuat dari petting .
“Maa..maanngggg...enakk bangettt!!” Begitulah aku berulang-ulang merintih. 
Syair lagu terus mendayu ditelingaku...kokoro kara kimi wo aishiteru...seiring hentakan kontol hitam-tua-nya ke vagina bule-ku. 
“Uhhhhhh...noonn... punyaa nonn... juga enakkkk bangettt!! Perett!!!!” diapun merintih keenakan.
Cplak..clek..cplak cplok....suara mengairahkan itu mengiringi setiap benturan pubik dan kemaluan kami. Kantung testisnya berayun-ayun dan terasa menampar-nampar pantatku. Semakin lama kocokan mang Gimin menjadikan rasa nikmat yang kurasakan itu semakin menggila. Duhhh!!! Gatalnyaaa!! Rasanya aku tak mampu lagi menahannya.
“Noonn ...Mamangg mau ngetcrott di dalemm punyaa non boleh, kann?!’ rintihnya terbata-bata. Tentu saja aku rela ia melakukan itu selain karena saat ini aku sedang tak di masa kesuburanku,  aku juga memang menunggu penisnya berdenyut kuat saat kencing enaknya memancar di dalam vaginaku seperti kala pertama aku di gagahinya. 
“Iyaa manggg! Sabrinaa mauu!!”
Lalu ia peluk diriku sangat erat sambil mempergencar tempo kocokannya. Akupun balas semakin erat merangkul dirinya. Sementara itu dinding-dinding vaginaku mengembung..membengkak..seakan hendak meremas habis penisnya.. Lalu dalam hitungan detik sebuah kontraksi diiringi ledakan besarpun terjadi...
“Manggggggg sayaanggggg Sabrinaa dapettttt!!AAAAAAAARRRRGGHH!!!”pekik kenikmatanku membahana memenuhi kamar hotel itu. 
Orgasmeku datang lebih dulu darinya. Aku mengangkat pinggulku seraya mencengram bungkahan pantatnya kuat-kuat dengan kedua tanganku. Aku ingin semua penisnya menghujam masuk sejauh mungkin ke dalam vaginaku!

Sedetik kemudian mang Gimin membentak kasar dan jorok 
“AAAARRRRHHH..NONOOOK!!”
Dia menyusul ‘dapet’. Kepala penisnya yang  mirip jamur itu berdenyut secara kuat di dalam rongga vaginaku. Lalu CROOOOOOOOOOTTTTTT!!..... seketika itu air mani mang Gimin memancar deras. Sementara itu aku terus mengerang ditengah orgasmeku yang masih terus berlangsung. Tubuhku mengenjan. Sungguh tak terkatakan nikmat yang kualami saat itu Pinggulku terangkat dari kasur menyambut hujamannya. Sementara rahimku menyambut setiap pancaran benihnya.
“AWWWWWWW...Mamaaaaangggg!!” 
CRROOOOOOOTTTT!!!...........CROOOOTTTTTTTTTTT!!!
“Aaaaaarggg!!Nonoookk!!!..” lagi-lagi ia membentakan kata-kata nan jorok itu setiap kali spermanya terpancar. 
Tubuh kami semakin erat melekat satu sama lain. Menggelinjang dan menjerit bersamaan dalam kukungan puncak kenikmatan menggila itu. Sementara alat vital kami bertaut, berkedut hebat dan saling memberi kenikmatan satu sama lain. Mang Gimin masih terus saja ia menghujam-hujamkan kontolnya. Hingga tiga menitan semuanyapun berlalu. Mang Gimin ambruk di atas tubuhku.
“Hss..Aduhh nonn...hsss..enaknyaa!... mamang ndak bisa ngomong lagi!... badan mamang sampe gemetaran kaya meriang..hsss...mamang sayang banget sama nonn...hsss” puji mang Gimin di antara engahan napasnya yang masih memburu. 
Sepertinya ia tak bohong. Bukan cuma aku yang merasakan kenikmatan hebat itu dia juga merasakannya. Bahkan tubuhnya kurasakan masih bergetar-getar bak kesetrum. Kukira apa yang terjadi pada mang Gimin merupakan dampak psikologis karena begitu bahagianya ia dengan penyerahan bulat-bulat diriku kepadanya sehingga mendorongnya mengalami orgasme yang begitu  kuat seperti barusan itu.
“Hi hi hi..mamang... sampe segitunyaa...udahh mamang diem aja dulu. Ga usah bawel!” 
Ketika kami kembali berciuman. Kulumat bibirnya dengan gemas. Aku gemas karena aku ingin ia entot lagi!. Nikmat yang menderaku barusan tadi itu sungguh membuatku ketagihan. Tidak!Bagiku itu bukan lagi letupan sebuah ranjau. Itu adalah ledakan dari bom Nuklir mini. Tak ada lagi penyesalan di hatiku karena telah menyerahkan keperawananku pada sopir tuaku itu.Yang kusesalkan kini justru mengapa terlambat melakukannya.

