Rabu, 23 April 2014

Gaby, Istri yang Ternoda 3: Hidup Baru (Final)

Gaby

Setelah melepas kaus, Cakra berbaring di tempat tidur. Ia memintaku untuk naik ke atas tubuhnya dan memijatnya. Aku sempat menolak. Aku lebih memilih memijat punggungnya saja. Namun, ia terus mengancam sehingga akhirnya aku terpaksa melakukannya. Aku naik ke atas tubuh Cakra sambil berusaha menahan rokku agar tidak terlalu tersingkap. Tapi hal itu sia-sia saja, sebab rok lingerieku terlalu pendek sehingga pahaku yang mulus tetap tersingkap. Aku memijat dada Cakra dengan lembut dan perlahan. Posisi itu membuatku sedikit membungkuk sehingga belahan buah dadaku terlihat jelas oleh Cakra. Rambutku yang panjang menutupi sebagian mukaku sehingga diriku terlihat sangat binal.
Cakra tampak begitu menikmati pijatanku. Lama-kelamaan tangannya mulai nakal. Jari-jarinya bermain-main di sekitar pahaku, mengelus-elusnya. Bahkan kemudian salah satu tangannya meremas-remas dadaku. Aku sudah mencoba menepis tangannya. Namun percuma saja, sebab tenaga Cakra terlalu kuat, tidak sebanding denganku. Perlahan-lahan aku mulai terangsang oleh remasan dan rabaan Cakra di bagian-bagian sensitif tubuhku. Aku sudah tidak konsentrasi lagi memijatnya. Aku menggigit-gigit bibirku, menahan rasa merinding yang menyelimuti tubuhku. Tiba-tiba Cakra menarik kepalaku, lalu mencium bibirku. Kali itu aku tidak menolaknya sama sekali, dan bahkan langsung membalas ciumannya. Rupanya gairahku sudah terpancing. Lidahku dan lidah Cakra saling terpagut. Kami berciuman dengan panas. Cakra meremas-remas buah dadaku, dan tanpa sadar jari-jariku juga memainkan puting dada Cakra.
Dalam satu kali kesempatan, Cakra membalikkan tubuhku dengan tenaganya yang besar itu. Kini posisiku di bawah, sementara ia di atas. Cakra mengangkat tanganku tinggi-tinggi dan memegangnya dengan erat. Kedua ketiakku yang putih dan mulus itu pun tersingkap jelas. Sore sebelumnya aku sengaja mencukur bulu ketiakku untuk memancing gairah Mas Hendra. Tapi aku tidak menyangka bahwa malam itu Cakralah yang akan menikmati kesintalan tubuhku, bukan Mas Hendra. Cakra mengendus-endus ketiakku, dan kemudian mulai menjilatinya. Aaaaah... aku menggeliat-geliat kegelian. Cakra menarik tanganku secara menyilang ke punggungku, lalu menekannya. Aku merasa kesakitan, namun tidak bisa apa-apa. Mungkin Cakra melakukannya supaya bisa mendapat akses yang bebas untuk menikmati ketiakku. Benar saja, setelah itu Cakra pun menjilat ketiakku dengan ganas dan sedikit kasar.
“Oooh... Ahhh....” aku mendesah-desah.
Entah kenapa rangsangan Cakra di ketiakku terasa begitu nikmat. Awalnya aku merasa risih dan malu, namun lama-kelamaan aku malah menikmatinya. Setelah puas, Cakra membebaskan tanganku. Ia mendudukkanku, dan kemudian melepas lingerieku. Aku duduk dengan malu-malu di hadapannya, hanya mengenakan BH kecil dan celana dalam mini. Dengan satu gerakan cepat, Cakra melepas penutup dadaku. Cakra kemudian melumat buah dadaku. Kedua tangannya sibuk meraba-raba bagian tubuhku lainnya. Aku hanya bisa pasrah, membiarkannya menikmati setiap lekuk tubuhku. Dalam hati aku berdoa semoga Mas Hendra tidak datang dan melihatku dalam keadaan seperti itu.

