Jumat, 31 Oktober 2014

ABG Kost yang Nakal

Sari

Astaga! dia mengintipku! Saat aku baru melepas handuk sehabis mandi. Ya anak itu memang mengintipku! Aku tahu  persis dari kelebatan baju seragamnya dari balik kaca nako kamar kostku. Terlihat jelas itu memang dia! Firman! anak abg sebelah kamar kostku yang baru kelas 2 SMP!  Aku hanyalah seorang wanita yang telah bercerai, umurku pun sudah menginjak 35 tahun. Tapi mengapa anak abg itu nekad mengintipku?  Apakah aku harus marah? Ah tidak, aku bingung sekali karena aku tak merasakan kemarahan dalam diriku, sama sekali tidak. Aku justru bingung dengan diriku, ada apa ini? Entah kenapa aku justru merasa senang ada anak abg mengintipku ketika aku sedang dalam keadaan polos tanpa selembar benang pun!  Entah kenapa aku  justru merasa tersanjung.
Duhh memalukan sekali, kenapa kewanitaanku tiba-tiba terasa geli dan lembab memikirkan kejadian barusan. Ada apa dengan diriku? Tiba-tiba aku merasakan kegatalan yang menyeruak, yang terasa nikmat setelah 2 tahun perceraianku. Ini adalah rasa yang pertama kali kualami setelah selama 2 tahun aku tak pernah lagi "bersentuhan" dengan lelaki. Rasa nikmat itu seperti mengalir kuat tiba-tiba, berawal dari puting buah dadaku yang mengejang lalu merambat ke sela-sela pahaku. Aku merasa enak sekali, ingin sekali rasanya kuselesaikan saat itu juga. Tapi.. tidak! Itu sesuatu yang tabu bagiku, lagipula aku harus segera berangkat kerja, aku bisa terlambat dan kena potong gaji jika telat ngantor. Segera kupakai bajuku, sebuah seragam berupa gaun terusan panjang biru muda dengan sabuk kecil warna coklat yang melingkar di atas pinggangku. Oh Tuhan! pagi yang indah ini aku merasa manis sekali,  walaupun hatiku masih berdebar kencang akibat peristiwa "pengintipan"
 barusan. Ow. Dia sedang berdiri dengan seragam khasnya putih-biru. Tubuhnya tampak kurus, dan makin terlihat kurus setelah kulihat kakinya kering dan kecil. Innocence! keluhku. Sungguh anak abg ini seperti sosok yang tak berdosa dan terlalu muda untuk tahu soal-soal orang dewasa. Tapi siapa sangka, barusan ia kepergok mengintip ke dalam kamarku, memergoki ketelanjanganku entah
 untuk yang ke berapa kali. Yang aku tahu ya cuma tadi pagi itu. Aku melangkah mendekat ke arahnya. Canggung sekali rasanya ketika mendekati pelaku "kriminal" cilik ini. Aku belum memiliki keberanian untuk menginterogasinya, aku masih malu! Firman, usianya kutaksir sekitar 15 tahun. Ia tampak tenang banget ketika aku akan mendekat padanya. Dan tak kuduga sama sekali ia menyapaku dengan "ramah" banget,
"Pagi Tante cantik...mau berangkat kerja ya?"
 “Sial!” aku menggerutu dalam hati.
Nyantai banget anak ini, apa memang dia gak merasa kupergoki ya? Akhirnya kupaksakan menyambut ke-"ramah"-annya dengan sewajar mungkin,
"Pagi juga Fir. Kok belum ke sekolah?"
"Bentar lagi Tan, lagi nunggu temen mau njemput neh," jawabnya tenang sambil matanya menatapku lekat-lekat.
“Eh beraninya anak ini?” pikirku, apa dia gak tahu ya kalau aku sudah mergokin perbuatan nakalnya barusan?
 Aku tak bisa melamun lama-lama karena mobil antar-jemputku pasti sudah menungguku di ujung gang.
 
"Iya deh, aku berangkat dulu'" kataku sekenanya.
 "Silakan Tanteku yang cantik'" tukasnya tanpa ekspresi malu atau berdosa. Justru aku yang sekarang
 jadi salah tingkah karena pagi-pagi sudah dapet sanjungan dari cowok abg usil.
 "Iya Fir, thanks ya..dadahh!" Lagi-lagi aku kebingungan sendiri..
 "Thanks untuk apa Tan??" tanyanya sambil mencegat langkahku.
Uh sebel banget aku dibuat kikuk seperti ini, bagaimana bisa anak abg ini membuat wanita dewasa
 sepertiku mati kutu? Aku mendekatinya sekali lagi dan segera kucubit gemas pipinya..
 "Huhh kamu ini, udah sekolah sana!" kataku agak sewot.
Tapi dengan cekatan tanganku ditelikungnya sehingga dia balik memelukku
"Hehehehe..jangan marah dong Tanteku nan cantik.."
 Aku sungguh merasa aneh, aku tak bisa marah dengan kenakalan anak ini dan herannya baru sekali itu aku merasa akrab dengan seseorang walaupun itu hanya seorang anak abg. Tapi cengkerama singkat pagi itu seakan memberiku semangat baru. Aku menjewer telinganya, dan dia balik menggelitik pinggangku. Lalu pada saat yang tak kuduga dia memelukku erat sehingga kepalanya menempel kuat pada dadaku. Mendadak hatiku gemuruh..ahh tidak. Dia bahkan lebih pantas jadi
 anakku. Kami berdua jadi saling goda dan tertawa. Aku berusaha keras untuk bercanda sewajarnya, layaknya seorang ibu kepada anaknya, atau kakak kepada adiknya, atau tante kepada ponakannya. Adegan itu tentu saja menjadi perhatian penghuni kos-kosan yang lain yang segera tersenyum-senyum melihat gurauan kami. Semoga saja mereka tidak berpikir yang tidak-tidak tentang kami yang berselisih usia jauh sekali. Tetapi ternyata justru aku yang terjebak untuk berpikir tidak-tidak. Karena..aduhh, tadi entah sengaja atau tidak dia Firman sempat meremas pantatku. Tiba-tiba kulitku
 meremang dan aku merasa geli sendiri. Apalagi kalau kuingat tadi kepalanya sempat menempel lama pada dadaku, dadaku serasa mengembang penuh seakan menyesak pada kain penutupnya. Siang itu sampai sore hari, aku terus teringat gurauan-gurauan Firman yang seakan membangunkanku dari  tidur yang panjang. Aku telah bercerai sejak 2 tahun lalu, rasanya sungguh menyakitkan sehingga kuputuskan untuk merantau ke Jakarta demi menghapus kenangan yang menyedihkanku. Pasca perceraian aku selalu menutup diri dari pergaulan yang serius dengan lawan jenis. Aku mengisi hari demi hari dengan kesibukan bekerja, senam, memasak, dan merawat diriku. Siapa tahu kelak aku akan ketemu jodoh yang lebih baik dari mantan suamiku, karena bagaimanapun aku harus punya pasangan kelak, punya keluarga, punya anak, dst. Jadi aku tak boleh terpuruk pada kesedihan yang menyiksa. Tapi...apakah aku ini masih cukup cantik dan menarik sehingga Firman yang masih ingusan itu nekad mengintipku dan menggodaku?? Ahh aku tak tahu pasti. Tiba-tiba saja
 pertanyaan-pertanyaan aneh ini berkelebatan terus dibenakku. Ahh narsisnya aku. Siapa tahu dia tadi cuma iseng saja? atau mungkin dia tak sengaja? Terus apa maksudnya dia tadi meremas pantatku? Apa maksudnya dia tadi menempelkan kepalanya pada dadaku? Aku berusaha melupakan pikiran-pikiran konyol ini dengan fokus pada kerjaan. Tapi anehnya aku malah gak bisa konsen. Bingung! aku jadi makin lekat pada sapaan Firman yang menggodaku dengan sebutan "Tante Cantik".
 Sejujurnya, apakah dia cuma iseng atau sekedar membual tetap saja membuatku tersanjung. Sehingga aku jadi bertanya-tanya,
"benarkah aku masih cantik dan menarik?"

Firman
 Sepulang kerja, berbagai perasaan dan pikiran yang aneh terus berkelindan di benakku. Sampai-sampai di dalam kamar mandi, dengan telanjang bulat aku mematut-matut tubuhku di depan cermin, benarkah aku masih menarik. Ahh..belum ada kerutan,  kuraba payudaraku juga masih terasa kencang dan berisi, perutku juga tak berlemak, lenganku masih singset,  wajahku?? Ahhh aku tak tahu. Aku jadi merinding jika mengingat dia mengintipku. Tiba-tiba aku merasa ingin pembuktian. Aku harus membuktikan diri apakah aku ini masih menarik atau tidak? tak peduli  jika itu harus kuujicobakan kepada anak abg seperti Firman. Apa boleh buat. Ini adalah pilihan yang paling kecil resikonya ketimbang jika aku membuktikannya pada lelaki yang sudah dewasa, bisa-bisa aku jatuh pamor nanti hihihihi. Kebetulan aku sedikit tahu kebiasaan Firman kalau malam hari. Dia biasa duduk-duduk sendiri sambil baca-baca koran di tangga loteng untuk menjemur pakaian. Apakah kira-kira dia masih dengan kebiasannya itu? Kusibak tirai jendelaku dan aku mengintip keluar. Uhh benar sekali, dia masih di sana, seperti sedang melamunkan sesuatu. Tapi aku bingung, aku harus bagaimana sekarang? Bagaimana aku harus memulainya agar rencanaku berjalan lancar. Ahai, aku masih punya beberapa jemuran yang masih basah yang biasanya kujemur pagi-pagi sekali. Tapiii...aku harus bagaimana? Dadaku gemuruh memikirkan rencana dan sensasi-sensasi aneh yang mulai mencengkeramku. Aku jadi ingin tampil menarik di hadapan anak ingusan itu saat ini. Segera
 kupilih daster terusan pendek yang kupikir cukup sexy, karena agak ketat, berbahan tipis dan menerawang kalau kena sinar lampu. Aku ingin banget melihat reaksi Firman nanti. Adeehh..tiba-tiba saja aku merasa geli lagi pada selangkanganku, geli-geli dan gatal seperti ingin disentuh. Tiba-tiba aku merasa membersitkan cairan..duhh kenapa kok aku tiba-tiba basah ya..?? Aku ragu apakah rencana ini harus kuteruskan? apakah aku tidak terkesan murahan? Tapi hasratku makin menggebu-gebu, rasanya keingintahuanku sudah tak bisa kutahan lagi. Toh aku tidak ngapa-ngapain, aku kan cuma pengen tahu reaksi anak abg itu? Ahh..lagi-lagi berusaha mencari-cari alibi untuk pembenaran
 rencanaku. Yahh. Mau tak mau kubulatkan saja tekadku. Sekarang! atau tidak sama sekali! Kakiku goyah saat kulangkahkan menuju tangga jemuran. Semakin mendekat ke arah Firman dadaku makin gemuruh, semoga tak ada penghuni kos-kosan lain yang tahu keadaanku saat itu, seorang wanita, janda pula! dengan busana yang mungkin hanya cocok untuk dipakai di dalam kamar tidur! Untungnya dia tak mengetahui kehadiranku. Tapi ketika sudah dekat, tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Tak kuduga senyumnya terkembang lebar, tampaknya sumringah sekali. Tapi saat aku sudah dekat sekali, senyumnya berubah jadi melongo tatkala diriku sudah demikian jelas dalam pandangan matanya. Matanya memandang lekat tubuhku, terutama bagian dadaku. Aku terhenyak sekaligus
 merasa tersanjung luar biasa.
   "Hai Fir! kok melongo? minggir dikit gih! Tante mau njemur ni.." sapaku memecah kesunyian..
 Lalu kudengar sahutannya dengan nada seperti gemetar.."Iiiiya Tan..silakan.." mulutnya makin
 melongo ketika aku menapaki tangga pertama.
 "Hei!! kok melongo sih?" hardikku penuh tanya.
 "Aaa..si..si..silakan Tan..," sahutnya dengan suara yang masih gemetar.
Aku melangkah terus hingga sejajar dengannya.
"Kok kamu gemetar sihh..sakit yaa??" tanyaku sedikit kecewa.
"Ee..enggak Tan..aku..aku..kaget..kukira Tante bidadari dari mana.." jawabnya.

Kulihat kepolosan dan kejujuran di matanya. Gubraak! Aduh anak ini! Dia bercanda atau serius sih? Aku jadi salah tingkah karena terus-terusan dipuji.
"Uhh kamu ini, kecil-kecil udah pinter nggombal!" Aku menanggapi ucapan Firman dengan perasaan
 yang campur aduk.
 "Ehh..benerr Tan..suerr..tante bak bidadari turun dari kahyangan..dan aku ingin jadi Jaka Tarubnya
 hehehehh.."
 Deg! Jadi?? Bukankah Jaka Tarub itu juga suka ngintip?
"Jadi kamu juga demen ngintip kayak Jaka Tarub dong?" Aku langsung mencoba menohok
 dia.
"Ya tergantung Tan.." jawabnya lugas, tak ada keraguan di
 wajahnya.
"Tergantung gimana??" aku jadi penasaran dan mengurungkan langkahku untuk menjemur pakaian.
 "Tergantung orangnya Tan...kalau orangnya cantik seperti Tante ya emang pantas diintip," jawabnya terus terang.
Hah? beraninya anak ini ngomong seperti itu. Tapi anehnya aku tak bisa marah atau jengkel, sebaliknya perasaanku malah jadi berbunga-bunga..
 "Weew Tante kok pipinya jadi merah sii? suka yaa??" tanyanya tiba-tiba, matanya serasa langsung
 menusuk mataku.
“Duhh beraninya anak ini. Siapa yang ngajarin kurang ajar seperti itu” pikirku?
 "Huh suka apaan?" sahutku agak gemetar.
 "Suka diintipin..hehehehehhh.." jawabnya
 Terus terang. hatiku langsung berdegup kencang, lebih kencang dari sebelumnya. Posisiku masih sejajar dengannya, berdiri saling berdekatan di tangga yang sempit itu.
"Ja..jadii..kamu suka mengintip ya?" tanyaku memastikan.
"Kan aku sudah bilang Tan. Tergantung siapa dulu orangnya," jawabnya lagi sambil senyum-senyum menatap mataku.
Aduh anak ini, berani banget dia ngomong yang menjurus-menjurus seperti itu. Dan matanya itu, tak henti menjelajah tubuhku bahkan menatap mataku secara langsung. Anehnya aku justru menjadi kikuk dilihatin seperti itu. Malah aku sekarang tertunduk tak berani beradu pandang dengannya. Ya ampuuunn...semua ucapannya itu jelas ditujukan langsung kepadaku. Anehnya, diperlakukan seperti itu aku mulai merasakan sensasi yang aneh, kulitku jadi merinding, pucuk-pucuk dadaku serasa menegang, dan sela-sela pahaku jadi terasa geli-geli. Malu sekali rasanya dikerjain anak ingusan ini. Aku merasa tidak kuat lagi berdekatan dengannya dan mendengar ucapan-ucapan yang menjurus mesum seperti itu. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan Firman, aku harus tak peduli dengan semuanya itu, atau pura-pura tak peduli. Aku melangkah gamang, satu persatu tangga kunaiki dengan goyah. Celakanya pada anak tangga terakhir angin nakal bertiup kencang menyibak gaunku dari bawah..wussshh..cepat sekali.  Tak sempat kutahan pakaian bawahku agar tak berkibar-kibar,
 tapi aku kerepotan sendiri karena tanganku sedang membopong seember jemuran.
 
 Aku berharap Firman tak mengetahui kejadian itu, bisa malu aku dibuatnya. Tapi dugaanku salah besar. Di bawah Firman malah sedang berjongkok melihat adegan bajuku disibak angin, wajahnya tersenyum-senyum penuh arti tanpa rasa malu sedikitpun. Aku lekas-lekas naik lagi menuju loteng agar penderitaanku segera berakhir. Tapi anehnya angin nakal itu seakan mengejarku. Bahkan ketika sampai di loteng pun pakaian bawahku masih tersingkap-singkap. Aduhhh..si Firman malah jadi kegirangan, senyumnya...ya ampuun itu bukan senyuman anak belia. Itu seringai serigala..
 "Tannn!!," Firman setengah berteriak memanggilku dari anak tangga, "aku gak perlu ngintip
 kok Tan...sudah keliatan tuhh! ...Pink!" serunya.
Duhh malunya aku, pipiku rasa terbakar api. jantungku berdetak kencang. Anak itu jadi tahu dehh warna dalemanku, tapi berani sekali dia menggodaku seperti itu. Kurang ajar sekali dia!! Untuk beberapa saat aku ingin marah kepadanya. Tapi segera urung karena aku merasa aneh dengan tubuhku. Kulitku tiba-tiba terasa sensitif sekali. Pori-poriku meremang. Dan aku merasakan kegelian yang berkumpul enak sekali pada sela-sela pahaku. Ahh...aku merasakan basah di celana dalamku! Kenapa bisa begini?? Mengapa setelah kejadian memalukan ini aku malah menjadi begini? Entah mendapatkan keberanian darimana, mendadak terbersit keinginan agar Firman dapat melihat lebih jelas lagi bagian tubuhku yang mungkin jarang ia lihat. Aku tak berusaha membetulkan busanaku yang masih tersingkap, aku malah berpura-pura sibuk menjemur pakaianku yang cuma empat potong saja. Aku sendiri menjadi heran dengan diriku. Seolah  ada kekuatan yang memaksaku untuk memamerkan tubuhku di hadapan Firman. Seperti ada kekuatan yang menahanku agar tak cepat-cepat selesai menjemur pakaian. Aku menginginkan dia melihatku lebih jelas lagi, aku ingin dia mengintipku atau apapun! Aku ingin mendengar komentarnya mengenai tubuhku. Wusshh..angin nakal bertiup lagi. Menyingkap lebih ke atas dasterku. Tapi aku tak lagi berusaha menahannya. Aku membiarkan saja angin nakal itu. Dan saat aku menoleh ke bawah ke arah Firman dari atas loteng, Ia benar-benar melongo, matanya seakan melotot ke arahku tak berkedip sekejap pun! Hatiku pun berdegup makin kencang. Seluruh pori-pori di tubuhku terasa makin melebar dan mengembang, tubuhku terasa makin sensitif. Aku mulai menikmati adegan eksiku di depan anak belia ini. Tak bisa kupungkiri lagi aku merasa senang dengan perbuatanku ini. Ya aku merasa senang karena aku mulai merasakan kenikmatan tersendiri yang susah kuungkapkan dengan kata-kata. Aku bahkan mulai terlanda sensasi-sensasi aneh yang membuat bagian-bagian genitalku meremang geli, dan bagian paling genitalku pun membasah. Ughh kenapa bisa begini?? aku merintih tertahan. Rasa-rasa yang aneh itu terus menderaku hingga kurasakan sela-sela pahaku tidak sekedar lembap, melainkan sudah benar-benar basah dan becek. Bagaimanapun untuk hal yang satu ini orang lain tak boleh tahu, apalagi anak belia yang sedang menontonku saat ini. Segera kutangkupkan gaunku agar tak tersingkap lagi dan kutoleh anak itu. Hmmm...kemana dia? Firman sudah tak ada lagi di bawah loteng. Kemana perginya anak ingusan itu? Hhhh...entah kenapa aku merasa kecewa begitu tahu Firman sudah tak lagi menontonku, hatiku terasa hampa.
 
 Tapi..aku terkejut sekali mendengar suaranya memecah lamunanku.
 "Tante, tante cantik sekali," suara Firman bergetar tepat di belakangku, jaraknya terasa sangat dekat sekali.
Begitu kutolehkan kepala, astaga! benar sekali dia telah berada di belakangku, entah sejak kapan? Mungkin karena aku tadi terlalu "sibuk" membanggakan diri sampai-sampai aku tidak menyadari kalau Firman tahu-tahu telah beberapa centimeter di belakangku.
 "Ah bisa saja kamu Fir."
 "Aku ngomong apa adanya Tan. Tante memang cantik."
Kurasa ia berkata dengan sungguh-sungguh, matanya menatap tajam ke mataku tanpa ragu. Tiba-tiba dengan berani ia merapat kepadaku, kudengar suaranya bergetar lirih,
"Tan, aku boleh minta sesuatu?"
 "Aapa sih Fir?" cemas rasaku menunggu pertanyaan Firman.
 "Aku minta cium, Tan.' katanya lugas.
 Aku sungguh-sungguh terkejut dengan permintaan Firman yang tanpa tedeng aling-aling itu. Aku tak tahu harus bagaimana, karena ada perasaan iba juga jika aku tak mengabulkan permintaannya, tapi mengabulkan juga salah. Aku sama sekali tak menyangka keadaan akan berlanjut seperti ini.
 "Kenapa Firman minta seperti itu?" tanyaku ragu-ragu sambil kuberanikan menatap matanya langsung. Tapi ternyata aku tak kuat berlama-lama beradu pandang dengannya.
 "Karena Tante Sari cantik. Aku sayang Tante sejak awal ketemu dulu." jawabnya lugas.
 Mendengar jawabannya aku benar-benar terkejut. Tak
 kusangka ternyata ia benar-benar mengagumiku. Pipiku terasa
 hangat. Agar tidak mengecewakan hatinya aku mencoba menawar,
 "Hmm iya deh. Tapi kamu merem ya?"
 "Engga mau Tan, aku pengen seperti yang di filem-filem itu. Tante aja yang merem." balasnya lagi tak kalah cerdik.
 "Iya deh kali ini tante penuhi permintaanmu. Tapi cukup sun pipi saja, gak boleh lebih atau enggak sama sekali," jawabku tegas.
Firman terlihat ragu sejenak, tanganku tiba-tiba dipegangnya erat-erat seakan takut kalau aku lepas darinya.
"Iya deh Tan," jawabnya masygul.
Perlahan-lahan kakinya berjinjit, lalu tangannya memelukku erat. Saat wajahnya mendekat ke pipiku, entah kenapa tanpa kusadari mataku terpejam, seperti menanti ciuman seorang pacar. Aduhh, mendadak nafasku tersengal ketika kurasakan tangannya turun ke arah pantatku, menekannya di situ kuat sekali sehingga berdempetan dengan tubuhnya. Akhirnya kurasakan nafasnya yang panas menderu di pipiku, semakin dekat. Entah bagaimana tubuhku tiba-tiba terasa geli semua,
 bulu kudukku merinding. Dan ketika bibirnya menempel pada pipiku aku gemetar tiba-tiba.
 
“Ini, ini bukan sun pipi” batinku.
Ini...ini seperti endusan hewan liar yang hendak melumatkanku. Ia, ia tak sekedar menyentuhkan bibirnya ke pipiku, tetapi mengendus-endusnya, memoles-moleskannya, mengusap-usap pipiku dengan bibirnya. Lalu entah bagaimana mulanya tiba-tiba bibirnya telah memagut bibirku, lidahnya cepat sekali menyelusup ke dalam bibirku yang terperangah dan menyentuh lidahku. Aduhh..panas sekali lidahnya. Tiba-tiba segenap tubuhku serasa lemas, jiwaku rasa melayang larut ke dalam belitan lidahnya yang menyentil-nyentil langit-langit mulutku. Ahhh..sudah lama sekali aku tak merasakan yang seperti ini. Kusadari ini salah. Ini tak boleh. Tapi anak abg ini?? Mengapa ia begitu pintar membenamkanku ke dalam sensasi yang menggelitik seluruh pembuluh syarafku. Ohhh, Tuhann..tidak...ia meremas pantatku, lembut sekali. Ia meremas pantatku dan merapatkanku kepada tubuhnya. Terasa selangkanganku mulai geli dibuatnya. Ohhh tak boleh ini...bibirnya merangsek leherku, menjilatnya rakus. Eghh ia menyedoti leherku..bagaimana ini...geli sekali rasanya. Aduhhh...pantatku terus diremas-remasnya dengan gemas...geli-geli terasa mulai menjalar ke selangkanganku. Ia...ia...ahhh..kenapa ini?? rahimku mulai berkedut-kedut. Kurasa...kurasa...cairanku mulai memancut-mancut mengairi relung-relung kewanitaanku. Tuhann..gelinya..ahhh..anak ini....anak ini...
 "Firrr..stopp please...sudah..sudah," aku meminta dengan memelas kepada Firman agar ia berhenti
 mencumbuku. Aku..aku...tak mau terus lagi...aku..aku sudah hampir menggapai puncak ketika anak ini terus menerus mencecar leherku, kudukku, bibirku..kakiku terasa lemas sekali dan hampir tak mampu menopang tubuhku. Tapi Firman tak mendengar permohonanku. Ia terus saja menciumi wajahku, bibirku, tengkukku, leherku...aihhhh....ia...iaa mencupangi leherku.. dan tangannya itu
 aduhh..aduhh, tangannya mulai menyingkap daster bawahku dan meremasi pantatku..ughhh tangannya tiba-tiba menyusup sela-sela pahaku.
"Firrrr sudah..sudah...cukup Firrr.." aku merintih..meminta agar ia berhenti.
 Aku...aku...tak mau  meledak di depan anak ingusan ini. Nafasku terengah, tersengal. Tubuhku makin gemetar dan lemas kala kurasa tangan anak belia ini mulai berani mengusap permukaan celana dalamku. Aghh...malu sekali rasanya.
 "Tannn...tante sudah basahh banget," bisiknya terengah-engah di telingaku, bibirnya terus
 menjelajah cuping-cuping telingaku.
Ini....ini...aduhh...Jarinya terasa menekan-nekan dan menggesek permukaan selangkanganku yang membecek dan mulai merembes sampai ke paha-paha. Aku merasa tak sanggup bertahan lagi ketika bagian jarinya terasa menyentil-nyentil kelenjar syarafku yang paling peka. Aku merasa goyah. Ahhhh...aku meledak. Rasanya bergalon-galon cairan serasa menyembur dari rahimku, menabraki relung-relung kewanitaanku yang lama kering. Ohhh sungguh tak terperikan rasanya...sudah begitu lama..sudah terlalu lama kudamba rasa yang ingin kupungkiri. Seiring geletar-geletar tubuhku yang masih tak bisa lagi kukendalikan, jiwaku terasa mengawang, kesadaranku sirna berganti rasa indah, nikmat, enak  yang menjalar-jalar kemana-mana. Ahh Firman...Firman...ia terus saja mencumbuku dan merangsangku sepenuh jiwa. Ia bahkan tak menyadari kalau tantenya ini sudah merengkuhi puncak tertinggi berahi manusia.
 "Firrr sudah..stop...," aku memohon agar ia mau berhenti.
"Stop..Firrr..." aku meminta lagi, dengan tenaga yang tersisa kucoba mendorong tubuhnya. Tapi ia tak bergeming, tangannya makin liar bergerilya menyusup-nyusup ke dalam celana dalamku dan
 menyentil-nyentil klitorisku secara langsung. Bukan itu saja. Ia menyeret tubuhku ke celah loteng yang agak gelap lalu tangannya menarik turun dasterku. Tali bra ku pun ikut tertarik turun, lepas melewati pundakku. Lalu payudaraku yang menggembung karena terangsang dan putingnya yang tegak kaku tak tertahankan lagi segera menyembul begitu saja ke udara...
 
 Aggghhh...Tuhannn...maafkan hambaMu ini. Anak abg ini benar-benar di luar dugaanku. Aku terlalu
 meremehkannya. Sesaat setelah buah dadaku terbebas dari kekangnya mulutnya segera melumat buah dadaku yang terbuka ke dalam mulutnya. Tubuhku makin lemas menahan rangsang yang kembali bergelora. Lututku goyah karena buah dadaku terlumat dengan buasnya. Ia benar benar... terlalu pintar mencumbu dan membangkitkan apiku yang lama terpadami. Aku tak tahan lagi. Ini sudah diluar batas kemampuanku. Dasterku makin melorot. Dadaku sudah terbuka sepenuhnya, tapi Firman terus mencoba menurunkannya dengan segala cara. Ini tak baik pikirku. Aku tak mau dia
 menganggapku murahan dengan membiarkan dia berbuat semaunya. Bagaimanapun aku masih punya harga diri. Akankah aku membiarkan saja dia mengerjaiku di loteng yang terbuka ini? Sungguh tak bermartabat rasanya. Aku harus melawan, aku harus memberontak. Tapi gimana caranya? Sedangkan tubuhku sendiri tengah menggelepar terkungkung berahi yang tinggi. Firman...Firman... ia memelorotkan celana pendeknya hingga bisa kulihat benda itu..yang tak asing lagi. Firman menubrukku hingga tubuhku terjengkang ke lantai yang dingin. Ia melumatku lagi, bibirku...buah dadaku. Aku tak bisa...tapi ughh..ini terlalu enak... aku tak bisa...sedang pelacurpun tak kan mau melakukannya di tempat seperti ini. Aku mendorong tubuh Firman agar menjauh, tapi lagi-lagi gagal karena ia bak kerasukan setan terus merangsekku dengan buas. Aku tak bisa berkutik lagi. Harga
 diriku ingin menentangnya, tapi tubuhku menginginkan lebih. Tuhannn..tolonglah aku. Aahhh...aku merasakan mulutnya melumat payudara kiriku, lidah yang basah dan hangat itu menyapu putingku sehingga benda itu mengeras tanpa dapat tertahankan. Firman terus mencucup dan menjilatinya sambil sesekali menjepitnya gemas dengan gigi-gigiku. Aku pun mulai mengelinjang, apalagi sambil menjilat, ia juga mulai meraba dan meremas-remas bulatannya. Puas dengan yang kiri, abg ini lalu berpindah ke yang kanan. Aku pun semakin merintih menerima aksinya. Terus disedot-sedotnya puting susuku sampai jadi basah semua oleh air liurnya. Sedang asyik-asyiknya menikmati payudaraku dikenyot-kenyot olehnya, tiba-tiba aku mendengar suara berat terbatuk-batuk dari bawah loteng. Deg!!! Firman terlonjak kaget dan melepaskan pagutannya dari puting buah dadaku yang masih terasa geli dan nyeri..kesempatan itu kugunakan untuk membenahi bajuku yang amburadul. Celana dalamku ternyata sudah turun ke paha, bra ku entah kemana. Aku tak bisa menemukannya karena gelap di situ. Tapi tak apa. Siapapun yang di bawah itu tak boleh memergokiku dalam keadaanku yang seperti ini, ini memalukan sekali.
“Fir...udah, ada yang dateng” aku berbisik lirih dan menggeser tubuhku menjauhnya yang perhatiannya terpecah ke suara batuk-batuk di bawah tangga.
Ketakutanku memberiku kekuatan lebih. Aku segera berjingkat-jingkat menjauhi Firman yang juga dengan terburu-buru mengenakan kembali celana pendeknya. Dengan segala kenekatanku aku berlari menuruni tangga. Tak ada siapa-siapa di bawah. Siapa yang batuk-batuk tadi? Ahhh aku tak peduli lagi. Aku segera berlari menuju kamarku dan menguncinya. Kulepaskan semua bajuku di dalam kamar mandi. Kuperiksa tubuhku di depan cermin, dadaku, leherku, pundakku hampir semua penuh bekas cupangan. Duhhh memalukan sekali. Walaupun tak tak bisa kupungkiri juga, betapa diriku telah terbebaskan dari dahaga yang berkepanjangan ini.  Membayangkan Firman yang masih ingusan itu, rasanya sungguh tak masuk akal jika dia yang kukira masih hijau itu berhasil mengecohku bahkan memberikan sesuatu yang luar biasa kepadaku. Rasanya sungguh mustahil jika telah sering melakukannya. Apakah anak itu memang suka "jajan"?? sebelum-sebelumnya? Ah jadi puyeng aku dibuatnya. Aku segera mandi sekali lagi, sekalian keramas untuk menghilangkan semua kebingungan yang berkelindan di kepalaku.

Bersambung
By: Sari Dewi

Wayang Hot: Perselingkuhan Abadi Banowati dan Arjuna

Dewi Banowati
Mata Arjuna menerawang jauh, seperti menembus gulungan awan. Dari sebuah pesanggrahan yang nyaman dan indah di hutan Pramanakoti, di pinggir Sungai Gangga, di atas bukit yang ia tempati saat itu memang bisa memandang ke segala arah, termasuk awan yang bergerombol seperti bulu-bulu domba yang berwarna putih bersih. Dewi Banowati yang ditunggunya belum nampak muncul. Dewi Banowati adalah putri dari Prabu Salya, raja di Mandraka.
Banowati adalah seorang putrinya yang sangat cantik, bukan karena berhiaskan mutu manikam melainkan karena kecantikan yang sebenar-benarnya. Tingkah laku putri ini serba halus dan pantas. Pada mulanya Banowati jatuh cinta pada Arjuna, namun akhirnya ia menikah dengan Prabu Duryodana dan menjadi permaisuri di Hastinapura. Tetapi hatinya masih berat kepada Arjuna, yang secara sembunyi selalu mengunjungi.  Hari itu Arjuna mengunjungi pesanggrahan di hutan Pramanakoti, namun tempat itu seperti ditinggalkan penghuninya. Arjuna menunggu Tanpa sadari, Banowati mendekati Arjuna.
“Adimas Arjuna!”
Arjuna kaget sekali tapi masih tetap tenang seolah itu hal biasa, lumrah saja.
“Ya?,” bisik Arjuna.
Banowati membahasakan dirinya sebagai “mbakyu” atau kakak sejak pernikahannya dengan Duryodana, putra tertua para Kurawa yang satusnya lebih tua dari Pandawa.
“Adimas Arjuna, jika Raden menghendaki, mbakyumu Banowati ini bisa memberikan segalanya malam ini. Kau tak usah sungkan.”
“Sudah kutunggu,” bisik Arjuna lagi.
Setelah menerima izin, Banowati mendekati Arjuna. Berdebar-debar hati Arjuna selagi makhluk paling cantik yang pernah dia lihat ini mendekati dirinya. Arjuna bersandar selagi Banowati makin dekat. Banowati kini berada sangat dekat dengan Arjuna, dan meraih tangannya. Tangan itu dipandunya menyentuh dadanya. Arjuna menanggapi dengan meremas-remas buah dada Banowati di balik pakaiannya, lalu menyelipkan tangan ke balik pakaian tipis Banowati untuk menyentuh langsung kulit Banowati. Arjuna bukan orang yang tak berpengalaman, dia juga mulai mengulum-ngulum telinga Banowati sambil membisikkan kata-kata mesra. Banowati membalas dengan mulai mendesah manja. Kemudian Arjuna menyibak pakaian Banowati dan mengeluarkan satu payudara sang permaisuri. Dia memain-mainkan pentil Banowati yang mengeras. Selanjutnya dia menyibak kembali sisi lain pakaian Banowati, menyingkap payudara sebelahnya, sambil berpindah ke belakang Banowati. Dari belakang, Arjuna meremas-remas kedua payudara Banowati sambil menggerumiti pundak sang permaisuri. Karena tubuh atasnya sudah setengah telanjang, tampaklah di seputar bahu dan dada Banowati batas antara lapisan bedak putih yang menutupi wajah dan lehernya dengan kulit tubuhnya yang berwarna lebih gelap. Banowati terengah, mendesah, menengok dan berusaha menempelkan wajahnya ke wajah Arjuna yang terus menggarap pundak dan lehernya.

Puas menggerayangi payudara Banowati, kedua tangan Arjuna meraih ke bawah dan menemukan simpul pengikat Banowati. Tanpa membuang waktu dibukanya simpul itu dan dilepasnya segera sabuk yang mengikat pakaian sang permaisuri. Setelah membantu membebaskan tubuh indah Banowati dari belitan sabuk dan pakaian, Arjuna tak segan-segan menggerayangi seluruh tubuh itu, hanya menghindari rambut dan wajah Banowati agar tak merusak dandanan rumit sang permaisuri. Selagi Arjuna mengelus pinggang dan pinggul Banowati, dinikmatinya erangan lembut dewi itu.
Banowati tiba-tiba menggenggam kedua tangan Arjuna dan menjauhkan keduanya dari tubuhnya. Dia menoleh, tersenyum nakal, lalu beringsut maju sehingga tubuhnya menjauh dari Arjuna. Kemudian dia berbalik dan melepas pakaian tidur Arjuna, sehingga kini mereka berdua sama-sama nyaris telanjang. Diperhatikannya tubuh Arjuna yang bagus, sungguh tubuh seorang petarung yang tak kenal takut. Ditelusurinya beberapa bekas luka Arjuna dengan jemarinya yang halus, mulai dari leher, bahu, dada, perut, terus ke bawah…dan sampai pula tangan Banowati ke jendulan di balik cawat Arjuna. Banowati tersenyum, dan membuka cawat itu, mengeluarkan kejantanan Arjuna. Disentuhnya batang dan biji Arjuna, selagi wajahnya mendekat.
“Akan aku tunjukkan keahlian mbakyumu ini,” kata Banowati, lalu dijilatnya ujung batang Arjuna.
Setelah beberapa kali jilat, Banowati membuka mulut dan menyepong kejantanan sang kesatria. Sungguh erotis, pikir Arjuna ketika melihat bibir merah Banowati membelai batangnya dan wajah putih sang permaisuri maju-mundur di selangkangannya. Arjuna menikmati permainan bibir, lidah, gigi dan juga jemari Banowati, dan dia bertanya-tanya apakah keahlian ini yang membuat Banowati menjadi permaisuri? Rangsangan Banowati sungguh ampuh, dan cepat sekali mendorong Arjuna ke batas kemampuannya. Tanpa dapat menahan, Arjuna tiba-tiba memuncratkan benihnya dalam mulut Banowati. Sang permaisuri itu ternyata tak melepas kulumannya, dia menghisap seluruh mani yang dikeluarkan Arjuna. Setelah selesai, dengan lembut Banowati mengeluarkan kejantanan Arjuna dari mulutnya dan menyeka tetesan mani di sudut bibirnya. Banowati melihat kejantanan Arjuna mulai lemas, namun dia siap membuatnya tegak kembali.
“Dimas Arjuna,” rayu Banowati selagi kembali merapat ke tubuh Arjuna, “inilah leher, dada, dan perut mbakyumu. Silakan kau sentuh sekehendakmu. Silakan jilat dan gigit dan remas…”
Arjuna tak perlu menunggu lama menghujani tubuh Banowati dengan ciuman dan gigitan. Digenggamnya tubuh Banowati, lalu sang permaisuri itu pun didorong dengan lembut sehingga terbaring di futon, sementara Arjuna sendiri berubah posisi di atas tubuh wanita penghibur kelas tinggi itu. Arjuna terus meraba, menggerayangi, meremas, menggigit-gigit. Dilihatnya puting Banowati mengeras setelah dia jilati. Disaksikannya Banowati menggeliat dan merintih selagi dia mencupang leher dan dadanya. Mata Banowati terpejam dan bibir merah Banowati setengah terbuka, mengeluarkan suara-suara kenikmatan.
“Bagaimana, mbakyu Banowati?” tanya Arjuna.
“Sungguh nikmat, Raden …” kata Banowati sambil mendesah, dan menggerakkan pinggulnya ke atas sehingga bibir luar kemaluannya menyentuh selangkangan Arjuna.

Pada waktu yang sama, tangan kiri Banowati juga bergerilya ke sana, menggenggam dan mengocok kejantanan Arjuna supaya tegak kembali. Tangan kanannya meraih belakang leher Arjuna, mendekatkan tubuh Arjuna. Dia berbisik kepada Arjuna,
“Oh… Raden kau sungguh perkasa Raden … mohon jamahlah tubuh mbakyumu ini…”
Banowati membawa tangan pasangannya ke gerbang kewanitaannya. Arjuna bisa merasakan kehangatan kewanitaan Banowati, serta cairan yang membasahi tempat itu. Tangan Banowati membimbing tangan Arjuna meraup cairan itu, lalu menggerakkannya ke arah muka mereka berdua. Arjuna dalam posisi berhadap-hadapan dengan Banowati, dan jemari mereka berdua yang basah berada di antara muka keduanya.
“Apakah adimas ingin merasakannya?” tanya Banowati.
Arjuna tak menjawab tapi dia menjilat cairan kewanitaan Banowati yang berlumuran dari jemari mereka berdua, sementara Banowati ikut melakukan hal yang sama.
“Manisnya,” gumam Arjuna.
Banowati tersenyum, pelan-pelan mendorong Arjuna menjauh, lalu menggeser tubuhnya sehingga kini sepenuhnya berada di atas pembaringan. Dia duduk, menarik sepasang kakinya yang indah mendekat ke tubuhnya, lalu mengangkat tinggi-tinggi keduanya, sampai memperlihatkan bagian bawah pantatnya kepada Arjuna. Pelan-pelan Banowati meregangkan kedua pahanya, kaki kanan dan kirinya bergerak saling menjauh melintasi lengkungan di udara sampai akhirnya dia berposisi mengangkang, kedua tungkainya membentuk sudut tumpul yang membuka ke atas, kewanitaannya yang tercukur bersih tersaji menantang di tengah-tengah sudut itu. Tangan kiri Banowati meraih celah kewanitaannya, jemarinya membuka bibir bawahnya pelan-pelan sambil memain-mainkan kelentitnya. Caranya memain-mainkan kemaluannya sendiri hanya membuat dia makin basah, sehingga cairan kewanitaannya mengalir turun sampai melewati lubang duburnya dan membasahi sarung futon yang dia duduki. Banowati menjilat bibirnya sendiri selagi sepasang matanya yang lapar menatap Arjuna. Arjuna menelan ludah sambil menonton pertunjukan cabul itu.
“Maukah Raden?” undang Banowati. “Mbakyumu akan membawa kau ke puncak tertinggi…”
Sambil menyeringai lebar, dengan terburu-buru Arjuna langsung menerkam Banowati, saking tak sabarnya dia untuk merasakan perempuan itu setelah digoda sejak kedatangan si Banowati. Banowati menggerakkan kakinya ke depan seolah hendak menyambut kedatangan Arjuna. Kedua kaki Banowati merangkul dan menarik tubuh Arjuna sementara tangannya menyambut kejantanan Arjuna. Arjuna masuk dengan mudah, gerbang yang sudah becek itu terasa gampang dimasuki namun setelah di dalam, amat sempit dan kesat. Sambil bergerak maju-mundur menyenggamai Banowati, berganti-ganti antara cepat dan lambat, Arjuna terheran-heran dengan betapa peretnya liang kewanitaan Banowati. Tapi si permaisuri ini, rasanya seolah dia sedang bersenggama dengan perawan saja. Agaknya kuatnya jepitan Banowati termasuk satu hal yang melambungkan statusnya di mata Duryodana.

“Ahn… ahhh… ohh… Arjuna…- Raden … ungggh…”
Arjuna melihat ekspresi wajah Banowati yang seputih salju itu berganti-ganti, antara sakit dan nikmat. Dirasakannya kaki Banowati yang mengunci tubuhnya mendorong tubuhnya lebih dekat, seolah tak ingin melepasnya.
“Ehhh… enak sekali… ayolah Raden …” senyum Banowati terkembang sementara matanya terpejam, kata-katanya terlontar seolah tanpa dia pikirkan dulu. Arjuna hampir kehilangan akal merasakan bagaimana bagian dalam kewanitaan Banowati memijat-mijat dan merapat-merenggang secara bergantian di seputar kejantanannya, seolah-olah memijat batangnya. Belum pernah dia rasakan perempuan yang bisa melakukan itu. Apakah itu salah satu rahasia putra putri keraton prabu Salya? Arjuna memikirkan itu sambil mengulum telinga kanan Banowati, serta membenamkan hidungnya ke gelung rambut Banowati yang wangi. Banowati berubah posisi, kedua kakinya pindah dari punggung Arjuna, sekarang kedua betisnya dia sandarkan ke bahu Arjuna. Arjuna menarik mundur batangnya sampai hampir keluar, lalu mendesak sedalam mungkin. Dia mengulangi gerakan itu beberapa kali, dan setiap kali mendesak, Banowati menjerit lirih tanpa tertahan. Pinggul Banowati terus bergoyang mengimbangi gerakan Arjuna, kedua tangannya sekarang ada di samping kepala dan menggenggam seprei tempat tidur, sementara sepasang payudaranya berguncang-guncang mengikuti gerak Arjuna. Arjuna memang perkasa, sudah cukup lama persetubuhan mereka tapi dia tampak bisa bertahan. Sementara Banowati tampak sudah tak peduli lagi kalau di luar sana mungkin ada orang, dan mulai bersuara lebih keras seolah-olah ingin didengar semua orang di situ. Reaksinya makin liar, dia mulai menyentakkan kepala ke kanan-kiri sambil meremas-remas payudaranya sendiri. Teriakan-teriakannya yang penuh nafsu menerobos dinding kayu ruangan itu, didengar sayup-sayup oleh penjaga kamar Banowati yang jauh berada di luar pintu gerbang, ia terbengong-bengong membayangkan keelokan sang permaisuri. Keringat membasahi sekujur tubuh Banowati dan Arjuna selagi keduanya bertempur sengit demi kenikmatan. Dua tubuh itu bergerak pelan, setiap gerakan seakan ditakdirkan dalam cinta yang berbuncah dalam nafsu yang syahdu. Tak ada hentakan-hentakan yang kasar, tak ada remasan-remasan yang nakal, hanya gerakan penuh cinta yang membara.

Arjuna membalik tubuh mereka, membuat tubuh Banowati berada di atas, membiarkan wanita itu mengambil kendali. Duduk tegak di atas batang yang mengacung keras di dalam tubuhnya, Bergerak maju mundur dengan pelan, meremas batang Arjuna dengan lembut.
“Sayaaang,,, kalau terus seperti ini mungkin besok lusa baru selesai,,,”
Banowati tertawa. “Lhooo,,, memangnya kenapa sayang, biarkan mereka pulang duluan, kita lanjutkan liburan ini hanya berdua.”
“Hahahaa,,, memangnya kau sanggup terus melayani diriku,,,”
Kalau Raden dapat terus mengeras di dalam tubuhku, kenapa tidak, aku cukup tidur telentang dan menonton aksimu menikmati tubuhku,,, hihihik,,,” Banowati tertawa sambil terus menggerakkan pantatnya, duduk tegak memamerkan bongkahan payudara yang mancung di depan mata Arjuna.
“hahahaa,,, tapi tetap sajakan aku tidak bisa menyiram di dalam dirimu,,,”
Banowati menjatuhkan tubuhnya ke dada Arjuna. Menatap lekat mata si pejantan lananging jagad. Mereka kelelahan setelah memborong kenikmatan di atas ranjang. Banowati merebahkan kepala di dada telanjang Arjuna. Telinganya masih mendengar sisa-sisa gemuruh nafsu yang dilontarkan oleh jantung Arjuna.
“Raden, bercinta denganmu aku sangat bahagia.”
“Dengan Duryodana, bagaimana?”
“Tak seindah ini.”
“Anggap saja sebagai bonus, sayang.”
Mereka tertawa bersama. Lalu, diam. Entah siapa yang memulai. Hening sejenak, sebelum Arjuna angkat bicara.
“Kenapa diam?”
“Tiba-tiba aku menyesali dosa-dosa yang menyertai cinta kita ini, Adimas. Kenapa aku mengkhianati suami sebaik Duryodana, sih? Bahkan sampai bertahun-tahun seperti ini. Kamu juga menyesal, Raden?”
“Entahlah. Dosa-dosa yang sangat menyegarkan. Betapa nggak bermutunya cinta kita ya?”
“Hhh… nggak bermutu bagaimana, Raden? Bukankah hubungan cinta ini kita sebut sebagai cinta suci kita? Apa hanya karena didasarkan sekedar demi bonus kenikmatan, kah?”
“Embuh lah. Mau dibawa ke mana hubungan kita?”
Mereka segera berkemas dan kembali ke Hastinapura.

#####################
Banowati, siapa pun tahu, ia adalah permaisuri Prabu Duryodana raja Hastinapura. Kemolekannya terkenal seantero negeri. Duryodana sangat membanggakan permaisurinya itu. Namun, apakah Duryodana tidak mengetahui hubungan spesial antara istrinya itu dengan Arjuna yang sudah berlangsung selama separoh usia perkawinan mereka? Bukan tidak tahu. Pejabat maupun koleganya di Hastinapura beberapa kali melaporkan mengenai hubungan Banowati-Arjuna, ia selalu menepisnya. Ia terlalu cinta dan sayang kepada Banowati. Dewi Banowati berwatak jujur, penuh belas kasih, jatmika (penuh dengan sopan santun), tetapi agak sedikit genit. Lagi pula, ia merasakan cinta dan kasih Banowati tidak ada perubahan, juga kepada anak-anak mereka. Termasuk urusan di ranjang. Banowati yang pernah melahirkan dua anaknya, Lesmana Mandrakumara dan Lesmanawati itu sangat pandai merawat diri. Jadi, apa yang harus dicurigai dari istrinya itu? Wahai angin yang tak henti berhembus, itulah kelihaian Banowati. Memang sejak kapan sih percintaan Banowati dan Arjuna itu dimulai? Konon, sebelum Banowati direngkuh oleh Duryodana menjadi istrinya, ia dan Arjuna sudah pacaran. Jangan-jangan…. Lesmana Mandrakumara itu bukan anak Duryodana!

#######################
Suasana taman itu sejuk, angin mengalir dengan lancar.
Ada air yang mengucur dari tebing-tebing batu, ada pancuran buatan, bunga-bunga.
Kicauan burung dan degung lebah yang mencari madu, di tengah hamparan rumput itu, di bawah lindungan pohon sawo kecik, ada sebuah gazebo, dengan bangku-bangku kayu, dilingkari parit buatan, disitulah Arjuna, ksatria Pandawa dan Banowati, Permaisuri Kerajaan Hastinapura duduk bercinta-cintaan.
“Cinta kita ternyata tidak kampungan ya Raden!”
“Tentu. Cinta Arjuna adalah cinta dengan sebuah nilai tambah”.
“Maksud Raden?”
“Tidak perlu saya jelaskan. Kamu toh bisa merasakannya. Terasa kan?”
“Betul Raden. Raden lain dengan Gusti Suyudono!”
“Itulah yang kumaksud dengan nilai tambah! Sudah berapa lamakah kita bercinta-cintaan?”
“Baru dua jam Raden”.
“Maksudku sudah berapa tahun?”
“O, sudah lama. Tepatnya semenjak Lesmana Mandrakumara berada dalam kandungan
Sekarang Lesmana sudah remaja”.
“Berarti sudah belasan tahun ya?”
“Benar Raden. Sudah lama. Tapi mengapa Raden belum merasa bosan?”
“Kadang-kadang saya merasa bosan. Hidup ini kadang memang membosankan. Tapi di lain waktu
saya justru merasa mendapatkan kekuatan baru bila menghadapimu”.
“Tapi Raden, jangan terlalu banyak ngomong, Marilah kita mulai bercumbuan”.
“Mari!”
Arjuna dan Banowati lalu bercumbu lalu dilanjutkan dengan hubungan seks di gazebo itu. Mereka main sudah cukup lama bercinta ketika Banowati merasa bahwa Arjuna hanya tinggal menunggu waktu saja untuk mencapai puncak, Arjuna juga mempercepat gerakannya, menusuk Banowati makin brutal dengan “batang pusaka”-nya selagi jerit rintih sakit campur nikmat sang permaisuri bergema memecah malam. Puncaknya sampai ketika Arjuna muncrat di dalam rahim Banowati, mengosongkan benih yang tersimpan dalam tubuhnya dalam beberapa sempburan sambil melenguh lega. Dan bagaimana dengan Banowati? Banowati menjerit keras dan lama, wajahnya banjir keringat, dan liang kewanitaannya menjepit erat kejantanan Arjuna . Sang permaisuri melakukan sesuatu yang sedari tadi tidak dilakukannya. Dia meraih wajah Arjuna dan mencium bibirnya. Arjuna, yang menahan diri karena dia menganggap Banowati mungkin tak suka kalau dia melakukan sesuatu yang bisa merusak rias wajah sempurna itu, menyambut bibir dan lidah sang permaisuri dengan senang hati.
“Raden ingin menyirami dalam diriku?,,, ingin memenuhi rahimku yang tengah subur dengan bibitmu?,,,” tanya Banowati, tersenyum menggoda.
“Seandainya boleh,,,” ucap Arjuna, meremas pantat Banowati dan menekannya ke bawah, membuat batangnya menyundul pintu rahim si wanita.
“Ooowwwhhsss,,, ,, Arjunaaa,, apa Raden bisa merasakan mulut rahim yang tengah dihuni telurku,, sayaaang?,,,” Banowati mengusap pipi Arjuna, sambil mengulek batang Arjuna yang berusaha menyelusup lebih dalam.
“Eeemmmhhh,,, aaahhsss,, Hanya kau yang mampu menyentuh sisi terdalam garba-ku,,, benihmu pasti tidak akan kesulitan untuk membuahiku,,,”

Tiba-tiba Arjuna menggeleng, “Kau ingin membuatku merasa bersalah pada Kurupati?,,,”
Kata-kata itu membuat si wanita tertegun, gerakannya terhenti.
 “Sayaaang,,, tak perlu memikirkan itu,,, sekarang aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita,,,” seru Arjuna, tangannya mendorong tubuh Banowati untuk kembali menduduki penisnya. Lalu meremas payudara Banowati. “Aku ingin melihatmu mengendarai tubuhku sayang,,,”
 Wanita itu tertawa. “Hahaaha,, aku ngga bisa sayaaang,,, selama bersama kakang  Duryudana kami lebih sering melakukan gaya yang biasa,,, Duryudana tak secerewet kamu,,, jadi jangan meminta yang aneh-aneh yaaa,,, aku maluu,,,hahhh,,,”
Tiba-tiba Banowati teringat saat tubuhnya bergerak liar meladeni keinginan Duryudana, kejadian yang akan membuatnya begitu malu setiap teringat kejadian itu.
“Yaa,, tapi sekarang kau akan melakukan itu untukku,,,” ucap Arjuna dengan gaya keren, melipat kedua tangannya kebawah kepala. “Ok,,, pertunjukan satu nyonya permaisuri,,,” sambungnya, memandang Banowati menunggu wanita itu beraksi.
“Hahhhh,, kau paling pinter membuatku malu,,, tapi jangan diketawain ya,,,”
Banowati menekuk kedua lututnya, berpegangan pada perut Arjuna, lalu perlahan mengangkat pinggul membuat batang Arjuna hampir terlepas, lalu dengan cepat kembali menghentak ke bawah.
“Ooooowwwsshhh,,,,” wanita itu kaget, ternyata gerakan yang dilakukan dengan terpaksa itu membuat lorong vaginanya terasa begitu nikmat, semakin cepat tubuhnya bergerak semakin rahimnya ketagihan, semakin kuat pantatnya menghentak semakin besar nikmat yang dirasakan oleh lorong rahimnya. Kali ini Banowati lebih bisa menikmati ulah nakalnya, sambil terengah-engah tersenyum puas melihat wajah Arjuna yang merem melek menikmati servis dari kelaminnya. Tapi itu justru membuatnya semakin bersemangat mengejar kenikmatan puncak.
“Arjunaku,,, ayo sayaaaang,,, aku ingin kau yang melakukannya untukku,,,” Banowati menarik tubuh Arjuna untuk kembali menindih tubuhnya. Merentang lebar pahanya. Memeluk erat tubuh Arjuna, mendesah penuh birahi ditelinga si lelaki yang mulai memacu tubuhnya dengan kecepatan tinggi.
“Ooowwwssshh,,, Arjuna kuu,,, akuuuu hanyaaa ingiin dirimuu,,, Ssshhh,,,”
“Aku ingin dirimu yang selaaaluuu mengiissiii dirikuuu sayaaang,,,”
“Oooowwwhhh,,, Saaaaayaaang bawaaa aku kepuncak sayaaang,,,”
Menjambak rambut sipejantan, memberi perintah tepat didepan wajahnya dengan suara menggeram nikmat, Tubuhnya Banowati melengkung mengangkat pantatnya lebih tinggi, mengejar batang Arjuna yang begitu cepat menggasak di liangnya yang sempit.
“Yyang keraas,,, Aaaggghh,,,”
“lebiiihh dalaaaam,,, Aggghhh,,, kaaauu bisaaa,,,”
“Radennn pastiii bisaaa membuahi sayaaaang,,,”
Banowati sadar apa yang diucapkannya, memohon pada lelaki yang bukan suaminya ini untuk menitipkan benih di rahimnya. Mendengar permohonan Banowati, Arjuna menghentak batangnya dengan kalap.
“Aaaagghh,,, Aku tidaaak bisa Mbakyuu,,,”
Tiba-tiba Banowati menatap Arjuna garang.
“Ku mohon sirami diriku Raden,,, izinkan aku pergi membawa buah cinta kita,,, Aaaghhhh,,,”
Dua tubuh yang tengah berpacu dalam birahi tinggi itu berdebat di antara decakan alat kawin yang membanjir. Di antara batang yang menghujam dengan ganas. Di antara liang senggama yang terus menyambut hujaman dan melumatnya dengan jepitan yang kuat.

“Tidaaak Mbakyuu,,, Agggghhhh,, aku maaau keluaaarr,,,”
“Oowwhh,, oowwhh,,,Aaaaku,,, owwhh,,,siaaap saayaaaang,,, hamilii akuuu,, sekaaaarang,,,”
“lepaaass sayaaaang,,, aku tidaaak bisaaa,,,”
“Ooowwwghhh,,, Gilaaa,,, gilaaa,,, aku saaampaii,,, aku keluaaarr,,,”
Banowati meregang orgasme, suaranya terengah-engah,,, melonjak-lonjak dengan mulut terbuka,,, menatap Arjuna memproklamirkan kenikmatan yang didapat. Tangannya meremas kuat pantat lelaki yang menindih tubuhnya. Dengan sepasang kaki yang menyilang mengunci paha Arjuna. Lagi-lagi Arjuna menggelengkan kepala. bisa saja dirinya dengan paksa melepaskan tubuh Banowati. Tapi kelamin milik Banowati yang tengah orgasme mencengkram penisnya dengan sangat kuat, terasa begitu nikmat, seakan ingin memisahkan batang itu dari tubuhnya. Memaksa spermanya menghambur keluar.
“Aaagghhh Mbakyuu,,,”
Arjuna meminta ketegasan dari apa yang akan dilakukan. Banowati yang masih dirudung orgasme panjang, hanya bisa mengangguk dengan nafas memburu, tatapan birahi nan syahdu yang mengemis sebuah siraman benih di rahimnya. Setelah berusaha menjejalkan penisnya lebih dalam, Arjuna memeluk tubuh Banowati yang membuka lebar pahanya, menapak di kasur membuat pantatnya melengkung keatas, membantu usaha Arjuna menjejali pintu rahimnya.
“Mbakyuu,,, Owwwhhh,,, sayaaaang,,, aku keluaaaaar,,, aku keluar di kelamin milikmu sayaaang,,, Ooowwhh,,,” pinggul lelaki itu mengejat, dengan kepala jamur besar yang menghambur cairan semen disertai ribuan benih kehidupan.
“Terimalaaah Mbakyuu,,, biarkan semua memasuki tubuhmu, sayaaang,,,” Arjuna terus berusaha mendorong penisnya lebih dalam, dengan semprotan kuat menggelitik daging yang sensitif.
Aksi Arjuna membuat Banowati kalang kabut, penis Arjuna serasa semakin membesar dalam jepitan kewanitaannya.
“Oooowwwhhh,,, Arjuna kuuh,,, akuuu,, akuuu keluar lagiii,,,” orgasme tiba-tiba kembali menyapa tubuhnya. Ikut mengejang dibawah tindihan tubuh Arjuna yang tengah mentransfer bermili-mili sperma kedalam tubuhnya.
Dua tubuh itu melonjak-lonjak, masing-masing sibuk menikmati aktifitas yang terjadi di alat kelamin mereka. Penis yang mengeras sempurna, menghambur beribu-ribu bibit cinta. Dan kelamin yang mencengkram kuat batang sang kekasih, berkedut, memijat ritmis pusaka sang penjantan, seolah memaksa menguras habis persedian sperma dari kantungnya.
“Oooowwwgghhh,, edaann,,, nikmat banget sayaaang,, edaann,,,”
Banowati terkapar, berusaha mengisi rongga paru dengan oksigen, menatap Arjuna yang masih mencari-cari kenikmatan tersisa yang didapat dari kelamin kekasihnya. Hingga akhirnya terdiam, tertelungkup menindih tubuh si wanita yang tersenyum puas.
“Mbakyu,,, apa kau sadar, dengan yang baru saja kita lakukan?,,,” tanya Arjuna, sambil menciumi wajah cantik Banowati.
“Yaaa,,, aku sadar,,, terimakasih sayang,,, terimakasih untuk yang sudah kau berikan ini,,, semoga memang terjadi, dan biarkan aku membawa titipan mu ini pergi,,,”
Banowati tersenyum, membiarkan bibir Arjuna bermain-main di wajahnya.
“Apa Raden bisa menikmati, menuntaskan semua di dalam tubuhku?,,,”
“Nikmat bangeeet,,, nikmat banget sayang,,, milikmu seperti menghisap habis semua benihku,,,”

##########################
Siang terasa tidak begitu panas, istana memang lagi sepi hanya ada satpam, staf sekretariat, klining servis dan dayang-dayang. Namun sebelum Arjuna datang mereka sudah diusir pergi oleh Gusti Ratu Banowati
“Mbok! Semua harus menyingkir jauh-jauh, Taman ini harus dikosongkan dan dijaga, jangan sampai ada orang mendekat.
Aku berniat untuk melakukan semedi. Menyatu dengan Sang Hyang Widi. Mengerti Mbok?”
“Sendiko Gusti”.
“Kalau aku belum keluar dari taman ini, Apapun yang terjadi tak ada seorangpun yang boleh masuk kemari. Mengerti Mbok?”
“Sendiko Gusti”.
“Supaya aku tidak kehausan ketika selesai semedi, coba kamu siapkan minuman dan nyamikan”.
“Sendiko Gusti”.
“Sekarang kamu boleh pergi”.
“Sendiko Gusti”.
Taman Istana Hastinapura siang itu sepi dan aman. Banowati mendapatkan beberapa nilai tambah dari Arjuna, jantung hatinya
“Raden. Sudah ada berapa cupang di leher saya?”
“Kalau tidak salah enam”.
“Mengapa tidak tujuh Raden?”
“Kalau kau maunya tujuh ya nanti kutambah”.
“Cukup Raden. Aku sudah mendapatkan nilai tambah itu”.
“Kau hanya bisa merasakannya”.
“Benar Raden. Aku bisa merasakan betapa menyegarkan dosa ini!”
“Dosa? Jadi kau menganggap cinta kita ini sebagai sebuah dosa”.
“Bukan sebagai dosa. Memang dosa Raden”.
Arjuna terdiam, Banowati memandangi rumputan, rambutnya tergerai dimainkan angin
mata Banowati berkaca-kaca, tak lama kemudian dia menangis. Arjuna buru-buru memeluknya, Banowati lalu menyandarkan kepalanya ke dada Arjuna setelah tangis Banowati reda Arjuna berkata
“Tangis adalah bagian dari Cinta”.
“Bagian dari dosa”.
“Dosa juga bagian dari kehidupan, Jadi sangat manusiawi”.
“Aku sedang menyesali dosa-dosa itu Raden. Mengapa aku sudah mengkhianati Gusti Suyudono sampai belasan tahun. Sekedar untuk mendapatkan sebuah nilai tambah. Kurasa itu sangat kampungan Raden”.
“Aku setuju. Aku mengerti”.
“Kadang-kadang kita ini memang sangat kampungan. Cobalah bayangkan, Seluruh taman ini dikosongkan. Dijaga Supaya kita bisa puas bercumbuan bahkan berhubungan intim”.
“Mereka tahunya junjungannya sedang semedi menyatu dengan Hyang Widi”.
“Itu lebih kampungan lagi”.
“Betul. Tapi akan lebih kampungan lagi bila kau terus terang pada mereka”.
“Yang kutakutkan jangan-jangan sebenarnya mereka semua tahu”.
“Memang mereka tahu. Itu pasti, Tapi mau apa? Anda adalah Permaisuri Kerajaan Hastinapura”.
“Ya. Betapa mahalnya sebuah nilai tambah”
“Memang”
“Bagaimana kalau kita mulai lagi Raden?”
“Setuju”
Angin mendesau, matahari tambah bergeser ke arah barat, keringat membasahi wajah dan leher Banowati.

“Mbakyu Banowati… maafkan.. aku telah…” belum sempat Arjuna menyelesaikan kalimat dengan bernafsu Banowati mencari bibir Arjuna dan menciuminya dengan garang. Oh,… gelagapan Arjuna dibuatnya. Ia tidak tahu, apakah Banowati marah atau sudah terangsang…. Arjuna membalas ciuman itu, lidahnya terjulur dan bertemu dengan lidah sang dewi. Beberapa saat lamanya lidah mereka berjalin seperti tak mau lepas. Tanpa banyak berkata-kata sang putri menurunkan gaunnya ke bawah, menampakkan dua gumpal buah dada yang tidak memakai beha. Puting susunya meruncing dan tegang.
“Aku terangsang sekali membayangkan kita berdua tadi….“ katanya terengah sambil mengasongkan kedua susunya ke arah Arjuna.
Arjunapun menyambut, tangan kiri meremas dan mulut mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba gerakan Arjuna terhenti. Dengan wajah kaget Banowati menatap heran. Arjuna lupa menggatungkan sejata panah yang dibawanya tadi. Gadis itu tersenyum dan merekapun melanjutkan permainan hangat ini. Buah dada besar montok dan kenyal itu ia kunyah sepuas hati.
Banowati mendesah keenakan. Jemarinya mencengkram kepala, mengusutkan rambut Arjuna. Masih dalam posisi duduk sang dewi yang cantik luar biasa ini mengangkang .. melepas gaunnya yang sudah setengah terbuka…. Dia pun tidak bercelana dalam sehingga gundukan vaginanya yang tebal dan tidak berambut itu merekah di depan Arjuna. Cairan bening meluap keluar. Mengalir di sela-sela celah kemaluannya. Di tak pedulikannya. Dibiarkan lendir bening itu mengalir…. Bahkan dia menyuruh Arjuna untuk memegangnya… jemarinya menyelusup ke liang senggama Banowati, hangat dan sangat basah oleh cairan pelicin. Disentuh klentitnya yang merah oleh Arjuna dengan ujung jemari.
“Akhh….” Banowati melolong tertahan.
“Geli, Raden!” desahnya tersentak. Kemudian sembari memeluk leher, dan mencium kening Raden Arjuna dia mengajak ke dipan tempat mereka pernah bercinta.
Tak banyak cingcong ia rengkuh dan gendong tubuh hangat Banowati ke pembaringan itu. Di sana ia baringkan. Tapi ketika pemuda itu hendak membuka celana, tiba-tiba sang permaisuri mendudukkan tubuhnya yang sudah bugil itu. Arjuna heran, apa yang akan dia perbuat.
“Bukalah celanamu, Raden!” katanya tak sabar sembari menarik kancing celana panjang Raden Arjuna. Setelah memelorotkan celana dalam, dengan sangat bernafsu sang dewi memegangi pangkal kemaluan Arjuna yang kembali menegang.
“Besar dan nikmat….” Seru Banowati sambil meremas-remas kemaluan Raden Arjuna.
“Sekarang giliranku…” katanya agak keras.

Dewi Banowati turun dari dipan dan berdiri di samping Arjuna, di dorongnya dada ke arah pembaringan, menyuruh Arjuna berbaring disana. Ia menurut. Setelah Arjuna berbaring, dewi Banowati pun menaikkan sebelah kakinya dan mengangkang di atas. Perlahan dia menekuk tubuh Arjuna dan memeluk dari atas.
“Masukkan, Raden.” Pintanya dengan nada gemas. Ia memegang batang kelamin itu dan memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian dengan agak kasar Banowati menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluan itu masuk lebih dalam ke tubuhnya.
“Ehhhhh…. Hhhhh” desahnya kacau seperti anak kecil yang rakus menetek di susu ibunya. Dalam posisi di atas dia menaik turunkan pantatnya dengan cepat… oh… batang kemaluan itu dicengkram dan di gesek-gesek seperti itu. Geli rasanya.
Posisi di bawah jarang dilakukan Arjuna …. Tapi kali ini ia menerima saja, karena ia ingin menikmati layanan Banowati. Kali ini Banowati yang giat menekan-nekankan pantatnya, maksudnya supaya punya Arjuna masuk lebih dalam. Sembari memeluk erat, sang dewi terus mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek crek crek terdengar lagi… kali ini bahkan di tingkahi oleh jeritan-jeritan kecil yang keluar dari mulut kekasihnya. Arjuna terus berbaring sembari meremas-remas pantatnya yang mulai berpeluh itu. Cairan vagina terasa terus merembes dari kemaluan Banowati. Dia sudah sangat terangsang. Liang kemaluannya sangat basah dan panas. Sesekali ia menekan dan menahan. Seolah hendak melumat habis seluruh kemaluan Arjuna dengan vaginanya. Terang saja Arjunapun semakin keenakan. Diam beberapa saat menahan tekanan, Banowati pun mengendurkan dan memulai lagi gerakan naik turunnya. Arjuna terus meremas-remas pantatnya. Dadanya yang kenyal itu menekan ke arah dada Arjuna, hampir membuatnya sesak nafas. Tapi Arjuna pasrah.. lha wong enak rasanya.
Selama sepuluh menit Banowati bergerak naik turun, nggak cape-cape kelihatannya. Tubuhnya semakin basah oleh keringat, bahkan wajahnya sudah dipenuhi keringat sebesar-besar biji jagung. Sebagian mengalir ke ujung hidung dan menitik menimpa wajah Arjuna. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang tergerai. Arjuna mencoba memiringkan kepala mencoba menghindari tetesan keringat dari wajahnya yang ayu.  Saat itulah Banowati menengadah dan menyurukkan kepalanya ke leher, memeluk Arjuna dengan kuat dan mulai mendesah berkepanjangan. Pantatnya menekan kuat sampai seolah kemaluan itu mau ditelannya sampai habis.
“Raden.. enak sekali.. ahh” terasa kemaluan Banowati berdenyut hebat, tubuhnya bergetar tak kuasa menahan nikmat… nafasnya sangat memburu… dan..
Banowati pun lunglai dalam pelukan…. Sementara air mani gadis itu mengalir tak tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai bagian perut Arjuna.. dipeluknya gadis itu di punggungnya… membiarkan ia mengendurkan syaraf setelah tadi sangat tegang menikmati puncak orgasmenya. Sampai beberapa menit mereka masih berpelukan, kejantanan yang masih tegang itu masih berada di dalam ’sangkar’-nya. Banowati diam tak bergerak dalam pelukan Raden Arjuna, sepertinya dia lupa ada sesuatu yang bersemayam dalam tubuhnya. Perlahan gadisnya ini mengatur nafasnya yang tidak teratur. Setelah agak reda… perlahan Banowati bangkit dan melepas persetubuhan mereka. Lambat ia mengangkat pantatnya ke atas. Perlahan alat kelamin itu keluar dari vagina Banowati. Ketika sudah keluar seluruhnya…. Cairan vagina yang kental nampak melumuri batang kemaluan Arjuna. Ketika bagian ‘kepala’-nya akan keluar terdengar seperti bunyi plastik lengket yang basah akan di lepas. Clep..crrrek. Banowati tersenyum mendengar suara itu. Entah suara lipatan kemaluannya atau karena lendir yang begitu banyak melumuri batang kemaluan Arjuna.

########################
Arjuna dan Banowati mulai merasa bosan dan capek
“Anda masih mau lagi Raden?”
“Terserah situ”.
“Jadi Raden belum puas?”
“Manusia tidak pernah merasa puas dalam segala hal”.
“Jawaban Raden terlalu ilmiah untuk urusan seks”.
“Ya, kadang-kadang aku memang tidak cukup puas dengan sekedar predikat ksatria, pemanah ulung, play boy jempolan dan lain-lain itu. Kadang-kadang saya juga punya ambisi untuk jadi ilmuwan. Gombal ya?”
“Kampungan Raden!”
“Benar. Hari sudah akan sore. Sebaiknya Kangmasmu segera pergi”.
“Hati-hati Raden. Jangan sampai kepergok satpam”.
“Jangan risau mbakyu. Arjuna sudah berpengalaman puluhan tahun dalam menghadapi satpam. Permisi”.
“Mari Raden. Kuantar sampai ujung tembok”.
“Tidak usah”.
“Baik Raden”.
 “Cepatlah berkemas, kita segera kembali ke Hastinapura. Jangan membuat Duryodana mencurigai hubungan kita,” kata Arjuna sambil melepas tangan Banowati yang melingkar di pinggangnya.
“Aku masih ingin bersamamu, Raden,” jawab Banowati manja.
“Iya. Aku pun begitu,” tukas Arjuna.

##########################
Senja belum juga turun, namun Banowati sudah sampai di istananya. Langkah-langkah kakinya kali ini tidak seringan seperti kemarin sehabis berkencan dengan Arjuna. Ia merasa pandangan mata orang yang dijumpai di istana itu mengandung kebencian di hati mereka. O, apakah perasaan ini tanda-tanda rasa bersalahnya karena telah mengkhianati perkawinannya dengan Duryodana? Embuh ra urus! Ia segera masuk ke kamarnya. Di sana ia menemukan Duryodana yang sedang leyeh-leyeh setelah seharian bekerja keras.
“Bagaimana acara semedi-mu di villa kita semalam, sayang?” sapa Duryodana sambil mengecup kening Banowati. Semedi? Hihihik … Banowati punya seribu macam alasan untuk bisa berkencan dengan Arjuna, salah satunya bersemedi di villa mereka.
Banowati hanya memberikan seulas senyum menggairahkan. Dan itu telah membuat lelah Duryodana hilang seketika. Dalam kisah Mahabarata, Duryudana dikenal sebagai tokoh antagonis. Dia memiliki sifat dan sikap yang buruk. Berbagai watak yang tidak baik seperti tidak peduli,mau menang sendiri, kejam dan tidak menghargai dan mengindahkan nasehat para sesepuh dan berbagai watak yang tidak baik lainnya sudah menjadi watak kesehariannya. Namun Untuk urusan cinta dan kasih sayang kepada istrinya, Duryudana sangat berbeda dengan sifat kesehariannya. Duryudana menjadi sosok yang luar biasa dan mungkin bisa menjadi contoh yang baik dalam mencintai dan mampu menerima cinta apa adanya. Bahkan kesetiaan dia terhadap istrinya sangat tidak masuk akal.
“Para Dewa  selalu memberikan berkatnya padamu, sayang,” kata Duryodana.
“Kenapa begitu, Mas?” tanya Banowati sambil melingkarkan tangannya pada leher suaminya.
“Begini… setiap kali kamu selesai bersemedi, wajahmu selalu sumringah. Bukankah itu pertanda para Dewa memberkatimu, istriku?” kata Duryodana.
Mereka berpagutan. Lalu, sya…la…la…Mendengar permintaan Duryodana yang sudah terlanjur horny berat, mau tak mau pun pada akhirnya ia mau berrsetubuh sebagai istrinya yang tercinta. Walau di tiap persetubuhan itu, Duryodana tahu jika Banowati sama sekali tak menikmati sodokan batang penisnya.
“Bagaimana Banowati bisa merasakan enak… jika setiap kali aku menyetubuhi lubang kenikmatannya, lubang itu terasa begitu los… dan longgar…“ batin Duryodana.
“Aku hampir sama sekali tak merasakan gesekan nikmat pada dinding vaginanya sama sekali…”
Jelas saja yoni milik istrinya itu menjadi longgar, jika pada percintaan sebelumnya, vagina itu telah disesaki oleh batang lelaki yang sebesar gada rujakpolo.
Digerakkannya pinggulnya maju mundur, berusaha merasakan kenikmatan yang masih tersisa. Dengan kedua tangannya yang bebas, Duryodana mulai meraba dan meremas kedua pantat bulat istrinya. Lagi-lagi, ia rasakan lubang yoni milik istrinya begitu kopong, sama sekali tak menggigit. Mungkin sejak melahirkan dua anaknya. Iseng. Duryodana mulai meraba lubang anusn istrinya.
“Hei…. Mas….” Hardik Istrinya. “Jangan pernah coba buat masukin linggamu dalam pintu belakangku mas… …” ucap Banowati mengingatkan Duryodana setiap kali ia mencoba untuk menyentuh lubang anusnya. Duryodana senang melakukan itu dengan para selirnya. Sekilas, Duryodana sebenarnya ingin membunuh mereka berdua dan memotong lingga panjang milik Arjuna dengan pisau yang selalu ada di pinggangnya. Tapi Duryodana sama sekali tak ada niatan kuat untuk melakukan hal itu. Yang bisa dilakukan hanyalah menerima segala perlakuan mereka padanya. Padahal, Duryodana ingin sekali untuk dapat mencoba merasakan kenikmatan dengan istrinya. Tapi sudahlah, rasa untuk ingin merasakan Seks yang hot dengan istrinya sendiri hanyalah mimpi, toh diberi yoni milik istrinya ini saja Duryodana sudah bahagia. Walau sedikit sekali merasakan kenikmatan  pada vagina Banowati, setelah beberapa menit menggoyang-goyangkan pinggulnya, pada akhirnya Duryodana berhasil juga membuang sperma panas pada yoni milik istrinya. Okelah, mungkin saat ini, ia bisa membiarkan mereka berpuas-puas diri untuk saling menyetubuhi di dalam tempat lain, tapi hati-2 setelah perang Mahabarata ini usai. Kembali tergambar, masa dimana Banowati akhirnya berhasil dinikahinya meskipun dia tahu bahwa tak akan pernah mampu memiliki hati dan cintanya. Cinta kasih Banowati telah terengkuh dibawa pergi oleh Arjuna. Duryudana sadar akan kelemahan dirinya. Namun cintanya begitu telah tertanam dan tertancap kuat dalam relung hatinya. Biarlah apa kata orang tentang istrinya ataupun apapun sikap istrinya terhadap dirinya yang adakalanya tersirat mengungkapkan harapan sejatinya, baginya Banowati adalah satu-satunya wanodya (wanita) yang dikasihinya sepenuh hatidan tiada tergantikan. Meskipun bila dia mau puluhan bahkan ratusan wanita yang tidak kalah cantik dengan Banowati mampu didapatkannya, namun Duryudana tiada mau melakukan itu, karena Banowati selalu memenuhi pandangan di setiap sisi hatinya.

#######################
Di hari lain, Taman Istana Hastinapura siang itu sepi dan aman. Banowati mendapatkan beberapa nilai tambah dari Arjuna, jantung hatinya.
“Bagaimana kalau kita mulai lagi Raden?”
“Setuju”
Angin mendesau, matahari tambah bergeser ke arah barat, keringat membasahi wajah dan leher Banowati. Selembar daun sawo kecik yang telah agak menguning lepas dari ranting lalu melayang jatuh. Siang itu, seluruh Warga Kurawa sedang keluar kota untuk menumpas gerombolan pengacau keamanan yang dimotori oleh para Pandawa.  Kira-kira menjelang sore, Arjuna dan Banowati mulai merasa bosan dan capek.
“Anda masih mau lagi Raden?”
“Terserah situ”.
“Jadi Raden belum puas?”
“Manusia tidak pernah merasa puas dalam segala hal”.
“Jawaban Raden terlalu ilmiah untuk urusan seks”.
“Ya, kadang-kadang aku memang tidak cukup puas dengan sekedar predikat ksatria, pemanah ulung, play boy jempolan dan lain-lain itu. Kadang-kadang saya juga punya ambisi untuk jadi ilmuwan. Gombal ya?”
“Kampungan Raden!”
“Benar. Hari sudah akan sore. Sebaiknya Kangmasmu segera pergi”.
“Hati-hati Raden. Jangan sampai kepergok satpam”.
“Jangan risau mbakyu. Arjuna sudah berpengalaman
puluhan tahun dalam menghadapi satpam. Permisi”.
“Mari Raden. Kuantar sampai ujung tembok”.
“Tidak usah”.
“Baik Raden”.
Arjuna pergi. Banowati sendirian, dia lalu merapikan pakaian, rambut, make up, minum jamu galian singset, lalu melangkah ke luar taman. Di pintu taman itu satpam perempuan menghaturkan sembah.
Banowati membalas dengan sedikit mengangkat telapak tangan lalu melaju ke keputren.
Disana dayang-dayang sudah menunggu ketika junjungan mereka itu datang dan langsung masuk kamar. Dayang-dayang itu berbisik-bisik mendiskusikan junjungan mereka.
“Habis semedi, wajah Gusti ratu berbinar-binar”.
“Hyang Widi memang memberkatinya”.
“Tapi Gusti Ratu capek sekali tampaknya”.
“Ya, beliau langsung tidur”.
“Itulah Ratu”
“Beliau memang Ratu”
“Permaisuri.”
“Ya Permaisuri raja Gung Binatara”
Banowati Permaisuri Kerajaan Hastinapura, tertidur pulas, dengan menyungging senyum.
udara berangsur dingin, bersamaan dengan tenggelamnya Hyang Bagaskara, para fungsionaris Golongan Kurawa pun berdatangan dari luar kota. Istana kembali ramai, dayang-dayang sibuk, menyiapkan air hangat, minuman, dan makan malam.

#########################
Sebagai istri Kurupati, Dewi Banowati tidak pernah bisa melupakan lelaki pujaannya, Arjuna. Dan, Arjuna yang senantiasa dikuasai nafsu pun mengambil kesempatan di antara intrik politik dan kekuasaan menjelang perang Baratayudha dengan menemui dan mengajak Banowati berasyik masyuk di hutan perbatasan Astina. Perbuatan Dewi Banowati ini sebenarnya telah diketahui oleh pihak Kurawa, yakni Dursasana. Kepercayaan dan cinta Sang Kurupati yang demikian besar pada Dewi Banowati serta pergulatan menghadapi Pandawa untuk mempertahankan kekuasaan, sehingga mengabaikan laporan Dursasana yang memang berwatak brangasan atau tak sopan. Pada akhirnya, setelah Baratayudha selesai dengan kemenangan Pandawa, Dewi Banowati kembali kepelukan Arjuna. Salah satu pihak Kurawa yang selamat, yakni Aswatama putra Resi Durna, menyelinap diperkemahan Pandawa dan membunuh Dewi Banowati yang dianggap sebagai pengkhianat dan mata-mata yang menyebabkan kekalahan Kurawa. Lesmana anak siapa? Duryodana jingkrak-jingkrak gembira ketika Banowati mengabarkan kalau dirinya positif hamil. Lanang tenan, itulah predikat yang layak disandangkan kepada Duryodana yang saat itu baru dinobatkan sebagai raja muda Hastinapura yang kelak akan mewarisi tahta dari ayahnya. Dan, kabar kalau permaisurinya tengah mengandung calon jabang bayi, tentu saja ia bahagia bukan main. Duryodana bakal punya putra mahkota – dan ia sangat berharap anak yang lahir kelak adalah lelaki. Duryodana makin sayang kepada Banowati, permaisuri yang jelita. Ia perintahkan kepada para dayang untuk melayani 24 jam kebutuhan Banowati. Kandungan Banowati kudu sehat. Ia harus melahirkan manusia berkualitas, karena ia akan menjadi calon raja negara yang super power seantero jagad perwayangan. Banowati memanfaatkan kebaikan suaminya untuk merajuk jika ia menginginkan sesuatu hal, dan tanpa pikir panjang Duryodana mengabulkan keinginan istrinya. Kali ini – ini alasan yang bertama kali ia bikin – Banowati ingin menyegarkan pikiran di pesanggrahan di atas bukit yang tempatnya sangat sejuk dan tenang untuk tetirah. Duryodana tentu saja mengizinkan disertai permintaan maaf karena tak bisa mendampingi istrinya.
“Yes!!!” pekik Banowati, lirih.

######################
Di pesanggarahan Arjuna gelisah menunggu kedatangan Banowati. Sudah hampir dua bulan ia tak berjumpa dengan kekasih hatinya. Dasar Arjuna, pesan yang ia bawa melalui orang kepercayaannya sampai juga ke tangan Banowati dan disepakati untuk bertemu-kencan di pesanggrahan. Mereka pun melakukan olah-asmara seperti orang yang sangat kehausan di padang gersang. Edan. Cinta buta memang sering membuat gila orang yang melakoninya. Tapi, itulah cinta. Mereka tak bisa membedakan, cinta karena anugerah atawa cuma birahi semata? Embuh, ora urus.
“Say, perutmu agak gendut ya?” tanya Arjuna sambil mengelus perut Banowati.
“Iya. Di dalamnya ada anakmu!’ kata Banowati, kenes.
Mereka tertawa. Banowati bersandar di dinding, gadis hamil itu duduk sambil memeluk kedua lututnya. Setengah busana atasnya masih rapi tapi seluruh rok dan celananya sudah terbuka. Menampakkan kedua paha yang putih mulus dan montok. Sementara tumpukan daging putih kemerahan menyembul di sela rambut-rambut hitam yang nampak baru dicukur.
Sedikit tengadah dan dengan tatapan mata sendu ia berujar lirih…  “Masukkanlah, Raden! Aku juga ingin menikmatinya….”
Arjuna hanya terdiam.. mereka sama-sama sudah membuka busana bagian bawah, beberapa menit kemudian mereka bergelut di pojok ruangan itu. Dengan penuh nafsu ditekankan tubuhnya ke tubuh Permaisuri itu. Banowati membalas dengan merengkuh leher Arjuna dan menciuminya penuh nafsu.
Tubuh Banowati terasa panas dan membara oleh gairah, bertubi-tubi diciuminya leher, pundak dan buah dadanya yang kenyal dan besar itu. Ia hanya melenguh-lenguh melepas nafasnya yang menderu. Setiap remasan dan kuluman… diiringi dengan erangan penuh kenikmatan. Tanpa disuruh Banowati membuka sebagian kancing bajunya. Menampakkan onggokan buah dada yang membulat dan putih. Tanpa membuka tali beha Banowati mengeluarkan buah dadanya itu dan mengasongkannya ke mulut Arjuna. Dengan rakus dikulumnya buah dada besar Banowati sepenuh mulut Arjuna. Banowati mengerang antara sakit dan enak. Nafas Arjuna pun semakin tersendat, hidung Arjuna beberapa kali terbenam ke bulatan kenyal dan hangat itu. Puncak dadanya basah oleh air liur Arjuna yang meluap karena nafsu. Licin dan agak susah meraih puting susunya yang mungil kemerahan itu. Jelas sekali kulihat proses peregangannya. Semula puting susu itu terbenam, namun dalam sekejap saja dia keluar menonjol dan mengeras. Banowati tahu susah mengulumnya tanpa memegang karena Arjuna mencengkram erat leher dan pinggang Permaisuri itu. Tanpa menunggu waktu Banowati memegangi buah dadanya dan mengarahkan putingnya ke mulut Arjuna. Arjuna pun mengulumnya seperti bayi yang kehausan. Mengulum dan menyedot sampai terdengar berbunyi mendecap-decap. Ia lihat Permaisuri itu, dalam sayu matanya merasakan kenikmatan, bibirnya tersungging senyuman dan tawa kecil.
‘Gigit sedikit, Raden.’ pintanya pada Arjuna.
Arjuna menuruti kemauannya, dengan gigi ia gigit sedikit puting susunya.
‘Aih….’ Jeritnya lirih sambil menggigit bibir. Barangkali ia tengah merasakan sensasi rangsangan nikmat luar biasa di bagian itu. Arjuna merasakan tubuhnya melunglai menahan nikmat.
Kemudian tubuh mereka saling mendekap semakin rapat. Gairah dan rangsangan nikmat menjalar dan memompa alirah darah semakin kencang. Secara naluriah Arjuna menyelusuri tubuh sintal Banowati. Mulai dari leher, terus ke punggung, meremas daging hangat di pinggul… terus ke bagian bawah. Akhirnya menyelip di antara paha. Permaisuri itu membuka pahanya sedikit, mengizinkan tangan Arjuna menggerayangi daerah itu.

Dalam pelukan erat, tangan Arjuna mencoba masuk… ehm.. bagian itu terasa hangat dan basah. Banowati menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam sembari menggigit bibir , desah-desah halus keluar tak tertahankan. Detak jantung Arjuna semakin kencang ketika ia bayangkan apa yang terjadi di’sana’. Gadisnya yang sedang hamil itu menggelinjang, nafasnya sesekali tertahan, sesekali ia seperti menerawang, apa yang dia harapkan? Arjuna tahu, Banowati menginginkan itu, dia mendorong-dorongkan pantatnya ke depan, agar bagian itu lebih tersentuh oleh jemarinya.
Dengan penuh pengertian Arjuna pun turun… dari leher… buah dada.. wajah Banowati terseret ke bawah, Arjuna menikmati setiap lekuk liku tubuhnya yang hangat. Setiap sentuhan dan gesekan menimbulkan rintihan lirih dari mulutnya. Wajah Banowati menengadah, matanya setengah terpejam, bibir agak terbuka, dan sedikit air liur menetes dari salah satu sudutnya.
“Teruskan, Raden… jangan hentikan..!” pintanya.
“Puaskan aku….!” katanya lagi tanpa rasa sungkan. Yah, tak ada rahasia di antara mereka. Apa yang dia inginkan untuk memuaskan hasratnya, pasti dia minta, kapan saja mereka bertemu. Begitu pula aku… kalau lagi pingin, dia pasti kasih.
Perlahan Arjuna menyusuri tubuhnya ke bagian bawah. Sekarang Arjuna sudah di atas perutnya yang mulus. Arjuna bermain-main sebentar di sana. seluruh tubuh Banowati memang sangat menggairahkan. Tidak ada lekuk tubuhnya yang tidak indah. Arjuna sangat menikmati semuanya.
Tiba-tiba Banowati memegang kepala Arjuna, meremas sedikit rambutnya dan mendorong kepala Arjuna ke bawah.
“Ayo, Raden, sudah gak tahan nih..! Jangan di situ aja dong….Aih..” Arjuna menurut…. Dulu Arjuna bilang ia ingin merasakan dan menjilati kemaluannya, dia bilang hal itu menjijikkan. Dalam keadaan terangsang dia sangat menginginkanya.
Sesampai di bagian itu… Arjuna terpana menyaksikan pemandangan indah terbentang tepat di depan matanya. Setumpuk daging berwarna kemerahan berkilat di celah-celahnya.  Bagian itu, bibir kemaluan Banowati yang merah dan basah dipenuhi cecairan lendir yang bening. Dengan kedua jari telunjuk dibukanya celah itu lebih lebar… Klentitnya menyembul… nampak berkedut karena rangsangan nikmat tidak terkira. Berkali-kali ia berkedut… setiap denyutan dibarengi dengan nafas dan rintih tertahan Permaisuri itu. Arjuna memandang ke atas. Ke arah payudaranya yang terbuka, putingnya semakin mengeras. Nafasnya terengah-engah, buah dada ratu yang putih itu nampak naik turun dengan cepat. Terlihat lagi kemaluan gadisnya itu… semakin merah dan merekah.  Ia buka lagi dengan dua telunjuk… cairan kental pun mengalir deras. Meluap dan merembes sampai ke sela paha, persis seperti orang yang sedang ngiler. Cairan itu terus mengalir perlahan… sampai ke arah anus. Kemudian perlahan berkumpul dan akhirnya menitik ke lantai. Semakin lama semakin banyak titik-titik lendir bening yang jatuh di lantai kamar itu. Terasa Banowati merenggut rambutnya… dan menekankan kepala ke arah vaginanya yang sedang terangsang itu. Arjuna pun semakin bernafsu…. Dengan penuh semangat Arjuna pun mulai mengulum dan menjilati seluruh sudut kemaluan Banowati
“Ahh…. Ahhhh… nikmat sekali, Raden!” Banowati merintih, tubuhnya menegang, cengkramannya di kepala Arjuna semakin kuat. Pahanya mengempot menekan ke arah muka, sementara kemaluannya semakin merah dan penuh dengan lendir yang sangat licin.
Arjuna pun semakin dalam menusuk-nusukkan lidah ke liang senggamanya. Beberapa kali klentitnya tersentuh oleh ujung gigi, setiap sentuhan memberi pengaruh yang hebat. Permaisuri Hastina itu melolong menahan nikmat… Arjuna terus menyelusuri bagian terdalam vaginanya. Oh… hangat dan sangat-sangat basah. Tak bisa dibayangkan kenikmatan apa yang dirasakannya saat ini. barangkali sama nikmatnya dengan rangsangan yang diperoleh dari kemaluan Arjuna yang juga sudah mengeras sedari tadi.

Rasanya sangat nikmat dan tergelitik terutama di bagian pangkal… rasanya ingin Arjuna melepaskan nikmat di saat itu juga. Tapi ia harus menyelesaikan permainan awal ini dulu, gadis gatal ini minta untuk segera di tuntaskan. Semakin Arjuna memainkan kemaluannya, semakin ia mengempot dan menekankan kepala ke arahnya. Sesekali Arjuna menengadah menatap wajahnya yang merah. Tampak ia menghapus air liurnya yang mengucur dengan lidahnya yang merah itu. Tiba-tiba ia tertawa mengikik… seperti ada yang lucu. Ia mengusap wajah Arjuna yang bergelimang cairan vaginanya. Sambil memandang penuh pengertian.
“Lagi, Raden” pintanya.
Arjuna mengulangi lagi kegiatan itu, putri itupun kembali merintih-rintih menahan rangsangan hebat itu di kemaluannya. Beberapa kali klentit itu disentuh dengan ujung gigi. Tiba saatnya, dia sudah sampai mendekati puncak. Nafas semakin memburu dan tubuhnya menegang hebat beberapa kali. Tanpa sungkan lagi, Banowati mengeluarkan lolongan penuh kenikmatan ketika rasa enak itu tiba…  “Ohhhhh… hhhh…ahhhhhhhh…” jeritnya lepas.
“Enak sekali…”  Pantatnya mengempot ke depan setiap denyutan nikmat itu menyergap vaginanya… dan setiap denyutan diiringi dengan keluarnya cairan yang lebih banyak lagi. Beberapa cairan itu bagaikan menyembur dari liang senggamanya, Arjuna mundur sebentar, melihat bagaimana bentuknya vagina yang sedang mengalami orgasme.
Tegang, merah, basah… berkedut-kedut, cairan pun membanjir sampai ke kedua pahanya….. mengalir dengan banyaknya sampai ke mata kaki… Arjuna pun tidak tahan melihat keadaan itu, cepat Arjuna berdiri… mengasongkan kemaluan yang sudah tegang itu ke arah Banowati. Banowati memeluk Arjuna, terasa tubuhnya bersimbah peluh, wajahnya yang memerah karena baru melepas nikmat itu disusupkannya ke leher Arjuna. Memeluk Arjuna semakin kuat…
“Puaskanlah dirimu, Raden!”
Arjuna pun mendekap tubuh sintal itu semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk di titik kemaluan Arjuna. Terasa semakin menegang dan mengeras…. Tapi Arjuna ingin merasakan sensasi yang lain.
Diturunkannya kepala Permaisuri itu ke bagian itu. Ia menurut, perlahan ia menyusuri tubuhnya dari dada terus turun ke bawah. Seperti yang dilakukan tadi, mulut Banowati menciumi perutnya dan terus turun… sesampai di bagian itu ia memandangi penis yang selama ini selalu dia senangi.
Ia menengadah.. memandang Arjuna dengan senyuman nakal.
“Besar sekali punyamu, Raden! Ini untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan mulai meremas pangkalnya. Arjuna terkesiap… jemari lembut itu mulai mengocok-ngocok kemaluan Arjuna dengan penuh cinta.
“Nikmatilah, Raden! Aku ingin kamu menikmati dan merasakan kenikmatan seperti yang aku rasakan, kamu milikku, tidak boleh untuk orang lain….” Arjuna mengangguk sambil tersenyum, perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau melakukan apa saja.
Perlahan ia mulai mengocok pengkal kemaluan Arjuna… sesekali ia mengecup bagian kepalanya yang seperti topi baja itu. Lembut dan penuh kasih sayang. Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil matanya terpejam.
“Ohh.. inilah yang aku impikan selama ini. Kepunyaanku milik kekasihku yang perkasa…”  Kemudian ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam dan meremas-remas menimbulkan rasa geli luar biasa. Kemaluan Arjuna semakin menegang menahan nikmat.. keras dan enak.

Permaisuri itu sangat lihai mempermainkan jemarinya, seolah dia turut merasakan apa yang ia rasakan. Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal kemaluan Arjuna jemarinya terus juga digesekkannya. Akhirny Arjuna pun tak tahan lagi… ia merenggut rambut di kepala Banowati, tubuhnya pun menegang. Arjuna mendorongkan pantatnya ke depan, paha mengejang menahan sesuatu yang bakal dikeluarkan.
“mbakyu Banowati…” kata Arjuna sambil mencengkram rambutnya.
Ia menatap Arjuna, wajahnya tepat di ujung kemaluan Arjuna yang sedang dicengkeramnya. Permaisuri itu tersenyum kecil…. Dia senang menatap Arjuna yang sedang dalam puncak nikmat. Maka, sambil setengah terpejam, Arjuna pun mengeluarkan segalanya, kemaluan Arjuna meledak dalam genggaman tangan Banowati, menyemburkan air mani yang sangat banyak, mengenai seluruh muka Permaisuri itu. Sebagian ada yang menyembur dan kena ke rambutnya. Kelopak mata Permaisuri itu berkedip menahan serangan air mani yang mendarat di wajahnya…
“Hhhh…hhhh.hh,” perlahan nafas Arjuna mulai teratur… puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-kata.
Banowati bangkit berdiri dan menuju pojok ruangan. Paha dan pantat mulusnya nampak gemulai ketika ia melangkah. Permaisuri itu mengambil baju, mengusapkannya di wajah yang penuh cairan mani. Menoleh ke arah Arjuna sambil tersenyum, kemudian berjalan ke arahnya. Merentangkan kedua tangan, memeluk kesatria itu dan menempelkan pipinya di pipi Arjuna.
“Enak ya, Raden”
Arjuna mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang matanya lekat-lekat. Ia membalas tatapan Arjuna,
“Aku sangat mencintaimu, Raden. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanya…”  Entah berapa lama mereka berpelukan sambil berdiri.
Tak lama kemudian mereka sudah berpelukan hampir tanpa busana. Dia berada di bawah dalam posisi tradisional. Siap dan menanti untuk dimasuki oleh lelaki yang bukan kekasihnya ini.
 “Kalau malam begini… aku selalu membayangkan bersamamu, Raden.” Bisiknya di telinga, kedua tangan melingkar erat di leher Arjuna. Pipinya menempel erat dipipi Arjuna.
“Benarkah?” jawab Arjuna sambil mencium pipi hangat itu. Banowati mengangguk.
“Kadang bayanganmu begitui jelas seolah merasuki tubuhku…. Kalau begitu aku suka… emmh.. basah, Raden.”
 “Oh, ya?”
 “Iya… coba kamu rasakan, Raden.” Katanya sambil menggerakkan pantatnya, menggesekkan tumpukan kemaluannya di batang penis Arjuna. Ya, terasa hangat dan basah…  “Sebelum kamu datang, aku sudah membayangkan dirimu.. emhhmmm… tanpa sadar ‘dia’ pun … sudah basah… Arjuna mencium telinga Banowati, dia seperti merinding., tubuhnya menggelinjang karena merinding kegelian.
“Kadang…” bisik Banowati lagi, “Keluar banyak sekali, sampai membasahi celanaku… sekarang juga udah begitu, Raden.”

Ya, Arjuna merasakan itu, sangat hangat dan sangat basah. Penasaran Arjuna menyelusupkan jemari ke daerah itu. Ya ampun! Sepertinya Arjuna memasukkan tangan ke mangkok bubur yang hangat. Tak disangka, permisuri genit ini ternyata menyimpan bara begitu panas. Sebuah rahasia yang selama ini dia pendam…
“Masukkan punyamu, Raden!” pinta Banowati … “Aku udah gak tahan lagi, sedari tadi aku menahan rasa terhadapmu… jangan sia-siakan malam ini… walau sebentar, aku akan puas….”  Gadis itu menggelinjang sekali lagi, membetulkan posisi berbaringnya dan membuka pahanya sedikit lebih lebar agar mudah Arjuna menggelosorkan kemaluan ke liang senggamanya yang hangat itu.
Terasa meluncur dengan lancar memasuki kemaluan gadis itu. Terus masuk dan membenam sambil ke celah yang paling dalam. Gadis itu mengetatkan pahanya dan pantatnya mulai bergoyang ke kiri da ke kanan. Tubuhnya terasa semakin memanas. Pelukannya begitu erat dan buah dadanya yang menempel menekan ke dadanya. Dia sudah begitu bernafsu, nafsu yang di pendam lama dan ingin di lepaskan dalam pelukanku malam ini juga. Terus terang di menit-menit penuh cinta itu Arjuna tidak ingat lagi dengan raja Hastina, suami sang putri  ini. Gadis ini butuh dipuaskan. Hasrat yang sudah menyeruak tidak bisa lagi di tarik surut ke dalam. Segala rem sudah di lepas dan mereka pun melayang tanpa kendali menikmati semuanya malam ini. Terdengar hujan di luar semakin deras. Titik air yang berjuta-juta itu seolah berlomba terjun ke bumi menimbulkan suara gemuruh tidak henti-hentinya. Tapi gemuruh itu tak sedahsyat gemuruh nafsu mereka berdua, Arjuna dan Banowati yang tengah menikmati cinta. Entah sudah berapa kali batang kemaluan keluar masuk liang senggama Banowati. Sudah berapa kali pula dia menggepit-gepit dan memeluk Arjuna dengan erat dengan kedua tangannya. Entah berapa kali ia terengah dan menggelinjang menggeram penuh nikmat.
“Hhhhhh… ehhhhhhh..hhhhhh….” erangnya setiap Arjuna mainkan dan menekan pantatnya ke kemaluan Banowati.
Luar biasa, setiap tekanan ke bawah di balasnya dengan tekanan ke atas. Terasa sudah sepuluh menit Arjuna mengayun pinggul di atas tubuhnya. Liang kemaluannya terasa semakin rapat dan sangat licin, mencengkram kuat batang kemaluan yagn menegang. Arjuna mengendurkan sedikit gerakannya. Mengalihkan perhatian ke tubuh bagian atas. Banowati mengerti, ia meregangkan tubuhnya menarik kepalanya ke belakang, membiarkan buah dada besar yang putih berkeringat itu meenyeruak dari pelukannya. Buah dada permaisuri yang besar dan kenyal, tidak seperti payudara anak-anak kota yang besar tapi loyo. Dua gumpalan kenyal itu pun kusergap dengan mulutnya, Arjuna melahap dan kunyah-kunyah sepuas hati. Puting susunya yang merah itu ku kulum dan hisap-hisap sambil digigit sedikit. Hanya sebentar saja, gadis itu menjerit tertahan….
“Ohhh.. geli, Raden!”
Arjuna terus mengulum…. Berganti ke kiri dan ke kanan, kemudian tangannya pun meremas-remas pangkal payudara Banowati dengan gemas. Sangat kenyal, hangat dan enak rasanya.
“Aku sudah gak tahan lagi… Raden,” rintihnya lirih, tubuhnya semakin panas dan berkeringat, tubuh Arjuna juga sama. Dalam hawa malam yang cukup sejuk karena hujan itu seolah tubuh mereka mengeluarkan uap. Tubuh bugil bermandi keringat yang mengebulkan asap nafsu birahi tak tertahankan.

Setelah puas dengan buah dada kenyal itu, Arjuna memeluk punggung gadis itu. Terasa dia mengangkat lututnya, menggepitnya di pantatnya. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya dan memelukku di pinggang.
“Tekan-tekan lagi, Raden.” pintanya.
Arjuna juga sudah pingin merasakan gesekan kemaluannya. Sambil saling berpagut erat Arjuna mengayunkan lagi pantatnya di atas rengakahan pahanya yang montok itu. Dia pun semakin menggepitk-gepitkan kakinya. Sekarang mereka konsentrasi ke setiap gesekan, setiap lipatan, setiap senti dari liang kemaluan Banowati. Malam ini sunguh hanya milik mereka berdua. Gesekan-gesekan itu semakin lama semakin berirama. Sementara Banowati melakukan aksi yang menambah kenikmatan, ia menggepit… lalu menahan. Gepit tahan gepit tahan…. Oh tak terlukiskan enaknya bercinta dengan gadis ini. Gesekan itu semakin intens mereka lakukan. Sampai-sampai mereka tak sadar kalau hujan sudah berhenti. Malam di luar terasa hening…. Tapi di atas dipan yang berbunyi kriak-kriuk ini dua tubuh saling memompa berpacu mengejar waktu. Takut kalau Dursasana dan Aswatama yang masuk. Arjunapun mempercepat ayunannya… sehingga di malam yang menjadi sunyi ini terdengar jelas suara penis yang keluar masuk ke kemaluan Banowati. Beradu rasa dalam limpahan cairan kemaluan Banowati. ‘Crekk.. Crekk.. Crekkk. Crek…Crekkk.. Crrek…kejantanannya naik turun menggesek lipatan-lipatan dinding kemaluan gadis itu. Bunyinya terdengar jelas sekali di telinga mereka berdua. Sesekali ia tekan akan kuat, gadis itu membiarkan dan menerima tekanan itu, menggeolkan pantatnya berkali-kali agar kelentitnya lebih tersentuh pangkal atas kemaluan yang keras.
“Tekan terus, Raden.. aihh…”  Arjuna menekan lagi sambil menggerakkan pantat ke kiri dan ke kanan. Mungkin dia merasa gatal dan ingin gatal itu digaruk sampai tuntas…. Penggaruknya adalah batang kemaluan yang dia cengkram dan dia benamkan sedalam-dalamnya.
“Ohhh..ohhhhhhhhh,” lolong gadis itu melepas nikmat. Seluruh liang senggamanya berkedut-kedut dan sembari menggepit kuat. Tubuh Banowati menggelinjang dan menegang menahan rasa enak ketika ia mengeluarkan air kewanitanya.
“Eughhh…hhhhh… euuughhhhh….. ahhhhh… ” rintihnya sambil menyurupkan wajahnya ke leher Arjuna, lehernya nafasnya menderu, air liur berceceran dari bibirnya yang merah.
 “Terusin aja, Raden….. Kalau enak ngapain juga di berhenti” bisik Banowati seolah hendak menghapus keraguannya. Maka Arjuna pun meneruskan lagi, kali ini dengan irama yang lebih cepat dan… tak lama kemudian croott…crotttt… sambil menekan Arjuna mengeluarkan air mani di dalam kemaluan Banowati yang mencengkram erat itu. Oh nikmatnya.
Beberapa menit telah berlalu. Sesudah menghapus keringat di dada, Banowati mengenakan pakaiannya. Kemudian sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia merapikan rambutnya yang kusut masai. Wajahnya tampak puas. Sangat puas telah beroleh kenikmatan yang selama ini didambakannya.

##########################
Saatnya Banowati melahirkan anak pertamanya. Sayang sekali, Duryodana tidak ada di sampingnya. Ia sedang melakukan titian muhibah ke negeri jiran. Ia sempat memperkirakan kalau anak pertamanya akan lahir setelah ia pulang dari acara kenegaraan itu. Rupanya si jabang bayi ingin segera melihat dunia. Tangisan bayi memecah kesunyian istana keputren. Bidan istana yang membantu proses persalinan Banowati membawa bayi merah ke dekat wajah Banowati.
“Anak lanang, gusti permaisuri,” kata bidan istana, setengah berbisik.
“Syukurlah. Kakang Duryodana pasti akan sangat bahagia,” jawab Banowati.
“Wajah anak ini tampan sekali, gusti!” kata bidan istana lagi.
Banowati segera menatap wajah anaknya. Dan ia sangat terperanjat. Wajah anaknya mirip sekali dengan wajah Arjuna, kekasih gelapnya. Tak ada mirip-miripnya dengan Duryodana. Ia segera meminta bidan dan dayang-dayang lainnya untuk keluar kamar. Ia beralasan, ingin beristirahat.
Bingung. Linglung. Itulah yang berkecamuk di pikiran dan dada Banowati. Bagaimana reaksi Duryodana nanti ketika melihat bayi itu? Ia pasti akan tahu kalau bayi itu bukan dari benihnya. Dalam kekalutan seperti itu hadir Bethari Durga masuk ke dalam kamarnya.
“Bantu aku Bethari. Please… bla..bla…” sembah Banowati kepada Bathari berjenis kelamin perempuan itu.
“Oke, gampang saja. Tapi ada tumbalnya!” sahut Bethari Durga.
Kesepakatan diperoleh. Simsalabim. Wajah bayi itu disulap menjadi sangat mirip dengan Duryodana. Banowati lega hatinya.

##############################
Maka, Duryodana melakukan acara sepasaran bayi sekaligus mengumumkan nama bayi lelaki itu: Lesmana Mandrakumara. Sebagai calon putra mahkota, Duryodana sangat mencintai Lesmana. Namun, dalam perkembangannya, Lesmana semakin berperilaku aneh, selalu kekanak-kanakan. Tidak pernah dewasa. Lesmana menderita keterbelakangan mental. Itulah tumbal yang disepakati oleh Banowati dan Bethari Durga. Dan saat dia harus maju perang sendiri ke medan perang, yang diingatnya hanyalah Banowati. Keselamatan Banowati adalah yang paling utama, maka dia memerintahkan prajurit kerajaan untuk mengamankan istri tercintanya ke tempat persembunyian.
“Suamiku bagaimana kabar dari perang Baratayuda? Apakah sudah berakhir? Apakah Kanda telah menyerahkan sebagian negri Astina kepada Pandawa?”
Mendengar pertanyaan dari bibir indah istrinya Banowati, seakan menusuk perih jiwa Duryudana. Ia sadar, apa maksud dari pertanyaan istrinya, yang sebenarnya ingin memastikan keselamatan dari kekasih abadinya, Arjuna.
“Istriku tercinta, perang masih berlangsung. Banyak sudah pepunden dan orang-orang terkasih telah gugur dalam peperangan ini. Eyang Bisma, telah gugur membela negri. Guru kami Durna, pun telah tiada. Dan suami dari kakakmu Surtikanti, Kanda Karna, pun telah gugur setelah menjadi senapati Astina. Kakakmu Surtikanti, mati bela pati,” geram Duryudana membayangkan gugurnya para andalannya yang gugur dalam pertempuran itu.
“Lalu apa kata dunia, bila mereka-mereka yang telah memberikan nyawa untuk negri ini sementara aku kemudian menyerah kalah? Sungguh aku akan dicap menjadi orang tak tahu diri. Termasuk golongan pecundang. Berpesta pora di atas darah dan peluh orang-orang yang membantu kemulyaan kita. Ingat Banowati istriku, selama tubuh Duryudana ini masih tegak berdiri. Selama nyawaku masih berada dalam jasadku, selama itu pula aku akan tetap melanjutkan peperangan ini,” tekat Duryudana dengan menahan amarah dan dendam membara.
“Namun bukankah Pandawa masih saudara kita sendiri Kangmas ? Bukankah sebenarnya Kangmas dapat menghindari perang saudara ini dengan memberikan hak mereka akan sepenggal tanah di Astina ini. Bukankah sebagai gantinyapun, rama Prabu Salya telah bersedia memberikan negeri Mandraka bila Kangmas menghendakinya ?” pedih Banowati tidak berdaya.
“Oooo Banowati, dinda tidak mengerti bagaimana perih hati ini menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa. Meskipun itu juga tidak diperoleh dengan percuma. Banyak ksatria mereka yang tewas juga. Namun Pandawa masih lengkap berjumlah lima, sedangkan Kurawa ? Tinggal berjumlah lima, dinda. Seratus tinggal lima. Bagaimana pertanggungjawabanku terhadap adik-adikku yang berkorban demi kemulyaan kakaknya, kalau aku saat ini menyerah begitu saja. Tidak, dinda ! Tidak saat ini dan tidak untuk selamanya ! Meskipun Pandawa masih bersaudara dekat denganku, meskipun masa kecil kami lalui bersama, namun saat ini keyakinanlah yang membuat peperangan antara kami harus terjadi”
“Oleh karenanya, kanda pamit kepadamu dinda. Ijinkanlah suamimu ini tuk maju ke medan laga. Perang pastilah menghasilkan hanya ada dua pilihan. Antara menang atau sebagai pecundang, antara masih hidup atau meregang nyawa. Itu yang kanda sadari dan tentunya juga si Adi. Dinda tahu bagaimana cinta kanda kepadamu. Dari awal kita menikah hingga kini tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Cintaku buta, tidak peduli akan terpaan kejadian apapun ataupun gejolak di hatimu yang setidaknya aku ketahui,” lembut Duryodana mengungkapkan hal itu.
Sebelum dia maju berperang melawan Pandawa, Duryodana harus yakin akan keselamatan Banowati, meskipun ia tahu dia maju berperang untuk menjemput maut.

First comment: Duryodana ini cuckold yg sangat setia,,, and he did not regret it. Gw gak pernah suka Arjuna.

By: Ruhul Yaqin

Senin, 27 Oktober 2014

Vonny dan Office Boy yang Beruntung

Reza

Perlahan-lahan motor Honda berwarna hitam itu memasuki sebuah jalan cukup lebar di kompleks perumahan di BSD. Pengemudinya yang berkulit coklat tua menjurus hitam itu kelihatan sedang mencari-cari nomor rumah tertentu, menandakan bahwa ia bukan penghuni di jalan itu. Akhirnya ditemukannya nomor yang dicarinya, motornya dihentikan didepan rumah cukup besar dan terletak agak tinggi dibandingkan jalanan. Si pengemudi yang terlihat masih muda sekitar duapuluhan dengan ciri biologis pribumi asli itu lalu turun dan mematikan motornya, agaknya ragu-ragu namun kemudian mengajukan langkahnya mendekati pagar pintu besi, dan dicarinya tombol bel yang seperti pada umumnya rumah-rumah baru di situ agak tersembunyi di belakang pintu besi itu. Setelah memencet ketiga kalinya maka pintu rumah itu terbuka, muncullah pemuda yang agaknya si penghuni rumah berusia sekitar akhir dupuluh atau awal tiga puluhan tahun.
"Selamat sore pak Ridwan", tegur sang pemuda tamu setelah melepaskan helm penutup kepalanya sehingga terlihat rambutnya yang tebal agak bergelombang dengan wajahnya lumayan cukup keren berkumis, disertai senyum agak malu dan menoleh ke kiri ke kanan, ternyata jalanan itu cukup sepi.
Selamat sore dik Reza, ayo masuk tak usah malu dan sungkan, bawa masuk aja motornya, biarpun disini biasanya cukup aman tapi kan engga tahu kalau yang niat jahat bisa ada dimana saja", demikian sambutan ramah sang tuan rumah yang berkulit jauh lebih bersih dengan raut wajah khas keturunan.
Reza mengangguk setuju lalu membawa motornya melewati pintu pagar besi itu, kemudian didorong menaiki jalur masuk kedepan garasi yang memang terletak agak tinggi dibandingkan jalan di depannya.
"Adik Reza sudah makan belum ?", tanya tuan rumah Ridwan.
"Sudah pak, ditengah jalan saya mampir di warung gudeg kesenangan saya", jawab Reza, "ini pesanan bapak saya bawakan", lanjutnya lagi sambil menyerahkan bungkusan kecil kepada Ridwan.
"Oh ya, terima kasih , ayoh masuk dan minum dulu, kan capek dijalan pasti macet tadi, kita ngobrol-ngobrol sebentar, jangan malu-malu engga ada siapa-siapa hanya istri saya di rumah, tapi dia lagi mandi", lanjut Ridwan dan menatap Reza disertai kedipan mata penuh arti.
"Iya deh pak , tapi engga lama nanti takut hujan nih", Reza mengikut dibelakang Ridwan yang masuk melewati pintu rumahnya menuju ruang terima tamu.
"Ayoh silahkan duduk, kalau hujan ya tak apa-apa, kan kini di bawah atap jadi engga basah kalau nunggu disini, dik Reza mau minum hangat atau dingin segar ?", tanya Ridwan.
"Engga usah repot-repot pak, seadanya saja", jawab Reza masih agak sungkan.
"Biasanya kalau jam-jam segini enak minum teh jahe, pasti adik senang teh jahe ginseng nanti - badan jadi terasa hangat, segar dan dapat tambah enersi", lanjut Ridwan, kembali dengan kalimat yang rupanya menjurus ke arah maksud tertentu.
"Nanti saya cari dan lihat dulu dimana letaknya bungkusan teh itu, maklum pembantu lagi sakit dan yang biasanya bikin teh ginseng ini istri saya, tapi mungkin dia sudah selesai mandi", demikian Ridwan sambil melanjutkan langkahnya menuju kebagian dalam rumah yang cukup besar itu.
"Baiklah pak, saya ikut aja apa yang biasanya bapak dan ibu minum di waktu sore", jawab Reza.


Ridwan melangkah masuk kedapur dan ternyata disitu berdiri Vonny istrinya yang telah selesai mandi, dengan rambut masih agak tergerai di pundaknya, memakai baju rumah tanktop pendek yang hanya menutup setengah pahanya, berwarna coklat tua tipis cukup merayang tanpa BH sehingga dengan nyata terlihat puting buah dadanya dan celana dalamnya yang berbentuk string. Vonny rupanya sedang membuat kopi dengan alat Philips Senseo sehingga aroma harum memenuhi dapur itu. Ridwan memeluk istrinya Vonny dari belakang, menciumi pundak serta lehernya yang putih jenjang, jari jemarinya yang iseng meraba raba pinggang Vonny merantau ke depan lalu meremas ketiaknya, mulai meremas remas gundukan gunung kembar yang tak tertutup BH sehingga terasa sangat padat kenyal itu. Tak sampai di situ saja Ridwan mulai menarik tanktop yang dipakai istrinya sehingga naik ke atas mencapai bulatan pinggulnya, menyebabkan betis dan kedua pahanya terpampang jelas, kemudian mulai pula diraba dan dielus-elus paha serta bulatan pinggul Vonny.
"Von, tuh si office boy udah datang, lagi nunggu di ruang tamu, rupanya kehausan juga dia, bolehlah diajak minum sekalian", ujar Ridwan sambil terus menerus menggerayangi tubuh Vonny.
"Udah ah, geli kan, mau ngapain sih dia dateng sore begini ?", tanya Vonny sambil menggeliat geliat.
"Kan dia nganterin barang pesenan, lagian mungkin udah kangen ngkali pengen liat nyonya bahenol", jawab Ridwan yang sebelumnya memang telah merencanakan untuk "mempersembahkan" istrinya.
"Ngga usah ya, emangnya dia sendiri engga punya bini atau simpenan", sahut Vonny yang sebenarnya masih agak ragu dengan petualangan swinger, walaupun sudah mengetahui bahwa Reza selalu "lapar" mata dan mengawasi tubuhnya jika ia datang ke kantor dimana Ridwan bekerja.
Vonny dan Ridwan adalah pasangan muda sangat modern dengan prinsip hidup liberal kebebasan sepenuhnya, juga termasuk dalam hubungan pasutri. Keduanya sering membaca bersama cerita erotis dalam weblog semarak di internet saat ini, dimana soal tukar pasangan dengan persetujuan kedua belah fihak juga merupakan salah satu thema yang mengundang banyak pembaca. Mereka berdiskusi dengan terus terang dan saling menanyakan apakah misalnya Vonny keberatan jika Ridwan menggauli seorang wanita lain , dan juga sebaliknya apakah Ridwan bersedia "membagi" kebebasan serupa jika ada lelaki asing yang ingin mencicipi tubuh Vonny. Mula mula Vonny sangat terkejut dengan diskusi itu, namun rupanya gairah tubuh mudanya disertai rasa ingin tahu lebih besar daripada rasa malunya.
Tentu saja sebagai seorang wanita dan istri yang menjaga diri dan tak mau disebut "murahan" begitu saja Vonny tak langsung mengatakan setuju, hanya jika ditanyakan dan didesak apakah mau digauli oleh si office-boy dikantor, maka jawabannya selalu mengelak dan tak langsung setuju.
揈ngga ah, ntar jadi ketahuan orang lain, belum tentu si Reza bisa dipercaya mau tutup mulut, lagian mau ngapain sih", demikian selalu jawaban Vonny mengelak. Setelah beberapa minggu dirayu dan dipancing dan "dipanasi" terus menerus dengan pelbagai cara, jawaban Vonny berubah menjadi :
"Engga tahu lah, lihat aja deh gimana, belum tentu juga dia ada minat, mungkin dia cuma senang ngawasin dan ngeliat aja, kan biasa mata lelaki begitu semua, kayak kamu juga gitu".
Dari jawaban ini Ridwan mulai merasa yakin bahwa istrinya tidak menolak mentah mentah dan ingin tahu juga apakah kesan melakukan perselingkuhan dengan izin suami sendiri.


"Udah selesai kan kopinya buat tiga orang, coba bawa deh keruang tamu, taruhan yuk si Reza bakalan melotot ngeliat kamu pakai baju kaya begini", demikian kelakar Ridwan semakin menghasut istrinya.
"Kamu aja yang bawain, mau tukar pakaian yang lain", jawab Vonny pura-pura, padahal dia sengaja pakai baju tanktop pendek dan merayang itu karena tahu OB Reza di sore itu akan datang.
"Ayolah, pake malu malu gitu, abis mandi kan kelihatan seger banget, pasti kecium badannya si nyonya amoy bahenol wangi merangsang", desak Ridwan kepada istrinya.
Di sore itu memang pembantu mereka sengaja diberikan bebas jalan-jalan dan nonton film di mall ditambah uang jajanan, yah mana ada pembantu muda zaman sekarang yang menolak extra bonus begitu. Dengan langkah masih agak ragu namun tetap terlihat lemah gemulai disertai lenggokan menawan tatapan pria Vonny perlahan lahan keluar dari dapur dengan membawa nampan dengan diatasnya tiga cangkir kopi dan beberapa potong coklat serta kueh kering sebagai snacks. Meskipun agak menundukkan matanya karena harus memperhatikan cangkir kopi yang penuh namun Vonny melihat Reza langsung berdiri melihat kedatangannya dengan mata tak berkedip sama sekali. Di saat meletakkan nampan dengan cangkir kopi dan snacks di meja tamu yang terlapis kaca itu Vonny mau tak mau harus membungkuk sehingga bagian atas baju tanktopnya terbuka untuk mata tatapan mata Reza yang melotot melihat betapa putih dan montoknya belahan buah dada Vonny dan di tengah kedua gundukan itu mencuat puting yang rupanya agak mengeras entah karena dinginnya AC. Setelah meletakkan dan membagi ketiga cangkir kopi Vonny dan Ridwan kemudian duduk bersama berdampingan di kursi salon lebar , sementara Reza duduk langsung di hadapan Vonny yang berpura-pura malu menarik ujung rok tanktop yang dalam posisi duduk hanya menutup setengah pahanya. Mereka kemudian bercakap cakap dan ngobrol ke kiri ke kanan sampai di suatu saat Ridwan bertanya apakah Reza sudah berkeluarga, dan dijawab olehnya "belum". Masih nyari pasangan yang cocok susah zaman sekarang katanya, belum lagi suasana keuangan belum mantap, untuk sendiri aja tak cukup apalagi harus menanggung keluarga lanjutnya. Mendadak HP Ridwan yang terletak di meja kerja di ruangan sebelah dalam berbunyi, sehingga Ridwan permisi masuk meninggalkan Vonny dan Reza. Kini keduanya hanya berdua dan terlihat bahwa Vonny agak kikuk, karena dirasakannya mata Reza semakin binal mengincar tubuhnya yang merayang di bawah baju tanktop tipis. Terutama bagian buah dada serta pahanya menjadi sasaran menyebabkan Vonny ingin lebih menarik ujung tanktop ke bawah serta berusaha merapatkan belahan pahanya agar tak bisa di"intip". Agaknya Reza makin berani dan mulai yakin bahwa wanita muda di hadapannya "kepanasan" menantikan kegiatan yang lebih menjurus maksud tertentu. Ketika Reza ingin menggeser duduknya lebih maju kearah meja untuk meletakkan cangkir kopinya, maka muncullah Ridwan yang ternyata telah menukar bajunya dan telah memegang kunci mobil.
"Eeh, mau kemana koq udah tukar baju ?, tanya Vonny kaget dan menjadi agak gugup karena hal ini di luar dugaan dan tak pernah dibicarakan lebih dahulu, padahal ini sudah termasuk rencana Ridwan dan Reza sejak kemarin dikantor.
"Harus balik ke kantor sebentar say, ada transaksi Forex dan hedge funds tak dapat ditunda, kalau engga rugi", jawab Ridwan, "setengah jam pasti udah balik, Reza tolong temani istri saya sebentar, nanti makan malam sama sama, saya ntar mau beli sate kambing, Reza doyan kan ?", lanjut Ridwan.
Vonny kini sadar bahwa hal ini pasti diatur oleh Ridwan dan agak jengkel juga "dijebak" namun sebelum ia sempat protes Ridwan telah bergegas keluar kedepan garasi, masuk ke dalam mobil Nissan Qashqai Trail dan kemudian melaju ke arah jalan setelah menutup pintu garasi di belakangnya, meninggalkan istrinya Vonny yang sangat terombang ambing di antara rasa tak nyaman, agak takut tapi juga tergoda oleh kenyataan bahwa kesempatan untuk selingkuh kini terbuka lebar !!! Ridwan memang telah agak lama merayu dan akhirnya berhasil membujuknya sejauh mungkin antara lain dengan mengajaknya membaca pelbagai kisah sangat erotis yang semarak di pelbagai weblog,  sehingga rasa ingin tahu untuk mencoba bagaimana rasanya ML dengan lelaki asing tergugah tinggi, juga dengan lelaki pribumi asli berkulit hitam legam kasar sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih sebagaimana khasnya orang keturunan.

Hanya diperkirakannya bahwa semua akan berlangsung tahap demi tahap, kenalan, ketemu dan ngobrol basa basi dulu beberapa kali sebelum memasuki taraf lebih lanjut, tidak langsung sedemikian cepatnya. Vonny ingin rasanya lari keluar tapi mana mungkin dengan pakaian seperti itu selain itu untuk mundur dari permainan "sandiwara" yang tak langsung telah disetujuinya sendiri juga terlambat. Dari sudut matanya Vonny melihat senyum mesum Reza. Reza yang memang sudah bersepakat dengan Ridwan kini memperoleh kesempatan seluasnya untuk mulai melakukan aksinya. Telah disepakati dengan Ridwan bahwa ia boleh menggarap Vonny asalkan tidak disakiti apalagi dilukai. Boleh dibujuk, dirayu, didesak dan yah sedikit dipaksa bolehlah, selama satu jam penuh Ridwan belum akan kembali, demikian perjanjiannya, jadi Reza lumayan punya waktu. Apa yang tak diketahui oleh Reza bahwa sebenarnya Ridwan berniat untuk beberapa menit kemudian kembali lagi ke rumahnya, mobil akan di parkir di depan rumah sebelah, masuk diam-diam lewat pintu kecil samping garasi, lalu mengintip peristiwa swinger Vonny dengan Reza si Office Boy yang beruntung. Reza melihat betapa gugupnya Vonny menghadapi situasi yang sama sekali tak diduganya itu, oleh karena itu Reza berusaha sedikit mengalihkan pembicaraan sehingga lebih mudah untuk mendekati.
"Ibu senang bunga ya, bagus amat anggreknya yang dipasang dekat jendela, ngerawat sendiri bu ?", Reza pura-pura menunjuk ke arah bunga anggrek merah muda berbintik-bintik yang memang dipasang dekat jendela.
Vonny merasakan bahwa ini kesempatan untuk sedikit menghindar tatapan mata Reza yang sangat haus selama ini, dan bangun dari tempat duduknya untuk berjalan ke arah bunga anggreknya.
"Iya, saya coba coba sendiri, baru mulai bulan lalu entahlah bisa tahan apa engga", Vonny telah berdiri didepan jendela dengan hiasan anggrek kesayangannya.
Tapi justru dengan berdiri di hadapan jendela itu maka sinar matahari semakin menyorot dan menyebabkan silhouette tubuhnya semakin jelas di balik tanktop tipisnya. Selain itu Reza malahan memperoleh kesempatan untuk ikut berjalan dan kini telah berdiri di belakang Vonny, semakin lama semakin dekat sehingga tubuh mereka hampir berdempetan dan Vonny merasakan hembusan nafas hangat Reza di belakang lehernya. Kemudian dirasakannya tangan Reza berada di atas pundaknya , berdiam sejenak disitu kemudian mengelus serta meraba kulitnya yang mulai merinding, sebelum bibir hangat Reza menyentuh leher dan bahunya.
"Wah relax bu relax dikit, pundak ibu terasa sangat tegang otot ototnya, coba duduk lagi di sofa panjang bu, nanti saya pijat pasti ibu senang dan hilang tegangnya" ujar Reza meneruskan usahanya.
Vonny ingin membalikkan tubuhnya namun dengan sigap Reza telah memeluk pinggangnya yang ramping dengan tangan kirinya, sementara ciumannya dileher dan belakang telinga Vonny semakin gencar. Sejenak kemudian Vonny merasakan kedua tangan Reza memegang pundak dan belakang lehernya yang lalu diurut dan dipijat sehingga dirasakan sedikit nyaman mengurangi ketegangan.

"Ennngmmh, udaaah ah, jangan mas, saya kan istri orang, tak baik kalau ini ketahuan orang", protes Vonny masih berusaha mengendalikan diri, walaupun ia tahu bahwa penolakannya tak sepenuh hati.
"Emmmh, saya engga tahan lihat badan ibu, sudah lama saya pingin meraba, kini kan kita berdua, tak ada yang tahu, nikmati bu, kehausan ibu nanti akan hilang", suara Reza mendesah di telinga Vonny.
Sementara terus memijit dan mengurut dengan tangan kanannya Reza melingkarkan lengan kirinya di pinggang Vonny dan perlahan lahan ditariknya mundur selangkah demi selangkah menjurus kearah sebuah bangku panjang, semacam sofa yang empuk dan cukup lebar. Vonny menengadahkan kepalanya dan menghembuskan nafas lembut yang lama kelamaan menderu semakin cepat, kedua tangannya meraih kebelakang memegang kepala Reza yang berada di belakang lehernya sambil terus menciumi bergantian kedua telinganya, menyebabkan Vonny semakin kegelian. Langkah demi langkah Reza setengah menyeret Vonny kebelakang dan keduanya telah mencapai sofa empuk yang panjang itu dimana Reza langsung menghempaskan dan meletakkan "mangsanya" yang masih berusaha segera bangun dan berdiri. Namun Reza lebih sigap dan tubuhnya yang cukup tegap berat telah menindih Vonny, dan karena rontaannya itu maka justru ia kini dalam posisi tertelungkup. Dengan keadaan ini maka Reza dengan mudah menindihinya dan secara sangat pandai ia tetap memijit dan mengurut leher pundak Vonny, sementara pinggul yang begitu bulat menggairahkan ditindihnya.
Vonny tak sanggup banyak bergerak atau berontak dalam keadaan tak menguntungkan itu, hanya kedua tangannya saja terkadang menggapai ke belakang berusaha melepaskan diri dan mendorong tubuh yang menindihnya. Semua sia sia saja, bahkan dengan pergulatan itu tanktop yang dipakainya telah tersingkap naik ke pinggangnya, menyebabkan punggungnya jelas terpampang. Sebagaimana umumnya wanita pemakai tanktop tidak mempunyai perlindungan BH di bawahnya, dan ini diketahui pula oleh Reza, tangannya yang memijit leher pundak Vonny kini mulai berani turun ke bagian depan.
"Aaiiih, ooooooh, mas udah dong, jangan terusin, suami saya pasti sebentar lagi pulang, jangan aah, lepas dong, tolong saya, enggga mauuu", Vonny semakin liar menggeliat ketika dirasakannya jari-jari Reza menaiki lereng bukit kembarnya dari samping dan mulai bergerilya menekan meremas remas.
Menduga bahwa perlawanan Vonny sudah sangat menurun maka Reza semakin berani, ditarik serta disingkapnya tanktop berwarna merah muda itu dengan sigap melawati bahu dan kepala Vonny dan hanya dalam waktu beberapa detik bagian atas tubuh Vonny telah telanjang tanpa penutup apapun. Tanktop itu sengaja dibiarkan oleh Reza menyelubungi kedua bahu dan lengan Vonny menyebabkan mangsanya itu sementara agak "terjirat-terbelenggu" sehingga sukar berontak melepaskan diri. Vonny semakin panik dan meronta ronta, tak diduganya bahwa Reza begitu berani melangkah sejauh itu, tapi semua usahanya tidak memberikan hasil, sementara tubuhnya kini hanya tinggal memakai CD string.

"Tenaaaang aja bu, tenaaaang, relaaaax, pasti ibu engga nyesel, pak Ridwan pasti masih sibuk, apalagi mau beli makanan dulu, ibu nikmati aja permainan saya, engga ada yang tahu bu", Reza menghibur sambil meneruskan aksinya, kini telah ditemukannya puting yang segera dipilin dan dicubit cubitnya.
Vonny tak berdaya menghadapi serangan yang bertubi-tubi itu, hanya kedua betis kakinya menekuk menghentak hentak, sementara kedua tangannya yang berusaha mencakar ke belakang kini dipegangi dan ditelikung oleh tangan kiri Reza, dan ini sangat menambah nafsunya sehingga si otongnya berdiri.
Mendadak Reza bangun dan membalikkan tubuh Vonny sehingga terlentang yang segera ditindihnya lagi, kedua pergelangan tangan Vonny yang langsing diletakkan diatas kepala dan dicekalnya dengan hanya satu tangan kiri, sementara tangan kanannya menggerayangi dan meremas buah dada Vonny. Mulut Reza yang cukup besar dengan bibir tebal itu segera mencakup mulut Vonny yang jauh lebih kecil sehingga gelagapan, terutama ketika dirasakannya lidah Reza yang berbau rokok berusaha membelah bibirnya untuk memasuki rongga mulutnya. Karena Vonny tidak mau langsung membuka mulutnya maka Reza menarik dan mencubit puting buah dada yang telah mencuat itu, menyebabkan Vonny merasa amat kengiluan dan tak sadar meringis ingin berteriak, disaat mana lidah Reza menerobos masuk !.
"Auuuuw, eemmppfhh, sshhhh", hanya desis itu yang keluar dari mulut Vonny yang kini dirajah Reza.
Vonny semakin kewalahan menghadapi serangan Reza, tubuhnya yang baru mandi kini mulai dibasahi kembali keringat karena pergumulannya dan perlawanannya yang sia-sia, tanpa disadari lidahnya mulai ikut "bersilat" melayani lidah Reza, ludah keduanya semakin tercampur, bau rokok yang sebenarnya tidak disenangi Vonny sudah tak diperdulikannya lagi, sapuan lidah Reza kini menyapu langit� rongga mulut Vonny menyebabkan timbul rasa geli, apalagi disertai remasan cubitan Reza di puting susunya. Reza merasakan di cekalan tangan kirinya bahwa geliatan pergelangan tangan Vonny berkurang, entah memang Vonny sudah mulai lelah, atau memang nafsu birahinya sendiri sudah terbangun sehingga tak mempunyai semangat untuk melawan. Kesempatan ini segera dipergunakan sebaik-baiknya oleh Reza dengan sigap dan tak terduga menarik celana dalam string Vonny sebagai penutup aurat terakhirnya. Vonny memekik kecil sambil meronta namun semuanya telah terlambat, kini sempurnalah tubuhnya yang kuning langsat putih terbuka di depan mata Reza, disertai dengan senyuman lebar kemenangan. Merasa yakin bahwa Vonny tak akan melawan lagi Reza melepaskan cekalan tangan kirinya di kedua nadi mangsanya dan segera tangan Vonny secara refleks melintang didadanya dan berusaha menutup celah selangkangannya. Sambil menatap naik turunnya buah dada montok Vonny akibat memburunya nafas sebagai tanda ketegangan akan apa yang terjadi selanjutnya Reza melepaskan kemaja dan kaos serta sekaligus jeans serta celana dalamnya. Kini dua insan berlainan jenis telah bugil bagai Adam dan Hawa ditaman firdaus : wanita keturunan muda belia dengan kulit putih kuning langsat tubuh montok terlentang disofa dalam posisi tak berdaya menghadapi seorang lelaki pribumi bertubuh kekar, berkulit hitam gelap dengan alat kejantanan telah tegang mengacung siap tembak membantainya.
"Udah mas, jangan diterusin, saya engga mau, nanti ketahuan orang, saya kan bersuami dan sebentar lagi pulang, jangan mas, saya akan rahasiakan peristiwa ini, tapi hentikan dong", Vonny berusaha tenang walaupun degup jantungnya telah sangat cepat karena menahan emosi yang tak terkekang.
"Jangan takut, ibu tak akan saya sakiti, ibu sebenarnya kepingin merasakan petualangan juga, tak usah malu lah bu, semua biasa saja, tubuh ibu yang muda juga ibarat bunga harus banyak disiram air", Reza berusaha menenangkan Vonny sambil kini tubuhnya mulai menindih mangsanya yang terlentang.

Reza yang nafsunya telah sangat memuncak itu ragu sebentar: apakah istri boss-nya di kantor ini akan dipaksanya untuk menyepong alat kejantanannya, tapi setelah beberapa detik diputuskannya untuk tidak melakukan hal itu saat ini, mungkin dalam kesempatan berikutnya.
揕ebih baik sekarang justru gue yang jilatin memeknya si amoy bahenol ini  agar dia betul-betul terangsang sehingga menggeliat kehausan bagaikan hysteris mohon dipuaskan, ya ini siasat terbaik saat ini�, demikian keputusan Reza.
Reza menurunkan kembali wajahnya dan mulai menciumi leher Vonny, menjalar mengendus meniup-niup telinga kiri kanan, sementara tangan kiri meremas memijit dua gundukan daging putih di dada sambil memilin putingya, sedangkan tangan kanan turun ke arah pusar, bermain sebentar disitu lalu semakin turun mendekati bukit venus yang dihiasi rambut halus yang jelas sangat dirawat dan sering dicukur. Vonny berusaha menggeliat dan meronta namun terlihat bahwa perlawanannya tidaklah sepenuh hati seperti seorang wanita yang sedang mempertahankan mati-matian kehormatannya. Ketika mulut Reza dari leher turun ke buah dadanya untuk menggigiti putingnya, terlihat Vonny hanya memalingkan wajahnya ke samping sambil mendesah lembut, sementara kedua tangannya bahkan memegangi rambut Reza. Ciuman dan cupangan Reza beralih dari kedua puting kemerah-merahan yang telah terlihat mengkilat basah mencuat ke atas kini menurun pusar yang disedotnya dengan rakus, lalu semakin merantau mendekati pusat kewanitaan Vonny. Tangan kiri Reza tetap aktif di puting yang semakin mengacung dan peka, sementara tangan kanannya meraba mengusap bagian dalam paha Vonny yang putih merangsang itu.
"Aaaah, udaaah dong, geliii, bapak nakal amat sih, udaah dong suami saya pulang nih, ntar ketahuan", Vonny mendesah sambil berusaha mengatur nafasnya yang semakin memburu menahan nafsu.
"Udah tanggung bu, kepalang basah, nikmati aja lah, bapak masih sibuk di kantor", Reza menghibur dan sekaligus melanjutkan penjelajahannya - sementara wajahnya telah menempel di daerah lipatan bagian dalam paha Vonny, mengecup dan menyupanginya dengan mesra sehingga memerah jambu.
Vonny tetap memalingkan wajahnya , dengusan nafasnya bersilih ganti dengan pekikan kecil kegelian jika Reza menggigit bagian dalam pahanya yang sangat peka itu. Geliatan dan liukan serta rontaannya makin menjadi ketika Reza mulai mencium daerah bukit kemaluannya. lidah Reza yang lebar kasar menjulur-julur keluar bagaikan ular mencari mangsa, mendekati celah sempit yang tersembunyi. Setelah di temukan maka lidah itu menjilati tepi bibir pelindung vagina Vonny, membasahinya dan akhirnya berusaha menyelinap masuk ke bagian lebih dalam. Sambil melakukan kegiatannya itu Reza telah berhasil menaikkan kedua paha Vonny dan ditekuknya dibagian lutut serta diletakkannya di pundak kiri kanannya. Kini terpampanglah bukit kemaluan Vonny didepan wajahnya, sementara mangsanya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri ke kanan sambil menggigit bibir bawahnya.
"Hmmmmh, memeknya wangi amat bu, bukan wangi sabun tapi harum wanita yang pengen digituin", celoteh Reza bagaikan perayu ahli dalam film bokep, menyebabkan pipi Vonny semakin memerah.
Menduga bahwa Vonny sudah ikut terbangun gairahnya dan tak akan melawan maka Reza tanpa ragu menjulurkan lidahnya menyelinap masuk ketengah liang surgawi yang telah dicium sebelumnya. Lidah yang kasap itu mengusap menjilat dinding vagina Vonny semakin lama semakin dalam, menerobos ke atas ke bawah, selintas menyentuh lubang saluran air kemih yang kecil namun cukup peka. Akibatnya Vonny menggelinjang kegelian - hal mana tak pernah dialami sebelumnya dengan Ridwan suaminya sendiri, dan tak diduganya bahwa office boy suaminya yang kini tanpa rasa jijik melakukan hal ini.

Reza semakin meningkatkan usahanya untuk memanjakan istri boss-nya, setelah liang kecil itu maka berikutnya lidahnya merantau keatas diantara lipatan bibir kemaluan Vonny untuk mencari sebutir daging kecil yang tersembunyi. Setelah ditemukannya maka dengan lahap namun hati-hati disentuhnya daging merah itu dengan ujung lidahnya, disapu, diusapinya, dijilatnya, di-emut-emut dengan bibirnya sendiri, kemudian dijepitnya mesra di antara giginya, kemudian dijilatinya kembali. Ibarat terkena aliran listrik Vonny meronta menggeliat-geliat menahan rasa geli tak terkira sambil memekik manja.
"Ooooh, udaaah bang, geliiiii, auuuuw, geliiii bang , saya ngga tahaan lagi, aaaaah , saya mau pipiiiis", Vonny mendesah dan mendengus sambil memekik ketika dirasakannya cairan lendir keluar mengalir membasahi vaginanya, menandakan bahwa ia telah mencapai orgasmus dan liang kenikmatannya kini siap menerima batang kemaluan sang pejantan yang sedang menjarahnya.
Reza juga merasakan bahwa bibirnya yang melekat di dinding vagina Vonny semakin basah lengket-lengket terulasi oleh air mazi pelumas wanita, dan kini tibalah saatnya untuk memasuki lubang sengama Vonny. Dengan penuh kepuasan Reza menatap wajah Vonny yang agak mengkilat karena keringat, penisnya yang telah menegang itu dipegangnya dengan tangan kiri kemudian diarahkannya ke liang surgawi, dan...... perlahan namun pasti, milimeter demi milimeter batang rudal itu memasuki tubuh Vonny..
"Ooooooh, aaaauh, aaaaah, pelaaan pelaaaan ya bang, aaaahh, ssssh, oooooh bang Rezaaaaa", Vonny mendesah dan mengeluh ketika dirasakannya kemaluan office boy itu menusuk dan menggali semakin dalam sehingga akhirnya amblas semua, bulu kemaluannya telah bersatu dengan bulu kemaluan Reza.
"Hhhmmmhhh, ooooh nikmaaaatnya, ibu masih peret gini, latihan kegel tiap hari ya bu ?", tanya Reza sambil mulai dengan gerakan pinggulnya maju mundur yang disambut oleh Vonny dengan putaran pinggulnya, membuat Reza semakin bergairah menumbuk-numbuk rahim istri boss-nya.
Kedua insan berlainan jenis itu telah mandi keringat, sangat mengasyikkan melihat kontras-nya warna kulit merek, Vonny dengan kulit yang halus kuning langsat sedang ditindih digeluti oleh pria berkulit kasar dengan warna coklat tua kehitaman. Namun pada saat ini tak ada perbedaan atau pemisahan antara keduanya, yang ada hanyalah gairah nafsu birahi menguasai keduanya, desahan, dengusan, rengekan, rintihan dan geraman keduanya silih berganti. Semakin lama terlihat keduanya melupakan segalanya, gerakan maju mundur pinggul Reza semakin cepat walaupun pinggangnya telah dijepit paha Vonny. Kedua tangan Vonny telah memeluk tubuh Reza seolah tak ingin melepaskannya, rasa panas dan gatal menguasai vaginanya ketika terus menerus digesek dengan cepat , akhirnya...............
"Oooohh, ibuuu , aaaah, nyonya bahenooool, abang mau banjir nih", dengusan Reza di telinga Vonny.
"Iyyaaaaahhh, ooooooohh, sssssshhhhh, teruuuuuuusss, iyaaaaaa, masukiiiiiiin teruuuuus, iyyyyaaaa", bagai histeris Vonny mencakar lengan Reza dan menggigit bahunya ketika mereka bersama mencapai klimaks dan office boy itu menyemburkan lahar panasnya berulang ulang kedalam rahim Vonny.

Sepuluh menit kemudian keduanya bergegas ke kamar mandi untuk mengeringkan keringat dari tubuh mereka, Vonny kembali merapihkan baju tank-top-nya, sedangkan Reza memakai lagi seragam kantornya. Satu jam kemudian mereka makan bersama hidangan yang di beli oleh Ridwan, ketiganya ngobrol dengan santai dan tanpa ada rasa risih, seolah-olah tak ada yang terjadi sama sekali. Vonny juga merasakan sangat puas dengan petualangannya itu, meskipun dalam hati kecilnya muncul keraguan apakah lebih baik berterus terang kepada suaminya mengenai kenikmatan terlarang yang dialaminya. Namun disudut lain di hatinya pun bertanya-tanya apakah ia akan tahan godaan untuk menolak keinginan Reza seandainya ia kembali datang secara tak terduga ketika suaminya Ridwan sedang keluar. Pepatah mengatakan bahwa sesuatu yang terlarang justru mempunyai daya tarik untuk dilakukan. Yang tidak diduga oleh Vonny bahwa suaminya Ridwan - setelah mendengar sendiri dari Reza bagaimana mula-mula perlawanan Vonny berubah menjadi sambutan gairah - bahkan merencanakan swinger berikutnya: tak hanya dengan seorang, namun dua office boys sekaligus! Kalau selingkuh hanya dengan satu lelaki memang dapat dianggap bahwa seorang istri yang kesepian mencari pengganti sejenak, artinya satu tubuh digantikan dengan satu tubuh. Tapi satu tubuh seorang suami kan tak mungkin bisa digantikan dengan dua tubuh lelaki - apakah reaksi Vonny, setuju dan akan menyerah dikuasai dua lelaki ataukah ia akan memutuskan bercerai meninggalkan Ridwan ???.  

Bagaimana kelanjutannya kisah ini ............. ? 

? TAMAT ?

elzhakhar@hotmail.com
SPG [Si Pemangsa Gadis]