Tak perlu permohonan dariku. Sebagai seorang yang sangat berpengalaman di ranjang mang Gimin sangat tahu akan hasrat gadis muda sepertiku. Kontol tuanya terasa masih begitu kaku di dalam jepitan liang senggamaku. Dalam satu jam ke depan ia tak lagi berhenti menggenjotku, menghajarku, memberiku letupan demi letupan kenikmatan yang tak terhitung lagi jumlahnya. Vaginaku tak pernah lagi terlepas dari sumbatan penis tuanya. Kini aku bisa mempraktekan berbagai posisi bercinta yang pernah dipertontonkan olehnya dengan mbak Narti dulu.
“Manggg Udahan duluu!.Punya Sabrina ngiluuu banget… cabutt sekarang!.”rintihku padanya. 
Salahnya sendiri kalau aku jadi kesakitan. Entah mengapa dia berusaha keras ‘memaksakan’ penisnya yang melengkung itu buat mencapai dasar vaginaku. Tapi tetap saja ia gagal melakukan itu. Secara logika liang indo-ku masih terlalu dalam untuk bisa ia gapai dengan ujung penisnya. Seandainya saja penisnya lebih panjang satu atau dua senti lagi mungkin saja keinginannya itu bisa terjadi. Mang Gimin menuruti permintaanku. Ia menghentikan genjotannya dan mencabut lepas penisnya dari liang vaginaku. Plop! Seketika spermanya yang terkumpul di dalam liang senggamaku bertumpahan ke atas sprey. Kulihat penisnya melayang tanpa bobot bak sebuah balon zepplin hanya beberapa senti di atas pubik-ku. Aku tahu dia masih pingin lagi.  Buktinya benda perkasa itu masih ngacung keras sekali. Terangguk-angguk  kuat oleh otot tantra-nya. Namun belum lagi satu menit.
“Mangg…masukinn lagii”pintaku
“Lho, kata non tadi udah?”tanyanya heran.
“Aaaa!!..Masukinn!!” rengekku manja.Aku lebih rela merasakan sakitnya ketimbang harus berpisah dengan rasa nikmat yang diakibatkan oleh penis tuanya itu.
“Iya..iyaa..” ujar mang Gimin menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku itu. Ia kembali naik ke atas tubuhku dan menjejalkan senjata-nya ke dalam vaginaku.
Jlepp!! Seketika penisnya kembali bersarang di vaginaku dengan membawa rasa perih dan kenikmatan sekaligus. Kamipun ngentot lagi!. Benar sekali apabila mbak Narti mengumpamakan mang Gimin bagai seekor kuda tua yang liar. Sepanjang siang itu aku digarapnya habis-habisan. Aku  tak dapat lagi menghitung berapa kali aku mendapat orgasme darinya siang itu. Dan diapun sudah berkali-kali orgasme. Kukira seharusnya testisnyapun sudah kosong. Tapi ia seakan tak ingin membiarkan tubuhku indahku tersia-sia begitu saja. Meski tubuhnya telah basah kuyup dibanjiri oleh peluh namun ia terus mengayun pantatnya dengan perkasa membuat penis tuanya tetap lincah mengaduk liang senggamaku ke sana kemari. Dan Sungguh! Aku sama sekali tak merasa terhina setiap kali ia meracau jorok ditengah-tengah ejakulasinya. Itu justru merupakan sanjungan buatku. Sebab ia tak pernah seperti itu bila bersetubuh dengan mbak Narti. Itu artinya aku lebih unggul dari mbak Narti. Itu juga berarti vaginaku jelas lebih enak ketimbang punyanya mbak Narti. 