Setelah puas bergerilya di bagian dadaku, ciuman Cakra turun ke arah perut. Kemudian ia melepas celana dalamku dengan kasar, lantas membuangnya ke sudut kamar. Ia mengangkat kakiku, dan kemudian menjilat-jilat jempol kakiku. Jilatannya itu berpindah ke betis, paha, dan akhirnya berlabuh di vaginaku.
“Oooouuuh... aaaaah....” aku mendesah kuat saat bibir Cakra mulai melumat bibir vaginaku.
Aku meringis sambil melihat aktivitas Cakra. Mulutnya sesekali menarik-narik bulu-bulu kemaluanku. Tubuhku menggeliat-geliat menahan geli. Perlahan-lahan cairan kewanitaanku meleleh, keluar dari dalam vaginaku yang terus dirangsang oleh Cakra. Cukup lama juga Cakra memainkan kemaluanku. Kemudian, ia membalikkan tubuhku dan memaksaku untuk menungging. Ia mengeluarkan penisnya dengan cepat, lalu menempelkannya ke bongkahan pantatku. Penisnya terasa begitu keras.
“Apa mungkin ia mau penetrasi sekarang?” aku membatin, bingung.
Aku merasa heran, sebab biasanya Cakra akan memintaku untuk  mengoralnya terlebih dahulu sebelum kemudian lanjut penetrasi. Tapi entah kenapa kali ini ia tidak memintanya. Mungkin ia sudah tidak sabar.
Dugaanku benar. Cakra menempatkan penisnya di pintu masuk liang kenikmatanku, dan kemudian mendorongnya dengan cepat. Aku tersentak kaget. Rupanya Cakra benar-benar sudah tidak tahan. Sepertinya malam itu ia sedang sangat bergairah. Aku sangat  bersyukur, sebab itu berarti permainan ini akan cepat selesai. Aku tidak berani berlama-lama, sebab ada Mas Hendra yang sedang menunggu di pos kamling sana. Cakra mulai menggenjot dengan cepat. Penisnya yang sangat keras itu mengaduk-aduk lubang kehormatanku.
“Aiiiih... Oooh...,” aku mendesah-desah.
Vaginaku terasa sangat gatal. Cakra sesekali menampar-nampar pantatku. Benar-benar kurang ajar. Ia telah memperlakukanku seperti pelacur. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa ia telah memberikanku kenikmatan yang sungguh tidak terkatakan. Semakin lama genjotan Cakra semakin cepat. Aku sempat menduga bahwa ia mau keluar. Sebuah hal yang cukup aneh, sebab kami baru bermain dalam satu posisi. Tapi Cakra sudah mulai mendesah, dan biasanya hal itu menandakan bahwa ia mau keluar. Genjotan Cakra membuat vaginaku terasa mau meledak, dan itu tandanya aku juga hampir meraih puncak. Benar saja, tidak lama kemudian tubuhku menegang. Pantatku terangkat, dan dadaku turun menyentuh permukaan kasur. Tanganku berusaha menggapai-gapai apa saja yang bisa aku raih. Namun aku hanya meraih seprai, dan kemudian menarik-nariknya dengan belingsatan. Tubuhku semakin menegang... terus menegang... semakin menegang... hingga akhirnya....
“OOOUUUUHHHH.... AAAAAHhhhh....” aku menjerit tertahan, berusaha agar suaraku tidak terlalu kencang sehingga tidak terdengar sampai keluar kamar.
Aku telah mencapai puncak! Cakra melepaskan penisnya sejenak dan membiarkan cairan kewanitaanku menyemprot ke mana-mana. Aaaah... rasanya nikmat sekali. Aku benar-benar melayang. Kesadaranku seperti hilang saat berhasil meraih puncak kenikmatan itu. Cakra kembali memasukkan penisnya ke vaginaku yang basah kuyup itu. Ia menggenjot dengan sangat cepat. Di akhir genjotannya, ia menyentakkan penisnya dalam-dalam ke vaginaku. Aku tahu bahwa ia telah keluar. Aku merasakan semprotan-semprotan spermanya membanjiri liangku yang paling berharga itu. Aah, lagi-lagi aku membiarkan dirinya membuahiku dengan seenak hatinya. Kami berdua kemudian sama-sama terjerambab di atas kasur, lemas. Kami sama-sama diam. Kesadaranku seperti belum pulih benar. Aku masih tenggelam dalam kenikmatan yang aku raih tadi. Beberapa menit kemudian, Cakra beranjak dari tempat tidur, lalu berpakaian. Setelah meremas-remas payudaraku dengan kurang ajarnya, dia pun pergi begitu saja. Aku memandang kepergiannya dengan kesal. Aku merasa sangat lelah dan rasanya ingin langsung tidur. Tapi kemudian aku segera sadar bahwa mungkin sebentar lagi Mas Hendra akan pulang. Maka aku pun bergegas bersih-bersih dan mengganti seprai. Aku tidak mau Mas Hendra mendapatiku berbaring tak berdaya dalam keadaan telanjang bulat karena baru saja disetubuhi.

****
Siang itu begitu cerah. Aku baru saja selesai mandi sehingga suasana terasa begitu menyegarkan. Aku hanya mengenakan daster tipis dengan bawahan di atas lutut supaya terasa adem. Aku tidak khawatir mengenakan pakaian seksi seperti itu, sebab toh aku sedang di rumah sendirian. Mas Hendra seperti biasanya sedang bekerja.
Aku menyalakan televisi untuk bersantai-santai. Belum ada satu menit aku duduk di depan televisi, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu.
“Siapa yang bertamu siang-siang  begini?” batinku, heran. Aku berpikir mungkin itu adalah Cakra. Jantungku pun langsung berdebar kencang.
“Apa dia mau minta jatah lagi? Bukankah tadi malam sudah?”
Aku segera mengenakan kaus  untuk menutupi bagian atas tubuhku, dan kemudian berjalan ke depan. Sebelum membuka pintu, aku menyempatkan diri untuk mengintip lewat jendela.
“Lho, Alfian?” aku membatin. Di depan rumahku ada seorang remaja yang tampak culun dan pendiam. Dia adalah Alfian, tetanggaku yang rumahnya tidak jauh dari rumah kontrakanku. Aku pun segera membuka pintu.
“Selamat siang, Kak,” sapa Alfian sambil tersenyum.
“Selamat siang, Alfian,” balasku, ramah. “Mau cari Mas Hendra, ya? Wah, kebetulan Mas Hendra lagi kerja,” jelasku. Tumben sekali Alfian bertamu ke rumah. Hal ini membuatku heran. Aku pun menebak bahwa ia sedang mencari Mas Hendra.
“A... aku nggak lagi cari Mas Hendra, Kak. Aku ada perlu sama Kak Gaby,” ujar Alfian dengan muka tertunduk. Ia terlihat gugup, dan seperti tidak berani menatapku. Ia memang terkenal sebagai anak yang pendiam dan pemalu.
“Sama Kakak?”
“Iya, Kak. Boleh aku masuk?”
“Oh iya, silakan,” ujarku. Aku pun segera mempersilakan Alfian masuk.
“Mau minum apa, Alfian?” tanyaku, ramah.
“Oh, nggak usah, Kak. Nggak usah repot-repot. Aku cuma mau menyampaikan sesuatu.”
Aku termangu, dan kemudian duduk di hadapan Alfian di ruang tamu.
“Ada perlu apa, ya? Kok sepertinya serius banget.”
“Begini, Kak Gaby. Lusa aku mau pindah ke Kalimantan. Ayah dan ibuku mau transmigrasi ke sana, dan aku ikut. Kebetulan aku baru saja lulus SMA.”
“Oh ya? Waaah... jauh banget ya pindahnya.”
“Iya, Kak. Nah, sebelum pindah, aku mau minta tolong sesuatu ke Kak Gaby untuk terakhir kalinya. Sebutlah ini sebagai tanda perpisahan.”
“Haha... ada-ada aja kamu,” aku tertawa geli. “Memangnya mau minta tolong apa? Selama aku bisa bantu, pasti aku bantu.”
“Begini, Kak. Tapi Kakak jangan marah, ya?”
 “Ah, kamu bikin penasaran aja. Memangnya apa, sih?”
“Mmm.... anu, Kak.... Terus terang, aku ngefans banget sama Kak Gaby. Setiap kali Kakak lagi ngobrol-ngobrol sama tetangga, aku selalu memperhatikan Kak Gaby.”
Aku semakin merasa geli. Ini benar-benar konyol. Jangan-jangan ABG ini mau menyatakan cinta kepadaku. Aku hanya tersenyum simpul membayangkan hal itu.
 “Nah... Selama ini kan aku sering nonton film porno, Kak. Aku jadi penasaran. Aku pengeeeennnn banget nyoba jilat buah dada dan kemaluan perempuan, kayak di film-film itu. Kalau boleh, aku pengen nyoba hal itu ke Kakak.”
Bagai disambar geledek, seketika emosiku tersulut. Aku tidak menyangka cowok sepolos Alfian bisa mengatakan hal tidak senonoh seperti itu.
“Heh, Alfian! Jaga omongan kamu!” aku berdiri dengan penuh emosi. “Berani-beraninya kamu ngomong kayak gitu ke aku! Memangnya kamu kira aku ini pelacur?”
“A... aku mohon maaf, Kak. Aku suka banget sama Kak Gaby, tapi selama ini aku cuma bisa membayangkan Kakak. Lusa aku udah mau pindah, jadi apa salahnya Kakak bantuin aku.”
“Kamu benar-benar kurang ajar! Bisa-bisanya kamu berpikir aku mau menyanggupi permintaan kotormu itu!!  Sekarang lebih baik kamu pulang!!”

Cakra

“Ta... tapi... Mas Cakra aja bisa, kenapa aku nggak? Lagi pula aku cuma minta sekali ini aja.”
Lagi-lagi aku seperti tersambar geledek. “Apa maksud kamu?”
“Ini, Kak.” ujar Alfian seraya menyerahkan handphonenya. Ada sebuah video di layar. Aku pun langsung menyetelnya.
“A... apaaaa??” hampir saja handphone itu lepas dari genggamanku.
Di video itu tampak diriku yang sedang telanjang bulat, sedang jalan dengan cepat dari rumahku menuju rumah Cakra. Ah, tiba-tiba aku merasa pusing. Aku tak menyangka bahwa ternyata ada yang memergokiku saat sedang ke rumah Cakra malam-malam. Dan orang itu adalah Alfian. Tubuhku pun lemas seketika.
“Aku mohon, Kak. Aku benar-benar tergila-gila sama Kak Gaby. Selama ini aku sering masturbasi sambil membayangkan Kak Gaby. Terlebih sejak aku melihat Kak Gaby telanjang bulat, aku semakin sering masturbasi. Kak, aku sayang sama Kakak. Dan sebelum aku pindah, aku pengen banget nyoba yang kayak di film-film itu. Aku mohon, cuma sekali ini aja.”
“Nggak! Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini sebelum aku teriak!”
“Ya udah, Kak. Aku pergi. Tapi maaf, jangan salahkan aku kalau video itu tersebar,” ujar Alfian, sambil beranjak dari kursi.
Aku ternganga. Rupanya Alfian hendak menjadikan video itu untuk mengancamku.
“Alfian, tunggu!”secara spontan aku mencegah kepergian Alfian. Aku takut sekali jika video itu tersebar. Bagaimana kalau nanti Mas Hendra tahu? Oh, aku tidak bisa membayangkannya.
“Ada apa, Kak?”
“Tolong hapus video itu, Alfian,” ujarku dengan memelas. “Jangan disebarkan. Aku mohon....”
“Aku pasti akan hapus video ini, Kak. Tapi aku juga minta Kakak bantuin aku. Supaya aku nggak penasaran lagi, dan bisa tinggal di Kalimantan dengan tenang. Aku udah lama memimpikan Kak Gaby. Aku suka Kak Gaby.”
“Terima kasih karena kamu sudah menyukaiku. Tapi, aku nggak bisa melakukan itu, Alfian. Aku ini istri orang.”
“Tapi kenapa kalau sama Mas Cakra mau? Padahal aku juga nggak minta macam-macam. Cuma mau yang tadi aku bilang.”
Aku diam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, panik.
“Ya sudah, Kak. Aku pulang dulu, ya.” Alfian berbalik, hendak keluar rumah. Aku pun buru-buru menarik tangannya.
“Tunggu... tunggu... tolong jangan pergi,” ujarku, sambil menahan tangis. “Oke Alfian, oke! Aku turuti kemauan kamu.”
“Kakak serius?”
“Iya. Tapi tolong sebelumnya hapus dulu video tadi.”
“Nggak, Kak. Aku baru akan menghapusnya setelah Kakak menepati janji Kakak.”
Aku menahan geram. “Oke! Tapi kamu harus janji, kamu hanya menjilat dadaku dan kemaluanku.”
“Setuju, Kak. Aku janji,” ujar Alfian dengan muka berbinar. “Jadi kapan kita bisa mulai?”
“Ayo ikut aku,” ujarku.

Aku mengunci pintu rumah, menutup gorden jendela, lalu berjalan dengan lunglai menuju kamarku dan Mas Hendra. Alfian mengikuti dari belakang. Sesampainya di kamar, aku menyuruh Alfian duduk di ranjang. Aku mengunci pintu kamar, dan kemudian melepas kausku. Daster seksi yang aku kenakan membuat buah dadaku begitu menantang. Aku naik ke ranjang, lalu berbaring di sana. Dengan tangan gemetar, aku mulai melepas tali daster di pundakku dengan perlahan, namun tetap menahan daster agar tetap menutup buah dadaku. Jantungku berdebar-debar membayangkan apa yang akan Alfian lakukan terhadapku sebentar lagi.
“Ini, silakan dimulai. Tapi ingat kesepakatan kita tadi,” ujarku sambil memandang Alfian lekat-lekat.
“Iya, Kak.”
Perlahan Alfian naik ke atas tubuhku. Aku memejamkan mata ketika tangan Alfian mulai menurunkan dasterku yang talinya sudah tidak terkait di pundakku itu. Kulit dadaku merasakan hangatnya tangan Alfian yang terasa gemetar. Sepertinya ia gugup. Dan kami sama-sama gugup.
Perlahan-lahan buah dadaku pun mulai tersingkap. Aku membuka mata sedikit, dan aku melihat mata Alfian tampak berbinar-binar.
“Ooohhh... akhirnya mimpiku terwujud....” ujar Alfian, setengah berbisik. “Terima kasih banyak Kak Gaby. Aku sayang Kakak....”
Setelah mengucapkan itu, Alfian langsung melumat dadaku seperti orang kesetanan. Ia mencupang kedua bukit kembarku dengan kasar.
“Pelan-pelan, Alfian. Pelan-pelan....” aku mencoba mengingatkan, sebab aku merasa risih jika ia tidak bisa mengendalikan diri seperti itu.
“Oh iya, Kak. Maaf.... Baru pertama kali ini aku melihat buah dada perempuan dewasa secara langsung, dan baru kali ini pula aku bisa menciumnya. Apalagi ini milik Kak Gaby, orang yang selalu aku hadir dalam mimpiku.
Aku agak tersipu mendengar omongan Alfian. Aku tidak menyangka bahwa bocah itu benar-benar menyukaiku. Tidak lama kemudian, lidah Alfian mulai memainkan puting susuku. Lidahnya melingkar-lingkar dengan lincah. Permainannya begitu luar biasa. Entah dari mana ia mempelajari kemampuan itu. Mungkin dari film-film porno yang sering ia tonton. Tanpa sadar, aku memegang kepala Alfian sambil mendesah-desah. Aku rasakan kedua puting susuku mulai mengeras. Oh tidak, rupanya aku mulai terangsang. Ini yang aku takutkan sedari tadi.
“Eggh...,” aku mengerang saat Alfian perlahan-lahan menggigit-gigit puting susuku.
Ini enak sekali. Aku tak menyangka bocah itu pandai memberikan rangsangan. Bisa dibilang kemampuannya tidak kalah dibanding Cakra. Tubuhku menggeliat-geliat menahan hasrat yang semakin lama semakin naik.
“Oooh..., kamu hebat Alfian,” batinku.
Aku mengintip aktivitas Alfian. Ia masih terus semangat melumat dadaku. Aku perhatikan payudaraku yang putih, kenyal, dan menantang itu memerah. Aku biarkan diriku dicupang oleh Alfian. Aku pasrah saja supaya video itu bisa dihapus sehingga masalah ini bisa segera beres. Beberapa lama kemudian, Alfian menghentikan aktivitasnya. Ia menarik dasterku dengan tangkas, dan kemudian menurunkannya. Rupanya ia sudah ingin menikmati bagian bawahku. Aku sama sekali tidak melawan ketika ia melepas dasterku. Bahkan ketika ia menurunkan celana dalamku, aku menaikkan sedikit pantatku untuk memudahkannya. Kini aku sudah telanjang bulat, berbaring di hadapan Alfian. Aku menutup buah dadaku dengan tangan kanan, dan merapatkan kedua belah pahaku sambil menutupi kemaluanku dengan tangan kiri. Aku memandang Alfian, menantikan apa yang akan ia lakukan berikutnya terhadap tubuhku.

Alfian

“Oooh... Kak Gaby,” desah Alfian sambil menggosok-gosok sesuatu yang menonjol di balik celananya. Kemudian ia mengelus-elus pahaku sejenak, lalu membukanya perlahan-lahan. Kini vaginaku pun terpampang dengan jelas di hadapannya. Bulu-bulu kemaluan yang tercukur rapi tampak kontras dengan kedua pahaku yang putih, mulus, dan padat itu. Rupanya vaginaku sudah agak basah. Aku merasa malu kepada bocah itu sehingga kedua pipiku memerah.
“Kak Gaby... aku hampir nggak percaya bisa dapet kesempatan ini. Ya ampun, vagina Kak Gaby indah banget... Ooh... sebentar lagi apa yang aku impi-impikan akhirnya tercapai....”
Alfian mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Aku memperhatikan aktivitasnya dengan saksama. Ketika bibirnya mulai menyentuh bibir kemaluanku, aku langsung mendesah.
“Oouuh....”
Bocah itu menyedot-nyedot cairan kemaluanku, lalu menelannya. Ia juga memainkan lidahnya, menjelajahi vaginaku dengan leluasa. Tubuhku menggeliat-geliat menahan gairah yang mulai menguasaiku.
“Aaaaah... Alfian sayang... terus... pelan-pelan....” tanpa sadar aku memanggil Alfian dengan panggilan sayang.
Permainan Alfian semakin ganas.  Lidahnya mengaduk-aduk liang senggamaku tanpa ampun. Desahanku pun semakin keras. Vaginaku seperti mau meledak. Aku merapatkan kedua pahaku hingga kepala Alfian terjepit. Kedua tanganku meremas-remas buah dadaku sendiri. Kepalaku bergerak-gerak tidak karuan. Dadaku membusung. Napasku terengah-engah. Aiiiihhh....
Tiba-tiba, Alfian menghentikan aktivitasnya, lalu bangkit dari tempat tidur. Tangan kirinya terlihat sibuk menggosok-gosokkan penisnya yang masih berada di dalam celana.
“Ooh, aku udah nggak kuat lagi, Kak. Aku udah mau keluar. Aku pinjam kamar mandinya, Kak. Ada di mana?” tanya Alfian sambil meringis.
“Itu, keluar dari kamar ini, terus belok kanan. Kamu mau masturbasi?”
“Iya, Kak. Sebentar, ya,” ujar Alfian, lalu buru-buru pergi menuju pintu.
Aku tercenung. Bocah itu begitu polos, dan setahuku ia merupakan anak yang baik. Lusa ia akan pindah ke Kalimantan, dan mungkin kami berdua tidak akan pernah bertemu lagi. Kemudian terlintas sebuah pikiran gila dalam kepalaku, bagaimana jika aku memberi “hadiah” kepadanya? Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena dia telah menyukaiku. Juga sebagai tanda perpisahan. Yang aku maksud hadiah di sini tentu saja bukan membolehkannya menyetubuhiku. Bagaimanapun aku tidak mau, sebab aku merasa masih sebagai seorang perempuan terhormat. Aku rasa mengoralnya sudah cukup membuat dia puas dan bahagia. Dan aku juga tidak mengalami kerugian apa-apa.
“Alfian, tunggu,” aku berseru kepada Alfian yang masih berusaha membuka kunci pintu kamar. Pintu itu memang agak bermasalah. Hanya aku dan Mas Hendra yang bisa membukanya dengan lancar.
“Iya, Kak? Aduh, tolong bukain pintunya, dong, Kak,” ujar Alfian dengan muka memelas. Sepertinya ia sudah benar-benar tidak tahan.
 “Itu memang agak rusak. Ya udah, keluarin di sini aja. Sini Kakak bantu,” tawarku.
“Ma... maksud Kakak?”

