Seorang gadis pendekar berusaha membebaskan kawannya yang diculik dedemit sakti dengan ilmu silat hitam yang tak terduga.
Story codes
MF, MFF, mc, tent, magic, nc, rape, reluc
DISCLAIMER
- Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
- Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
- Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
- Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
- Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.
Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.
Sekar & Bayang Ireng
-Ninja Gaijin-
###################################
Sekar |
“Hiaaattt!!” Dari suaranya bisa diduga bahwa dia seorang perempuan.
Pendekar perempuan itu melompat sambil menusukkan pedang, menyerang lawannya. Sepintas pakaiannya yang terdiri atas kemben batik dan kain yang membungkus paha dan betis tampak menghalangi gerakan, namun ketika dia bergerak tersingkaplah kain itu menunjukkan bahwa di bawahnya dia mengenakan celana selutut. Pedangnya kemilau ditimpa cahaya matahari sore, tak kalah mautnya dengan tebing terjal tempat dia bertarung. Orang yang dihadapinya bertubuh sedikit lebih besar, wajahnya tak kelihatan karena kepalanya terbungkus kain dan hanya menunjukkan mata. Tapi dari tubuhnya terlihat bahwa dia laki-laki. Dia mencabut keris dan menangkis serangan si pendekar perempuan.
TRANGG!! “Hiyatt!!” “Ugh!” “Ahh!!” “Yiaaaahh!!” Jurus demi jurus, kedua pendekar itu bertarung di pinggir tebing.
Si pendekar perempuan lebih banyak menyerang, seolah hendak menghabisi lawan dengan sabetan dan tusukan pedang. Lawannya yang tak membuka wajah hanya menangkis, namun tak membiarkan satu pun serangan masuk dan melukai. Lama-lama si perempuan mulai letih dan kesal karena serangannya tidak ada yang masuk. Si laki-laki pun mulai menguasai keadaan. Dan satu salah langkah membuat pedang si perempuan terpental. Dengan cepat si laki-laki menyerbu ke arah si perempuan—sambil menjatuhkan kerisnya juga.
Si laki-laki menerkam si perempuan sehingga mereka berdua pun bergulat di tanah. Si perempuan meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tapi jurus pitingan si laki-laki tak dapat dia kalahkan. Tapi dia sempat merenggut kain penutup wajah si laki-laki. Perlawanannya baru berakhir ketika.....si laki-laki menciumnya, menggeluti bibir si perempuan dengan bibirnya. Teriakan-teriakan pertarungan berubah menjadi desahan nafsu. Si perempuan memejamkan mata dan mengerang, bukan menahan sakit, melainkan berusaha membendung birahi yang menggelora. Dia merasa lebih susah menghadapi serangan seperti ini daripada tusukan seribu pedang. Padahal si laki-laki sudah membuang senjatanya. Yang dia gunakan hanya bibirnya, dan tangannya yang sudah menggerayangi, meremas kain kemben yang menutupi payudara si perempuan dan berusaha melucuti perlindungan itu. Tapi apakah benar semua senjata telah dilepas oleh si laki-laki? Karena si perempuan masih bisa merasakan keberadaan senjata lain yang siap menusuk.
“Ahh... Kangmas... Aku... aku malu...” Mulut yang tadinya meneriakkan seruan garang kini terengah lemah, mengucap kata-kata penolakan setengah hati.
Dua musuh berubah menjadi sepasang kekasih yang bibirnya saling berpagutan, tangannya saling menjamah, tubuhnya saling belit dalam nafsu. Dan si perempuan tiada berniat menangkis ancaman “senjata tumpul” yang dia rasa mendesak berlapis-lapis kain yang menutupi bagian terlemahnya. Bagian yang apabila disentuh, akan membuat dia takluk dalam asmara. Namun apa yang dimulai ternyata tidak dituntaskan: meski sang dara sudah terlentang pasrah dengan busana terdedah, rambut tergerai, dan bibir terengah menahan gairah, pasangannya malah berdiri.
“Sekar,” kata si pendekar, “Sungguh, aku sangat ingin bercinta denganmu sekarang. Tapi aku juga menemuimu hari ini untuk menyampaikan kabar. Ayahmu memanggilku untuk ikut berlaga ke Pantai Utara melawan laskar mancanegara yang mulai bercokol di sana. Dan sebagai prajurit aku harus mematuhi sabda Panglima-ku, membantu beliau sekuat tenaga.”
Pendekar perempuan yang dipanggil Sekar itu melompat berdiri sambil cemberut.
“Kangmas tak mempedulikanku lagi, hanya mendengarkan Bapak saja? Kalau begitu sana Kangmas menikah dengan Bapak, jangan denganku.”
Calon suaminya tak menggubris. “Sekar, ini demi kepentingan yang lebih besar. Dan kamu tahu mengenai ilmu silatku... Ilmuku mengandalkan hawa murni, dan kekuatannya bisa berkurang apabila aku bercinta dulu denganmu sebelum berangkat. Jadi, aku harap kamu mau bersabar.”