Di permukaan sprey kutemukan bercak-bercak darah. Kemungkinan berasal sisa-sisa selaput daraku. Sebab dulu itu kami cuma sempat bercinta sebentar. Dan kali ini mang Gimin telah menuntaskannya. Mencabik-cabiknya habis sehingga tak tersisa sedikitpun sekaligus mengubur peluang bagi pria manapun di dunia ini termasuk suamiku kelak untuk ikut merasakannya. Kurasa kini dia benar-benar puas karena keinginannya untuk menjadi lelaki pertama bagiku sudah terkabul. Sepulangnya dari situ kami tidak langsung menuju ke rumah. Mang Gimin justru melarikan mobilnya menuju ke arah luar kota. Dua jam kemudian kami tiba di sebuah desa kecil yang terpencil. Kami masih harus berjalan kaki lagi selama lima belasan menit sebelum akhirnya sampai di sebuah rumah yang berdiri sendiri di sana tanpa ada satupun rumah lain di sekitarnya. Aku baru tahu ternyata itu adalah rumah seorang penghulu nikah sirih.Pikiranku berkecamuk dan hatiku diliputi kegalauan saat mang Gimin meminta kesedianku buat menjadi istrinya.
“Kenapa kita harus nikah, mang? Sabrina kan tidak minta tanggung jawab mamang atas ternodanya Sabrina” tanyaku heran.
“Mamang cuma ingin non dan mamang bisa selalu bersama”
“Tapii Mangg…Sabrina pikir ini tidak betul..dan.. dan..Sabrina belum siap… ”kataku. Kukira kami masih dapat terus menikmati kebersamaan itu tanpa harus menikah sekalipun.
“Ndak apa apa kalau non tidak mau. Mamang ndak memaksa.” ujarnya pasrah.
Aku tahu dia kecewa atas penolakanku. Tetapi aku tak menemukan alasan yang jelas buat menikah dengannya. Saat kami melangkah ke luar rumah pak penghulu. Aku melihat guratan kesedihan yang mendalam di wajah tuanya. Aku pernah melihatnya seperti itu setelah mbak Narti meninggalkannya.
“Mamang tidak marah pada Sabrina, kan?”tanyaku.
“Ndak non. Mana mungkin mamang marah sama non. Mamang sudah kadung sayang sama non. Walau non ndak mau mamang nikahi rasanya mamang sudah bahagia. Asalkan bisa selalu melihat senyuman non Sabrina di sisa umur mamang,” ujarnya sambil tersenyum getir.
“Ohh..mangggg..”
Aku merasa haru sekaligus tersanjung mendengar pengakuannya itu. Tak kuduga lelaki tua itu ternyata menyukaiku. Ia benar-benar jatuh cinta kepadaku. Dan ia ingin memiliki diriku secara total bukan hanya menginginkan tubuhku semata. Aku menjadi termenung sesaat. Bagaimana dengan diriku? Rasanya sudah cukup bukti jika akupun sangat mencintainya. Lantas apa yang menghalangiku buat bersatu dengannya? Bagaimana dengan status sosial dan usia mang Gimin yang tak sepadan denganku? Apakah aku malu mengakui perasaanku kepadanya? Dan sanggupkah aku melihat lelaki yang telah merengut kegadisanku akhirnya mengambil keputusan menikahi wanita lain karena penolakanku ini?

“Manggg…”panggilku.
“Iya non?”
“Nikahi Sabrina, mang. Sabrina bersedia menjadi istri mamang” ujarku mantab.
“Be..benarr nih nonn?” tanyanya tergagap. Ia nampak terkejut sekali mendengar ucapanku itu. 
Aku mengangguk mengiyakan. Aku tak ingin lagi hidup dalam ketidakjujuran. Perasaan cintaku kepadanya terus tumbuh semakin besar dari waktu ke waktu tanpa ada yang bisa mencegahnya. Apalagi setelah  semua yang terjadi di antara kami. Mana mungkin aku hidup tanpa dirinya. Aku begitu membutuhkan dirinya. Dan akupun ingin memiliki dirinya seutuhnya hanya untuk diriku sendiri. Aku sadar akan semua konsekwensi dari keputusan  singkat yang kuambil saat itu. Hari-hariku mungkin sudah tak akan sama lagi dengan sebelumnya.Tetapi  aku sudah mantab menyerahkan segala-galanya demi dia.
“Terima kasih, non” Ujar Mang Gimin lega.  
Wajahnya yang tadi muram kini tersungging sebuah senyum kebahagiaan. Aku-pun menarik tangannya kembali ke dalam rumah pak penghulu. Siang itu, aku resmi menjadi istri kesekian mang Gimin. Aku tak tahu apakah pernikahan kami syah atau tidak. Tetapi aku  tak ambil pusing akan soal itu. Yang jelas saat itu aku merasa begitu bahagia bisa bersatu dengannya. Selesai melangsungkan pernikahan. mang Gimin memberikan sejumlah uang kepada pak penghulu. Lalu kamipun bergegas pergi dari situ. Tapi hujan turun dengan lebatnya. Kami tak punya pilihan lain selain menerobos derasnya hujan. Kendala lain pun muncul. Karena vaginaku masih terasa sakit sekali maka mang Gimin harus memapahku saat berjalan. Akibatnya kami berdua basah kuyup ketika sampai di dalam mobil.
“Non Sabrina..”ujarnya sebelum menstarter mobil.
“Iya mang”
“Mamang berjanji setelah ini mamang tak akan pernah menikah lagi. Biarlah non yang menjadi istri terakhir buat mamang”
“Aduhhh pake ikrar segala sih mang? Benerannn nihh?” godaku tak percaya.
Mang Gimin cuma mengangguk. Tetapi mata tuanya menatapku dengan pandangan yang teduh. Tatapannya kurasakan begitu kebapakan sekaligus membuat aku tersadar jika ia bukanlah lagi sopirku yang bisa kuperintah atau ku olok-olok sekehendak hatiku. Mang Gimin sekarang adalah suamiku yang harus aku hormati. Aku merangkulnya erat seraya berucap
“Manggg maafin istrimu ini ya. Mulai saat ini Sabrina akan mengabdi kepada mamang”
Ia membelai rambutku lembut membuatku merasa nyaman berada di dalam dekapannya. Hujan terus turun dengan lebatnya diiringi suara guntur mengiringi ikrar kami berdua hari itu. 

