Jumat, 31 Januari 2014

Demi Tugas

SINOPSIS
Seorang polwan ditugaskan menyamar untuk menyusup ke dalam sindikat prostitusi kelas tinggi. Namun misinya tak se-sederhana yang diduga.

Story codes
MF, M+/F, FF, MFF, M+/FF, anal, bd, b-mod, cr, dp, tort

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu.  Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan. 
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.


Demi Tugas
Ninja Gaijin & Pimp Lord

#######################################

“Siapa dia?” tanya wanita itu pada seorang lelaki bertubuh tegap di sampingnya yang membungkukkan wajahnya hingga telinganya bisa mendengar dengan jelas pertanyaan sang wanita, demi meningkahi dentuman beat music yang bergelora di dalam nightclub itu.
“Namanya Irina ma’am, terakhir bekerja sebagai sekretaris di perusahaan tambang batubara.”
“Sumbermu bisa dipercaya?” tanya wanita itu lagi.
Lelaki itu mengangguk pasti, “Tukang koran yang kita taruh di sana yang memastikannya.”
“Lalu alasan dia keluar?”
“Expat yang memelihara dia keluar dari perusahaan itu, kembali ke negaranya. Sementara gadis itu bukan favorit di perusahaan itu, banyak yang cemburu karena kedekatannya dengan expat yang memang jadi rebutan.”
“Jadi sekarang dia sedang melampiaskan kekesalannya….” Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya
“Dan juga mencari sumber pemasukan lain,” kata lelaki bertubuh tegap itu.
“Dia tidak dapat apa-apa dari expat itu?”
“Sepertinya hubungan mereka baru saja mulai waktu si expat memutuskan pulang ke negaranya. Dan dia mulai kesulitan untuk kembali hidup seperti sebelum expat itu menyimpannya.”
“Perfect…” kata wanita itu sambil bangkit dari duduknya dan mendekati Irina yang duduk di depan bar, memandangi Bloody Mary yang berada di hadapannya. Irina sama sekali tidak tertarik dengan wanita yang sekarang duduk di bangku di sampingnya.
“Vodka Double on rocks,” pesan wanita itu, lalu dia duduk berbalik ke arah kerumunan, wajahnya cerah ketika ia melihat seorang expat berumur datang menghampirinya.
“Hi, dear. How are you doing?” kata pria itu kepada si wanita sambil keduanya bercium pipi kiri dan kanan.
“Been a long time, babe…” kata wanita itu, mempersilakan si expat berdiri di antara dirinya dan Irina. Irina sedikit beringsut memberi tempat pada pria pertengahan empatpuluhan dengan wajah biasa saja dan berperut sedikit tambun itu, yang kemudian memesan minuman untuk dirinya.
Irina sesekali mengerling ke dua orang yang kini bercengkrama itu, antara sedikit terganggu dan tak peduli.

“Ah, where’s my manners,” kata wanita itu sambil menegakkan punggungnya dan melihat ke arah Irina. “Albert, this is my friend…” katanya.
Irina tertegun, ia tak menyangka wanita itu mengenalkannya pada Albert bagai seorang kawan lama, namun ia tak mau dianggap tidak sopan hingga ia menyambut uluran tangan Albert.
“Irina,” jawabnya singkat.
“A lovely name,” kata Albert.
“Lovely as the lady herself isn’t she?”
Irina sedikit jengah, wanita yang tak dikenalnya ini mempelakukannya bagai seonggok daging tanpa perasaan yang bisa dilempar begitu saja. Namun ia tak bergerak untuk melempar minumannya, menampar wanita itu atau hal lainnya…. Ia hanya berdiam diri, ia merasa kalau wanita itu dapat membaca permasalahan keuangannya.
Memang demikian ceritanya, ketika seorang bos expat dulu memelihara dirinya, ia tak pernah merasa kekurangan, namun setelah lelaki itu pergi, gaji sebagai seorang sekretaris ternyata jauh dari mencukupi gaya hidupnya yang sudah berubah.
“But is the lovely lady willing to accompany me to make my gloomy night turn bright?” tanya pria itu sambil matanya erat menatap mata sang gadis.
Wanita itu menatap ke arah Irina, menanti….lengan halus Irina menyentuh dagu sang expat, mengusap pipi lelaki itu, lalu ke belakang kepalanya, menariknya halus dan….wanita itu tersenyum melihat Irina ber-French kiss ria dengan Albert.
“Until we meet again my dear,” kata lelaki itu sambil menggamit pinggang Nisa setelah sebelumnya meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu sebagai pembayar minuman dan tip untuk bartender yang tersenyum sangat lebar.

>>>>
Irina mengikuti sang pria masuk ke dalam kamar hotel, memeluknya dari belakang lalu menciumi tengkuknya, lehernya. Albert berbalik, tangannya meremasi payudara sekal Irina, pahanya, pinggulnya, dan bermain nakal di selangkangannya. Sambil mereka berdua menghentak lepas sepatu yang mereka kenakan. Irina mengetahui nafsu sang pria yang mulai menggelegak, dan ia tau kalau lelaki ini tak mau menunggu lebih lama maka ia tak melakukan trick para pelacur, ia tak meminta waktu untuk ke kamar mandi. Ia membiarkan lelaki itu mengangkat backless nightdress yang dikenakannya sementara ia melepaskan kemeja penuh keringat dan bau dari tubuh sang expat.
Ia membiarkan sang lelaki merenggut bra dan underwear-nya, sementara ia melepaskan gesper, lalu meloloskan celana tiga perempat yang digunakan pria itu lalu bersimpuh di hadapan selangkangan sang expat, lalu dengan giginya ia menurunkan celana dalam sang expat, dan kemudian ia merasakan remasan di kepala dan rambutnya seiring makin masuknya penis sang expat ke dalam kerongkongannya.

>>>>>
Irina menghembuskan rokoknya sambil berdiri di balkon apartment mewah itu, berbalut sprai yang menutupi ketelanjangan tubuhnya. Ia memandang ke arah gelap malam, ke arah lampu-lampu yang menunjukkan kalau metropolitan belum lagi terlelap. Lalu ia masuk ke dalam, mengenakan pakaiannya lagi dan merapikan seadanya, mengambil uang yang memang ditujukan sebagai tip atas pelayanannya yang kini membuat sang expat tertidur dengan tenang, dengan seulas senyum tersungging di bibir keriputnya. Perlahan Irina menutup pintu kamar hotel itu dan melangkah sedikit terhuyung di koridor menuju lift. Ia mengambil smartphonenya dan mengirim sebuah pesan…
Irina tak memperdulikan pandangan mesum, melecehkan dan bernafsu para sekuriti, cleaning service dan beberapa pekerja hotel. Toh kenyataannya ia kini memang telah resmi menjadi wanita pemuas. Ia terus berjalan keluar dari lobi dan menuju ke arah gerbang di mana taksi biasanya berkumpul, namun belum lama ia berjalan sebuah sedan mewah berhenti di sampingnya. Irina menengok arah kursi belakang, dan ia melihat wanita yang telah menjual dirinya duduk dengan anggun di sana. Irina lalu membuka pintu dan masuk, duduk di sebelah sang wanita, dan mobilpun kembali melaju menuju tempat yang disebutkan Irina. Irina merasa sangat lelah. Ia pun lalu menyandarkan kepalanya ke bahu sang wanita yang mengusap lembut kepala sang gadis, seakan ingin menghiburnya. Si wanita dapat merasakan kelelahan mental dan beban moral yang dialami gadis di sampingnya , sebagaimana dirinya alami dahulu ketika pertama kali ia menjual tubuhnya kepada lelaki. Namun itulah harga yang harus dibayar sang gadis untuk kehidupan mewah yang dijalaninya. Di depan gerbang sebuah kos-kosan mewah mobil itu berhenti. Wanita itu meminta smartphone Irina, mengetikkan nomornya dan menyerahkannya kembali pada Irina. Gadis itu lalu melangkar ke luar kendaraan dan tanpa menoleh ke belakang ia masuk ke dalam kamar kos-kosan itu. Sepanjang perjalanannya menuju kamar sayup-sayup ia bisa mendengar deru persetubuhan dari beberapa kamar, erangan lirih, dengus nafas yang memburu dan desah kepuasan. Ia mencoba menulikan telinganya dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Irina melempar dompetnya sembarangan, lalu memandang ke arah cermin. Ia memandang wajahnya, maskaranya yang sedikit luntur… Emosinya mengelegak, ia merobek nightgown-nya merenggut putus bra dan panty yang dikenakannya. Dengan terisak ia masuk ke dalam shower, lalu mengambil body scrub dan dengan terisak berusaha menyikat tubuhnya dengan keras seakan mencoba menghilangkan aroma sang expat dari tubuhnya, berkumur dan menelan air mentah shower, seakan mau menghilangkan aroma bibir, liur, sperma dan rasa kelat anus sang expat yang ia puaskan beberapa jam tadi dengan lidahnya. Ia menggosok, menggosok dan terus menggosok, Irina terisak, ia bersandar pada dinding shower, menggelosor ke lantai dingin. Ia menaikkan kedua lututnya rapat ke dada dan menangis sejadinya.

>>>>
Pria setengah baya itu terbangun dari tidurnya, getar telepon di sampingnya membangunkan dia untuk kali kedua malam ini. Ia duduk di samping ranjang empuknya dan membaca pesan yang tertulis di layar dan mendesah. Ia bangkit menuju meja kerjanya yang memang diletakkan di kamarnya yang mewah itu. Ia mengambil sebuah berkas dan menyalakan sebatang cerutu.
Pria itu lalu mengangkat intercom, “n’Duk, tolong bawakan aku kopi.”
Ia lalu kembali melihat pesan di layar itu dan memandang ke arah berkas di hadapannya. Pesan kedua yang diterimanya meyakinkan dirinya kalau roda sudah mulai berputar. Ia sadar kalau ia akan kehilangan cukup banyak, namun hal ini harus terjadi atau ia sendiri akan terkena dampaknya. Lebih baik ia kehilangan banyak, namun pada akhirnya ia akan memperoleh lebih banyak lagi. Ia lalu mengambil berkas itu dan membukanya. Ia tak pernah salah memilih orang, ia memiliki indra keenam untuk hal seperti itu, dan semenjak ia melihat gadis itu ketika ia diundang koleganya untuk menghadiri upacara penerimaan anggota baru, ia sudah tau kalau gadis itu akan memiliki segalanya yang ia butuhkan untuk menjalankan tugas seperti ini. Pria itu meletakkan berkas ketika mendengar pintu kamarnya dibuka. Seorang gadis muda berpenampilan manis dan lugu masuk membawa nampan dengan secangkir kopi yang mengepul. Dengan sopan gadis itu meletakkan kopi di meja sang lelaki,
“Silahkan nDoro.”
Lelaki itu menatap sang gadis yang menunduk salah tingkah, ia tak pernah salah menilai dan memilih orang.
“nDuk, malam ini kamu temani aku, ya…”
Gadis itu mengangguk malu, “Baik nDoro…” katanya sambil meloloskan dasternya, menampakkan tubuh sempurna seorang gadis muda yang telanjang dan menantang.
Gadis itu lalu bersimpuh di hadapan sang pria, menyibakkan kimono sang pria dan mulai memanjakan kelelakian sang pria yang perlahan mulai tegak mengacung. Ya, ia tak pernah salah dalam menilai orang…Lagipula, apalah salahnya ia menikmati hidupnya seperti ini, sama seperti istrinya menikmati hidupnya  sendiri, terlebih seperti saat ini ketika sang nyonya dan beberapa temannya sedang “studi banding” ke negara lain, dan berdasarkan informasi ajudan dari teman istrinya yang sudah ia beli, ia tau kalau selama “studi banding” itu, istrinya juga menjajal penis-penis gigolo muda di negara itu.
Ia menghembuskan cerutunya, merengkuh sang gadis, mengajaknya ke tempat tidur, dan menggumulinya dengan bernafsu….
Kopi itu menjadi dingin… sama sekali tak tersentuh…

*****
BEBERAPA WAKTU LALU

“Bisa lihat wajahnya dengan jelas?” tanya seorang perwira polisi ke seorang polisi wanita yang duduk di depannya mengintip laptop di atas meja.
Mereka berdua sedang memandangi foto yang kelihatannya diambil dengan kamera rahasia karena agak buram dan goyang. Foto itu menampilkan beberapa orang perempuan duduk di sofa di ruangan temaram. Satu yang di tengah terlihat berpenampilan “ramai”, mengenakan kimono pendek bermotif belang zebra dengan tepi merah, rambutnya digerai. Wajahnya kurang jelas.
“Siap komandan, kurang jelas di foto ini,” kata si polwan.
“Oke, kalau begitu lihat yang ini.” Si polwan menggumam melihat foto seorang komedian terkenal merangkul perempuan yang di tengah tadi, dengan wajah lebih jelas. Wajahnya putih dan cantik. Perempuan itu juga memakai kimono, dengan corak berbeda. Rambut hitamnya diikat menjadi konde kecil di belakang kepalanya.
“Lebih jelas. Dia ini suka banget pakai kimono ya?” tanya si polwan santai, seolah sedang membahasnya bersama teman arisan.
“Mungkin disesuaikan dengan identitas yang dia pakai dalam pekerjaannya, memang kejepang-jepangan kan? ‘Madame Ryoko’. Nama aslinya Faria Rosalin, tapi sepanjang kariernya dia sudah banyak dikenal dengan nama lain. Umur 35 tahun.”
“Kelihatan lebih muda,” celetuk si polwan.
“Dia pintar jaga penampilan,” sambung si komandan. “Dia sudah jadi target operasi sesudah penggerebekan beberapa bulan lalu yang menangkap beberapa anak buahnya. Tapi kita belum tahu seperti apa operasi dia, seberapa besar dan luas.”
Si komandan berhenti sejenak lalu memandangi si polwan. “Saya tahu kamu sukses di penugasan kemarin, hasilnya kan kita bisa tangkap sejumlah teroris dan ungkap jaringan mereka. Makanya saya percaya kemampuan kamu. Lagian untuk tugas seperti ini, tidak ada lagi yang cocok dalam kesatuan kita selain kamu. Saya bisa kasih anggaran besar dan back up lumayan buat siapapun yang bisa masuk dan bongkar operasi dia, tapi setelah saya pikir-pikir cuma kamu yang bisa masuk ke sana.”
Si polwan menghela nafas. “Tapi… apa saya harus…”
Komandannya tiba-tiba berkata keras dan tegas. “Kamu ingat sumpah yang diucapkan ketika pertama kali masuk kesatuan ini? Saya perintahkan sebut isinya.”
“Siap komandan!” balas si polwan dengan tegas juga. Lalu dia mengulang sumpah itu lagi. Termasuk “melaksanakan dinas dengan penuh pengabdian dan kesadaran” dan “mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan sendiri, orang, atau golongan.”
“Bagus. Saya senang kamu ingat,” kata si komandan. “Ipda Juanisa, silakan meninggalkan ruangan, besok harap melapor ke saya ke lokasi yang sudah ditentukan dalam keadaan siap beroperasi, instruksinya ada dalam amplop ini dan segala perlengkapan akan disediakan.”
“Siap komandan!” Polwan itu, Ipda Juanisa, yang biasa dipanggil Nisa, memberi hormat.

****
Beberapa hari kemudian…
Juanisa

Ipda Nisa berusaha untuk menahan perasaannya ketika dia melihat wajahnya sendiri di cermin dalam kamar satu kos-kosan mewah yang menjadi pangkalan operasinya untuk misi yang diberikan kepadanya. Beda sekali dengan tugas sebelumnya, ketika dia diperintahkan menyamar dengan menutup seluruh tubuh dan wajahnya dengan pakaian panjang agar bisa menjadi istri muda seorang pemimpin kelompok kepercayaan yang akhirnya ditewaskan satuan elite dalam penyergapan anti teroris. Publik cuma melihat dirinya digiring keluar rumah yang ditembaki tanpa melihat wajahnya maupun sadar mengenai perannya menjebak si pemimpin berikut anak buahnya di rumah itu. Setidaknya dalam tugas itu wajahnya tak dilihat siapapun kecuali orang-orang yang sekarang sudah masuk kuburan. Di tugas sebelumnya lagi, dia memang berpenampilan beda lagi, lebih mirip dengan yang sekarang, tapi dia sekadar dijadikan umpan menjebak pengedar narkotika. Dia melihat betapa wajahnya berubah. Tapi bagaimanapun, lebih baik dia menyamar dengan wujud agak jauh dari wajah aslinya. Secara psikologis dia merasa itu lebih baik daripada perannya mempengaruhi dirinya sendiri. Menjaga jarak antara samaran dan kehidupan nyata itu perlu. Jeda beberapa bulan sejak tugas terakhir menjadi masa persiapan untuk tugas baru Nisa. Tugas terakhir yang membuatnya menutup tubuh terus itu sempat membuat kulitnya pucat; kesempatan berlatih di luar ruang mengembalikan warna kulit Nisa ke yang semula. Dan itu agak disesali oleh Nisa sendiri karena kulit aslinya berwarna kecoklatan. Tubuhnya pun sudah kembali kencang sesudah kurang gerak selama berbulan-bulan pada penyamaran sebelumnya. Dan dia bisa menumbuhkan rambutnya cukup panjang. Polwan biasa sesuai peraturan harus berambut pendek, tapi itu tidak berlaku bagi mereka yang bertugas penyamaran seperti Nisa. Baru saja komandannya meninggalkan kamar kos yang cukup besar itu. Nisa telah diinstruksikan berada di lokasi itu, yang ternyata adalah pangkalannya. Di dalam kamar kos itu ada kamar mandi sendiri, ranjang king size, meja rias besar dengan cermin, dan lemari penuh pakaian dan barang-barang, “perlengkapan misi”. Kamar itu cukup mewah meski terkesan meriah, dengan kertas dinding berwarna merah bercorak emas dan lampu bercahaya lembut di dinding. Ketika Nisa datang dan melihat komandannya ada di dalam kamar itu, sesudah si komandan mengunci pintu, Nisa langsung dimarahi.
“Ipda Juanisa. Apa yang saya perintahkan kemarin waktu briefing di kantor saya?” hardiknya
“Siap Komandan! Saya diperintahkan melapor ke lokasi yang sudah ditentukan, kamar kos ini,” jawab Nisa tegas.
“Dalam keadaan apa?”
“Siap Komandan! Dalam keadaan siap operasi.”
“Terus kenapa kamu pakai pakaian biasa?”
“Siap Komandan! Sesuai standar operasi penyamaran, saya sesuaikan penampilan saya.”
“Kamu tau apa tugas kamu?”
“Siap Komandan! Infiltrasi jaringan prostitusi Ryoko dengan penyamaran…”
“Dengan penyamaran jadi apa?”
“…”
“Jawab saya Ipda Nisa! Jadi apa kamu?”
“Siap Komandan! Menyamar jadi calon pekerja seks komersial yang berusaha jadi anak buah Ryoko!” kata Nisa, agak tercekat.
“Bahasamu tuh, kayak wartawan saja. Nah, sekarang kamu sudah mirip belum sama PSK?”
Nisa terdiam sejenak, dia memang hanya memakai pakaian biasa, kemeja putih dan celana panjang hitam. Tanpa dia sempat menjelaskan, si komandan langsung memerintahkan. “Kamu tampangnya masih terlalu bersih. Saya akan kirim orang untuk bantu ubah penampilan kamu. Saya tinggal dulu dan kalau saya balik, saya mau kamu sudah persiapkan penampilan untuk penyamaran.”

*****
Sesudah komandan pergi, Nisa membuka lemari dan melihat meja rias. Penuh dengan kosmetik dan baju-baju seksi. Tak lama kemudian pintu kosnya diketuk seseorang. Si komandan balik lagi bersama seorang perempuan bertubuh montok yang membawa tas besar.
“Nisa, ini Widya, dia akan bantu kamu. Widya, tolong kamu bantu Nisa ini untuk pekerjaannya. Oke? Saya tinggal lagi.”
Beberapa jam kemudian polwan itu telah diubah penampilannya oleh Widya “sesuai dengan tugas”. Rambut Nisa yang panjang diwarnai kecoklatan dan dibuat rada bergelombang, gaya rambut terbaru yang sedang diminati. Alisnya yang tebal makin menonjol sesudah wajahnya dibuat lebih cerah dengan foundation dan bedak. Dari lemari Widya memilihkan rok hitam pendek, atasan ketat merah, stoking gelap yang menutup paha, dan high heels warna emas. Sesudahnya Widya menelepon seseorang, lalu pergi. Sambil menunggu Nisa mempelajari kamar kos mewah itu lebih lanjut. Ada juga televisi LED besar dengan DVD player yang ditempel di dinding, dikelilingi set rak. Dia geleng-geleng kepala melihat di rak itu tertumpuk buku, majalah, dan DVD—semuanya berisi materi erotika atau pornografi.
“Ini buat apa?” pikirnya.
Dia sedang membuka-buka satu majalah ketika pintu kamar dibuka lagi, kali ini oleh komandannya. Laki-laki itu langsung nyengir ketika mendapati Nisa dengan majalah laki-laki dewasa di tangannya.
“Nah, ini sudah pas,” kata si komandan. “Kamu biasakan dirilah sama samaran ini, biar bisa lancar. Ini saya bawakan berkas-berkas yang ada hubungannya dengan tugas kamu.” Si komandan menyodorkan map. Nisa menerima dan membuka-bukanya, melihat dokumen biodata beberapa orang.
“Ini salah satu orang kepercayaan Ryoko,” kata komandan menunjuk foto seorang laki-laki. “Menurut sumber, dia bisa jadi pintu masuk karena salah satu tugasnya adalah mencari atau menerima orang baru. Kita sudah tahu dia biasanya ada di mana. Kamu bisa temui dia di tempat-tempat ini.” Komandan menunjuk sederetan nama restoran dan hotel yang tertulis. “Tugas kamu, yakinkan dia supaya kamu bisa masuk.”
“Siap, komandan.” Kali ini jawaban Nisa tertahan, tidak setegas sebelumnya, selagi dia memperhatikan mata si komandan tak lepas-lepas menatapnya, dan si komandan tersenyum.
 “Kamu sudah siapkan skenario latar belakang?”
“Siap komandan, sudah...” jawab Nisa.
“Jelaskan ke saya.”
“Siap komandan. Saya jadi Irina, mantan sekretaris di perusahaan asing. Baru dipecat jadi em... butuh penghasilan tambahan. Makanya saya mau kerja seperti itu.”
“Hmm...” gumam si komandan sambil berpikir sebentar, “Kurang rinci. Ini saya tambahkan. Kamu jadi Irina, masih jadi sekretaris di perusahaan asing. Tadinya kamu jadi simpanan bosnya yang orang bule, terus si bos pulang ke negaranya. Lalu kamu merasa penghasilan berkurang, makanya butuh tambahan. Kamu dapat info soal mereka dari kolega bisnis yang memang tugasnya entertain orang.”
“...” Nisa tak bicara, ceritanya ditambahi jadi lebih berbumbu oleh si komandan.
“Kamu mesti tau bahwa Ryoko tidak sembarangan ngambil anak buah. Dia bukan germo kelas bawah yang menipu anak gadis di kampung buat dijual di kota. Ya, mungkin dia pernah atau masih juga begitu sih, dengar-dengar jaringannya menyediakan buat semua pangsa pasar—itu nanti kamu cari tau saja. Yang jelas banyak anak buahnya itu high class, dan punya profesi utama bukan pelacur: mahasiswi, sekretaris, perawat, atau malah istri orang yang dicuekin suami. Kamu bisa tangkap kan tipe seperti apa mereka.”
Si komandan menambahkan, “Skenario tadi sudah dari kasus lain yang kita bahas itu kan? Kamu masuk ke perusahaan target kita, sekalian bongkar kasus pajak si Mister Walker itu, sesudahnya baru masuk ke penugasan utama ini.”
“Siap komandan, saya mengerti.”
“Baik. Kamu pakai smartphone dan nomor ini untuk komunikasi langsung dengan saya. Saya butuh totalitas kamu, Nisa. Cuma kamu yang bisa melakukan tugas ini,” kata si komandan sambil menggenggam kedua tangan Nisa.

*****
Sepeninggal si komandan, sekali lagi Nisa memandangi wajahnya di cermin. Dia mendesah, memanyunkan bibirnya yang diwarnai merah darah sambil menyisiri rambutnya yang coklat. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia memang perlu berpenampilan seperti pelacur jika dia mau menyamar jadi pelacur. Dia mencoba tersenyum. Wajah dengan riasan tebal di cermin tersenyum balik kepadanya, senyuman yang terkesan nakal.
“Semuanya akan baik-baik saja, Nisa,” Nisa membatin. “Aku akan masuk ke jaringan itu, dapatkan bukti untuk membongkarnya, lalu kembali jadi Nisa yang biasa.”
Sambil membatin, dia menepuk pistol kecil yang terselip di pinggangnya. Benda yang mengingatkan dia bahwa dia adalah aparat hukum yang berhak sekaligus wajib berusaha membasmi kejahatan demi masyarakat. Yang kini harus ia simpan di lemari penyimpanan khusus dalam tempat tinggalnya agar tidak menimbulkan kecurigaan korbannya.
“Aku bisa jaga diri...” bisiknya kepada dirinya sendiri.

*****
Itu terjadi beberapa bulan lalu, ketika demi benar-benar bisa melkukan infiltrasi kedalam jaringan Ryoko yang terkenal ketat itu dan atas persetujuan dan arahan sang komandan, Nisa benar-benar melamar ke salah satu perusahaan asing, berhasil menggoda sang expat, Mr Walker bos perusahaan tersebut  dengan elegan sehingga Mr Walker menjadikannya simpanan.
Masa-masa itu sebenarnya sedikit dinikmati Nisa, di mana ia bisa memiliki banyak hal yang dengan gaji polisinya tentunya tak bisa ia nikmati.  Dan juga kenikmatan ragawi dengan sang expat yang benar-benar dinikmatinya. Mr Walker membuatnya mengalami petualangan seks yang tentunya belum pernah ia rasakan. Sang expat mengajarinya gaya-gaya baru dalam bercinta, mengeksplorasi dan mengeksploitasi seksualitas dengan vulgar…
Dan kenangan itu kembali menjadi muram ketika sebagai tahap berikutnya ia membeberkan penggelapan pajak yang dilakukan sang expat secara anonim hingga lelaki yang telah memberikannya kenikmatan itu dideportasi.
Kini dirinya tak perlu berpura-pura lagi, ia benar-benar merasakan kekurangan. Ia benar-benar frustasi… dan Ryoko benar-benar mendekatinya.

*****
Suatu malam.

Nisa merapatkan jaket yang dipakainya selagi dia berjalan menyusuri jalan ramai di kawasan “lampu merah” kota menuju satu restoran Jepang di tengahnya. Tempat itu biasanya baru ramai menjelang sore, mobil-mobil mulai parkir memenuhi sisi jalan, hampir semuanya berisi laki-laki yang lantas menghilang di balik pintu-pintu karaoke, panti pijat, dan hotel yang bertebaran di kanan-kiri jalan. Tak seperti di tempat lain, kawasan itu memenuhi kebutuhan pasar menengah sehingga relatif tertutup. Hampir semua tempat hiburan di sana tidak berjendela di depan, hanya pintu-pintu dengan papan nama serta iklan-iklan minuman keras, tak memberi pemandangan mengenai transaksi-transaksi di dalamnya. Seorang laki-laki bermata sipit yang berjalan terhuyung mendekati Nisa dan berusaha memeluknya. Nisa menghindar sehingga si sipit tersungkur ambruk ke trotoar. Dia memaki-maki dalam bahasa Jepang. Rupanya seorang pebisnis ekspat yang kebanyakan minum sake? Dua orang Jepang lain keluar dari pintu di dekat tempat Nisa berada, lalu menolong si pebisnis yang terjatuh untuk berdiri. Pintu itulah yang dituju Nisa. Di samping pintunya ada lentera dan papan nama bertuliskan “Kiiro”. Nisa masuk, melewati bagian depan yang ternyata terang benderang, memasuki ruang luas yang penuh asap rokok berbagai merek. Dia celingukan mencari sasaran.
Seorang waitress mendekati, sambil memandangi Nisa.
“Ada yang bisa saya bantu?” kata si pelayan.

“Saya ada janji dengan Pak Eddy, beliau katanya ada di sini?” Nisa menyebut orang yang dicarinya sambil memperhatikan seragam si pelayan yang terkesan seksi.
“Saya tanya dulu ya,” kata si pelayan, yang pergi ke ujung ruangan. Nisa melihat si pelayan masuk ke dalam satu ruangan tertutup, lalu keluar lagi membawa seorang laki-laki gemuk. Bukan, bukan orang ini. Si pelayan lantas pergi sesudah si gemuk berhadapan dengan Nisa.
“Pak Eddy lagi ada urusan penting, dan gak ada janji dengan siapa-siapa. Titip nama dan nomor telepon aja ke saya, nanti tunggu dihubungi,” kata si gemuk ketus.
Ditolak, Nisa tak menyerah begitu saja. Dan dia memperhatikan sesuatu: si gemuk cuma pasang tampang ketus tapi matanya jelalatan memperhatikan penampilan. Sesuai perkiraan. Di sinilah keahlian menyamarnya diuji. Dan ujian pertamanya adalah melewati orang ini, yang dia duga adalah pengawal atau ajudan sasarannya.
“Tolong, saya perlu ketemu Pak Eddy,” pinta Nisa. “Urusan bisnis.”
“Bisnis? Maaf, kami lagi nggak tertarik. Titip nama dan nomor saja...” tampik si gendut
“Ada yang mau saya kasih lihat dia, saya yakin dia pasti berminat,” Nisa terus mendorong, sambil memain-mainkan kancing jaketnya. “Atau mau lihat dulu?”
Tanpa menunggu jawaban, Nisa membuka jaketnya, mengungkap belahan dada yang terbungkus kaos kemben ketat di balik jaket itu. Satu tangannya lagi bergerak menggerayangi selangkangan si gemuk. Nisa bisa merasakan wajahnya memanas; andai cahaya di dalam ruang itu lebih terang, pasti si gemuk sudah melihat wajahnya berubah merah karena menahan malu.
“Ini yang ditawarin? Pak Eddy gak sembarangan nerima orang,” si gemuk berusaha mengendalikan diri.
Nisa memandang tajam ke arah lelaki gemuk itu. Keteguhannya sedang diuji, karena kini ia berada di depan banyak orang yang keluar-masuk restoran dan dapat melihat dirinya sedang menghancurkan lapis demi lapis harga diri demi melaksanakan tugas. Tugas dari sang komandan dan dari “employer” barunya, Ryoko. Dua tugas berbeda namun saling berkaitan.

Maka kini dengan mematikan rasa malunya, Nisa menelusupkan tangan ke balik celana si gemuk dan mulai memanjakan kelelakian si gemuk yang mengeras, sementara tangannya yang lain membimbing tangan gemuk berminyak sang lelaki untuk menelusup ke balik rok span yang ia pakai, dan membiarkan tangan itu menikmati gundukan yang menjadi incaran lelaki, yang tak tertutup apa-apa lagi, termasuk rambut kemaluan. Lelaki gemuk itu tersenyum penuh kemenangan ketika Nisa mendekatkan bibir merah ke telinganya dan berbisik,
“Kamu boleh cobain tubuhku sesukamu sesudah urusan dengan Pak Eddy selesai.”
Lelaki itu lalu menggiring Nisa menuju ruangan VIP di restaurant itu, Ia meminta Nisa untuk menanti di depan pintu geser itu sambil dirinya sendiri masuk ke dalam menemui Tuan Eddy yang sedang menikmati hidangan bersama beberapa rekan.
Tuan Eddy mengangguk kepada ajudannya yang gemuk itu, “Suruh masuk, kami sudah tunggu dia.”
Seluruh ruangan mendadak tertegun ketika ajudan gemuk itu membuka pintu geser. Nisa langsung masuk dan begitu pintu geser ditutup lagi Nisa telah menanggalkan seluruh pakaiannya hingga tak ada sehelai benangpun yang menutupi kepolosan tubuhnya. Rambutnya yang tadi tergerai kini digelung ke belakang dan sepasang sumpit telah tertancap di gelung rambutnya, menyangga rambut lebatnya dengan indah. Nisa bersimpuh di depan pintu, lalu membungkuk memberi hormat pada para tamu yang telah menantinya di dalam ruang makan itu. Dengan sensual ia melangkah mengikuti panggilan Tuan Eddy.  Seluruh tamu mengagumi keindahan tubuh Nisa yang memiliki definisi otot yang jelas, tubuhnya begitu terawat bersih dengan payudara montok menantang walaupun tidak terlalu besar, dihiasi puting yang tak terlalu menonjol namun indah, pinggul yang indah, dan area vagina yang bersih terawat. Tuan Eddy tersenyum lebar, begitu puas dengan gadis yang dijanjikan Ryoko kepadanya. Tubuh di hadapannya begitu menggairahkan, setiap gerak tubuhnya, liukan pinggulnya begitu menggugah kelelakiannya, bahkan ketika dengan gerak sensual gadis itu merebahkan diri ke atas meja, dan berbaring di sana, sedikit menggeliat dan kemudian dengan satu helaan nafas sensual, berdiam diri membiarkan dirinya menjadi bagian hiburan bagi para lelaki yang jelas menimati persembahan dirinya itu. Nisa bisa merasakan sumpit-sumpit itu bergetar ketika menjepit lauk yang ditata sedmikian rapi di atas tubuh telanjangnya. Ia bisa merasakan liur para lelaki yang menetes bukan karena nikmatnya makanan yang berbaring lembut menutupi kulit kencangnya, jakun yang naik turun bukan karena menelan makanan. Ia merasakan hanya rasa gengsi yang masih membuat para lelaki itu tidak bergegas menerkam dirinya, menyetubuhinya, bahkan memperkosanya.

Kini makanan sudah selesai berpindah diri ke dalam perut para lelaki yang juga mulai mabuk karena pengaruh cairan ragi beras yang lebih dikenal dengan nama sake itu, dengan tertib Nisa bangkit dari atas meja lalu bersimpuh di ujung meja, berdiam dengan patuh sementara para lelaki berdiskusi tentang kontrak suplai bahan makanan yang bisa menyebakan pundi kantong mereka makin tebal sementara rakyat kecil semakin tercekik. Nisa merasa kalau dirinya dijadikan sebagai pengalih perhatian, di mana Tuan Eddy menjadi pihak yang sangat memerlukan deal ini, dan ia mengetahui kelemahan para lelaki yang dengan tergesa menyetujui semua syarat yang diajukan oleh dirinya karena sudah sangat ingin mengeluarkan benih kelelakian mereka ke dalam lubang kenikmatan seorang wanita yang kini berdiam diri, bersimpuh menahan dinginnya air conditioner dalam ruang privat itu.
Dan ketika tanda tangan telah dibubuhkan, Tuan Eddy bangkit dengan anggun, lalu melangkah menuju pintu geser dan berkata, “Selamat menikmati”
Dan ketika pintu tertutup, tiga lelaki kelaparan itu segera menerjang Nisa, tak ada lagi rasa malu, jengah atau risih, mereka serempak menggerayangi tubuh sekal Nisa, mencium, mencubit, meremas hingga payudara, buah pinggul dan buah pantat Nisa memerah. Mereka begitu buas mengaduk vagina dan lubang anus nisa dengan jari-jari mereka yang tak bercuci, dan baru saja menandatangani kontrak yang bisa membuat jutaan rakyat negeri ini menjerit. Dan mereka juga menuntut pemuasan dari Nisa, mereka menuntut Nisa untuk memuaskan kelelakian mereka yang menggelegak, mereka meminta gadis itu untuk memberikan servis berupa mandi kucing pada tubuh berkeringat mereka, menuntunnya menjilati ketiak, lipatan paha, jemari kaki yang bau, lubang pembuangan mereka, dan tentu saja memberikan kehangatan menyeluruh pada penis mereka yang artinya hidung indah sang gadis harus bersentuhan dengan perut bawah para lelaki yang rata-rata buncit itu, bersemayam di rimbunnya bulu kemaluan mereka yang tak terawat, dan tenggorokannya harus merusaha keras untuk mengatur gag reflex demi menelan utuh batang-batang penis yang sebenarnya tak terlalu keras itu. Ketiga lelaki itu tak menyadari kalau dari balik celah pintu pantry sebuah camcorder beresolusi tinggi berdengung pelan merekam adegan threeways yang sedang mereka lakukan pada tubuh sekal Nisa, mereka hanya tahu penis mereka bergantian menimati vagina, anus dan mulut sang gadis yang nampak pasrah secara sensual mengimbangi nafsu liar mereka. Mereka sama sekali tak menyadari kalau lelaki gemuk yang tadi mengantar Nisa ke dalam ruangan itu kini sedang tersenyum penuh kemenangan. Nisa tergeletak lemah, di tatami ruang makan itu, tubuhnya begitu sakit, letih dan lemah setelah dihajar habis-habisan oleh para lelaki yang baru saja pergi meninggalkan tubuhnya begitu saja bagai seonggok daging tanpa nyawa, bahkan bagai sebuah kain kumal yang dibuang begitu saja setelah dipakai utuk memuaskan mereka.
Ia mencoba bangkit untuk menuju kamar mandi ketika lelaki gemuk itu masuk ke dalam ruangan, lalu dengan kasar menjambak rambutnya yang kini kusut masai dan membantingnya ke atas meja makan hingga terlentang sementara kepalanya terjuntai di ujung meja. Mata Nisa nanar menadang lelaki yang kemudian membuka celana manampakkan kelelakiannya yang tegak bagaikan tonggak kayu itu dan kemudian mendekatinya. Telinganya yang tertutup sperma samar mendengar ucapan sang lelaki “Aku tagih janjimu…”, dan kembali gadis yang sudah kelelahan itu harus berjuang menarik nafas ketika sang lelaki gemuk menyetubuhi mulutnya dalam posisi kepala terjuntai sehingga penis kerasnya dengan leluasa masuk dan merojok jauh sampai tenggorokan sementara payudaranya begitu sakit karena remasan brutal tangan gemuk sang lelaki seakan ingin merenggut bukit keindahannya itu.….
Dan itu adalah permulaannya….

Para pelayan wanita merasaa kasihan melihat tubuh Nisa tertatih, terhuyung meninggalkan restoran itu. Mereka tahu betapa buasnya para tamu yang tadi menikmati pelayanan dari sang gadis, dan mereka juga tahu betapa buas dan kasarnya lelaki gemuk bodyguard Tuan Eddy yang tadi menikmati tubuh letih sang gadis yang kini menghilang dari balik pintu restoran ke dalam gelap malam.

+++
Mata sang gadis mengabur antara letih dan air mata serta semprotan sperma yang tak tuntas dibersihkannya ketika ia tiba di tempat tinggalnya, ia memandang huruf-huruf yang tak jelas yang terpampang di layar smartphone yang ia genggam dengan tangan bergetar….
“Ah masa bodoh….” Batinnya lelah…. Nisa melempar smartphone itu ke atas kasur, melepas pakaiannya yang kusut itu serampangan, lalu tanpa merasa harus membersihkan tubuhnya, ia menjatuhkan tubuh telanjangnya yang kini penuh cupangan, tanda remasan, dan lapisan tipis kerak sperma ke atas kasur dan langsung terlelap. Masuk ke alam tidur yang tak bermimpi.

***
“Sudah sampai mana?”
“Dia lagi ngetes saya. Sudah ada dua kali ujian. Nanti malam yang ketiga.”
“Seperti apa ujiannya?”
“…”
“Harap jelaskan, Ipda Nisa.”
“Tes pertama, saya diminta menemani seorang expat di hotel.”
“Menemani?”
“…Tidur sama bule itu.”
“Dibayar?”
“Iya…”
“Berapa?”
“Sejuta.”
“Bagaimana membayarnya? Cash ke kamu langsung? Atau transfer ke dia?”
“Kalau transfer ke dia saya nggak lihat, tapi saya dikasih tip sejuta cash sama bule itu.”
“Oke. Jadi harga kamu sejuta ya.”
“…”
“Yang kedua gimana?”
“Saya disuruh layanin 3 orang di satu restoran Jepang.”
“Seperti apa, tolong dijelaskan dengan lengkap.”
“…Naked sushi… terus digilir sama tiga orang itu.”
“Berarti dipake sama tiga-tiganya ya. Siapa mereka?”
“Yang nanggap pengusaha, namanya Eddy. Tapi dia tidak ikutan. Tiga orang itu kalau nggak salah pejabat… yang satunya mungkin orang politik. Saya tidak tahu pasti. Susah mengenalinya.”
“Mereka bikin kamu sibuk banget ya. Jadi yang ketiga apa?”
“Ada pembukaan hotel baru… dia ikut terlibat di entertain-nya.”
“Oke. Teruskan penyelidikan kamu. Semoga berhasil, Nisa.”
Nisa menaruh smartphone sesudah sang komandan menutup pembicaraan. Malam itu dia akan kembali bertugas untuk Ryoko. Dan di kamar kosnya sudah ada Widya yang siap membuatnya kembali menjadi “Irina”. Widya bekerja di salon tak jauh dari sana, dia sudah dibuat bisa menjaga rahasia oleh sang komandan. Nisa sebenarnya penasaran perempuan macam apa yang biasa Widya layani di salon itu, karena riasannya selalu berkonsep “nakal”, tak pernah natural atau anggun.
Malam itu dia diminta datang oleh Ryoko ke pesta pembukaan satu hotel yang berkonsep hiburan malam. Poster acara itu yang dikirim Ryoko ke smartphone-nya menyebut nama banyak artis dan DJ sebagai bintang tamu. Nisa membuka-buka lagi SMS-SMS Ryoko selagi Widya mengubah warna sambutnya menjadi pirang. Ryoko memintanya untuk tampil menyolok; Nisa memperkirakan suasana pesta akan temaram jadi dia berusaha membuat penampilannya segemerlap mungkin.
Ketika sudah selesai, Widya kembali ke tempat kerjanya; tak lama kemudian Ryoko mengirim SMS lagi memberitahu dia sudah ada di luar, menjemput. Nisa pergi; Irina keluar kamar kos dan masuk ke mobil SUV berwarna silver berkaca gelap yang berhenti di depan rumah kosnya.

Bersambung...
By: Ninja Gaijin& Pimp Lord

Liburan Birahi 8: The Game III


Zuraida
“Mang,, tempat gamenya pindah ya?,, kemana?,,” tanya Aida, berjalan beriringan dengan Arga.
“Iya buu,, kita pindah ke sana, tempatnya lebih rindang, adem,,,” Mang oyik tampak kerepotan membawa beberapa balon yang tertiup angin, meski sudah diisi dengan air beberapa gelas air, balon itu tetap saja bergerak liar saat disapa angin yang lebih kencang.
 Di depan Mang Oyik tampak rombongan Bu Sofie yang berjalan lebih dulu menuju tempat yang dimaksud. Wanita bertubuh super montok itu menggelendot manja di lengan Pak Prabu. Tertawa menanggapi banyolan yang dilontarkan oleh Dako dan yang lainnya.
“Buuu,,, tolong tangkepin tu balon Buu,,,” tiba-tiba Mang Oyik yang berusaha secepatnya tiba di tempat yang dituju, berseru pada Aida yang berjalan agak tertatih.
Aida berusaha menangkap, tapi langkahnya tertahan. Menjepit erat pahanya, seperti menahan sesuatu.
“Kenapa Bu,, koq jalannya gitu,,,hehehee,,” goda Arga.
“Ihhh,, kamu ini, udah nyemprotnya paling banyak, masih aja berlagak gak tau,,, banjir banget niiihhhh,,,”
“Hahahaaa,, masa tadi ga dikeluarin dulu sih,,”
“Mana sempat,,, Bu Sofie keburu teriak-teriak suruh kita ngumpul,, Duuuhhh,, gmana ni Gaa,,, banyak banget,,”
“Udah,, biarin aja Bu,, ntar juga kering dicelana, kalo ibu jalan kaya gitu malah ngundang perhatian suami ibu lhoo,,”
Apa yang diucapkan Arga ada benarnya, Aida berusaha berjalan senormal mungkin, tapi rembesan cairan yang mengalir membuat dinding vaginanya terasa geli.
“Iiihhh,,, sialaaaan,, kenapa tadi mesti buang didalam sih,,,” Aida mulai ngedumel, tangannya berpegangan dilengan Arga, berharap dapat membantu agar jalannya bisa sedikit lebih normal.
 “Kenapa kita tidak pakai ATV aja sih,, kayanya jauh nih jalannya,,,”
 Arga mengangkat kedua pundaknya, sebagai jawaban tidak tau. “Yang depan jalan kaki, ya kita jalan kaki juga,,,”
Tanpa disadari Arga, beberapa langkah di belakangnya, Zuraida menatap dirinya dengan pikiran yang kacau. Bukan lagi karena cemburu, tapi karena dihantui rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap.
“All is well,,,” gumamnya pelan. Menguatkan hati yang masih terombang-ambing, layaknya gadis belia yang tengah mencari jati diri.
“Hai Bu Dokter,,, gimana istirahatnya, udah cukup?,,”
“Eeehh,,, Mas Adit, iya,, cukup,, cukup buat bikin hati plong,, hehehee,,” Zuraida kaget mendengar sapaan Adit.

Arga yang mendengar suara Zuraida dan Adit menoleh ke belakang.
“Zee,,” sapa Arga ramah sembari menebar senyum. Matanya berusaha membaca raut wajah wanita yang penutup kepalanya mulai terlihat lusuh.
Zuraida membalas dengan senyum, Tak ada lagi luapan emosi diwajah cantiknya, dan itu lebih dari cukup untuk menenangkan hati Arga, lalu kembali menoleh kedepan, menanggapi kegelisahan Aida.
“Hati plong?,,,Maksud ibu?,,” Adit kembali melanjutkan obrolan mereka yang terpotong.
“yaaa plong aja,, hehehee,,,” Zuraida tersenyum, melangkahkan kaki dengan santai. Ternyata senyum Arga juga mampu memberikan ketenangan yang sama pada wanita itu, dan itu membuat hatinya sedikit lebih tenang, plong.
Diam-diam Adit yang berjalan di samping berdecak kagum memandangi kecantikan natural seorang Zuraida. Begitu sederhana tanpa polesan make up yang mencolok.  Mata pemuda itu turun kebongkahan payudara yang memamerkan bentuk puting yang samar terlihat.
“Ooowwwhhh,, Shiiit,,, mancung banget tu puting,,,”
Zuraida bukannya tidak tau apa yang tengah diperhatikan oleh mata Adit, tapi dirinya sudah sangat lelah untuk menghindar.  Di benak Zuraida, Adit, seperti hal nya Mang Oyik yang terkagum-kagum pada tubuh indahnya, tak ada yang dapat mereka lakukan selain memandangi dan berdecak kagum. Sementara Adit yang semakin penasaran dengan tubuh semampai Zuraida, yang selama ini sangat jarang memperhatikan sosok wanita cantik itu, berkali-kali menelan ludah. Sambil mengerem langkahnya, lagi-lagi Adit harus berdecak kagum dengan kemolekan pantat yang tidak terlalu besar, tapi bentuknya menungging seperti pantat bebek. Kencang dan padat.
“Hhhmmm,, pasti abis ngelepas beban itu yaa?,,,hehehe,,” tiba-tiba Adit nyeletuk.
“Maksudnya?,,,” kini giliran Zuraida yang balik bertanya.
“Hehehee,, tuh ngalir sampai ke paha ibu,,,” Adit tertawa, matanya tertuju pada tetesan sperma yang terlihat samar dicelana leggins putih.
 DEGG!!!... Wajah Zuraida pucat seketika, jarinya segera mengelap cairan itu.
“Ini,, ini cuma susu bendera cair koq, buat tambahan es kelapa tadi,,,” Wanita itu mencari alasan sekenanya.
Tapi Adit memandang dengan tak percaya.
“Nihh,, manis koq,, ga percayaan banget sih jadi orang,,” dengan terpaksa Zuraida menjilat cairan itu dengan lidahnya, “Mauuu?,,”
“Gilaaa,, aku menjilat sperma Pak Prabu,,,” Wanita itu mengumpat dalam hati. Kesal kenapa dirinya menjilat sperma itu untuk meyakinkan Adit.
“Owwhh,, ngga,, terimakasih,,, tapi sepertinya dipantat ibu masih banyak susu yang nempel tuh,,” jawab Adit sambil menunjuk beberapa tetesan sperma yang mengahmbur di pantat hingga bawah selangkangannya.
Zuraida tak mampu lagi berkelit, merasa begitu malu, pasti pemuda di hadapannya berfikir bahwa dirinya baru saja melakukan perbuatan terlarang dengan seseorang, walau sebagian tuduhan itu ada benarnya.

“Uuuugghhhh,,, Pak Prabuuuu,,, kenapa tadi ga dibersihiiinn,,” ingin sekali wanita itu berteriak mengumpat ulah bos dari suaminya itu, tapi bukankah tadi justru dirinya sendiri yang memberikan tawaran. “Uuuhhhggg,,,” lagi-lagi bibirnya mengumpat kesal.
Sialnya, ketika tubuhnya membungkuk berusaha membersihkan, saat itulah Arga berbalik, melihat apa yang dilakukannya. Wajah cantik itu semakin pucat.
“Kamu baik-baik aja kan Zee,,,”
“Ehhh,, iya,, gapapa koq,,,” Zuraida tersenyum kecut menjawab pertanyaan Arga.
“Cepet dikit Ga,,, aku malu kalo sampai ada yang netes, terus kelihatan sama Zuraida,,” Pinta Aida lalu menggamit tangan Arga untuk melangkah lebih cepat.
“Sini mba,, biar aku bersihkan,” tawar Adit. Melepas bandana yang terikat di kepalanya.
“Eeehh,, ga usah Dit, aku bisa sendiri.”
“Ststsss,, udah tenang aja mba, ga bakal kelihatan koq, lagian kalo Mba Zuraida berisik, ntar Arga sama Bu Aida di depan kita malah tau lho,,,”
 “Diiitt,,, ga usaaahh,,,”
“Ststssss,, tetap jalan dengan tenang seolah ga ada apa-apa,,”
Zuraida menutup mulutnya, apa yang dilakukan Adit sebenarnya sangat lancang. Mengusap-usap bongkahan pantat montoknya. Tak lebih dari alasan Adit untuk bisa merasakan kemolekan pantat seorang wanita yang wajahnya selalu tertutup kain. Tapi Arga yang berjalan beberapa langkah di depannya bisa saja menoleh kalo mendengar suara ributnya.
“Uuugghh,, Adiiit,, cepet, ntar ada yang liat Or,,, Diiit!!! jangan nakaaaal,,” Dengus Zuraida, berusaha menepis tangan Adit yang awalnya mengusap, tiba-tiba berubah menjadi remasan.
Tapi tangan itu terus saja membersihkan, sesekali meremas bergantian sepasang bongkahan pantat yang padat.
“Bener-bener pemuda yang nakal,,,” gumam Zuraida, yang menoleh memperhatikan wajah Adit yang tersenyum-senyum sendiri dengan ulahnya. Namun setiap tangan pemuda itu bergerak meremas, Zuraida dapat melihat gelora nafsu yang tertahan.
 “Asseeem,,, cute juga ternyata keponakan Bu Sofie ini,,” Zuraida mulai mengaggumi wajah Adit yang cukup ganteng, seperti artis korea dengan rambut lurus yang sengaja dibikin acak-acakan.
 “Sudah belum ngebershinnya, cepet entar kelihatan orang Dit,,,” mata Zuraida menoleh ke belakang, memastikan tak ada seorang pun di belakang mereka.
“Bentar mba,,, susunya lengket banget,,”
“Egghhh iyaa,, tapi cepet,,” langkah wanita itu sesekali berjinjit akibat ulah jari-jari Adit yang sengaja merangsek menyusuri belahan pantatnya. Matanya nanar mengawasi ke depan.

“Ooowwhh mbaa,, sekel banget mbaa,,, indaah bangeeet,, mba pinter banget ngerawat ni daging biar tetep kenceng,, Ooowwhhh,,,”
“Ststssss,,, jangan berisik Dit,,,” jemari lentiknya mencengkram pegelangan Adit, mengingatkan pemuda itu untuk tidak berisik.
“Mbaa,, yang dibawah sini dibersihin juga ngga?,, banyak banget nihh,,,” telapak tangan Adit mencaplok sepanjang garis selangkangannya.
 Tatapan mereka bertemu, bila Zuraida menahan birahi yang tersulut dengan wajah yang memerah, wajah Adit justru menunjukkan hasrat yang begitu besar, berharap diberi sedikit kesempatan untuk mengenali selangkangan wanita cantik itu.
 “Bersihinn ajaa,, ehh,,Terseraaah,, terseraaah kamuu,, tapi cepet,, Oooowwwggghhh,,, jangan diremeeees gituuu,,,”
 Izin yang keluar dari bibir seorang wanita cantik berjilbab itu, mengomando tangan Adit dengan cepat.
“Maaf mbaaa,,, aku gemeees bangeeet,,,”
“Gemeeesss,,, kenapaa?,, punya istrimu bentuknya kan juga seperti ini,,,Aaasshhh,,,” Zuraida kadang heran, apa yang membuat para lelaki begitu bernafsu mengejar selangkangan para wanita, bukankah bentuknya sama, hanya sebuah liang senggama yang berbentuk vertikal.
“Ya samaaa,,, punya Andini dan Bu Sofie juga sama seperti ini,,, tapi karena ini milik mba Zuraida yang selalu mengenakan jilbab lah yang menjadikannya luar biasa,”
BUUGGG...kata-kata Adit menohok hatinya. Menyadarkan posisinya sebagai wanita yang selalu menutup rapat bagian tubuhnya. Menyadarkannya sebagai wanita yang selalu menjaga tingkah laku. Tapi justru karena itulah, semakin rapat seseorang menutup bagian tubuhnya, semakin besar pula rasa penasaran yang tercipta.
“Sudaaahh Diiit,,, cukup,,, Aaagghhh,,, kamu mau ngapaiiinn,,” tubuh Zuraida telonjak, kakinya menjingkit, saat dirinya asik bermain dengan fikiran, tangan Adit dengan cepat menyelusup di sela celana legginsnya.
“Mbaaa,, pliss jangan berisiiiik,, pliss,, Adit ngga mau mba malu diliat Arga sama Bu Sofie,”
“Uuugghh,,, pinter bener ni bocah manfaatin situasi,,” Hati Zuraida menggumam kesal, kondisi dan situasi memang sangat mendukung Adit untuk mengintimidasi Zuraida.
“Oooowwhhh,, Diiitt,, jangan Diiit,, pliss,,” wanita itu menatap Adit dengan wajah menghiba.
“Mbaaa,, maaf mba,, kalo saya meminta dengan sopan untuk melakukan ini, meski di tempat yang sepipun Mba pasti tidak akan mengizinkan,,,”
 Adit memelas, berharap Zuraida mengendorkan cengkraman tangannya yang menahan laju tangan, “maaf banget mbaa,,, cuma saat-saat seperti ini saya bisa menyentuh bagian terindah milik Mba Zuraida,, pliss,,,”
 “Diittt,, aku melarang karena ini salaaah,, kamu pasti mengerti itu,,, mengertilah,,,”

Tapi tangan Adit terus saja bergerilya, merasakan langsung bagaimana mulusnya kulit pantat Zuraida.
 “Mbaaa,, mulus banget,, seperti pantat bayiii,, uuuggghh,, Adit rela koq kalo ni wajah dipantatin sama Mbaa,,,”
 Zuraida membuang pandangannya kedepan, sekaligus mengawasi Arga yang dapat kapan saja menoleh ke belakang. Meski dirinya tau Adit tengah mengeluarkan jurus gombal para lelaki, tapi tetap saja pujian itu membuatnya tersipu.
 “Diiit,, jangaaann,, kesituuu,,plisss,,,” wanita berjilbab itu menggelengkan kepala saat jarii-jari Adit berusaha menjangkau bibir kemaluannya, memandang pemuda yang memasang wajah memohon.
“Ugghhh,,,Kenapa ni bocah pasang wajah melas, ngarep banget ama selangkangan kuuu,,” pertahanan hati Zuraida mulai goyah, cengkramannya mengendur.
“Owwwhhh,, Diiit,,” Zuraida terus menggelengkan kepalanya. Namun tidak lagi untuk menunjukkan larangan, tapi sebuah pelampiasan dari geliat birahi saat jari-jari seorang lelaki yang perlahan tapi pasti menyeruak masuk membelah liang vaginanya.
Jantungnya berdebar kencang. Bagian paling sensitif nya itu dapat mengenali bagaimana jari-jari Adit berformasi. 1 jari Adit, jari telunjuk, menggesek bagian kacang kecil yang ada didepan gerbang. Disusul jari kedua, jari tengah yang menggeseki labia mayoranya, membuat kaki Zuraida gemetar menahan rangsangan.
 “Oooowwwhh,, Argaaa,, Plisss,, jangan liat ke belakaaaang,,” Jantung Zuraida berdebar, seseorang yang sangat berarti baginya, berdiri hanya beberapa meter dari tempat dirinya dikerjai. Berharap lelaki bertubuh jangkung itu tidak menoleh ke belakang.
 “Owwwgghhhh,,, Adiiittt,,, punya mba diapaaaiiinn,,,” tubuh wanita itu menggigil saat jari ketiga dari tangan Adit, jari manis yang berhiaskan cincin akiq perlahan menyelusup ke dalam vaginanya.
Kini lengkap sudah, setiap bagian dari kemaluan wanita cantik yang selalu mengenakan penutup kepala itu, menerima pesan-pesan birahi, yang bergerak liar. Tangan Zuraida tak lagi mencengkram lengan Adit, tapi justru berpegangan pada pundak pemuda itu, berusaha meredam tubuhnya yang gemetar menerima rangsangan di tengah umum. Disadarinya, cairan dari liang senggamanya mengalir deras. Membasahi jari-jari Adit. Matanya bergerak liar mengawasi sekitar, begitu takut tingkah gilanya ketahuan oleh yang lain.
“Oooowwwhhhsss,,, Aaahhhhsss,,,” pantat Zuraida bergerak maju mundur, kekiri dan kekanan, mengikuti gerak jari Adit.
 “Seperti inikah rasanya kegilaan yang dialami oleh para istri saat melakoni game tadi, memacu birahi dalam kebisuan, pasrah mengikuti kehendak para pejantan.
 Langkah kedua nya semakin pelan, semakin jauh dari rombongan. Dan gilanya Zuraida justru berharap tempat yang mereka tuju masih jauh.
“Diiitt,, jangan terlalu dalaaam,,, yaa disituuu,, Uuugghh,,,” Zuraida harus menghentikan langkahnya, menatap wajah Adit berharap untuk menyelesaikan kegilaan itu secepatnya. Menggeliat, gemetar, cemas, mengejar sesuatu yang sangat baru baginya.
“Oooowwwhhhsss,, Diiittt,,, tarriikkk tangaaaanmuuu,, aduuuuhh,,” paha Zuraida menjepit tangan Adit dengan kuat, seiring dengan desir cairan yang menghambur keluar.

“Suddaaaah,, Ditt,,, tarik tanganmu,, maaf, tangannmu jadi ikut basah,,,” wajah Zuraida memerah. Mengamati tangan Adit yang keluar dari legginsnya dalam kondisi basah oleh cairan.
“Gilaaa,, ini benar-benar gila,” tubuh Zuraida membungkuk, menopang tubuhnya dengan tangan yang bertengger di lutut, meredam kakinya yang gemetar oleh orgasme singkat.
Masih tidak percaya, Bagaimana bisa dirinya yang selalu menjaga prilaku bisa senekat ini, membiarkan tangan seorang lelaki mengaduk-aduk liang kemaluannya.
“Mbaaa,,, kita kesitu dulu yuuuukkk,,,” Adit menunjuk pepohonan rimbun, dengan wajah memelas, memohon dengan memasang wajah tanpa dosanya. Sementara tangan pemuda itu meremas-remas batang di balik celananya.
“Ngapaaainnn,,, entaaaar kitaaa malah dicarriin,,,” mata Zuraida tertuju pada batang Adit yang tegak mengacung ke depan, mengarah tepat ke wajahnya yang tengah membungkuk.
Berpura-pura tidak mengerti dengan apa yang diinginkan oleh Adit, sebuah penyelesaian dengan penetrasi di liang kemaluannya. Dibawah sadarnya, pikiran wanita itu tengah mengira-ngira seperti apakah bentuk dari batang Adit.
“Mbaaaa,, aku mauuu nyeluuup,, sebentaaaar ajaaa,, plisss,,”
“Tidaaak Ditt,, tidaaak boleeeh,, ini sajaa sudah terlalu gila buat mbaaa,,,”
“Plisss mbaaa,, udah ga taaahhaaan,, tolong bantuin Adit Mbaaa,,” Adit menarik karet celana pantainya, memamerkan batangnya yang bengkok kekiri.

Deeeg...
 “Diiiit,,, kenapa punya mu bisa seperti ittuuuu,,”
Zuraida kaget plus bingung, seperti halnya Aryanti ketika pertama kali melihat batang Adit saat memberikan servis kilat bersama Sintya.
 “Gaa taauu mbaa,, koq bisa bengkok banget seperti ini, tapi banyak koq yang suka, Mba Aryanti aja juga suka koq,”
“Aryanti??,,,” Zuraida melotot, sembari memapar wajah tak percaya. Tapi bila ingat kejadian di malam itu, apa yang dikatakan Adit bukanlah suatu hal yang mustahil. Tapi seingatnya, Aryanti dulu memang seorang gadis yang supel, tapi selalu menjaga sopan santun.
“Malah Mba Aryanti udah pernah nyobain. Tapi cuma sebentar sih,,, Mba juga mau nyobain?,,”
“Aryanti,, kamu,, vagina mu sudah pernah merasakan batang unik inii?,,,” jantung Zuraida kembali berdetak tak teratur.
Batinnya bertanya-tanya, haruskah kembali mengulangi kejadian beberapa menit yang lalu, membiarkan penis seorang lelaki menghambur sperma tepat di pintu gerbang kemaluannya. Bahkan mungkin ini akan menjadi lebih gila lagi. Memang tidak sulit, dirinya cukup menurunkan celananya dan membiarkan batang itu meyelusup masuk ke alat senggama miliknya yang sudah sangat basah. Sangat mudah, bahkan terlalu mudah.  Zuraida yang tengah mengenali dunia barunya, dunia ekhibis yang bebas, yang diselubungi oleh keluguan dan kealimannya, kini mulai tergoda. Kebimbangannya meraja, sangat ingin mencoba apa yang telah dilakukan Aryanti, memasukkan batang milik lelaki lain ke dalam tubuhnya. Jantung wanita itu berdetak kencang, menatap Arga dan Bu Sofie yang mulai jauh meninggalkannya, lalu beralih menatap pepohonan rimbun yang dimaksud oleh Adit.
“Ugghhh,,, haruskah aku mengangguk menerima tawaran Adit untuk disetubuhi, tapi bukankah tadi aku juga sudah menjanjikan tubuh ini untuk Pak Prabu, setelah Arga,, yaaa,, setelah Arga,,” batin Zuraida berkecamuk hebat.
Sesaat Zuraida menatap Adit, wajah putih dengan style remaja korea. “Diiitt,,, Engghhh,,,” kata-kata Zuraida terhenti, bingung, haruskan dirinya juga memberikan janji serupa pada pemuda itu.

“Zeee,,, kamu baik-baik ajakan?,,,” terdengar teriakan lantang dari Arga, yang bergegas menghampirinya.
“Kamu baik-baik ajakan?,,,” terlihat wajah cemas Arga yang tak dapat disembunyikan saat mendapati tubuh Zuraida membungkuk, tampak lemas dan gemetar.
“Dit,, kamu apain Zee ku?,,,” suara Arga pelan tapi menebar ancaman tersembunyi pada Adit. Membuat pemuda itu mulai ketakutan, tak pernah dirinya melihat Arga seemosi itu.
Apalagi saat Arga mendapati batang Adit yang menyembul dari balik celana, sangat sulit untuk disembunyikan oleh pemiliknya. Sementara Zuraida justru termenung,
“Zee ku,,,” bibir tipis wanita itu mengulang apa yang tadi dikatakan Arga, kata-kata yang mengungkapkan perasaan Arga yang masih menganggap dirinya sebagai milik lelaki itu.
Kata yang sangat singkat, tapi mampu membuat hatinya mabuk kepayang seketika, tersanjung, bahagia, sekaligus membuat rasa bersalahnya semakin besar.
 “Argaa,, aku ngga apa-apa koq,,, Adit cuma mau nolong aku, ngga tau kenapa kakiku keram, mungkin terlalu capek,,” Zuraida berusaha menenangkan Arga.
“Ya udaahh,, kau jalan duluan sana,,” Arga menyuruh Adit dengan suara datar, berusaha menyembunyikan emosi, dari batang Adit yang mengeras, Arga mengambil asumsi bahwa pemuda itu baru saja atau hendak melecehkan Zuraida.
“Ok,, aku duluan, biar aku menemani Bu Sofie,,,” ucap Adit, lalu meninggalkan keduanya.
“Gaa,, ini tidak seperti yang kamu fikirkan koq,,,” Zuraida bisa membaca curiga dari wajah Arga. Dan tak ada yang bisa dilakukannya selain mengelak, tak mungkin untuk mengakui kegilaan yang baru saja terjadi.
“Iya aku percaya koq, kamu adalah Zuraida,,,karena itu aku selalu percaya, justru aku minta maaf karena tidak tau apa yang terjadi dengan mu saat berjalan di belakangku, bagaimana dengan kakimu?,,bisa berjalan? Sini biar aku gendong,,”
Meski hati Arga ketar-ketir tak berani untuk menduga-duga tentang apa yang terjadi pada diri wanita yang membuatnya terpesona itu, Lelaki itu tetap berusaha tersenyum, mencoba menenangkan hatinya.
“Ngga usah, aku masih bisa jalan sendiri koq,,” tapi Arga tak menggubris, tangannya segera membopong tubuh Zuraida.
“Aaakkhh,,,” Zuraida terpekik, tertawa, “Gaa jangan kaya gini,, kalo gini seperti pengantin turun di pelaminan,,, hihihii,,,”
Arga yang sudah hendak melangkah terhenti, “Yaa,, ini seperti orang yang menggelar pernikahan,,hehehee,,” lelaki itu tersenyum kecut. Entah kenapa hatinya terasa nyeri.
Sesaat keduanya saling menatap, ada penyesalan dihati Zuraida menyebut kata-kata pernikahan. Yaa,, pernikahan, sebuah sesi hidup yang menunjukkan kepemilikan sepenuhnya atas diri dan hati seseorang.

“Ayoo,, aku gendong dibelakang aja yuk,,,” Arga menebar senyum, mencairkan suasana. Membungkukkan tubuhnya agar Zuraida bisa naik ke atas punggungnya.
“Uuugghhh,,, berat juga ya ternyata tubuhmu,,,” Arga tertawa menggoda Zuraida.
“Iiihh,, langsing gini koq dibilang berat,,, apalagii,,”
“Apalagi apa?,,,”
“Eeengghh,,,Apalagi punyaku kan lebih kecil dari milik istrimu,,” Zuraida merasa malu, karena sepasang benda yang tengah diperbincangkan menempel erat di punggung Arga.
“Kata siapa kecil?,,, ini aja berasa banget gedenya, apalagi kemaren waktu aku emut-emut gede juga koq,, walo gelap, tanganku masih hapal bentuk dan ukuran punya mu ini,,hahahaha,,,”
“Iiiihh,, tu kan,, seneng banget ngeledekin,,” Zuraida mencubit lengan Arga. Teringat saat Arga mencumbu tubuhnya di kegelapan bibir pantai.
“Hahahahaa,, tapi emang bener koq,,, Eehhh,, tapi koq punggung ku kayanya basah ya,, kamu ga ngompolkan hahaha,,?,,”
“Nggaa,, nggaa koq,, tadi aku,, aku,, celanaku ketumpahan air kelapa tadi,,”
“Oowwhhh,,, ya gapapa sih, cuma khawatir aja ntar kamu malah masuk angin,,” Arga memiringkan kepalanya berusaha menoleh kewajah Zuraida sambil tersenyum. Dimata Zuraida senyum itu sangat manis.
“Gaa,, ni aku kasih mmuaahhhh,,, buat upah nggendong,,,hehehee,,” Zuraida tidak tahan untuk tidak mengecup pipi lelaki yang tengah menggendong tubuhnya. Sebuah kecupan singkat namun sarat dengan rasa kasih dan sayang.
“Waahhh,, lagi dong,, lagii,,”
“Hahahaha,,, udahh,, ngga boleh kemaruk,,hahaha,,,”
Entah kenapa hati Zuraida serasa lebih tenang, setelah cukup lama terombang-ambing, mulai dari tersingkapnya kembali memori mereka saat pertemuan beberapa tahun lalu, yang berbuah menjadi rasa cinta yang kembali menyapa, disusul dengan hadirnya cemburu, marah, kesal, dan petualangan gila sebagai pelarian hatinya. Dan kini,,, dirinya kembali memeluk lelaki yang beberapa tahun lalu bersimbah darah dipangkuannya. Dengan kedamaian hati yang tak pernah ditemukannya sebelumnya.
 “Argaaa,,, maafin aku ya,,,” ucap Zuraida mempererat pelukannya, merebahkan kepalanya di pundak Arga. Hati kecilnya berharap, dapat terus memeluk Arga, bukan hanya saat ini, tapi selamanya.
“Maaf untuk apa?,,,”
“Untuk apapun yang kau anggap salah,,,dan tadiii aku,,” bibir tipis Zuraida terdiam.
“Kenapa tadi?,,,”
“Tadii,, aku udah nakal,, nakal banget,,,” Ada rasa sesal dihati Zuraida, telah mengucap kejujuran, yang bisa saja merusak kedamaian yang baru saja dirasakannya.

“Owwhhh,, sudah mulai nakal juga yaa,,, hehehee,, tapi jangan kelewatan ya sayang,,, agar aku bisa terus mengagumi mu,,”
“Gaaa,,,hikss,,” Zuraida tak mampu menahan air matanya, setulus itukah kasih sayang yang diberikan oleh Arga untuk dirinya. Wanita itu tau hati lelaki ini tengah menahan pedih, namun berusaha menyimpannya sendiri, dan berusaha tetap tersenyum untuk dirinya.
“Ehh,, jangan nangis,, malu keliatan yang lain, ntar dikira aku udah nakalin bini orang,,,”
“Uuugghhh,, sebeeel,, aku kaya gini masih aja diledekin,,,” Zuraida segera mengusap air matanya.
“Tapi tadi aku nakalnya ga sampe kelewatan juga koq,,, ntar aku kalo mo nakal izin sama kamu dulu deeehhh,,”
Zuraida bingung sendiri, melihat tingkahnya yang seperti anak kecil, anak kecil yang takut dimarahi karena berbuat nakal.
“Lhoo,, kenapa malah izin sama aku,,, kan ada suami mu Zee,,,”
 “Nggaaa,, aku tegasin,, kalo aku ini juga milikmu,,setidaknya saat liburan ini,, titik!!!, ga usah dibahas lagii,,,”
 Meski Arga tak dapat melihat wajah Zuraida yang tersipu malu setelah mengatakan itu, tapi Arga tau tidak mudah bagi Zuraida untuk mengungkapkan perasaan itu.
 “Hahahaaa,,, koq bisa gituu,, beruntung banget aku,, tapi kalo emang punyaku, berarti boleh kunakalin kapan aku mau dong,,,”
 Zuraida tidak menjawab langsung, namun dari punggungnya Arga tau wanita cantik itu mengangguk, lalu terdengar suara lirih dari bibirnya, “Kapanpun Arga mau,,”
Lalu lengannya memeluk pundak Arga semakin erat, merasakan bagaimana dirinya begitu dilindungi, berharap tubuhnya dapat melebur dengan tubuh lelaki itu.
“Gaaa,,, Zuraida kenapa?,,,” Aryanti menghampiri Arga dengan cemas.
Mengagetkan Zuraida yang tengah terbuai digendongan. “Koq Arga ga bilang sih kao udah nyampe,” hatinya kesal.
Wanita itu tersipu malu, karena memeluk suami dari sahabatnya itu begitu erat.
“Aku ngga apa-apa koq,,, cuma kaki kanan ku aja terasa keram,,,”
Arga menurunkan tubuh Zuraida diatas sebuah potongan batang pohon kelapa.
“Bener ngga apa-apa?,,,” tanya Aryanti, lalu memijat kaki Zuraida pelan.
“Iya ga apa-apa,,, sueerr,, aku juga masih bisa ikut lomba koq,,,” Aryanti tersenyum mendengar jawaban sahabatnya.
“Bagaimana, apa kau bisa menikmati liburan ini?,,,”

Mendengar pertanyaan Aryanti itu, Zuraida sedikit kaget, apakah wanita di depannya ini memang sudah mengetahui hubungan tersenyum antara dirinya dan Arga. Keduanya terdiam sesaat, tidak tau apa lagi yang ingin dibicarakan untuk sekedar berbasa-basi, entah kenapa kedua wanita yang sebelumnya sangat akrab ini menjadi kaku. Mata mereka tertuju pada sosok Arga yang berjalan menjauh, menuju kumpulan para lelaki yang terlihat sibuk meniup balon.
 “aku minta maaf,, aku udah cemburu pada mu,,”
 “Eeehh,, maksudmu?,,,” Zuraida mulai was-was, mungkinkah Aryanti akan menanyakan langsung tentang sejau mana hubungannya dengan Arga, dan membongkarnya dihadapan umum.
 Tapi Aryanti justru tersenyum, “Jujur,, aku tau Arga suami yang nakal, tapi aku tidak pernah marah, karena aku tau dia tidak pernah membawa serta perasaannya, dan aku percaya pada hatinya,” Aryanti menghela nafas sesaat, tangannya terus bergerak memijat kaki Zuraida.
 “Tapi entah kenapa, saat melihat kau dan Arga bercanda hatiku terasa sakit,,,” Aryanti tersenyum kecut, lalu beranjak,duduk disamping Zuraida, memeluk pundak sahabatnya. “Tapi kurasa itu tidak lebih dari pelarian rasa bersalahku, diliburan ini aku sudah terlalu nakal, dan lagi-lagi Arga bisa memaklumi itu,”
 “Yan,,, aku minta maaf, aku memang punya masa lalu dengan Arga, dan aku,,,”
 “Hahahaa,, udah jangan dipikirin,, suamimu Dako udah cerita koq,,, dan aku tidak keberatan di liburan ini untuk berbagi denganmu,,,”
 DEGG,,, Zuraida keget dengan jawaban Aryanti.
“Yan,,, maksudku bukan begitu, lagipula aku tetap merasa ga enak dengan dirimu,, bukan bermaksud merebut koq,,” Zuraida merasa bersalah pada sahabatnya itu.
“Ststsss,, udah, udah santai aja ngapa, kalo enak dimasukin, kalo ga enak buang diluar,,, hahaaa,,,”
“Iiihh,,, koq kamu jadi genit gini sih Yan,,,”
“Hahahaa,, aku cuma ingin menikmati liburan ku, Say,,”
“Ayo semua berkumpul,,, kita lanjutin permainan kita,,,” Bu Sofie berteriak mengumpulkan pasukan.
“Permainan kali ini sangat mudah, tetap berpasang-pasangan, dan penentuan pasangan masih seperti tadi,,Well,,,untuk menghemat waktu, apa kalian setuju bila aku yang menentukan pasangan kalian dengan bola-bola ini?,”
Para lelaki mengangkat pundaknya, menyerahkan semua keputusan kepada Bu Sofie yang memang terlihat begitu berkuasa. Dako akhirnya senyum sumringah kembali menghias bibir para lelaki. Munaf yang kali ini mendapatkan Andini dengan cepat merasakan batangnya mengeras, meski tidak tau permainan seperti apa yang bakal digelar. Sementara Pak Prabu dengan tangan terbuka menyambut Aida yang berjalan mendekat dengan malu-malu, lalu menyampirkan tangannya di pinggul wanita itu. Adit tersenyum puas saat mendengar Bu Sofie menarik bola dengan warna senada dengan pita milik Sintya. Memorynya dengan cepat mengingatkan lelaki itu pada permainan lidah sekretaris cantik itu saat memanjakan penisnya. Dako tertawa girang, mengusap-usap batang dibalik celana saat tau partnernya kali ini adalah Aryanti. Dan tingkah Dako itu membuat Aryanti tertawa tergelak.
“Emang kamu mau ngapain, ini kan cuma game,,,hahaaahaa,,,”
Tapi di antara mereka Zuraida dan Arga lah yang paling merasa senang, wanita itu tersenyum mengangkat gelang pitanya saat Bu Sofie mengeluarkan bola warna hijau.
“Okeeey,,, sekarang para wanita silahkan ikut saya,,, Mang Oyik,,, tolong bawain kain yang tadi ya,,,” Bu Sofie meminta penjaga cottage yang selalu setia mengiringi kemanapun wanita itu pergi, untuk membawa kain bali dengan corak dan warna yang meriah. Kain yang sering digunakan para SPG untuk menyembunyikan paha mulus mereka saat naik kendaraan roda dua.

“Kita mau ngapain Bu?,,,” tanya Aida yang bingung.
Tapi Bu Sofie hanya tersenyum penuh misteri. “Silahkan masuk bilik ini satu persatu,, ganti rok dan celana kalian dengan kain ini,,,”
“Ooowwhh,,, ok,, tidak terlalu buruk, kain ini bahkan lebih panjang dari rok ku,, heheheee,, tapi permainan apa lagi sih Bu?,,” tanya Andini ikut penasaran.
“Udah,, masuk dulu,,,jangan keluar sebelum aku menghampiri kalian satu persatu,,” teriak Bu Sofie saat para wanita satu persatu masuk kedalam bilik yang memang biasa digunakan untuk berganti pakaian.
Wanita yang mampu menjaga tubuhnya agar tetap terlihat ideal meski sudah dimakan usia itu, menyusul masuk kekamar yang dimasuki Zuraida. Di dalam, Zuraida yang tengah melepas celana legginsnya sempat terkaget saat Bu Sofie memasuki biliknya. “Zuraida, lepas celana dalam mu juga ya,,”
“Hehh,,, maksud ibu?,,,”
“Pokoknya lepas aja,,,” ucapnya lagi sambil tersenyum, tapi Zuraida masih tampak bingung, terlihat enggan melepas kain kecil yang telah melindungi liang kemaluannya dari batang ganas Pak Prabu.
“Ayolaaahh,, lepas aja,,, aku sudah berusaha menyediakan waktu untuk kalian, dan aku sudah berusaha memasangkan dirimu dengan Arga, meski suamiku sempat ngotot untuk dapat berpasangan dengan mu lagi,,,”
“Jadi undian bola tadi memang sudah ibu atur?,,,” Bu Sofie mengangguk pasti, menjawab pertanyaan Zuraida.
“Aku merasa kalian sangat serasi, jadi tolong jangan sia-siakan kesempatan ini,, ok?,,, aku harus ke bilik yang lain,,” Bu Sofie membuka pintu hendak melangkah keluar.
Tapi kepala wanita itu kembali menyembul dari balik pintu untuk sekedar menegaskan. “Inget ya,, kain kecil yang penuh dengan sperma suamiku itu lepas aja,,,punya mu emang lebih cocok buat Arga, tapi jangan dihabisin, soalnya aku juga pengen nyicipin,,,hihihi,,,”
“Ada apa ini sebenarnya,,,” Zuraida tersandar lemas didinding bilik.
Ternyata game ini memang sudah direncanakan oleh Bu Sofie, dan parahnya lagi, darimana wanita itu tau tentang cairan yang membasahi celana dalamnya adalah milik suaminya, Pak Prabu.
Di bilik sebelah, bu Sofie kembali memaparkan intruksi yang sama, entah apa yang tengah direncakan oleh wanita itu. Zuraida keluar dari bilik, disusul para istri lainnya. Mata mereka saling pandang, masing-masing tau dibalik kain yang mereka kenakan tak ada kain segitiga yang melindungi alat kelamin mereka. Semua membisu, cukup saling tau dengan kondisi masing-masing, dengan jantung berdegup kencang berjalan mengiringi Bu Sofie yang bersenandung riang menuju arena permainan.
“Oke guyss,,, permainnanya adalah, kalian harus menggendong pasangan kalian, sambil menggiring balon yang kalian miliki menuju garis finish,, mengerti?,,,”
“Maksud ibu gendong didepan?,,” tanya Aryanti ragu-ragu.
“Yaaa, gendong di depan, seperti monyet menggendong anaknya,,, bisa kan?,,”
Bu Sofie memperagakan sambil merentangkan kedua tangannya memeluk leher Mang Oyik, kemudian meloncat dengan kaki menjepit pinggul Mang Oyik dengan cueknya.
“Sudah paham?,,,”
Para suami mengangguk cepat sambil tertawa, sementara para istri menayangkan wajah pucat, memaksakan untuk menganggukkan kepala mereka.

“Bu Aidaa,, maaf yaa,,aku pinjam suami ibu dulu,,” ucap Andini, dirinya bisa merasakan permainan ini akan menjadi lebih gila dari sebelumnya.
“Eeehh,, iya gapapa,,, kamu yang hati-hati ya, jangan sampai jatuh,” jawab Aida ragu-ragu, berusaha mengajak bercanda.
“Ayolaaahh,,, nikmati permainan ini, aku sudah merelakan mobil kesayanganku bagi siapapun yang menang dari kalian,” Rupanya Bu Sofie gregetan dengan tingkah para istri yang malu-malu seperti kucing, yang berusaha menyembunyikan kebinalan mereka dari para suami.
“Oke bersiap,,, semua wanita silahkan naik ke kuda pacuannya,,,”
Bu Sofie memberi aba-aba, penggunaan istilah kuda pacuan membuat para lelaki tertawa.
Deegg,, jantung Zuraida tercekat saat membuka pahanya untuk menjepit pinggang Arga, kain yang mereka kenakan terlalu pendek, meski tubuh bagian bawah dan belakang mereka tetap terlindung, tapi dibagian depan selangkangan mereka yang telanjang bertemu langsung dengan tubuh pasangan mereka.  Dengan cepat Zuraida menoleh ke Aryanti, rupanya sahabatnya itu juga tengah kebingungan, berusaha menutupi selangkangan dengan kain, meski itu sia-sia.
“Zee,,, daleman kamu mana?,,” bisik Arga saat menyadari wanita yang tengah menjepit pinggulnya dengan erat itu tak mengenakan sehelain kain pun.
“Iyaaa,, tadi Bu Sofie yang suruh lepas,, dan aku ga tau kalo game nya bakal seperti ini,,,” Zuraida pucat, entah kenapa dirinya takut bila Arga marah. Pasti lelaki itu tidak tau jika itu memang skenario Bu Sofie.
Dan benar dugaan Zuraida, wajah Arga tampak sedikit emosi, “Gila,,, bagaimana seandainya jika kamu berpasangan dengan yang lain, dengan kemaluan terbuka seperti ini?,,,” suara Arga meninggi.
“Iyaaa,, aku minta maaf udah nurutin kemauan aneh Bu Sofie,, tapi bukankah sekarang aku denganmu,,”
“Tunggu,,tunggu,,,apa Aryanti dan wanita lainnya juga tidak mengenakan celana seperti ini?,,,”
Zuraida mengangguk pelan, tak berani menatap Arga. Keributan tidak hanya terjadi pada Arga dan Zuraida, tapi juga pasangan lainnya. Munaf yang merasa mendapat durian runtuh langsung merengek pada Andini untuk memasukkan batang penisnya ke vagina mungil Andini. Alasan Munaf, bukankah mereka sudah pernah melakukan, tapi dibawah tatapan cemburu Adit, gadis itu menggeleng tegas.
“Ayolah Din,,, apa kamu tidak kangen ama batangku,,, dijamin kali ini pasti lebih lama deh,,,”
“Jangaan,, ada mas Adit, ntar dia marah,,” Munaf tertawa mendengar jawaban Andini, sedikit lampu hijau, artinya saat lomba nanti dirinya dapat dengan bebas memasuki liang mungil itu tanpa sepengatahuan Adit.
Sementara di samping mereka Adit berusaha menyembunyikan hasratnya untuk menusuk vagina Sintya. Adit menahan bukan karena tak ingin, tapi karena memikirkan kondisi vagina Andini yang pastinya kini tengah mengangkangi batang Munaf. Rasa cemburunya semakain besar saat melihat gerakan tangan Munaf yang bergerak, menggeser celana agar batangnya dapat keluar.

Berbeda lagi dengan Bu Aida yang terlihat gemetar, Pak Prabu yang tidak pernah menunda setiap kesenangan yang dihidangkan dengan cepat menggoda vagina Aida dengan gesekan-gesekan lembut. Aida kini merasakan dirinya begitu binal, batang milik Pak Prabu adalah batang terakhir yang belum merasakan jepitan vaginanya.
“Koq sudah basah banget Bu?,,,” tanya Pak Prabu, kedua tangannya memeluk pantat Aida, selain untuk menahan tubuh wanita itu, tapi juga untuk memudahkan batangnya yang bergerak menggoda.
 “Okey,,, sudah siap?,,, perhatikan balon di hadapan kalian, dan ingat kalian harus menggiring balon yang sudah diisi air itu ke garis finish,,, mengerti?,,,”
 “Siaaap,,, tapi kalo seperti ini aku lebih memilih untuk kalah aja deh,, haahhhaha,,,” Munaf tertawa, sambil menepuk-nepuk pantat Andini, dan ulahnya itu membuat Adit meradang.
 “Diiitt,,, jangan pikirkan istrimu,, di kantor kamu sering menggoda ingin kencan denganku, dan kurasa ini lebih dari itu,, apakah aku lebih jelek dari istrimu,,” ucap Sintya, membisiki telinga Adit dengan cara yang sangat menggoda.
Adit tertawa, matanya beralih ke payudara Sintya yang kini berada di depannya. “Ayolah buat game ini semakin panas,,,”
Kini giliran Sintya yang tertawa, tau apa yang dimaksud oleh Adit. “Liat saja nanti,,” bisik Sintya tak kalah panas, tak lagi peduli dengan Pak Prabu yang kini juga terlihat bahagia dengan Aida.
“1,,, 2,,, 3!!!,,, Goooo...” Bu Sofie berteriak memberi aba-aba penuh semangat.
Kaki para lelaki dengan cepat berusaha menendang balon yang bergerak liar tertiup angin, air yang ada di dalam balon tidak cukup berat untuk menahan hempasan angin. Bu Sofie tertawa, meski para lelaki terlihat serius melakoni lomba, wanita itu dapat melihat, bagaimana Adit menghentak batangnya ke liang kemaluan Sintya, tepat saat aba-aba Goo berkumandang. Begitupun dengan suaminya, Pak Prabu yang memaksa Aida untuk menurunkan tubuhnya, dan menerima batang besarnya di liang vaginanya yang sudah sangat basah.
“Ooowwgghhhh,, Paaakk,,,” Aida melenguh, akhirnya batang terakhir itu memasuki tubuhnya. Tangannya berpegangan erat berusaha agar tidak terjatuh saat pak Prabu setengah berlari mengejar balonnya yang tertiup angin cukup kencang.
“Ugghhh,, apa lagi sih yang kalian tunggu,,, tinggal masukin aja koq susah bener,,,” Bu Sofie menggerutu melihat pasangan Arga dan Zuraida yang berlari sangat pelan.
Tubuh Zuraida tampak sesekali menggeliat saat batang Arga yang masih tersimpan di balik celana menyentuh bibir vaginanya.
 “Gaaa,,, aku ga kuaaat kalo seperti iniii,,” Zuraida merintih pilu di telinga Arga, berusaha bertahan, sudah berkali-kali tubuhnya menerima rangsangan hebat, dari pak Prabu dan Munaf.

Sementara Aryanti yang berada tidak jauh di depan mereka menatap wajah suaminya yang menahan birahi, tak berbeda dengan dirinya yang berusaha menahan laju batang Dako yang berusaha menyelusup masuk.
“Masss,,,” bibir Aryanti terbuka, seolah meminta izin untuk menerima batang milik Dako kedalam tubuhnya. Sangat sulit baginya untuk terus bertahan.
Tapi di mata Arga, istrinya justru terlihat seperti tengah mendesah. Pikiran negatif menyeruak di hati lelaki itu. Mungkinkah Dako sudah berhasil menyetubuhi istrinya. Tapi diamnya Arga, layaknya membiarkan istrinya berselingkuh langsung di depan matanya, tapi ini adalah game, game yang sangat panas, sangat sulit bagi para wanita untuk bertahan dari rangsangan para lelaki.
“Maaf Masss,, aku udah ga tahaaan,,”
Tubuh Arga menggigil, saat Aryanti menutup mata, tubuh nya beringsut turun, menyesuaikan posisi liang vaginanya dengan batang Dako yang tegak mengacung ke atas, lalu menyelusup cepat kedalam liang yang sempit. Arga dapat melihat, saat bibir sensual istrinya terbuka melenguh pelan, ketika tubuh indah itu bergerak naik turun tak teratur, bukan karena gerakan Dako yang tengah berlari mengontrol arah balon, tapi karena ulahnya sendiri yang berusaha mengejar kenikmatan didepan suaminya. Mata Aryanti terbuka, menatap sendu, memberi pesan tentang kenikmatan yang tengah dirasakan oleh vaginanya.
 “Dakooo,,, kamu ngentotiiinn aku di depaaann Argaaaa, gilaaa,, tapi nikmaaat banget,,” pinggul Aryanti bergerak semakin cepat.
“Apa kamu ingin kita menjauh lebih ke depan,,,agar bisa lebih bebas menikmati batangku,,” tanya Dako yang mulai kewalahan, menyetubuhi wanita yang sedang digendong, sambil mengejar balon bukan perkara yang mudah.
“Tidaaakk,, tetaaap seperti iniii,,, aku benar-benar menikmati iniii,,, uuugghhhhh,, Dakooo,,, aku merasa batangmu semakin besar di vaginakuuu,,,” Aryanti tidak lagi bergerak naik turun, tapi pinggulnya bergerak maju mundur sangat cepat.
 “ooo,,, aku keluaaaarrr,,,” bibir Aryanti terbuka mendesah lepas, pantatnya bergetar menjepit erat pinggul Dako. 
“Ooowwhhhhsss,, Kooo,, batangmu keras bangeeett,,, meqi ku mpe klengeeerrrsss,,,” Aryanti seakan tak rela nikmatnya orgasme berlalu begitu cepat. Sensasi dipuaskan oleh batang milik lelaki lain tepat di depan suaminya menjadi rangsangan tersendiri baginya.
“Yaaan aku juga mau keluaaarr,, terus empot seperti tadiii,, enak bangeeet,,,” Dako mulai kewalahan, langkahnya tak lagi teratur.
“Zeee,,,, mereka sudah melakukaannyaaa,,,” ucap Arga pada Zuraida yang tengah terengah-engah merasakan gesekan batang Arga yang masih terbalut celana.
Tiba-tiba langkah Dako terhenti tepat di depan mereka. Nafas lelaki itu mendengus liar, kedua tangannya mencengkram erat pantat Aryanti, menghentak maju mundur mengejar orgasmenya sendiri. Sementara Aryanti tak kalah liarnya, berusaha menekan batang Dako jauh ke dalam kemaluannya, pantatnya bergerak maju mundur dengan ritme yang kacau.

“Maaasss Dakooo,,” seru Zuraida pelan, saat kedua pasangan itu bersisian, dan saat itu jualah sperma Dako menghambur, memenuhi rahim Aryanti yang juga tengah merintih menyambut orgasmenya yang kedua.
Dan semangat rintihan Aryanti tak lepas dari tatapan Arga yang langkahnya sempat terhenti tepat di samping mereka. Arga tau vagina istrinya tengah menerima transfer sperma milik Dako, sebanyak apapun cairan yang keluar, liang kemaluan istrinya itu tetap pasrah menerima.
“Gaaa,,,” wajah Zuraida yang terkejut dengan aksi Dako dan Aryanti kini menatap Arga, memberi isyarat bahwa dirinyapun ingin merasakan kenikmatan yang baru saja diterima Aryanti.
 Ingin sekali Zuraida berteriak bahwa vaginanya juga sudah tak tahan, ingin merasakan batang penis yang memenuhi liang kemaluannya. Gayung bersambut, tangan Arga menyusur ke bawah, menarik turun celananya. Kini kendali sepenuhnya ditangan Zuraida, bibir vaginanya dapat merasakan gesekan dari helm kemaluan Arga.
Arga dan Zuraida saling tatap, “Zee,,, bolehhh?,,,” tanya Arga terengah-engah di antara langkahnya yang semakin pelan.
Zuraida mengangguk, meski dirinya selalu berharap Arga menyetubuhinya dalam suasana yang romantis, tapi saat ini kondisi benar-benar memaksa tubuhnya untuk turut merasakan kenikmatan liar yang diciptakan oleh Bu Sofie. Dengan jantung dag dig dug berdenyut cepat, Zuraida menurunkan pantat mulusnya. Bibir vaginanya mencari-cari ujung dari batang milik Arga.
 “Gaaa,,, aku izin yaaa mau nakaaal,,,” kalimat yang keluar dari bibir tipis itu membuat Arga bener-bener gemas.
Tapi bila waniita itu mengira vaginanya yang sudah sangat basah dan terbuka lebar, akan dengan mudah menerima batang Arga, itu adalah salah. Vagina Zuraida yang memang memiliki pintu masuk yang mungil, tampak kerepotan untuk menelan helm dengan ukuran big size milik Arga.
“Kegedeaaann,, ga bisa masuuuk,,,” Zuraida menggeleng-gelengkan kepala, tapi pinggulnya terus bergerak mencoba mencari posisi yang lebih pas untuk sebuah penetrasi darurat.
“Gaaa,,, ayooo dong,, jangan malah diketawain,,,” dari balik jilbabnya bibir tipisnya merengek seperti anak kecil, vaginanya terasa sangat gatal, tak pernah dirinya begitu ingin disetubuhi seperti saat ini.
“Wooyyy,,, Argaaa,, perhatiin dong balon kamu larinya kemana!!!,,,” seru Bu Sofie, mengagetkan Arga dan Zuraida, saat menyadari balon mereka tak ada lagi di depan, sontak keduanya tertawa terpingkal.
Suara Bu Sofie seakan menyadarkan mereka yang begitu asik dengan dunia mereka berdua. Mata Zuraida kembali mengawasi suaminya Dako, yang masih berada di belakang mereka, dan untuk kesekian kalinya mengayunkan pantat Aryanti untuk menerima hujaman batangnya. Mata dengan bulu yang lentik itu beralih pada Bu Sofie yang terlihat begitu kelelahan, dengan sisa tenaganya berpegangan erat di leher Pak Prabu. Tubuhnya bergerak mengikuti setiap gerakan pejantan yang tengah menggendongnya, Tampak begitu pasrah menerima setiap hujaman batang besar Pak Prabu. Lain lagi halnya dengan Adit dan Munaf yang berlari beriringan, aroma persaingan tampak jelas terlihat. Munaf begitu puas bisa mempencundangi Adit dengan memberikan orgasme pada istrinya Andini yang tidak berkutik di hadapan suaminya. Sementara bagi Adit sendiri, ingin sekali menunjukkan bahwa dirinya masih lebih hebat dengan menghantar Sintya pada orgasme yang sangat liar.
 “Gaaa,,, masukin yuuuk,,, ga ada yang ngeliat kita koq,,,mereka semua sibuk sendiri koq,,,”
 Zuraida kembali merengek, ingin sekali menghentak pantatnya, dan melumat batang Arga dengan paksa, tapi wanita itu seperti masi ragu untuk kenakalan yang lebih jauh.

“Zeee,,, bener kamu ingin sekarang,,, tidak ingin menunggu nanti malam,,,”
 Zuraida bingung, lalu akhirnya menjawab sambil berbisik, seolah takut terdengar oleh lainnya, “Aku pengen sekarang,,,tapiii,, jangan sampai mereka tauu,,”
Arga tersenyum, Tangan nya segera menggenggam batang, dan mengarahkan tepat ke vagina Zuraida. Menyunul-nyunul pelan, lalu perlahan membelah tubuh wanita cantik itu.
“Gaaa,, ooowwwhhhh,, masuuuk,,,sedikit lagiii,,, masuuuk,,,”
 Mulut Zuraida terbuka lebar, matanya terpejam saat batang Arga perlahan menerobos masuk.
Sangat mudah, tidak sesulit usahanya tadi,
“Aku tau kamu tadi masih ragu,” ucap Arga disela nafas Zuraida yang tercekat.
Kini tubuhnya telah menerima batang milik lelaki lain, perlahan terus menyelusup masuk kebagian terdalam tubuhnya, seiring luluhnya segala digdaya kesempurnaan dirinya sebagai istri yang setia.
“Gaaa,, seperti inikah rasa nikmat dari kejantanan mu,,” vaginanya masih berusaha memasukkan batang Arga lebih dalam, meresapi rasa nikmat yang dikumandangkan oleh liang kemaluannya yang menjepit erat.
“Gaaa,,,Ooowwhhhh,,, penuuuhhh bangeeet,,,” pinggulnya mulai bergerak pelan, mencari-cari sensasi nyata yang disuguhkan.
Sementara Arga seakan tak percaya, akhirnya berhasil menyetubuhi wanita yang bertahun-tahun menjadi fantasi liar nya.
“Zeee,,, aku entot yaaa,,,”
Mata Zuraida terbuka, mengangguk pelan, berusaha melebarkan selangkangannya dengan mata mencoba mengintip ke bawah, tempat dua alat senggama mereka bertemu.
“Gaaa,,, batangmu ooowwwssshh,,, jangan terlaluuu cepaaaat,,, Arrgghhhhh,,,aku bisaaa keluaaaarr,,,”
Mata Zuraida nanar menatap batang Arga yang bergerak cepat keluar masuk lubang kawinnya. batang pertama selain milik suaminya yang berhasil mengobok-obok lorong sempit yang selama ini dijaganya dalam biduk kesetiaan.
“Argaaa,,, aku keluaaaarrr,,,Adduuuuhhh gaaa,, aku pipisss,,,Aaaggghhh,,,” Kaki Zuraida berusaha memiting pinggul Arga, memaksa batang itu masuk jauh lebih dalam. Tubuhnya bergetar, menggeliat liar.
“Zeee,,, kau memaaang indaaahh,, Zee,,,” batang penis Arga serasa semakin membesar, lelaki itu tidak sanggup lagi bertahan saat wajah cantik di depannya melepas orgasme sambil menatapnya penuh kenikmatan.
 “Argaa,,, kamu maauu keluaaaarr?,,, cabuuut Gaaa,, aku sedaaang subuuuur,,, aku bisa hamil Gaaa,,,”
Mendengar kata-kata Zuraida, Arga justru semakin bernafsu, mencengkram erat pantat Zuraida, memaksa batangnya tetap bersemayam dibagian paling dalam, merasakan empotan vagina Zuraida yang masih dilanda orgasme. Sia-sia bagi Zuraida berusaha melepas batang Arga dari vaginanya, karena saat ini kemaluannya juga tengah menagih hal yang sama.
“Zeee,, aku keluaaarrr,, aku keluar dirahim mu sayaaaang,,,oowgghhhh,,,” batang Arga berkedut, lalu menghambur bermili-mili sperma, menghentak dinding rahim Zuraida dengan deras.

“Ooowwhhhh,, Argaaa,,,keluarkaaan sayaaaaang,,, keluar semuaaa dirahimkuuu,,,” Zuraida menatap wajah Arga yang orgasme dengan rasa bahagia di hati. Membiarkan lelaki itu menikmati setiap detik kenikmatan yang diberikan oleh alat senggamanya.
 Kembali menjepit pinggul Arga, memaksa otot vaginanya memijat batang Arga, seakan berusaha menguras seluruh isi kantong sperma, dan menerima semua peralihan cairan itu kedalam tubuhnya.
“Gaa,,, sperma mu banyak bangeeet,, kamu bisa menghamiliku,,,” bisik Zuraida.
Whoooo,,, Plok,,Plok,,Plok,, Plok,,Plok,,Plok,,tepuk tangan dan sorak terdengar riuh, mengagetkan Arga dan Zuraida. Tanpa mereka sadari semua mata menatap ke arah mereka. Wajah Zuraida memerah seperti udang rebus, turun dari tubuh Arga dengan terhuyung, kakinya begitu lemas, tak bertenaga.
“Duduk dulu sayaaang,, kau terlihat sangat kelelahan,,” sambut Aryanti, wajahnya tersenyum menahan tawa.
“Maaf yaaan,, maaf banget, aku minjam suamimu ga bilang-bilang,,,”
“Ststsss,, udah jangan ributin itu,,,” jawab Aryanti, merapikan kain yang menutupi tubuh bagian bawah Zuraida yang hampir terlepas.
“Hey,, Pak Prabu, ngapain ngintip-ngintip, ga boleh tau,, sana gih,, haahahaa,,” Aryanti mengusir Pak Prabu yang berusaha mengintip selangkangan Zuraida. Tampak sperma milik Arga perlahan mengalir keluar dari celah sempit itu.
“Gilaaa,, sepertinya orgasmemu tadi dahsyat bener Ga,,,” seru Munaf, sambil terus bertepuk tangan.
 “Asseeeem,,, sejak kapan kalian nonton,, akkhh,, taik kau Naf,,, lombanya siapa yang menang,,,” Arga berusaha mengalihkan obrolan.
 “ngga ada yang menang,,, liat aja balon kalian ngumpul di pantai semua tuh,,,hahaahaa,,,” seru Bu Sofie disambut gelak tawa yang lainnya.
 “Okeeey,,, masih ada waktu setengah hari untuk kita beristirahat, karena nanti malam kita akan mengadakan sedikit pesta perpisahan.” Pak Prabu kembali mengambil alih komando.
“Ada beberapa kabar, entah ini baik atau buruk untuk kalian, tergantung kalian menyikapi kabar ini, lebih jelasnya kita bicarakan nanti malam saja, Oke??,,,”
Wajah beberapa orang menjadi tegang, penasaran dengan kabar yang baru diterima Pak Prabu.

Bersambung....
By: Mojo Jos

Jumat, 17 Januari 2014

The Gladiator Tale: Blood and Semen

Daftar istilah asing

  • gladiator – petarung bersenjata yang bertarung di arena untuk menghibur penonton pada jaman Romawi Kuno
  • lanista – pemilik sekolah gladiator
  • senator – jabatan pada masa Romawi Kuno yang sekarang kurang lebih setara dengan anggota dewan / senat.
  • ludus – sekolah/asrama gladiator
  • gladius – pedang pendek lurus
  • sica – pedang lengkung
  • myrmillo – jenis gladiator yang dipersenjatai mirip legiuner dengan helm, tameng dan gladius
  • retiarius – jenis gladiator yang dipersenjatai dengan trisula, belati dan jala, bertarung dengan mengandalkan kelincahan.
  • Venatio – pertarungan antara gladiator dengan hewan buas
  • noxii – terpidana mati yang dipaksa bertarung di arena sampai mati
  • dominus/ domina – tuan/nyonya, sebutan bagi atasan oleh budak/pelayan
---------------------------------------------------

Republik Roma, 101 SM

Gegap gempita keriuhan penonton di arena pertandingan gladiator itu sementara mereda ketika dua gerbang besar dibuka , satu di setiap sisi arena . Dari keluar dari gerbang timur melangkah seorang gladitor retiarius dengan tubuh tinggi dan berotot, kulit hitam legamnya yang berkeringat nampak mengkilap di bawah sinar matahari yang hari itu bersinar terik. Sebagai catatan, retiarius adalah gladiator dengan dengan senjata jaring untuk menjerat lawan mereka serta sebilah tombak trisula. Pelindung badan retiarius lebih minim, hanya berupa pelindung lengan, bahu serta tulang kering, tanpa helm, karena type petarung ini lebih mengandalkan kecepatan dan kelincahan.
“Kita sambut....HASDRUBAL!! Jagal dari Sahara!!” seru pembawa acara dari podium utama.
Penonton menyambut meriah dengan teriakan dan tepuk tangan, taruhan mulai dipasang di antara mereka. Setelah itu gerbang barat membuka dan seorang gladiator type myrmilo yang akan menjadi lawan Hasdrubal melangkah keluar ke arena berpasir. Ia memiliki tubuh yang lebih besar dan kulitnya pucat, wajahnya tertutup oleh helm berukiran ikan mitologis dan rambut pirangnya yang panjang melambai tertiup angin. Lengan kanannya yang bertato khas Celtik memegang pedang gladius yang masih berlumuran darah lawan sebelumnya sementara tangan kirinya memegang perisai berukuran sedang. Seketika semua orang dalam kerumunan itu mengenalinya karena dialah sesungguhnya yang ditunggu-tunggu oleh mereka, juara  tak terkalahkan dari arena, pembunuh tak kenal ampun dari kepulauan Britania yang saat itu masih barbar. Dia pernah menghabisi lima lawan sekaligus dalam suatu pertandingan, bukan hanya manusia, binatang-binatang liar seperti macan, singa, dan beruang pun sudah menjadi korbannya.
“Dan dari sisi barat, inilah dia....sang juara bertahan, LIBERIUS!! Bayangan Kematian!!”
Sambutan penonton lebih meriah dan histeris dari sebelumnya, mereka sudah tidak sabar melihat darah tertumpah di arena. Kedua gladiator tersebut mendekati pusat arena dan berbalik menghadap podium utama dimana tamu penting yang meliputi senator, pejabat lokal, lanista (pemilik sekolah gladiator), beserta keluarganya duduk. Setelah editor (penyelenggara acara) memberi isyarat tanda pertarungan dimulai, terompet pun dibunykan. Hasdrubal membuka serangan awal dengan melompat ke arah Liberius yang dikejutkan oleh kecepatannya belum cukup sadar untuk menghindari ujung trisulanya. Sambil berlindung di balik tamengnya ia berusaha mendekati Hasdrubal. Namun gladiator dari Afrika itu menggunakan kelincahannya tetap menjaga jarak dan menyerang Liberius dengan trisulanya. Begitu Liberius menjauh, ia mulai mempersiapkan serangan jaring, mula-mula ia tancapkan mata garpunya ke pasir guna mencegah senjata itu tersangkut ke jaring. Ia memutar-mutar jaring itu lalu melemparkannya ke arah Liberius dan mengena, namun bagaikan singa, Liberius terus merangsek ke depan dalam jeratan jaring. Gladius di tangannya berkelebat dan menusuk paha Hasdrubal hingga ia terjatuh. Namun dengan lincah ia berguling ke samping dan berhasil bangkit ketika Liberius melangkah maju dan berusaha menyerang lengannya yang memegang jaring. Meskipun dihalau dengan trisula, Liberius yang dilindungi oleh tamengnya terus melancarkan serangan. Senjata mereka beradu menimbulkan bunyi berdentang yang nyaring. Keduanya melompat ke belakang menjaga jarak dan bersiap menyerang kembali. Orang-orang menahan nafas menyaksikan duel ini semakin mendebarkan. Kedua gladiator ini memang petarung berpengalaman yang sudah memiliki rekor bertarung yang tidak diragukan lagi, sehingga tidak heran penonton hari itu lebih banyak dari hari-hari biasa. Hasdrubal kembali menyerang, kali ini ia merangsek ke depan sambil mengayunkan trisulanya berusaha menebas Liberius. ‘Trang!’ Liberius menghantamkan tamengnya pada senjata lawan membuat tangan Hasdrubal bergetar, saat itulah ia melakukan manuver berupa gerakan memutar ke belakang punggung si gladiator Afrika  dan menyikut punggungnya.
Liberius
“Aaakkhhh!!” Hasdrubal mengaduh dan terhuyung-huyung merasakan sakit pada tulang punggungnya.
Tanpa memberi kesempatan, Liberius menerjang dan menebaskan gladiusnya, namun gerakannya dengan segera terbaca oleh Hasdrubal yang menusukkan trisulanya. Sekali lagi tameng Liberius menyelamatkannya namun kali ini karena jarak yang dekat, trisula Hasdrubal berhasil menggores lengan kiri Liberius lalu ‘trang!’ Hasdrubal dengan cepat memutar senjatanya dan memakai ujung bawahnya menghantam kepala Liberius yang dilindungi helm. Walaupun pukulan itu hanya menghantam helmnya, namun tak urung Liberius pun terhuyung ke belakang dan telinganya berdenging akibat hantaman keras itu pada pelindung kepalanya. Selama beberapa saat keduanya saling hindar, saling tangkis dan saling tunggu kesempatan menyerang balik. Hasdrubal nampak berada di atas angin ketika ia kembali menyarangkan pukulan ke helm Liberius sehingga memaksa gladiator bertubuh raksasa itu melepas dan membuang helmnya karena penyok sehingga terlihatlah wajah garang di balik helm itu yang terdapat beberapa luka codet hasil pertarungan. Namun akhirnya dalam suatu kesempatan Liberius berhasil menemukan celah di antara serangan Hasdrubal yang meleset dan berhasil memotong lengannya yang memegang trisula. Penonton langsung berseru kegirangan melihat adegan darah tertumpah dan anggota tubuh terpotong itu. Kemunafikan sikap sosial masyarakat Romawi terhadap gladiator tersebut menyebabkan beberapa filsuf secara gamblang menyerang para senator dan warga professional yang menganggap gladiator itu rendah dan sederajat dengan pelacur namun juga gemar menonton aksi mereka di arena.
“Liberius!! Liberius!! Liberius!!” demikian seruan dari bangku penonton mengelu-elukan nama sang juara bertahan yang berhasil mengalahkan lawannya.
Hasdrubal berlutut dan meringis kesakitan memegangi lengannya yang terpotong, ia telah kalah dan siap untuk menerima nasibnya.
“Selamat...kau...pemenangnya, cepat lakukan, aku tidak sudi hidup sebagai orang cacat!” kata Hasdrubal.
“Akan kulakukan secepat mungkin kawan, tanpa rasa sakit!”
Liberius meletakkan pedangnya di depan tenggorokan Hasdrubal. Setelah menunggu beberapa saat untuk melihat suasana hati para penonton, editor bersiap memberi keputusan.  Ia merentangakan tangannya yang terkepal ke depan, menyiapkan jempolnya, inilah saat yang paling mendebarkan karena akan menentukan hidup atau matinya mereka yang kalah. Beberapa detik kemudian, sang editor mengarahkan jempolnya ke bawah, pertanda Hasdrubal harus mati. Liberius yang juga ingin mengakhiri penderitaan lawannya itu segera mendorongnya ke depan hingga gladius itu mengiris leher Hasdrubal. Pertandingan selesai, Hasdrubal ambruk ke pasir bergelimang darahnya. Seorang budak segera masuk ke arena untuk menyeret tubuh Hasdrubal yang sudah tidak bernyawa itu keluar dari arena. Sementara sang pemenang, Liberius, mendapat hadiah uang, ketenaran, perhatian publik dan ranting palma. Sebuah kemenangan gemilang yang mengakhiri pertandingan seru hari itu.

########################
Ludus Ampilatus

Di kamarnya Liberius menghitung uang yang didapatnya hari itu, jumlah yang cukup besar. Dia memperhatikan catatan tabungannya dengan hati senang.
"Ya...segera, " ia mengingatkan dirinya sendiri, "segera kebebasan itu akan kuperoleh"
Ia tidak sadar seseorang sudah berdiri di pintu kamarnya yang setengah terbuka dan memperhatikannya.
“Ohhh...dominus (tuan)...maaf saya tidak memperhatikan” sahut pria bertubuh besar itu lalu berdiri ketika menyadari kehadiran tuannya.
“Tidak apa, santai saja...” pria umur empat puluhan berpostur sedang itu tersenyum dan melangkah masuk.
Pria ini bernama Quintus Ampilatus, salah satu lanista terkenal di Pompeii, sudah empat tahun lebih Liberius bertarung di bawah nama ludusnya. Ia sudah mendatangkan banyak keuntungan bagi pria ini melalui pertaruhan nyawa di arena. Sebagai gladiator andalan, Ampilatus pun memberikannya kamar pribadi, terpisah dari para budak dan gladiator lainnya yang kebanyakan tidur bersama dalam sel atau kamar sempit.
" Penampilan yang bagus Liberius" katanya, "seperti biasa kau memang tidak pernah mengecewakan” puji pria itu seraya menepuk pundaknya.
“Melayani anda, kehormatan bagiku” Liberius berkata dengan suara rendah.
“Besok malam kita mendapat undangan untuk hadir di villa Senator Gaius, bersiaplah untuk itu! Bersihkan dirimu, saya sudah menyiapkan hadiah kecil di kamar mandi" Ampilatus mengangkat alis dengan senyum penuh arti.

-------------------------------
Marcia

“Selamat sore tuan!” sapa seorang gadis budak berparas cantik menyambut Liberius di tempat pemandian.
Liberius hanya mengangguk membalas sapaan gadis itu, inilah hadiah yang dimaksud oleh tuannya, seperti biasa Ampilatus memang terbilang royal dalam memberi penghargaan bagi para gladiator maupun pelayannya. Gadis berambut hitam ikal itu membuka ikat pinggang Liberius kemudian tuniknya. Terakhir ia membuka cawat pria itu dan langsung tertegun melihat penis Liberius yang berukuran besar itu, padahal itu baru setengah ereksi. Gladiator itu pun melangkah masuk ke dalam bak dan menyandarkan punggung lalu menghela nafas. Air dingin itu terasa memberi kesegaran di musim panas seperti ini, bekas-bekas pertarungan tadi seolah hilang olehnya. Setelah merapikan pakaian Liberius, gadis itu pun melepas pakaiannya, gaun biru muda dari bahan tipis itu pun terlepas dari tubuhnya lalu ia melepaskan juga celana dalamnya. Kemudian dengan santai ia pun masuk ke bak, meraih handuk bersih di bibir bak dan mulai mengelap tubuh kekar Liberius.
“Aku baru pernah melihatmu, siapa namamu?” tanya Liberius bersandar pada posisi nyaman merenggangkan otot-ototnya, meskipun matanya setengah terpejam, ia mengamati tubuh telanjang si gadis budak itu, begitu indah dan putih dengan payudara sedang dan bulu kemaluan dibiarkan tumbuh lebat pada selangkangannya.
“Marcia! Aku baru bulan kemarin masuk ke sini dan bekerja di bagian dapur” jawab gadis itu sambil mengelap pundak Liberius, darahnya berdesir meraba lengannya yang kokoh itu, tubuhnya yang penuh luka tebasan dan tato di lengan kanannya menciptakan aura macho dalam diri gladiator itu.
“Nama yang indah, seindah orangnya” puji Liberius, “darimana asalmu? Dari logat bicara sepertinya kau dari timur. Hhhmmm...biar kutebak...Persia?”
Marcia menggeleng dengan wajah tertunduk menyembunyikan senyum dikulum, merasa tersanjung dengan pujian tadi.
“Mesir...tidak-tidak, mereka tidak seputih ini, Asiria?” tebaknya lagi
Marcia mengangguk dan tersenyum, ia berpindah ke pundak yang satu lagi disertai pijatan.
“Kau berasal dari jauh, apa masih punya keluarga di sini?”
Gadis itu menggeleng, “kedua orang tua dan dua adik saya semua meninggal...wabah, hanya aku yang selamat dan berakhir di tangan penjual budak dan sampai di tempat ini” katanya lirih.
Liberius manggut-manggut perlahan, ia merasa kasihan dengan gadis ini.
“Nasehatku manis....keraslah pada dirimu di negeri asing ini, maka kehidupan itu akan terasa lembut, jangan sebaliknya karena itu akan menjadi bencana bagimu” kata gladiator itu menatap tajam mata Marcia.
“Eeemmm” gadis itu mengangguk memikirkan kata-kata bijak sang gladiator, ia tak menyangka dari orang kasar seperti Liberius bisa keluar nasehat seperti itu.
Tiba-tiba ia terhenyak ketika tangan pria itu meraih pantatnya dan menariknya mendekat, wajah sangar gladiator itu kini tidak sampai sejengkal dengan vaginanya, hembusan nafasnya terasa betul. Marcia terdiam mematung, ia memang sudah siap untuk momen ini, pandangan mereka bertemu ketika Liberius menengadah melihat reaksi wajahnya. Ia pasrah saja dan saat gladiator itu mendekatkan wajahnya dan mencium wilayah kewanitaannya tersebut.

“Eeemmmhhh” lenguh gadis itu dengan mata terpejam.
Tubuh Marcia pun semakin bergetar, ia merapatkan selangkangannya ke bibir Liberius sambil meremas rambut pirang panjang pria itu. Lidah Liberius semakin liar mengais-ngais liang kenikmatannya. Marcia merasakan vaginanya semakin membasah seiring dengan rangsangan yang semakin kuat dan tanpa sadar ia pun mulai menggoyangkan pinggulnya supaya Liberius lebih leluasa menciumi kemaluannya. Gladiator itu menghisap klitorisnya kuat-kuat serta ujung lidahnya dengan lincah menggelitik titik sensitif itu. Jari-jari tangannya yang besar ikutan mengocok liang kenikmatan Marcia diselingi permainan lidah di klitorisnya. Marcia makin menjerit nikmat, ia benar benar dibuatnya kelojotan karena permainan tangan dan oralnya, nikmat sekali.
“Yahhh...masukin sekarang, aku sudah tidak tahan!” desahnya memohon.
Namun Liberius tidak menggubrisnya, ia masih menikmati menjilati vagina gadis budak itu, ia hanya menyeringai mesum melihat wajah Marcia yang telah memerah akibat birahi tinggi, rambut hitamnya yang terurai membuatnya terkesan semakin seksi saja.
“Berbaliklah manis!” perintah Liberius.
Marcia membalikkan tubuhnya dengan posisi menungging, tangannya bertumpu pada bibir bak. Ia berharap pria itu segera melakukannya dengan posisi doggie, tapi malah kembali tangan dan lidahnya yang menyentuh organ kenikmatannya, gadis itu pun makin menceracau ketika lidah kasap Liberius menyentuh anusnya
"Kumohon tuan...setubuhi aku!" desah Marcia tak tahan menghadapi pemanasan Liberius yang gemilang, nafasnya sudah tersengal-sengal menahan gejolak birahi.
“Hehehe...baiklah kalau kau sudah tak sabar manis!” Liberius bangkit hingga air hanya merendam lututnya ke atas sedikit, penisnya sudah ereksi penuh dan siap untuk mengeksekusi gadis itu, jantung Marcia pun makin berdebar-debar menyaksikan penis yang besar dan gagah itu, horny sekaligus ada rasa takut vaginanya dibobol benda sebesar itu.
Tangannya mencengkram erat bibir bak saat merasakan kepala penis Liberius mulai mengusap bibir vaginanya
"Aakkkhhh....aaaww.. " teriak Marcia kaget ketika tanpa aba aba sang gladiator mendorong masuk penisnya dengan keras dan sekali dorong, meskipun vaginanya sudah basah kuyup akibat dijilati tadi, namun ukuran penis itu yang besar dan sodokan kencangnya membuat gadis itu kaget, sakit bercampur nikmat, semua beraduk menjadi satu.
Wajah seram Liberius tersenyum penuh kemenangan melihat gadis itu menggeliat karena sodokannya. Kini tangan pria itu mulai bergerilya merambahi lekuk-lekuk tubuh Marcia yang indah, tangan itu merayap ke bawah dan meraih payudaranya. Dengan perkasanya gladiator itu memompa tubuh Marcia yang tak berdaya menungging tersebut. Liberius mempercepat sodokan-sodokan penisnya seolah ingin menghajar habis vagina Marcia merintih-rintih sampai keluar air mata, nafas pria itu memburu tak karuan seperti kerbau liar.

“Luar biasa...vaginamu benar-bener sempit dan nikmat sekali...aahhh” kata Liberius sambil terus memompa tubuh gadis budak itu tanpa ampun.
Tangan besar Liberius melingkupi seluruh payudara Marcia dan meremas-remasnya dengan gemas. Pinggulnya terus maju mundur untuk melesakkan penisnya berulang kali melewati bibir kecil vagina Marcia yang sudah merah basah itu. Dengan gerakan memutar membuat pinggul gadis Asiria ini ikut bergerak seirama dengan gerakan penisnya. Marcia sepertinya berusaha menikmatinya walaupun rasa sakit itu masih terasa di selangkangannya.
“Akhh..akhh…akhhh…” desah Marcia ketika sodokan batang penis Liberius menjarah vaginanya dengan cepat dan penuh tenaga.
Tubuhnya berguncang hebat dan payudaranya-pun menjadi seperti terombang-ambing karena berguncang. Dia tidak lagi menghiraukan rasa sakit di selangkangannya dan jika tadi desahan dan rintihannya berupa rasa sakit sekarang berubah menjadi rasa nikmat.
“Akhhh…terus tuan...enak....yah terus!” Marcia berubah menjadi liar.
Lalu dalam menit berikutnya Liberius pun mempercepat genjotannya dan memeluk Marcia dari belakang sambil meremas payudaranya yang menggantung bebas itu dengan mesra lalu menusukkan sebuah tusukan tunggal namun dalam.
“Aku juga keluar....ooohhh” erang Marcia setelah tahu Liberius mencapai puncak kenikmatan.
Crettt…crettt…crett…entah berapa kali penis sang gladiator menyemburkan sperma di dalam vagina sang gadis hingga bercampur dengan cairan orgasme gadis Asiria itu. Liberius merasakan hangat pada penisnya dan seperti dicengkeram erat oleh vagina Marcia. Gadis itu lalu ambruk dalam posisi masih tengkurap, kepalanya bersandar lemar pada bibir bak, sementara Liberius menindihnya sebentar sebelum bangkit dan mencabut penisnya dari dalam vagina gadis itu. Saat penisnya tercabut nampak lelehan cairan putih susu membasahi selangkangan Marcia.
"Gadis pintar...ternyata kamu berpengalaman juga ya hahaha" puji Liberius sambil membelai dada Marcia.
Gadis itu tersenyum simpul, "tuan juga...nama besar tuan sebagai juara memang bukan omong kosong...orgasme tadi sungguh dahsyat dan aku baru pernah merasakan penis raksasa seperti milik anda ini hihi.."
"Oooh...jadi kamu suka dengan punyaku?" goda Liberius sambil menggerakkan penisnya membelai belai pantat Marcia.
Marcia mengangguk, “punya anda luar biasa, besar, panjang, dan juga keras" jawabnya jujur dan memang sebelumnya ia hanya penasaran dan hanya bisa membayangkannya, tapi ternyata memang luar biasa. Liberius kembali bersandar pada dinding bak, lalu meminta Marcia duduk di pangkuannya. Gadis itu menurut saja, ia merasa tubuhnya kecil sekali dalam dekapan tubuh raksasa sang gladiator. Mereka ngobrol ringan, lalu tak lama kemudian Liberius meraih dagu Marcia, dipandanginya wajah cantik khas timur tengah itu dan diciumnya bibirnya dengan hangat. Marcia pun mengimbangi ciumannya, lidah mereka saling beradu dengan penuh gairah. Tangan Liberius mulai bergerak menelusuri antara dada dan paha Marcia. Di tengah perciumbuan, Marcia merasakan bahwa sesuatu yang ia duduki terasa mulai agak mengeras. Ia melihat ke bawah air sana melihat penis Liberius sudah setengah ereksi lagi. Ia meraih kepala penisnya dan jemari lentiknya mulai membelai batangan itu. Sebelum penuh ereksinya tiba-tiba Marcia masuk ke dalam air dan menangkap penis itu dengan mulutnya, Di dalam air ia memainkan kulup penis itu dengan lidahnya dan mengulumnya dengan mahir.

“Ouuhh....yahh...” Liberius menggeliat dan berdesis menahan kenikmatan oral seks yang diberikan Marcia di dalam air dingin, penisnya pun makin mengeras.
Sudah hampir lima menit Marcia bertahan melakukan oral seks di dalam air, sementara Liberius makin tak tahan menerima pelayanan mulut gadis itu. Maka ia pun menarik kepala gadis itu. Marcia timbul dengan tersenyum nakal, wajah dan rambutnya telah basah membuatnya nampak semakin menggairahkan.
“Anda suka barusan itu?” tanyanya
Liberius mengangguk, “Ya, suka sekali tapi jangan terlalu lama nanti keluar duluan”
“Ya benar, jangan cepat-cepat keluar, aku masih menginginkannya” Marcia berkata dengan suara lirih yang menggoda sambil naik ke pangkuan pria itu.
Marcia meraih penis raksasa Liberius dan mengarahkannya ke arah vaginanya. Mata sang gladiator melihat tangan gadis itu menggenggam penis besarnya untuk diselipkan di antara bibir kemaluannya.
“Oouuccchhh....!!” lenguh Marcia saat kepala penis itu membelah bibir vaginanya, ia memejamkan mata dan menahan nafas untuk menikmatinya.
Dan dilepasnya dari pegangan saat kepala penis itu mulai menyelinap di antara bibir kemaluannya dan melesak ke dalam vaginanya seiring tubuhnya yang terus turun hingga ia berdebar nikmat. Liberius mencium bibirnya lembut. kali ini Marcia lebih dapat menikmati proses penetrasi. Penis raksasa itu masuk makin ke dalam hingga terasa sekali kepalanya menekan dinding vagina Marcia. Setelah merasa posisinya pas, Marcia mulai menggoyangkan tubuhnya perlahan. Bibir Liberius merambat turun dari bibir gadis itu ke payudaranya, mulutnya yang besar seolah hendak menelan seluruh bongkahan payudara kiri gadis itu. Ia mengenyot-ngenyot bongkahan kenyal itu dengan rakus, dijilat dan dihisap-hisap sampai meninggalkan bekas merah di kulitnya yang putih. tangannya kembali meremas bongkahan kenyal itu. Mereka mulai bersetubuh dalam posisi berpangkuan. Kali ini Marcia lebih aktif dan lebih menikmati seluruh rangsangan yang menjalari tubuhnya. Ia menaik-turunkan tubuhnya dengan sepenuh perasaan, lembut tapi kadang menyentak. Sementara tangan Liberius terus menelusuri permukaan tubuh gadis itu, bibirnya menjelajah leher, pundak, dada dan bibirnya.
“Ooohhh…enak sekali penismu, besar dan panjang, ohhh…aku ingin terus disetubuhi!!” rintih Marcia.
“Hhhmmm…oohh…vaginamu juga enak, terus goyang manis puaskan dirimu, uuuhh…,” desah Liberius yang sibuk menghisap kedua payudara gadis itu silih berganti sementara tangannya tetap aktif dengan meremas-remas pinggul dan membelai punggungnya.
Mata Marcia membeliak-beliak, kepalanya mendongak dan mulutnya setengah terbuka dan mengeluarkan rintihan serta lenguhan menikmati penis gladiator itu merojok-rojok vaginanya. Ia merasakan lubang vaginanya pehun sesak dengan jejalan batang raksasa itu, sehingga gesekan-gesekan penis Liberius terasa betul oleh dinding vaginanya, ia juga merasakan klitorisnya tergesek-gesek oleh batang tersebut.

“Tuan, aku mau keluar, aku sudah tidak tahan lagi, ooohhh..penismu...hisapanmu…,” Marcia mengerang.
Gerakan naik turun Marcia semakin cepat tapi tidak beraturan, tubuhnya mulai mengejang dan mengejut-ngejut, air di sekeliling mereka juga semakin berkecipak. Liberius yang mengetahui gadis itu sudah di ambang orgasme lagi, segera menambah ritme remasan tangannya di kedua payudaranya, dan mulutnya menambah daya hisapannya menjadi lebih lama dan berulang-ulang, payudara itu seperti mau ditelan saja olehnya. Tidak sampai lima menit, Marcia pun melenguh panjang saat puncak kenikmatannya berhasil ia rengkuh untuk yang kedua kalinya, ia menekan pantatnya ke bawah kuat-kuat. Sssrrrrr….sssrrrr…vaginanya menyemburkan cairan orgasme menghangatkan penis Liberius. Tubuh Marcia terlihat bergetar dengan hebat, pantatnya mengejut-ngejut, sampai akhirnya tubuhnya ambruk di dada bidang Liberius, vaginanya berkedut-kedut, di mulutnya tersungging senyum kepuasan. Gladiator itu kemudian menambah sensasi nikmatnya dengan mengecup lembut bibir gadis budak itu berkali-kali, tangannya meremas-remas lembut pantatnya dan membelai punggungnya. Marcia sungguh tidak menyesal bercinta dengan sang juara, pria itu memang benar-benar perkasa, bukan cuma di arena tapi juga dalam bercinta. Lamunan gadis itu lepas saat Liberius memagut bibirnya dan mulai mengajaknya beradu lidah lagi, lidah besar pria itu menyapu-nyapu langit-langit mulutnya, lengannya yang kokoh memeluk erat tubuhnya. Lama kelamaan tubuh Marcia yang semula lemas, mulai terbakar lagi. Ia berusaha menggeliat, tapi tubuhnya dipeluk erat, pria itu makin meningkatkan cumbuannya lalu kemudian bangkit berdiri mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di bibir bak. Penisnya yang masih menancap segera ia maju-mundurkan pada liang vagina gadis itu. Kembali Marcia diombang-ambingkan di tengah lautan birahi. Pria itu memagut lehernya sambil menekan masuk seluruh batang penisnya
“Oh...benar-benar keras, masuknya dalam sekali, sungguh juara sejati dia” ceracau gadis itu dalam hatinya merasakan penis Liberius melesak hingga mentok ke dinding vaginanya.
Liberius menggerakkan penisnya seperti gerakan mengaduk untuk meningkatkan rangsangan pada klitoris gadis itu. Kali ini dalam waktu relatif cepat, Marcia kembali diterpa gelombang orgasme. Ia meronta dan mengerang.
“Ooohhh...oohhh...sebentar lagi manis....sssshhh!!” Liberius melenguh bagai kerbau liar saat merasa penisnya akan segera menyemprotkan isinya.

Gladiator itu semakin mempercepat kocokan penisnya di liang kenikmatan Marcia, gerakan keluar masuknya sekarang lebih leluasa karena lubang vagina gadis itu sudah basah oleh cairan kenikmatannya yang membanjir, bunyi kecipak alat kelamin mereka bertumbukan semakin menambah sensasi kenikmatan. Akhirnya dengan sekali hentakan yang kuat Liberius membenamkan penisnya dalam-dalam.
“Aaaaaahhhhhh!!” erangnya keras sampai dua orang prajurit penjaga ludus Ampilatus yang berjaga tidak jauh dari situ dapat mendengarnya sayup-sayup.
“Sang juara sedang menikmati hadiahnya” kata si prajurit pertama pada rekannya yang lebih junior dan baru bertugas dua minggu di ludus.
“Sepertinya hadiahnya cukup istimewa” balas rekannya tersenyum, mereka lalu meneruskan tugas berjaganya.
Marcia berkelojotan mendapatkan serangan seperti ini, sensasi nikmat yang ia rasakan saat ini belum pernah ia alami sebelumnya. Sesaat Liberius menurunkan frekuensinya dan menurunkan tubuh gadis itu sehingga mereka kembali berendam di bak. Nafas keduanya terdengar memburu, mereka saling berpagutan meresapi sisa-sisa kenikmatan yang barusan saja mereka rengkuh. Penis raksasa Liberius yang masih tertanam di dalam lubang vagina Marcia perlahan-lahan mulai lemas, Marcia yang tadinya merasakan lubang vaginanya begitu sesak oleh jejalan penis itu mulai merasakan kekosongan akibat mengecilnya benda itu. Selang beberapa saat, pagutan penuh nafsu mereka berganti menjadi kecupan-kecupan ringan, senyum lemas tersungging di mulut mereka.
“Luar biasa...aku betul-betul puas, tapi sungguh aku sudah tidak kuat lagi,” Marcia berkata dengan genit.
Liberius memeluk tubuh gadis budak itu dan membelai punggungnya lembut.
“Ini hanya hubungan badan, jangan pernah mencintaiku ataupun orang sepertiku” katanya pelan dekat telinga gadis itu.
Marcia diam tidak berkata-kata, selain merasa puas secara seksual entah mengapa ia juga mulai merasakan kehangatan bersama pria ini, walau tampangnya seram namun ia dapat berkata lembut dan bersifat kebapakan.

############################
Keesokan harinya

Dalam gelap malam Liberius berjalan di belakang mengikuti Ampilatus menyusuri jalan-jalan kota Pompeii yang mulai lenggang. Sesekali terdengar seruan peringatan dari penjaga malam yang berkeliling agar hati-hati dengan api, karena di musim panas dan kering seperti ini, kecerobohan kecil dapat menyebabkan kebakaran dan api dengan mudah dapat menjalar ke perumahan yang letaknya berhimpit-himpitan itu. Ampilatus memang tidak memberi tahu apa tujuan undangan kali ini, namun Liberius dapat mengira-ngiranya. Ini bukanlah pertama atau kedua kali dirinya diundang secara khusus ke kediaman pejabat atau bangsawan Roma, biasanya mereka membutuhkan gladiator untuk meramaikan pesta-pesta di kediaman mereka untuk pertunjukan duel tertutup sebagai bumbu dari pesta, tidak jarang dirinya menjadi pemuas wanita dalam pesta-pesta liar yang menjadi gaya hidup para kalangan atas saat itu. Ia bahkan pernah dipanggil untuk melayani para nyonya-nyonya pejabat dan bangsawan yang tidak ragu membayar mahal untuk memenuhi dahaga seksual mereka. Dia meragukan bahwa ia sedang dipanggil untuk tujuan baik. Tak ada yang tidak kenal dengan senator satu ini, ia memegang pengaruh yang cukup besar di republik, sebelum menjadi senator dulu, ia dikenal sebagai seorang jenderal yang brilian. Liberius telah mendengar nama besarnya sebagai salah satu jenderal Romawi yang pernah menyerang negerinya. Ia juga dikenal memiliki seorang istri yang cantik bernama Aurelia, yang berasal dari garis keturunan keluarga terhormat di republik. Liberius pernah melihatnya beberapa kali wanita itu duduk di samping belakang suaminya ketika menonton pertandingan, dan ia pun harus mengaku pesona wanita itu sungguh membuatnya terpukau. Senator Gaius memang tampak sebagai lelaki sempurna, ia memiliki istri cantik, dua anak perempuan yang mewarisi kecantikan ibu mereka, dan karir cemerlang. Ia juga tidak pernah mengambil istri lain atau selir yang sebenarnya sah-sah saja pada masa itu, selain itu ia pun tidak pernah terlihat dalam pesta-pesta liar kalangan atas Roma yang penuh kegilaan. Ketika mereka sampai di sebuah vila mewah yang merupakan rumah dinas pejabat, penjaga mengantar mereka ke pintu samping. Seorang pria berpostur pendek berusia sekitar empat puluhan menyambut mereka. Pria ini bernama Zacharias bin Memnon, sekretaris pribadi sang senator. Walau sudah berpenampilan seperti orang Romawi dan berbahasa Latin dengan fasih, nama dan hidungnya yang agak bengkok tidak bisa menyembunyikan darah Yahudinya. Senyuman dan garis-garis wajahnya memperlihatkan sifatnya yang licik dan tidak bisa dipercaya, janggut merahnya yang pendek dan suaranya yang berat membuatnya kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya.
“Saudara Ampilatus...selamat malam, mari kita ke ruanganku dulu sambil menunggu dominus bersiap-siap” sapanya seraya merangkul Ampilatus, “dan kau sang juara, kedatanganmu sudah ditunggu, mari!” ia menepuk lengan berotot Liberius dan menengadah untuk menatap wajahnya, lalu membawa mereka ke ruangannya.
Mereka pun sampai ke ruangan Zacharias yang telah diterangi oleh pelita berukiran indah, gulungan perkamen dan dokumen memenuhi meja dan raknya. Ia menutup pintu dan berpesan pada penjaga agar jangan sembarangan membiarkan orang masuk. Setelah ngobrol basa-basi sejenak dengan Ampilatus dan Liberius, Zacharias mulai memperlihatkan mimik serius dan mulai masuk ke pokok pembicaraan
"Baiklah juara...” demikian pria Yahudi itu memanggil Liberius, “sebelum bertemu dominus-ku, agaknya aku sebagai perpanjangan lidah dan tangannya perlu menjelaskan terus terang tentang pertemuan malam ini"

Liberius mengangguk setuju, demikian pula Ampilatus berdiri dalam bayang-bayang dan mengangguk setuju .
“Dominus membutuhkan bantuanmu, seorang pria yang kuat secara fisik serta mempunyai gen prajurit sejati...” kata Zacharias sambil berjalan mengitari tubuh raksasa gladiator itu, “ia selalu ingin seorang anak laki-laki sebagai pewaris, namun seperti yang kalian tahu, ia hanya memiliki dua anak perempuan, cantik dan sehat memang...tapi ia belum merasa cukup tanpa anak laki-laki. Ia pernah punya seorang anak laki-laki namun anak itu meninggal ketika masih bayi” Zacharias menghela nafas, baik Liberius dan Ampilatus terus menyimak penuturan si Yahudi itu, “...masih dalam suasana duka, bencana berikutnya menyusul ketika dua tahun yang lalu dalam pertempuran melawan bajak laut di perairan Sisilia.”
“Apa yang terjadi?” Liberius penasaran bertanya.
“Ia terluka cukup parah, selangkangannya terpukul waktu menyelamatkan prajuritnya. Memang selamat dan seperti yang kalian lihat ia masih dapat berdiri dan berjalan tegak, namun....” Zacharias menelan ludah sejenak, “sejak itu ia mengalami masalah dalam berhubungan badan, padahal keinginannya memiliki anak laki-laki belum juga kesampaian”
Liberius mulai mengerti tujuan mereka memanggilnya, “Saya mengerti, jadi senator ingin...”
“Meminjam bibitmu!” kata Zacharias sebelum Liberius selesai, “kau akan melayani domina dan membuatnya melahirkan anak laki-laki, dominus melihat anda adalah pilihan yang paling tepat di antara gladiator lainnya, dan ia juga berkata para dewa telah merestuinya lewat mimpi bahwa kelak anak itu akan menjadi orang besar!”
“Tapi apakah domina...?” tanya Liberius.
“Domina juga telah setuju, tapi rahasia ini harus terjaga, kalau suatu hari nanti ada isu-isu tidak sedap, nyawa anda, juara, juga orang lain yang terlibat termasuk diriku, akan terancam, kamu mengerti itu, juara?” Zacharias menengadah menatap dalam-dalam mata Liberius untuk meyakinkan bahwa ia sangat serius.
Liberius mengangguk menyanggupinya, saat itu pintu diketuk dan Zacharias membukakan pintu. Seorang prajurit melaporkan sesuatu padanya. Zacharias mengangguk, setelah prajurit itu pergi ia berbalik lagi ke arah mereka.
“Baiklah tuan-tuan, makan malam telah siap dan dominus telah menunggu anda di ruang makan, mari!” katanya dengan tersenyum.
Seorang pria tampan berumur tiga puluhan lebih memakai tunik putih yang dibordir dengan indah menyambut mereka di ruang makan. Dia tidak lain adalah Senator Gaius, sang tuan rumah yang mengundang mereka malam ini.
"Ah...ini dia sang juara, Liberius, sungguh kehormatan bagiku dapat bertatap muka dengan anda secara langsung malam ini!"
“Demikian juga bagiku senator” balas Liberius sambil membungkuk memberi hormat.
Di ruangan yang telah tertata apik itu telah tersedia berbagai jenis makanan dan minuman yang mengundang selera. Sang senator mempersilakan mereka menikmati jamuan yang telah ia persiapkan itu. Mereka pun makan sambil mengobrol, Ampilatus terlihat akrab dengan Gaius karena memang mereka sudah sering bertemu sebelumnya. Gaius hanya beberapa meter dari Liberius, tangannya memegang cawan berisi anggur kualitas terbaik
"Mari Liberius, saya bersulang untuk kemenanganmu kemarin!” sahutnya sambil mengangkat cawan itu pada sang gladiator.
Liberius meletakkan paha babi yang sedang disantapnya dan meraih cawan di mejanya menyambut sang senator.
“Terima kasih senator!” jawabnya singkat.

“Hahaha....saya mengundang anda malam ini memang ada tujuan khusus, saya perlu bantuan...bantuan yang hanya dapat dilakukan oleh anda” ia meneguk anggurnya sejenak sebelum melanjutkan, “ya...saya telah memperhatikan banyak orang di republik ini dan pilihan itu jatuh pada anda, yang saya rasa paling tepat untuk itu"
Sang senator menghampiri Liberius dan memintanya untuk berdiri. Gladiator itu menegakkan badannya, sang senator memandanginya dari atas ke bawah seolah-olah sedang memilah-milah budak yang dijual di pasar.
"Penampilan fisik yang sempurna, perkasa bak Hercules...saya rasa Zacharias telah menjelaskan semuanya kan?" kata Gaius melirik sejenak pada sekretarisnya yang lalu mengangguk padanya, “untuk jasamu dan bila hasilnya sesuai harapan, saya bersedia membayar berapapun termasuk yang selalu anda mau....kebebasan, ya kan?”
Liberius terhenyak, inilah yang selama ini ia tunggu, hanya dengan memberikan bibitnya ia dapat memperoleh kebebasan itu, namun apakah semudah itu? hanya meminjamkan bibit? Apakah tidak ada risiko dengan harga semahal itu?
"Domina sendiri? Apakah dia setuju?” Liberius bertanya untuk lebih meyakinkan
"Hahaha..." Gaius tertawa sambil menepuk-nepuk lengan kekar Liberius, “kami sudah membicarakan hal ini dari awal, demi tujuan itu, istriku pun sudah siap, anda tidak perlu khawatir, hanya perlu menjalankan tugas anda”

-------------------------
Setelah jamuan makan malam, Liberius diantar ke sebuah ruangan, pengawal membukakan gerbang ruangan itu dan kemudian dia ditinggalkan sendirian di dalam. Liberius terperangah melihat kemewahan ruangan itu, lantainya berlapis marmer putih berkualitas, patung-patung gaya Yunani menghiasi sudut-sudut ruangan, udara dipenuhi beraroma bunga dan rempah-rempah yang membangkitkan gairah, cahaya lembut dari pelita menerangi ruangan itu.
“Anda pasti Liberius sang juara!” kata sebuah suara wanita dari balik kelambu ungu yang menutupi sebuah ranjang di tengah ruangan
“Hormat saya domina!” Liberius memberi salam sambil sedikit menunduk
“Tidak perlu seformal itu, kemarilah!” panggil suara lembut itu.
Dengan berdebar-debar, gladiator itu melangkahkan kakinya ke sana, begitu menyibakkan kelambu, ia langsung terpana oleh pesona kecantikan wanita itu, wanita yang sering dilihatnya dari kejauhan yang biasa duduk di sebelah suaminya ketika menontonnya bertanding di arena. Kecantikannya bak Venus, dengan rambut coklat dan mata gelap, ‘dewi yang turun ke dunia’ itu yang duduk di tepi ranjang di hadapannya. Aurelia telah berdandan begitu cantik malam itu, gaun terusan berwarna merah yang indah menutupi tubuhnya, gelang emas berukir yang indah menghiasi kedua lengannya, sepasang payudaranya yang montok dan padat terlihat menggoda di balik belahan dadanya yang rendah, juga pahanya yang jenjang dan mulus itu di antara belahan roknya. Pemandangan itu membuat penis Liberius berdiri tegak dan terasa sempit karena tertahan oleh cawatnya.
“Kita bukan pertama kalinya bertemu bukan?” Aurelia berdiri dan menyambut sang gladiator.
“Ya, saya sering melihat anda di podium”
“Hanya saja tidak sedekat sekarang ini” kata wanita itu memberikan senyumnya yang sangat menawan.
“Di sini kita sebagai pria dan wanita, jadi anda santai saja” katanya sambil berjalan ke meja dekat situ lalu meraih poci perak berisi anggur. Dia menghela napas dan menuangkan anggur ke dalam dua cawan indah yang harganya jauh melebihi melebihi pendapatannya bertaruh nyawa di arena selama sebulan.
"Minumlah ini dan menenangkan saraf anda!” seraya menyodorkan cawan yang satu pada Liberius, “tidak perlu menjadi takut padaku. Nasib kita telah diputuskan sehingga kita bertemu di ruangan ini. Anda jalankan tugas anda, dan sesuai perjanjian kebebasan itu akan menjadi milik anda."
Liberius meneguk anggurnya setelah menyambut toast wanita itu, anggur bagus, aromanya harum, manisnya pas dan kehangatannya mengalir cepat dalam darah. Tiga kali mereka bersulang dan meneguk minuman itu. Liberius mulai merasakan pengaruh anggur itu, ia melihat pipi Aurelia memerah. Wanita itu terlihat semakin cantik, dia mengamati lebih jelas lekuk-lekuk tubuhnya, belahan dadanya yang menggiurkan, dan bentuk tubuhnya yang masih langsing walaupun pernah melahirkan, kulitnya yang mulus tampak terlalu halus untuk merasakan tangannya yang kasar.
Aurelia


"Domina...anda...anda cantik sekali malam ini" gladiator mengucapkan setengah dari kegugupannya, anggur membuatnya mampu secara bebas mengutarakan perasaan hatinya terus terang.
Seorang petarung perkasa di arena seperti dirinya sekalipun dapat merasa gugup dan canggung bila berhadapan dengan wanita yang membuatnya terpesona.
"Ssshhh....suamiku sedang menonton, aku bisa merasakan matanya padaku" bisik Aurelia sambil menempelkan jarinya ke mulut Liberius, “jangan berkata sembarangan, ia pencemburu, lakukan saja yang harus kita lakukan” sambil menarik lengan kekar itu dan mengajaknya duduk di tepi ranjang.
Liberius mengangguk dan mengamati wajah cantik itu, matanya yang lembut sangat keibuan tapi dia bisa merasakan pergumulan emosi dalam tatapan mata.
"Apakah dominus, benar tidak pernah menyentuh anda lagi?" Aurelia menangguk pelan.
“Ceritakan sekilas mengenai dirimu, bagaimana kau bisa sampai ke negeri ini? apakah masih  punya keluarga?”
“Aku dulu adalah perwira suku Celtic di Kepulauan Britania, semuanya begitu bahagia, aku punya seorang istri dan seorang anak laki-laki sampai tujuh tahun lalu, kami berperang dengan suku musuh kami. Mereka berhasil menjebak kami dengan menyerang garis belakang, yaitu desa kami, hampir semua penduduk termasuk anak dan istriku terbantai oleh mereka. Saat itu lah Roma melihat peluang, ketika kami dan musuh kami sudah lelah berperang, mereka menyerang keduanya dan berhasil merebut dua wilayah sekaligus, semua yang menyerah dan masih hidup dijual sebagai budak”
Aurelia menghela nafas dan merapatkan duduknya ke arah gladiator itu hingga bisa merasakan dan keperkasaan tubuhnya.
“Sepertinya kita berdua memang punya kisah sedih masing-masing.” katanya lirih.
“Yang selanjutnya terjadi aku pun bingung, entah harus kusyukuri atau merupakan kutukan bagiku, orang-orang Romawi memaksaku bertarung di arena, aku bertemu dengan kepala suku musuh yang telah membantai desa kami dan di sana aku memenggal kepalanya” Liberius melanjutkan ceritanya, “juga para bawahannya, semua kuhabisi dengan tanganku, ketika kuangkat tinggi-tinggi potongan kepala mereka aku merasa sangat puas....puas karena membalaskan semua dendamku, namun setelahnya aku merasa kosong...aku sudah mencapai tujuanku membalaskan dendam keluargaku, lalu apa? sejak itu aku hanya hidup untuk bertarung hingga sekarang”
Aurelia meraih telapak tangan Liberius dan menggenggamnya erat, “maaf aku mengingatkan pada kenangan buruk” katanya
“Tidak apa domina, ini sudah takdirku” jawab Liberius melingkarkan tangannya pada bahu wanita itu lalu perlahan bergerak ke bawah dan singgah pada buah dada wanita itu.
Aurelia tak menyingkirkan tangan besar Liberius dari dadanya, dia hanya menatap jari-jarinya yang mulai bergerak di dadanya dan kemudian memandangi wajah sang gladiator.
“Anda sudah siap juara?” tanyanya
“Ya domina, saya siap melayani anda malam ini!” tangan Liberius yang satunya mulai bergerak melepaskan tali pundak yang menyangga gaun Aurelia.

Segera saja dia menyibak gaun itu hingga payudara indah istri senator ini terpampang jelas tanpa penghalang. Kedua telapak tangannya bergerak ke buah dada wanita itu dan meremasnya dengan lembut hingga membuat putingnya mencuat menusuk lembut telapak tangannya. Matanya menatap wajah cantik itu yang mulai memerah karena terangsang, makin lama makin mendekatinya. Aurelia mendekatkan bibirnya tanpa diminta, tangannya meraih leher pria itu sehingga bibir mereka pun menempel dan segera terlibat percumbuan panas. Wanita itu membuka mulut untuk menyambut lidah kasap sang gladiator yang sudah menjilat-jilat bibirnya. Mereka berpelukan erat, bercumbu dan beradu lidah. Sudah lama sejak suaminya terluka dalam perang ia tidak merasakan kenikmatan seksual. Liberius bisa mendengar lenguhan lirih wanita itu saat dia menciumnya. Ia sadar kalau wanita ini tak akan pasrah diapakan saja malam ini. Sementara bagi Aurelia yang haus akan sentuhan pria dikala gairahnya tengah menyala-nyala bagaikan menemukan air di padang gurun. Gairahnya makin meninggi ketika ia merasakan kedua tangan pria itu terus memainkan kedua daging kenyal tersebut sambil menelusuri perutnya yang rata hingga menuju ke bawah sambil memeloroti gaunnya yang masih menyangkut di tubuh. Di lain pihak, pikiran Aurelia juga bergumul. Orang ini bukan suaminya, bagaimana mungkin dirinya sebagai seorang wanita terhormat harus melakukan seperti ini? Apakah pantas melakukan semua ini hanya demi ambisi memperoleh anak laki-laki? Dia memejamkan mata mencoba untuk melawan kehangatan yang menyebar melalui kulitnya. Darahnya berdesir saat merasakan pria itu memeloroti gaunnya yang sudah setengah terbuka. Ia menyaksikan mata jalang pria itu memandangi tubuh polosnya yang tinggal ditutupi celana dalam saja. Anggur yang tadi diminumnya membuatnya ingin terus merasakan kenikmatan terlarang itu.
“Domina, anda benar-benar cantik. Seandainya anda bukan istri senator dan saya bukan gladiator...." kata Liberius dengan penuh kekaguman pada wanita ini.
“Jangan teruskan...” Aurelia menempelkan dua jari ke bibir pria itu, “kumohon...lakukan saja yang harus kita lakukan”
Liberius pun menurunkan kepala dan mulai menyusu payudaranya, tangannya meremas pinggulnya yang montok.
“Aaahhh...” desah Aurelia, tubuhnya menggeliat dengan tangan memeluk kepala pria itu ke dadanya.
Liberius sedang mengisap puting wanita itu, lidahnya menyapu-nyapu putingnya hingga makin mengeras.
Aurelia pasrah menikmati apa yang dilakukan gladiator ini terhadap tubuhnya. Dia sama sekali tidak berusaha untuk mencegahnya. Dalam benaknya sama sekali tak pernah terlintas melakukan perbuatan seperti ini sampai malam ini dan suaminya sedang mengintipnya. Vaginanya sudah terasa sangat basah oleh gairah. Tangan kiri Liberius bergerak turun ke bawah dan menelusuri kulit perut wanita itu dan menyusup masuk ke celana dalamnya hingga menyentuh vaginanya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat. Kedua paha Aurelia masih merapat erat menahan gerakan jemari Liberius. Sementara jemari sang gladiator terus menggerayangi perut bagian bawahnya disertai lidahnya yang menari dalam mulutnya. Akhirnya kedua paha Aurelia pun melemas dan mulai bergerak membuka. Jari-jari besar Liberius langsung menyeruak masuk ke bibir vaginanya. Begitu merasakan klitorisnya bergesekan dengan jari-jari itu, Aurelia membuka kedua pahanya lebih lebar untuk memberikan ruang seutuhnya pada pria itu untuk berbuat sekehendak hati terhadap daerah paling rahasia dari tubuhnya. Liberius melepaskan simpul di samping celana dalam itu sehingga terlepaslah kain terakhir yang menutupi tubuh wanita itu.

Aurelia merasakan bagian bawahnya semakin basah. Dia sedang berada dalam lingkaran perasaan yang membuatnya tidak peduli lagi kalau suaminya yang sedang mengintip merasa cemburu karena ia begitu menikmati persetubuhan ini. Nafasnya semakin memburu cepat saat dia merasa tubuhnya ditindih, dibelai, dan dijilati gladiator itu. Ciuman bibir Liberius menjalar bebas ke sekujur tubuh sang istri senator. Kedua belah paha Aurelia terpentang lebar saat jemari Liberius bergerak keluar masuk dalam vaginanya. Ia telah berada di perbatasan dari puncak kenikmatannya saat tiba-tiba pria itu menghentikan aksinya. Kedua matanya yang semula terpejam rapat langsung terbuka menatap begitu Liberius berhenti. Pria itu sedang membuka pakaiannya sendiri. Begitu cawatnya dibuka, batang penisnya mengacung dengan tegak dan keras
“Demi Mars....ia seperkasa dewa perang, besar sekali penisnya!” Aurelia terpana melihat penisnya yang besar itu, untuk pertama kalinya ia menyadari perbedaan di antara milik gladiator ini dan suaminya
“Domina, anda yakin para dewa membiarkan ini terjadi?" tanya Liberius
Aurelia terdiam sesaat lalu akhirnya mengangguk.
"Liberius..." dia berbisik lagi saat sang gladiator menempelkan kepala penisnya pada bibir vaginanya, “panggil namaku...Aurelia, aku bukan domina-mu, sudak kubilang disini kita hanya pria dan wanita”
Mata mereka saling tatap, dan tangan Aurelia memeluk erat tubuh besar di atasnya, ia merasakan punggung pria itu yang begitu kokoh. Liberius mulai menekan masuk penisnya perlahan-lahan, matanya menatap lembut lalu berbisik pelan pada wanita itu
“Bukalah untukku Aurelia...aku ingin merasakan vaginamu meremas erat penisku saat kumasuki.” lalu dia kembali melumat bibirnya.
Untuk pertama kalinya Liberius memanggil wanita itu langsung dengan namanya, sesuatu yang menghilangkan kecanggungan akibat perbedaan status di antara mereka. Aurelia menginginkan batang penis gladiator itu memasuki tubuhnya, mengaduk-aduk vaginanya hingga ia menjerit-jerit dalam kenikmatan karena sudah terlalu lama ia tidak menikmati kenikmatan hubungan seksual. Saat ini ada seseorang yang ingin memuaskan dia seperti apa yang pernah dilakukan suaminya dulu, bahkan mungkin lebih dari itu. Aurelia membuka pahanya menyambut penis Liberius. Gladiator itu mendorong pinggulnya ke depan dan batang penisnya yang telah menempel di vagina wanita itu pun dengan sendirinya menemukan jalan masuk.
“Aaaaahhhh.....” Aurelia membelalakkan mata sambil meremas kain seprei ketika penis besar itu menyeruak masuk membelah bibir vaginanya.
Ia pun akhirnya melingkarkan kedua pahanya pada pinggang Liberius dan tumitnya menempel erat pada pantat gladiator itu untuk mendorongnya masuk semakin dalam. Perlahan penis Liberius mulai mengisi vagina Aurelia melebihi apa yang pernah dirasakannya. Setiap kocokannya membawa mereka berdua semakin tinggi dan bertambah tinggi ke puncak kenikmatan. Tak menunggu lebih lama, setelah masuk setengahnya Liberius menyentakkan penis kerasnya seutuhnya hingga ke dasar vagina sang istri senator ini. Ia menghentakkannya agak keras sehingga wanita itu menjerit
“Maaf...sakitkah?” Liberius berhenti sejenak melihat wajah wanita itu meringis sampai matanya berair.
Aurelia menggeleng, “tidak apa....teruskan juara....aku milikmu malam ini” lalu ia memagut bibir pria itu.
Setiap kali gladiator itu menarik keluar batang penisnya, kedua kakinya menahannya seakan ingin segara penis itu melesak ke dalam vaginanya kembali. Sama sekali tak terlintas dibenaknya kalu kini dirinya adalah wanita terhormat yang selama ini memegang teguh nilai-nilai moral. Ia hanya melampiaskan dahaga batinnya dari apa yang sudah lama tak pernah ia dapatkan dari suaminya, juga demi ambisi suaminya mendapatkan keturunan laki-laki.

Keduanya sudah dimabuk birahi dan membiarkan satu sama lain menguasai dirinya. Pelukan di punggung Liberius menjadi rabaan lembut dari Aurelia. Gladiator itu menyadari kalau hal itu mengisayaratkan bahwa wanita itu ingin lebih, dari sekadar penis yang tertanam di vaginanya. Maka ia pun dengan penuh perasaan memompa vagina sang istri senator. Ketika melihat ekspresi meringis pada wajah wanita itu berganti menjadi ekspresi nikmat disertai desahan sensual, Liberius memompa penisnya lebih dalam
"Terus juara...ooohh yang keras, yang dalam, oooohh" erang Aurelia.
Mendapat arahan seperti itu Liberius menaikkan frekuensi genjotannya, kini ia tak lagi hanya memaju mudurkan saja, ia menggunakan kekuatan panggulnya untuk menyodok lebih dalam. Akibatnya badan Aurelia pun ikut berguncang ketika penisnya menghujam vaginanya. Liberius kemudian mengangkangkan kaki wanita itu selebar-lebarnya, ia ingin penisnya benar-benar masuk sedalam-dalamnya, memberi sensasi luar biasa bagi keduanya. Saat Liberius terlihat memburu nafas, Aurelia juga berimprovisasi dengan mengaitkan kakinya di bekalang pantat pria itu. Aurelia terus memancing sang gladiator agar menusuk lebih dalam lagi, dan lebih dalam lagi. Tapi sesaat kemudian, Liberius mengendurkan kaitan kaki Aurelia agar tubuhnya berada pada posisi yang tepat. Ia ingin remasi payudara wanita itu sambil terus memompa. Saat jarinya memainkan puting Aurelia, wanita itu seperti orang kelojotan, mulutnya meracau tak jelas. Ia merasakan kenikmatan tiada tara saat vaginanya dijejali penis besar sang gladiator, putingnya mendapat rangsangan yang hebat. Liberius juga menikmati kepuasan Aurelia, ia terus menghisap puting wanita itu kiri dan kanan bergantian. Tak lama kemudian, Liberius merasakan urat-urat di bagian bawah penisnya memberikan isyarat kenikmatan yang luar biasa. Badannya menegang, rasa panas menjalar di seluruh tubuhnya, ia telah di ambang orgasme.
"Aurelia...aku mau keluar, ahhh....ahh" sahutnya memberi peringatan tanpa menghentikan genjotannya.
"Aaahh...aku juga, tambah keras lagi, tambah kerass...aaahh" jawab Aurelia.
Liberius pun memfokuskan pada sodokannya. Ia benar-benar membenamkan penisnya sedalam-dalamnya. Berat tubuhnya digunakan untuk membantu hal itu. Efeknya, tempat tidur tempat mereka bergumul pun berderit-derit. Tak sampai lima menit, sperma Liberius sudah menggumpal di ujung penisnya dan siap untuk muncrat. Sodokannya makin tak terkendali, yang pasti dalam dan keras hingga akhirnya dengan satu sentakan menyeburlah cairan putih kental itu.
"Oooohhhhhh......." dahsyat sekali klimaks Liberius, demikian pula dirasakan oleh Aurelia, dinding vaginanya berkedut keras, dan menyusul lenguhan pria itu.
"Aaaaaahhhhhh......" tubuh Aurelia menggelinjang hebat di bawah tindihan tubuh besar Liberius, ia merasakan cairan hangat dan kental memenuhi vaginanya.
Liberius menyosor bibir Aurelia, meski penisnya masih menghentak-hentak vagina wanita itu. Aurelia juga membalas pagutan itu dengan ganas karena ia tak ingin kehilangan kenikmatan orgasmenya. Lebih dari tiga kali, hentakan penis Liberius dan kedutan vagina Aurelia terjadi bersamaan mengantarkan keduanya ke surga dunia.
"Hhhhmm...kau juara bukan hanya di arena!" ujar Aurelia setelah klimaks mereda.
"Anda juga...punyaku seperti diremas-remas, sungguh enak" balas Liberius

Mereka saling peluk dan berpagutan ketika badan mereka kembali mengendur dari ketegangan. Aurelia yang sebelumnya ditindih Liberius, bangkit dan membalik posisinya di atas Liberius.
“Sekarang giliranku juara...” wanita itu tersenyum lemah sambil meraih penis Liberius yang mulai tegang lagi.
Penis tersebut dimasukkan kembali ke dalam vaginanya. Aurelia kini memegang kendali permainan. Goyangannya naik-turun mengurut penis besar tersebut, kadang ia selingi dengan gerakan maju mundur. Gerakan pinggulnya terlihat sangat piawai. Liberius juga disuguhi pemandangan yang sangat sensual, ia bisa melihat bagaimana tubuh wanita itu, payudaranya yang ikut bergoyang-goyang, juga ekspresi wajahnya yang keenakan. Dengan semangat wanita itu menggoyangkan pinggulnya untuk mencapai kepuasan. Sesekali pinggulnya dihentak-hentakkan secara vertikal sehingga beberapa kali penis Liberius nyaris keluar dari sangkar hangatnya itu.
“Oh...luar biasa...aahhh...kau sungguh perkasa...aahhh...aahhh!!” racau Aurelia sembari terus memompa penis Liberius dengan himpitan vaginanya.
Sang gladiator juga melakukan gerakan aktif menusuk ke atas dengan cepat sehingga membuat batang kemaluannya menyentuh dinding rahim Aurelia. Wanita cantik itu pun berteriak dan meciumku bibirnya dalam-dalam.
“Terush...terus tusuk aku...uuuhh” ucapnya meminta lebih dan Liberius menyanggupi dengan melakukan tusukan seperti barusan yang kembali berulang, sambil meremasi payudaranya dan kadang mengenyotnya.
Akhirnya, Aurelia pun mengejang dan otot vaginanya mencengkeram penis pria itu erat-erat. Seiring dengan ciuman bibirnya Liberius tahu kalau wanita itu sedang mengalami orgasme  lagi. Aurelia menghentak keras ketika dinding vaginanya terasa menegang. Ia juga merasakan penis sang gladiator berkedut-kedut. Vaginanya pun banjir oleh cairan kenikmatan mereka berdua, ia akhirnya ambruk di atas tubuh kekar Liberius, peluh membasahi tubuh mereka.
Semuanya sudah berakhir dan mereka berdua benar-benar merasa amat kelelahan. Sementara itu, dari tempat persembunyiannya Gaius tersentak. Dia tidak pernah menyangka istrinya yang cantik dan alim itu begitu bergairah bercinta dengan seorang gladiator, lebih bergairah ketika bercinta dengan dirinya dulu. Ini sungguh di luar dugaannya, sang senator sungguh dibakar oleh api cemburu. Diam-diam ia meratapi dirinya sendiri yang telah kehilangan kemampuan bercintanya karena luka dalam pertempuran itu, ia merasa menjadi pecundang di ranjang. Setelah keduanya mencapai orgasme ia tidak tahan lagi, terlebih ketika melihat kemesraan keduanya pasca orgasme. Sang senator pun melabrak masuk mengejutkan kedua orang di atas ranjang itu,
“Cukup sudah sampai sini! Cepat berpakaian dan bangun!” bentaknya sambil melemparkan gaun yang tergeletak di tepi ranjang pada istrinya, "dan kau budak!! Segera keluar dari tempat ini!!” tundingnya dengan wajah merah padam pada Liberius.
Liberius buru-buru turun dan memunguti pakaiannya, lalu memakainya kembali.
“Gaius...!”
“Diam! Kita bicara nanti!” bentak Gaius memotong protes istrinya, ia lalu meraih lengan Liberius yang sudah berpakaian kembali dan menariknya keluar dari kamar.
"Ingat budak...kalau kejadian malam ini sampai tersebar keluar hati-hati dengan nyawamu, mengerti?!" ucapnya dengan pelan namun mengancam, “pengawal antar tamu keluar!” serunya memanggil pengawal.
Dua prajurit datang dan mengantarkan Liberius hingga ke gerbang villa. Dalam perjalanan pulang, hati Liberius dilanda kegalauan, ia berharap bahwa Aurelia akan baik-baik saja setelah malam ini.

########################
Dua bulan kemudian

Hari-hari dengan cepat berlalu, Liberius belum pernah bertemu lagi dengan Aurelia lagi, wanita itu bahkan tidak pernah hadir lagi mendampingi suaminya menonton pertandingan. Ia menduga tentu suaminya yang cemburuan itu melarangnya hadir agar tidak bertemu lagi dengan dirinya, hal itu terlihat dari sorot mata sinis Senator Gaius ketika menontonnya. Hingga suatu malam, atasannya, Ampilatus, mengetuk pintu kamarnya.
“Liberius...ada tamu untukmu” katanya, seseorang berjubah hitam berkerudung mengikutinya di belakang.
Lanista itu mempersilakan sosok berkerudung itu masuk lalu ia menutup kembali pintu kamar.
“Anda...??” tanya gladiator itu.
Sebelum melanjutkan kata-katanya orang tersebut menyingkap kerudungnya. Betapa berdebar jantung gladiator itu melihat wajah di balik kerudung, lututnya seperti lemas seakan hendak jatuh berlutut di depan sosok itu, perasaan yang belum pernah dialaminya bahkan ketika menghadapi lawan yang paling mengerikan sekalipun. Venus yang hidup itu, Aurelia, sang istri senator, wanita yang dirindukannya selama dua bulan ini telah berdiri di hadapannya.
“Domina...anda...apa kabar anda?” sapa Liberius berusaha menyembunyikan kegembiraannya
“Aurelia...kau tidak pernah menjadi budakku, kenapa masih memanggilku seperti itu?” Aurelia berkata agak ketus.
“Maaf....Aurelia, bagaimana anda datang ke sini? Apakah suami anda...”
“Tidak, dia sedang ada tugas di luar kota, aku ke sini atas kemauanku sendiri. Pertama aku ingin berterima kasih padamu?”
“Terima kasih? Untuk apa?”
“Aku hamil...sudah sebulan lebih, pastinya berkat bibitmu karena aku tidak pernah melakukannya lagi dengan siapapun” katanya sambil mengelus perutnya yang belum terlalu kelihatan membesar.
“Ah, selamat! Bukankah itu yang kau dan suamimu inginkan!”
“Lebih tepatnya yang dia inginkan” kata Aurelia dingin.
“Anda jauh-jauh ke sini hanya untuk itu?”
“Tentu tidak, itu tadi terima kasih dari kami suami istri, tapi aku pribadi juga ingin berterima kasih untuk malam yang indah itu” Aurelia meraih simpul tali jubahnya di leher sehingga jubah itu terlepas, di baliknya ia memakai gaun hijau sederhana agar tidak terlalu mencolok selama perjalanan, wajahnya pun nyaris polos tanpa sapuan make up seperti rakyat jelata, namun semua itu tidak mengurangi kecantikannya, “apakah kau tidak merindukan malam itu lagi, juara?”
”Ah, A...Aurelia...apakah harus disini?” kata Liberius bergetar, sama sekali tak menyangka kalau wanita itu akan meminta hal itu lagi.
”Aku tidak tahu setelah ini apakah kita masih bisa bertemu lagi, Gaius sangat protektif, pertengahan tahun depan ia akan menyelesaikan masa dinas di Pompeii dan kami akan pulang ke Roma” ia melepaskan kancing besar di bahu kirinya lalu disusul yang kanan sehingga gaun yang sudah tanpa penahan itu pun jatuh melorot di bawah kakinya, dengan tubuh polos tinggal celana dalam, ia mendekati sang gladiator.
Liberius menelan ludan dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Matanya nanar memandangi tubuh Aurelia yang indah itu, kedua buah dadanya begitu menantang
“Tapi ini....”
“Tapi apa? kenapa kau begitu berbeda di hadapanku dengan di arena? Begitu gugup dan salah tingkah?” Aurelia tersenyum menggoda, ia berhenti sebentar untuk membuka celana dalamnya, kini tidak sehelai benangpun tersisa di tubuh polosnya “dominusmu telah mengatur semuanya, kita punya waktu sampai besok pagi, apakah aku begitu jelek di matamu, sehingga sikapmu begitu canggung?” ia membelai dada bidang pria itu.

Wanita itu sudah berdiri hanya sejengkal di hadapan Liberius, ia dapat merasakan hembusan nafasnya. Perlahan ia memberanikan diri menyentuh wajah cantik itu, mata mereka saling tatap penuh arti. Liberius menatap dalam-dalam mata indah Aurelia, wanita itu terlihat sangat kehausan dan sudah pasrah menerima apa pun perbuatannya.
“Aurelia, bukan jelek, kau justru sangat cantik, hanya saja kita....”
”Moralitas Roma, aturan-aturan protokol...sungguh melelahkan bagiku, aku ingin bebas sejenak walau hanya sekali saja” Aurelia berkata lirih, “lakukanlah...lakukan sesukamu, aku ingin jadi kekasihmu walau hanya malam ini saja”.
Wajah mereka saling mendekat dan sejenak kemudian keduanya sudah berciuman. Liberius melepaskan kerinduannya dengan memagut mulut Aurelia dengan penuh gairah, ia hisap bibir tipis itu sambil sesekali memasukkan lidahnya dan menggigit kecil bibir mungil itu. Mereka berpagutan sambil berpelukan dalam hasrat membara. Liberius membelai punggung wanita itu turun hingga ke pantatnya, tangannya meremas bongkahan yang sekal itu. Ia lalu menggendong tubuh mulus Aurelia dan meletakkannya berbaring di atas dipan tempatnya tidur. Bibir mereka kembali saling melumat dan saling bergerak lincah untuk memberi kenikmatan pada mulut masing-masing. Tangan besar Liberius memberi remasan ringan dengan gerakan memutar lembut yang membuat Aurelia menggelinjang, terutama ketika pria itu memainkan putingnya.
”Terus terang...malam itu aku masih belum puas, aku masih penasaran bercinta denganmu, tolong malam jangan biarkan perasaanku menggantung lagi, setubuhi aku sesukamu, jadikan aku kekasihmu malam ini saja!” kata Aurelia dengan tatapan memelas, dadanya membusung seolah meminta pria itu melumatnya.
Liberius pun bereaksi dengan menunduk dan menyambarnya rakus. Putingnya yang sensitif ia jilati dan kenyot bergantian antara yang kiri dan yang kanan.
“Mmhhh...” Aurelia melenguh, kedua tangannya mencengkeram kepala Liberius meremas-remas rambutnya yang panjang dan kasar.
Setelah bermain cukup lama di payudaranya, tangan besar Liberius mengusap paha dalam Aurelia ke arah liang vaginanya. Ia lantas membelai wilayah kewanitaan itu dengan lembut, ia merasakan bibir vagina wanita itu sudah mulai becek, desah nafasnya juga semakin berat.
“Kau berbaringlah” Aurelia memintanya untuk tidur terlentang, “malam ini aku bukan istri senator, bukan wanita terhormat yang biasa kau lihat seperti sehari-hari tapi seorang wanita jalang yang haus sentuhan pria” katanya dengan nada yang menggoda, “puaskan aku juara, aku tidak akan melupakan malam ini!”
Aurelia menggesekkan buah dadanya ke dada bidang sang gladiator sambil menggenggam penisnya. Setelah sampai di bawah ia segera mengulum penis besar itu. Tak lama kemudian, wanita itu merebahkan tubuhnya di atas sang gladiator, ia arahkan vaginanya tepat di atas wajah pria itu.
“Jilati juara...jilat sepuasmu...aaahhhh!!” sebelum meminta lebih jauh ia sudah merasakan sapuan lidah pria itu pada bibir vaginanya, “yah enak...”
Mereka kini saling oral dengan gaya 69. Aurelia lanjut mengoral penis besar di tangannya, sesekali ia juga mengocok dan memijit buah zakarnya. Liberius merem melek merasakan nikmatnya lidah Aurelia yang bermain-main di sekujur penisnya. Dia pun mengimbanginya dengan menjilati vagina wanita itu. Rambut kemaluannya yang lebat terlihat kontras dengan kulitnya yang putih. Liberius merasakan aroma kewanitaan yang terawat dan sudah becek karena birahi tinggi, nafsunya pun semakin menggelora. Lidahnya terus beraksi menyusup ke dalam menggelitik dinding vagina wanita itu, sesekali ia mengigit lembut bibir vagina dan klitorisnya, demikian pula tangannya tidak tinggal diam. Pantat Aurelia yang sintal itu ia remas-remas, kadang ia tampar pelan, kadang juga ia tekan pantat wanita itu sehingga vaginanya menekan mukanya. Aurelia pun menjerit pelan dan menggeliat merasakan kenikmatan di selangkangannya, terlebih saat gladiator itu menjilati klitorisnya.
“Ahh…ahh…eennaakkk…terruuss….teruuss..” desah Aurelia sambil terus mengocoki penis besar Liberius.
Mendengar desahan nikmat sang istri senator, Liberius semakin memperhebat jilatannya. Jari-jarinya juga masuk untuk mengorek-ngorek liang kenikmatannya dan membelai pelan biji klitorisnya, Gesekan lembut pada titik sensitif tersebut membuat Aurelia makin menggelinjang hebat dilanda api birahi.
”Augh...” Aurelia semakin hanyut dalam lautan birahi, remasan dan kocokannya pada penis pria itu makin cepat, begitu juga hisapan-hisapannya.

Sepuluh menit sudah mereka saling oral kelamin masing-masing dan akhirnya Aurelia mencapai klimaksnya, tubuhnya mengejang sebelum terkulai lemas. Wanita cantik itu tak sanggup berkata-kata lagi saat orgasme pertamanya keluar. Cairan orgasmenya yang membanjir segera diseruput oleh Liberius.
”Kamu memang pintar memuaskanku juara” kata Aurelia yang nafasnya semakin memburu.
”Bukan,” Liberius menggeleng sambil menciumi telinga wanita itu ”justru tubuh andalah yang begitu cantik dan memiliki tubuh yang begitu indah. Aku sangat menginginkannya,” bisik gladiator itu.
”Aku juga menginginkanmu, juara...puaskan aku, jangan buat aku menunggu lagi!” kata wanita itu
Mengangguk penuh kepastian, dengan gerakan cepat Liberius kembali mencumbu tubuh sang istri senator. Aurelia segera membuka kakinya lebar-lebar, mempersilakan Liberius untuk menusuk lubang vaginanya. Liberius memiringkan tubuh wanita itu hingga berbaring menyamping, dan kaki kirinya ia naikkan ke pundaknya. Tanpa banyak omong lagi, ia pun menempelkan kepala penisnya ke bibir vagina Aurelia yang sudah basah. Ia mendorong masuk, lalu menarik keluar, sesekali gerakannya memutar, terus selama beberapa kali hingga penisnya mentok ke dasar vagina wanita itu. Setelahnya barulah ia mulai memompa liang vagina Aurelia. Kali ini Liberius memilih bermain gentle dan menikmati vagina wanita itu secara perlahan-lahan. Setiap sodokannya ia lakukan dengan sepenuh hati, begitu nyaman dan mesra hingga menghasilkan desahan dan rintihan nikmat dari mulut manis Aurelia yang jarang merasakan nikmatnya bercinta. Belum juga lima menit setelah mencapai puncak tadi, Aurelia sudah nampak lebih bernafsu dari sebelumnya. Sekarang dia lebih berani dalam bereaksi, mungkin karena setelah orgasmenya dia menjadi berpikir untuk menikmati persetubuhan ini.
”Aaa...Aurelia...kau wanita yang luar biasa...cantik dan pintar bercinta,” sahut Liberius sambil menggenjot, tangannya meremasi payudara Aurelia yang mulai basah berkeringat.
”Arhhh... kamu juga... penismu enak,” ceracau Aurelia.
Aurelia memejamkan mata menghayati setiap sodokan pada vaginanya, ia juga menggigit-gigit bibirnya seperti ingin melawan rasa nikmat yang sudah menyelubungi tubuh sintalnya. Nafasnya sangat tidak teratur, begitu ngos-ngosan, sementara rambut coklatnya sudah acak-acakan. Sungguh pemandangan yang sangat sensual. Seiring waktu yang berjalan, Liberius semakin mempercepat sodokan penisnya dan semakin berani mengeksplorasi gaya tusukannya. Aurelia kembali mengerang ketika berganti gaya menjadi doggy style dengan tiba-tiba dari belakang pria itu menyodokkan penis besarnya dengan cepat sehingga menyentuh rahimnya.
“Akhhh…sakit…pelan…akhhh.” desahnya di sela-sela genjotan.
“Maaf...aku akan lebih lembut!” kata Liberius, ia lalu memperlambat pompaannya terhadap vagina wanita cantik itu.
Kesempatan itu dipergunakan Aurelia untuk mengambil nafas panjang. Tangan Liberius menggerayangi payudara montoknya dari arah belakang dan dengan penuh nafsu ia meremas kedua gunung kembar itu sehingga kembali Aurelia melenguh merasakan kenikmatan.Tak lama kemudian dengan pompaan sedang Aurelia menegangkan kedua pahanya dan tubuhnya menggelinjang hebat, ia telah mencapai orgasmenya saat itu. Liberius dapat merasakan cairan hangat membasahi batang kemaluannya seiring dengan remasan kuat dinding-dinding vaginanya terhadap penisnya yang masih bercokol di dalamnya. Cairan kewanitaannya semakin banyak yang keluar dan meluber keluar sehingga membasahi dipan di bawahnya.Begitu merasakan remasan dinding-dinding vagina Aurelia sudah mengendur dan orgasmenya sudah hampir selesai, dengan sekuat tenaga Liberius menusukkan batang kejantanannya lagi ke vagina sang istri senator.
Kontan, Aurelia pun menjerit dengan mata membelakak, “Akhhh…pelan…!!” protesnya
Namun kali ini Liberius malah mempercepat sodokan-sodokan batang kemaluannya
“Vaginamu benar-benar nikmat Aurelia. Penisku serasa dipijat-pijat dari tadi.” pujinya sambil tetap memompa penisnya di dalam liang kewanitaan Aurelia sambil kedua tangannya tak henti-hentinya meremas payudara ranumnya dan menggerayangi seluruh lekuk tubuhnya. Aurelia sekarang sudah mulai dapat menikmati pompaan Liberius yang berirama cepat. Klitorisnya terkadang ikut masuk melesak kedalam tiap kali batang kejantanan gladiator itu melolosi bibir vaginanya. Desahan mereka berdua bersahutan memenuhi ruangan kecil itu. Suara berdecak dari tumbukan alat kelamin mereka terdengar nyaring di kamar sederhana itu. Rambut Aurelia sudah semakin acak-acakan sementara keringat membasahi tubuhnya yang seksi itu. Lima menit kemudian Liberius merasakan batang kejantanannya sudah berkedut kencang dan sudah mau menyemburkan lahar kenikmatannya. Ia pun percepat sodokannya lalu di sodokan terakhir ia menghunjamkan penisku sedalam-dalamnya di liang vagina Aurelia lalu menyemprotkan spermanya di dalam liang kenikmatannya berulang-ulang. Mereka ambruk dalam posisi berbaring menyamping di atas dipan sementara dari belakang Liberius masih mendekap wanita cantik itu dengan penis masih tertancap di dalam vaginanya.
“Kamu sungguh liar juara, dari suamiku kami tidak pernah sedahsyat ini.” kata Aurelia sambil memandang sayu pada Liberius.
Liberius melihat raut muka penuh kepuasan di wajah cantik itu. Aurelia lalu menarik lepas batang kemaluan yang masih bercokol di vaginanya perlahan, begitu terlepas cairan putih kental mengalir dari bibir vaginanya yang sekarang sudah berbentuk lubang menganga seperti huruf O dan gelambirnya juga sudah separuh keluar, mungkin karena besarnya penis Liberius yang telah mengaduk-aduknya.

