Kepekatan malam menutupi daerah hutan rimba di Papua - hawa sejuk mulai menguasai didaerah pedalaman yang biasanya di tengah hari sangat panas dan lembab. Keheningan malam terganggu oleh bunyi pelbagai serangga dan juga burung hantu serta ketepak sayap kelelawar mencari mangsanya. Semuanya itu tak menjadi perhatian Ashanty : saat ini benaknya hanya di penuhi oleh satu fikiran saja yaitu bagaimana caranya lolos dari cengkraman ke lima penduduk asli yang terlihat sangat buas itu. Mungkin sekali ia takkan lolos dari perkosaan massal - namun bagaimana caranya agar jiwanya dapat selamat dan tak menjadi korban suku bangsa yang mungkin masih sedemikian biadab dan kanibal menikmati hidangan daging manusia. Kelima lelaki yang bertubuh hitam legam dan tampak sangat kasar itu kini telah mendekati dan mengelilingi Ashanty yang berlutut dan menundukkan kepalanya. Salah seorang yang memakai topeng menyeramkan kemudian tampil di hadapan Ashanty , menyentuh serta mendengakkan dagunya sehingga mata mereka berhadapan. Ashanty hanya dapat melihat sinar mata orang si lelaki melalui lubang di topengnya, sehingga sukar untuk menafsirkannya dengan jelas. Tangan sangat kasar yang memegang dagunya kini diletakkan diatas kepala Ashanty , mengusap usap rambutnya yang tergerai , kemudian menekan kepalanya ke bawah sehingga mendekati alat kemaluannya yang telah membesar dan tegang di hadapan wajah si cantik. Tombak yang berada di tangan kiri lelaki buas itu kini ditujukan ke arah buah dada kanan Ashanty dan menyentuh puncak putingnya yang memang sangat menggemaskan setiap mata lelaki yang melihatnya. Alat kejantanannya sedemikian menakutkan penuh otot dan pembuluh darah itu kini menyentuh dan mendesak ke bibir Ashanty yang masih menutup. Ashanty tentu saja mengerti apa maunya lelaki buas itu namun jiwanya masih saja menolak dan tak mau menerima barang asing di masukkan ke dalam mulutnya , namun sang lelaki tak mengenal belas kasihan. Ujung lembing yang terasa dingin dan sangat tajam itu kini mulai ditekannya ke puncak puting buah dada Ashanty menyebabkan si cantik bergidik dan kembali sadar bahwa ia tak mempunyai pilihan lain. Sambil mengucapkan doa yang masih samar samar diingatnya dari sejak masa remajanya Ashanty perlahan membuka mulutnya yang mungil. Bukaan yang kecil itu tak disia siakan oleh lelaki buas itu yang dengan sangat kasar melesakkan penisnya yang tidak disunat ke rongga mulut Ashanty. Amat sesak dan penuh terlihat tombak daging itu masuk diantara bibir manis yang biasanya memakai make up sangat mahal. Karena memang kepala penis itu sangat besar dan pas pas-an masuk maka baik bibir Ashanty maupun deretan giginya kini berfungsi membuka kulup sang pemerkosa - disaat itu barulah tercium oleh Ashanty bau yang sangat tak enak memualkan dari bagian kepala penis yang memang selama tak ereksi penuh selalu tertutup oleh kulup dan mungkin jarang dibersihkan oleh sang empunya. Bau memualkan tercampur pesing itu menyengat panca indera penciuman Ashanty sehingga diusahakannya bernafas melalui mulut agar hidungnya tak tersiksa aroma memuakkan, namun apa daya mulutnya penuh sesak dengan daging pentungan yang masuk hampir setengahnya. Pemasukan itu sudah lebih cukup dan tak dapat diteruskan karena telah menyentuh awal kerongkongan dan tenggorokan Ashanty menyebabkannya gelagapan sukar sekali bernafas.
Mendadak Ashanty merasakan tangannya yang terikat erat di punggungnya terlepas - rupanya telah diputus oleh pisau tajam dari salah seorang yang berada di belakangnya. Ashanty merasa agak lega karena tangannya yang kesemutan kini memperoleh aliran darah lagi - namun hal ini tak berlangsung lama : kedua nadinya dipegang dengan kuat dan kasar dan dipaksakan untuk mencekal dua buah penis lain yang tak kalah panjang dan besar diameternya dengan yang sedang memperkosa mulutnya. Dan rupanya kedua penis itu adalah milik Gbagbo dan Ntsubo yang kini tak mau kalah dan ingin memperoleh jatah pemuasan di malam itu. Wanita cantik yang berlutut tak berdaya itu kini dipaksa untuk mengocok merangsang batang kelamin dengan kedua tangannya. Dirasakan oleh Ashanty bahwa kedua penis yang telah tegang mengeras itu mulai berdenyut di dalam sentuhannya dan semakin lama semakin membasar sehingga akhirnya genggaman jari jarinya yang panjang lentik tak cukup untuk mengatup seluruhnya lingkaran penis ditangannya.
Rupanya tak puas sampai disini saja si lelaki buas yang tengah meroncé mulutnya mendadak merebahkan diri lalu menarik korbannya untuk menungging sehingga dalam posisi ini Ashanty dipaksa melanjutkan menyepong dan mengulum alat kebanggaannya itu. Kedua lelaki yang tengah dikocok penisnya oleh Ashanty juga ikut rebah di samping kiri kanan Ashanty sehingga proses penghiburan gratis dengan jari jari tangan lentik halus itu masih berlanjut. Posisi hampir menungging ini rupanya memang disengaja oleh ketiga pemerkosanya karena kini ada kesempatan untuk Utuzo dan lelaki bertopeng terakhir menyeramkan untuk ikut dalam "permainan" ini. Ashanty merasakan kini beberapa tangan kasar mengusap usap tubuhnya dikiri kanan mulai dari leher, bahu, ketiak , lalu turun ke pinggang , menyelinap kebawah meremas remas bukit payudaranya yang menggantung. Tangan tangan lain mengusap usap pundaknya , turun ke punggungnya lalu membelai meremas remas kedua bulatan pinggul pantat bahenol kebanggaannya. Secara instink dan intuisi Ashanty mulai merasa takut karena tangan tangan kasar pemerkosanya itu semakin lama semakin mendekati bagian bagian badannya yang intim dan tersembunyi. Tangan tangan itu menusuk nusuk pusarnya kemudian semakin menurun mendekati bukit Venus yang rapih dicukur licin, sementara tangan tangan lain membuka belahan pantatnya disertai jari jari nakal menyentuh mengusap celah bongkahan pantatnya. Butir air mata berlinang linang di pelupuk matanya dan mengalir turun membasahi pipinya yang halus , ketika Ashanty merasakan bukit kemaluan serta lingkaran duburnya diraba dan diusap usap jari jari kasar tak senonoh. Secara refleks otot otot kemaluan maupun dubur Ashanty mengejang dan menolak tindakan intim yang hanya biasa dilakukan antara pasangan suami istri. Namun refleks penolakan ini justru menambah kegembiraan para pemerkosanya dan mereka merasakan bahwa wanita cantik yang sedang dikerjain ini tak menyerah mentah mentah begitu saja dengan tindakan mereka. Dengan bersahutan didalam bahasa yang tentu saja sama sekali tak dapat dimengerti oleh Ashanty mereka saling bersahutan dan tertawa kesenangan melihat reaksi sang korban diselang seling hembusan nafas mereka. Ashanty sendiri pun sebagai wanita muda sehat penuh dengan hormon kewanitaan mulai merasakan ada gejolak yang muncul didalam tubuhnya. Akal sehatnya menyadari bahwa tubuhnya sedang dijarah dikuasai dan dironcé oleh lima orang pria pribumi yang sama sekali tak dikenal sebelumnya , akal sehatnya sukar menerima keadaan yang sedang dialaminya , namun pori pori kulitnya mulai terangsang dan bulu badannya terutama kuduknya mulai berdiri. Keringat pun mulai membasahi seluruh tubuhnya karena urat syaraf yang sedang bertahan mati matian melawan perkosaan membutuhkan banyak enersi dan ini menghasilkan kelembaban uap mengkilat di permukaan kulitnya yang halus mulus.
"Emmppppfhhh, ooouh , aaahhh , empppfffhh , slrrrrp , sluuuurrrp " , bunyi tak karuan keluar dari mulutnya yang di penuhi oleh kemaluan lelaki pemerkosanya.
Bau memuakkan dari kemaluan itu perlahan lahan namun dengan pasti kini terganti oleh aroma ludah Ashanty yang memang jauh lebih harum. Kedua pemerkosanya yang bertopeng hanya mengeluarkan desahan desahan kenikmatan tanpa mengucapkan kata atau kalimat yang dapat dimengerti Ashanty karena itu adalah bahasa pedalaman mereka , sementara Gbagbo , Ntsubo dan Utuzo terkadang masih mengucapkan beberapa kata atau kalimat didalam bahasa Indonesia yang primitif.
"Iyyaaaa, nona pintaaaar, ayooo teruuus kocoook burung saya, bikin diaaaa jadi gede, ooaaah, yaaa teruus", ujar Ntsubo dan Gbagbo saling bersahutan.
Utuso sementara itu semakin brutal mengusap dan terkadang menyelinapkan jarinya kedalam lembah lembab yang terlindung oleh bibir kemaluan jauh lebih mungil dibandingkan wanita asli pedalaman yang sering dipermainkannya.
Jari jari lain dari pemerkosa bertopeng kini telah pula "bermukim" ditengah belahan pantat Ashanty, mencari pusat tengah lingkaran anus yang tentu saja bagi ukuran penduduk pribumi ditengah rimba ini sangat mungil sangat menawan dan mengundang untuk dimasuki. Ashanty mengeluarkan protes namun suaranya terpendam dan teredam oleh penis besar ibarat pisang tanduk menghunjam ditenggorokannya, mencegah getaran pita suaranya sehingga yang keluar hanyalah bunyi rintihan memilukan :
"Jnnnggggnn, eempppfffh, enggggghh, nnggggggh , lllllpppppsssskkknnn, oooouuummmpfffh, nnnnnnssssshhhhllllnnn , aaooowwwfffhhh, ".
Ashanty berusaha menggoyangkan pinggulnya yang menungging keatas itu kekiri kekanan mengelakkan tusukan jari ditengah duburnya, namun pemerkosa bertopeng menyeramkan bersama Utuzo si penunujuk jalan jahanam kini mendekap pinggang Ashanty dari kiri kanan dan menekannya kebawah sehingga bokong istri cantik yang sedang disiksa ini semakin menonjol keatas dan bongkahan pantatnya semakin tampak menggiurkan.
Gbagbo dan Ntsubo semakin menyeringai lebar menakutkan dan kini bergantian memeras meremas dan menarik memijit memilin mencubit puting Ashanty sehingga terasa perih dan ngilu, namun tangan² mereka yang lain juga mengusap dan menekan nekan ketiak Ashanty membuatnya semakin mengeluh dan menggelinjang kegelian.
Utuzo sementara itu telah berhasil memasukkan sebuah jarinya kedalam vagina Ashanty dan mulai merojok keluar masuk sambil memutar mutarkan jarinya itu. Rontaan Ashanty disertai ratapannya yang memelas justru semakin membuatnya makin bersemangat :
"Bagus bagus terus ayyyo yyyyo goooyangg , manaa sirooopnya yang maniiiis, nona anak bagus cantik keluaaaarkan siroopnya , ayyyo ayyyo".
Pada saat itu Ashanty ingin berteriak sekuat isi paru parunya namun apa mau pemerkosa mulutnya justru menjambak rambut Ashanty dengan kasar dan menekan kepalanya sehingga lebih dari separuh penisnya masuk menekan rahang belakang Ashanty. Tak lama kemudian Ashanty merasakan penis dimulutnya melebar sedemikian rupa sehingga rahang Ashanty terasa sangat sakit pegal karena dipaksa membuka maksimal tanpa hentinya lalu penis itu berdenyut denyut dan akhirnya semburan sperma hangat memenuhi kerongkongannya. Aroma hanyir sangat menjijikkan memenuhi pancaindera pernafasannya yang dirasakannya ibarat akan tercekik - doyan atau tak doyan , jijik atau tak jijik , mual atau tak mual , semuanya tak ada guna untuk dilawan karena Ashanty tahu tak ada jalan lain yang terbuka. Berkali kali Ashanty ingin muntah ketika teguk demi teguk lahar sepat agak asin memuakkan itu melalui lorong kerongkongannya. Kerongkongan yang biasanya menikmati minuman mahal termasuk anggur kelas satu dan champagne itu kini dipaksakan menelan sperma orang sadis yang sama sekali bukan tandingan derajatnya. Dari balik topeng menakutkan itu keluar suara ibarat binatang buas jantan sedang menggeram menyetubuhi sang betina. Geraman itu terdengar di telinga Ashanty bagaikan gema yang tak ada habisnya sementara semprotan demi semprotan sari kejantanan harus diterimanya. Tubuhnya yang sedemikian langsing semampai bahenol kini menjadi permainan dari lima lelaki kasar - namun ini baru permulaan dari siksaan yang akan masih berlanjut. Setelah tetesan tetesan sperma yang membanjiri mulutnya akhirnya terhenti maka sang pemerkosa bertopeng itu melepaskan jambakannya di rambut korbannya dan menggeser menggulingkan badannya kesamping sehingga Ashanty sempat megap megap menghirup menarik nafas panjang kelelahan dan mengharapkan akan memperoleh kesempatan sedikit istirahat. Namun harapan Ashanty itu hanya sia sia karena tubuh si permekosa bertopeng segera di gantikan oleh Ntsubo yang merebahkan dirinya dengan penis gagah perkasa ibarat tugu patung totem yang melambangkan keperkasaan sang nenek moyang suku primitif itu. Ashanty berusaha berontak namun apalah daya seorang wanita lemah menghadapi lima tenaga alamiah laki laki yang hidup sehari hari di tengah rimba.
Ntsubo memeluk lingkaran dada Ashanty sehingga tak dapat berkutik lagi sedangkan Gbagbo dan Utuzo merejang kembali tangan Ashanty di punggungnya , lalu pinggul molek Ashanty diturunkan mereka perlahan lahan sambil mengarahkan belahan selangkangan wanita korban mereka ke penis Ntsubo yang berdiri tegar ibarat tombak menunggu celah yang akan dihajarnya habis habisan. Berbeda dugaan mereka yang rupanya sudah sering memperkosa bersama wanita suku pedalaman mereka didesa maka ukuran gerbang vagina Ashanty tak selebar wanita pribumi disitu. Berkali kali usaha mereka gagal, biarpun penis Ntsubo telah demikian tegang bagaikan kayu penumbuk beras dan vagina Ashanty telah dirangsang jari jari Utuzo namun "tembakan" mereka meleset kesamping kiri kanan atas atas bawah. Kini mereka memaksa Ashanty setengah berdiri dengan lutut setengah ditekuk , tangannya tetap ditelikung di punggung , lalu Gbagbo dan Utuzo menarik melebarkan bibir kemaluan Ashanty kekiri kekanan. Tentu saja Ashanty tak mau diperlakukan sebagai pelacur desa dan berusaha berontak sekuat tenaga - namun kedua lengannya yang ditelikung dipunggungnya semakin ditarik keatas sehingga terasa sangat sakit di sendi pundaknya menyebabkan Ashanty meraung menjerit. Setelah itu Ashanty tak berani lagi berontak karena takut sendi bahunya akan lepas atau patah dan pasrah akan di tikam vaginanya dari bawah ibarat legenda Dracula yang "menyaté" musuh yang ditangkapnya dengan perlahan menusuk menembus perut mereka dengan memakai tonggak kayu ditanam ditanah bagaikan bambu runcing. Meskipun bukan gadis lagi - telah lama memasuki jenjang pernikahan dan sering ML dengan suaminya - bahkan beberapa menit lalu sempat di perkosa oleh Aslan - dan dirangsang dengan jari tangan Utuzo sehingga pelumas alamiah vaginanya telah membasahi dinding kenikmatannya - namun pemasukan penis Ntsubo tetap dirasakan sakit ibarat dimaam pengantin. Penyebabnya adalah ketidak sesuaian ukuran vaginanya dibandingkan kejantanan yang milimeter demi milimeter sedang menguak menerobos gerbang kewanitannya.
"Auuuuuuw, ooooohhh , pelaaaan pelaaaaaan , aduuuuuuh auuuuuuuw sakiiiiiiit , saaakiiiiit , hentiiikaan duluuu, uuuuuhh, aaampuuun , auuuuuuuww , saaakiiiiiiiit ", lolongan suara Ashanty memecah keheningan malam.
Ashanty menengadahkan wajahnya keatas, kepalanya menoleh kekanan kekiri , hidungnya yang bangir mancung kembang kempis menahan rasa sakit yang menyiksa selangkangannya yang terasa seolah sedang dibelah dua.
Berbeda dengan Ashanty yang sedang menderita maka ke lima lelaki pribumi Papua itu menikmati sekali adegan yang jarang terjadi itu : tubuh wanita kota putih mulus dipaksakan duduk dengan lembing tumpul memasuki liang intimnya. Kedua lutut Ashanty yang dipaksa menekuk setengah berdiri setangah berlutut semakin lama semakin letih kaku dan gemetar menahan berat badannya sendiri. Akhirnya tanpa dapat dihindari tubuh molek bahenol itu turun , turun , turun dan mau tak mau akhirnya harus rela di"saté" oleh penis Ntsubo. Dalam mimpi seburuk apapun seumur hidupnya tak pernah Ashanty membayangkan apa yang sedang dialaminya saat ini : seorang diri ditengah hutan rimba di kerjain oleh lima lelaki kasar secara bergantian dan sekaligus secara massal. Badannya terasa dilolosi semua tulangnya , keinginan melawan sudah mulai punah , hanya tekad untuk kembali ke dunia yang beradab masih ada dan hanya inilah yang mempertahankannya untuk tetap hidup.
Tubuh Ashanty telanjang bulat dan penuh keringat kini hanya dapat menggelepar dengan lemah ketika milimeter demi milimeter di"tancap"kan ke lembing daging yang menusuk membelahnya melalui vagina yang begitu mungil.
Ibarat terbawa angin puting beliung dirasakannya semua dihadapan mata berputar , seluruh tubuhnya terasa panas dingin mengalami pelecehan tanpa peri kemanusiaan itu. Bermenit menit lamanya tubuh ayu molek yang terbiasa dengan massage , spa dan segala macam perawatan di salon kecantikan kini diperlakukan ibarat pelacur desa yang tak ada harganya sama sekali. Ashanty tak dapat mengerti mengapa ia belum pingsan karena disaat sedang mengalami penyiksaan seperti itu - apakah dirinya sudah mulai berubah dan ikut terbawa alam pervers ?
Ketika tubuhnya terutama vaginanya secara sangat lambat mulai adaptasi dengan penis yang menjarahnya tanpa belas kasihan itu mendadak Ashanty merasakan ada tangan kasar memaksa melebarkan bongkahan pantatnya dan memaksa celah yang menyembunyikan liang duburnya membuka dan menunjukkan lingkaran kuncup bunga terhias otot lingkar berkerut. Dirasakannya ada cairan ludah hangat jatuh di tengah anusnya itu dan kemudian dua buah jari mendorong perlahan namun pasti memaksa untuk menembus pertahanan otot lingkarannya disitu.
Rasa ngeri dan takut tak terkira menyadarkan Ashanty karena naluri kewanitaannya memperingatkan apa yang akan terjadi.
"Jangaan , jangaaan masuuk disitu , sakiiiiit , engggga mau , jangaaan , kasihaniiii sayaaa, aaampuuuun", tanpa sadar keluar suara Ashanty memelas meratap memohon belas kasihan yang tentu saja takkan menggoyahkan rasa keinginan para pemerkosanya yang sadis untuk melihat lebih lanjut penderitaan mangsanya.
Ternyata yang kini memulai kegiatan sodomi adalah si penunjuk jalan termuda yaitu Utuzo. Dari semua tokoh pemerkosa dimalam itu Utuzo adalah yang termuda dan mempunyai penis terpanjang. Utuzo awalnya berasal dari suku lain dan ketika ia masih kecil terjadi perang total diantara suku suku primitif disitu. Semua penduduk dari suku asal Utuzo dibunuh terkecuali ibunya Utuzo yang memang masih muda dan tercantik untuk ukuran dunia Papua disitu. Karena itu Utuzo yang saat itu baru masuk usia satu tahun bersama ibunya dibiarkan hidup, diculik dibawa oleh suku buas yang memenangkan perang dan dibesarkan ditengah suku lain itu. Ibu Utuzo dijadikan gundik oleh kepala suku pemenang danUtuzo menjadi anak lelaki kesayangannya. Menurut kebiasaan suku itu anak laki laki sepuluh hari setelah lahir harus disunat dan karena itulah Utuzo adalah satu satunya pemerkosa dimalam itu yang penisnya tidak berkulup lagi. Utuzo menyeringai lebar ketika dilihatnya Ashanty calon korbannya telah menungging maksimal dan di rejang kuat di kiri kanan oleh Ntsubo dan Gbagbo sedangkan seorang pemerkosa kelima yang juga bertopeng berdiri didepan wajah Ashanty meminta service mulut mungilnya.
Kembali Ashanty dipaksa untuk menghisap menyepong penis berkulup dengan bau sangat tak menyenangkan - terutama ketika kulup lelaki pemerkosanya telah tertarik kebelakang oleh bibir dan deretan gigi Ashanty.
"Ennnssshhhmmmmpfffh, ssssssshhhhhh , aaaauuuuuuuwwww ", Ashanty terlonjak badannya ke depan sehingga service mulutnya terlepas dari penis pemerkosanya ketika dirasakannya Utuzo menekan kepala penisnya yang disunat berbentuk jamur alam raksasa.
Ibarat siput yang tersentuh garam yang pasti akan membunuhnya Ashanty berontak dan meronta dengan sisa sisa tenaga cadangan mengingatkan seseorang yang sekarat kejang terakhir kali. Biar bagaimanapun tenaga Gbagbo dan Ntsubo masih lebih kuat dan apalagi dibantu dengan tekanan Utuzo di punggungnya memaksa Ashanty tetap menungging.
Hanya satu dua menit Ashanty berontak dan menggeliat lalu kembali dapat ditaklukkan : mulutnya kembali terisi penis yang sedemikian bau memualkan - sedangkan otot otot lingkar pelindung anusnya tanpa ada rasa kasihan lagi dibelah dan dimekarkan oleh penis Utuzo. Bermenit menit otot otot lingkaran yang juga cukup kuat itu bertahan , namun akhirnya dengan dengus nafas Utuzo yang menakutkan dan jeritan Ashanty yang memilukan namun teredam pecahlah keperawanannya yang kedua........Ashanty merasakan badannya seperti dibelah dua bagian , anusnya ibarat dicolok kayu panas berapi lalu disayat sayat lapisan selaput lendir dindingnya , ibarat luka terpotong terkena cairan cuka dan garam , inikah rasanya apa yang disebut "hukum picis" zaman baheula ?.
Berbeda dengan korbannya yang sedemikian menderita maka ke empat lelaki pemerkosanya , terutama Utuzo merasakan sangat puas bahagia melihat mangsanya melenguh tertahan , mendesah tertahan , merintih teredam , sesekali menggelinjang lemah dan sisanya hanya menggelepar lemah dibawah kekuasaan mereka. Ashanty sudah tak sadar harus "service" mengulum menyepong menjilat penis bau yang dibenci dikutuknya itu, semua syarafnya hanya merasakan satu sensasi disaat itu yaitu rasa sakit yang benar benar telah mencapai kesanggupannya untuk bertahan. Ashanty hanya dapat memanjatkan doa agar ia segera pingsan atau lebih baik mati mendadak daripada harus mengalami penyiksaan seperti ini , seluruh tubuhnya ibaratnya hanya terdiri dari gumpalan syaraf diterpa oleh satu perasaan : sakit , sakit dan sekali lagi sakit , perih, nyeri , ngilu tak tertahan. Samar samar didengarnya geraman dan dengusan ke empat lelaki penyiksanya saling bersahutan bersamaan dengan ritme masuk keluarnya penis dimulutnya dan di anusnya. Utuzo rupanya sudah terbiasa menyodomi wanita dan ia mengetahui bahwa "kemenangannya" akan lebih mantab sempurna jika sodominya ditambah "bumbu" sedikit sehingga wanita korbannya ditengah menderita sakit tak terkira juga akhirnya merintih rintih dan kejang karena orgasmus yang dipaksakan. Utuzo tahu caranya menyiksa wanita sedemikian rupa sehingga melupakan rasa sakit dan malu akan menjerit jerit kenikmatan. Utuzo menjilati belakang leher Ashanty yang jenjang , samping lehernya , kemudian bergantian telinganya kiri dan kanan sehingga basah dengan ludahnya, lalu mendesis meniup dan berbisik ditelinga Ashanty :
"Nona kesakitan ya, coba jangan melawan , coba bayangkan rasa sakit ini akan erkurang pelan pelan dan berganti dengan enak , mau kan , nanti saya bantu begini caranya".
Ashanty merasakan kini ada jari jari yang kembali mengusap "mont veneris"nya - mencari celah kewanitaannya yang lembab , menguakkannnya , mencari kearah atas dan menemukan daging kecil tersembunyi dilipatan bibir dalam kemaluannya.
"Ini nona punya sumber kenikmatan yang belum terpakai , ini jagung yang paling lezat didunia , ini jagung bukan untuk direbus atau dibakar , tapi untuk dimanjakan jari jari saya , mau kan nona manis ?", Utuzo meneruskan ucapannya sambil menjepit dan memijit klitoris Ashanty.
Utuzo mengetahui bahwa klitoris sebenarnya mirip dengan penis , ada "kulup"nya yaitu lipatan bibir kemaluan dalam - dan kalau lipatan itu dibuka maka muncullah klitoris itu dan siap untuk dirajah dan dirangsang oleh jari yang berpengalaman.
"Eeeemmmmnnnggeeaa, nggggggmmmmphfff, jjjnnnnngggnnn, eeaaaauuuffmmmmphh, " hanya suara protes seperti itu keluar dari mulut Ashanty yang sedang dipenuhi kemaluan yang sangat memuakkannya.
Utuzo tak perduli semua itu, jari jarinya mengusap , memutar , memilin , menarik , mencubit kasar dan kembali mengelus klitoris Ashanty ibarat ahli permata sedang menggosok berlian yang baru ditemukannya. Kemahiran Utuzo membuat syaraf syaraf Ashanty yang selama ini dipusatkan untuk menerima rasa sakit tak terkira kini di paksakan untuk mengalihkan perhatian terhadap rangsangan lain tak kalah kuatnya, rangsangan geli geli ngilu tercampur sengatan sengatan seperti aliran listrik yang mula mula lemah namun makin lama semakin kuat.
Ashanty mengalami terjangan rasa lain yang tak diduganya semula : tanpa disadari paha dan betisnya yang begitu mulus mulai lagi bergetar , tanpa dikehendakinya jari jari kakinya menekuk membuka ibarat kepalan tangan , kulit telapak kakinya yang peka itu terasa kesemutan. Semua tanda dan gejala dari wanita yang mulai kehilangan pertahanan dirinya dan kini berada diperbatasan kehilangan rasa malu sama sekali tentu saja tak lolos dari pengamatan para lelaki pemerkosa Ashanty , dan mereka semakin lama semakin sering berpandangan satu sama lain dan semakin sering menukar seringai buas kemesuman mereka. Ntsubo dan Gbagbo kini cukup dengan masing masing dengan satu tangan memegang menelikung nadi Ashanty dipunggungnya , tangan mereka yang satunya mereka pakai untuk mengusap usap telapak kaki Ashanty sehingga si wanita ayu cantik ini semakin menggelinjang kegelian. Si pemerkosa bertopeng yang tetap merojok rojok penis baunya dimulut Ashanty tak mau kalah dan mengusap usap ketiak Ashanty yang tentu saja sangat peka pula. Utuzo kini meningkatkan rangsangan jari jari tangannya di klitoris Ashanty secara bergantian dengan tangan kiri kanan - jari jari tangannya yang "nganggur" tidak menyentuh klitoris dipakainya untuk merangsang bergantian puting buah dada Ashanty. Diusap - diremas - dipilin - dipijit dan dicubit cubitnya secara sadis pucuk merah jambu kecoklatan muda itu , menambah dorongan terakhir dipusat otak Ashanty memasuki jurang yang dalam. Ibarat orkes yang memainkan lagu berkepanjangan dan kini berakhir dengan nada crescendo maka ketiga pelaku adegan persetubuhan brutal itu mengalami orgasmus bersama : pemerkosa bertopeng menyemburkan spermanya yang sangat sepat hanyir di mulut Ashanty membuatnya terbatuk tersendak , Utuzo menyemburkan gelombang demi gelombang air maninya di dubur Ashanty - disertai cubitan gemas di puting susu dan klitoris Ashanty. Semua rangsangan simultan itu tak dapat tertahan lagi oleh Ashanty : bagaikan tsunami menghantam seluruh badannya yang bergetar gemetar dan menggelepar kejang kejang , didepan matanya terjadi letakan kosmik dengan hasil jutaan bintang berputar putar disertai bunyi pekikan melengking yang tiada hentinya. Bermenit menit berlalu dan barulah kemudian disadarinya dari mana datangnya pekikan melengking itu : itu adalah suaranya sendiri yang belum pernah didengarnya sendiri. Tak pernah dibayangkannya bahwa ia sebagai wanita sangat terpelajar dan hidup sopan santun akan sanggup mengeluarkan suara jeritan melengking memecahkan keheningan malam :
"Ouuuuuuhhhh , aaaaaauuuuuuuuuuuwwwww , aaaaaaaaaarrrrghhhh , eeemmmmpffffh , aaaaahhhhiiiiiiihhh , aauuuuuuuoooooooow , iiiiiiiiiyyyyyaaaaaaa , oooooooohhhhhhh , teruuuuuussss , teeruuuuuuuuusss , aaaaa, saaaaakiiiiiittttt, aaauuuuuuuwww , iiaayaaaaaaa , nikkmaaaaaat , udaaaaah iyaaaaaaa , teruuuuuuss" , akhirnya Ashanty benar benar memasuki alam penuh kegelapan di dalam benaknya - Ashanty jatuh pingsan.....
#######################
PEMBANTAIAN MELANJUT - - TRANSFORMASI TERJADI SEMPURNA.
Berjam jam Ashanty pingsan dan ketika perlahan lahan ia mulai sadar kembali tak langsung disadarinya mengapa terasa sangat pusing , tubuhnya terasa bergoyang goyang tak ada hentinya kedepan belakang dan terkadang menyamping. Lalu yang dilihatnya adalah selalu puncak pohon dengan daun daun tinggi dan juga terkadang langit pekat sedikit berbintang. Ashanty mencoba menggerakkan kaki tangannya namun tak berhasil dan ketika ia memaksakan diri membuka matanya lebih lebar maka rasa terkejutnya tak dapat diuraikan kata kata. Ia sedang di gotong dengan batang bambu amat besar , kaki tangannya terikat dan tergantung dibambu itu bagaikan hewan buruan babi rusa atau kijang besar telah dibunuh dan kini dibawa ke pusat perkubuan penduduk primitif ditengah hutan rimba untuk dijadikan santapan. Ashanty berusaha berteriak namun mulutnya disumpal dengan cabikan celana dalam string dan bh-nya sendiri sehingga suaranya tak keluar seperti dikehendakinya. Ashanty berusaha untuk berontak dan meronta ronta sekuat tenaga menyebabkan tubuhnya semakin keras bergoyang kekiri kekanan dan rupanya ini agak menyulitkan para penculiknya yang sedang menggotong yaitu kedua pribumi bertopeng.
Tiba tiba terdengar Gabgbo membentak dan memberikan aba aba dalam bahasa yang sama sekali tak dimengerti oleh Ashanty dan kedua pemanggulnya menghentikan tindakan mereka. Sebelum Ashanty menyadari apa yang akan terjadi mendadak dirasakan tubuhnya yang telanjang bulat itu dari kiri dan kanan di hajar dengan pecutan semacam tali rami yang selalu tergantung dipundak Gbagbo, Ntsubo dan Utuzo. Proses pemecutan itu tak hanya sekali saja melainkan berulang ulang , semakin lama semakin kencang dan menyakitkan sehingga Ashanty tak tahan lagi : menggeleng gelengkan kepalanya sehingga rambutnya kusut bergerai sambil mengeluarkan air mata dan menoleh kearah Utuzo yang berdiri didekat kepalanya mengawasi penyiksaan tak berperi kemanusiaan itu.
Utuzo mendekati telinga Ashanty , membuka sumpalan mulutnya dan berkata
"Nona harus menurut dan nyerah dibawa ke markas permukiman suku kami jika nona tak mau mengalami penyiksaan lebih barat. Nona pasti tahu dan telah sering melihat di rimba ini penuh sekali tumpukan tanah yang merupakan sarang semut merah yang nona telah alami sendiri satu dua kali bagaimana sakit pedih sengatannya. Kalau nona tetap melawan maka nona akan kami cambuki lagi sampai luka luka lalu nona kami letakkan diatas sarang semut itu - nona bisa bayangkan sendiri jika nona terikat tak berdaya digigiti disengati oleh puluhan, ratusan atau bahkan ribuan semut ganas itu - bagaimana sekarang nona janji tidak melawan atau akan disiksa seperti macam itu ?".
Ashanty bergidik dan tak dapat membayangkan bagaimana rasanya menahan kerubutan ribuan semut merah itu : sengatan satu dua semut saja sakitnya sudah bukan main , bagaimana kalau ribuan. Ashanty tak meneruskan niatnya untuk berteriak dan hanya bertanya dengan suara memelas :
"Ya, saya takkan mencoba melawan , namun tolong lepaskan dan kembalikan saya ke kota , saya pasti tak ada gunanya berada di markas suku kamu , saya tak punya apa apa lagi , biarlah saya batalkan niat saya mencari suami saya , tolong kembalikan saya".
Utuzo menoleh kearah para penculik lain dan mengucapkan beberapa kalimat - mungkin penterjemahan dalam bahasa asli mereka bagi yang kurang mengerti percakapan baru terjadi. Sambil menggeleng gelengkan kepalanya Utuzo berkata : "Semuanya kini telah terlambat , kehidupan nona akan diputuskan nanti oleh kepala suku besar kami , kemungkinan besar nona akan selamat tak dibunuh tapi apa nasib nona selanjutnya akan nona dengar di markas kami".
"Nona pasti tak terbiasa digotong dalam keadaan terikat begini , oleh karena itu agar nona tak terlalu pusing minumlah sedikit obat yang saya bawa ini".
Ashanty yang memang sudah sangat pusing dan mual tergoyang goyang digotong seperti hewan sembelihan itu tak melawan dan bertanya lebih lanjut , diminumnya saja cairan yang disodorkan dimulutnya. Dan memang benar dalam waktu hanya beberapa menit Ashanty merasakan kedua pelupuk matanya begitu berat sukar dibuka dan kepalanya penat sehingga tak lama kemudian dihadapan matanya menjadi gelap - Ashanty tak sadarkan diri lagi.
Entah berapa lama , berapa jam , berapa hari berlalu Ashanty tak dapat dan tak sanggup menghitungnya lagi - Ashanty telah kehilangan orientasi tempat dan waktu. Ashanty akhirnya menyadari bahwa para penculiknya memakai cara transportasi yang sangat merendahkan dirinya itu karena dengan cara itu mereka dapat bergerak lebih cepat jika dibandingkan ia harus mengikuti langkah mereka yang memang sangat gesit dan cepat karena terbiasa menembus hutan belukar. Ashanty hanya dilepaskan dari ikatan dan gotongan menggantung kalau mereka akan makan minum dan melepaskan hajat - sesudah itu ia diberikan obat dan diikat dan dibawa dengan "pikulan" bambu itu. Perjalanan mereka menembus hutan rimba diseling sekali dengan naik perahu melewati danau sangat besar - dan Ashanty mellihat dengan hati berdebar debar bahwa di seberang tepi danau tujuan mereka tampaklah dikejauhan sebuah gunung tinggi berbentuk sirip ikan hiu namun sebagian besar puncaknya tertutup kabut dan awan. Jadi betul sekali apa yang dikatakan suaminya itu - ternyata itu memang bukan dongeng atau legenda melainkan kenyataan , namun apakah rahasia tersimpan didaerah yang dikatakan sangat angker dan penuh misteri itu , apakah suaminya ada disitu , masih hidupkah , apa yang ditemukannya, pa nasibnya ? Setelah hampir seharian menyeberangi danau yang ternyata memang sangat luas itu Ashanty tidak lagi diikat dan di gotong ibarat hewan sembelihan , namun setengah diseret dipaksa mengikuti langkah langkah lebar dan cepat para penculiknya kembali memasuki hutan rimba belukar , sampai akhirnya mereka sampailah di kaki gunung misterius itu. Ashanty tertegun melihat dinding gunung yang tinggi itu namun apa yang menarik perhatian dan mengejutkannya setelah melihat lereng gunung melalui alat kekeran yang sebentar dipinjamkan oleh Utuzo adalah banyaknya gua serta celah celah besar disitu. Terlihat jelas pula banyaknya gerak gerik di celah celah serta gua di lereng terjal itu dan pada saat Ashanty masih memikir mikir apakah yang bergerak gerak disitu maka Utuzo menerangkannya :
"Disitulah suku kami hidup , markas pusat kehidupan kami berada didalam gunung itu , hampir dari puncak sampai dibawah tanah , sejak dari zaman purba sampai sekarang , oleh karena itu kami mudah bersembunyi dan sukar terlihat apalagi ditemukan oleh orang luar". "Di dalam gunung itu dan terutama di bawah tanahnya banyak tersimpan segala macam hasil alam yang rupanya sangat dicari cari oleh dunia modern - termasuk suami nona".
Ashanty terkejut mendengat kalimat terakhir ini dan langsung bertanya : "Jadi suami saya memang berada disitu dan masih hidup dia , tolong kasih tahu , bagaimana nasibnya , pasti dia sedang menunggu kedatangan saya ?".
Beberapa saat ibarat kehidupan disekeliling mereka terhenti dan akhirnya Utuzo memecahkan keheningan dengan jawabannya : "Tak lama lagi nona akan melihat dan menemukan sendiri jawabannya , setelah itu barulah akan ditentukan bagaimana kiranya jalan kehidupan nona lebih lanjut".
Ashanty berusaha menekan rasa ingin tahunya dan merasakan bahwa tak ada gunanya bertanya lebih mendalam karena pasti tak akan memperoleh jawaban yang diharapkannya. Oleh karena itu diikutinya saja secara bergegas langkah para penculiknya itu - jika ia berjalan terlalu lama maka dirasakannya ada lembing tajam menusuk punggungnya. Ashanty telah membiasakan diri berjalan ditengah para lelaki penculi pemerkosanya dalam keadaan hampir telanjang bulat - hanya beberapa daun lebar mirip daun pohon talas menutup daerah kelaminnya. Ditengah perjalanan itu beberapa kali dirasakannya tangan tangan jail dari penculiknya menjamah dan meremas baik buah dada maupun pinggulnya yang memang menggemaskan terutama dilihat bergoyang ketika berjalan.
Akhirnya mereka tiba dikaki gunung dan kedatangan mereka disambut hiruk pikuk teriakan beberapa anak kecil, lalu ditambah beberapa wanita tua dan akhirnya jumlahnya makin bertambah dengan puluhan lelaki tua muda. Ashanty tak sempat lagi memperhatikan bagaimana bisingnya suara yang mengiringi tiap langkahnya , yang dirasakannya adalah udara yang sangat panas lembab ketika ia masuk semakin dalam dan menaiki beberapa kali jenjang tanah liat keras yang rupanya merupakan tangga untuk mencapai tempat semakin tinggi. Dilihatnya pula bahwa penduduk asli primitif yang kini mengerubunginya itu hampir semua telanjang bulat , para laki laki memakai semacam koteka sedangkan para wanitanya hanya memakai semacam cawat. Sedangkan anak anak yang mengerumuninya umumnya telanjang bulat dan terlihat penis anak laki laki jarang sekali yang disunat.
Akhirnya mereka sampai di sebuah dataran yang sangat luas dan disitu terlihat banyak suku bangsa liar itu sedang berkumpul mengelilingi tempat berbentuk susun menyusun agaknya menyerupai semacam tahta tempat duduk para pemimpin. Dan memang benar dugaan Ashanty karena ketika Utuzo meneriakkan sesuatu kalimat yang terdengar aneh sekali ditelinga Ashanty maka kumpulan orang disekeliling ketinggian itu membuyar kesamping. Terlihatlah seorang penduduk asli pribumi suku bangsa primitif itu sedang duduk di tahta dengan didampingi seorang bertopeng. Sang pemimpin atau kepala suku yang duduk di tahta itu berdiri perlahan lahan dan Ashanty melihat penuh kengerian tubuh sedemikian kekar berbulu lebih mirip beruang atau gorila daripada tubuh manusia. Muka si pemimpin itupun terlihat sangat buas tanpa ada senyum atau mimik sama sekali dengan mata dapat dikatakan mendelik mengawasi tubuh Ashanty dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Utuzo yang selama itu berdiri dibelakang Ashanty mendadak menekan kedua pundak Ashanty dan memaksanya untuk berlutut , kemudian dengan kasar direnggutnya ikatan daun lebar dipunggung Ashanty sehingga lepas jatuh ditanah. Dengan demikian sempurna sudah tubuh Ashanty kembali telanjang bulat bagaikan dewi Aphrodite putih mulus ditengah kerumunan ratusan suku asli Papua berkulit hitam yang terlihat masih sangat buas dan liar.
Ashanty berusaha menutupi buah dadanya dan kemaluannya dengan kedua tangannya , namun segera dikerumuni oleh beberapa lelaki muda yang menyeretnya semakin mendekati tahta sang pemimpin. Kedua tangannya kembali di telikung di punggungnya sehingga Ashanty tak dapat menutupi bagian badannya yang vital , bahkan telikungan itu semakin diperkuat dan dinaikkan agak keatas menyebabkan Ashanty menjerit kesakitan. Tanpa terasa secara refleks Ashanty berusaha mengurangi rasa sakit disendi bahunya yang ditelikung itu dengan agak membusungkan dadanya sehingga kedua bukit kenyalnya semakin menonjol menantang para mata lelaki disitu. Hiruk pikuk yang memenuhi ruangan gua besar itu langsung berhenti dalam waktu sedetik ketika sang pemimpin mengaangkat tangannya dan memberikan tanda agar Utuzo maju kedepan mendekati tahta. Utuzo melakukan apa yang diperintahkan itu dan setelah berada sekitar lima meter dari tahta mulailah Utuzo berbicara dengan suara lantang kepada si pemimpin suku bangsa itu. Beberapa kali selama berbicara Utuzo menoleh kebelakang dan menunjuk kearah Ashanty namun tentu saja Ashanty tak mengerti bahasa yang dipakai oleh mereka. Setelah berbicara sekitar sepuluh menit yang dirasakan oleh Ashanty bagaikan berabad abad lamanya sang pemimpin turun dari kursi tahtanya dan berjalan berdampingan dengan Utuzo mendekati Ashanty. Tanpa disadari Ashanty berusaha mundur setapak demi setapak namun tentu saja ditahan oleh beberapa lelaki kuat yang memegangi badannya bahkan justru mereka semakin mendorong Ashanty mendekati pemimpin mereka dan kembali menelikung dengan kuat sehingga puting Ashanty lagi lagi makin menonjol mencuat keatas.
Ashanty tak dapat bergerak atau menghindar lagi : ia dikelilingi oleh sekian banyak lelaki berwajah buas hampir telanjang semuanya , dan sang pemimpin suku kini telah berdiri langsung berdempetan dengannya : dadanya yang berbulu hitam lebat bagaikan gorila melekat dengan kedua putingnya yang mengeras. Sedemikian tinggi besar dan kekarnya tubuh si pemimpin suku sehingga Utuzo yang demikian tinggi pun masih kalah apalagi Ashanty yang berukuran sebenarnya cukup tinggi badan 1,75 meter hanya mencapai ketiak si pemimpin !.
Si pemimpin menyentuh dan mengangkat dagu Ashanty sehingga mata mereka saling bertatapan : sepasang mata buas bersinar sinar penuh kebuasan dan nafsu hewaniah dengan sepasang mata jeli ibarat bintang kejora penuh rasa jijik dan takut. Badan si pemimpin langsung tercium menyebarkan aroma aneh menyengat hidung Ashanty
"Aku Bomo Manolo , raja suku Kotubu , rakyat penjaga gunung Maronggo , asing masuk , asing sudah mati , asing hidup korban untuk dewa , asing hidup jadi boleh perempuan raja" , demikian si pemimpin berbicara dalam susunan kata yang sangat membingungkan Ashanty yang telah gemetar seluruh tubuhnya karena takut.
Utuzo yang melihat bahwa Ashanty kurang mengerti maksud pemimpinnya langsung menambahkan : "Orang asing yang berani masuk ketengah daerah sini dan jatuh ditangan suku Kotubu harus dibunuh, dikorbankan untuk dewa gunung Maronggo, kecuali perempuan muda boleh hidup tapi harus menjadi istri raja Bomo Manolo".
"Jadi kalau begitu dimana suami saya ?, Ashanty memberanikan diri menanyakan nasib suaminya.
Manolo memandang Ashanty penuh kebengisan lalu menggerakkan tangannya menyuruh Utuzo serta Ashanty ikut berjalan kebelakang memutari tahtanya dan apa yang terlihat menyebabkan Ashanty tak dapat menahan lagi jeritannya penuh kengerian dan ketakutan dan tanpa disadari menjatuhkan dirinya berlutut menangis tersedu sedu. Di belakang tahta itu menjulang dua buah pilar kayu sangat tebal - dan ditengah kedua pilar itu dengan terbentang tangan kakinya terikat adalah Professor Azkenazy yang jelas telah mulai membusuk mayatnya. Wajahnya telah rusak hampir tak terkenali , didadanya tergantung foto istrinya : Ashanty , dan disampingnya foto itu tergantung alat yang memberikan bunyi keras tak henti²nya dan langsung dikenali Ashanty adalah Geiger Counter. Alat itu adalah untuk mencari dan men-deteksi bahan yang mempunyai radio-aktif. Bahan radio aktif tentu saja sangat dicari oleh para pemimpin dunia karena dapat dijadikan bahan baku untuk reaktor atom - entah untuk tujuan damai atau membuat senjata nuklir.
"Suami nona tidak kami bunuh , dia kami temukan sudah tak sadar rupanya karena gigitan ular berbisa , tapi dia tidak bisa mati karena jantungnya terus berbunyi, dan dia melindungi raja kami supaya tidak bisa mati", demikian Utuzo berfilsafah lebih lanjut, dan Manolo yang berdiri disebelahnya mengangguk perlahan tanda setuju.
Mendadak Ashanty sadar bahwa suku yang masih sangat sederhana jalan berfikirnya itu menganggap bahwa suaminya yang telah mati itu masih terus hidup karena bunyi Geiger Counter yang terus aktif karena rupanya di dalam gua itu - atau bahkan mungkin seluruh gunung Maronggo memang penuh dengan bahan radio-aktif.
Ashanty merasa lemas seluruh badannya. Ia menyadari bahwa harapannya untuk dapat kembali kedunia modern dapat dikatakan telah punah. Pilihan apa yang tersisa bagi masa depannya? Ibarat dapat membaca jalan fikiran Utuzo membawa Ashanty untuk menjauhi mayat suaminya yang terikat itu. Dibelakangnya tetap ikut raja Manolo dan beberapa orang pengawalnya yang sangat tegap. Beberapa puluh meter dibelakang mayat Azkenazy dan tahta sang pemimpin terlihat sebuah lembah yang cukup dalam. Disitu tampak patung menyeramkan yang rupanya adalah dewa pujaan rakyat suku bangsa ini.
Di depan patung menyeramkan itu tampak dua buah pilar kayu serupa dengan tempat mengikat mayat Azkenazy. Bedanya adalah di kedua pilar itu tampak terikat rangka rangka manusia yang jelas telah lama mati tinggal tulang belulang saja.
"Mati siksa korban makanan dewa , hidup senang ikut raja", tiba tiba terdengar lagi hentakan suara Manolo yang berat, seolah guntur mendengung di telinga Ashanty dan dirasakannya tangan Manolo membelai pinggulnya.
Tak perlu diuraikan lebih lanjut oleh Utuzo kali ini Ashanty telah menyadari apa yang kini tinggal menjadi pilihannya : akan disiksa sehingga mati untuk menjadi korban dewa berhala pujaan rakyat suku Kotubo atau tetap hidup namun bersedia menjadi istri Manolo dan harus bersedia memuaskan semua keinginannya. Ashanty tak sanggup menjawab dan tak sanggup memutuskan apa yang terlebih baik : lebih baik mati saja namun ia tak tahu apakah tahan sebelumnya mengalami segala macam siksaan yang sadis. Atau biarlah menjadi istri sang raja Manolo yang lebih mirip beruang atau gorila , dan permainan sadis apa yang harus diterimanya seumur hidup berdampingan dengan pemimpin berbadan raksasa ini. Manolo tersenyum lebar melihat Ashanty yang hanya mengalirkan air mata tersengguk sengguk dan menggeleng kepalanya seolah ingin memperoleh jawaban yang terbaik namun sia sia saja tak dapat didengarnya. Mendadak Manolo melepaskan tali ikatan penutup pinggulnya yang terbuat dari kulit harimau , dan tanpa disadarinya Ashanty menoleh kearah selangkangan Manolo. Disertai pekikan yang tertahan pandangan mata Ashanty melebar penuh rasa takut dan tak percaya apa yang dilihatnya : bukan saja penis suaminya , bahkan penis Aslan yang memperkosanya didalam tenda , dan juga kelima alat kemaluan penduduk suku asli pemerkosanya setelah itu - termasuk kejantanan Utuzo yang membuatnya pingsan beberapa kali ketika disiksa perkosaan dan sodomi - semuanya tak dapat menandingi penis raksasa dihadapannya. Penis raja Manolo dalam keadaan "tidur" telah menyamai lebarnya lengan bayi dan panjangnya mencapai setengah paha menggantung bagaikan senjata rahasia kebanggaan yang empunya , bagaimana jika ereksi penuh - mana tahan Ashanty harus melayani monster ini? Manolo tak menunggu dan tak memperdulikan apakah Ashanty setuju atau tidak : Ashanty adalah istri Azkenazy yang dimatanya memiliki kehudpan abadi tak akan mati karena jantungnya berdenyut terus. Barangsiapa menjadi istrinya dan menguasai tubuhnya pasti akan memperoleh lagi tambahan kekuatan sukar dikalahkan siapapun.
"Nona siap sama banyak perempuan kasih obat jadi tahan sanggup kawin raja Manolo", demikian ujarnya sambil
berbisik bisik ketelinga Utuzo yang tersenyum lebar dan menyeringai menatap Ashanty penuh kemesuman.
Tanpa banyak basa basi lagi tubuh Ashanty yang telanjang bulat didorong, ditarik dan setengah diseret oleh para pengawal pribadi Manolo terdiri dari lelaki muda bertubuh kekar menuju kebagian lain dari markas mereka.
Pertama tama Ashanty dibawa kebagian paling bawah dari markas suku Kotubu yang juga tersembunyi digunung Maronggo. Ternyata danau yang terletak tak jauh dari kaki gunung itu mempunyai sambungan dan hubungan dengan semacam sungai yang mengalir di bawah tanah markas suku Kotubu. Disitu ternyata telah menunggu peluhan wanita setengah baya dan tanpa memperdulikan protes Ashanty yang merasa sangat kedinginan, mereka memandikan Ashanty dengan merendamnya disungai berair jernih namun dengan arus tetap mengalir. Ashanty tak hanya direndamkan di air biasa namun setelah itu juga dimasukkan semacam kolam kecil dengan sumber air hangat dan dipenuhi dengan segala macam daun dan bunga liar yang rupanya tumbuh di daerah situ. Setelah itu Ashanty digusur ke dalam ruangan lain dimana telah menunggu pula puluhan wanita suku Kotubu dan segera diseret menuju tengah ruangan yang terletak agak lebih tinggi. Di situ ternyata ada bale-bale dengan tinggi sekitar setengah meter terbuat dari batang batang bambu yang sangat kuat demikian pula empat kakinya.
Sebelum Ashanty sempat menduga apa kegunaan dipan itu tubuhnya yang bugil dan agak menggigil kedinginan diseret dan diletakkan diatas bale-bale bambu itu. Kedua pergelangan tangan dan pergelangan kakinya ditarik dipentang selebar mungkin dan diikat dengan semacam tali dari anyaman rotan tipis ke ujung bawah kaki bale-bale sehingga tubuh Ashanty kini membentuk huruf X besar. Ashanty mencoba melepaskan tangan dan kakinya dan meronta sekuat tenaganya namun ikatan tali anyaman rotan tipis itu ternyata sangat kuat. Jangankan untuk melepaskan diri, berkutik atau bergesar sedikitpun Ashanty tak mampu lagi dan dengan rasa cemas tercampur takut Ashanty menantikan apa yang terjadi selanjutnya. Dua orang wanita setengah baya kini menempatkan diri disamping kiri kanan bahu Ashanty dan dua orang lagi duduk langsung disamping pahanya yang terpentang maksimal lebar dan terikat erat. Rupanya ke-empat wanita setengah baya itu mempunyai tugas untuk memeriksa apakah ada bulu di ketiak dan disekitar kemaluan Ashanty. Mereka meneliti dan memeriksa sangat cermat bagian lipatan tubuh Ashanty itu dan setiap orang mempunyai semacam alat capitan kecil terbuat dari kayu : setiap kali ditemukan ada rambut halus diketiak maupun dipinggir vagina Ashanty maka dengan capitan itu mereka segera mencabutnya. Hal ini sama sekali diluar dugaan Ashanty yang tentu saja sebagai wanita modern memelihara mencukur bulu bulu yang mengganggu kecantikan badannya. Namun Ashanty memakai alat pencukur canggih "Ladi-Shave" sehingga proses pembersihan bulu rambut itu berjalan dengan lancar tanpa dirasakan oleh kulit Ashanty yang memang licin mulus itu. Kini pembersihan bulu badan dilipatan tubuhnya yang tersembunyi dilaksanakan secara primitif : setiap bulu atau rambut yang dicabut tentu saja akan dirasakan oleh kulit Ashanty. Ke empat wanita setengah baya itu sama sekali tak perduli Ashanty setiap kali menjerit kecil ketika bulu bulu halusnya dicabut dan tubuhnya setengah mengejang melawan pengikat di ujung bale. Proses yang sangat memalukan dirinya itu dirasakan Ashanty tak akan berakhir padahal ke empat wanita itu sangat cekatan dan mereka telah selesai membuat ketiak serta kemaluan Ashanty licin kelimis hanya dalam waktu tak lebih dari satu setengah jam. Setelah proses depilasi ini berakhir maka Ashanty merasakan kulit ketiak serta seluruh bukit kemaluannya sangat panas dan gatal menyebabkannya berusaha meronta ronta namun apa daya semua sia sia saja. Setelah itu Ashanty dilepaskan dari ikatan di bale-bale itu namun bukan untuk dibebaskan sama sekali : Ashanty kini di seret oleh para pengawal pribadi raja Manolo sambil dikelilingi oleh pelbagai wanita setengah baya menuju ruangan lain lagi. Ditengah ruangan berikutnya ini ternyata dilengkapi dengan empat pilar amat kokoh terbuat dari kayu kekar - dan Ashanty kini dibawa menuju ketengah ruangan itu. Dalam posisi berdiri kini tangan kakinya dipentang kembali selebar mungkin dan diikat lagi dalam posisi huruf X ditengah dua pilar. Kembali empat orang wanita mendekati Ashanty yang berusaha menggeliat geliat dan meronta dalam keadaan telanjang bulat itu. Empat wanita setengah baya ini mempunyai tugas berikutnya yaitu memijit dan melumasi seluruh tubuh Ashanty dengan cairan lici berminyak tercampur sari tanaman yang dikenal khasiatnya untuk membangunkan hasrat birahi seorang wanita - hal serupa pernah dialami Ashanty sebelum diperkosa oleh Aslan. Tapi karena kali ini bukan wanita biasa yang akan memasuki pelaminan melainkan pilihan raja Manolo maka konsentrasi pelumas rangsang birahi ini dibuat tiga kali lebih tinggi dari yang biasa dipakai di malam pengantin rakyat biasa suku itu.
Keempat wanita setengah baya yang berfungsi sebagai "juru perias" pengantin itu sangat cekatan menguasai cara memijit mengurah badan seorang wanita dengan jari jari mereka. Hanya bagian wajah Ashanty yang tak dilumasi dan di dipijit oleh mereka namun selebihnya tak ada sedikitpun yang lolos : mulai dari leher jenjang, bahu, ketiak, pundak, buah dada terutama puting yang mencuat, pinggang , perut datar dengan pusat mencekung , pinggul , lipatan paha, selangkangan , bukit kemaluan , belahan vagina , bongkahan pantat , celah anus diantara bulatan sekal bahenol , tak ada satu milimeter persegi-pun yang lolos dari urutan jari mereka. Bahkan bagian dalam dinding vagina dan anus Ashanty tak luput dari gosokan cairan getah lumas perangsang dari tangan mereka.
Semuanya tak dapat ditolak oleh Ashanty : badannya yang semula terasa hangat dan nyaman diurut dipijat dengan sedemikian mahirnya dengan cepat berubah menjadi rasa geli gatal dan panas ibarat digigiti ribuan semut.
Rasa kegelian dan kegatalan itu semakin lama semakin parah memuncak sehingga Ashanty mengeluh meratap agar semuanya dihentikan. Badannya yang terikat telanjang bulat meliuk liuk menggelinjang tak teratur kesemua arah dan karena pergelangan tangan dan kakinya terikat erat maka yang dapat bergoyang hanya bulatan pinggul dengan bongkahan pantat yang begitu sempurna - gerakan mana disertau dengan nafas kembang kempis sehingga perut yang datar juga ikut naik turun ibarat sedang latihan tari perut di kisah 1001 malam. Ditengah tengah penderitaan dan penyiksaan ini akhirnya Ashanty tak tahan lagi dan menangis tersedu sedu disertai jeritan jeritan memohon ampun minta dilepaskan dari ikatan dan diberikan kesempatan untuk menggaruk seluruh badannya yang gatal - terutama bagian bagian intim kewanitaannya.Ketika pandangan Ashanty mulai kabur karena dibasahi air mata dan keputus asaan mengalami pelecehan seksual seperti itu terdengarlah hiruk pikuk dari banyak orang yang memasuki ruangan penyiksaan itu. Ashanty melihat tubuh Manolo yang sedemikian tinggi besar berbulu kini setengah tertutup oleh pelbagai perlengkapan perang suku primitif itu, sedangkan diatas kepalanya terlihat semacam mahkota terbuat dari kepala singa. Dengan langkah perlahan namun pasti Manolo dan para pengawalnya mendekati Ashanty yang berdiri namun terikat erat telanjang bulat tak berdaya. Ashanty melihat disebelah kanan Manolo berjalan Utuzo dan disebelah kirinya ......melangkah dengan tegap dan gagah seorang laki laki yang juga dikenal oleh Ashanty : Hutumali !!!
Ashanty langsung berteriak : "Tolong pak, tolong bicara dengan raja Manolo bahwa saya datang hanya untuk mencaru suami saya , dan kini saya hanya ingin kembali pulang kerumah dan melupakan semuanya. Tolong pak saya bersumpah tak akan menceritakan siapapun mengenai pengalaman saya , tolong pak nanti saya bayar berapapun yang bapak kehendaki".
Hutumali hanya tersenyum licik dan menoleh kearah Manolo , Utuzo dan rakyat yang mulai berkumpul diruangan itu : "Nyonya telah memilih jalan nasib sendiri , sejak semula telah saya peringatkan namun nyonya tidak mau mendengar nasihat saya. Kini saya tak dapat menolong lagi karena di daerah gunung keramat ini yang berkuasa adalah tetap suku Kotubo - dan nenek moyang saya pun berasal dari suku ini. Mereka tetap hidup seperti ratusan tahun lalu , tetap sederhana dan terpisah dari dunia modern. Mereka melindungi hasil bumi alam negara ini yang dinincar dan ingin dikuasai manusia serakah seperti misalnya suami nyonya dan Aslan. Saya tak akan melarang niat Manolo untuk menjadikan nyonya sebagai istrinya , dan saya tak akan mengkhianatinya karena sebetulnya Manolo masih keluarga jauh dengan saya. Utuzo juga sebenarnya masih keponakan jauh dari istri saya dan selalu saya tahu kemana dan dimana Utuzo sebagai penunjuk jalan akan membawa pengunjung asing yang memasuki daerah terlarang ini dengan alasan dibuat buat. Terimalah saja perjalanan takdir dan nasib nyonya , sesuaikan diri dengan kehidupan sederhana disini dan nikmatilah kehangatan setiap malam didalam pelukan raja Manolo".
Hutumali menoleh dan berbisik bisik ketelinga Manolo kemudian beralih lagi menghadap Ashanty, memandang tubuh putih mulus telanjang bulat itu dan meneruskan nasihatnya : "Saya mengatakan kepada Manolo bahwa wanita modern yang telah terbiasa dengan kehidupan serba ada dan mewah harus diajarkan disiplin, harus dikembalikan lagi dari dunia emansipasi kedalam dunia leluhur dimana wanita selalu harus patuh terhadap suami, harus selalu melayani keinginan suami , harus selalu memuaskan keinginannya , dan kalau perlu sejak awal mula harus ditaklukkan secara konsekwen sehingga akhirnya menyerah dan pasrah".
Manolo memberikan tanda kepada para pengikutnya untuk memulai pesta yang telah ditunggu oleh para rakyat penduduk suku Kotubu , mereka diberikan izin untuk menikmati semua hewan buruan terbaik dan terlezat yang biasanya hanya menjadi bahan santapan Manolo sendiri serta pengawal pribadinya , mereka boleh bersenang senang sampai esok pagi hari, berpesta sepuasnya diseluruh ruangan di dalam gunung , gua dan lembah yang tersembunyi bahkan juga sampai ketepi danau , hanya dilapisan atas kelima yang tak boleh dimasuki siapapun: disitu adalah ruangan tidur raja Manolo sendiri dengan para istrinya serta selirnya. Tak lama kemudian baik Utuzo maupun Hutumali pamitan dan mengundurkan diri meninggalkan ruangan - semua rakyat telah keluar mencari tempat bersenang senang - kini tinggal hanya berdua : Manolo dan Ashanty.
Ashanty menyadari bahwa hidup matinya berada ditangannya sendiri : kalau ia masih tetap ingin hidup maka tak ada jalan lain ia harus menuruti kemauan Manolo yang serbentara lagi pasti akan menagih haknya sebagai suami. Memang benar dugaan Ashanty - ketika semuanya telah pergi dan mengundurkan diri maka Manolo langsung mendekap dan memeluk tubuhnya. Kulitnya yang halus mulus namun saat itu terasa hangat dan gatal kini bersentuhan dengan badan Manolo yang berbulu lebat. Ashanty tak berani melawan dan merasa seakan akan sedang dirangkul oleh gorila raksasa. Meskipun udara disitu sangat panas lembab namun Ashanty menggigil bagaikan orang sedang demam meriang. Harapannya hanya satu : jatuh pingsan sebelum harus melayani nafsu hewaniah suami yang terlihat begitu buas dan ganas. Namun harapan hanya tinggal harapan : dengan kesadaran penuh Ashanty merasakan tubuhnya diangkat dibopong ibarat selembar bulu yang ringan. Dipelupuk matanya terbayanglah adegan dalam film King Kong dimana seorang wanita berkulit putih dijadikan korban persembahan oleh penduduk primitif dipedalaman hutan rimba. Wanita persembahan itu diangkat hanya dengan satu tangan saja oleh gorila raksasa dan dibawa ke gua tempat pemukimannya. Ashanty merasakan dirinya juga kini sebagai wanita korban persembahan tengah dipanggul untuk sebentar lagi memasuki neraka kawin paksa yang selama ini hanya kisah dongeng. Manolo memanggul calon istrinya selangkah demi selangkah mendekati ruangan tempat kediaman pribadinya. Semua selir, para wanita penghibur serta tiga orang istrinya yang umumnya hampir sama tuanya dengan dirinya sendiri telah diperintahkannya untuk meninggalkan ruangan kamar tidur pribadinya. Manolo tak mau diganggu saat ini karena ia ingin menikmati tubuh Ashanty yang sedemikian bahenol merangsang , kulit Ashanty yang sedememikian putih bersih mulus tanpa cacat sedikitpun diyakininya adalah re-inkarnasi bidadari walhalla dan siapa dapat memiliki tubuh itu akan memperoleh tambahan kesaktian dan pengaruh gaib dibandingkan dengan kepala suku lainnya. Kini mereka telah memasuki kamar pelaminan Manolo : ruangan penuh dengan obor menyala di pelbagai penjuru dinding yang dihiasi segala macam tengkorak hewan besar dihutan itu, dari rusa sampai dengan harimau serta pelbagai jenis ular raksasa yang hanya ada di hutan rimba di kaki gunung itu. Di tengah ruangan tampak tepat tidur raja Manolo berukuran sangat luas karena harus menampung besarnya tubuh yang empunya - ranjang itu hanya mempunyai kaki sangat pendek namun kokoh luar biasa terbuat dari kayu yang entah berusia ratusan tahun. Yang menjadi "kasur" adalah timbunan daun jerami yang disusun tindih bertumpuk setelah melalui segala macam proses tradisionil hutan dan terasa hangat bagi yang menidurinya.
Manolo meletakkan tubuh istrinya yang telanjang bulat dan segera di lepaskannya tunik penutup badannya hingga langsung terlihat betapa kontrasnya kedua badan pasangan yang sama sekali "tidak sebibit, sebabat atau sebobot" seperti selalu dikatakan oleh penduduk Jawa tradisionil. Kembali Ashanty bergidik merinding dan tanpa sadar kembali berusaha menjauhkan dirinya dari tubuh raksasa hitam penuh bulu dihadapannya. Manolo rupanya ingin mengurangi bahkan menghilangkan rasa takut istri barunya dengan berusaha bersenyum dan memperlihatkan keramah tamahan , namun karena memang wajahnya begitu menyeramkan maka mimik yang dinilainya sendiri sebagai senyuman bahkan dimata Ashanty bagaikan seringa binatang buas yang akan mencabik merobek dan menyantapnya. Karena itu Ashanty semakin menggeserkan badannya tapi disatu saat tentu saja tak berhasil lagi karena telah mencapai pinggiran "ranjang". Di saat itu Manolo meraih dan menangkap tubuh langsing istrinya dan didekapnya Ashanty dengan kedua lengan berbulunya tanpa memperdulikan rontaan mangsanya yang lemah dan sia sia saja. Manolo memeluk istrinya dengan tenaga yang dianggapnya sendiri sangat halus dan lemah lembut namun bagi Ashanty dirasakan menyesak dadanya dan membuatnya mulai sukar bernafas, apalagi ketika Manolo tiba tiba menunduk dan menciumnya. Dengan ukuran mulut dan bibirnya yang sedemikian besar Manolo menutup mulut dan bibir ranum Ashanty yang merah merekah sehingga kelabakan karena merasa susah bernafas. Ketika akhirnya Ashanty berhasil dengan susah payah menemukan jalan nafasnya kembali maka terciumlah bau mulut Manolo yang tak menyenangkan. Aroma mulut dan ludah Manolo mengingatkan campuran bau tembakau , daun sirih dan cengkeh yang membusuk - semuanya adalah bau yang tidak dikenal oleh Ashanty menyebabkannya pengap dan langsung batuk-batuk tersedak. Manolo sebaliknya tak memperdulikan semuanya karena justru sebaliknya dinikmatinya bau mulut ludah Ashanty yang terasa harum dan lain sekali dengan aroma mulut wanita desa suku Kotubu. Dengan ganas Manolo semakin rakus melumat bibir Ashanty sekaligus ditariknya rambut panjang tergerai melebihi bahu menyebabkan Ashanty menjerit kesakitan: Kesempatan ini dipakai lidah Manolo bagaikan ular memasuki rongga mulut wanita cantik yang sedang dijarahnya, kemudian lidah itu mulai bersilat menyapu langit langit tanpa perduli perlawanan lidah Ashanty yang tentu saja jauh lebih kecil dan lemah. Semua tindakan Manolo ini menyebabkan tubuh Ashanty yang sejak di urapi dan dilumasi segala macam ramuan obat perangsang oleh ke empat wanita setengah baya tadi mulai lagi menggejolak panas kegatalan. Permukaan kulitnya yang memang halus dan peka semakin tak nyaman karena digesek terus menerus oleh kulit Manolo penuh bulu bulu kasar dan kini ditambah lagi dengan rasa gatal. Manolo menempatkan diri dengan posisi agak menyamping disebelah kanan tubuh mangsanya , tangan kanan Ashanty tertindih oleh tubuh Manolo sehingga tak dapat dipergunakan melawan sama sekali , lengan kiri atas Manolo diletakkan dibawah leher Ashanty ibarat bantal kepala. Tangan kiri Manolo mencengkeram pergelangan tangan langsing Ashanty demikian erat sehingga Ashanty merasa sangat kesakitan dan jika diinginkan maka dengan kekuatan penuh pastilah pergelangan Ashanty akan dapat remuk di cengkeraman Manolo. Setelah kedua tangan Ashanty berada sepenuhnya dibawah kekuasaan dan tak dapat dipakai melawan, maka dalam posisi agak miring menyamping Manolo menindih dan menekan paha kanan Ashanty yang sebelumnya direntangkan selebar mungkin. Kaki kanan Manolo dengan paha dan betis sedemikian kekar penuh cacat² bekas luka pertempuran kini memaksa membuka selangkangan Ashanty yang berusaha mati²an mengatup namun tentu saja kalah tenaga.
Hanya dalam waktu tak ada satu menit kedua paha Ashanty begitu putih halus mulus telah terkangkang sempurna tertekan oleh kedua paha Manolo yang sedemikian besar penuh bulu berwarna hitam legam. Penuh kepuasan kini
Manolo melepaskan ciumannya sebentar dan menyaksikan mangsanya yang menggeliat meronta tanpa berdaya melepaskan diri. Wajah Ashanty menoleh kekanan kekiri berusaha menghindari ciuman buas Manolo berikutnya namun sang raja mengalihkan ciumannya kini ke leher jenjang , menyapukan lidahnya yang kasar ketelinga dan berbisik :
"Bagus , baguuus , uuummmmh wangi wangiii , tahaan lagiiiiii , ssshhhhh , sebentaaar lagiiiii sakiiiiit , tapiiii nanti makiiiiiin baguuuus , cantiiiiikkk , rasaaaaa nikmaaaat".
Sambil mengoceh dengan bahasa campuran sukar dimengerti Manolo meningkatkan kegiatannya dengan tangan kanannya yang sama sekali bebas mengusap usap seluruh badan Ashanty : kedua buah dada sintal kenyal dengan puting menggemaskan kini menjadi sasarannya , diremas remas dengan lembut dan kasar bergantian membuat Ashanty semakin menggeliat, menjerit kesakitan namun sesaat kemudian meronta ronta akibat rasa ngilu nikmat. Tangan kasar Manolo menarik mencubit memilin dan memijit pentil yang semakin lama semakin keras menegang, lalu jari jari kasar itu diganti oleh bibir Manolo yang besar dower bergantian dengan gigitan gemas meninggalkan cupangan merah dikulit payu dara yang putih itu. Sambil terus menerus menggigiti dan menjilat jilat buah dada montok Manolo meneruskan perjalanan jari tangan kanannya menuruni lembah perut datar, menggoda sebentar pusar yang berdenyut kegelian, dan turun turun turun memasuki bukit yang telah licin karena dicabuti bulunya oleh para wanita setengah baya tadi. Kulit didaerah bukit kemaluan Ashanty yang sangat sensitif itu setelah dicabuti bulu kemaluannya terasa panas agak perih - apalagi setelah diolesi dengan ramuan perangsang dicampur sari ulat bulu - kini tanpa rasa kasihan sedikitpun diraba dan diusap usap oleh jari kasar Manolo. Rasa panas dan perih kini bertambah dengan rasa gatal tak terkira menyebabkan Ashanty ingin menggaruk atau paling sedikit mengatup dan menggesek gesek kedua pahanya melawan siksaan di selangkangannya itu. Apa mau kedua paha belalangnya dipaksa mementang semaksimal mungkin dan ditekan oleh kedua paha dan betis Manolo sehingga tak ada yang dapat dilakukan oleh Ashanty selain meratap merintih memohon agar penderitaannya segera diakhiri :
"Ooooooh, eeeennnnngghhh, uudaaaaaah , uddaaaaaah , ssssshhhhhhh , periiiiiih , auuuuuw , eeiiiinnnnnngh , toolooonnngg , geliiiiiiiiiiii , geeeliiiiiiiiiiii , oooooouuuuh , eempfhaaaammmpuuuuunn , uudaaaaah doooong".
Manolo sangat puas melihat istrinya meronta menggeliat tanpa dapat berkutik dibawah kekuasaannya , melihat wajah sedemikian ayu cantik menggeleng kekiri kakanan menahan derita tak terkira , melihat pipi halus dibasahi air mata , melihat hidung bangir mancung kembang kempis mendengus semakin cepat dan terutama mulut manis terbuka mendesah tak habisnya - inilah saatnya membuktikan kejantanannya dan menaklukkan total istrinya.
Manolo membalikkan tubuhnya sehingga kini sempurna menutupi tubuh Ashanty , tubuh Manolo tertutup bulu tebal kasar hitam legam hampir dua meter, seberat hampir seratus duapuluh kilo menindih tubuh istrinya yang sintal langsing semampai tak sampai enampuluh kilo. Ashanty merasa seluruh isi paru parunya tertekan dan tidak dapat bernafas sama sekali , berontak pun sama sekali tak ada gunanya , selain itu terasa sangat mengganggu adalah rasa panas dan gatal disemua bagian badannya yang vital dan ini membutuhkan pemuasan.
Manolo meletakkan kedua paha dan betis Ashanty yang menekuk lemas di atas pundaknya , kedua pergelangan tangan Ashanty yang sedemikian langsing dicengkeramnya diatas kepala Ashanty cukup dengan hanya memakai satu tangan kirinya. Tangan kanannya kini memegang dan mengarahkan penisnya yang telah sedemikian tegang selingkar ujung pukulan kasti dan sepanjang hampir duapuluh delapan senti dengan kepala berbentuk topi baja kearah celahan dilembah bukit venus yang lembab. Ukuran kepala penis itu terlihat terlalu besar untuk menguak membelah celah vagina Ashanty namun hal bukan sesuatu hal baru bagi Manolo yang telah sering sanggama dengan wanita sukunya sendiri dengan ukuran vagina bukan tandingan rudalnya. Manolo tahu bahwa obat ramuan perangsang yang dilumaskan dan bahkan dioleskan kedalam dinding Ashanty oleh para wanita setengah baya tadi akan menunjukkan khasiatnya dan membantu penis raksasanya membelah celah kemaluan Ashanty. Dinding celah kewanitaan Ashanty telah basah dan licin dengan madu alamiah , belahan bibir kemaluan Ashanty telah membengkak pula diakibatkan rasa gatal dan penebalan ini membuatnya merekah seolah mengundang datangnya kejantanan yang menerobos masuk menghantam gerbang rahimnya. Perekahan bibir kemaluan Ashanty menyebabkan pula agak keluar dan menonjol pula sang kelentitnya yang kini tersentuh oleh ujung penis Manolo yang memang sengaja di usap dan digesek geseknya sepanjang celah vagina. Meskipun hanya sedikit sekali namun Manolo merasakan bahwa ujung kepala kemaluannya berhasil memasuki celah kecil diantara bibir kemaluan Ashanty - dan aaaah betapa hangatnya belahan yang sebentar akan dipaksa membuka semaksimal mungkin oleh senjata kebanggaannya. Manolo membiarkan rudalnya singgah tanpa bergerak ditengah belahan amat sempit itu. Jari jari tangan kanannya tak lagi memegang kemaluannya itu melainkan berusaha menguakkan dan membuka bibir vagina Ashanty lebih lebar. Dengan bantuan jari tangan ini Manolo merasakan kepala penisnya yang semula hanya menempel diawal belahan vagina kini agak mulai behasil menyelinap diantara dinding halus dan licin. Manolo menekan sedikit demi sedikit kejantanannnya lewat portal surgawi, namun sebagaimana telah di duganya maka proses selanjutnya tak semudah itu karena tak sebandingnya ukuran kelaminnya dengan istrinya. Pada saat itu Ashanty masih belum menyadari penuh apa yang akan dialaminya sebentara lagi , dirasakannya saat itu sedikit "keringanan" atas rasa gatalnya karena ada yang menggesek gesek liang vaginanya, sementara ia melupakan betapa ukuran panis raksasa Manolo yang bebarapa saat lalu menyebabkannya gemetar ketakutan. Bagi Manolo penetrasi ke liang surgawi Ashanty ibarat sedang memerawani seorang gadis berusia belasan tahun: meskipun dinding vagina Ashanty telah begitu hangat berlendir licin bagaikan dilumas minyak namun diameter penisnya memang diluar proporsi dibandingkan rata rata diameter wanita Asia. Namun proses evolusi manusia telah berjalan berabad abad termasuk evolusi alat kelamin wanita dewasa yang jika telah lewat masa pubertas akan sanggup "menampung" alat kelamin lelaki dewasa partnernya, meskipun berbeda ras maupun tinggi dan besar badan mereka, hanya proses penetrasi akan sangat menyakitkan jika si lelaki terlalu kasar dan tak sabaran.
"Nona sekarang tahan sakit, tahan masuk saya , jangan lawan tidak bagus , rusak nanti tidak bagus , lama biasa kurang sakit , masuk minta enak , enak dan bagus nanti", demikian Manolo mencoba menenangkan istrinya disaat makin menekan dan mendorong masuk penisnya , tapi Ashanty tak mengerti karena susunan kata kacau balau.
Milimeter demi milimeter Manolo menancapkan rudal kebanggaannya kedalam lubang sedemikian sempit, setiap milimeter dirasakan Ashanty sebagai siksaan tak ada taranya , selangkangannya bagaikan sedang dibelah dua , vaginanya dipaksa membengkang melebar sedemikian rupa sehingga terasa nyeri ngilu dan tiap saat akan koyak.
Namun dibalik rasa tersiksa tak terlukiskan ribuan kata kata dinding vagina Ashanty yang juga dilanda kegatalan akibat olesan ramuan perangsang secara perlahan namun pasti merekah dan mengembang - menyambut lembing daging yang menyumbat penuh sesak sang lubang nirwana. Didalam puncak keputus asaannya Ashanty melenguh "Udaaaaaaah , udaaaaaah , enggggggaaaaaa muaaaaat lagiiiiiiiii, jangaaaan diterusiiiiin , aaampuuuun ampuuun , aaaah , saaakiiiiiiitt , panaaaaaaaass , sssshhhhhhhhhh , geeliiiiiiiii udaaaaah dong , saaakiiiiiitt , ammpuuuunn".
Namun Mnaolo mana mau melepaskan mangsanya , bahkan dengan penuh semangat diteruskannya tusukan penis raksasa kebangaannya semakin dalam , ia tak perduli lubang itu terbengkang sedemikian lebar sehingga Ashanty menjerit jerit bagai kancil lemah sedang disembelih. Paha dan betis Ashanty yang tergantung dipundak Manolo hanya dapat dengan lemah memukul mukul punggung pemerkosanya tanpa daya sedikitpun. Kedua buah dadanya juga terasa sedemikian bengkak memar penuh dengan bekas remasan jari kasar , putingnya terasa perih karena lecet disana sini akibat dipelintir, dicubit, dipilin, bahkan digigit gigit oleh "suami gorila"nya yang sedang dilanda nafsu birahi. Setiap milimeter masuknya penis Manolo menyebabkan Ashanty mendengakkan kepalanya sambil merintih rintih menyebabkan iba yang mendengarnya, hanya saja Manolo sudah bertekad akan menumpahkan benihnya kedalam rahim sang istri. Oleh karena itu tetap dipaksakannya penisnya masuk , putar sedikit kekiri , makin dalam masuk, putar sedikit kekanan , makin masuk kedalam , masuk masuk dan akhirnya....... ujung penis itu menyentuh mulut rahim Ashanty. Mulut rahim seorang wanita memang penuh jutaam syarat peka sehingga Ashanty memekik tidak karuan :
"Aaaauuuuuuwww , aaauuuuuuuuuww , udaaaaaah , ngiluuuuuuuuuu , sakiiiiiiiiiiiiit , lepaaaskaaan , engggga taahaaaaan lagiiiiiiiii ".
Kini semua rasa gatalnya telah punah sirna , hanya rasa panas nyeri ngilu sakit dan nikmat sekaligus seilih berganti - apalagi Manolo mulai dengan teratur menarik sedikit penisnya kemudian di tekannya lagi , di maju mundurkan , diputar putarnya menusuk vagina Ashanty ke segala arah. Tak pernah seumur hidup Ashanty membayangkan persetubuhan dengan lelaki dapat sedahsyat se-intensif seperti ini , semua yang pernah dialaminya , juga perkosaan massal sebelumnya punah memucat dibandingkan saat ini. Tanpa dikehendaki dan betul betul diluar kemauannya lagi Ashanty mengalami orgasmus demi orgasmus , tak mungkin lagi dihitung berapa kali , setiap orgasmus bagaikan mencapai puncak gunung tinggi , dihempaskan lagi kebawah , di seret lagi ke puncak gunung lebih tinggi lagi , dibanting lagi ke lerengnya. Jutaan bintang berputar putar dihadapan matanya , jeritan melengking dari celahan bibir manis yang tiada henti semakin lama semakin melemah menjadi rintihan dan dengusan , hidung yang kembang kempis semakin lambat mengeluarkan nafas dan akhirnya Ashanty melihat didepan matanya awan gelap semakin gelap menutupi benaknya sebelum jatuh pingsan.
Dimalam itu Manolo menunjukkan Ashanty apa artinya bersetubuh dengan raja suku Kotubu , menunjukkan apa keinginan Manolo untuk dipuasi oleh istrinya , mengajarkan Ashanty membuka mulut maksimal untuk mengulum dan menyepong penis raksasa , menjilat dan membasahkannya sebanyak mungkin dengan ludahnya , karena sesudah itu Ashanty harus pasrah sepenuhnya untuk dimasuki baik dari depan maupun belakang , baik vagina maupun anusnya. Percuma saja Ashanty memohon untuk tidak disodomi karena ratapan istri sedemikian cantik yang berlutut menyembah dihadapannya bahkan akan lebih memacu nafsu kebinatangannya. Ashanty mengetahui dan belajar menerima nasibnya , akhirnya menyerah dan pasrah sepenuhnya dijadikan ratu suku bangsa Kotubu.
TAMAT
By: MISSOLVG
Situs Cerita Dewasa, Cerita Sex, Cerita Basah, Cerita Lendir, Cerita Panas,Cerita Bokep,Cerita Sedarah,Cerita Tante,Selingkuh,ABG,Pasutri,2018 dengan Kisah Nyata Sedarah, Daun Muda, Fiksi dan Bergairah untuk dibaca
Jumat, 31 Mei 2013
Sekar dan Bayang Ireng
SINOPSIS
Seorang gadis pendekar berusaha membebaskan kawannya yang diculik dedemit sakti dengan ilmu silat hitam yang tak terduga.
Story codes
MF, MFF, mc, tent, magic, nc, rape, reluc
DISCLAIMER
Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.
Sekar & Bayang Ireng
-Ninja Gaijin-
###################################
Angin kencang yang bertiup di tebing Laut Selatan membuat pakaian sepasang orang yang berdiri di atasnya berkibar-kibar. Sikap tubuh mereka menunjukkan bahwa keduanya pendekar berilmu tinggi, saling berhadapan dalam kuda-kuda dan menghunus senjata tajam. Mereka tampak tak sedikit pun gentar dengan mengerikannya medan di sana, tebing terjal bertepi laut berombak ganas. Salah langkah sedikit saja, manusia maupun binatang bisa terjerumus dan hancur menjadi kepingan-kepingan tubuh berdarah-darah. Salah satunya memekik keras dan menerjang orang yang dihadapinya.
“Hiaaattt!!” Dari suaranya bisa diduga bahwa dia seorang perempuan.
Pendekar perempuan itu melompat sambil menusukkan pedang, menyerang lawannya. Sepintas pakaiannya yang terdiri atas kemben batik dan kain yang membungkus paha dan betis tampak menghalangi gerakan, namun ketika dia bergerak tersingkaplah kain itu menunjukkan bahwa di bawahnya dia mengenakan celana selutut. Pedangnya kemilau ditimpa cahaya matahari sore, tak kalah mautnya dengan tebing terjal tempat dia bertarung. Orang yang dihadapinya bertubuh sedikit lebih besar, wajahnya tak kelihatan karena kepalanya terbungkus kain dan hanya menunjukkan mata. Tapi dari tubuhnya terlihat bahwa dia laki-laki. Dia mencabut keris dan menangkis serangan si pendekar perempuan.
TRANGG!! “Hiyatt!!” “Ugh!” “Ahh!!” “Yiaaaahh!!” Jurus demi jurus, kedua pendekar itu bertarung di pinggir tebing.
Si pendekar perempuan lebih banyak menyerang, seolah hendak menghabisi lawan dengan sabetan dan tusukan pedang. Lawannya yang tak membuka wajah hanya menangkis, namun tak membiarkan satu pun serangan masuk dan melukai. Lama-lama si perempuan mulai letih dan kesal karena serangannya tidak ada yang masuk. Si laki-laki pun mulai menguasai keadaan. Dan satu salah langkah membuat pedang si perempuan terpental. Dengan cepat si laki-laki menyerbu ke arah si perempuan—sambil menjatuhkan kerisnya juga.
Si laki-laki menerkam si perempuan sehingga mereka berdua pun bergulat di tanah. Si perempuan meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tapi jurus pitingan si laki-laki tak dapat dia kalahkan. Tapi dia sempat merenggut kain penutup wajah si laki-laki. Perlawanannya baru berakhir ketika.....si laki-laki menciumnya, menggeluti bibir si perempuan dengan bibirnya. Teriakan-teriakan pertarungan berubah menjadi desahan nafsu. Si perempuan memejamkan mata dan mengerang, bukan menahan sakit, melainkan berusaha membendung birahi yang menggelora. Dia merasa lebih susah menghadapi serangan seperti ini daripada tusukan seribu pedang. Padahal si laki-laki sudah membuang senjatanya. Yang dia gunakan hanya bibirnya, dan tangannya yang sudah menggerayangi, meremas kain kemben yang menutupi payudara si perempuan dan berusaha melucuti perlindungan itu. Tapi apakah benar semua senjata telah dilepas oleh si laki-laki? Karena si perempuan masih bisa merasakan keberadaan senjata lain yang siap menusuk.
“Ahh... Kangmas... Aku... aku malu...” Mulut yang tadinya meneriakkan seruan garang kini terengah lemah, mengucap kata-kata penolakan setengah hati.
Dua musuh berubah menjadi sepasang kekasih yang bibirnya saling berpagutan, tangannya saling menjamah, tubuhnya saling belit dalam nafsu. Dan si perempuan tiada berniat menangkis ancaman “senjata tumpul” yang dia rasa mendesak berlapis-lapis kain yang menutupi bagian terlemahnya. Bagian yang apabila disentuh, akan membuat dia takluk dalam asmara. Namun apa yang dimulai ternyata tidak dituntaskan: meski sang dara sudah terlentang pasrah dengan busana terdedah, rambut tergerai, dan bibir terengah menahan gairah, pasangannya malah berdiri.
“Sekar,” kata si pendekar, “Sungguh, aku sangat ingin bercinta denganmu sekarang. Tapi aku juga menemuimu hari ini untuk menyampaikan kabar. Ayahmu memanggilku untuk ikut berlaga ke Pantai Utara melawan laskar mancanegara yang mulai bercokol di sana. Dan sebagai prajurit aku harus mematuhi sabda Panglima-ku, membantu beliau sekuat tenaga.”
Pendekar perempuan yang dipanggil Sekar itu melompat berdiri sambil cemberut.
“Kangmas tak mempedulikanku lagi, hanya mendengarkan Bapak saja? Kalau begitu sana Kangmas menikah dengan Bapak, jangan denganku.”
Calon suaminya tak menggubris. “Sekar, ini demi kepentingan yang lebih besar. Dan kamu tahu mengenai ilmu silatku... Ilmuku mengandalkan hawa murni, dan kekuatannya bisa berkurang apabila aku bercinta dulu denganmu sebelum berangkat. Jadi, aku harap kamu mau bersabar.”
Si pendekar merangkul Sekar, menyibak anak rambut di dahi Sekar yang terlepas dari gelungan, dan mengecup kening kekasihnya. “Aku janji aku akan pulang,” katanya. “Sesudahnya aku akan puaskan kamu.”
*****
Sehari sesudah kepergian calon suaminya ke medan laga, Sekar sudah berjalan-jalan lagi di tebing Laut Selatan, dari arah timur ke barat. Cuaca memburuk; awan kelabu bergulung-gulung di arah barat, seolah amukan roh-roh jahat di angkasa. Dia bosan tinggal di rumahnya. Meski rumahnya besar dan megah, Sekar sering merasa kesepian di sana. Dia kurang betah hidup sebagai putri pembesar yang mesti anggun dan sopan, dan lebih menyukai kehidupan berpetualang. Karena tak bisa bercengkrama dengan kekasihnya, Sekar bermaksud mengunjungi kawannya, Ratri, yang tinggal di satu desa di sepanjang tebing. Ratri ialah gadis desa yang seumuran dengannya, putri kepala desa. Namun ketika sampai di rumah Ratri, Sekar menemukan orang-orang yang sedang berduka.
“Huu... Den Sekar, Ratri... Ratri diculik...” Ibu Ratri mengatakan sambil menangis tersedu.
“Siapakah yang menculik Ratri, Ibu?” tanya Sekar sambil merangkul ibu Ratri.
“Den Sekar, mohon ampun, sebenarnya ini karena kami tidak melakukan tugas kami sebagai kepala desa dengan benar,” kata bapak Ratri, si kepala desa. “Desa ini telah mengalami gangguan dari sesuatu yang jahat, entah manusia atau dedemit. Sebulan ini telah dua anak gadis yang diculik dan mereka tak ada yang kembali. Dan kali ini anak kami Ratri pun menjadi korban, diculik penjahat itu.”
Sekar putri seorang panglima yang telah mengenal ilmu silat dan kanuragan sejak kecil, dan diajari sikap ksatria untuk membela yang lemah. Mendengar ada penjahat yang menculik gadis-gadis desa saja darahnya sudah mendidih, apalagi ketika dia tahu sahabatnya ikut menjadi korban.
“Bapak, Ibu, aku akan cari Ratri! Penjahat itu tak bisa dibiarkan, aku harus memberantasnya sebelum dia merajalela dan mencelakai banyak orang!”
“Duh, Den Sekar, dia seseorang yang sakti! Kami tahu di mana dia berada, dan kami sudah pernah mencoba mengusirnya, tapi kami tak mampu. Dia melukai dan membunuh orang-orang kami.”
“Tapi dia harus dibasmi! Aku yang akan menghadapinya.”
Pasangan suami-istri itu hanya bisa mengantar kepergian Sekar. Dalam hati mereka memohon supaya si pendekar putri tak bernasib seperti orang-orang lain yang mencoba melawan kekuatan jahat sakti itu.
*****
“Di sinikah tempat dia?” kata Sekar kepada dirinya sendiri.
Tadi sesudah mengambil senjata dan bersiap-siap, Sekar menuju ke tempat yang ditunjuk kepala desa sebagai sarang si penjahat. Letaknya di ujung tebing. Siapa sangka di sana, tepat di tepi laut, ada candi tua yang sebagian sudah runtuh, tak terlihat dari desa karena terhalang bebatuan besar. Sekar berdiri di bibir tebing, di atas candi itu. Sepi. Dan hampir malam. Sebenarnya Sekar memilih waktu yang salah. Dia memilih menantang kekuatan gelap pada waktu sandikala, ketika keseimbangan dunia sedang bergeser. Sekar melompat turun dan menyadari benar-benar tak ada orang di sana selain dirinya. Dia berada di pelataran candi. Ada cahaya terang di dalam candi. Sekar pun mendekati pagarnya. Dan ketika mengintip, Sekar pun melihat sasarannnya. Bersama... Ratri.
“Ratri!” Sekar menutup mulutnya dengan tangan untuk mencegah suaranya terdengar.
Sahabatnya itu telah ditemukannya, dalam keadaan bersimpuh menghadap sosok bertubuh besar yang duduk di tengah, di depan candi yang runtuh. Sekar tak jelas melihat wajah sosok itu, hanya bisa melihat tubuhnya yang besar, rambutnya yang panjang berantakan, dan kedua pahanya yang sangat besar dan panjang sehingga membuat Ratri yang berada di antara kedua paha itu tampak kecil. Apakah dia manusia? Lengannya yang panjang dan hitam tampak menyentuh kepala Ratri. Cahaya yang Sekar lihat berasal dari empat pelita yang menyala di sekeliling sosok itu. Terlihatlah oleh Sekar bahwa keadaan Ratri justru tidak seperti yang diperkirakannya. Ratri terlihat dalam keadaan cantik, dengan rambut digelung berhias melati, wajah dirias, dan mengenakan kemben dan kain bagus. Dan satu lagi yang dilihat Sekar: tangan di kepala Ratri mendorong kepala Ratri makin dekat ke selangkangan sosok itu. Ratri dengan patuh membuka mulut mendekati suatu tonjolan yang panjang besar dan hitam, dan memasukkan tonjolan itu ke dalam mulutnya. Tiba-tiba pelita bergoyang sehingga bayangan yang timbul karenanya berubah. Sekar terkejut ketika sebagian bayangan itu mengenai dirinya: rasanya seperti disentuh! Mendadak si hitam menengok ke arahnya, dan Sekar pun bisa melihat sepasang mata yang menyala merah.
“Sungguh tak sopan!” teriak si hitam. “Mengintip seperti itu, apa maumu hah?”
Sekar melompati pagar candi dan maju menyerang si hitam, langsung menghunus pedang. Tapi terjadi sesuatu yang aneh. Bayangan si hitam bergerak melilit pergelangan kakinya! Ilmu apa ini?! Sekar langsung melejit ke atas berusaha menghindar untuk menerjang dari atas. Langkah salah! Dalam langit yang menggelap, serangan si hitam malah susah dilihat. Tiba-tiba rambut si hitam memanjang jadi bayangan yang melesat ke arah Sekar di udara.Pinggang Sekar diincarnya. Sekar terbelit! Gadis itu menjerit ketika ditarik mendekat ke si hitam. Sekar belum menyerah, dalam keadaan ditarik mendekat itu dia berusaha mencari peluang.
“Hiaaattt!!” jeritnya selagi berusaha menebas bayangan si hitam yang menariknya.
“HUMH?” Si hitam menggerung ketika bayangannya tertebas.
Sekar mendarat dan langsung pasang kuda-kuda.
“Siapa kau! Lepaskan segera temanku Ratri!” tantang Sekar.
Musuhnya tampak seperti sosok gelap di tengah cahaya pelita, hanya sepasang mata merah yang menonjol di tubuh besarnya yang serba hitam. Sekar menduga-duga kesaktian macam apa yang dimiliki musuhnya. Sepertinya ilmunya berkaitan dengan bayangan. Sekar memikirkan siasat untuk melumpuhkan ilmu itu.
“Hmm hee hee hee hee hee,” si hitam tertawa, suaranya seram dan dalam.
“Den ayu, sebut aku Bayang Ireng. Si cantik ini temanmu? Hm, engkau pun tak kalah cantik. Daripada dia kulepaskan, bagaimana kalau kau saja yang ikut denganku? Kalian jadi pengantinku dua-duanya. Yang ini istri tua, kau istri muda. Kalian mau kan? Hee hee hee hee hee...”
Tiba-tiba Sekar mendengar Ratri mengerang.
“Ummmhhh!!” Suara Ratri teredam karena mulutnya penuh mengulum satu anggota tubuh Bayang Ireng.
“Dedemit! Kau apakan Ratri!!” seru Sekar sambil mengacungkan pedang.
Dari dekat, dia kini bisa melihat bahwa di sekeliling tubuh Ratri ada belitan sesuatu yang terlihat seperti tali tambang hitam tebal. Dan “tambang” itu berhubungan dengan tubuh Bayang Ireng, seperti bayangan yang menyerangnya tadi. Ujung tambang itu nampak lenyap di... bokong Ratri.
“Aahh!! Hah...! HAHH!!” Ratri akhirnya bisa membuka mulut dengan lega karena apapun yang dia kulum itu keluar dari mulutnya,namun dia terengah, suaranya awalnya seperti kesakitan namun kemudian terdengar keenakan.
Wajah cantiknya mendongak, lehernya tegang, dan seluruh tubuhnya bergetar.
“Ratri... Ratri! Kenapa kamu!! Bajingan, awas kamu!” Sekar menerjang, tak tahu Ratri sedang diapakan.
Tapi mendadak bayangan Bayang Ireng muncul lagi seperti cambuk berukuran raksasa, cepat sekali menyabet Sekar yang sedang maju menerjang.
“Hyahh!” Sekar tak bisa menghindari sabetan itu, dia terpental sampai terguling-guling. Sekar bangkit dan mendapati dirinya malah berada makin dekat ke Ratri. Dan dia melihat temannya dalam keadaan aneh.
Wajah Ratri tersenyum menganga lebar sampai memperlihatkan gigi, matanya kosong seperti tanpa jiwa. Dari bibirnya mengalir cairan putih kental. Ratri tidak kelihatan kesakitan, tapi malah merasakan enak. Dia tak peduli Sekar ada di depannya. Sekar berusaha meraihnya. Tapi sebelum Sekar berhasil, dia merasakan leher dan tubuhnya dililit!
“Den ayu, engkau maukah merasa apa yang dirasa istri tuaku?” Bayang Ireng kembali berkata, suaranya tetap seram namun kini bernada mempermainkan. “Perempuan yang kujadikan istriku bisa merasa seperti di swargaloka. Dan tidak mau lagi dengan kenikmatan dunia yang tiada berarti ini. Bagaimana? Hummm?”
Sekar meronta selagi lengan, atau anggota tubuh, atau bayangan, atau entah apa yang digunakan Bayang Ireng untuk membelitnya menariknya ke atas, membuat dirinya tak lagi menapak tanah. Dia merasakan seperti lawannya memiliki banyak lengan yang bisa memanjang dan membelit seperti ular, namun ujung lengan-lengan itu bisa menggenggam. Dan dia merasakan sekujur tubuhnya digerayangi! Di atas pahanya, salah satu lengan mencengkeram kain dan menarik...BREETT!! Kain penutup pahanya terobek!
“Ahh!! Lepaskan!!”
Lengan Sekar sendiri masih bebas dan masih memegang pedang. Dia langsung menebas putus bagian bayangan Bayang Ireng yang merobek kainnya, tapi tak ayal kainnya terobek sehingga paha, betis, sampai kaki tersingkap. Sekar memekik malu, karena sungguh tak pantas tubuh seorang perempuan terlihat.
“Hahaha... mulus nian pahamu den ayu, sungguh sayang kalau dibungkus? Aku ingin mengelus-elusnya.”
Bayang Ireng langsung mencuatkan lagi satu lengan dari bayangannya, membelit kaki Sekar yang tersingkap dengan erat. Sekar bergidik, seluruh lengan Bayang Ireng itu ternyata bisa meraba-rabanya, dan menggesek sekujur paha dan betisnya. Ujungnya berbentuk tumpul dan kini menyentuh-nyentuh cawat penutup kemaluannya.