########################
Setibanya di rumah hari sudah menjelang malam.Malam itu aku jatuh demam.Kedua pembantu pengganti mbak Narti menjadi kelabakan. Mereka secara bergantian merawat dan mengompresku. Mereka juga mengabari mami perihal itu sehingga mami mengomel di telpon kepada mang Gimin. Dia mengira aku sakit gara-gara kehujanan saat menunggu jemputan mang Gimin yang doyan pergi ngelayap. Saat tidur vaginaku tiba-tiba kram. Rasa nyeri di selangkanganku membaur jadi satu dengan sisa kenikmatan membuatku aku mengigau dalam demamku. Untungnya mereka terlalu bodoh untuk mengerti apa yang aku ucapkan. Kesokan harinya mami pulang mendadak karena kuatir dengan keadaanku. Aku melewati hari-hari dengan beristirahat di kamarku. Aku dilarang mami buat keluar dari kamar. Mang Gimin tak bisa berbuat banyak meski ia sangat mencemaskanku. Ia hanya bisa saling menatap rindu dan melempar senyum denganku dari balik kaca jendela kamarku. Setelah lewat satu minggu aku-pun  sembuh total. tetapi hari itu aku belum kembali ke  sekolah. Pagi itu mami berangkat lagi.ketika aku sedang tidur-tiduran sendirian di kamar. Tiba-tiba mang Gimin masuk. Ia langsung naik ke ranjangku. Tanpa ba bi bu lagi ia menyergapku dengan ciuman ketat.
“Empp.?” aku kaget tapi langsung membalas kecupannya. Aku rindu sekali akan belaiannya.
“Manggg entar ketahuan sama bibik” ujarku cemas  ketika ciuman kami terlepas.
“Ndak usah kuatir, non. Mereka berdua sudah mamang kasih duit buat jalan-jalan ke Mal sampai sore.”Jelasnya.Ternyata mang Gimin panjang akal juga.
“Mamang kengen banget sama nonnn”
“Sabrina juga kangen sama mamang”Saat itu aku memang sangat membutuhkan dirinya di dekatku.
Kami kembali berciuman.
“Mangg cepetan entot Sabrina” ujarku tak sabaran. 
Meski beberapa hari yang lalu mang Gimin mengintimiku hingga selangkanganku ngilu..Tapi aku tidak kapok. Aku justru rindu akan sodokannya. Sakit berbaur dengan orgasme yang terjadi membuatku tergila-gila dan ketagihan akan seks.
"Non pinginnya mamang celup apa di entot?"
"Dijilatin, dicelup terus di entot sama kontol gede mamang"

Setelah satu minggu lebih aku tersiksa menahan gairahku. Akhirnya aku memperoleh penuntasan dari tubuh tua suamiku itu. Itu adalah kali ke pertama kami bersetubuh setelah pernikahan kami. Siang itu kami melakukan persetubuhan dalam durasi yang panjang. Sekian jam kontol melengkung mang Gimin tak lagi kulepaskan dari kuluman liang senggamaku. Malamnya kami kembali mengulanginnya sampai menjelang pagi harinya. Layaknya pengantin baru lain akupun sangat menginginkan hubungan badan yang sangat sering dan Mang Gimin tak pernah mengecewakanku dalam urusan yang satu itu. Meski sudah tua dan peot ia begitu jantan dan berpengalaman.  Untuk bisa bercinta denganku mang Gimin tak pernah kehabisan akal. Setiap malam ia menyusup masuk lewat jendela kamarku. Lalu keluar di pagi harinya melalui jalan yang sama. Untungnya kedua pembantuku tak pernah menyadari apa yang terjadi di dalam kamarku setiap malamnya. Mereka juga selalu tidur lebih awal sehingga memudahkan aksi mang Gimin. Apa yang diharapkan mbak Narti tempo hari sudah menjadi kenyataan. Aku sudah berhasil mengantikan kedudukan dirinya.Aku  berusaha keras memberikan yang terbaik buatnya sebagai tanda pengabdianku. Tak hanya meladeninya di ranjang.Akupun memasakan ikan peda balut daun labu makanan kesukaannya, menyedukan teh jahe minuman favoritnya di waktu pagi dan sore. Juga semua hal yang pernah di lakukan mbak Narti dulu kepadanya. Tetapi mang Gimin justru melarangku terus-terusan melakukan semua itu. Ia bilang ia tak ingin hubungan kami sampai di ketahui oleh orang lain terutama oleh kedua pembantuku. Ia mengatakan ia sudah merasa sangat bahagia tanpa aku harus melakukan semua itu buatnya. Terbukti setelah menikahiku tubuhnya pun kembali agak gemukan. Aku sungguh bahagia bersuamikan dia. Aku hanya tersenyum bila mendengar para teman sesama gadis di sekolahku tengah membicarakan pria idaman mereka yang tampan. Seandainya saja kalian tahu betapa perkasanya mang Gimin di ranjang...betapa buasnya dia saat menggauli raga beliaku...betapa dasyat kenikmatan yang dapat kalian peroleh dari penis keriputnya...tentu kalian tak perlu lagi mengejar-ngejar pria seperti yang kalian idolakan itu. Anehnya selama hampir satu tahun digaulinya aku tak pernah sampai hamil. Padahal mang Gimin tidak pernah lagi memakai kondom setiap kali bersetubuh denganku. Tidak seperti saat ada mbak Narti dulu. Entah apa yang ada dalam pikiranku. Aku tak pernah mencegahnya  buat berejakulasi secara internal di dalam vaginaku meski di waktu-waktu suburku. Setiap tetes sperma yang terproduksi oleh testis tuanya  ia tanamkan semuanya di dalam rahimku membuatku beresiko terhamili.