Aurelia bergeser ke bawah meraih penis Liberius yang mulai mengendur, ia memasukkan batang yang masih belepotan sperma dan cairan kewanitaannya itu ke dalam mulutnya lalu mengoralnya perlahan.
“Uhh...Aurelia!” Liberius merem-melek oleh emutan dan jilatan lidah wanita itu, “ternyata kita sama-sama liar yah.” ucapnya sambil tersenyum memandang wanita itu yang terus mengulum penisnya.
“Karena aku yang sekarang adalah wanita jalang, bukan istri senator...kenapa aku tidak boleh bertingkah seperti wanita jalang setidaknya untuk malam ini?” balas Aurelia
Sepuluh menit kemudian Liberius kembali berejakulasi tetapi kali ini di dalam mulut Aurelia dan sebagian cairan putih itu terciprat di wajah cantiknya. Keduanya berbaring telanjang saling berpelukan. Aurelia tersenyum, matanya penuh dengan kepuasan. Malam itu Aurelia menginap di situ dan baru pulang keesokan paginya. Setelah malam kedua bersama istri senator yang cantik itu, selama beberapa hari ke depan Liberius tidak pernah berhenti memikirkannya. Wanita itu seringkali hadir dalam mimpinya, mimpi dari mereka menjadi kekasih, bahkan menjadi suami dan istri. Ia pernah bermimpi memperoleh kebebasan dan menjadi warga kehormatan. Dalam mimpi ia juga melihat perut Aurelia yang sudah membengkak dengan seorang anak dan dia tidur di sampingnya. Mimpi-mimpi ini begitu nyata sehingga ia sering merenung, apakah ada arti dari mimpi-mimpi tersebut? Selama berbulan-bulan ke depan, Liberius menunggu berita dari wanita itu. Setiap kali ia bertarung di arena ia berharap dapat melihatnya di podium seperti dulu, namun ia sudah tidak pernah terlihat lagi mendampingi suaminya. Akhirnya ia mendapat kabar dari salah seorang prajurit yang sering ngobrol dengannya mengenai kabar Aurelia.
"Istri senator sedang hamil tua dan akan melahirkan seorang anak laki. Dia banyak istirahat akhir-akhir ini dan sudah jarang terlihat di muka umum" kata sang prajurit.
Ada rasa senang mendengar kabar itu, anak laki-laki, berarti tujuannya telah tercapai. Senator Gaius menjanjikan hadiah untuk itu, ia berharap sang senator tidak akan lupa janjinya.

#############################
Februari 100 SM

Hari itu adalah menjelang Festival Lupercalia, yaitu perayaan memasuki musim semi dan juga penghormatan terhadap serigala betina yang membesarkan Remus dan Romulus, dua orang pendiri Roma yang dibuang ketika bayi. Sebuah pertandingan besar telah disiapkan untuk menyambut festival tersebut, tentunya Liberius sang bintang arena tidak akan absen darinya. Seperti biasa, sehari sebelum pertarungan, Ampilatus selaku lanista, menyediakan makanan mewah untuk para gladiatornya yang akan bertarung besok; Beberapa gladiator makan dengan rakusnya karena menganggap ini adalah jamuan terakhir mereka, beberapa lainnya memanfaatkan waktu dengan mengucapkan salam perpisahan pada teman-temannya, sementara sisanya menahan diri dan makan secukupnya berserah pada takdir yang akan ditentukan dalam pertarungan besok. Liberius sendiri termasuk yang makan secukupnya dan tidak terlalu banyak omong, hanya sesekali ia mengobrol atau menanggapi gurauan temannya. Hatinya berharap kebebasan itu datang keesokan harinya karena biasanya pada perayaan-perayaan penting, pejabat yang memimpin pertandingan akan memberi kemurahan hati dengan menganugerahkan rudis (pedang kayu tanda kebebasan) pada pemenang atau mereka yang bertarung dengan baik. Bila ia mendapatkan rudis berarti tidak perlu lagi menebus kebebasannya dengan uang yang mungkin bisa dipakai untuk modal usaha setelah bebas nanti.
“Liberius!” Ampilatus menepuk bahunya dari belakang membuyarkan lamunannya, “sebentar lagi, besok mungkin pertempuran terakhirmu, apa yang kau inginkan mungkin akan segera tercapai...ya kebebasan itu”
Liberius hanya mengangguk lalu menyeruput lagi sup yang sedang disantapnya.
“Mungkin selama ini aku belum pernah menanyakan hal ini karena yakin akan kemampuanmu, tapi bila saja terjadi sesuatu padamu di arena, akan kau wariskan pada siapa uang yang telah kau kumpulkan selama ini yang jumlahnya sudah cukup banyak itu?”
Gladiator itu terdiam berpikir, ia sudah tidak punya keluarga lagi, mula-mula terlintas di benaknya para wanita yang pernah bercinta dengannya, pelacur maupun budak, tapi yang mana? Tiba-tiba ia teringat lagi, seorang gadis budak yang pernah membuatnya merasa iba dan tersentuh.
“Marcia, gadis Asiria itu” jawabnya mantap
“Baiklah kalau itu keputusanmu, aku jamin hartamu akan diwariskan padanya bila terjadi sesuatu padamu, istirahatlah yang cukup untuk besok, semoga berjaya di arena” Ampilatus mengangkat cawan mengajaknya bersulang.

#########################
Keesokan harinya

Acara pagi dimulai dengan venatio/ perburuan hewan dimana gladiator akan bertarung dengan hewan-hewan buas. Ketika venatio berakhir, binatang-binatang yang mati diseret keluar dari arena.Matahari bakal semakin terik, bau anyir darah pun semakin tercium seiring dengan panasnya suasana di bawah tenda arena. Lagu dan nyanyian mengalihkan perhatian penonton dari kesibukan pembersihan arena. Liberius sedang menunggu gilirannya tampil dalam acara berikutnya, yaitu noxii, dimana para narapidana, sampah masyarakat, dan kriminal digiring ke arena dengan persenjataan dan pelindung seadanya untuk dibantai oleh gladiator. Kemungkinan untuk selamat bagi golongan terhukum ini sangat kecil karena mereka biasanya berhadapan dengan gladiator senior dengan zirah dan senjata lengkap. Orang Romawi percaya bahwa pertunjukkan gladiator memperbolehkan orang hukuman untuk bertarung dan menunjukkan sifat yang mengakar dalam nilai-nilai moral Romawi yaitu virtus/ kebajikan. Di sinilah mereka mendapat kesempatan untuk menunjukkan keberanian dan semangat ketika berhadapan dengan maut, dengan kematian setidaknya mereka dapat mengangkat kehidupan biadab mereka ke tingkat yang lebih tinggi dengan mati seperti orang Romawi.
“Liberius, bersiaplah, kau akan menjadi algojo” kata Ampilatus mendatangi Liberius di ruang tunggu seraya menyodorkan cawan berisi anggur, “aku ingin memberimu selamat terlebih dahulu, kemungkinan kau akan memperoleh kebebasan setelah ini dengan tampil sebaik mungkin”
Gladiator itu menerima cawan itu dan meminumnya setelah bersulang dengan sang dominus.
“Liberius!” seru prajurit penjaga gerbang memanggil namanya.
“Dominus, sudah saatnya!” gladiator itu meraih gladiusnya dan bersiap ke arena.
“Eeerrr...Liberius!” lanista itu memanggilnya, Liberius berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, “.....tidak....tidak apa-apa....” ia seperti mau mengatakan sesuatu tapi tidak bisa, “oohh...kau tidak memakai helm?”
“Tidak perlu, lawan kali ini enam orang, helm membatasi pandangan dan mengurangi pendengaran”
“Baik..semoga berhasil!”
Senyum menghiasi wajah sangar gladiator itu sambil melambai pada Ampilatus dan memberi salam pada para rekannya di lorong itu, ia berjalan ke arah gerbang yang telah terbuka.

Penonton bersorak ketika Liberius memasuki arena seperti biasa. Dia melayangkan pandangnya ke arah podium utama tempat para tamu terhormat. Senator Gaius duduk di bangku kehormatan, tanpa istrinya, di sebelahnya duduk walikota Pompeii, Calixtus. Dari gerbang lainnya keluarlah tujuh orang hanya memakai cawat dan menyandang senjata. Mereka semua adalah para bandit Gunung Vesuvius yang berhasil ditaklukkan oleh pasukan Romawi dan akan dieksekusi di arena. Yang brewok dan berambut gimbal adalah ketua mereka yang bernama Negrimus, seorang dengan reputasi mengerikan, rampok yang tidak pernah membiarkan korbannya hidup dan juga pemerkosa brutal. Setelah aba-aba mulai dan terompet dibunyikan pertarungan berdarah pun dimulai. Salah satu dari mereka melemparkan tombaknya ke arah Liberius yang dapat ditangkis dengan mudah dengan perisainya. Keenam orang tersebut membentuk lingkaran di sekeliling Liberius untuk mengepungnya. Denting senjata dan perisai berlangsung selama beberapa saat. Buk! Liberius menendang bandit yang memegang martil sebelum ia melakukan sebuah pukulan keras. Bandit itu terjengkang dan Liberius memanfaatkan kesempatan itu untuk menghujamkan gladiusnya ke pahanya.
“Aaaakkkhhh!!” jerit kesakitan langsung terdengar dari mulut si bandit yang pahanya tertembus gladius hingga menancap di tanah.
Tanpa membuang kesempatan, Liberius merebut martilnya yang terlepas, ia mengangkatnya lalu memukulkannya sekuat tenaga. ‘Krak!’ terdengar suara tulang berderak yang memualkan disusul gemuruh riuh seruan dari bangku penonton. Bandit itu tewas dengan kepala hancur berantakan, otak dan isi kepalanya berceceran di atas pasir, sebagian menempel di martil. Beberapa wanita termasuk istri walikota sampai memalingkan wajah dan menahan mual karena tidak tahan melihatnya. Kelima bandit lainnya sempat ciut nyalinya melihat kematian teman mereka yang mengerikan itu dan sosok raksasa Liberius yang gagah itu.
“Maju tolol, toh kita harus mati juga!” bentak Negrimus menendang pantat salah seorang anak buahnya yang melangkah mundur.
Sadar tidak ada pilihan lagi, para bandit terhukum itu pun kembali menyerang Liberius. Negrimus yang bersenjatakan sica (pedang melengkung) melakukan serangkaian serangan gencar untuk menekan Liberius habis-habisan. Pertarungan berlangsung semakin sengit, keempat anak buah Negrimus juga tak kalah ganas menyerang sang juara. Dengan tubuhnya yang besar, Liberius memang tidak mampu bergerak lincah, namun ia piawai memainkan tameng dan gladiusnya untuk menangkis setiap serangan mereka. Beberapa saat kemudian ia berhasil menghabisi lawan kedua, gladiusnya menembus bawah dagu bandit berkepala botak bersenjata sama dengannya hingga ujung senjata itu keluar di ubun-ubunnya. Ia mencabut senjatanya dan menendang tubuh lawannya yang sudah tidak bernyawa, ketika hendak melakukan serangan berikutnya, mendadak ia merasakan sesuatu yang tidak beres pada tubuhnya, rasa pening disertai otot-otot tubuhnya serasa kejang. Seorang bandit menyerangnya dengan tombak namun ia terlambat menghindarinya sehingga mengenai rusuk kanannya. Sebelum senjata itu menusuk lebih dalam ia dengan cepat membuang tameng dan gladiusnya untuk menahan gagang tombak. Kini ia sedang adu tenaga dengan si bandit yang menusuknya sambil menahan sakit.

“Dia kena! Serang!!” seru Negrimus merangsek ke depan berbarengan dengan dua anak buahnya.
Liberius mengerahkan segenap tenaganya ke tangannya yang menahan tombak itu, dengan tenaganya yang besar ia mengangkat gagang tombak sehingga tubuh si bandit juga ikut terangkat lalu memutar tubuhnya hingga bandit itu terpaksa melepaskan pegangannya dari gagang tombak dan terjatuh.
“Aaaahhhh!” Liberius memekik sambil menarik keluar tombak yang menancap di rusuknya lalu mengacung-acungkan mata tombak ke arah empat lawannya itu.
Para penonton termasuk Senator Gaius dan Ampilatus, serta gladiator lain yang menyaksikan lewat lubang di lorong tunggu, menahan nafas dan dada mereka berdebar menyaksikan pertunjukkan yang makin menegangkan itu.
Dalam waktu relatif singkat Liberius merasakan staminanya turun drastis, keringat dingin mulai mengucuri dahi dan tubuhnya, belum lagi kini ditambah luka bekas tusukan yang terus mengucurkan darah.
“Apa yang terjadi? Racun...anggur itu...tapi kenapa?” ia menatap ke arah Ampilatus di podium utama.
Lanista itu hanya mampu membalas sorot mata garang gladiatornya dengan tatapan penuh rasa bersalah dan penyesalan sebelum akhirnya tertunduk tidak sanggup menatap lagi.
“Maaf kawan...aku terlalu jauh, aku tidak menyangka ambisiku pada akhirnya harus mengorbankan dirimu” katanya dalam hati.
Bandit yang terlempar oleh Liberius tadi memungut martil yang menghancurkan kepala temannya, lalu berbarengan mereka menyerang gladiator yang terluka itu. Seorang bandit yang menyerang dari sisi kiri dengan kampak, Liberius menahan dengan gagang tombak, namun karena tenaganya cukup kuat, kampak itu menebas putus gagang tombak dan terus turun mengenai bahu kirinya. Dengan raungan bagaikan harimau terluka, Liberius menghantam kepala bandit itu dengan gagang tombak yang putus lalu menghujamkan mata tombak ke dada si bandit. Namun racun semakin menjalar di tubuhnya, kepalanya semakin pening dan tenaganya makin terkuras sehingga ia tidak sanggup menghindari serangan lainnya, pedang Negrimus berhasil menebas punggungnya dan bandit yang satunya lagi menusukkan pedangnya ke perut sang juara. Beberapa penonton yang mengaggumi Liberius berteriak ngeri dan tidak berani melihat. Sambil menahan pedang yang menusuk perutnya, Liberius menyarangkan beberapa bogem ke wajah lawannya. Bandit itu tetap bertahan, kesempatan berikutnya datang ketika dari arah samping Negrimus mencoba menusuknya dengan sica. Liberius segera menyambar leher bandit itu, kembali ia memaksakan diri menghimpun tenaganya mengangkat tubuh si bandit ke samping. Jrebbbb...senjata Negrimus menikam punggung anak buahnya sendiri yang langsung menjerit dan tewas seketika. Ia menendang mayat itu sehingga menindih Negrimus, namun begitu berbalik ia melihat martil terayun mengincar kepalanya, cepat-cepat ia menahannya dengan lengan yang terlindungi oleh sisik-sisik logam. Serangan fatal itu berhasil ditahan oleh lengannya sehingga tidak berakibat fatal, namun tak urung lengan kirinya terasa remuk oleh serangan tersebut. Sebelum lawannya sempat menstabilkan posisi, ia menjegalnya hingga terjatuh lalu mencabut pedang pendek di perutnya dan....
“Aaaaaaa.....!!” bandit itu menjerit melihat mata pedang menghujam ke arah wajahnya.
Jeritan itu terputus saat pedang itu terbenam di mulutnya yang menganga hingga tembus menancap di tanah. Buru-buru ia menyambar gladiusnya yang tergeletak tak jauh dari situ.

Kini ia tinggal berhadapan dengan si kepala bandit Negrimus. Penonton makin tegang, terutama Senator Gaius dan Ampilatus yang tahu persis apa yang terjadi pada sang gladiator.
“Kau yakin sudah melakukannya” bisik sang senator pada Ampilatus yang duduk di sebelahnya.
“Tentu sudah, aku sendiri yang memberikannya” jawab Ampilatus dengan suara pelan.
“Kalau saja Roma memiliki prajurit seperti dia, kita tidak akan perlu takut lagi kepada para barbar Galia dan Jerman” kata Senator Gaius yang diaminkan oleh mereka di dekat situ yang mendengar.
Kedua petarung yang tersisa saling menjaga jarak dan menunggu kesempatan menyerang. Liberius yang sudah kehilangan banyak darah dan pandangannya mulai kabur tetap berdiri dalam posisinya dengan gagah tidak ingin menunjukkan kondisinya yang sudah payah pada lawannya dan penonton. Negrimus menyerang dengan pedangnya dan Liberius menangkisnya sehingga keduanya terlibat adu pedang beberapa saat. Sesungguhnya Negrimus hanya ingin mengetes kondisi Liberius, ia menyeringai melihat Liberius yang menangkis serangannya dengan susah payah. Setelah mundur sejenak dan mengatur strategi, kembali Negrimus menyerang, kali ini lebih ganas. Ribuan pasang mata menatap tak berkedip ke arah dua orang yang sedang bertarung itu. Tegang, iba, kagum, bersemangat, berbagai macam perasaan mewarnai koloseum Pompeii saat itu. Dalam kondisi terluka parah, Liberius tak sempat menghindari manuver Negrimus yang akhirnya berhasil menusuk perutnya dengan sica. Bandit itu menarik kembali senjatanya dan sang juara pun terjatuh pada kedua lututnya. Ia memandang dengan marah dan kecewa pada tuannnya dan sang senator. Bagaimanapun Senator Gaius tidak ingin skandal meminjam bibitnya bocor dan menodai karir serta reputasinya yang nyaris tak bercacat di depan publik. Maka untuk mencegah kemungkinan buruk di masa depan, Liberius harus dilenyapkan.
“Aku tidak pernah percaya pada orang barbar!” demikian bentaknya ketika Ampilatus mencoba membujuknya untuk mengurungkan niat tersebut.
“Hahaha...aku tidak menyangka, aku akhirnya dapat mengalahkan sang juara, Liberius, bayangan kematian” Negrimus menendang gladius Liberius menjauh darinya sambil tertawa mengejek siap mengakhiri nyawanya
Bandit itu mengayunkan pedangnya ke samping leher sang juara untuk menebasnya. Namun sebelum sica menyentuh lehernya, Liberius melakukan gerakan tak terduga dengan memiringkan lehernya ke samping dan menurunkan kepalanya sehingga tebasan Negrimus hanya mengenai angin. Selagi bandit itu terkejut dan terbawa oleh tenaga tebasannya sendiri, Liberius menangkap lengannya dan memelintirnya. Negrimus berteriak kesakitan dan menjatuhkan senjatanya. Dengan sisa tenaga terakhirnya, Liberius menyambar sica sang bandit sebelum menyentuh tanah. Satu tebasan dengan segera memisahkan kepala sang bandit dari tubuhnya. Suara gemuruh langsung memenuhi koloseum menyoraki kemenangannya, dari mereka yang mengaguminya maupun yang menang taruhan. Kembali Liberius jatuh berlutut tidak kuat lagi menopang tubuhnya yang sudah kehilangan banyak darah dan keracunan. Ia berlutut menghadap podium utama, bahkan Senator Gaius dan Ampilatus pun tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka atas kemenangannya yang luar biasa ini. Sementara bagi Liberius, ia merasakan pandangannya semakin kabur, sorak sorai penonton yang mengelu-elukannya juga semakin tidak terdengar, di deretan bangku penonton, ia sekonyong-konyong melihat istri dan anak laki-lakinya yang telah lama mendahuluinya. Mereka tersenyum padanya dengan penuh kebanggaan, kepada mereka ia pun balas tersenyum, senyum yang tulus dan hangat dari wajahnya yang seram. Itu adalah senyumnya yang terakhir karena setelah itu kepalanya jatuh tertunduk dan tubuhnya tidak bergerak lagi dalam posisi berlutut.

Setelah diumumkan sang juara gugur dalam pertempuran, semua yang hadir berdiri dan memberikan penghormatan terakhir padanya.
“Di medan perang maupun di arena, aku telah banyak mereka yang menyongsong maut dengan gagah, namun tidak ada yang membuatku lebih terharu dibandingkan kematiannya. Ketika mempelajari sejarah, aku selalu penasaran dan membayangkan betapa gagahnya Raja Leonidas dari Sparta ketika gugur dalam pertempuran melawan Persia. Sekarang rasa penasaran itu sudah terjawab, aku telah menyaksikan Leonidas dalam dirinya. Dia memang bukan orang Romawi, namun ia telah mati seperti orang Romawi dan ia adalah bagian dari kita. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi virtus, marilah kita memberikan penghormatan terakhir pada Liberius, sang juara Pompeii, biarlah semangatnya tetap dalam hati kita selalu!” demikian Senator Gaius menyampaikan pidato ketika mengakhiri pertandingan hari itu, walaupun dialah yang otak di balik kematian tragis Liberius, namun kata-kata berisi kekaguman itu mengalir begitu saja tanpa dibuat-buat. Bagi sang juara yang telah gugur di arena itu, sang senator memakamkannya dengan prosesi mewah dan terhormat, ia juga membangun sebuah monumen baginya. Pada monumen tersebut tertulis, ‘Didirikan untuk mengenang Liberius, juara Pompeii, gladiator terbaik republik’

##########################
Epillog

Pertengahan tahun itu Aurelia melahirkan anak yang dikandungnya, seorang bayi laki-laki yang sehat dan gagah. Ia dididik dengan baik dan kelak tumbuh menjadi seorang pria yang cerdas, berwawasan luas dan ahli bertarung di medan perang. Anak itu diberi nama sama dengan ayahnya, Gaius Julius Caesar yang lebih dikenal dalam sejarah dengan nama Julius Caesar, yang kelak akan memberi pengaruh besar terhadap sejarah bangsanya dan juga dunia, dialah yang menjadi peletak dasar Kekaisaran Romawi dan memperluas wilayahnya hingga Mesir dan Galia (Prancis). Marcia, si gadis Asiria itu, terkejut begitu diumumkan dirinya menerima sejumlah uang bernilai besar, kaget, senang, sekaligus sedih karena bersamaan dengan berita gugurnya Liberius di arena. Uang itu lebih dari cukup untuk menebus kebebasannya. Ia lalu pindah ke desa tak jauh dari Pompeii dimana ia membeli sebidang tanah dan mendirikan sebuah penginapan dari uang yang tersisa. Belakangan ia menikah dengan seorang pria lokal dan berkeluarga. Mereka hidup bahagia dan dikaruniai banyak anak, usaha mereka pun maju sehingga menjadi keluarga terpandang di desa tersebut. Setiap tahun setiap hari kematian Liberius, ia selalu menyempatkan diri berziarah di makamnya
“Mungkin dia hanyalah orang kasar yang hanya mampu memegang senjata, sekarang ini mungkin tidak ada lagi yang mengingat namanya selain aku, tapi bagaimanapun tanpa dia, tidak akan ada hari ini yang indah bersamamu dan anak-anak, mungkin aku masih menjadi budak hingga ajal menjelang.” katanya pada suaminya di depan makam sang gladiator.
Marcia dikaruniai umur panjang hingga rambutnya memutih dan akhirnya menutup mata dengan tenang, ia sempat menyaksikan Pemberontakan Spartacus dan Perang Sipil Roma. Ampilatus, sesuai yang dijanjikan sang senator, menjadi pejabat publik di Roma namun ia tidak lama menikmati posisinya. Dihantui perasaan bersalah dan penyesalan, ia mulai mengalami gangguan kejiwaan dan meninggal dalam kegilaan hanya dua tahun setelah menjabat, istri dan anaknya jatuh bangkrut setelah kematiannya dan menghabiskan sisa hidup mereka dalam kemelaratan.

TAMAT
By: Shusaku