Aku beranjak dari kasur, kemudian menghampiri Alfian. Bocah itu hanya bisa ternganga melihatku berjalan ke arahnya dalam keadaan telanjang bulat.
 “Alfian, Kakak akan bantu. Tapi ini hanya sekali aja. Setelah ini kamu harus menghapus video itu, lalu pulang dan jangan kembali lagi ke sini,” ujarku dengan nada tegas.
“I... iya, Kak.... Aku janji...,” jawab Alfian, terlihat begitu gugup.
“Kalau begitu sekarang lepas celanamu,”
Tanpa perlu disuruh dua kali, Alfian buru-buru melepaskan celana panjang dan celana dalamnya. Mataku langsung tertuju pada penisnya yang ramping, panjang, keras, dan tegak. Kemaluan tersebut dihiasi oleh bulu-bulu yang belum terlalu lebat. Aku berlutut di depan Alfian. Perlahan-lahan kusentuh penisnya yang basah itu, dan kemudian kumainkan dengan lidahku.
“Uuuh... Kak...,” Alfian mengerang. Tangannya meremas-remas kepalaku sambil merem melek. Ia terlihat begitu keenakan. Aku pun semakin semangat untuk mengoralnya.
Penis Alfian memang tidak terlalu besar, tapi benar-benar keras. Mungkin karena baru pertama kali ini ia mendapat rangsangan seperti itu sehingga ereksinya bisa benar-benar maksimal. Aku mengulum penis Alfian dengan tekun. Entah kenapa aku begitu menyukai wangi penisnya. Aromanya membuatku semakin terangsang. Aku melirik ke arah cermin di sampingku. Astaga, aku melihat sebuah pemandangan yang begitu menggetarkan. Aku terlihat begitu rendah. Di cermin itu, aku yang sintal dan dan cantik jelita sedang berlutut dalam keadaan telanjang bulat di depan remaja berwajah ndeso, mengulum penisnya.
“Oooh... maafkan aku, Mas Hendra. Aku tidak tahu kenapa aku sampai melakukan hal yang sangat rendah ini....”
Tiba-tiba, cengkeraman Alfian di kepalaku semakin kencang. Aku juga merasakan penis Alfian semakin keras.
“Aduuuuh... aku mau keluar, Kak! Aku mau keluar! Ouuuuh....”
Mendengar itu, aku semakin mempercepat kulumanku. Tidak lama kemudian....
“Aaaaaaah.... Oooooh.... Kakaaaaak....” Alfian melolong. Tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya mendongak ke atas. Matanya memejam, dan mulutnya menganga. Sepertinya ia telah mendapatkan kenikmatan yang begitu luar biasa.
Aku juga merasakan penis Alfian berdenyut-denyut. Semprotan spermanya langsung mengisi mulutku. Entah kenapa aku sama sekali tidak mual. Aku membiarkan penis Alfian berada di dalam mulutku selama beberapa detik, sampai ia selesai menumpahkan semua spermanya.
“Aduuuh... Kak Gaby, maaf... Aku... aku tadi udah nggak kuat. Aku nggak bermaksud ngeluarin di mulut Kak Gaby,” ujar Alfian, seraya buru-buru melepas penisnya dari dalam mulutku.
Aku menggeleng sebagai syarat bahwa aku tidak apa-apa. Aku langsung mengambil tisu, lalu menumpahkan semua sperma di dalam mulutku ke dalam tisu itu hingga benar-benar bersih.
“Kak Gaby, aku minta maaf...,” ujar Alfian, prihatin melihatku dalam kondisi seperti itu.
“Nggak apa-apa, Alfian,” ujarku, lembut. “Kini semuanya sudah selesai. Sekarang tolong tepati janji kamu.”
“Iya, Kak,” jawab Alfian. Lantas ia mengambil hpnya, lalu menghapus videoku di depanku. Kemudian, aku pun segera mengenakan dasterku lagi.
“Sekarang kamu pulanglah. Aku mau bersih-bersih. Oh iya, tolong jangan kembali ke sini lagi. Tepati janji kamu,” ucapku dengan nada tegas.
Alfian menatapku sambil tersenyum lembut. “Iya, Kak. Aku pasti menepati janjiku. Aku benar-benar berterima kasih sama Kak Gaby. Ini semua benar-benar lebih dari harapanku. Terima kasih ya, Kak. Aku pamit dulu,” Alfian memelukku dengan erat.
Aku membalas pelukannya sambil mengelus-elus punggungnya, layaknya seorang kakak yang sedang menenangkan adiknya. Kemudian Alfian pun pulang dengan keadaan puas sekali.
Berhubung aku belum terpuaskan, maka aku pun langsung bermasturbasi di kamar mandi. Membayangkan sedang disetubuhi pria yang selama ini selalu memuaskanku, Cakra....

****
Aku mulai terbiasa menjalani hidup yang aneh ini. Aku berstatus sebagai istri Mas Hendra, namun aku harus selalu siap sedia jika Cakra sedang minta dilayani. Ia benar-benar seperti pengantin baru. Dalam seminggu, ia bisa minta jatah sebanyak 6 kali. Dan dalam satu kali kesempatan, kami bisa bersetubuh hingga tiga ronde. Biasanya kami melakukannya malam-malam, selepas Mas Hendra tidur. Cakra sudah tidak pernah memintaku berjalan dalam keadaan telanjang bulat ke rumahnya. Tapi, malah aku yang sering melakukannya sendiri, khususnya ketika aku sedang sangat bergairah. Kadang-kadang juga Cakra datang siang-siang ke rumahku, lalu menyetubuhiku di mana saja, seperti di ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, dan dapur. Bahkan suatu kali pernah, ia memaksaku melayaninya di samping Mas Hendra yang sedang tidur! Untunglah Mas Hendra tidak sampai terbangun karena aku sempat memasukkan obat tidur ke dalam minumannya menjelang ia tidur. Pada suatu malam, aku sedang asyik menonton televisi. Sudah dua hari ini Cakra tidak datang ke rumah atau minta jatah. Sepertinya ia sedang “bertugas” di luar kota, merampok truk-truk yang melintas di jalan raya. Untunglah gairahku sedang tidak terlalu tinggi. Kalau tidak, pasti aku akan bingung dan gelisah, sebab tidak ada yang memuaskanku, mengingat sampai sekarang Mas Hendra sama sekali tidak berdaya di ranjang.
“Tok... tok... tok...,” terdengar ketukan pintu yang sepertinya diketuk dengan terburu-buru. “Sayaaang... bukain pintunya, dongg!”
Oh, itu suara Mas Hendra. “Iya, Mas! Tunggu sebentar!”
“Buruan!” Aku dapat kabar baik, nih!” seru Mas Hendra, sementara aku sedang mengambil kunci pintu di dalam kamar.
“Kabar baik apa sih, Mas?” tanyaku ketika sudah membuka pintu. “Kok kayaknya seneng banget.”
Mas Hendra hanya cengar-cengir mendengar pertanyaanku. Setelah menutup pintu, kemudian ia mulai bercerita.
“Aku naik jabatan, Sayang!” seru Mas Hendra. Aku sumringah mendengar kabar baik itu.
“Oh ya?” tanyaku, dengan wajah nyaris tidak percaya. “Wah, berarti gaji Mas Hendra naik, dong! Asyiiikk...!!”
“Iya, Sayang! Dan berita baiknya lagi, aku akan bertugas di kantor pusat. Dan itu berarti kita akan pindah dari sini! Lusa kita sudah harus pindah, sebab Senin aku sudah mulai bekerja di sana. Kamu pasti senang, kan?”
Perlahan-lahan senyumku memudar. Seharusnya aku senang, sebab itu berarti aku bisa lepas dari cengkeraman Cakra. Dia tidak bisa lagi seenaknya memaksaku untuk melayaninya. Ya, seharusnya aku senang. Tapi, entah kenapa sebagian diriku seperti tidak rela. Entah kenapa aku seperti tidak sanggup membayangkan hidup tanpa Cakra. Apakah aku telah jatuh cinta kepada preman keparat itu?
“Sayang? Kamu kenapa?” ucapan Mas Hendra membuyarkan lamunanku.
“Oh, nggak apa-apa, Mas. Jadi lusa kita pindah?”
“Iya, Sayang! Yeaah... kita akan memulai hidup baru di sana!” seru Mas Hendra, girang. “Aku sudah telepon jasa angkutan untuk memindahkan barang-barang kita. Lusa mereka akan datang, dan kemudian kita langsung pindah.”
Aku termangu. Untunglah Mas Hendra tidak terlalu memperhatikan perubahan raut mukaku. Ia langsung pergi dari ruang tamu untuk mandi. Ia berjalan sambil bersiul-siul senang. Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku gelisah. Aku bingung harus bagaimana. Di satu sisi aku ingin pindah bersama Mas Hendra. Tapi, di sisi lain aku tidak ingin jauh-jauh dari Cakra. Aahh... aku benci sekali dengan kenyataan ini.

****
Truk yang akan mengangkut barang-barang kami sudah datang. Sebelumnya kami sudah mengepak semua barang berukuran kecil ke dalam kardus. Para kuli angkut pun satu per satu sudah mulai memindahkan barang-barang dari dalam rumah ke atas truk. Aku duduk di sudut ruangan sambil menatap aktvitas mereka dengan gelisah. Aku bingung. Aku benar-benar tidak ingin pindah dari sini. Tapi bagaimana cara melakukannya? Aku begitu panik dan sangat kalut. Dan kemudian aku pun mulai terisak....
“Lho, sayang... kamu kenapa?” tanya Mas Hendra saat melihatku menangis.
Ia langsung menghampiriku dan membelai-belai rambutku. Aku pun langsung memeluknya dengan erat. Tangisanku semakin keras.
“Kamu kenapa, Sayang? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Aku hanya menangis tanpa berkata apa-apa. Pelukan dari Mas Hendra sedikit menenangkanku. Perlahan-lahan pikiranku pun mulai tenang.
“Sayang...,” ujar Mas Hendra, lembut. “Ceritalah kalau ada masalah... nanti sama-sama kita cari solusinya....”
Mendengar kata-kata Mas Hendra yang begitu teduh, aku pun mulai berani membuka mulut. “Mas... aku... aku minta maaf....”
“Lho, minta maaf kenapa?”
“Aku nggak bisa pindah dari sini, Mas.... Aku pengen tetap di sini....” ujarku. Air mataku pun semakin tumpah, sebab dengan berkata seperti itu, berarti aku lebih memilih menjadi budak pelampiasan Cakra.
“Lho... lho... kenapa?” Mas Hendra melepaskan pelukannya. “Bukankah dulu kamu pernah bilang pengen pindah dari sini?”
“Iya, Mas... tapi itu dulu.... Sekarang aku benar-benar nggak pengen pindah... tolong aku, Mas....”
 “Tapi....” Mas Hendra tidak meneruskan ucapannya. Ia terlihat sangat terkejut.
“Tolong, Mas...,” aku kembali terisak.
“Tapi aku nggak mungkin membatalkan kepindahanku ke kantor baru, Sayang....”
“Mungkin Mas Hendra saja yang pindah, sementara aku tetap di sini. Nanti Mas Hendra bisa pulang ke sini seminggu atau dua minggu sekali...,” aku memberi ide.
Mas Hendra menjauh dariku, dan kemudian terduduk lemas sambil memijat-mijat keningnya. Aku jadi kasihan kepadanya. Aku segera mendekatinya, dan kemudian memeluknya sambil terisak. Kami berpelukan seperti itu dalam waktu yang cukup lama. Akhirnya Mas Hendra mulai bicara. Ia meminta alasan yang logis kenapa aku tidak ingin pindah. Aku hanya bilang bahwa aku sudah sangat betah di kampung itu. Aku tidak mungkin memberitahukan alasan yang sebenarnya kepada Mas Hendra, sebab hal itu bisa sangat menghancurkan hatinya. Mas Hendra sulit menerima alasanku, namun ia tidak sampai hati memaksaku untuk ikut pindah. Pada akhirnya hatinya pun luluh. Ia menyetujui ideku, bahwa hanya dia saja yang pindah, sementara aku tetap di sini. Ia pun langsung meminta para kuli angkut untuk menurunkan kembali barang-barang yang sudah diangkut. Mas Hendra harus membayar sekian rupiah sebagai konsekuensi karena membatalkan pengangkutan barang. Namun, ia membayarnya dengan ikhlas demi istri tercintanya in.
****

Setahun sudah aku tinggal berjauhan dengan Mas Hendra. Pada awal-awal kepindahannya, suamiku itu pulang seminggu sekali. Namun demi menghemat pengeluaran, ia pulang dua minggu sekali, dan kami sudah menyepakati hal ini. Cakra semakin sering datang ke rumah sejak Mas Hendra pindah. Bahkan hampir setiap hari ia tidur di rumahku, tentunya saat Mas Hendra sedang tidak ada. Kami benar-benar seperti sepasang suami istri. Kami tidur berdua dalam satu kamar. Bercinta dengan panas dari malam sampai pagi. Ketika aku bangun, aku mendapati Cakra sedang tertidur pulas di sampingku sambil memelukku. Kami sama-sama telanjang. Setelah bersih-bersih, aku membuatkannya sarapan, dan kemudian kami sarapan bersama-sama. Ia ibarat suami keduaku. Aku tidak menyangka bahwa ternyata hubunganku dengan Cakra bakalan seperti ini. Padahal, dulu aku teramat membencinya. Tapi kini dialah orang yang selalu memberiku kehangatan. Memuaskan hasrat seksualku yang tinggi ini. Aku pun kini menjadi perempuan yang binal. Aku selalu memakai pakaian yang seksi. Tidak hanya di rumah, tapi juga di luar rumah. Saat pergi ke pasar, sering kali aku hanya mengenakan daster pendek satu tali. Pakaian itu memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhku dengan jelas, seperti belahan dada, ketiak, dan kedua pahaku. Bahkan sesekali aku nekat tidak mengenakan pakaian dalam. Tidak ada satu pun tetangga yang memprotes atau menggangguku. Mungkin karena mereka takut dengan Cakra.

****
Saat menyetubuhiku, Cakra selalu menumpahkan spermanya ke dalam rahimku. Aku selalu memintanya untuk mengeluarkannya di luar, tapi ia tidak pernah mau. Hal yang aku takutkan pada akhirnya terjadi. Aku hamil, dan usia kandunganku sudah satu bulan. Beruntung satu bulan sebelumnya aku juga bercinta dengan Mas Hendra. Jadi begitu mengetahui aku hamil, Mas Hendra senang bukan kepalang.
“Benarkah??? Aaaaah!! Akhirnya aku akan menjadi seorang, Ayah!” jerit Mas Hendra ketika aku mengabarkan kehamilanku lewat telepon. “Sayang, kamu nggak boleh beraktivitas terlalu banyak. Setelah ini aku akan menambah uang kiriman untuk beli susu kehamilan. Kamu harus banyak-banyak minum susu supaya pertumbuhan janin anak kita berlangsung dengan baik.”
Kasihan Mas Hendra. Ia percaya bahwa anak dalam kandunganku ini adalah anaknya. Padahal, saat kami bercinta malam itu, spermanya tidak sampai masuk ke liang kenikamatanku, sebab penisnya tidak bisa berdiri. Malamnya, aku menanti kedatangan Cakra. Sudah seminggu lebih ini ia belum pulang. Nomor hpnya juga tidak aktif. Aku merasa kangen. Aku gelisah menanti kepulangannya. Meskipun sedang hamil, namun gairahku tetap tinggi. Setiap malam aku memakai lingerie yang sangat seksi. Jadi kalau Cakra pulang, kami bisa langsung bercinta. Setiap hari pula aku mencukur bulu ketiakku, menjaganya selalu bersih dan mulus. Khusus untuk Cakra, sebab ia sangat menyukai bagian tubuhku yang satu itu.
“Mas Cakra, kamu ke mana?” aku bertanya dengan masgyul.
Pada malam kesepuluh, Cakra masih belum pulang juga. Keesokan harinya, sebuah ambulans datang ke depan rumah Cakra. Astaga, ternyata ambulans itu membawa jenazah Cakra! Dari para tetangga, aku mendengar kabar bahwa Cakra terjatuh dari truk saat hendak merampok hingga tewas seketika.
“Astaga... Mas Cakra....”
Aku tidak ikut melayat atau menguburkan jenazah Cakra. Aku hanya menangis di rumah. Menangisi kepergian Cakra. Ayah dari anak yang ada dalam rahimku ini.

****
Kepergian Cakra benar-benar membuatku terguncang. Aku pun sadar bahwa selama ini aku telah berbuat sesuatu yang sangat tidak patut. Selanjutnya aku memutuskan untuk bertobat. Aku berjanji untuk lebih mengendalikan nafsuku. Aku berjanji tidak akan membiarkan seorang pria pun yang menikmati tubuhku lagi selain suamiku. Jika suatu hari nanti aku tidak bisa menahan hasratku, maka aku lebih memilih untuk bermasturbasi. Beberapa hari setelah kepergian Cakra, aku menelepon Mas Hendra.
“Mas, sekarang kan aku lagi hamil. Bagaimana kalau aku pindah saja ke sana?” tanyaku. “Jadi nanti kita bisa sama-sama menjaga calon anak kita.
Mas Hendra senang bukan kepalang mendengar ideku itu. Langsung  saja ia mengurus kepindahanku. Dan dalam waktu beberapa hari saja, aku sudah resmi pindah. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana yang baru saja dibeli Mas Hendra dengan cara mencicil. Kini aku pun memulai hidup baru. Di tempat yang baru, dan dengan semangat yang baru. Namun aku harus menjalaninya dengan menyimpan sebuah rahasia besar. Rahasia yang sama sekali tidak boleh diketahui oleh suamiku, Mas Hendra.

TAMAT

NB: Teman-teman, terima kasih sudah mau membaca ceritaku ini. Mohon maaf bila kurang memuaskan. Dengan berakhirnya cerita ini, maka saya menyatakan mengundurkan diri dari dunia penulisan cerita dewasa. Jadi setelah ini tidak ada cerita lagi dari saya. Oh iya, sebelum berpisah, perkenankan saya untuk memberikan pesan: hormatilah dan lindungilah perempuan di mana pun Anda berada. Terima kasih

Salam hangat,
Gaby

Tidak ada komentar:

Posting Komentar