Hingga pada suatu hari tugas papi di sini selesai. Ia harus kembali ke Amerika membawa mami dan diriku ke sana. Itu artinya  aku dan mang Gimin harus berpisah. Aku sempat menangisi perpisahan itu. Sebelum berangkat aku memberinya sebuah handphone agar aku dan dia bisa saling mengabari dari jauh. Setelah kehilangan mbak Narti dan kini aku juga harus terpisah dari suamiku, mang Gimin. Setelah berpisah dariku mang Gimin menepati ikrarnya saat menikahiku dulu.Ia tidak pernah lagi menikah. Ia hidup menetap di kampungnya seorang diri. Hingga satu tahun berselang setelah itu kudengar berita dari mbak Narti jika mang Gimin  meninggal. Aku menangisinya sampai berhari- hari. Ada rasa penyesalan karena aku tak bisa merawatnya dan berada di dekatnya sebelum kepergiannya. Di Amerika ternyata nasibku juga tak lepas dari kemalangan. Pada bulan itu juga, sebuah kecelakaan pesawat telah merengut nyawa kedua orang tuaku. Kuliahku di sana sempat terhenti. Aku benar-benar menjadi sebatang kara. Mami memang tak memiliki kerabat di sana. Sedangkan keluarga  papi terasa asing bagiku.Setelah peristiwa itu aku putuskan untuk kembali kemari. Aku memilih tinggal bersama saudara jauh nenekku dari mami di kota H. Ia seorang janda tua yang hidup sendiri. Sambil bekerja di sebuah agensi model aku meneruskan kuliahku.

#########################
Setetes air bening jatuh membasahi lembaran kertas diary. Menjadikan semua keajaiban itu terhenti. Sabrina kembali lagi ke alam nyata. Tulisan- tulisannya kembali terlihat terpenggal-penggal oleh batasan-batasan ruang dan waktu.

Dear Diary…

8 Agustus..

Kampus baru, suasana baru, Dan Woww..cowok-cowoknya  keren… 

Siang tadi aku berkenalan seorang gadis….cantik sekali. Sepertinya hatinya baik. Dari cara bicaranya aku tahu itu bukan keramahan yang ia buat-buat.  Tak seperti kebanyakan cewek lain yang belum apa-apa sudah menanamkan rasa iri dan dengki karena kecantikanku.  

Belum satu jam berkenalan namun sudah banyak sekali yang kami bicarakan. Lidya Indahsari namanya.

Aku suka anak ini… Aku sangat berharap dia bisa menjadi seorang teman baik buatku.….

#######################-
“Eh Rin…Aku haus banget! Ambil minum, yuk” terdengar suara ajakan Lidya semakin menyadarkan Sabrina.
Cepat-cepat ia menutup buku yang berisikan rahasia masa lalunya itu. Sabrina merasa ia harus menyembunyikan semuanya dari Lidya sebab ia kuatir Lidya tak bakal bisa menerima semua itu. Apa yang telah ia lakukan tak berbeda dengan Lila. Dia-pun pernah menjalin sebuah hubungan dengan seorang pria berstatus sosial sama seperti Alfi. Bahkan menikahinya. Sabrina tak ingin semua itu akan merusak hubungan persahabatan mereka.
“Hei,?! Engkau menangis, Rin?!” tanya Lidya kaget melihat mata  dan pipi sahabatnya itu basah. Sabrina-pun tersadar dan berusaha menguasai dirinya sambil menyeka sisa air matanya.Tetapi air matanya tetap terus berjatuhan tanpa terbendung.
“Duhh Rin!Ada apa?” Lidya cepat memeluk sahabatnya yang sebatang kara itu.
“Ngga apa-apa, Lid…Hks… A aku hanya teringat sama mami dan papi. Terkadang aku merasa dunia ini begitu tak adil kepadaku hks” jawab Sabrina justru semakin terisak-isak.
“Sttt…sudahh Rinn..sudahh. Kan masih ada aku. Biarkan aku menjadi seorang saudara bagimu. Biarkan aku menjadi pengganti keluargamu yang telah hilang itu, ya” bujuk Lidya iba. Sesungguhnya nasibnya memang masih lebih beruntung dari nasib Sabrina. Meski ayahnya juga sudah tiada tapi setidaknya ia masih memiliki seorang ibu dan kakak yang sangat memperhatikan dan menyayangi dirinya. Sedangkan Sabrina hidup seorang diri tanpa sanak keluarga. Keceriaannya dan keliarannya selama ini hanyalah sebuah pelarian dari rasa kesepiannya akan cinta dan kasih sayang. 
“E.ngkau sudi menganggap aku sebagai saudaramu, Lid?”
“Lho memangnya kenapa Rin? Sejak dulupun menganggap persahabatan kita lebih dari sekedar teman”
“Sekalipun aku adalah seorang gadis liar yang memiliki latar belakang yang berbeda denganmu?”
“Rinnn.Aku menyayangimu. Apakah itu masih belum cukup?”
“Itu sudah lebih dari cukup,Lid. Makasih ya” ujar Sabrina kali ini ia yang memeluk Lidya. 
Lidya sengaja menahan sahabatnya itu agak lama dalam peluknya. Lila pernah mengatakan jika secara psikolgis sebuah pelukan yang hangat  akan memberikan rasa nyaman pada seseorang yang sedang mengalami tekanan secara mental sekaligus merupakan obat antistress yang efektif. Dan ia tahu Sabrina sangat membutuhkan hal itu saat ini. 
“Nah sudah lega, kan?” tanya Lidya ketika pelukan mereka terpisah dan disambut anggukan Sabrina.

Lidya senang melihat sebuah senyum kebahagiaan mengembang dari sahabatnya itu. Lalu mereka keluar dari kamar dan menuju ke dapur. Untungnya mereka sempat membeli aneka soft drink dan jus buah saat datang ke rumah ini. Mereka melepas penat sambil menikmati kesejukan jus dari kulkas.
“Eh ngomong-ngomong sepertinya Alfi sudah selesai mengerjakan semua perintahmu. Sebaiknya suruh saja ia pulang” ujar Sabrina melongok ke luar jendela melihat anak itu tengah duduk tersandar di teras belakang dengan baju basah kuyub oleh keringat.
"Sebenarnya aku belum puas memberinya pelajaran!"
“Aduhhh kok mulai sewott lagi sih, Lid?”
“Iya soalnya aku bener-benar sebal kepadanya! Aku ingin ia menjauh selamanya dari kehidupan kak Lila!” 
"Hmm..Kalau begitu biarkan ia sering datang kemari atau… minta pada kakakmu agar dia tinggal di sini bersama kita biar bisa engkau kerjai dia tiap hari"ujar Sabrina.
"Engkau sudah gila? Mana mungkin aku membiarkan seorang pemerkosa, penjahat kelamin seperti dia berkeliaran di sekitar kita. Bisa-bisa kita-pun dimangsanya!"
"Jika tak begitu, bagaimana engkau bisa memberinya sebuah pelajaran yang pahit"
"Maksudmu?" Tanya Lidya mulai tertarik akan saran sohibnya itu.
"Bukankah tadi engkau katakan jika engkau ingin dia pergi dari kehidupan kakakmu?”
“Ya, lantas?”
“Kenapa tidak kita jebak saja dia”
“Dijebak?”
“Ya.Kita goda dia. Begitu ia ingin melakukan aksinya kita jebak dia dengan perangkap yang telah kita sediakan. Setelah ada bukti kejahatannya barulah kita beri ia hukuman sekehendak yang engkau inginkan"
"Aku masih belum mengerti?.”
"Ahhh! Nanti akan aku jelaskan detailnya. Percayakan saja semuanya padaku. Yang penting engkau setuju atau tidak kita melakukannya?"
“Baiklah kalau begitu" Lidya akhirnya setuju melihat Sabrina begitu antusias menjalankan rencananya.

############################
Keesokan harinya, Pukul 12:30
Pada sebuah bank.

Terlihat Alfi masih memakai seragam sekolahnya tengah duduk menunggu di antara para nasabah.  Sepulang sekolah ia langsung menuju kemari atas permintaan Lidya karena ada sesuatu yang ingin Lidya bicarakan dengannya. Hari ini merupakan grand opening bagi cabang bank itu di kota S. Nasabah yang mengantri sudah  lumayan banyak. Mereka tak hanya dibuat nyaman oleh suasana interior bank berkelas namun juga oleh pelayanan dan senyum ramah dari staf bank yang rata-rata cantik. Terlihat Lidya duduk di belakang salah satu meja custamer service tengah melayani seorang nasabah. Begitupun halnya Sabrina yang menempati meja bersebelahan dengannya. Pandangan Alfi terus bergantian menatap ke arah ke dua gadis itu. Tadinya ia berpikir tak ada gadis lain yang bakalan dapat menandingi kecantikan Sandra dan Niken. Ternyata dugaannya salah. Kedua gadis itu seakan merupakan pilar bagi Bank ini. Kemolekan Lidya dan Sabrina seakan menjadi magnet bagi para nasabah pria di sana. Senyum manis selalu mengembang dan menghiasi wajah mereka  saat melayani sang nasabah yang duduk dihadapannya. Suatu ketika Sabrina bangkit dari kursinya lalu berjalan menuju ke sebuah meja tempat tumpukan slip yang berada di sisi lain dari Bank itu. Sepertinya ia mengambil sesuatu buat orang yang sedang dilayaninya. Tatapan Alfi nyaris tak berkedip melihat sosok molek yang melenggok bak peragawati di atas catwalk melintasi tempat duduknya. Begitu jarak mereka semakin dekat, Alfi semakin tak dapat memungkiri kalau Sabrina memang sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai didukung oleh proporsi ukuran tubuh yang ideal bagai jam pasir itu menjadikannya begitu sempurna dimata lelaki manapun. Tak hanya itu balutan seragam ketat berwarna menyala membuat kulitnya yang putih semakin bercahaya. Ditambah rok yang sedikit jauh di atas lutut semakin membuat jantung Alfi berdetak-detak kencang. Betapa indahnya kedua batang kaki  yang bergerak saling mendahului itu. Tak dapat dibayangkan pula betapa dasyat dan indahnya kawasan yang ada di bagian pangkalnya. Pikir Alfi semakin jauh melayang. Selagi ia tengah  larut dalam hayalan indahnya tiba-tiba saja Sabrina berhenti di depannya.
“Eh..AlFi? Engkau menunggu Lidya, ya?”tanya gadis itu sambil tersenyum.
“I.iyaa .kakk..”jawab Alfi gelagapan. Duhh! Manisnya. Matanyapun berbinar indah bak mutiara.
“Sabar yaa. Kira-kira dua puluh menit lagi giliran kami istirahat”
“Baik kak”

Alfi tak habis berpikir bagaimana bisa seorang karyawan lelaki dapat bekerja dengan baik dan penuh konsentrasi di tengah-tengah parede makluk-makluk molek seperti Lidya, dan Sabrina.Wanita-wanita ini yang tak hanya memiliki paras yang cantik namun juga memiliki tubuh indah yang dapat merentangkan tali syawat seorang lelaki sampai putus. Tak hanya para nasabah lelaki. Alfi yakin sekali jika para lelaki pada bank itupun selalu diliputi ketegangan. Seperti Pak Niko.Salah seorang  kepala bagian di sana yang mondar mandir mengawasi jalannya pelayanan para stafnya kepada nasabah. Alfi melihat pria perlente bertubuh subur itu berulang kali mengusap dahinya dengan sapu tangan padahal tak ada peluh sedikitpun yang mengucur keluar dari kulitnya. Tentu saja karena ruangan di situ selalu dingin oleh semburan hawa AC. Jelas ia hanya berpura-pura kepanasan sehingga ia bisa menggunakan sapu tangannya sebagai kamuplase agar orang-orang di sekitar situ tak melihat gerakan matanya.  
“Dasar buaya!…Kena kau!” ujar Alfi dalam hati saat ia melihat Niko mencuri-curi lirik ke arah tubuh aduhai gadis-gadis itu.
Alfi mengganggap sesungguhnya pihak menegemen Bank sudah dengan sengaja mengeksploitasi para gadis karyawan mereka. Tinggal hal tersebut dikatakan menjadi sebuah masalah pelecehan seksual apabila seorang lelaki ketahuan tertangkap basah menatap batang-batang paha putih nan indah itu dan si pemilik paha-paha putih tersebut menjadi tidak senang. Jadi hal tersebut syah-syah saja sepanjang si penikmat pandai-pandai mengintip dan memanfaatkan situasi seperti pak Banusi security tua yang bertugas memberikan kartu antrian yang ballpoint-nya sangat sering jatuh ke lantai sehingga membuatnya sering menjongkok buat memungut benda tersebut sambil menatap lurus ke arah gadis-gadis yang sedang duduk melayani para nasabah.Syukur-syukur si gadis tersebut sedang dalam posisi tak begitu menguntungkan sehingga si tua itu bisa melihat bagian yang agak lebih menjorok ke dalam di antara kedua batang paha-paha itu. Alfi sendiri mencoba mengendalikan dirinya dengan menonton acara pada televisi yang di sediakan buat para nasabah yang sedang duduk menunggu antrian. Ia lakukan itu karena penisnya perlahan namun pasti berdiri dan mendesak celana sekolahnya. Sungguh tak lucu bila setiap orang diruangan ini melihat tonjolan besar tersebutsaat ia berdiri nantinya.

######################
Pukul 13:00
Di Kantin Bank 


“Fi, kami berdua ingin minta tolong kepadamu”ujar Lidya membuka percakapan.
“Minta tolong apa ya kak? Beres-beres rumah lagi?”
“Bukan. Kami ingin kamu menemani kami selama kami menempati  rumah milik kak Lila soalnya kami tak berani menempati rumah itu berdua saja tanpa ada lelaki. Seperti yang engkau ketahui bahwa kami adalah orang baru di sini.”
“Eng..Tinggal di sana, kak?” tanya Alfi seakan tak yakin dengan atas apa yang ia dengar barusan.
“Iya benar. Dan rencananya nanti sore aku akan menemui kak Lila buat minta izin buatmu”
Wow! Tinggal serumah dengan mereka berdua?! Jantung Alfi kembali berdetak kuat diiringi oleh reaksi hormon kelaki-lakiannya yang langsung mendorong penisnya ber-ereksi. 
“Tapii...Aduhh bagaimana ya? Rasanya Alfi tidak bisa kak...soalnya... anuu”jawab Alfi. Jelas ia mau. Tapi masalahnya Lidya  tidak mengetahui jika sebenarnya ia justru tidak tinggal serumah dengan Lila. Namun ia tak mungkin menjelaskan kepada mereka soal hubungan dirinya dengan Sandra dan yang lain. 
“Jadi engkau tidak bersedia menolong kami?!”tanya Lidya mulai dongkol mendengar penolakan Alfi.
“Alfi bukannya ga mau menolong, kak. Tetapi Alfi benar-benar tidak bisa, kak. Lagian jika masalahnya hanya karena faktor keamanan. Kakak berdua tidak usah kuatir. Kawasan itu sangat aman, kok. Dulupun kak Lila selalu pulang praktek malam dan tinggal sendirian di situ. Sedangkan kakak tinggal berdua di sana, kan?”
“Akh! Pokoknya kami tidak mau ambil resiko, Fi!.Bagaimana jika sampai ada yang berbuat jahat pada kami? Untuk itu kamu harus tinggal bersama kami di sana!”ujar Lidya dengan suara yang mulai meninggi. Jawaban Alfi tersebut semakin membuat Lidya gemas dan tak sabaran. Ia merasa Alfi sengaja menolak karena tak ingin dipisahkan dari Lila.
“Tapi kak kenapa harus Alfi. Kakak kan bisa saja mencari orang lain!” jawab Alfi. Ia sendiri mulai kesal dengan sikap Lidya yang sangat egois dan selalu terkesan bossy terhadapnya. Sungguh berbeda dengan Lila, gadis ini sungguh sulit diberi pengertian. Melihat suasana berubah memanas cepat-cepat Sabrina mengambil alih kendali.
“Emm begini, Fi. Maksud Lidya keberadaanmu di sana hanya untuk sementara waktu saja hingga situasi benar-benar kami anggap aman. Mungkin hanya sekitar dua minggu-an begitu.”
“Engg...”Alfi masih belum bisa memutuskan hal itu. Bagaimanapun ia harus bicara dulu dengan Sandra dan yang lain.
“Bisa yaa Fiii. Masa kamu tega melihat kami berdua selalu dalam ketakutan?” rayu Sabrina. Duh! Pertahanan Alfi seakan runtuh mendengar suara memelas itu.
“Terserah apa kata kak Lila nanti.Alfi sih menurut saja, kak” 
“Soal itu biar Lidya yang mengatakannya pada kak Lila. Yang penting bagaimana dengan kamu? Apakah kamu bersedia?” tanya Sabrina.
“Iya deh kak. Alfi bersedia” jawab Alfi 
“Nah gitu donk hi hi hi.”  Ujar Sabrina sambil mengerling dan tersenyum penuh arti ke Lidya.  Permainan ini baru saja dimulai. Tetapi mereka sungguh  lupa menyadari jika selalu adanya resiko ‘kalah’ pada setiap permainan.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar