Selasa, 27 Mei 2014

Demi Tugas 3


Savitri
Ketika siuman dari bius, Savitri sudah terbaring telanjang di lantai dingin sebuah ruangan yang tak ia kenali sebelumnya. Yang pertama-tama membuat dia panik adalah ketelanjangannya; karena selama ini dia selalu berpakaian menutup seluruh tubuh. Dia berusaha lolos tapi tak bisa; bahkan melihat saja tak bisa karena matanya ditutup.

“Ah, sudah bangun, Tuan Putri?”

Savitri menoleh ke arah datangnya suara. Dia merasakan ada yang membangunkannya ke posisi duduk, lalu membuka penutup matanya. Matanya membelalak memandang seorang wanita dewasa yang mengenakan kimono mewah sedang duduk di kursi mewah bagai takhta.

“Siapa kamu?” tanya Savitri dengan suara parau karena pengaruh obat bius yang masih membekas di tenggorokannya

“Bukankah kamu selama ini cari info tentang aku? Perkenalkan, aku Ryoko… germo yang kamu selidiki.”

Savitri menegang, ia berhadapan langsung Ryoko. Ia berusaha lari, dan kemudian tersadar pergelangan kakinya terikat menyatu dengan menggunakan tambang rami, demikian juga dengan pergelangan tangannya.

“Kamu usil…” kata Ryoko sambil bangkit dan menghampiri Savitri yang berusaha beringsut menjauhi sang wanita yang wajahnya kemudian berubah garang di balik riasan geishanya. Ryoko menjambak rambut sang gadis yang mengernyit kesakitan.

“Aku paling nggak suka orang yang terlalu ingin tahu” katanya lagi sambil melirik ke arah lelaki kekar yang menjadi tangan kanannya.

Savitri menjerit-jerit minta tolong sekeras yang ia bisa. Ryoko tertawa keras, “Silakan teriak. Nggak ada yang bakal dengar suaramu.”

Si bodyguard kekar yang bertelanjang dada itu dengan mudahnya membopong tubuh Savitri dan membantingnya ke atas meja, membuat sang gadis menegang kesakitan. Si bodyguard langsung menautkan tambang yang mengikat pergelangan tangan Savitri, dan mengeratkannya dengan tambang lain ke ujung meja yang sudah dimodifikasi untuk menjadi tempat kaitan tali itu. Meja itu sendiri cukup kecil sehingga pinggul Savitri tepat berada di ujung meja.  Ia menandang-nendang meronta sebisanya ketika sang lelaki melapaskan belenggu kakinya, menyebabkan lelaki itu kesulitan. Si bodyguard lalu melepas sabuk kulit di celananya. CTAAAAARRRRR! Mata Savitri membelalak, mulutnya membuka namun tak ada teriakan yang keluar ketika dengan kejam bodyguard itu mencambuk payudaranya. CTAAAARRRR!!! Kini teriakan menggema ketika sabuk itu menghantam perutnya, pahanya, wajahnya. Dan tubuh sang gadis melonjak-lonjak liar ketika belahan vaginanya merasakan cambukan brutal itu berulang-ulang. Ketika Savitri hanya bisa merintih menahan sakit, bodyguard itu kemudian berlutut di hadapan kedua kaki sang gadis lalu dengan perlahan mengikat masing-masing pergelangan kaki ke kaki meja hingga kini tubuh Savitri membentuk huruf Y mendatar di meja unik itu, meja yang memiliki plat kayu bergerigi melintang di tengahnya.

 

Ryoko mendekati Savitri yang menggeliat berusaha melepaskan diri dari meja itu, pinggangnya sudah mulai sakit oleh tekanan gerigi kayu itu.

“Kamu ingin tahu siapa aku? Aku Ryoko… dan aku adalah… Neraka!”

Ryoko lalu memerintahkan bodyguardnya untuk memutar roda kayu yang berada di kepala meja itu. Savitri mendengar derak kayu berputar, ia terus meronta, dan rontaannya makin kencang ketika ia merasa kalau tambang rami yang membelenggu tangannya itu makin tertarik dan mengencang.

Savitri menjerit kesakitan ketika tubuhnya dipaksa meregang di atas “The Rack” yang kini menyakitinya dengan sangat itu. Tulang rusuknya tercetak jelas di kulitnya yang meregang, bahkan sentuhan ringan tangan Ryoko di kulitnya menyebabkan sang gadis mendesis kesakitan.

“Aku adalah neraka, aku adalah dewi kematian, aku adalah sang penghukum!” kata Ryoko lagi sambil mengambil lilin besar yang menyala dan menetesi tubuh Savitri dengan lilin cair panas itu di spot-spot yang diketahuinya akan sangan menyakitkan sang gadis, seperti di puting dan di belahan vaginanya yang berambut  halus.

Dengan paha teregang Savitri tak bisa berbuat apa-apa ketika Ryoko mengambil semangkuk balsem, lalu memoleskan balsem itu ke vagina hingga ke belahan pantat sekalnya, membuatnya menjerit-jerit kesakitan. Ryoko lalu mengambil lakban dan melekatkan lakban  di selangkangan Savitri. Tangan dan kaki Savitri makin terluka ketika tangannya mengepal mendadak, ia mengejan menahan sakit. Ryoko menyentak lakban itu dengan kasar, meninggalkan kulit kemerahan di selangkanan sang gadis yang kini bersih dari rambut. Roko memberi tanda pada sang bodyguard yang lalu membuka papan kayu di bawah the rack hingga kini Savitri tergantung mengambang dengan hanya tertahan bar kayu dengan gerigi yang telah menggores pinggang dan pinggulnya itu. Si bodyguard itu lalu menyelusupkan tubuhnya dan memposisikan dirinya hingga berada di bukaan selangkangan sang gadis. Savitri melolong mohon belas kasihan…

“Tidak… Jangan… aku masih peraWAAAAAAAAAAARGGGHHHH!”

Hentakan penis sang bodyguard membuat Savitri menjerit kesakitan dan frustasi, keperawanannya direnggut semena-mena oleh orang yang tak dikenalnya, serta dalam kondisi tersiksa seperti ini, namun apa dayanya, darah keperawanan telah mengalir…. Darah juga mengalir dari kulit pergelangan tangan dan kaki yang terluka akibat gesekan tambang rami itu.Dan Savitri kembali panik ketika ia merasakan hangatnya sperma yang ditembakkan secara seenaknya oleh pemerkosanya di dalam rahimnya….

“Aku tidak mau hamiiiiiilllll!” teriaknya.

Ryoko terkekeh dan berkata, “Telat… Benihnya sudah berenang ke dalam, siap membuahi telurmu…  hahaha…  harga yang pantas untuk reportasemu, kan?”

Rasa frustasi beralih menjadi murka, “Anjing kamu Ryoko… aku bunuh kamu…. Aku akan AAAAAAAAAAARGGGGH!”

Kini anusnyalah yang mengeluarkan darah keperawanan ketika Ryoko menyodokkan sebuah dildo ke dalamnya tanpa pemberitahuan.

“Aku yang akan membunuhmu gadis kecil,” balas Ryoko dingin.