Si pendekar merangkul Sekar, menyibak anak rambut di dahi Sekar yang terlepas dari gelungan, dan mengecup kening kekasihnya. “Aku janji aku akan pulang,” katanya. “Sesudahnya aku akan puaskan kamu.”
*****
Sehari sesudah kepergian calon suaminya ke medan laga, Sekar sudah berjalan-jalan lagi di tebing Laut Selatan, dari arah timur ke barat. Cuaca memburuk; awan kelabu bergulung-gulung di arah barat, seolah amukan roh-roh jahat di angkasa. Dia bosan tinggal di rumahnya. Meski rumahnya besar dan megah, Sekar sering merasa kesepian di sana. Dia kurang betah hidup sebagai putri pembesar yang mesti anggun dan sopan, dan lebih menyukai kehidupan berpetualang. Karena tak bisa bercengkrama dengan kekasihnya, Sekar bermaksud mengunjungi kawannya, Ratri, yang tinggal di satu desa di sepanjang tebing. Ratri ialah gadis desa yang seumuran dengannya, putri kepala desa. Namun ketika sampai di rumah Ratri, Sekar menemukan orang-orang yang sedang berduka.
“Huu... Den Sekar, Ratri... Ratri diculik...” Ibu Ratri mengatakan sambil menangis tersedu.
“Siapakah yang menculik Ratri, Ibu?” tanya Sekar sambil merangkul ibu Ratri.
“Den Sekar, mohon ampun, sebenarnya ini karena kami tidak melakukan tugas kami sebagai kepala desa dengan benar,” kata bapak Ratri, si kepala desa. “Desa ini telah mengalami gangguan dari sesuatu yang jahat, entah manusia atau dedemit. Sebulan ini telah dua anak gadis yang diculik dan mereka tak ada yang kembali. Dan kali ini anak kami Ratri pun menjadi korban, diculik penjahat itu.”
Sekar putri seorang panglima yang telah mengenal ilmu silat dan kanuragan sejak kecil, dan diajari sikap ksatria untuk membela yang lemah. Mendengar ada penjahat yang menculik gadis-gadis desa saja darahnya sudah mendidih, apalagi ketika dia tahu sahabatnya ikut menjadi korban.
“Bapak, Ibu, aku akan cari Ratri! Penjahat itu tak bisa dibiarkan, aku harus memberantasnya sebelum dia merajalela dan mencelakai banyak orang!”
“Duh, Den Sekar, dia seseorang yang sakti! Kami tahu di mana dia berada, dan kami sudah pernah mencoba mengusirnya, tapi kami tak mampu. Dia melukai dan membunuh orang-orang kami.”
“Tapi dia harus dibasmi! Aku yang akan menghadapinya.”
Pasangan suami-istri itu hanya bisa mengantar kepergian Sekar. Dalam hati mereka memohon supaya si pendekar putri tak bernasib seperti orang-orang lain yang mencoba melawan kekuatan jahat sakti itu.
*****
“Di sinikah tempat dia?” kata Sekar kepada dirinya sendiri.
Tadi sesudah mengambil senjata dan bersiap-siap, Sekar menuju ke tempat yang ditunjuk kepala desa sebagai sarang si penjahat. Letaknya di ujung tebing. Siapa sangka di sana, tepat di tepi laut, ada candi tua yang sebagian sudah runtuh, tak terlihat dari desa karena terhalang bebatuan besar. Sekar berdiri di bibir tebing, di atas candi itu. Sepi. Dan hampir malam. Sebenarnya Sekar memilih waktu yang salah. Dia memilih menantang kekuatan gelap pada waktu sandikala, ketika keseimbangan dunia sedang bergeser. Sekar melompat turun dan menyadari benar-benar tak ada orang di sana selain dirinya. Dia berada di pelataran candi. Ada cahaya terang di dalam candi. Sekar pun mendekati pagarnya. Dan ketika mengintip, Sekar pun melihat sasarannnya. Bersama... Ratri.
“Ratri!” Sekar menutup mulutnya dengan tangan untuk mencegah suaranya terdengar.
Sahabatnya itu telah ditemukannya, dalam keadaan bersimpuh menghadap sosok bertubuh besar yang duduk di tengah, di depan candi yang runtuh. Sekar tak jelas melihat wajah sosok itu, hanya bisa melihat tubuhnya yang besar, rambutnya yang panjang berantakan, dan kedua pahanya yang sangat besar dan panjang sehingga membuat Ratri yang berada di antara kedua paha itu tampak kecil. Apakah dia manusia? Lengannya yang panjang dan hitam tampak menyentuh kepala Ratri. Cahaya yang Sekar lihat berasal dari empat pelita yang menyala di sekeliling sosok itu. Terlihatlah oleh Sekar bahwa keadaan Ratri justru tidak seperti yang diperkirakannya. Ratri terlihat dalam keadaan cantik, dengan rambut digelung berhias melati, wajah dirias, dan mengenakan kemben dan kain bagus. Dan satu lagi yang dilihat Sekar: tangan di kepala Ratri mendorong kepala Ratri makin dekat ke selangkangan sosok itu. Ratri dengan patuh membuka mulut mendekati suatu tonjolan yang panjang besar dan hitam, dan memasukkan tonjolan itu ke dalam mulutnya. Tiba-tiba pelita bergoyang sehingga bayangan yang timbul karenanya berubah. Sekar terkejut ketika sebagian bayangan itu mengenai dirinya: rasanya seperti disentuh! Mendadak si hitam menengok ke arahnya, dan Sekar pun bisa melihat sepasang mata yang menyala merah.
Bayang Ireng |
“Sungguh tak sopan!” teriak si hitam. “Mengintip seperti itu, apa maumu hah?”
Sekar melompati pagar candi dan maju menyerang si hitam, langsung menghunus pedang. Tapi terjadi sesuatu yang aneh. Bayangan si hitam bergerak melilit pergelangan kakinya! Ilmu apa ini?! Sekar langsung melejit ke atas berusaha menghindar untuk menerjang dari atas. Langkah salah! Dalam langit yang menggelap, serangan si hitam malah susah dilihat. Tiba-tiba rambut si hitam memanjang jadi bayangan yang melesat ke arah Sekar di udara.Pinggang Sekar diincarnya. Sekar terbelit! Gadis itu menjerit ketika ditarik mendekat ke si hitam. Sekar belum menyerah, dalam keadaan ditarik mendekat itu dia berusaha mencari peluang.
“Hiaaattt!!” jeritnya selagi berusaha menebas bayangan si hitam yang menariknya.
“HUMH?” Si hitam menggerung ketika bayangannya tertebas.
Sekar mendarat dan langsung pasang kuda-kuda.
“Siapa kau! Lepaskan segera temanku Ratri!” tantang Sekar.
Musuhnya tampak seperti sosok gelap di tengah cahaya pelita, hanya sepasang mata merah yang menonjol di tubuh besarnya yang serba hitam. Sekar menduga-duga kesaktian macam apa yang dimiliki musuhnya. Sepertinya ilmunya berkaitan dengan bayangan. Sekar memikirkan siasat untuk melumpuhkan ilmu itu.
“Hmm hee hee hee hee hee,” si hitam tertawa, suaranya seram dan dalam.
“Den ayu, sebut aku Bayang Ireng. Si cantik ini temanmu? Hm, engkau pun tak kalah cantik. Daripada dia kulepaskan, bagaimana kalau kau saja yang ikut denganku? Kalian jadi pengantinku dua-duanya. Yang ini istri tua, kau istri muda. Kalian mau kan? Hee hee hee hee hee...”
Tiba-tiba Sekar mendengar Ratri mengerang.
“Ummmhhh!!” Suara Ratri teredam karena mulutnya penuh mengulum satu anggota tubuh Bayang Ireng.
“Dedemit! Kau apakan Ratri!!” seru Sekar sambil mengacungkan pedang.
Dari dekat, dia kini bisa melihat bahwa di sekeliling tubuh Ratri ada belitan sesuatu yang terlihat seperti tali tambang hitam tebal. Dan “tambang” itu berhubungan dengan tubuh Bayang Ireng, seperti bayangan yang menyerangnya tadi. Ujung tambang itu nampak lenyap di... bokong Ratri.
“Aahh!! Hah...! HAHH!!” Ratri akhirnya bisa membuka mulut dengan lega karena apapun yang dia kulum itu keluar dari mulutnya,namun dia terengah, suaranya awalnya seperti kesakitan namun kemudian terdengar keenakan.
Wajah cantiknya mendongak, lehernya tegang, dan seluruh tubuhnya bergetar.
“Ratri... Ratri! Kenapa kamu!! Bajingan, awas kamu!” Sekar menerjang, tak tahu Ratri sedang diapakan.
Tapi mendadak bayangan Bayang Ireng muncul lagi seperti cambuk berukuran raksasa, cepat sekali menyabet Sekar yang sedang maju menerjang.
“Hyahh!” Sekar tak bisa menghindari sabetan itu, dia terpental sampai terguling-guling. Sekar bangkit dan mendapati dirinya malah berada makin dekat ke Ratri. Dan dia melihat temannya dalam keadaan aneh.
Wajah Ratri tersenyum menganga lebar sampai memperlihatkan gigi, matanya kosong seperti tanpa jiwa. Dari bibirnya mengalir cairan putih kental. Ratri tidak kelihatan kesakitan, tapi malah merasakan enak. Dia tak peduli Sekar ada di depannya. Sekar berusaha meraihnya. Tapi sebelum Sekar berhasil, dia merasakan leher dan tubuhnya dililit!
“Den ayu, engkau maukah merasa apa yang dirasa istri tuaku?” Bayang Ireng kembali berkata, suaranya tetap seram namun kini bernada mempermainkan. “Perempuan yang kujadikan istriku bisa merasa seperti di swargaloka. Dan tidak mau lagi dengan kenikmatan dunia yang tiada berarti ini. Bagaimana? Hummm?”
Sekar meronta selagi lengan, atau anggota tubuh, atau bayangan, atau entah apa yang digunakan Bayang Ireng untuk membelitnya menariknya ke atas, membuat dirinya tak lagi menapak tanah. Dia merasakan seperti lawannya memiliki banyak lengan yang bisa memanjang dan membelit seperti ular, namun ujung lengan-lengan itu bisa menggenggam. Dan dia merasakan sekujur tubuhnya digerayangi! Di atas pahanya, salah satu lengan mencengkeram kain dan menarik...BREETT!! Kain penutup pahanya terobek!
“Ahh!! Lepaskan!!”
Lengan Sekar sendiri masih bebas dan masih memegang pedang. Dia langsung menebas putus bagian bayangan Bayang Ireng yang merobek kainnya, tapi tak ayal kainnya terobek sehingga paha, betis, sampai kaki tersingkap. Sekar memekik malu, karena sungguh tak pantas tubuh seorang perempuan terlihat.
“Hahaha... mulus nian pahamu den ayu, sungguh sayang kalau dibungkus? Aku ingin mengelus-elusnya.”
Bayang Ireng langsung mencuatkan lagi satu lengan dari bayangannya, membelit kaki Sekar yang tersingkap dengan erat. Sekar bergidik, seluruh lengan Bayang Ireng itu ternyata bisa meraba-rabanya, dan menggesek sekujur paha dan betisnya. Ujungnya berbentuk tumpul dan kini menyentuh-nyentuh cawat penutup kemaluannya.
“Jangan kurang ajar dedemit, rasakan ini, hiaaattt!!”
Sekar berusaha melepaskan diri lagi, dia merentangkan tubuh ke belakang, melengkungkan punggung sambil menebas. Genggaman di kakinya tidak begitu kuat meski melekat erat sehingga Sekar mampu berjungkirbalik dan kembali menebas Bayang Ireng. Ketika lengan yang membelit paha Sekar terputus dari bayangan utama, Bayang Ireng menjerit kaget. Rupanya dia bisa merasa sakit kalau bayangannya dilukai. Sekar dengan cepat memapas bagian-bagian lain yang mengikatnya, sehingga dia berhasil bebas, namun karena posisinya tadi terangkat di udara dia pun jatuh. Berkat latihan kanuragannya Sekar bisa jatuh dalam posisi kuda-kuda. Namun dia jatuh di bagian tanah yang hitam... tepat di tengah bayangan utama Bayang Ireng.
“Hoooo... HO HA HA HA HAA!!” Bayang Ireng tertawa seram selagi memunculkan banyak tonjolan dari bayangannya di sekeliling Sekar.
Sekar berusaha kabur tapi tanpa diduga muncul lagi satu tonjolan kokoh, tepat di bawahnya, seperti tinju yang tepat menohok ulu hati si gadis pendekar.
DHUAKK!! “Ahhh!!” Keras sekali pukulan itu sampai-sampai tubuh Sekar terpelanting ke belakang dan dia telentang. Sekar pun kelenger karena serangan dahsyat itu. Dia terkapar dan tak langsung bisa bangun.
Bayang Ireng muncul di hadapan Sekar. Dedemit itu berdiri di depannya, mengangkangi tubuhnya.
“Den ayu, sungguh cantik parasmu,” puji Bayang Ireng. “Sayang engkau berkelakuan seperti laki-laki, bertarung dan berteriak-teriak. Lebih baik engkau jadi istriku, gundikku, seperti temanmu itu. Mau kan?”
“Ukh... jangan bercanda kau... tak sudi!” Sekar berusaha menolak.
Dia ingin bangun tapi selain mengangkanginya, rupanya Bayang Ireng juga menggunakan bayangan untuk mengikat pinggangnya ke tanah.
“Aku Bayang Ireng, biasa menaklukkan dan membunuh orang, kecuali perempuan cantik,” katanya. Dan Sekar melihat Ratri berdiri di sebelah Bayang Ireng. Ratri lalu bersimpuh di sampingnya.
“Ratri! Ratri!” Sekar memanggilnya. Ratri mendekat, mengelusnya. Pandangan kosong Ratri membuat Sekar ngeri. Bibir merah Ratri terkatup namun terus mendekati Sekar... dan tiba-tiba...
“Mmmhh??” Ratri mencium bibir Sekar, memaksa mulut Sekar membuka. Dan ketika itu juga Ratri meludahkan cairan yang disimpan dalam mulutnya ke dalam mulut Sekar.