“Jangan kurang ajar dedemit, rasakan ini, hiaaattt!!”
Sekar berusaha melepaskan diri lagi, dia merentangkan tubuh ke belakang, melengkungkan punggung sambil menebas. Genggaman di kakinya tidak begitu kuat meski melekat erat sehingga Sekar mampu berjungkirbalik dan kembali menebas Bayang Ireng. Ketika lengan yang membelit paha Sekar terputus dari bayangan utama, Bayang Ireng menjerit kaget. Rupanya dia bisa merasa sakit kalau bayangannya dilukai. Sekar dengan cepat memapas bagian-bagian lain yang mengikatnya, sehingga dia berhasil bebas, namun karena posisinya tadi terangkat di udara dia pun jatuh. Berkat latihan kanuragannya Sekar bisa jatuh dalam posisi kuda-kuda. Namun dia jatuh di bagian tanah yang hitam... tepat di tengah bayangan utama Bayang Ireng.
“Hoooo... HO HA HA HA HAA!!” Bayang Ireng tertawa seram selagi memunculkan banyak tonjolan dari bayangannya di sekeliling Sekar.
Sekar berusaha kabur tapi tanpa diduga muncul lagi satu tonjolan kokoh, tepat di bawahnya, seperti tinju yang tepat menohok ulu hati si gadis pendekar.
DHUAKK!! “Ahhh!!” Keras sekali pukulan itu sampai-sampai tubuh Sekar terpelanting ke belakang dan dia telentang. Sekar pun kelenger karena serangan dahsyat itu. Dia terkapar dan tak langsung bisa bangun.
Bayang Ireng muncul di hadapan Sekar. Dedemit itu berdiri di depannya, mengangkangi tubuhnya.
“Den ayu, sungguh cantik parasmu,” puji Bayang Ireng. “Sayang engkau berkelakuan seperti laki-laki, bertarung dan berteriak-teriak. Lebih baik engkau jadi istriku, gundikku, seperti temanmu itu. Mau kan?”
“Ukh... jangan bercanda kau... tak sudi!” Sekar berusaha menolak.
Dia ingin bangun tapi selain mengangkanginya, rupanya Bayang Ireng juga menggunakan bayangan untuk mengikat pinggangnya ke tanah.
“Aku Bayang Ireng, biasa menaklukkan dan membunuh orang, kecuali perempuan cantik,” katanya. Dan Sekar melihat Ratri berdiri di sebelah Bayang Ireng. Ratri lalu bersimpuh di sampingnya.
“Ratri! Ratri!” Sekar memanggilnya. Ratri mendekat, mengelusnya. Pandangan kosong Ratri membuat Sekar ngeri. Bibir merah Ratri terkatup namun terus mendekati Sekar... dan tiba-tiba...
“Mmmhh??” Ratri mencium bibir Sekar, memaksa mulut Sekar membuka. Dan ketika itu juga Ratri meludahkan cairan yang disimpan dalam mulutnya ke dalam mulut Sekar.
Itu cairan yang Sekar kira berasal dari anggota badan Bayang Ireng yang dikulum Ratri! Ratri terus mencium tanpa melepas, mencegah upaya Sekar memuntahkan apa yang diludahkannya. Sekar terpaksa menelannya. Barulah Ratri melepas bibir Sekar.
“Engkau sudah menelan bibitku, den ayu... bibitku bisa mengubah perempuan yang menelannya menjadi sundalku...” Bayang Ireng menjelaskan, selagi Ratri bersimpuh di sampingnya dan mengelus pahanya.
Lengan-lengan muncul lagi dan mencengkeram tepi kemben Sekar. Dan dengan segera kemben itu direnggut sambil dirobek. Payudara indah Sekar pun terlihat di bawah cahaya pelita. Lengan-lengan Bayang Ireng langsung pindah meremasi keduanya.
“Hm, tubuhmu sungguh indah den ayu, payudaramu bagus, pasti engkau telah dipelihara untuk kelak dijadikan persembahan bagi seorang raja atau pangeran bukan?” goda Bayang Ireng. Sekar meringis merasakan bayangan Bayang Ireng membentuk jari-jari yang meremas daging susunya dan lidah-lidah yang menyentil pentil-pentilnya. “Kembenmu terlalu ketat membebat susumu, mari kubebaskan, rasakan nikmatnya, den ayu!”
Sekar sebenarnya tidak amat lugu, Kangmas-nya sudah pernah menyentuh-nyentuh susunya. Namun apa yang dia rasakan saat itu berbeda. Payudaranya jadi jauh lebih peka. Sekar merasa enak sekaligus ngeri karena sentuhan Bayang Ireng terasa jauh lebih merangsang daripada jamahan tunangannya yang pernah dia rasa. Itu pasti karena cairan bibit yang dicekokkan Ratri tadi, pikirnya.
“Ah... ah... jangan...” Sekar menolak lemah, ketika pentilnya menanggapi rangsangan dengan menjadi tegang dan keras.
“Lihat penthilmu ngaceng, den ayu,” goda Bayang Ireng.
“Lepaskan aku... dedemit busuk!” maki Sekar tak berdaya. “Eh? AAHHN!! Sekar menjerit kaget ketika kedua pentilnya ditarik jauh.
“Hahaha... Ada apa, den ayu? Jeritanmu sungguh nikmat! Sukakah kalau susumu direnggut seperti itu?” kata Bayang Ireng.
“Tidak... AH!” Sekar kembali menjerit ketika payudaranya diremas keras. Pentilnya terus dimain-mainkan, ditowel-towel.
“Jangan pura-pura, den ayu. Penthilmu tambah kencang.”
Sekar belingsatan ketika tubuhnya berkhianat, payudaranya menikmati dilecehkan oleh dedemit hitam itu dan mulutnya terus mengerang nikmat. Sekali-sekali mulutnya ingat menolak tapi sisa tubuhnya seolah tak lagi punya keinginan melawan. Oh, enak sekali ketika payudaranya dimain-mainkan seperti itu! Tidak, tidak boleh kalah dengan jamahan dedemit busuk ini! Bayang Ireng mengamati wajah Sekar yang kacau, antara ingin menolak dan menyerah lalu menikmati. Sambil dia mulai menggarap bagian baru: bokong Sekar yang berada di atas bayangannya, dia gerayangi juga. Satu bagian bayangannya mencuat di depan selangkangan Sekar lalu langsung meraba. Masih ada halangan kain dan cawat. Itu pun disingkirkan. Ilmu Bayang Ireng yang membuatnya bisa memiliki banyak sekali anggota badan itu membuat Sekar jadi bulan-bulanan. Gadis pendekar itu merasakan kainnya dilepas dan cawatnya direnggut sampai koyak. Dan terasa sesuatu menyelip di bibir kemaluannya... mulai menggoda itilnya.
Itu bukan sentuhan yang baru bagi Sekar. Meski belum resmi menjadi seorang istri, Sekar sudah pernah mencicip sanggama bersama Kangmas-nya, si pendekar dengan wajah tertutup kain. Dan dia pernah merasakan puncak kenikmatan yang diberikan lelakinya. Jadi dia sedikit-sedikit tahu apa yang akan terjadi. Dan itu tak dia harapkan. Gesekan-gesekan lengan Bayang Ireng di itilnya mulai membuatnya basah. Apalagi payudaranya digenggam erat. Yang ditakutkannya terjadi juga...
“Ah... AHAA!! AHAHNN!!”
Akhirnya masuk juga anggota tubuh Bayang Ireng ke kewanitaan Sekar. Bayangan yang kini berperan jadi lingga itu awalnya kecil, namun lantas membesar dan memanjang; Bayang Ireng bisa mengatur ukuran dan bentuk anggota tubuh semaunya. Lalu berbagai cabang bayangan lain ikut bermain. Sekar merasakan tubuhnya diangkat sehingga dia berposisi seperti berdiri tegak, namun dengan kaki merentang, dan tidak menapak tanah; lengan-lengan Bayang Ireng menopang sekaligus mengikatnya, menggantungnya sekaligus mengendalikan tubuhnya seperti wayang. Bayang Ireng berada di depannya dengan satu anggota tubuh mencuat dari selangkangannya masuk ke lubang kemaluannya. Sekar lalu menjerit ketika dia merasa seluruh tubuhnya digenggam erat oleh banyak lengan dan dipaksa bergerak naik turun menancap di lingga Bayang Ireng. Kemaluannya, seluruh tubuhnya, dipaksa menjadi pemuas Bayang Ireng. Kadang dia dinaikturunkan cepat, kadang lambat. Yang lebih parah, Bayang Ireng bisa semaunya mengubah ukuran dan bentuk bagian tubuh yang menusuk Sekar. Sekar menjerit ketika lingga dedemit itu memanjang hingga mendesak rahimnya, atau membesar hingga merentang kemaluannya, atau mencuatkan tonjolan-tonjolan yang menggesek dinding kemaluannya. Sekali-sekali lingga itu mengecil, membuat Sekar lega sebentar, tapi kelegaan itu selalu langsung dihancurkan ketika kemaluannya kembali didesak benda yang kembali memanjang keras. Sekali-sekali dia diangkat sampai lepas dari tombak hidup itu, hanya untuk dihunjam keras-keras beberapa saat kemudian. Jerit-jerit Sekar membahana selagi dia terus disiksa. Akhirnya, Bayang Ireng melepasnya.
Sekar yang capek sekali ambruk ke tanah. Dia berusaha bergerak pelan-pelan, menjauh. Dia hanya ingin kabur, dia tak mau lagi diperkosa Bayang Ireng. Namun Bayang Ireng tak berniat melepaskannya begitu saja. Bayangannya kembali meringkus Sekar dan mengangkatnya lagi. Sekar dibalikkan sehingga telentang melayang, punggungnya ditopang beberapa lengan dan pinggangnya dibelit. Sekar geleng-geleng kepala selagi dia melihat lengan, bukan, lingga hitam Bayang Ireng yang berbentuk seperti mata tombak siap menusuk kembali di depan pintu liang kewanitaannya yang menganga bekas didobrak. Gelengan kepalanya adalah harapan lemah Bayang Ireng bakal mengasihaninya dan melepasnya. Tapi mata tombak itu tetap mencoblos kemaluannya. Jerit keras terdengar dari mulut Sekar selagi kepalanya tersentak ke belakang. Kedua kakinya mengacung tegak ke atas lalu jatuh lagi selagi lingga Bayang Ireng menggenjotnya tanpa ampun, keluar masuk. Namun Sekar terus merasakan juga enak ketika payudaranya dicabuli dan titik kunci dalam kewanitaannya digesek-gesek oleh kelamin besar Bayang Ireng. Sekar merasa seolah kehilangan akal menghadapi semua itu. Dalam hatinya mulai timbul keinginan untuk memohon kepada Bayang Ireng agar meremas susunya lebih keras, menusuknya makin dalam dengan lingga yang makin besar. Dia hanya bisa menjerit dan mengerang, tak kuasa melawan. Tak terpikir lagi oleh Sekar bahwa dia harus mengalahkan sang dedemit keji Bayang Ireng yang telah memperbudak temannya.
“Aaah! Ngghhh! Ahh!” Sekar merasakan sesuatu membuncah dalam dirinya. Dia tahu apa itu, dia pernah merasakannya. Meski enggan mengakuinya, perojokan Bayang Ireng mendorongnya menuju nikmat paripurna. “Ah jangan... Sebentar lagi...”
“Hm? Sebentar lagi?” Namun Bayang Ireng lebih keji daripada yang Sekar duga. Ketika sesaat lagi Sekar akan memuncaki kenikmatan, tiba-tiba lingganya mengecil dan ditarik keluar, lalu tumpuan tubuhnya dilepas. Sekar jatuh lagi ke tanah, lelah, ketakutan, dan gemas karena gagal mencapai puncak. Dia meringis, berbalik badan dan berposisi merangkak. Sekar menyadari bahwa pakaian yang melekat di tubuhnya sudah koyak-koyak, tinggal sisa-sisa kain yang menggantung. Bayang Ireng tertawa melihat mangsanya yang gelagapan, seolah berusaha merangkak pergi. Dia membiarkan Sekar bergerak beberapa langkah sebelum mengirim lagi beberapa anggota tubuhnya melejit menjerat paha dan pinggang Sekar, dan kembali menerobos kemaluan Sekar yang sudah basah tak keruan dari belakang. Dan kali ini datanglah puncak itu, Sekar merasakan ledakan dalam birahinya yang membuatnya langsung kejang-kejang dan ambruk tertelungkup selagi batang keras besar membobol kewanitaannya. Dia menjerit-jerit tak tertahan. Puncak kenikmatan melanda sekujur tubuhnya, sampai dia benar-benar lupa diri. Dia sampai tak sadar Bayang Ireng melepas seluruh cengkeramannya, membiarkan dia menggelepar di tanah menjalani puncak birahi.
Ketika Sekar pulih kembali, dia melihat Ratri kembali berada di dekatnya.
“Ratri...” panggilnya lemah.
“Sekar... hihihi... Kamu mau ikut aku juga jadi istri Ndoro Bayang Ireng...?” Kata-kata Ratri sungguh tak terduga.
“Ratri... pergi... aku... kita...” Banyak yang mau Sekar katakan, tapi dia tak kuat, lagipula dia bingung dengan pikirannya sendiri. Dia lalu membelalak ngeri ketika di samping Ratri muncul sosok tinggi besar hitam Bayang Ireng. Dan yang lebih membingungkannya, Ratri menoleh, mendekati Bayang Ireng, lalu memeluk dedemit itu.
“Ayo Sekar... ikutlah denganku... Ndoro Bayang Ireng bisa bikin aku merasa kenikmatan swarga...” kata Ratri sambil mencium bagian dada bayangan hitam itu. “Ndoro... jadikanlah temanku Sekar ini sundalmu... aku rela dia kau jadikan istri mudamu Ndoro...”
Bayang Ireng mendekati Sekar dan Sekar tak bisa menghindar lagi. Sekar yang berposisi masih merangkak itu dihampirinya dari belakang, lalu Sekar merasakan kegelapan meliputi dirinya. Jantungnya berdebar selagi dia menyadari seluruh tubuh Bayang Ireng mendekat ke seluruh tubuhnya. Posisi keduanya adalah posisi hewan bersetubuh, di mana si pejantan menunggangi si betina dari belakang, namun Bayang Ireng tidak hanya menunggangi, tapi malah seperti meliputinya, menelannya, memeluk seluruh tubuh Sekar dengan tubuhnya sehingga nyaris seluruh tubuh Sekar tertutup bayangan hitam, hanya kepalanya dan kedua tangannya yang masih terlihat. Di dalam bayangan itu Sekar merasakan seluruh tubuhnya dibelai, disentuh, digerayangi, dirangsang dengan segala cara. Dia hanya bisa mengeluh dalam hati, sementara bibirnya mengeluarkan desahan penuh nafsu. Satu bagian tubuh Bayang Ireng masuk ke dalam kemaluannya, lalu di dalamnya embelan itu langsung berubah menjadi lingga yang menggenjot dan mengaduk-aduk kewanitaan Sekar. Sekar juga merasakan payudaranya seperti disedot dan dikelitiki ribuan jari dan bibir yang meliputi. Tubuhnya gemetaran. Bayang Ireng berubah meliputi sekujur tubuhnya seperti baju, baju yang bisa mencabulinya. Pikiran dan tubuh Sekar segera takluk selagi dia dibuat mencapai puncak berkali-kali. Hanya Bayang Ireng dan Ratri yang bisa mendengar jerit kekalahan sang gadis pendekar.
*****
Setengah bulan kemudian
“Sekar, di manakah engkau?”
Pendekar dengan wajah tertutup kain itu mencari-cari tunangannya yang hilang ke segala penjuru, melabrak berbagai tokoh sesat yang dia anggap tahu di mana Sekar berada. Sesudah beberapa lama, dia menemukan bahwa Sekar terakhir diketahui berusaha membebaskan Ratri temannya yang diculik dedemit yang bersarang di pinggir Laut Selatan. Dan kini dia sudah berada di candi tua yang didatangi Sekar, menjelang malam. Dia menemukan pelataran candi itu diterangi empat pelita besar, membuat ribuan bayangan menari-nari mengikuti liuk cahaya api. Suasana hening namun di tengah pelataran terlihat satu sosok perempuan yang menari, seolah di sekelilingnya ada gamelan yang mengiringi. Tariannya lambat, anggun, dan mengusik birahi. Itu Sekar, tunangannya. Sekar mengenakan kain merah yang tidak rapi menutup tubuh bawahnya, sehingga sekali-sekali paha mulusnya tersingkap. Dia juga mengenakan kemben hitam yang seolah mendorong payudaranya yang montok ke atas. Rambutnya disanggul besar di belakang kepala, wajahnya dirias tebal. Andai dilihat lebih dekat, mata Sekar akan terlihat kosong. Di hadapannya berdiri satu sosok perempuan lain. Dialah Ratri. Namun Ratri berdiri tegak, diam, dan dia seolah tak mengenakan pakaian. Sekujur tubuhnya tampak ditutupi bayangan hitam, begitu pula tanah yang diinjaknya hitam kelam tertutup bayangan, biarpun berada di tengah cahaya empat pelita. Ratri berjalan dengan acuh mendekati Sekar. Pelan-pelan bayangan yang membungkus tubuhnya bergerak sendiri. Mulai muncul tonjolan-tonjolan kecil berbentuk seperti lengan, sulur, atau cambuk. Tiba-tiba, bagian-bagian bayangan itu melesat menuju Sekar. Dua langsung menjerat kedua pergelangan kaki Sekar dan dua lagi membelit lengannya. Dua lagi menarik kembennya sampai terbuka lalu melingkari kedua payudaranya. Sekar diangkat oleh lengan-lengan itu lalu didorong ke depan Ratri. Kedua pahanya direntangkan sehingga Sekar pun tersedia dalam keadaan mengangkang di depan Ratri. Dan dari bagian bayangan hitam yang berada di bawah perut Ratri muncul dua tonjolan, dua lingga yang langsung berebutan menusuki kemaluan Sekar dan membuat Sekar berteriak keenakan.
Bayangan yang membungkus Ratri pun buyar, sehingga terlihatlah bahwa Ratri memang benar-benar telanjang. Bayangan itu berubah menjadi semacam kursi yang menopang Ratri dalam keadaan mengangkang sambil mencoblos dua lubang Ratri, yang depan dan yang belakang. Yang di depan menusuknya sambil memunculkan cabang yang menggoda itil Ratri. Ratri berteriak-teriak keenakan sambil menyebut sesuatu yang terdengar seperti
“ndoro bayang ireng”. Dua perempuan dijerat bayangan raksasa di tengah pelataran candi tua itu, keduanya disetubuhi tanpa ampun, oleh dedemit sakti yang mampu berubah wujud, dan yang lebih parah, keduanya tampak menikmatinya!
Sekar dan Ratri menjerit berbarengan ketika kedua sahabat yang terjerat itu dibawa ke puncak swarga birahi oleh lingga-lingga cabul si dedemit hitam. Keduanya lalu diturunkan sehingga sama-sama duduk bersebelahan di tengah lingkaran besar bayangan hitam yang tak wajar karena mampu mengalahkan cahaya. Dan di depan mereka, di tengah lingkaran hitam itu, satu sosok seperti manusia bertubuh besar muncul seolah diangkat dari kelamnya dunia bawah tanah. Sekar dan Ratri berjalan jongkok mendekati sosok itu yang sudah mewujud lengkap seperti manusia, dengan kepala, tubuh besar, lengan-lengan besar, kaki-kaki besar, dan sepasang lagi anggota tubuh yang besar menggelantung di bawah perutnya—yang ini tidak seperti manusia. Sepasang lingga itu disodorkan kepada kedua gadis yang kini bersimpuh di hadapannya. Mereka berdua telah jatuh dalam cengkeraman Bayang Ireng, menjadi istri-istrinya, sundal-sundalnya. Keduanya mulai menggenggam dan membelai sepasang lingga kekasih mereka yang luar biasa itu, yang menjadikan mereka budak birahi dengan cara yang tak bisa dilakukan manusia awam. Satu tangan Bayang Ireng memegangi belakang kepala Ratri dan memaksa Ratri menelan batang hitam itu, sementara Sekar dengan sukarela menjulurkan lidahnya dan menjilati batang satunya. Ratri tak bisa memasukkan seluruh batang itu ke dalam mulutnya, maka dia mengelus sisa panjangnya, sementara dia berjongkok dan membiarkan bayangan di bawah dirinya mengeluarkan satu lengan yang menggoda kemaluannya. Mulutnya sesak diisi lingga raksasa Bayang Ireng.
“HUNGGGHHH!!” Bayang Ireng menggerung keras dan seram. Seluruh tubuhnya berdenyut-denyut. Sepasang batangnya muncrat, menyemburkan bibit putih cair. Mulut Ratri langsung penuh dan dia tak mampu menahan lelerannya keluar dari bibirnya, sementara wajah Sekar yang dirias langsung ternoda cipratan-cipratan putih yang menerpa tanpa henti. Sekar malah sengaja membuka mulut lebar-lebar, seolah ingin menangkap semburan bibit dedemit itu. Bau tajam menguar ke udara, namun kedua gadis itu seolah mabuk dibuatnya. Bahkan ketika semburan itu usai, keduanya masih mengisapi dan menjilati bibit yang tersisa. Keduanya telah kehilangan jati diri, tak lagi gadis-gadis priyayi terhormat, melainkan sepasang sundal yang tunduk pada birahi. Tersenyum dan tertawa-tawa keduanya, di tengah swarga hitam yang menjerat jiwa. Barulah Bayang Ireng menoleh, kedua matanya yang merah menyala itu melihat ke arah si pendekar.
“Wahai kawan. Aku tahu engkau mencari kedua gadis ini bukan? Ayo ke sini, kita nikmati mereka bareng,” undangnya.
Keris di pinggang si pendekar berkilatan ketika dia menghunusnya. Dia pun langsung melompat, menyerang Bayang Ireng, menanggapi undangan dedemit itu.
“HIAAATTT!!”
TAMAT
Diilhami sepasang teman, yang sekarang entah mereka ke mana
Seorang gadis pendekar berusaha membebaskan kawannya yang diculik dedemit sakti dengan ilmu silat hitam yang tak terduga.
Story codes
MF, MFF, mc, tent, magic, nc, rape, reluc
DISCLAIMER
- Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
- Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
- Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
- Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
- Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.
Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.
Sekar & Bayang Ireng
-Ninja Gaijin-
###################################
Sekar |
“Hiaaattt!!” Dari suaranya bisa diduga bahwa dia seorang perempuan.
Pendekar perempuan itu melompat sambil menusukkan pedang, menyerang lawannya. Sepintas pakaiannya yang terdiri atas kemben batik dan kain yang membungkus paha dan betis tampak menghalangi gerakan, namun ketika dia bergerak tersingkaplah kain itu menunjukkan bahwa di bawahnya dia mengenakan celana selutut. Pedangnya kemilau ditimpa cahaya matahari sore, tak kalah mautnya dengan tebing terjal tempat dia bertarung. Orang yang dihadapinya bertubuh sedikit lebih besar, wajahnya tak kelihatan karena kepalanya terbungkus kain dan hanya menunjukkan mata. Tapi dari tubuhnya terlihat bahwa dia laki-laki. Dia mencabut keris dan menangkis serangan si pendekar perempuan.
TRANGG!! “Hiyatt!!” “Ugh!” “Ahh!!” “Yiaaaahh!!” Jurus demi jurus, kedua pendekar itu bertarung di pinggir tebing.
Si pendekar perempuan lebih banyak menyerang, seolah hendak menghabisi lawan dengan sabetan dan tusukan pedang. Lawannya yang tak membuka wajah hanya menangkis, namun tak membiarkan satu pun serangan masuk dan melukai. Lama-lama si perempuan mulai letih dan kesal karena serangannya tidak ada yang masuk. Si laki-laki pun mulai menguasai keadaan. Dan satu salah langkah membuat pedang si perempuan terpental. Dengan cepat si laki-laki menyerbu ke arah si perempuan—sambil menjatuhkan kerisnya juga.
Si laki-laki menerkam si perempuan sehingga mereka berdua pun bergulat di tanah. Si perempuan meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tapi jurus pitingan si laki-laki tak dapat dia kalahkan. Tapi dia sempat merenggut kain penutup wajah si laki-laki. Perlawanannya baru berakhir ketika.....si laki-laki menciumnya, menggeluti bibir si perempuan dengan bibirnya. Teriakan-teriakan pertarungan berubah menjadi desahan nafsu. Si perempuan memejamkan mata dan mengerang, bukan menahan sakit, melainkan berusaha membendung birahi yang menggelora. Dia merasa lebih susah menghadapi serangan seperti ini daripada tusukan seribu pedang. Padahal si laki-laki sudah membuang senjatanya. Yang dia gunakan hanya bibirnya, dan tangannya yang sudah menggerayangi, meremas kain kemben yang menutupi payudara si perempuan dan berusaha melucuti perlindungan itu. Tapi apakah benar semua senjata telah dilepas oleh si laki-laki? Karena si perempuan masih bisa merasakan keberadaan senjata lain yang siap menusuk.
“Ahh... Kangmas... Aku... aku malu...” Mulut yang tadinya meneriakkan seruan garang kini terengah lemah, mengucap kata-kata penolakan setengah hati.
Dua musuh berubah menjadi sepasang kekasih yang bibirnya saling berpagutan, tangannya saling menjamah, tubuhnya saling belit dalam nafsu. Dan si perempuan tiada berniat menangkis ancaman “senjata tumpul” yang dia rasa mendesak berlapis-lapis kain yang menutupi bagian terlemahnya. Bagian yang apabila disentuh, akan membuat dia takluk dalam asmara. Namun apa yang dimulai ternyata tidak dituntaskan: meski sang dara sudah terlentang pasrah dengan busana terdedah, rambut tergerai, dan bibir terengah menahan gairah, pasangannya malah berdiri.
“Sekar,” kata si pendekar, “Sungguh, aku sangat ingin bercinta denganmu sekarang. Tapi aku juga menemuimu hari ini untuk menyampaikan kabar. Ayahmu memanggilku untuk ikut berlaga ke Pantai Utara melawan laskar mancanegara yang mulai bercokol di sana. Dan sebagai prajurit aku harus mematuhi sabda Panglima-ku, membantu beliau sekuat tenaga.”
Pendekar perempuan yang dipanggil Sekar itu melompat berdiri sambil cemberut.
“Kangmas tak mempedulikanku lagi, hanya mendengarkan Bapak saja? Kalau begitu sana Kangmas menikah dengan Bapak, jangan denganku.”
Calon suaminya tak menggubris. “Sekar, ini demi kepentingan yang lebih besar. Dan kamu tahu mengenai ilmu silatku... Ilmuku mengandalkan hawa murni, dan kekuatannya bisa berkurang apabila aku bercinta dulu denganmu sebelum berangkat. Jadi, aku harap kamu mau bersabar.”
Si pendekar merangkul Sekar, menyibak anak rambut di dahi Sekar yang terlepas dari gelungan, dan mengecup kening kekasihnya. “Aku janji aku akan pulang,” katanya. “Sesudahnya aku akan puaskan kamu.”
*****
Sehari sesudah kepergian calon suaminya ke medan laga, Sekar sudah berjalan-jalan lagi di tebing Laut Selatan, dari arah timur ke barat. Cuaca memburuk; awan kelabu bergulung-gulung di arah barat, seolah amukan roh-roh jahat di angkasa. Dia bosan tinggal di rumahnya. Meski rumahnya besar dan megah, Sekar sering merasa kesepian di sana. Dia kurang betah hidup sebagai putri pembesar yang mesti anggun dan sopan, dan lebih menyukai kehidupan berpetualang. Karena tak bisa bercengkrama dengan kekasihnya, Sekar bermaksud mengunjungi kawannya, Ratri, yang tinggal di satu desa di sepanjang tebing. Ratri ialah gadis desa yang seumuran dengannya, putri kepala desa. Namun ketika sampai di rumah Ratri, Sekar menemukan orang-orang yang sedang berduka.
“Huu... Den Sekar, Ratri... Ratri diculik...” Ibu Ratri mengatakan sambil menangis tersedu.
“Siapakah yang menculik Ratri, Ibu?” tanya Sekar sambil merangkul ibu Ratri.
“Den Sekar, mohon ampun, sebenarnya ini karena kami tidak melakukan tugas kami sebagai kepala desa dengan benar,” kata bapak Ratri, si kepala desa. “Desa ini telah mengalami gangguan dari sesuatu yang jahat, entah manusia atau dedemit. Sebulan ini telah dua anak gadis yang diculik dan mereka tak ada yang kembali. Dan kali ini anak kami Ratri pun menjadi korban, diculik penjahat itu.”
Sekar putri seorang panglima yang telah mengenal ilmu silat dan kanuragan sejak kecil, dan diajari sikap ksatria untuk membela yang lemah. Mendengar ada penjahat yang menculik gadis-gadis desa saja darahnya sudah mendidih, apalagi ketika dia tahu sahabatnya ikut menjadi korban.
“Bapak, Ibu, aku akan cari Ratri! Penjahat itu tak bisa dibiarkan, aku harus memberantasnya sebelum dia merajalela dan mencelakai banyak orang!”
“Duh, Den Sekar, dia seseorang yang sakti! Kami tahu di mana dia berada, dan kami sudah pernah mencoba mengusirnya, tapi kami tak mampu. Dia melukai dan membunuh orang-orang kami.”
“Tapi dia harus dibasmi! Aku yang akan menghadapinya.”
Pasangan suami-istri itu hanya bisa mengantar kepergian Sekar. Dalam hati mereka memohon supaya si pendekar putri tak bernasib seperti orang-orang lain yang mencoba melawan kekuatan jahat sakti itu.
*****
“Di sinikah tempat dia?” kata Sekar kepada dirinya sendiri.
Tadi sesudah mengambil senjata dan bersiap-siap, Sekar menuju ke tempat yang ditunjuk kepala desa sebagai sarang si penjahat. Letaknya di ujung tebing. Siapa sangka di sana, tepat di tepi laut, ada candi tua yang sebagian sudah runtuh, tak terlihat dari desa karena terhalang bebatuan besar. Sekar berdiri di bibir tebing, di atas candi itu. Sepi. Dan hampir malam. Sebenarnya Sekar memilih waktu yang salah. Dia memilih menantang kekuatan gelap pada waktu sandikala, ketika keseimbangan dunia sedang bergeser. Sekar melompat turun dan menyadari benar-benar tak ada orang di sana selain dirinya. Dia berada di pelataran candi. Ada cahaya terang di dalam candi. Sekar pun mendekati pagarnya. Dan ketika mengintip, Sekar pun melihat sasarannnya. Bersama... Ratri.
“Ratri!” Sekar menutup mulutnya dengan tangan untuk mencegah suaranya terdengar.
Sahabatnya itu telah ditemukannya, dalam keadaan bersimpuh menghadap sosok bertubuh besar yang duduk di tengah, di depan candi yang runtuh. Sekar tak jelas melihat wajah sosok itu, hanya bisa melihat tubuhnya yang besar, rambutnya yang panjang berantakan, dan kedua pahanya yang sangat besar dan panjang sehingga membuat Ratri yang berada di antara kedua paha itu tampak kecil. Apakah dia manusia? Lengannya yang panjang dan hitam tampak menyentuh kepala Ratri. Cahaya yang Sekar lihat berasal dari empat pelita yang menyala di sekeliling sosok itu. Terlihatlah oleh Sekar bahwa keadaan Ratri justru tidak seperti yang diperkirakannya. Ratri terlihat dalam keadaan cantik, dengan rambut digelung berhias melati, wajah dirias, dan mengenakan kemben dan kain bagus. Dan satu lagi yang dilihat Sekar: tangan di kepala Ratri mendorong kepala Ratri makin dekat ke selangkangan sosok itu. Ratri dengan patuh membuka mulut mendekati suatu tonjolan yang panjang besar dan hitam, dan memasukkan tonjolan itu ke dalam mulutnya. Tiba-tiba pelita bergoyang sehingga bayangan yang timbul karenanya berubah. Sekar terkejut ketika sebagian bayangan itu mengenai dirinya: rasanya seperti disentuh! Mendadak si hitam menengok ke arahnya, dan Sekar pun bisa melihat sepasang mata yang menyala merah.
Bayang Ireng |
“Sungguh tak sopan!” teriak si hitam. “Mengintip seperti itu, apa maumu hah?”
Sekar melompati pagar candi dan maju menyerang si hitam, langsung menghunus pedang. Tapi terjadi sesuatu yang aneh. Bayangan si hitam bergerak melilit pergelangan kakinya! Ilmu apa ini?! Sekar langsung melejit ke atas berusaha menghindar untuk menerjang dari atas. Langkah salah! Dalam langit yang menggelap, serangan si hitam malah susah dilihat. Tiba-tiba rambut si hitam memanjang jadi bayangan yang melesat ke arah Sekar di udara.Pinggang Sekar diincarnya. Sekar terbelit! Gadis itu menjerit ketika ditarik mendekat ke si hitam. Sekar belum menyerah, dalam keadaan ditarik mendekat itu dia berusaha mencari peluang.
“Hiaaattt!!” jeritnya selagi berusaha menebas bayangan si hitam yang menariknya.
“HUMH?” Si hitam menggerung ketika bayangannya tertebas.
Sekar mendarat dan langsung pasang kuda-kuda.
“Siapa kau! Lepaskan segera temanku Ratri!” tantang Sekar.
Musuhnya tampak seperti sosok gelap di tengah cahaya pelita, hanya sepasang mata merah yang menonjol di tubuh besarnya yang serba hitam. Sekar menduga-duga kesaktian macam apa yang dimiliki musuhnya. Sepertinya ilmunya berkaitan dengan bayangan. Sekar memikirkan siasat untuk melumpuhkan ilmu itu.
“Hmm hee hee hee hee hee,” si hitam tertawa, suaranya seram dan dalam.
“Den ayu, sebut aku Bayang Ireng. Si cantik ini temanmu? Hm, engkau pun tak kalah cantik. Daripada dia kulepaskan, bagaimana kalau kau saja yang ikut denganku? Kalian jadi pengantinku dua-duanya. Yang ini istri tua, kau istri muda. Kalian mau kan? Hee hee hee hee hee...”
Tiba-tiba Sekar mendengar Ratri mengerang.
“Ummmhhh!!” Suara Ratri teredam karena mulutnya penuh mengulum satu anggota tubuh Bayang Ireng.
“Dedemit! Kau apakan Ratri!!” seru Sekar sambil mengacungkan pedang.
Dari dekat, dia kini bisa melihat bahwa di sekeliling tubuh Ratri ada belitan sesuatu yang terlihat seperti tali tambang hitam tebal. Dan “tambang” itu berhubungan dengan tubuh Bayang Ireng, seperti bayangan yang menyerangnya tadi. Ujung tambang itu nampak lenyap di... bokong Ratri.
“Aahh!! Hah...! HAHH!!” Ratri akhirnya bisa membuka mulut dengan lega karena apapun yang dia kulum itu keluar dari mulutnya,namun dia terengah, suaranya awalnya seperti kesakitan namun kemudian terdengar keenakan.
Wajah cantiknya mendongak, lehernya tegang, dan seluruh tubuhnya bergetar.
“Ratri... Ratri! Kenapa kamu!! Bajingan, awas kamu!” Sekar menerjang, tak tahu Ratri sedang diapakan.
Tapi mendadak bayangan Bayang Ireng muncul lagi seperti cambuk berukuran raksasa, cepat sekali menyabet Sekar yang sedang maju menerjang.
“Hyahh!” Sekar tak bisa menghindari sabetan itu, dia terpental sampai terguling-guling. Sekar bangkit dan mendapati dirinya malah berada makin dekat ke Ratri. Dan dia melihat temannya dalam keadaan aneh.
Wajah Ratri tersenyum menganga lebar sampai memperlihatkan gigi, matanya kosong seperti tanpa jiwa. Dari bibirnya mengalir cairan putih kental. Ratri tidak kelihatan kesakitan, tapi malah merasakan enak. Dia tak peduli Sekar ada di depannya. Sekar berusaha meraihnya. Tapi sebelum Sekar berhasil, dia merasakan leher dan tubuhnya dililit!
“Den ayu, engkau maukah merasa apa yang dirasa istri tuaku?” Bayang Ireng kembali berkata, suaranya tetap seram namun kini bernada mempermainkan. “Perempuan yang kujadikan istriku bisa merasa seperti di swargaloka. Dan tidak mau lagi dengan kenikmatan dunia yang tiada berarti ini. Bagaimana? Hummm?”
Sekar meronta selagi lengan, atau anggota tubuh, atau bayangan, atau entah apa yang digunakan Bayang Ireng untuk membelitnya menariknya ke atas, membuat dirinya tak lagi menapak tanah. Dia merasakan seperti lawannya memiliki banyak lengan yang bisa memanjang dan membelit seperti ular, namun ujung lengan-lengan itu bisa menggenggam. Dan dia merasakan sekujur tubuhnya digerayangi! Di atas pahanya, salah satu lengan mencengkeram kain dan menarik...BREETT!! Kain penutup pahanya terobek!
“Ahh!! Lepaskan!!”
Lengan Sekar sendiri masih bebas dan masih memegang pedang. Dia langsung menebas putus bagian bayangan Bayang Ireng yang merobek kainnya, tapi tak ayal kainnya terobek sehingga paha, betis, sampai kaki tersingkap. Sekar memekik malu, karena sungguh tak pantas tubuh seorang perempuan terlihat.
“Hahaha... mulus nian pahamu den ayu, sungguh sayang kalau dibungkus? Aku ingin mengelus-elusnya.”
Bayang Ireng langsung mencuatkan lagi satu lengan dari bayangannya, membelit kaki Sekar yang tersingkap dengan erat. Sekar bergidik, seluruh lengan Bayang Ireng itu ternyata bisa meraba-rabanya, dan menggesek sekujur paha dan betisnya. Ujungnya berbentuk tumpul dan kini menyentuh-nyentuh cawat penutup kemaluannya.
“Jangan kurang ajar dedemit, rasakan ini, hiaaattt!!”
Sekar berusaha melepaskan diri lagi, dia merentangkan tubuh ke belakang, melengkungkan punggung sambil menebas. Genggaman di kakinya tidak begitu kuat meski melekat erat sehingga Sekar mampu berjungkirbalik dan kembali menebas Bayang Ireng. Ketika lengan yang membelit paha Sekar terputus dari bayangan utama, Bayang Ireng menjerit kaget. Rupanya dia bisa merasa sakit kalau bayangannya dilukai. Sekar dengan cepat memapas bagian-bagian lain yang mengikatnya, sehingga dia berhasil bebas, namun karena posisinya tadi terangkat di udara dia pun jatuh. Berkat latihan kanuragannya Sekar bisa jatuh dalam posisi kuda-kuda. Namun dia jatuh di bagian tanah yang hitam... tepat di tengah bayangan utama Bayang Ireng.
“Hoooo... HO HA HA HA HAA!!” Bayang Ireng tertawa seram selagi memunculkan banyak tonjolan dari bayangannya di sekeliling Sekar.
Sekar berusaha kabur tapi tanpa diduga muncul lagi satu tonjolan kokoh, tepat di bawahnya, seperti tinju yang tepat menohok ulu hati si gadis pendekar.
DHUAKK!! “Ahhh!!” Keras sekali pukulan itu sampai-sampai tubuh Sekar terpelanting ke belakang dan dia telentang. Sekar pun kelenger karena serangan dahsyat itu. Dia terkapar dan tak langsung bisa bangun.
Bayang Ireng muncul di hadapan Sekar. Dedemit itu berdiri di depannya, mengangkangi tubuhnya.
“Den ayu, sungguh cantik parasmu,” puji Bayang Ireng. “Sayang engkau berkelakuan seperti laki-laki, bertarung dan berteriak-teriak. Lebih baik engkau jadi istriku, gundikku, seperti temanmu itu. Mau kan?”
“Ukh... jangan bercanda kau... tak sudi!” Sekar berusaha menolak.
Dia ingin bangun tapi selain mengangkanginya, rupanya Bayang Ireng juga menggunakan bayangan untuk mengikat pinggangnya ke tanah.
“Aku Bayang Ireng, biasa menaklukkan dan membunuh orang, kecuali perempuan cantik,” katanya. Dan Sekar melihat Ratri berdiri di sebelah Bayang Ireng. Ratri lalu bersimpuh di sampingnya.
“Ratri! Ratri!” Sekar memanggilnya. Ratri mendekat, mengelusnya. Pandangan kosong Ratri membuat Sekar ngeri. Bibir merah Ratri terkatup namun terus mendekati Sekar... dan tiba-tiba...
“Mmmhh??” Ratri mencium bibir Sekar, memaksa mulut Sekar membuka. Dan ketika itu juga Ratri meludahkan cairan yang disimpan dalam mulutnya ke dalam mulut Sekar.
Itu cairan yang Sekar kira berasal dari anggota badan Bayang Ireng yang dikulum Ratri! Ratri terus mencium tanpa melepas, mencegah upaya Sekar memuntahkan apa yang diludahkannya. Sekar terpaksa menelannya. Barulah Ratri melepas bibir Sekar.
“Engkau sudah menelan bibitku, den ayu... bibitku bisa mengubah perempuan yang menelannya menjadi sundalku...” Bayang Ireng menjelaskan, selagi Ratri bersimpuh di sampingnya dan mengelus pahanya.
Lengan-lengan muncul lagi dan mencengkeram tepi kemben Sekar. Dan dengan segera kemben itu direnggut sambil dirobek. Payudara indah Sekar pun terlihat di bawah cahaya pelita. Lengan-lengan Bayang Ireng langsung pindah meremasi keduanya.
“Hm, tubuhmu sungguh indah den ayu, payudaramu bagus, pasti engkau telah dipelihara untuk kelak dijadikan persembahan bagi seorang raja atau pangeran bukan?” goda Bayang Ireng. Sekar meringis merasakan bayangan Bayang Ireng membentuk jari-jari yang meremas daging susunya dan lidah-lidah yang menyentil pentil-pentilnya. “Kembenmu terlalu ketat membebat susumu, mari kubebaskan, rasakan nikmatnya, den ayu!”
Sekar sebenarnya tidak amat lugu, Kangmas-nya sudah pernah menyentuh-nyentuh susunya. Namun apa yang dia rasakan saat itu berbeda. Payudaranya jadi jauh lebih peka. Sekar merasa enak sekaligus ngeri karena sentuhan Bayang Ireng terasa jauh lebih merangsang daripada jamahan tunangannya yang pernah dia rasa. Itu pasti karena cairan bibit yang dicekokkan Ratri tadi, pikirnya.
“Ah... ah... jangan...” Sekar menolak lemah, ketika pentilnya menanggapi rangsangan dengan menjadi tegang dan keras.
“Lihat penthilmu ngaceng, den ayu,” goda Bayang Ireng.
“Lepaskan aku... dedemit busuk!” maki Sekar tak berdaya. “Eh? AAHHN!! Sekar menjerit kaget ketika kedua pentilnya ditarik jauh.
“Hahaha... Ada apa, den ayu? Jeritanmu sungguh nikmat! Sukakah kalau susumu direnggut seperti itu?” kata Bayang Ireng.
“Tidak... AH!” Sekar kembali menjerit ketika payudaranya diremas keras. Pentilnya terus dimain-mainkan, ditowel-towel.
“Jangan pura-pura, den ayu. Penthilmu tambah kencang.”
Sekar belingsatan ketika tubuhnya berkhianat, payudaranya menikmati dilecehkan oleh dedemit hitam itu dan mulutnya terus mengerang nikmat. Sekali-sekali mulutnya ingat menolak tapi sisa tubuhnya seolah tak lagi punya keinginan melawan. Oh, enak sekali ketika payudaranya dimain-mainkan seperti itu! Tidak, tidak boleh kalah dengan jamahan dedemit busuk ini! Bayang Ireng mengamati wajah Sekar yang kacau, antara ingin menolak dan menyerah lalu menikmati. Sambil dia mulai menggarap bagian baru: bokong Sekar yang berada di atas bayangannya, dia gerayangi juga. Satu bagian bayangannya mencuat di depan selangkangan Sekar lalu langsung meraba. Masih ada halangan kain dan cawat. Itu pun disingkirkan. Ilmu Bayang Ireng yang membuatnya bisa memiliki banyak sekali anggota badan itu membuat Sekar jadi bulan-bulanan. Gadis pendekar itu merasakan kainnya dilepas dan cawatnya direnggut sampai koyak. Dan terasa sesuatu menyelip di bibir kemaluannya... mulai menggoda itilnya.
Itu bukan sentuhan yang baru bagi Sekar. Meski belum resmi menjadi seorang istri, Sekar sudah pernah mencicip sanggama bersama Kangmas-nya, si pendekar dengan wajah tertutup kain. Dan dia pernah merasakan puncak kenikmatan yang diberikan lelakinya. Jadi dia sedikit-sedikit tahu apa yang akan terjadi. Dan itu tak dia harapkan. Gesekan-gesekan lengan Bayang Ireng di itilnya mulai membuatnya basah. Apalagi payudaranya digenggam erat. Yang ditakutkannya terjadi juga...
“Ah... AHAA!! AHAHNN!!”
Akhirnya masuk juga anggota tubuh Bayang Ireng ke kewanitaan Sekar. Bayangan yang kini berperan jadi lingga itu awalnya kecil, namun lantas membesar dan memanjang; Bayang Ireng bisa mengatur ukuran dan bentuk anggota tubuh semaunya. Lalu berbagai cabang bayangan lain ikut bermain. Sekar merasakan tubuhnya diangkat sehingga dia berposisi seperti berdiri tegak, namun dengan kaki merentang, dan tidak menapak tanah; lengan-lengan Bayang Ireng menopang sekaligus mengikatnya, menggantungnya sekaligus mengendalikan tubuhnya seperti wayang. Bayang Ireng berada di depannya dengan satu anggota tubuh mencuat dari selangkangannya masuk ke lubang kemaluannya. Sekar lalu menjerit ketika dia merasa seluruh tubuhnya digenggam erat oleh banyak lengan dan dipaksa bergerak naik turun menancap di lingga Bayang Ireng. Kemaluannya, seluruh tubuhnya, dipaksa menjadi pemuas Bayang Ireng. Kadang dia dinaikturunkan cepat, kadang lambat. Yang lebih parah, Bayang Ireng bisa semaunya mengubah ukuran dan bentuk bagian tubuh yang menusuk Sekar. Sekar menjerit ketika lingga dedemit itu memanjang hingga mendesak rahimnya, atau membesar hingga merentang kemaluannya, atau mencuatkan tonjolan-tonjolan yang menggesek dinding kemaluannya. Sekali-sekali lingga itu mengecil, membuat Sekar lega sebentar, tapi kelegaan itu selalu langsung dihancurkan ketika kemaluannya kembali didesak benda yang kembali memanjang keras. Sekali-sekali dia diangkat sampai lepas dari tombak hidup itu, hanya untuk dihunjam keras-keras beberapa saat kemudian. Jerit-jerit Sekar membahana selagi dia terus disiksa. Akhirnya, Bayang Ireng melepasnya.
Sekar yang capek sekali ambruk ke tanah. Dia berusaha bergerak pelan-pelan, menjauh. Dia hanya ingin kabur, dia tak mau lagi diperkosa Bayang Ireng. Namun Bayang Ireng tak berniat melepaskannya begitu saja. Bayangannya kembali meringkus Sekar dan mengangkatnya lagi. Sekar dibalikkan sehingga telentang melayang, punggungnya ditopang beberapa lengan dan pinggangnya dibelit. Sekar geleng-geleng kepala selagi dia melihat lengan, bukan, lingga hitam Bayang Ireng yang berbentuk seperti mata tombak siap menusuk kembali di depan pintu liang kewanitaannya yang menganga bekas didobrak. Gelengan kepalanya adalah harapan lemah Bayang Ireng bakal mengasihaninya dan melepasnya. Tapi mata tombak itu tetap mencoblos kemaluannya. Jerit keras terdengar dari mulut Sekar selagi kepalanya tersentak ke belakang. Kedua kakinya mengacung tegak ke atas lalu jatuh lagi selagi lingga Bayang Ireng menggenjotnya tanpa ampun, keluar masuk. Namun Sekar terus merasakan juga enak ketika payudaranya dicabuli dan titik kunci dalam kewanitaannya digesek-gesek oleh kelamin besar Bayang Ireng. Sekar merasa seolah kehilangan akal menghadapi semua itu. Dalam hatinya mulai timbul keinginan untuk memohon kepada Bayang Ireng agar meremas susunya lebih keras, menusuknya makin dalam dengan lingga yang makin besar. Dia hanya bisa menjerit dan mengerang, tak kuasa melawan. Tak terpikir lagi oleh Sekar bahwa dia harus mengalahkan sang dedemit keji Bayang Ireng yang telah memperbudak temannya.
“Aaah! Ngghhh! Ahh!” Sekar merasakan sesuatu membuncah dalam dirinya. Dia tahu apa itu, dia pernah merasakannya. Meski enggan mengakuinya, perojokan Bayang Ireng mendorongnya menuju nikmat paripurna. “Ah jangan... Sebentar lagi...”
“Hm? Sebentar lagi?” Namun Bayang Ireng lebih keji daripada yang Sekar duga. Ketika sesaat lagi Sekar akan memuncaki kenikmatan, tiba-tiba lingganya mengecil dan ditarik keluar, lalu tumpuan tubuhnya dilepas. Sekar jatuh lagi ke tanah, lelah, ketakutan, dan gemas karena gagal mencapai puncak. Dia meringis, berbalik badan dan berposisi merangkak. Sekar menyadari bahwa pakaian yang melekat di tubuhnya sudah koyak-koyak, tinggal sisa-sisa kain yang menggantung. Bayang Ireng tertawa melihat mangsanya yang gelagapan, seolah berusaha merangkak pergi. Dia membiarkan Sekar bergerak beberapa langkah sebelum mengirim lagi beberapa anggota tubuhnya melejit menjerat paha dan pinggang Sekar, dan kembali menerobos kemaluan Sekar yang sudah basah tak keruan dari belakang. Dan kali ini datanglah puncak itu, Sekar merasakan ledakan dalam birahinya yang membuatnya langsung kejang-kejang dan ambruk tertelungkup selagi batang keras besar membobol kewanitaannya. Dia menjerit-jerit tak tertahan. Puncak kenikmatan melanda sekujur tubuhnya, sampai dia benar-benar lupa diri. Dia sampai tak sadar Bayang Ireng melepas seluruh cengkeramannya, membiarkan dia menggelepar di tanah menjalani puncak birahi.
Ratri |
Ketika Sekar pulih kembali, dia melihat Ratri kembali berada di dekatnya.
“Ratri...” panggilnya lemah.
“Sekar... hihihi... Kamu mau ikut aku juga jadi istri Ndoro Bayang Ireng...?” Kata-kata Ratri sungguh tak terduga.
“Ratri... pergi... aku... kita...” Banyak yang mau Sekar katakan, tapi dia tak kuat, lagipula dia bingung dengan pikirannya sendiri. Dia lalu membelalak ngeri ketika di samping Ratri muncul sosok tinggi besar hitam Bayang Ireng. Dan yang lebih membingungkannya, Ratri menoleh, mendekati Bayang Ireng, lalu memeluk dedemit itu.
“Ayo Sekar... ikutlah denganku... Ndoro Bayang Ireng bisa bikin aku merasa kenikmatan swarga...” kata Ratri sambil mencium bagian dada bayangan hitam itu. “Ndoro... jadikanlah temanku Sekar ini sundalmu... aku rela dia kau jadikan istri mudamu Ndoro...”
Bayang Ireng mendekati Sekar dan Sekar tak bisa menghindar lagi. Sekar yang berposisi masih merangkak itu dihampirinya dari belakang, lalu Sekar merasakan kegelapan meliputi dirinya. Jantungnya berdebar selagi dia menyadari seluruh tubuh Bayang Ireng mendekat ke seluruh tubuhnya. Posisi keduanya adalah posisi hewan bersetubuh, di mana si pejantan menunggangi si betina dari belakang, namun Bayang Ireng tidak hanya menunggangi, tapi malah seperti meliputinya, menelannya, memeluk seluruh tubuh Sekar dengan tubuhnya sehingga nyaris seluruh tubuh Sekar tertutup bayangan hitam, hanya kepalanya dan kedua tangannya yang masih terlihat. Di dalam bayangan itu Sekar merasakan seluruh tubuhnya dibelai, disentuh, digerayangi, dirangsang dengan segala cara. Dia hanya bisa mengeluh dalam hati, sementara bibirnya mengeluarkan desahan penuh nafsu. Satu bagian tubuh Bayang Ireng masuk ke dalam kemaluannya, lalu di dalamnya embelan itu langsung berubah menjadi lingga yang menggenjot dan mengaduk-aduk kewanitaan Sekar. Sekar juga merasakan payudaranya seperti disedot dan dikelitiki ribuan jari dan bibir yang meliputi. Tubuhnya gemetaran. Bayang Ireng berubah meliputi sekujur tubuhnya seperti baju, baju yang bisa mencabulinya. Pikiran dan tubuh Sekar segera takluk selagi dia dibuat mencapai puncak berkali-kali. Hanya Bayang Ireng dan Ratri yang bisa mendengar jerit kekalahan sang gadis pendekar.
*****
Setengah bulan kemudian
“Sekar, di manakah engkau?”
Pendekar dengan wajah tertutup kain itu mencari-cari tunangannya yang hilang ke segala penjuru, melabrak berbagai tokoh sesat yang dia anggap tahu di mana Sekar berada. Sesudah beberapa lama, dia menemukan bahwa Sekar terakhir diketahui berusaha membebaskan Ratri temannya yang diculik dedemit yang bersarang di pinggir Laut Selatan. Dan kini dia sudah berada di candi tua yang didatangi Sekar, menjelang malam. Dia menemukan pelataran candi itu diterangi empat pelita besar, membuat ribuan bayangan menari-nari mengikuti liuk cahaya api. Suasana hening namun di tengah pelataran terlihat satu sosok perempuan yang menari, seolah di sekelilingnya ada gamelan yang mengiringi. Tariannya lambat, anggun, dan mengusik birahi. Itu Sekar, tunangannya. Sekar mengenakan kain merah yang tidak rapi menutup tubuh bawahnya, sehingga sekali-sekali paha mulusnya tersingkap. Dia juga mengenakan kemben hitam yang seolah mendorong payudaranya yang montok ke atas. Rambutnya disanggul besar di belakang kepala, wajahnya dirias tebal. Andai dilihat lebih dekat, mata Sekar akan terlihat kosong. Di hadapannya berdiri satu sosok perempuan lain. Dialah Ratri. Namun Ratri berdiri tegak, diam, dan dia seolah tak mengenakan pakaian. Sekujur tubuhnya tampak ditutupi bayangan hitam, begitu pula tanah yang diinjaknya hitam kelam tertutup bayangan, biarpun berada di tengah cahaya empat pelita. Ratri berjalan dengan acuh mendekati Sekar. Pelan-pelan bayangan yang membungkus tubuhnya bergerak sendiri. Mulai muncul tonjolan-tonjolan kecil berbentuk seperti lengan, sulur, atau cambuk. Tiba-tiba, bagian-bagian bayangan itu melesat menuju Sekar. Dua langsung menjerat kedua pergelangan kaki Sekar dan dua lagi membelit lengannya. Dua lagi menarik kembennya sampai terbuka lalu melingkari kedua payudaranya. Sekar diangkat oleh lengan-lengan itu lalu didorong ke depan Ratri. Kedua pahanya direntangkan sehingga Sekar pun tersedia dalam keadaan mengangkang di depan Ratri. Dan dari bagian bayangan hitam yang berada di bawah perut Ratri muncul dua tonjolan, dua lingga yang langsung berebutan menusuki kemaluan Sekar dan membuat Sekar berteriak keenakan.
Bayangan yang membungkus Ratri pun buyar, sehingga terlihatlah bahwa Ratri memang benar-benar telanjang. Bayangan itu berubah menjadi semacam kursi yang menopang Ratri dalam keadaan mengangkang sambil mencoblos dua lubang Ratri, yang depan dan yang belakang. Yang di depan menusuknya sambil memunculkan cabang yang menggoda itil Ratri. Ratri berteriak-teriak keenakan sambil menyebut sesuatu yang terdengar seperti
“ndoro bayang ireng”. Dua perempuan dijerat bayangan raksasa di tengah pelataran candi tua itu, keduanya disetubuhi tanpa ampun, oleh dedemit sakti yang mampu berubah wujud, dan yang lebih parah, keduanya tampak menikmatinya!
Sekar dan Ratri menjerit berbarengan ketika kedua sahabat yang terjerat itu dibawa ke puncak swarga birahi oleh lingga-lingga cabul si dedemit hitam. Keduanya lalu diturunkan sehingga sama-sama duduk bersebelahan di tengah lingkaran besar bayangan hitam yang tak wajar karena mampu mengalahkan cahaya. Dan di depan mereka, di tengah lingkaran hitam itu, satu sosok seperti manusia bertubuh besar muncul seolah diangkat dari kelamnya dunia bawah tanah. Sekar dan Ratri berjalan jongkok mendekati sosok itu yang sudah mewujud lengkap seperti manusia, dengan kepala, tubuh besar, lengan-lengan besar, kaki-kaki besar, dan sepasang lagi anggota tubuh yang besar menggelantung di bawah perutnya—yang ini tidak seperti manusia. Sepasang lingga itu disodorkan kepada kedua gadis yang kini bersimpuh di hadapannya. Mereka berdua telah jatuh dalam cengkeraman Bayang Ireng, menjadi istri-istrinya, sundal-sundalnya. Keduanya mulai menggenggam dan membelai sepasang lingga kekasih mereka yang luar biasa itu, yang menjadikan mereka budak birahi dengan cara yang tak bisa dilakukan manusia awam. Satu tangan Bayang Ireng memegangi belakang kepala Ratri dan memaksa Ratri menelan batang hitam itu, sementara Sekar dengan sukarela menjulurkan lidahnya dan menjilati batang satunya. Ratri tak bisa memasukkan seluruh batang itu ke dalam mulutnya, maka dia mengelus sisa panjangnya, sementara dia berjongkok dan membiarkan bayangan di bawah dirinya mengeluarkan satu lengan yang menggoda kemaluannya. Mulutnya sesak diisi lingga raksasa Bayang Ireng.
“HUNGGGHHH!!” Bayang Ireng menggerung keras dan seram. Seluruh tubuhnya berdenyut-denyut. Sepasang batangnya muncrat, menyemburkan bibit putih cair. Mulut Ratri langsung penuh dan dia tak mampu menahan lelerannya keluar dari bibirnya, sementara wajah Sekar yang dirias langsung ternoda cipratan-cipratan putih yang menerpa tanpa henti. Sekar malah sengaja membuka mulut lebar-lebar, seolah ingin menangkap semburan bibit dedemit itu. Bau tajam menguar ke udara, namun kedua gadis itu seolah mabuk dibuatnya. Bahkan ketika semburan itu usai, keduanya masih mengisapi dan menjilati bibit yang tersisa. Keduanya telah kehilangan jati diri, tak lagi gadis-gadis priyayi terhormat, melainkan sepasang sundal yang tunduk pada birahi. Tersenyum dan tertawa-tawa keduanya, di tengah swarga hitam yang menjerat jiwa. Barulah Bayang Ireng menoleh, kedua matanya yang merah menyala itu melihat ke arah si pendekar.
“Wahai kawan. Aku tahu engkau mencari kedua gadis ini bukan? Ayo ke sini, kita nikmati mereka bareng,” undangnya.
Keris di pinggang si pendekar berkilatan ketika dia menghunusnya. Dia pun langsung melompat, menyerang Bayang Ireng, menanggapi undangan dedemit itu.
“HIAAATTT!!”
TAMAT
Diilhami sepasang teman, yang sekarang entah mereka ke mana
Langganan:
Postingan (Atom)