Ryoko lalu memberi tanda kepada sang bodyguard yang mengendurkan the rack, lalu membebaskan Savitri yang sudah lemas itu. Savitri hanya bisa merintih kesakitan ketika kedua tangannya diikat dengan erat di belakang tubuhnya. Kedua sikunya diikat erat hingga hampir menyatu. Bodyguard itu lalu mengikatkan pergelangan tangan tangan Savitri dengan pergelangan kakinya, ia lalu membentuk simpul sehingga tali di siku Savitri berhubungan dengan tali di mata kakinya.

 
Ryoko


Savitri yang lelah bisa mendengar rantai diturunkan dari langit-langit. Yang tak ia sadari adalah ketika sebuah kait besar dikaitkan ke simpul itu dan…Savitri kembali menjerit-jerit kesakitan ketika tubuhnya melayang di udara denga posisi menyakitkan itu, ia kini memohon-mohon belas kasihan Ryoko. Ryoko justru memerintahkan sang bodyguard untuk membawa sebuah heater dan menyalakannya tepat di bawah tubuh Savitri. Selain itu sepasang vibrating dildo dicolokkan ke vagina dan anus Savitri yang beberapa saat lalu masih perawan itu. Erangan, rintihan dan geliat tubuh Savitri yang kesakitan dan kepanasan itu malah seakan menambah nafsu Ryoko yang bagai tanpa perasaan menikmati hidangan mewah di meja dekat Savitri tergantung. Dan ketika Ryoko selesai menikmati hidangannya, Savitri sudah hampir pingsan dengan keringat yang membanjir dan bagian depan tubuh yang memerah bagai udang rebus.

Ryoko berbisik di telinga sang gadis yang kepalanya terkulai lemah itu, “Jangan pingsan dulu karena aku belum lagi mulai menyiksamu…”

Ia lalu memerintahkan sang bodyguard untuk memanggul tubuh sang gadis yang sudah sangat lemah ke halaman belakang villa besar yang menjadi sarang penyiksaannya itu. Halaman belakang itu sangat luas, namun itu semua tak ada harganya di hadapan Savitri yang begitu kelelahan menerima siksaan beruntun di tubuhnya, ditambah kenyataan kalau keperawannnya baru saja direnggut paksa.

Savitri hanya pasrah ketika ia dipaksa berbaring telungkup di rumput basah halaman belakang villa itu. ia begitu lelah untuk sekedar melawan ketika diposisikan hingga wajahnya menyamping bertemu tanah basah, sementara pantanya dibuat menungging tinggi. Dua batang leg spreader diikatkan ke pergelangan kakinya serta di balik lututnya memaksanya mengangkang, lalu kedua spreader itu dieratkan ke pasak yang tertancap di tanah. Kedua tangannya diposisikan disamping tubuhnya yang menungging tak wajar itu lalu juga diborgol ke leg spreader di mata kakinya. Lalu untuk menambah kuncian di tubuhnya, lehernya diberi penahan hingga kepala sang gadis tak bisa ditolehkan ke sisi yang lainnya. Dan sebuah ring gag besar dipasang oleh Ryoko sebagai aksesori terakhir.

“Nikmati istirahatmu, Savitri…” kata Ryoko sambil mengajak sang bodyguard meninggalkan Savitri terbelenggu kedinginan oleh angin pegunungan, dan sengatan matahari yang menyakiti punggung dan pantatnya yang menjulang tinggi.

Mulut sang gadis mulai kering karena liur yang selalu keluar dari mulutnya yang membuka lebar itu. Ia menangis… Embikan domba mengagetkan Savitri….Ia bisa melihat kaki-kaki domba yang berkeliaran merumput di sekelilingnya, namun yang tak disangkanya, ia mendengar suara orang….

“Euleuh euleuh…. Geuningan aya bondon anyar nyi Ryoko….”

Savitri mencoba menjerit, namun ring gag itu jelas mengenyahkan maksudnya, dan teriakannya tak membuahkan apa-apa… Ia frustasi, ia bisa merasakan tangan kasar sang gembala meremasi pantanya, dan….airmata sang gadis kembali membasahi rumput ketika penis sang gembala dengan bebasnya mengakses vagina dan anusnya sesuka hati dan kemudia mengisi rahimnya dengan benih kotor. Sesudahnya, dingin yang menusuk tulang menjadi teman bagi tubuh ternoda sang gadis…. Bunyi jangkrik memenuhi malam ketika telinga Savitri mendengar langkah beberapa orang mendekati dirinya….Ia menggumam… memohon Ryoko untuk melepaskan dirinya…Namun….

“Anjrit… Mang Odet teu ngabohong euy…. Alus pisan awakna iyeu bondon, yeuh.” kata orang itu, dan Savitri bisa merasakan beberapa pasang tangan meremasi payudaranya, mengelusi tubuhnya… kenyataan banyaknya sperma kering tak membuat nafsu mereka berkurang, malah makin menjadi.

“Nyi Ryoko memang hebat, bisa ngadapetkeun bondon elit jiga kieu…” kata seorang dari mereka.

“He’euh… bari Nyi Roko ngijinankeun urang-urang ngijut bondon anyarna, garatis deui….”

Jiwa Savitri langsung terbang ke kehampaan ketika ia mendengar bunyi celana yang diturunkan…. Dan kemudian ia kembali disetubuhi, tanpa bisa menghindar.

“Jang… maneh di mana?” ujar orang yang sedang memerkosa savitri sambil menelepon.

“Buru ka dieu…. Ajak nu lainna, nya… he’euh… pokonamah kualitas nomor hiji nu ieumah… henceutna ngagriplah pokonamah….Buruan nya… aing meju heula yeuh….uuuggghhhh!”

Berapa banyak yang harus ia layani?

 

Sementara dari balik tirai villa, Ryoko nampak senang melihat pemuda-pemuda pengangguran, pengemis, pengamen, dan gelandangan bergantian menikmati tubuh terbelenggu Savitri. Ia lalu memandang ke arah sang bodyguard lalu tersenyum mengundang….Dan malam itu dua persetubuhan terjadi….Persetubuhan liar Ryoko dengan sang bodyguard, dan pemerkosaan massal yang dialami Savitri. Dan ketika Ryoko tertidur pulas bersama sang bodyguard, Savitri harus menahan dinginnya angin malam yang ditambah hujan lebat yang mendadak turun seakan ingin ikut menyiksa sang gadis. Mentari mulai meninggi ketika Savitri terbangun. Belenggunya telah dilepas, namun Savitri terlalu lemah untuk bergerak… namun dengan sisa tenaga yang ada ia bangkit untuk mendapati penis sang bodyguard yang berada tepat di hadapan wajahnya. Ketika ring gag-nya dilepas, mulut sang gadis tetap membuka karena masih terasa kaku. Ia disuruh berlutut, lalu penis itu mendesak masuk ke mulutnya hingga mentok. Sang bodyguard mencengkeram kepala Savitri dan mulai memaju mundurkan kepala Savitri. Dengan tidak sabar sang bodyguard menggerak-gerakkan pinggulnya dengan keras lalu menyemburkan sperma kentalnya ke dalam mulut sang gadis. Ironisnya, Savitri sedikit bersyukur karena bisa menghapus rasa dahaga yang melandanya.

Ia tak menolak chain strap yang dipasangkan di lehernya, dan mengikuti dengan gontai langkah sang bodyguard masuk ke dalam villa siksa.

 

*****

Savitri diberi makan dan minum secukupnya tapi kemudian kembali diperkosa. Tiga hari tiga malam dalam neraka bagi Savitri. Sesudah seluruh kekuatan fisik dan semangatnya terkuras dan jiwanya remuk, Ryoko muncul kembali di hadapannya.

 “Bunuh aja... aku....” pinta Savitri lemah, ketika berhadapan dengan Ryoko yang berdandan lebih kalem, sebagaimana seorang executive lady yang sedang menikmati liburan

“Bunuh? Non wartawati, aku bukan pembunuh. Tapi pengusaha baik-baik. Kerjaku bikin orang senang. Buat apa aku bunuh kamu?”

Savitri tak kuat untuk menantang lagi. Kemaluannya terasa sakit sesudah dipakai non stop.

“Kamu badannya bagus, lho...” kata Ryoko. “Sayang kalau diumpetin terus. Gimana kalau pindah kerja sama aku aja? Bayarannya lebih gede, kerjanya lebih enak.”

Savitri menggeleng.

“Tapi kamu nggak bisa nolak. Aku ada job yang pantas buat kamu... Savitri?” Ryoko mengangkat kartu identitas jurnalis yang diambilnya dari bawaan Savitri. “Aku punya nama yang lebih bagus buat kamu. Thalia. Suka nggak?”

Savitri tidak diberi kesempatan menjawab. Anak buah Ryoko kembali meringkusnya...

 

*****

Selama dalam penyekapan, Savitri sempat berusaha tawar-menawar dengan Ryoko. Salah satunya dengan menggunakan Irina. Savitri menuding Irina sebagai penyusup. Ryoko mengatakan, kalau informasi itu asli, Savitri boleh bebas asalkan tidak mengungkap berita tentangnya (tentu sambil mengancam bahwa dia akan diawasi). Sementara kalau bohong.... Maka Ryoko pun memanggil Irina ke villa, sambil pura-pura mengamuk dia mencoba mengkonfrontasi Irina. Tapi reaksi Irina yang menantang Ryoko untuk membunuhnya dengan pisau bedah membuat Ryoko lebih percaya Irina daripada si wartawati. Berminggu-minggu Savitri kembali menjalani neraka. Lebih parah daripada sebelumnya. Tubuhnya tak hanya dipakai. Tapi juga diubah. Dia telah menjadi objek rencana keji Ryoko... yang oleh Ryoko sendiri disebut “inovasi jasa” dalam bisnisnya.

Dan sekarang...

 

*****

Begitu tudung itu terbuka, Irina langsung menarik tali pengikat yang terhubung ke kalung ketat di leher Savitri. Bukan, bukan lagi Savitri.

“Pak Prabu, ini Thalia,” Ryoko memperkenalkan.

Sulit mengenali Savitri yang dulu, yang sebagian besar tubuhnya tak kelihatan untuk umum. Yang ada di hadapan Prabu adalah seorang perempuan yang telah dimodifikasi, bernama baru Thalia. Payudaranya telah diperbesar sehingga kelihatan seperti sepasang bola yang bergelantung padat di dadanya, dengan pentil mencuat seperti peluru. Rambutnya merah, semerah bibirnya yang penuh dan basah. Dan bibirnya terpaksa membuka memuat ball gag dalam mulutnya. Masing-masing telinganya ditindik dua lubang dan digelantungi anting lingkaran emas besar. Kuku-kuku jarinya juga diwarna merah, namun itu belum terlihat oleh Prabu karena kedua tangannya diikat di belakang punggung. Dia mengenakan sepatu hak tinggi dan tubuhnya hanya tertutup sabuk-sabuk kulit. Di depan pusarnya ada satu cincin besi terhubung ke empat sabuk. Satu sabuk menghubungkan cincin itu ke kalung ketat dan lewat di antara sepasang payudaranya yang diperbesar, dua melingkari pinggang, satu lagi ke bawah menyelusup di kemaluannya yang tak tertutup lalu naik lagi ke cincin lain di punggung. Cincin di punggung tidak terlihat karena tertutup rambut merah yang panjang sampai ke sana. Sabuk yang melewati kemaluannya juga menahan dua benda tepat dalam posisinya: dua vibrator, satu dalam vagina, satu dalam anus.

“Suka nggak?” tanya Ryoko.

Prabu tersenyum lebar lalu mendekati Thalia. Ketika telah dekat dia mempelajari seluruh perubahan yang dibuat Ryoko pada tubuh Thalia. Prabu meraba payudara baru Thalia, tidak muat di satu tangan saja. Rambut merah menyala di samping telinganya disibak; terlihat earphone masuk ke telinga Thalia. Ketika dicabut, dan Prabu coba mendengarkan, yang terdengar adalah suara perempuan mendesah ketika disetubuhi, juga meminta-minta disetubuhi dengan kata-kata mesum, sambil mengaku sebagai pelacur, lonte, cewek murahan, dan semacamnya.

“Itu suara dia sendiri, yang direkam terus kusuruh dia dengar lagi terus-terusan,” Ryoko menjelaskan.

“Conditioning ya... Atau hipnotis diri sendiri?” Prabu meneruskan pemeriksaannya. Lalu ke bawah. Vagina Thalia banjir karena dirangsang terus.

“Moga-moga tidak ada yang netes ke lantai, sayang karpetnya mahal, haha,” Ryoko bercanda. “Lagian biar dia basah terus, supaya siap pakai.”

“Menarik...”

Ke atas lagi, Prabu melihat bahwa kalung ketat yang dipakai Thalia punya liontin berupa tulisan “BITCH”.  Mata Prabu memancarkan kepuasan ketika melihat tato di atas vagina Thalia mengikuti alur perut bawahnya yang datar itu, tulisan “FUCK ME HARD” sementara di atas belahan pantat sekal Thalia ada tato “LONTE”. Wajah Thalia juga dirias tebal. Kelopak matanya diwarnai kombinasi biru-ungu, alisnya dibentuk dengan sulam alis. Prabu sedang memperhatikan bibir merah Thalia ketika Ryoko menceletuk, “Itu dibikin permanen juga lho.”

“Permanen?”

“Iya. Eyeliner-nya juga. Kalau lainnya sih nggak, tergantung yang ngedandanin aja.”

Prabu sekali lagi memperhatikan gadis yang sudah diubah total itu. Lalu Ryoko menyodorkan dua foto: satu foto penampilan lama Savitri, satu lagi foto telanjang Savitri sebelum diubah.

“Seperti ini ya hasil ‘Sex Doll Project’ yang kamu tawarkan... Sangat menarik!” Prabu antusias.

“Kan udah kubilang, I put your money into good use,” ujar Ryoko bangga. “Pasti lebih asyik daripada patung cewek telanjang kan....”

“Pasti,” kata Prabu singkat. “Tapi satu lagi: Performance. Kalau bukan cuma tampang... pasti hebat banget.”

Ryoko menoleh ke Irina.