Itu cairan yang Sekar kira berasal dari anggota badan Bayang Ireng yang dikulum Ratri! Ratri terus mencium tanpa melepas, mencegah upaya Sekar memuntahkan apa yang diludahkannya. Sekar terpaksa menelannya. Barulah Ratri melepas bibir Sekar.
“Engkau sudah menelan bibitku, den ayu... bibitku bisa mengubah perempuan yang menelannya menjadi sundalku...” Bayang Ireng menjelaskan, selagi Ratri bersimpuh di sampingnya dan mengelus pahanya.
Lengan-lengan muncul lagi dan mencengkeram tepi kemben Sekar. Dan dengan segera kemben itu direnggut sambil dirobek. Payudara indah Sekar pun terlihat di bawah cahaya pelita. Lengan-lengan Bayang Ireng langsung pindah meremasi keduanya.
“Hm, tubuhmu sungguh indah den ayu, payudaramu bagus, pasti engkau telah dipelihara untuk kelak dijadikan persembahan bagi seorang raja atau pangeran bukan?” goda Bayang Ireng. Sekar meringis merasakan bayangan Bayang Ireng membentuk jari-jari yang meremas daging susunya dan lidah-lidah yang menyentil pentil-pentilnya. “Kembenmu terlalu ketat membebat susumu, mari kubebaskan, rasakan nikmatnya, den ayu!”
Sekar sebenarnya tidak amat lugu, Kangmas-nya sudah pernah menyentuh-nyentuh susunya. Namun apa yang dia rasakan saat itu berbeda. Payudaranya jadi jauh lebih peka. Sekar merasa enak sekaligus ngeri karena sentuhan Bayang Ireng terasa jauh lebih merangsang daripada jamahan tunangannya yang pernah dia rasa. Itu pasti karena cairan bibit yang dicekokkan Ratri tadi, pikirnya.
“Ah... ah... jangan...” Sekar menolak lemah, ketika pentilnya menanggapi rangsangan dengan menjadi tegang dan keras.
“Lihat penthilmu ngaceng, den ayu,” goda Bayang Ireng.
“Lepaskan aku... dedemit busuk!” maki Sekar tak berdaya. “Eh? AAHHN!! Sekar menjerit kaget ketika kedua pentilnya ditarik jauh.
“Hahaha... Ada apa, den ayu? Jeritanmu sungguh nikmat! Sukakah kalau susumu direnggut seperti itu?” kata Bayang Ireng.
“Tidak... AH!” Sekar kembali menjerit ketika payudaranya diremas keras. Pentilnya terus dimain-mainkan, ditowel-towel.
“Jangan pura-pura, den ayu. Penthilmu tambah kencang.”
Sekar belingsatan ketika tubuhnya berkhianat, payudaranya menikmati dilecehkan oleh dedemit hitam itu dan mulutnya terus mengerang nikmat. Sekali-sekali mulutnya ingat menolak tapi sisa tubuhnya seolah tak lagi punya keinginan melawan. Oh, enak sekali ketika payudaranya dimain-mainkan seperti itu! Tidak, tidak boleh kalah dengan jamahan dedemit busuk ini! Bayang Ireng mengamati wajah Sekar yang kacau, antara ingin menolak dan menyerah lalu menikmati. Sambil dia mulai menggarap bagian baru: bokong Sekar yang berada di atas bayangannya, dia gerayangi juga. Satu bagian bayangannya mencuat di depan selangkangan Sekar lalu langsung meraba. Masih ada halangan kain dan cawat. Itu pun disingkirkan. Ilmu Bayang Ireng yang membuatnya bisa memiliki banyak sekali anggota badan itu membuat Sekar jadi bulan-bulanan. Gadis pendekar itu merasakan kainnya dilepas dan cawatnya direnggut sampai koyak. Dan terasa sesuatu menyelip di bibir kemaluannya... mulai menggoda itilnya.
Itu bukan sentuhan yang baru bagi Sekar. Meski belum resmi menjadi seorang istri, Sekar sudah pernah mencicip sanggama bersama Kangmas-nya, si pendekar dengan wajah tertutup kain. Dan dia pernah merasakan puncak kenikmatan yang diberikan lelakinya. Jadi dia sedikit-sedikit tahu apa yang akan terjadi. Dan itu tak dia harapkan. Gesekan-gesekan lengan Bayang Ireng di itilnya mulai membuatnya basah. Apalagi payudaranya digenggam erat. Yang ditakutkannya terjadi juga...
“Ah... AHAA!! AHAHNN!!”
Akhirnya masuk juga anggota tubuh Bayang Ireng ke kewanitaan Sekar. Bayangan yang kini berperan jadi lingga itu awalnya kecil, namun lantas membesar dan memanjang; Bayang Ireng bisa mengatur ukuran dan bentuk anggota tubuh semaunya. Lalu berbagai cabang bayangan lain ikut bermain. Sekar merasakan tubuhnya diangkat sehingga dia berposisi seperti berdiri tegak, namun dengan kaki merentang, dan tidak menapak tanah; lengan-lengan Bayang Ireng menopang sekaligus mengikatnya, menggantungnya sekaligus mengendalikan tubuhnya seperti wayang. Bayang Ireng berada di depannya dengan satu anggota tubuh mencuat dari selangkangannya masuk ke lubang kemaluannya. Sekar lalu menjerit ketika dia merasa seluruh tubuhnya digenggam erat oleh banyak lengan dan dipaksa bergerak naik turun menancap di lingga Bayang Ireng. Kemaluannya, seluruh tubuhnya, dipaksa menjadi pemuas Bayang Ireng. Kadang dia dinaikturunkan cepat, kadang lambat. Yang lebih parah, Bayang Ireng bisa semaunya mengubah ukuran dan bentuk bagian tubuh yang menusuk Sekar. Sekar menjerit ketika lingga dedemit itu memanjang hingga mendesak rahimnya, atau membesar hingga merentang kemaluannya, atau mencuatkan tonjolan-tonjolan yang menggesek dinding kemaluannya. Sekali-sekali lingga itu mengecil, membuat Sekar lega sebentar, tapi kelegaan itu selalu langsung dihancurkan ketika kemaluannya kembali didesak benda yang kembali memanjang keras. Sekali-sekali dia diangkat sampai lepas dari tombak hidup itu, hanya untuk dihunjam keras-keras beberapa saat kemudian. Jerit-jerit Sekar membahana selagi dia terus disiksa. Akhirnya, Bayang Ireng melepasnya.
Sekar yang capek sekali ambruk ke tanah. Dia berusaha bergerak pelan-pelan, menjauh. Dia hanya ingin kabur, dia tak mau lagi diperkosa Bayang Ireng. Namun Bayang Ireng tak berniat melepaskannya begitu saja. Bayangannya kembali meringkus Sekar dan mengangkatnya lagi. Sekar dibalikkan sehingga telentang melayang, punggungnya ditopang beberapa lengan dan pinggangnya dibelit. Sekar geleng-geleng kepala selagi dia melihat lengan, bukan, lingga hitam Bayang Ireng yang berbentuk seperti mata tombak siap menusuk kembali di depan pintu liang kewanitaannya yang menganga bekas didobrak. Gelengan kepalanya adalah harapan lemah Bayang Ireng bakal mengasihaninya dan melepasnya. Tapi mata tombak itu tetap mencoblos kemaluannya. Jerit keras terdengar dari mulut Sekar selagi kepalanya tersentak ke belakang. Kedua kakinya mengacung tegak ke atas lalu jatuh lagi selagi lingga Bayang Ireng menggenjotnya tanpa ampun, keluar masuk. Namun Sekar terus merasakan juga enak ketika payudaranya dicabuli dan titik kunci dalam kewanitaannya digesek-gesek oleh kelamin besar Bayang Ireng. Sekar merasa seolah kehilangan akal menghadapi semua itu. Dalam hatinya mulai timbul keinginan untuk memohon kepada Bayang Ireng agar meremas susunya lebih keras, menusuknya makin dalam dengan lingga yang makin besar. Dia hanya bisa menjerit dan mengerang, tak kuasa melawan. Tak terpikir lagi oleh Sekar bahwa dia harus mengalahkan sang dedemit keji Bayang Ireng yang telah memperbudak temannya.
“Aaah! Ngghhh! Ahh!” Sekar merasakan sesuatu membuncah dalam dirinya. Dia tahu apa itu, dia pernah merasakannya. Meski enggan mengakuinya, perojokan Bayang Ireng mendorongnya menuju nikmat paripurna. “Ah jangan... Sebentar lagi...”
“Hm? Sebentar lagi?” Namun Bayang Ireng lebih keji daripada yang Sekar duga. Ketika sesaat lagi Sekar akan memuncaki kenikmatan, tiba-tiba lingganya mengecil dan ditarik keluar, lalu tumpuan tubuhnya dilepas. Sekar jatuh lagi ke tanah, lelah, ketakutan, dan gemas karena gagal mencapai puncak. Dia meringis, berbalik badan dan berposisi merangkak. Sekar menyadari bahwa pakaian yang melekat di tubuhnya sudah koyak-koyak, tinggal sisa-sisa kain yang menggantung. Bayang Ireng tertawa melihat mangsanya yang gelagapan, seolah berusaha merangkak pergi. Dia membiarkan Sekar bergerak beberapa langkah sebelum mengirim lagi beberapa anggota tubuhnya melejit menjerat paha dan pinggang Sekar, dan kembali menerobos kemaluan Sekar yang sudah basah tak keruan dari belakang. Dan kali ini datanglah puncak itu, Sekar merasakan ledakan dalam birahinya yang membuatnya langsung kejang-kejang dan ambruk tertelungkup selagi batang keras besar membobol kewanitaannya. Dia menjerit-jerit tak tertahan. Puncak kenikmatan melanda sekujur tubuhnya, sampai dia benar-benar lupa diri. Dia sampai tak sadar Bayang Ireng melepas seluruh cengkeramannya, membiarkan dia menggelepar di tanah menjalani puncak birahi.
Ratri |
Ketika Sekar pulih kembali, dia melihat Ratri kembali berada di dekatnya.
“Ratri...” panggilnya lemah.
“Sekar... hihihi... Kamu mau ikut aku juga jadi istri Ndoro Bayang Ireng...?” Kata-kata Ratri sungguh tak terduga.
“Ratri... pergi... aku... kita...” Banyak yang mau Sekar katakan, tapi dia tak kuat, lagipula dia bingung dengan pikirannya sendiri. Dia lalu membelalak ngeri ketika di samping Ratri muncul sosok tinggi besar hitam Bayang Ireng. Dan yang lebih membingungkannya, Ratri menoleh, mendekati Bayang Ireng, lalu memeluk dedemit itu.
“Ayo Sekar... ikutlah denganku... Ndoro Bayang Ireng bisa bikin aku merasa kenikmatan swarga...” kata Ratri sambil mencium bagian dada bayangan hitam itu. “Ndoro... jadikanlah temanku Sekar ini sundalmu... aku rela dia kau jadikan istri mudamu Ndoro...”
Bayang Ireng mendekati Sekar dan Sekar tak bisa menghindar lagi. Sekar yang berposisi masih merangkak itu dihampirinya dari belakang, lalu Sekar merasakan kegelapan meliputi dirinya. Jantungnya berdebar selagi dia menyadari seluruh tubuh Bayang Ireng mendekat ke seluruh tubuhnya. Posisi keduanya adalah posisi hewan bersetubuh, di mana si pejantan menunggangi si betina dari belakang, namun Bayang Ireng tidak hanya menunggangi, tapi malah seperti meliputinya, menelannya, memeluk seluruh tubuh Sekar dengan tubuhnya sehingga nyaris seluruh tubuh Sekar tertutup bayangan hitam, hanya kepalanya dan kedua tangannya yang masih terlihat. Di dalam bayangan itu Sekar merasakan seluruh tubuhnya dibelai, disentuh, digerayangi, dirangsang dengan segala cara. Dia hanya bisa mengeluh dalam hati, sementara bibirnya mengeluarkan desahan penuh nafsu. Satu bagian tubuh Bayang Ireng masuk ke dalam kemaluannya, lalu di dalamnya embelan itu langsung berubah menjadi lingga yang menggenjot dan mengaduk-aduk kewanitaan Sekar. Sekar juga merasakan payudaranya seperti disedot dan dikelitiki ribuan jari dan bibir yang meliputi. Tubuhnya gemetaran. Bayang Ireng berubah meliputi sekujur tubuhnya seperti baju, baju yang bisa mencabulinya. Pikiran dan tubuh Sekar segera takluk selagi dia dibuat mencapai puncak berkali-kali. Hanya Bayang Ireng dan Ratri yang bisa mendengar jerit kekalahan sang gadis pendekar.
*****
Setengah bulan kemudian
“Sekar, di manakah engkau?”
Pendekar dengan wajah tertutup kain itu mencari-cari tunangannya yang hilang ke segala penjuru, melabrak berbagai tokoh sesat yang dia anggap tahu di mana Sekar berada. Sesudah beberapa lama, dia menemukan bahwa Sekar terakhir diketahui berusaha membebaskan Ratri temannya yang diculik dedemit yang bersarang di pinggir Laut Selatan. Dan kini dia sudah berada di candi tua yang didatangi Sekar, menjelang malam. Dia menemukan pelataran candi itu diterangi empat pelita besar, membuat ribuan bayangan menari-nari mengikuti liuk cahaya api. Suasana hening namun di tengah pelataran terlihat satu sosok perempuan yang menari, seolah di sekelilingnya ada gamelan yang mengiringi. Tariannya lambat, anggun, dan mengusik birahi. Itu Sekar, tunangannya. Sekar mengenakan kain merah yang tidak rapi menutup tubuh bawahnya, sehingga sekali-sekali paha mulusnya tersingkap. Dia juga mengenakan kemben hitam yang seolah mendorong payudaranya yang montok ke atas. Rambutnya disanggul besar di belakang kepala, wajahnya dirias tebal. Andai dilihat lebih dekat, mata Sekar akan terlihat kosong. Di hadapannya berdiri satu sosok perempuan lain. Dialah Ratri. Namun Ratri berdiri tegak, diam, dan dia seolah tak mengenakan pakaian. Sekujur tubuhnya tampak ditutupi bayangan hitam, begitu pula tanah yang diinjaknya hitam kelam tertutup bayangan, biarpun berada di tengah cahaya empat pelita. Ratri berjalan dengan acuh mendekati Sekar. Pelan-pelan bayangan yang membungkus tubuhnya bergerak sendiri. Mulai muncul tonjolan-tonjolan kecil berbentuk seperti lengan, sulur, atau cambuk. Tiba-tiba, bagian-bagian bayangan itu melesat menuju Sekar. Dua langsung menjerat kedua pergelangan kaki Sekar dan dua lagi membelit lengannya. Dua lagi menarik kembennya sampai terbuka lalu melingkari kedua payudaranya. Sekar diangkat oleh lengan-lengan itu lalu didorong ke depan Ratri. Kedua pahanya direntangkan sehingga Sekar pun tersedia dalam keadaan mengangkang di depan Ratri. Dan dari bagian bayangan hitam yang berada di bawah perut Ratri muncul dua tonjolan, dua lingga yang langsung berebutan menusuki kemaluan Sekar dan membuat Sekar berteriak keenakan.