“Your turn,” kata Ryoko sambil melangkah meninggalkan Prabu untuk menikmati sex doll barunya itu

 

Dan Prabu benar-benar tidak kecewa. Di dalam kamar mewahnya itu ia menikmati bagaimana Irina mengintimidasi Thalia, menampari pantat sekal sang gadis, memecuti sang gadis dengan menggunakan riding crop, lalu memerintah sang gadis untuk merangkak ke arah sang tuan, lalu menurunkan resleting celana Prabu hanya dengan menggunakan gigi.  Irina lalu menjambak rambut Thalia, membuka paksa mulut sang gadis dan menekan kepala sang gadis hingga seluruh batang penis sang tuan bersarang di hangatnya mulut dan kerongkongan Thalia. Sang tuan begitu menikmati suara seruput dan kecipak mulut Thalia yang memulas penisnya, menikmati sensasi lidah yang membasahi penisnya dengan liur yang berleleran hingga ke buah zakarnya, bahkan sampai ke lubang anusnya. Prabu tak tahan lagi, ia merenggut tubuh montok Thalia ke atas kasur dan segera menindih tubuh sekal sang gadis dengan payudara baru yang kini habis diremasinya, dicupanginya digigitinya. Dan gairahnya makin menggila ketika di belakang pantatnya yang bergerak ritmis menumbuki selangkangan Thalia, Irina membuka celah pantat sang tuan dan memberi anal rimming terhebat yang pernah dirasakan Prabu. Akhirnya lelaki itu mengecup kening kedua gadis yang berada dalam pelukannya. Ia lalu bangkit dari ranjang empuk tempat pertempuran birahi mereka.

“Beristirahatlah kelinci-kelinci kecilku. Kita akan bermain lagi nanti,” katanya sambil berganti pakaian.

Pintu kamar itu menutup…Savitri menerjang Nisa hingga Nisa terjengkang dari tempat tidur. Gadis itu menyerbu Nisa dengan membabi buta, namun Nisa dengan tenang melayani serangan membabi buta Savitri yang penuh emosi itu hingga akhirnya Savitri kelelahan. Tamparan keras dari Nisa mambuat Savitri terhuyung dan terhempas ke atas kasur. Savitri meraung frustasi sebelum akhirnya menangis sejadinya. Ia merapatkan pahanya ke dada, mendekap lututnya, merundukkan kepala, dan terisak. Cukup lama Nisa membiarkan Savitri menangis sebelum akhirnya ia beringsut, mendekati Savitri dan merangkulnya. Savitri merapatkan wajahnya ke dada Nisa dan kembali menangis di sana.

“Aku benci kamu… aku benci kamu…” tangis Savitri dalam pelukan Nisa.

Nisa membiarkan tangan sang gadis memukuli punggung dan dadanya, ia biarkan Savitri meluapkan amarahnya.

“Kenapa kamu nggak tolong aku? Kenapa kamu biarin mereka nyiksa aku, bikin aku seperti ini?” isaknya lagi.

“Aku nggak bisa balik lagi ke kehidupanku…  aku sekarang jadi apa…?”

Namun Nisa belum bisa berbuat banyak, karena waktunya belum tiba. Ia harus kembali ke Ryoko… meninggalkan Thalia di tangan Prabu.

 

****

Beberapa malam berikutnya…

 
Juanisa


Malam itu Nisa kembali merasakan kedamaian, ia kembali berada dalam pelukan ‘bapaknya’, Bambang Harjadi. Ini sudah kelima kalinya ia di-booking Kombes Bambang. Lama-lama Nisa merasa bangga dapat mempersembahkan tubuhnya bagi idolanya, dapat memberikan kepuasan ragawi bagi sosok yang sangat dikaguminya itu, dan ia merasa sangat hangat dalam peukan lelaki itu.

Dan Nisa merasa sangat dihargai ketika sang perwira mulai mengajaknya berbicara.

“Bagaimana kabarmu, nDuk?” tanyanya sambil mengusap kepala Nisa, bagai mengusap anak kecil yang sangat menggemaskan.

“Saya selalu siap menjalankan amanah dari bapak,” jawabnya sambil mengelus dada sang perwira.

“Bagaimana kabar tentang wartawati yang hilang itu?” tanya sang perwira. Nisa terkejut dan kagum atas ketepatan informasi yang dimiliki sang perwira dan bagaimana Kombes Bambang mampu mendeduksi bahwa ada kaitan antara kasus itu dengan Ryoko.

“Saya tidak bisa selamatkan dia…” kata Nisa lirih, “Tubuhnya sudah diubah, dia tidak bisa apa-apa lagi kecuali menjadi pemuas laki-laki.”

“Kamu sendiri?” tanya sang perwira, yang kembali membuat Nisa sedih karena ia khawatir apakah masih bisa menjadi Ipda Nisa yang dulu.

“Saya…. Saya siap jalani penugasan ini sampai selesai…” jawab Nisa yang membuat sang perwira memberi kecupan kepuasan di dahi sang gadis yang makin mengeratkan pelukan di tubuhnya.

“Maaf Pak… Bagaimana dengan komandan Rasidi? Kalau info saya tidak salah… dia membocorkan penyusupan saya di jaringan Ryoko ke Savitri. Dia mungkin mau mencelakakan saya, Pak.”

Sang perwira terdiam… skenario demi skenario berseliweran dalam benaknya… dan akhirnya ia berkata.

“Biar aku sowan ke tempat tugas Rasidi…. Aku akan siapkan sesuatu untuk bereskan dia. Tapi setelah itu, kamu harus siap hadapi Rasidi. Ia kejam…. Berhati-hatilah, nDuk. Dan kalau perhitunganku benar, Ryoko akan bergerak untuk membantumu… dan caranya membantu akan dapat memberi jalan untuk menghentikan sang ratu germo…”

Adrenalin Nisa timbul demi mendengar rencana yang disampaikan sang perwira. Rasa girang dan terlindungi membuatnya bahagia, maka sambil bangkit dan menurunkan selimut yang menutupi tubuh telanjang mereka, Nisa berkata dalam desahan kepada sang perwira…

“Saya siap jalankan perintah Bapak… dan saya akan layani Bapak sebaik-baiknya.”

Dan sang perwira mendesis nikmat ketika Nisa memberinya deepthroat dan memberi liukan pinggul terhebat dalam posisi cow girl yang liar….

 

****

“Goblok kamu Nisa! Kenapa telat laporin transaksi Ryoko? Kita jadi kehilangan peluang tangkap dia!” sembur Rasidi, yang beberapa jam lau habis dimaki-maki Bambang Harjadi yang melakukan inspeksi mendadak ke kantornya didampingi beberapa ajudan.

Kini Rasidi balik memaki-maki Nisa di kantor yang telah sepi karena hari yang telah malam. Hanya tiga anggota jaga yang notabene pengikut setia sang komandan yang tetap ada di sana.

“Kamu sekarang udah lebih suka jadi WTS-nya Ryoko ya!?”

Sambil berdiri dengan sikap sempurna Nisa menahan semua kegeramannya. Secara struktural dan kode etik, ia tau kalau ia tak bisa membantah sang komandan. Terlebih ia sudah bersumpah pada panutannya untuk bertahan walau apapun yang terjadi….

“Siap, tidak Komandan!” hanya itu yang bisa dia katakan.

Rasidi menekan intercom dan memerintahkan tiga petugas piket untuk masuk ke dalam kantornya. Ia segera memberi perintah.

“Telanjangin perek  ini, dia nggak pantas memakai seragam polisi!”

“Siap Komandan!” kata ketiga orang yang tanpa hati mau saja melaksanakan perintah yang tidak layak itu. Nisa mencoba meronta, namun tenaganya jelas kalah melawan tiga serigala kelaparan yang menangkap mangsa. Seragam yang dikenakan Nisa dengan rasa bangga kini tergeletak di lantai, dan tak lama kemudian pakaian dalamnya direnggut paksa.

Tubuh sang gadis dipaksa menelungkup di meja dinas sang komandan dengan tangan ditelikung ke belakang tubuhnya. Nisa terus berusaha meronta. Ia melihat Rasidi melangkah ke belakang tubuhnya. Dan…Swoooossssshhh……CTAAAARRRR!!!!

Nisa menjerit dari dasar paru-parunya. Sabetan rotan yang biasa digunakan Rasidi untuk menyiksa tahanan menyentuh bagian belakang kedua pahanya dan meninggalkan bilur keunguan di kulit mulus sang gadis. Lalu pecutan itu bergerak liar sekenanya, di betis, di pantatnya. Dan ketika tangannya dipaksa terentang ke samping, gilran punggungnya yang menerima belaian rotan itu.

Dan jeritan terdengar ketika sabetan rotan itu menghantam vaginanya.

“Enak, kan, lonte?” bentak Rasidi sambil menurunkan celananya. “Sekarang, kamu jadi lonte buat kita aja!” katanya dengan penuh ejekan sambil menghujamkan penisnya ke dalam anus Nisa. Nisa kembali menjerit-jerit kesakitan dan mendesis-desis menahan perih karena ketiga serigala lainnya menjilati bekas luka di tubuhnya, juga meremasinya dengan kasar, sekasar sentakan penis Rasidi di anusnya. Polisi bejad itu lalu mencabut penisnya dari anus Nisa yang kini menganga, lalu ia memerintahkan anakbuahnya untuk menelentangkan tubuh Nisa di atas meja kerjanya lalu mengatur posisi sang gadis hingga kepalanya terjuntai di ujung meja. Nisa melejang-lejang….

Dengan buas Rasidi memperkosa mulut Nisa menggunakan penis yang baru saja bersarang di anusnya. Ia tersedak oleh penis yang dilesakkan dengan kasar ke dalam tenggorokannya, hingga ia megap-megap bahkan muntah dan mengotori wajahnya. Sementara di selangkangannya yang terjuntai… para serigala berseragam polisi mulai menghujamkan penis mereka di vagina dan anus sang gadis. Mereka begitu girang karena bisa menikmati polwan tercantik di kesatuan mereka yang selalu menjadi objek masturbasi mereka. Nisa begitu lemah, tubuhnya bagai kain usang yang dilempar ke sana-ke mari seenaknya, dipergunakan untuk memuaskan birahi mereka. Akhirnya keempat orang itu menghela nafas lega. Nafsu mereka sudah terlampiaskan. Mereka memandang tubuh Nisa yang tergeletak di lantai, luluh lantak, penuh luka, cupangan, bekas remasan dan tamparan, serta belepotan sperma. Mereka puas bisa merendahkan gadis itu, membuatnya tak berharga. Rasidi lalu berkata pada anak buahnya,

“Lempar pelacur ini ke dalam sel, biar malam ini dia ladeni bajingan-bajingan di dalam sana.”

Nisa begitu lemah, ia tak sanggup lagi meronta ketika diseret ke dalam sel besar yang berisi sekitar sepuluh tahanan yang segera bersemangat karena mendapatkan penghangat tubuh di malam itu.

Malam itu neraka menghampiri Nisa.

 

****

Ryoko yang cemas karena sudah tiga hari tak mendengar kabar Irina segera mendatangi kamar kos sang gadis.

“Astaga! Irina…. Apa yang terjadi?” Ryoko panik melihat luka di sekujur tubuh sang gadis, juga bekas gigitan dan cupangan yang belum lagi sembuh.

“Aku diciduk dan diinterogasi polisi… Mungkin gara-gara fitnah Savitri…”

“Dia lagi…” umpat Ryoko.

“Dia sudah membayarnya, kak…” bela Irina, “polisi saja yang sudah terlanjur curiga”

“Apa kamu….”

“Cuma liurku, muntahanku, dan peju mereka yang nggak kutampung yang keluar dari mulutku.”

Ryoko tertegun dengan keketusan Irina, namun ia sadar, ia memang takut Irina tak kuat siksaan dan akhirnya ‘bernyanyi’ pada polisi.

“Maafkan aku Irina…. Mari, kita pulihkan tubuhmu dengan perawatan terbaik. Dan jangan takut… aku akan mengatur orang-orangku untuk memberi pelajaran kepada bajingan itu.

Benar-benar seperti dugaan bapak…’ batin Nisa yang semakin kagum dengan panutannya itu, yang memiliki pemandangan jauh ke depan.

Dan dengan langkah perlahan, ia mengikuti Ryoko….

 

***

Wajah Rasidi pucat pasi bagai kapas, ketika rekaman video penyiksaannya pada Nisa terpampang jelas di ruang kerja Bambang Harjadi…..Dan perintah mutasi dan demosi menjadi hukuman baginya. Dia dipindah ke sektor terpencil di perbatasan timur negara… .Kelak Nisa akan melihat lagi nama Rasidi di koran, sebagai korban tewas ketika pos yang dipimpinnya diserang gerombolan separatis.  Dan yang tidak masuk koran namun diberikan kepadanya oleh Kombes Bambang Harjadi, foto-foto wujud terakhir Rasidi di dunia. Mayat termutilasi yang kehilangan berbagai anggota tubuh, termasuk yang pernah dipakainya menyiksa anus dan mulut Nisa. Sementara ketiga bawahannya “bernasib buruk". Ada yang dikeroyok massa yang diprovokasi orang suruhan Ryoko. Ada yang mati di atas perut seorang pelacur murahan yang dengan sengaja menaruh racun ke dalam minuman. Dan yang seorang lagi ditabrak truk besar…

 

***

“Aku masih ingat cara kamu melihatku waktu pertama kali kita ketemu, Irina,” kata Ryoko lembut. Mereka telah berada jauh dari kota. Ryoko membawa Nisa ke suatu spa di pinggir laut, milik salah seorang langganan lamanya.

“Apa yang kamu lihat waktu itu?” Nada bicara Nisa lemah pasrah. Tubuhnya yang lelah memang sudah tidak sesakit ketika dia baru saja lepas dari siksaan namun belum pulih. Dia telungkup telanjang di atas ranjang selagi seorang perempuan tukang pijat melemaskan otot-ototnya. Sesekali dia merasakan tangan Ryoko ikut mengelusnya.

“Diriku waktu dulu, Irina…” kata Ryoko. Selanjutnya Ryoko menyuruh si tukang pijat pergi.

“Eh, kok si Mbak disuruh pergi?” Nisa heran.

“Biar aku sendiri yang melayani kamu kali ini…” kata Ryoko. Kemudian Ryoko mulai memijat punggung Nisa.

“Aku masih bisa ilmunya…” kata Ryoko. “Dulu sekali aku mulai dengan memijat. Sebagian besar yang kupijat laki-laki. Aku belajar tentang tubuh manusia dari memijat. Termasuk bagian itunya laki-laki yang sebenarnya otak sejati mereka…”

“Ahhmmm,” Irina menggumam keenakan. Rasa aman dan tenang melanda dirinya, disampaikan oleh sentuhan Ryoko, selagi Ryoko meneruskan cerita masa lalunya. Ryoko yang awalnya bekerja sebagai terapis pijat plus-plus jadi kenal banyak laki-laki, dan sempat jadi simpanan seorang pejabat. Ketika kepergok istri pejabat itu, dia pun diusir dan kembali ke dunia malam. Relasi-relasi lamanya kadang mengontak dia lagi, baik untuk membooking dia maupun meminta dia mencarikan penghibur. Lama-lama Ryoko “naik kelas”. Dia pacaran dengan seorang aparat dan dibiayai kuliah, sehingga kehidupannya pun menanjak. Lulus kuliah, dia gagal dinikahi aparat itu karena tidak disetujui orangtuanya, lalu dia pun beralih ke pelukan seorang pengusaha. Tapi lagi-lagi kisah cintanya kandas karena pengusaha itu kurang percaya dengan Ryoko. Sementara itu dunia malam tak pernah lepas dari dirinya. Orang terus memanfaatkan jasanya. Akhirnya Ryoko pun menjadi germo dengan jaringan prostitusi kelas atas yang besar.

“Balik badan,” kata Ryoko. Nisa mengikuti perintahnya. “Aku ingin berikan sesuatu buat kamu…”

Nisa telentang di atas ranjang pijat. Ryoko duduk di sebelahnya. Spa itu adalah spa mahal dengan privasi terjaga dan pemandangan luar biasa; kamar tempat mereka berada berjendela besar, membuka ke arah laut. Tidak bakal ada yang mengintip karena kamar itu terletak di pinggir tebing yang langsung berbatasan dengan laut. Nisa melihat Ryoko berpenampilan “geisha” seperti biasa, dengan rambut digelung di atas kepala dan kimono hitam.

Ryoko mulai memijat payudara Nisa. Dimulai dengan menepuk-nepuk bagian samping, lalu memijat sampingnya dengan menekan ke atas sehingga sepasang bukit itu membusung lalu melepasnya, berkali-kali.

“Hihi,” Nisa kegelian. “Ini biar apa, biar gede?”

“Enggaklah. Biar enak aja. Kalau mau bikin gede apa mau dibikin seperti si Thalia?”

Keduanya cekikikan genit. Kalau hanya mendengar itu saja, orang akan mengira ada dua gadis remaja bercanda. Bukan seorang polwan dan germo.

Dan Ryoko melanjutkan dengan menyentuh kedua puting Nisa dengan ibu jari dan telunjuk. Dengan lembut dia memutar keduanya, searah jarum jam lalu berbalik.

“Enak?” tanyanya.

Nisa mengangguk sambil tersenyum. Lalu Ryoko menaruh kedua telapak tangan di atas masing-masing puting dan kembali melakukan gerakan memutar. Kemudian pelan-pelan dia menarik ke atas puting Nisa satu demi satu, mencubit halus dengan ibu jari dan jari tengah, membuat puting Nisa mencuat. Gerakannya sangat lembut dan perlahan. Nisa menggelinjang dan mendesah keenakan.

Ryoko lalu turun memijat bagian depan betis Nisa, naik ke atas ke paha, lalu pangkal paha.

 

Pijat sensual itu mencapai bagian paling sensitif. Ryoko membasahi tangannya dengan minyak aromaterapi lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya. Dengan lembut dia mengusapkan minyak ke sekujur bagian luar kewanitaan Nisa, bibir luar kiri dan kanan, terus ke bawah sampai anus. Ujung ibu jarinya mengelus bagian luar anus Nisa lalu berjalan ke atas, ke ujung bawah rekahan vagina. Rekahan itu dibuka lembut dengan kedua ibu jari, kedua bibir bawah luar Nisa dipijat-pijat, lalu Ryoko masuk lagi ke dalam. Terlihat bibir-bibir itu membengkak, tanda Nisa terangsang.

Jari-jari Ryoko lalu mengelus klitoris Nisa. Dua jarinya merangsang kacang kecil penuh syaraf sensitif itu. Ryoko merasakan Nisa terus menggelinjang, meracau tak keruan karena keenakan. Nisa memang terbawa oleh suasana kamar yang membuai, musik yang menghanyutkan, dan sentuhan Ryoko yang memabukkan. Sejenak dia melupakan bahwa yang sedang memberinya kenikmatan adalah orang yang akan dia seret ke pengadilan dan penjara kelak. Vaginanya sudah banjir, cairannya sendiri bercampur pelumas dari tangan Ryoko. Apalagi Ryoko juga berbisik-bisik di telinganya memuji kecantikannya.

“Irina… Ayo buka kakimu buat aku…” Nisa mengangkang dan Ryoko bersimpuh di depannya.

Ryoko lalu mencolokkan jari tengahnya ke dalam liang kewanitaan Nisa dan mulai mencolek-colek G-spot Nisa di dalam. Setelah beberapa colekan jari telunjuknya ikut masuk menggoda. Menekan, memutar-mutar. Ryoko memperhatikan reaksi Nisa terhadap semua perubahan gerakannya dan menyesuaikan. Sesudah menemukan tempat yang tepat, Ryoko merangsangnya tak henti-henti, membawa Nisa mendaki puncak gairah. Dinding dalam vaginanya mulai terasa menggembung.

“Ayo terus sayang, enak kan dirangsang gini? Enak ya Irina? You sound so sexy babe… Scream for me, ayo Irina, aku pengen kamu ngejerit keenakan sayang…” Ryoko juga terus merangsang otak Nisa dengan kata-kata. Nisa mulai merasakan ada sesuatu yang tak tertahan. Bukan, ini bukan orgasme biasa… Ada sesuatu yang lebih yang mau ikut keluar. “Ahh… AHN! RYO…KO!... DKIT… LAG…GIH! KLU… ARH!” racaunya.

“Rileks, Irina… Jangan ditahan…!” perintah Ryoko. Dia tahu bahwa apa yang hendak diberikannya, sebenarnya harus dihasilkan sendiri oleh Nisa.

“AHHHH!!! HHHNGGG!!!”

CRAATTT!!

Ryoko langsung menarik tangannya ketika air bening memancar dari dalam vagina Nisa. Nisa merasa seperti meledak; dia mendapat squirting orgasm untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia sampai merasa pandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya seperti meledak, dibuyarkan kenikmatan yang memancar ke mana-mana. Jeritannya panjang dan keras, membuat Ryoko tersenyum bangga. Ryoko langsung memeluk dan mencium pipi Nisa yang terengah-engah sesudah semburannya berhenti. “I hope you like my gift,” bisiknya. Nisa tak kuasa menjawab, karena masih dilanda euforia.

 

*****

Nisa terbangun beberapa jam kemudian, sesudah tidur pulas karena orgasme yang kuat. Ryoko sudah tidak bersamanya.

“Ke mana dia?” Nisa mencari pakaian di dalam kamar spa itu. Dilihatnya kimono handuk. Di dalam sana juga ada shower, sehingga Nisa memutuskan untuk mandi air panas dulu, lalu dia mengenakan kimono handuk itu dan keluar kamar.

Ketika berjalan di koridor, Nisa mendengar jeritan perempuan. Ryoko?

“Hyaahh!!”

BUGG!

Nisa langsung berlari menuju arah suara. Dia membuka satu pintu.

BUKK! DHESS!

Dan di dalam ruangan itu dilihatnya Ryoko sedang bertarung dengan seorang laki-laki.

Ruangan itu adalah ruangan gym, di tengahnya ada ring dan Ryoko di sana sedang sparring dengan seorang bodyguard-nya. Baru kali ini Nisa melihat Ryoko seperti itu. Ryoko ternyata cukup menguasai kickboxing. Namun si bodyguard sepertinya diminta untuk serius karena dia tidak cuma jadi sansak. Sesudah menangkis satu tendangan Ryoko dan menerima satu lagi tanpa bergeser, dia balas menerjang Ryoko sehingga Ryoko terpental mundur sampai tali ring. Seolah-olah mau menghancurkan musuh dia berusaha menginjak Ryoko yang terhuyung hampir jatuh. Ryoko dengan gesit berkelit memutar lalu menarik lengan si bodyguard sekaligus mengacau keseimbangan lawannya—jurus aikido—dan membuat tubuh besar si bodyguard terbanting ke kanvas.

Pada saat itulah Ryoko melihat Nisa.

“Oh, sudah bangun?” sapanya.

“Aku baru tau kamu bisa bela diri juga,” kata Nisa. Sebagai polwan yang punya kemampuan bela diri, Nisa jadi penasaran ingin menjajal kemampuan Ryoko. Tapi dia menahan diri. Itu bisa membuka penyamarannya.

“Ah, ini cuma hobi. Ya… mungkin ada gunanya juga. Cewek kayak kita harus selalu bisa jaga diri kan?” Ryoko lalu pasang kuda-kuda lagi melihat si bodyguard bangun. “And more than that…”

Tubuh anggun Ryoko melayang dalam tendangan terbang ke arah muka si bodyguard, yang langsung menghindar. Nisa tidak bisa tidak mengagumi gerak keduanya. Si bodyguard menubruk dan memiting Ryoko dari belakang. Ryoko tak bisa lepas dalam rangkulannya… atau tidak? Ryoko langsung menjatuhkan diri sambil menyeret tubuh si bodyguard ke bawah sehingga keduanya jatuh berdebam di kanvas.

“I find it…” Ryoko bangun lebih cepat, dia langsung melilitkan tubuhnya ke si bodyguard. Tak lama kemudian si bodyguard dalam posisi tak berdaya, lehernya terjepit sepasang paha Ryoko sementara lengan kanannya ditelikung…

“…sexy.”

Ryoko berdiri, menarik lengan si bodyguard yang masih ditelikung sambil menginjak kepalanya. Laki-laki bertubuh besar itu dipaksa menungging dengan kepala diinjak.

“Irina! Lemparin yang di atas bangku itu,” perintahnya. Nisa memungut benda yang dimaksud. Borgol… Dia lemparkan sepasang gelang baja berantai itu tepat ke Ryoko, yang dengan lihai menangkapnya tanpa melepas kuncian, dan langsung menggunakannya untuk membelenggu kedua pergelangan si bodyguard.

 
Amry


“Amry ini kalah taruhan denganku,” kata Ryoko yang kemudian duduk di atas tubuh si bodyguard yang bernama Amry itu. “Tadi pagi dia ngaku bisa ngalahin aku di ring. Yaudah, kita taruhan. Kalau dia benar bisa bikin aku KO atau nyerah di atas ring, dia boleh merkosa aku, hihihi… Kalau nggak terserah aku mau ngapain dia. Mau ikutan ngerjain dia gak?”

“Ayo,” Nisa tersenyum dan setuju. “Mau diapain?”

“Di situ ada pelumas. Bawain ke sini,” kata Ryoko sambil menunjuk ke satu tas di dekat ring.

Nisa mengambil botol pelumas. Sambil terus menduduki Amry yang berposisi menungging, Ryoko melumuri tangannya dengan pelumas, lalu dia berubah posisi sehingga duduk mengangkang di atas pantat Amry, menghadap ke belakang. Ryoko lalu meminta Nisa juga melumuri tangan dengan pelumas.

“Kita ‘petik mangga’ dia,” kata Ryoko.

Nisa awalnya tak ngerti apa yang dimaksud, tapi dia langsung paham begitu Ryoko mencontohkan. Ryoko memelorotkan celana pendek dan celana dalam Amry, lalu tangannya menjalar ke selangkangan Amry. Tangannya mengelus-elus kejantanan Amry sambil sekali-sekali juga memijat pantat. Nisa ikutan dengan memain-mainkan dua bola dalam kantung pelir Amry.

“Kamu tau kapan laki-laki pasti cuekin ceweknya, Irina?” kata Ryoko.

“Kalau sudah bosan?” Nisa menanggapi.

Ryoko menunjuk ke lubang anus Amry. Nisa berinsiatif menggoda si bodygoard dengan mengelus dan kemudian menjilat bagian luar lubang itu, membuat Amry mendesah kaget sekaligus keenakan.

“Banyak cowok suka dimainin itunya, tapi kebanyakan cewek jijik,” celetuk Ryoko. “Padahal… tuh lihat… ngacengnya tambah keras kan?” Memang, batang Amry tambah keras, menggantung ke bawah.

“Kamu suka kan dimain-mainin bo’olnya? Ngaku aja… Nih kontol kamu jadi keras gini!” kata Ryoko menantang Amry. Amry tak menjawab. Ryoko iseng mencolokkan jari tengahnya ke lubang pantat Amry dan laki-laki itu keenakan.

“Laki-laki cuma pengen sampai CROT aja, habis itu pasti ceweknya dicuekin,” Ryoko melanjutkan. “Puas, tinggalin. Semua cowok gitu. Makanya, kita pikir sebaliknya. Supaya cowok gak ke mana-mana… bikin dia mau crot,” Ryoko dan Nisa makin gencar mengocok ereksi Amry, “habis itu…”

Kemudian Ryoko berhenti, dan menjauhkan tangan Nisa.

“Kita LARANG dia crot.”

Amry terdengar menggumam mengeluh.

“Kamu tau? Laki-laki jadi lebih perhatian ke perempuan sebelum dia crot, karena ada maunya. Jadi supaya dia terus perhatiin kita… jangan kasih apa yang dia mau, tapi GODA terus. Kalau sudah gitu, dia bakal berbuat apa aja asal kita bolehin dia crot,” kata Ryoko.

“Kita kendaliin ini…” Ryoko menggenggam kemaluan Amry yang mau melemas, tapi langsung dibangunkan lagi dengan beberapa kocokan, “…dia jadi budak kita.”

 

Ryoko lalu menyuruh Amry berdiri dan keluar ring. Ketiganya pindah ke kamar lain, satu kamar tidur. Amry menurut seolah budak kepada Ryoko. Dia tak melawan ketika dia disuruh duduk di satu kursi dan tangannya diborgol di belakang kursi. Nisa mengerutkan alis melihat Ryoko sudah membawa sesuatu. Tali seperti tali sepatu. Ryoko lalu melilitkan tali itu sekeliling pangkal kemaluan dan kantong pelir Amry. Di bagian atas dia mengetatkan tali sepatu itu lalu melilitkannya lagi ke bawah, ke pertemuan batang dan kantong. Lalu sekali lagi mengelilingi pangkal kantong pelir. Terakhir Ryoko menyimpul tali itu di atas pangkal penis Amry. Amry terlihat meringis. Bukan kesakitan tapi pasrah. Ereksinya tadi sedikit melemah. Ryoko menyuruh Nisa mengocokinya. Tanpa pelumas, Nisa mengelus-elus lembut batang itu, yang langsung menegang. Selagi penis Amry tegak, ikatannya juga terasa makin erat. Amry melihat ke bawah dengan tak berdaya, memperhatikan pelacur bosnya terus membelai-belai dan kemudian mengoral kemaluannya. Lima menit berlalu. Amry mengeluh. “Uhh… Kok gak keluar… pengen…”

“Kenapa, nggak bisa crot yaa? Duh kasihaaan…” ejek Ryoko yang ikut-ikutan menggoda Amry dengan mengelus-elus dada Amry. Kemaluan yang terikat itu disiksa dengan berbagai cara oleh kedua wanita penggoda. Dikelitiki, dicubit-cubit, dijilat kanan kiri, dihisap. Amry belingsatan dan mengerang-erang tapi tak kunjung dapat kepuasan karena semburan orgasmenya terhambat di cekikan tali.

“Kamu pengen apa Amry?” tanya Ryoko

“Pengen… crot…” pinta Amry lemah.

“Enak aja,” Ryoko menampik. “Dilarang crot sebelum kamu bikin aku dan Irina puas!”

Amry mengangguk-angguk, dia tak punya pilihan selain memuaskan nafsu majikannya. Ryoko terus menyiksa Amry dengan merangsang puting Amry. “Kalau enak, ayo mendesah!”

“Annhhh… aahhg!” Amry menggeliat-geliat keenakan. Tiba-tiba bibirnya dibekap bibir Ryoko. Sementara Nisa terus mengocoknya.

“Berdiri dari kursi,” perintah Ryoko. Amry berdiri. Ryoko duduk di kursi lain, sebuah sofa. “Berlutut!” perintah selanjutnya. Si bodyguard yang sudah jadi budak itu pun menurut, berlutut di depan Ryoko. Ryoko pun membuka seluruh pakaiannya. “Buka baju juga, Irina,” katanya ke Nisa yang sekarang tidak sedang melakukan apa-apa.

“Isep pentilku,” perintah Ryoko. Amry langsung melakukan apa yang disuruh, mencumbu dan memain-mainkan puting payudara kiri Ryoko dengan bibir dan lidahnya. Ryoko lalu memanggil Nisa mendekat. “Kamu juga, Irina,” perintahnya. Jadilah Nisa ikutan. Ryoko keenakan kedua payudaranya diisap. Seolah ibu yang punya bayi kembar beda jenis kelamin. Rintih nikmat Ryoko membuat kedua “anak” tahu bahwa si germo sedang penuh gairah. Selagi mengenyot pentil Ryoko, Amry juga meremas lembut dan memijat payudara Ryoko. Nisa merasakan geliat paha Ryoko di dekat tubuhnya, pertanda sesuatu sedang membara di selangkangan Ryoko. Dan ketika menoleh ke arah sana tampaklah aliran di antara kedua paha putih itu. Kepala Amry ditekan turun sehingga kini dia menjilati perut, dan turun lagi…

“Bikin aku puas.”

Amry pun menyurukkan kepalanya di antara sepasang paha Ryoko. Lidahnya mulai menjelajahi daerah intim Ryoko, menggoda klitoris Ryoko yang membesar terangsang.

“Oh, yess…” desis Ryoko. Dia menyorongkan selangkangannya ke mulut Amry, tangannya mencengkeram kepala Amry selagi dia menggeliat. “Terusin… “ Lalu dia menyentuh dagu Nisa dan menarik wajah Nisa mendekat. Nisa kaget ketika Ryoko menciumnya mesra.

Amry terus merasakan daging kewanitaan Ryoko. Ryoko meminta Nisa mengangkang menghadapnya di pangkuannya. Amry jadinya disuguhi selangkangan Nisa juga, dan Ryoko memerintahkan dia menyervis Nisa. Lidah Amry ganti menyentuh bagian-bagian pembangkit gairah Nisa dan bibirnya menyedot itil Nisa. Nisa merintih keenakan menanggapinya. Amry menjilati naik turun kemaluan Nisa, berlama-lama di klitoris Nisa. Sementara tugas merangsang Ryoko dialihkan ke jarinya yang mulai keluar masuk merangsang di sana. Ryoko pun membalas perlakuan Nisa tadi dengan ganti menciumi dan mengisap payudara Nisa.

 

Dan, sewaktu Ryoko mengerang, “Ahh fuck me,” Amry tahu majikannya sudah tak tahan dan ingin merasakan batang keras dalam vagina. Tapi dia akan memberi kenikmatan pertama dulu. Jari-jarinya makin gencar merangsang Ryoko, yang membalas dengan menggoyang selangkangannya, sambil merintih lirih. Tiba-tiba orgasme datang. Tubuh Ryoko menegang, lalu mengejang disertai lolongan panjang. Tapi Amry tidak berhenti… malah dia teruskan menjilati dan menggodai kemaluan Ryoko. Tak lama kemudian, orgasme terjadi lagi, sekujur tubuh Ryoko bergetar keenakan. Ryoko memejamkan mata dalam keadaan dilanda kenikmatan, terengah-engah. Tangannya menjulur dan menggenggam penis Amry yang terus tegang.

“Kamu pengen crot?” tanyanya.

“Iya, Non Ryoko,” kata Amry.

“Belum boleh sampai Nisa puas juga,” kata Ryoko, “Dua kali.”

Nisa memperhatikan penis Amry, urat-uratnya menonjol. Ryoko menyuruhnya duduk di pangkuan Amry. Bukan cuma duduk tentunya. Nisa membuka kemaluannya untuk kejantanan Amry, mengangkang dan berposisi berhadapan dengan Amry. Keduanya mengerang selagi Nisa menurunkan tubuhnya sepanjang penis Amry. Dia sendiri sudah basah. Jepitan vagina Nisa membuat Amry terengah keenakan, tapi dia ingat apa yang harus dia lakukan, dan Amry mulai menggenjot Nisa dengan kuat. Nisa membalas tiap tusukan, mengulek kemaluan Amry dalam dirinya, menggesek-gesekkan klitorisnya. Amry diperlakukan seperti mesin pemuas wanita. Nisa merangkul Amry dengan lengan dan bahunya selagi orgasme pertama melanda.

“Stop,” perintah Ryoko. Amry berhenti bergerak, Nisa ambruk memeluknya.

“Kamu mau crot, Amry?” kata Ryoko.

“Iya…” kata Amry lemah, tak bisa ejakulasi karena penisnya masih diikat.

“Silakan…” Ryoko melepas ikatan di seputar kejantanan Amry. Nisa tahu Amry tak akan tahan lama dan bakal menyemprotkan simpanan spermanya di dalam. Amry tidak pakai kondom. Tapi Nisa sudah mengamankan diri sejak pertama ditugasi menyamar dengan suntik KB.

Amry kembali mengentot kemaluan Nisa yang basah, berusaha memuaskan diri dengan meraih orgasme yang dari tadi tak bisa dilakukannya.

Ryoko mendekati mereka berdua, lalu berkata, “Ayo crot di dalam lonteku ini, Amry… Kasih dia peju kamu sebanyak-banyaknya!”

Kata-katanya mendorong Amry. Semburan air maninya sekaligus mengaktifkan semburan kenikmatan dalam otaknya, dan memenuhi ruang kewanitaan Nisa dengan sperma. Nisa menjerit lemah selagi kemaluannya dibanjiri peju, karena terlanda orgasme lagi. Nisa begitu menikmati hiburan ringan yang di berikan Ryoko ke padanya.

 

To be continued....

By: Ninja Gaijin & Pimp Lord

Tidak ada komentar:

Posting Komentar