Bayangan yang membungkus Ratri pun buyar, sehingga terlihatlah bahwa Ratri memang benar-benar telanjang. Bayangan itu berubah menjadi semacam kursi yang menopang Ratri dalam keadaan mengangkang sambil mencoblos dua lubang Ratri, yang depan dan yang belakang. Yang di depan menusuknya sambil memunculkan cabang yang menggoda itil Ratri. Ratri berteriak-teriak keenakan sambil menyebut sesuatu yang terdengar seperti
“ndoro bayang ireng”. Dua perempuan dijerat bayangan raksasa di tengah pelataran candi tua itu, keduanya disetubuhi tanpa ampun, oleh dedemit sakti yang mampu berubah wujud, dan yang lebih parah, keduanya tampak menikmatinya!
Sekar dan Ratri menjerit berbarengan ketika kedua sahabat yang terjerat itu dibawa ke puncak swarga birahi oleh lingga-lingga cabul si dedemit hitam. Keduanya lalu diturunkan sehingga sama-sama duduk bersebelahan di tengah lingkaran besar bayangan hitam yang tak wajar karena mampu mengalahkan cahaya. Dan di depan mereka, di tengah lingkaran hitam itu, satu sosok seperti manusia bertubuh besar muncul seolah diangkat dari kelamnya dunia bawah tanah. Sekar dan Ratri berjalan jongkok mendekati sosok itu yang sudah mewujud lengkap seperti manusia, dengan kepala, tubuh besar, lengan-lengan besar, kaki-kaki besar, dan sepasang lagi anggota tubuh yang besar menggelantung di bawah perutnya—yang ini tidak seperti manusia. Sepasang lingga itu disodorkan kepada kedua gadis yang kini bersimpuh di hadapannya. Mereka berdua telah jatuh dalam cengkeraman Bayang Ireng, menjadi istri-istrinya, sundal-sundalnya. Keduanya mulai menggenggam dan membelai sepasang lingga kekasih mereka yang luar biasa itu, yang menjadikan mereka budak birahi dengan cara yang tak bisa dilakukan manusia awam. Satu tangan Bayang Ireng memegangi belakang kepala Ratri dan memaksa Ratri menelan batang hitam itu, sementara Sekar dengan sukarela menjulurkan lidahnya dan menjilati batang satunya. Ratri tak bisa memasukkan seluruh batang itu ke dalam mulutnya, maka dia mengelus sisa panjangnya, sementara dia berjongkok dan membiarkan bayangan di bawah dirinya mengeluarkan satu lengan yang menggoda kemaluannya. Mulutnya sesak diisi lingga raksasa Bayang Ireng.
“HUNGGGHHH!!” Bayang Ireng menggerung keras dan seram. Seluruh tubuhnya berdenyut-denyut. Sepasang batangnya muncrat, menyemburkan bibit putih cair. Mulut Ratri langsung penuh dan dia tak mampu menahan lelerannya keluar dari bibirnya, sementara wajah Sekar yang dirias langsung ternoda cipratan-cipratan putih yang menerpa tanpa henti. Sekar malah sengaja membuka mulut lebar-lebar, seolah ingin menangkap semburan bibit dedemit itu. Bau tajam menguar ke udara, namun kedua gadis itu seolah mabuk dibuatnya. Bahkan ketika semburan itu usai, keduanya masih mengisapi dan menjilati bibit yang tersisa. Keduanya telah kehilangan jati diri, tak lagi gadis-gadis priyayi terhormat, melainkan sepasang sundal yang tunduk pada birahi. Tersenyum dan tertawa-tawa keduanya, di tengah swarga hitam yang menjerat jiwa. Barulah Bayang Ireng menoleh, kedua matanya yang merah menyala itu melihat ke arah si pendekar.
“Wahai kawan. Aku tahu engkau mencari kedua gadis ini bukan? Ayo ke sini, kita nikmati mereka bareng,” undangnya.
Keris di pinggang si pendekar berkilatan ketika dia menghunusnya. Dia pun langsung melompat, menyerang Bayang Ireng, menanggapi undangan dedemit itu.
“HIAAATTT!!”
TAMAT
Diilhami sepasang teman, yang sekarang entah mereka ke mana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar