Dewi Banowati |
Banowati adalah seorang putrinya yang sangat cantik, bukan karena berhiaskan mutu manikam melainkan karena kecantikan yang sebenar-benarnya. Tingkah laku putri ini serba halus dan pantas. Pada mulanya Banowati jatuh cinta pada Arjuna, namun akhirnya ia menikah dengan Prabu Duryodana dan menjadi permaisuri di Hastinapura. Tetapi hatinya masih berat kepada Arjuna, yang secara sembunyi selalu mengunjungi. Hari itu Arjuna mengunjungi pesanggrahan di hutan Pramanakoti, namun tempat itu seperti ditinggalkan penghuninya. Arjuna menunggu Tanpa sadari, Banowati mendekati Arjuna.
“Adimas Arjuna!”
Arjuna kaget sekali tapi masih tetap tenang seolah itu hal biasa, lumrah saja.
“Ya?,” bisik Arjuna.
Banowati membahasakan dirinya sebagai “mbakyu” atau kakak sejak pernikahannya dengan Duryodana, putra tertua para Kurawa yang satusnya lebih tua dari Pandawa.
“Adimas Arjuna, jika Raden menghendaki, mbakyumu Banowati ini bisa memberikan segalanya malam ini. Kau tak usah sungkan.”
“Sudah kutunggu,” bisik Arjuna lagi.
Setelah menerima izin, Banowati mendekati Arjuna. Berdebar-debar hati Arjuna selagi makhluk paling cantik yang pernah dia lihat ini mendekati dirinya. Arjuna bersandar selagi Banowati makin dekat. Banowati kini berada sangat dekat dengan Arjuna, dan meraih tangannya. Tangan itu dipandunya menyentuh dadanya. Arjuna menanggapi dengan meremas-remas buah dada Banowati di balik pakaiannya, lalu menyelipkan tangan ke balik pakaian tipis Banowati untuk menyentuh langsung kulit Banowati. Arjuna bukan orang yang tak berpengalaman, dia juga mulai mengulum-ngulum telinga Banowati sambil membisikkan kata-kata mesra. Banowati membalas dengan mulai mendesah manja. Kemudian Arjuna menyibak pakaian Banowati dan mengeluarkan satu payudara sang permaisuri. Dia memain-mainkan pentil Banowati yang mengeras. Selanjutnya dia menyibak kembali sisi lain pakaian Banowati, menyingkap payudara sebelahnya, sambil berpindah ke belakang Banowati. Dari belakang, Arjuna meremas-remas kedua payudara Banowati sambil menggerumiti pundak sang permaisuri. Karena tubuh atasnya sudah setengah telanjang, tampaklah di seputar bahu dan dada Banowati batas antara lapisan bedak putih yang menutupi wajah dan lehernya dengan kulit tubuhnya yang berwarna lebih gelap. Banowati terengah, mendesah, menengok dan berusaha menempelkan wajahnya ke wajah Arjuna yang terus menggarap pundak dan lehernya.
Puas menggerayangi payudara Banowati, kedua tangan Arjuna meraih ke bawah dan menemukan simpul pengikat Banowati. Tanpa membuang waktu dibukanya simpul itu dan dilepasnya segera sabuk yang mengikat pakaian sang permaisuri. Setelah membantu membebaskan tubuh indah Banowati dari belitan sabuk dan pakaian, Arjuna tak segan-segan menggerayangi seluruh tubuh itu, hanya menghindari rambut dan wajah Banowati agar tak merusak dandanan rumit sang permaisuri. Selagi Arjuna mengelus pinggang dan pinggul Banowati, dinikmatinya erangan lembut dewi itu.
Banowati tiba-tiba menggenggam kedua tangan Arjuna dan menjauhkan keduanya dari tubuhnya. Dia menoleh, tersenyum nakal, lalu beringsut maju sehingga tubuhnya menjauh dari Arjuna. Kemudian dia berbalik dan melepas pakaian tidur Arjuna, sehingga kini mereka berdua sama-sama nyaris telanjang. Diperhatikannya tubuh Arjuna yang bagus, sungguh tubuh seorang petarung yang tak kenal takut. Ditelusurinya beberapa bekas luka Arjuna dengan jemarinya yang halus, mulai dari leher, bahu, dada, perut, terus ke bawah…dan sampai pula tangan Banowati ke jendulan di balik cawat Arjuna. Banowati tersenyum, dan membuka cawat itu, mengeluarkan kejantanan Arjuna. Disentuhnya batang dan biji Arjuna, selagi wajahnya mendekat.
“Akan aku tunjukkan keahlian mbakyumu ini,” kata Banowati, lalu dijilatnya ujung batang Arjuna.
Setelah beberapa kali jilat, Banowati membuka mulut dan menyepong kejantanan sang kesatria. Sungguh erotis, pikir Arjuna ketika melihat bibir merah Banowati membelai batangnya dan wajah putih sang permaisuri maju-mundur di selangkangannya. Arjuna menikmati permainan bibir, lidah, gigi dan juga jemari Banowati, dan dia bertanya-tanya apakah keahlian ini yang membuat Banowati menjadi permaisuri? Rangsangan Banowati sungguh ampuh, dan cepat sekali mendorong Arjuna ke batas kemampuannya. Tanpa dapat menahan, Arjuna tiba-tiba memuncratkan benihnya dalam mulut Banowati. Sang permaisuri itu ternyata tak melepas kulumannya, dia menghisap seluruh mani yang dikeluarkan Arjuna. Setelah selesai, dengan lembut Banowati mengeluarkan kejantanan Arjuna dari mulutnya dan menyeka tetesan mani di sudut bibirnya. Banowati melihat kejantanan Arjuna mulai lemas, namun dia siap membuatnya tegak kembali.
“Dimas Arjuna,” rayu Banowati selagi kembali merapat ke tubuh Arjuna, “inilah leher, dada, dan perut mbakyumu. Silakan kau sentuh sekehendakmu. Silakan jilat dan gigit dan remas…”
Arjuna tak perlu menunggu lama menghujani tubuh Banowati dengan ciuman dan gigitan. Digenggamnya tubuh Banowati, lalu sang permaisuri itu pun didorong dengan lembut sehingga terbaring di futon, sementara Arjuna sendiri berubah posisi di atas tubuh wanita penghibur kelas tinggi itu. Arjuna terus meraba, menggerayangi, meremas, menggigit-gigit. Dilihatnya puting Banowati mengeras setelah dia jilati. Disaksikannya Banowati menggeliat dan merintih selagi dia mencupang leher dan dadanya. Mata Banowati terpejam dan bibir merah Banowati setengah terbuka, mengeluarkan suara-suara kenikmatan.
“Bagaimana, mbakyu Banowati?” tanya Arjuna.
“Sungguh nikmat, Raden …” kata Banowati sambil mendesah, dan menggerakkan pinggulnya ke atas sehingga bibir luar kemaluannya menyentuh selangkangan Arjuna.
Pada waktu yang sama, tangan kiri Banowati juga bergerilya ke sana, menggenggam dan mengocok kejantanan Arjuna supaya tegak kembali. Tangan kanannya meraih belakang leher Arjuna, mendekatkan tubuh Arjuna. Dia berbisik kepada Arjuna,
“Oh… Raden kau sungguh perkasa Raden … mohon jamahlah tubuh mbakyumu ini…”
Banowati membawa tangan pasangannya ke gerbang kewanitaannya. Arjuna bisa merasakan kehangatan kewanitaan Banowati, serta cairan yang membasahi tempat itu. Tangan Banowati membimbing tangan Arjuna meraup cairan itu, lalu menggerakkannya ke arah muka mereka berdua. Arjuna dalam posisi berhadap-hadapan dengan Banowati, dan jemari mereka berdua yang basah berada di antara muka keduanya.
“Apakah adimas ingin merasakannya?” tanya Banowati.
Arjuna tak menjawab tapi dia menjilat cairan kewanitaan Banowati yang berlumuran dari jemari mereka berdua, sementara Banowati ikut melakukan hal yang sama.
“Manisnya,” gumam Arjuna.
Banowati tersenyum, pelan-pelan mendorong Arjuna menjauh, lalu menggeser tubuhnya sehingga kini sepenuhnya berada di atas pembaringan. Dia duduk, menarik sepasang kakinya yang indah mendekat ke tubuhnya, lalu mengangkat tinggi-tinggi keduanya, sampai memperlihatkan bagian bawah pantatnya kepada Arjuna. Pelan-pelan Banowati meregangkan kedua pahanya, kaki kanan dan kirinya bergerak saling menjauh melintasi lengkungan di udara sampai akhirnya dia berposisi mengangkang, kedua tungkainya membentuk sudut tumpul yang membuka ke atas, kewanitaannya yang tercukur bersih tersaji menantang di tengah-tengah sudut itu. Tangan kiri Banowati meraih celah kewanitaannya, jemarinya membuka bibir bawahnya pelan-pelan sambil memain-mainkan kelentitnya. Caranya memain-mainkan kemaluannya sendiri hanya membuat dia makin basah, sehingga cairan kewanitaannya mengalir turun sampai melewati lubang duburnya dan membasahi sarung futon yang dia duduki. Banowati menjilat bibirnya sendiri selagi sepasang matanya yang lapar menatap Arjuna. Arjuna menelan ludah sambil menonton pertunjukan cabul itu.
“Maukah Raden?” undang Banowati. “Mbakyumu akan membawa kau ke puncak tertinggi…”
Sambil menyeringai lebar, dengan terburu-buru Arjuna langsung menerkam Banowati, saking tak sabarnya dia untuk merasakan perempuan itu setelah digoda sejak kedatangan si Banowati. Banowati menggerakkan kakinya ke depan seolah hendak menyambut kedatangan Arjuna. Kedua kaki Banowati merangkul dan menarik tubuh Arjuna sementara tangannya menyambut kejantanan Arjuna. Arjuna masuk dengan mudah, gerbang yang sudah becek itu terasa gampang dimasuki namun setelah di dalam, amat sempit dan kesat. Sambil bergerak maju-mundur menyenggamai Banowati, berganti-ganti antara cepat dan lambat, Arjuna terheran-heran dengan betapa peretnya liang kewanitaan Banowati. Tapi si permaisuri ini, rasanya seolah dia sedang bersenggama dengan perawan saja. Agaknya kuatnya jepitan Banowati termasuk satu hal yang melambungkan statusnya di mata Duryodana.
“Ahn… ahhh… ohh… Arjuna…- Raden … ungggh…”
Arjuna melihat ekspresi wajah Banowati yang seputih salju itu berganti-ganti, antara sakit dan nikmat. Dirasakannya kaki Banowati yang mengunci tubuhnya mendorong tubuhnya lebih dekat, seolah tak ingin melepasnya.
“Ehhh… enak sekali… ayolah Raden …” senyum Banowati terkembang sementara matanya terpejam, kata-katanya terlontar seolah tanpa dia pikirkan dulu. Arjuna hampir kehilangan akal merasakan bagaimana bagian dalam kewanitaan Banowati memijat-mijat dan merapat-merenggang secara bergantian di seputar kejantanannya, seolah-olah memijat batangnya. Belum pernah dia rasakan perempuan yang bisa melakukan itu. Apakah itu salah satu rahasia putra putri keraton prabu Salya? Arjuna memikirkan itu sambil mengulum telinga kanan Banowati, serta membenamkan hidungnya ke gelung rambut Banowati yang wangi. Banowati berubah posisi, kedua kakinya pindah dari punggung Arjuna, sekarang kedua betisnya dia sandarkan ke bahu Arjuna. Arjuna menarik mundur batangnya sampai hampir keluar, lalu mendesak sedalam mungkin. Dia mengulangi gerakan itu beberapa kali, dan setiap kali mendesak, Banowati menjerit lirih tanpa tertahan. Pinggul Banowati terus bergoyang mengimbangi gerakan Arjuna, kedua tangannya sekarang ada di samping kepala dan menggenggam seprei tempat tidur, sementara sepasang payudaranya berguncang-guncang mengikuti gerak Arjuna. Arjuna memang perkasa, sudah cukup lama persetubuhan mereka tapi dia tampak bisa bertahan. Sementara Banowati tampak sudah tak peduli lagi kalau di luar sana mungkin ada orang, dan mulai bersuara lebih keras seolah-olah ingin didengar semua orang di situ. Reaksinya makin liar, dia mulai menyentakkan kepala ke kanan-kiri sambil meremas-remas payudaranya sendiri. Teriakan-teriakannya yang penuh nafsu menerobos dinding kayu ruangan itu, didengar sayup-sayup oleh penjaga kamar Banowati yang jauh berada di luar pintu gerbang, ia terbengong-bengong membayangkan keelokan sang permaisuri. Keringat membasahi sekujur tubuh Banowati dan Arjuna selagi keduanya bertempur sengit demi kenikmatan. Dua tubuh itu bergerak pelan, setiap gerakan seakan ditakdirkan dalam cinta yang berbuncah dalam nafsu yang syahdu. Tak ada hentakan-hentakan yang kasar, tak ada remasan-remasan yang nakal, hanya gerakan penuh cinta yang membara.
Arjuna membalik tubuh mereka, membuat tubuh Banowati berada di atas, membiarkan wanita itu mengambil kendali. Duduk tegak di atas batang yang mengacung keras di dalam tubuhnya, Bergerak maju mundur dengan pelan, meremas batang Arjuna dengan lembut.
“Sayaaang,,, kalau terus seperti ini mungkin besok lusa baru selesai,,,”
Banowati tertawa. “Lhooo,,, memangnya kenapa sayang, biarkan mereka pulang duluan, kita lanjutkan liburan ini hanya berdua.”
“Hahahaa,,, memangnya kau sanggup terus melayani diriku,,,”
Kalau Raden dapat terus mengeras di dalam tubuhku, kenapa tidak, aku cukup tidur telentang dan menonton aksimu menikmati tubuhku,,, hihihik,,,” Banowati tertawa sambil terus menggerakkan pantatnya, duduk tegak memamerkan bongkahan payudara yang mancung di depan mata Arjuna.
“hahahaa,,, tapi tetap sajakan aku tidak bisa menyiram di dalam dirimu,,,”
Banowati menjatuhkan tubuhnya ke dada Arjuna. Menatap lekat mata si pejantan lananging jagad. Mereka kelelahan setelah memborong kenikmatan di atas ranjang. Banowati merebahkan kepala di dada telanjang Arjuna. Telinganya masih mendengar sisa-sisa gemuruh nafsu yang dilontarkan oleh jantung Arjuna.
“Raden, bercinta denganmu aku sangat bahagia.”
“Dengan Duryodana, bagaimana?”
“Tak seindah ini.”
“Anggap saja sebagai bonus, sayang.”
Mereka tertawa bersama. Lalu, diam. Entah siapa yang memulai. Hening sejenak, sebelum Arjuna angkat bicara.
“Kenapa diam?”
“Tiba-tiba aku menyesali dosa-dosa yang menyertai cinta kita ini, Adimas. Kenapa aku mengkhianati suami sebaik Duryodana, sih? Bahkan sampai bertahun-tahun seperti ini. Kamu juga menyesal, Raden?”
“Entahlah. Dosa-dosa yang sangat menyegarkan. Betapa nggak bermutunya cinta kita ya?”
“Hhh… nggak bermutu bagaimana, Raden? Bukankah hubungan cinta ini kita sebut sebagai cinta suci kita? Apa hanya karena didasarkan sekedar demi bonus kenikmatan, kah?”
“Embuh lah. Mau dibawa ke mana hubungan kita?”
Mereka segera berkemas dan kembali ke Hastinapura.
#####################
Banowati, siapa pun tahu, ia adalah permaisuri Prabu Duryodana raja Hastinapura. Kemolekannya terkenal seantero negeri. Duryodana sangat membanggakan permaisurinya itu. Namun, apakah Duryodana tidak mengetahui hubungan spesial antara istrinya itu dengan Arjuna yang sudah berlangsung selama separoh usia perkawinan mereka? Bukan tidak tahu. Pejabat maupun koleganya di Hastinapura beberapa kali melaporkan mengenai hubungan Banowati-Arjuna, ia selalu menepisnya. Ia terlalu cinta dan sayang kepada Banowati. Dewi Banowati berwatak jujur, penuh belas kasih, jatmika (penuh dengan sopan santun), tetapi agak sedikit genit. Lagi pula, ia merasakan cinta dan kasih Banowati tidak ada perubahan, juga kepada anak-anak mereka. Termasuk urusan di ranjang. Banowati yang pernah melahirkan dua anaknya, Lesmana Mandrakumara dan Lesmanawati itu sangat pandai merawat diri. Jadi, apa yang harus dicurigai dari istrinya itu? Wahai angin yang tak henti berhembus, itulah kelihaian Banowati. Memang sejak kapan sih percintaan Banowati dan Arjuna itu dimulai? Konon, sebelum Banowati direngkuh oleh Duryodana menjadi istrinya, ia dan Arjuna sudah pacaran. Jangan-jangan…. Lesmana Mandrakumara itu bukan anak Duryodana!
#######################
Suasana taman itu sejuk, angin mengalir dengan lancar.
Ada air yang mengucur dari tebing-tebing batu, ada pancuran buatan, bunga-bunga.
Kicauan burung dan degung lebah yang mencari madu, di tengah hamparan rumput itu, di bawah lindungan pohon sawo kecik, ada sebuah gazebo, dengan bangku-bangku kayu, dilingkari parit buatan, disitulah Arjuna, ksatria Pandawa dan Banowati, Permaisuri Kerajaan Hastinapura duduk bercinta-cintaan.
“Cinta kita ternyata tidak kampungan ya Raden!”
“Tentu. Cinta Arjuna adalah cinta dengan sebuah nilai tambah”.
“Maksud Raden?”
“Tidak perlu saya jelaskan. Kamu toh bisa merasakannya. Terasa kan?”
“Betul Raden. Raden lain dengan Gusti Suyudono!”
“Itulah yang kumaksud dengan nilai tambah! Sudah berapa lamakah kita bercinta-cintaan?”
“Baru dua jam Raden”.
“Maksudku sudah berapa tahun?”
“O, sudah lama. Tepatnya semenjak Lesmana Mandrakumara berada dalam kandungan
Sekarang Lesmana sudah remaja”.
“Berarti sudah belasan tahun ya?”
“Benar Raden. Sudah lama. Tapi mengapa Raden belum merasa bosan?”
“Kadang-kadang saya merasa bosan. Hidup ini kadang memang membosankan. Tapi di lain waktu
saya justru merasa mendapatkan kekuatan baru bila menghadapimu”.
“Tapi Raden, jangan terlalu banyak ngomong, Marilah kita mulai bercumbuan”.
“Mari!”
Arjuna dan Banowati lalu bercumbu lalu dilanjutkan dengan hubungan seks di gazebo itu. Mereka main sudah cukup lama bercinta ketika Banowati merasa bahwa Arjuna hanya tinggal menunggu waktu saja untuk mencapai puncak, Arjuna juga mempercepat gerakannya, menusuk Banowati makin brutal dengan “batang pusaka”-nya selagi jerit rintih sakit campur nikmat sang permaisuri bergema memecah malam. Puncaknya sampai ketika Arjuna muncrat di dalam rahim Banowati, mengosongkan benih yang tersimpan dalam tubuhnya dalam beberapa sempburan sambil melenguh lega. Dan bagaimana dengan Banowati? Banowati menjerit keras dan lama, wajahnya banjir keringat, dan liang kewanitaannya menjepit erat kejantanan Arjuna . Sang permaisuri melakukan sesuatu yang sedari tadi tidak dilakukannya. Dia meraih wajah Arjuna dan mencium bibirnya. Arjuna, yang menahan diri karena dia menganggap Banowati mungkin tak suka kalau dia melakukan sesuatu yang bisa merusak rias wajah sempurna itu, menyambut bibir dan lidah sang permaisuri dengan senang hati.
“Raden ingin menyirami dalam diriku?,,, ingin memenuhi rahimku yang tengah subur dengan bibitmu?,,,” tanya Banowati, tersenyum menggoda.
“Seandainya boleh,,,” ucap Arjuna, meremas pantat Banowati dan menekannya ke bawah, membuat batangnya menyundul pintu rahim si wanita.
“Ooowwwhhsss,,, ,, Arjunaaa,, apa Raden bisa merasakan mulut rahim yang tengah dihuni telurku,, sayaaang?,,,” Banowati mengusap pipi Arjuna, sambil mengulek batang Arjuna yang berusaha menyelusup lebih dalam.
“Eeemmmhhh,,, aaahhsss,, Hanya kau yang mampu menyentuh sisi terdalam garba-ku,,, benihmu pasti tidak akan kesulitan untuk membuahiku,,,”
Tiba-tiba Arjuna menggeleng, “Kau ingin membuatku merasa bersalah pada Kurupati?,,,”
Kata-kata itu membuat si wanita tertegun, gerakannya terhenti.
“Sayaaang,,, tak perlu memikirkan itu,,, sekarang aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita,,,” seru Arjuna, tangannya mendorong tubuh Banowati untuk kembali menduduki penisnya. Lalu meremas payudara Banowati. “Aku ingin melihatmu mengendarai tubuhku sayang,,,”
Wanita itu tertawa. “Hahaaha,, aku ngga bisa sayaaang,,, selama bersama kakang Duryudana kami lebih sering melakukan gaya yang biasa,,, Duryudana tak secerewet kamu,,, jadi jangan meminta yang aneh-aneh yaaa,,, aku maluu,,,hahhh,,,”
Tiba-tiba Banowati teringat saat tubuhnya bergerak liar meladeni keinginan Duryudana, kejadian yang akan membuatnya begitu malu setiap teringat kejadian itu.
“Yaa,, tapi sekarang kau akan melakukan itu untukku,,,” ucap Arjuna dengan gaya keren, melipat kedua tangannya kebawah kepala. “Ok,,, pertunjukan satu nyonya permaisuri,,,” sambungnya, memandang Banowati menunggu wanita itu beraksi.
“Hahhhh,, kau paling pinter membuatku malu,,, tapi jangan diketawain ya,,,”
Banowati menekuk kedua lututnya, berpegangan pada perut Arjuna, lalu perlahan mengangkat pinggul membuat batang Arjuna hampir terlepas, lalu dengan cepat kembali menghentak ke bawah.
“Ooooowwwsshhh,,,,” wanita itu kaget, ternyata gerakan yang dilakukan dengan terpaksa itu membuat lorong vaginanya terasa begitu nikmat, semakin cepat tubuhnya bergerak semakin rahimnya ketagihan, semakin kuat pantatnya menghentak semakin besar nikmat yang dirasakan oleh lorong rahimnya. Kali ini Banowati lebih bisa menikmati ulah nakalnya, sambil terengah-engah tersenyum puas melihat wajah Arjuna yang merem melek menikmati servis dari kelaminnya. Tapi itu justru membuatnya semakin bersemangat mengejar kenikmatan puncak.
“Arjunaku,,, ayo sayaaaang,,, aku ingin kau yang melakukannya untukku,,,” Banowati menarik tubuh Arjuna untuk kembali menindih tubuhnya. Merentang lebar pahanya. Memeluk erat tubuh Arjuna, mendesah penuh birahi ditelinga si lelaki yang mulai memacu tubuhnya dengan kecepatan tinggi.
“Ooowwwssshh,,, Arjuna kuu,,, akuuuu hanyaaa ingiin dirimuu,,, Ssshhh,,,”
“Aku ingin dirimu yang selaaaluuu mengiissiii dirikuuu sayaaang,,,”
“Oooowwwhhh,,, Saaaaayaaang bawaaa aku kepuncak sayaaang,,,”
Menjambak rambut sipejantan, memberi perintah tepat didepan wajahnya dengan suara menggeram nikmat, Tubuhnya Banowati melengkung mengangkat pantatnya lebih tinggi, mengejar batang Arjuna yang begitu cepat menggasak di liangnya yang sempit.
“Yyang keraas,,, Aaaggghh,,,”
“lebiiihh dalaaaam,,, Aggghhh,,, kaaauu bisaaa,,,”
“Radennn pastiii bisaaa membuahi sayaaaang,,,”
Banowati sadar apa yang diucapkannya, memohon pada lelaki yang bukan suaminya ini untuk menitipkan benih di rahimnya. Mendengar permohonan Banowati, Arjuna menghentak batangnya dengan kalap.
“Aaaagghh,,, Aku tidaaak bisa Mbakyuu,,,”
Tiba-tiba Banowati menatap Arjuna garang.
“Ku mohon sirami diriku Raden,,, izinkan aku pergi membawa buah cinta kita,,, Aaaghhhh,,,”
Dua tubuh yang tengah berpacu dalam birahi tinggi itu berdebat di antara decakan alat kawin yang membanjir. Di antara batang yang menghujam dengan ganas. Di antara liang senggama yang terus menyambut hujaman dan melumatnya dengan jepitan yang kuat.
“Tidaaak Mbakyuu,,, Agggghhhh,, aku maaau keluaaarr,,,”
“Oowwhh,, oowwhh,,,Aaaaku,,, owwhh,,,siaaap saayaaaang,,, hamilii akuuu,, sekaaaarang,,,”
“lepaaass sayaaaang,,, aku tidaaak bisaaa,,,”
“Ooowwwghhh,,, Gilaaa,,, gilaaa,,, aku saaampaii,,, aku keluaaarr,,,”
Banowati meregang orgasme, suaranya terengah-engah,,, melonjak-lonjak dengan mulut terbuka,,, menatap Arjuna memproklamirkan kenikmatan yang didapat. Tangannya meremas kuat pantat lelaki yang menindih tubuhnya. Dengan sepasang kaki yang menyilang mengunci paha Arjuna. Lagi-lagi Arjuna menggelengkan kepala. bisa saja dirinya dengan paksa melepaskan tubuh Banowati. Tapi kelamin milik Banowati yang tengah orgasme mencengkram penisnya dengan sangat kuat, terasa begitu nikmat, seakan ingin memisahkan batang itu dari tubuhnya. Memaksa spermanya menghambur keluar.
“Aaagghhh Mbakyuu,,,”
Arjuna meminta ketegasan dari apa yang akan dilakukan. Banowati yang masih dirudung orgasme panjang, hanya bisa mengangguk dengan nafas memburu, tatapan birahi nan syahdu yang mengemis sebuah siraman benih di rahimnya. Setelah berusaha menjejalkan penisnya lebih dalam, Arjuna memeluk tubuh Banowati yang membuka lebar pahanya, menapak di kasur membuat pantatnya melengkung keatas, membantu usaha Arjuna menjejali pintu rahimnya.
“Mbakyuu,,, Owwwhhh,,, sayaaaang,,, aku keluaaaaar,,, aku keluar di kelamin milikmu sayaaang,,, Ooowwhh,,,” pinggul lelaki itu mengejat, dengan kepala jamur besar yang menghambur cairan semen disertai ribuan benih kehidupan.
“Terimalaaah Mbakyuu,,, biarkan semua memasuki tubuhmu, sayaaang,,,” Arjuna terus berusaha mendorong penisnya lebih dalam, dengan semprotan kuat menggelitik daging yang sensitif.
Aksi Arjuna membuat Banowati kalang kabut, penis Arjuna serasa semakin membesar dalam jepitan kewanitaannya.
“Oooowwwhhh,,, Arjuna kuuh,,, akuuu,, akuuu keluar lagiii,,,” orgasme tiba-tiba kembali menyapa tubuhnya. Ikut mengejang dibawah tindihan tubuh Arjuna yang tengah mentransfer bermili-mili sperma kedalam tubuhnya.
Dua tubuh itu melonjak-lonjak, masing-masing sibuk menikmati aktifitas yang terjadi di alat kelamin mereka. Penis yang mengeras sempurna, menghambur beribu-ribu bibit cinta. Dan kelamin yang mencengkram kuat batang sang kekasih, berkedut, memijat ritmis pusaka sang penjantan, seolah memaksa menguras habis persedian sperma dari kantungnya.
“Oooowwwgghhh,, edaann,,, nikmat banget sayaaang,, edaann,,,”
Banowati terkapar, berusaha mengisi rongga paru dengan oksigen, menatap Arjuna yang masih mencari-cari kenikmatan tersisa yang didapat dari kelamin kekasihnya. Hingga akhirnya terdiam, tertelungkup menindih tubuh si wanita yang tersenyum puas.
“Mbakyu,,, apa kau sadar, dengan yang baru saja kita lakukan?,,,” tanya Arjuna, sambil menciumi wajah cantik Banowati.
“Yaaa,,, aku sadar,,, terimakasih sayang,,, terimakasih untuk yang sudah kau berikan ini,,, semoga memang terjadi, dan biarkan aku membawa titipan mu ini pergi,,,”
Banowati tersenyum, membiarkan bibir Arjuna bermain-main di wajahnya.
“Apa Raden bisa menikmati, menuntaskan semua di dalam tubuhku?,,,”
“Nikmat bangeeet,,, nikmat banget sayang,,, milikmu seperti menghisap habis semua benihku,,,”
##########################
Siang terasa tidak begitu panas, istana memang lagi sepi hanya ada satpam, staf sekretariat, klining servis dan dayang-dayang. Namun sebelum Arjuna datang mereka sudah diusir pergi oleh Gusti Ratu Banowati
“Mbok! Semua harus menyingkir jauh-jauh, Taman ini harus dikosongkan dan dijaga, jangan sampai ada orang mendekat.
Aku berniat untuk melakukan semedi. Menyatu dengan Sang Hyang Widi. Mengerti Mbok?”
“Sendiko Gusti”.
“Kalau aku belum keluar dari taman ini, Apapun yang terjadi tak ada seorangpun yang boleh masuk kemari. Mengerti Mbok?”
“Sendiko Gusti”.
“Supaya aku tidak kehausan ketika selesai semedi, coba kamu siapkan minuman dan nyamikan”.
“Sendiko Gusti”.
“Sekarang kamu boleh pergi”.
“Sendiko Gusti”.
Taman Istana Hastinapura siang itu sepi dan aman. Banowati mendapatkan beberapa nilai tambah dari Arjuna, jantung hatinya
“Raden. Sudah ada berapa cupang di leher saya?”
“Kalau tidak salah enam”.
“Mengapa tidak tujuh Raden?”
“Kalau kau maunya tujuh ya nanti kutambah”.
“Cukup Raden. Aku sudah mendapatkan nilai tambah itu”.
“Kau hanya bisa merasakannya”.
“Benar Raden. Aku bisa merasakan betapa menyegarkan dosa ini!”
“Dosa? Jadi kau menganggap cinta kita ini sebagai sebuah dosa”.
“Bukan sebagai dosa. Memang dosa Raden”.
Arjuna terdiam, Banowati memandangi rumputan, rambutnya tergerai dimainkan angin
mata Banowati berkaca-kaca, tak lama kemudian dia menangis. Arjuna buru-buru memeluknya, Banowati lalu menyandarkan kepalanya ke dada Arjuna setelah tangis Banowati reda Arjuna berkata
“Tangis adalah bagian dari Cinta”.
“Bagian dari dosa”.
“Dosa juga bagian dari kehidupan, Jadi sangat manusiawi”.
“Aku sedang menyesali dosa-dosa itu Raden. Mengapa aku sudah mengkhianati Gusti Suyudono sampai belasan tahun. Sekedar untuk mendapatkan sebuah nilai tambah. Kurasa itu sangat kampungan Raden”.
“Aku setuju. Aku mengerti”.
“Kadang-kadang kita ini memang sangat kampungan. Cobalah bayangkan, Seluruh taman ini dikosongkan. Dijaga Supaya kita bisa puas bercumbuan bahkan berhubungan intim”.
“Mereka tahunya junjungannya sedang semedi menyatu dengan Hyang Widi”.
“Itu lebih kampungan lagi”.
“Betul. Tapi akan lebih kampungan lagi bila kau terus terang pada mereka”.
“Yang kutakutkan jangan-jangan sebenarnya mereka semua tahu”.
“Memang mereka tahu. Itu pasti, Tapi mau apa? Anda adalah Permaisuri Kerajaan Hastinapura”.
“Ya. Betapa mahalnya sebuah nilai tambah”
“Memang”
“Bagaimana kalau kita mulai lagi Raden?”
“Setuju”
Angin mendesau, matahari tambah bergeser ke arah barat, keringat membasahi wajah dan leher Banowati.
“Mbakyu Banowati… maafkan.. aku telah…” belum sempat Arjuna menyelesaikan kalimat dengan bernafsu Banowati mencari bibir Arjuna dan menciuminya dengan garang. Oh,… gelagapan Arjuna dibuatnya. Ia tidak tahu, apakah Banowati marah atau sudah terangsang…. Arjuna membalas ciuman itu, lidahnya terjulur dan bertemu dengan lidah sang dewi. Beberapa saat lamanya lidah mereka berjalin seperti tak mau lepas. Tanpa banyak berkata-kata sang putri menurunkan gaunnya ke bawah, menampakkan dua gumpal buah dada yang tidak memakai beha. Puting susunya meruncing dan tegang.
“Aku terangsang sekali membayangkan kita berdua tadi….“ katanya terengah sambil mengasongkan kedua susunya ke arah Arjuna.
Arjunapun menyambut, tangan kiri meremas dan mulut mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba gerakan Arjuna terhenti. Dengan wajah kaget Banowati menatap heran. Arjuna lupa menggatungkan sejata panah yang dibawanya tadi. Gadis itu tersenyum dan merekapun melanjutkan permainan hangat ini. Buah dada besar montok dan kenyal itu ia kunyah sepuas hati.
Banowati mendesah keenakan. Jemarinya mencengkram kepala, mengusutkan rambut Arjuna. Masih dalam posisi duduk sang dewi yang cantik luar biasa ini mengangkang .. melepas gaunnya yang sudah setengah terbuka…. Dia pun tidak bercelana dalam sehingga gundukan vaginanya yang tebal dan tidak berambut itu merekah di depan Arjuna. Cairan bening meluap keluar. Mengalir di sela-sela celah kemaluannya. Di tak pedulikannya. Dibiarkan lendir bening itu mengalir…. Bahkan dia menyuruh Arjuna untuk memegangnya… jemarinya menyelusup ke liang senggama Banowati, hangat dan sangat basah oleh cairan pelicin. Disentuh klentitnya yang merah oleh Arjuna dengan ujung jemari.
“Akhh….” Banowati melolong tertahan.
“Geli, Raden!” desahnya tersentak. Kemudian sembari memeluk leher, dan mencium kening Raden Arjuna dia mengajak ke dipan tempat mereka pernah bercinta.
Tak banyak cingcong ia rengkuh dan gendong tubuh hangat Banowati ke pembaringan itu. Di sana ia baringkan. Tapi ketika pemuda itu hendak membuka celana, tiba-tiba sang permaisuri mendudukkan tubuhnya yang sudah bugil itu. Arjuna heran, apa yang akan dia perbuat.
“Bukalah celanamu, Raden!” katanya tak sabar sembari menarik kancing celana panjang Raden Arjuna. Setelah memelorotkan celana dalam, dengan sangat bernafsu sang dewi memegangi pangkal kemaluan Arjuna yang kembali menegang.
“Besar dan nikmat….” Seru Banowati sambil meremas-remas kemaluan Raden Arjuna.
“Sekarang giliranku…” katanya agak keras.
Dewi Banowati turun dari dipan dan berdiri di samping Arjuna, di dorongnya dada ke arah pembaringan, menyuruh Arjuna berbaring disana. Ia menurut. Setelah Arjuna berbaring, dewi Banowati pun menaikkan sebelah kakinya dan mengangkang di atas. Perlahan dia menekuk tubuh Arjuna dan memeluk dari atas.
“Masukkan, Raden.” Pintanya dengan nada gemas. Ia memegang batang kelamin itu dan memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian dengan agak kasar Banowati menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluan itu masuk lebih dalam ke tubuhnya.
“Ehhhhh…. Hhhhh” desahnya kacau seperti anak kecil yang rakus menetek di susu ibunya. Dalam posisi di atas dia menaik turunkan pantatnya dengan cepat… oh… batang kemaluan itu dicengkram dan di gesek-gesek seperti itu. Geli rasanya.
Posisi di bawah jarang dilakukan Arjuna …. Tapi kali ini ia menerima saja, karena ia ingin menikmati layanan Banowati. Kali ini Banowati yang giat menekan-nekankan pantatnya, maksudnya supaya punya Arjuna masuk lebih dalam. Sembari memeluk erat, sang dewi terus mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek crek crek terdengar lagi… kali ini bahkan di tingkahi oleh jeritan-jeritan kecil yang keluar dari mulut kekasihnya. Arjuna terus berbaring sembari meremas-remas pantatnya yang mulai berpeluh itu. Cairan vagina terasa terus merembes dari kemaluan Banowati. Dia sudah sangat terangsang. Liang kemaluannya sangat basah dan panas. Sesekali ia menekan dan menahan. Seolah hendak melumat habis seluruh kemaluan Arjuna dengan vaginanya. Terang saja Arjunapun semakin keenakan. Diam beberapa saat menahan tekanan, Banowati pun mengendurkan dan memulai lagi gerakan naik turunnya. Arjuna terus meremas-remas pantatnya. Dadanya yang kenyal itu menekan ke arah dada Arjuna, hampir membuatnya sesak nafas. Tapi Arjuna pasrah.. lha wong enak rasanya.
Selama sepuluh menit Banowati bergerak naik turun, nggak cape-cape kelihatannya. Tubuhnya semakin basah oleh keringat, bahkan wajahnya sudah dipenuhi keringat sebesar-besar biji jagung. Sebagian mengalir ke ujung hidung dan menitik menimpa wajah Arjuna. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang tergerai. Arjuna mencoba memiringkan kepala mencoba menghindari tetesan keringat dari wajahnya yang ayu. Saat itulah Banowati menengadah dan menyurukkan kepalanya ke leher, memeluk Arjuna dengan kuat dan mulai mendesah berkepanjangan. Pantatnya menekan kuat sampai seolah kemaluan itu mau ditelannya sampai habis.
“Raden.. enak sekali.. ahh” terasa kemaluan Banowati berdenyut hebat, tubuhnya bergetar tak kuasa menahan nikmat… nafasnya sangat memburu… dan..
Banowati pun lunglai dalam pelukan…. Sementara air mani gadis itu mengalir tak tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai bagian perut Arjuna.. dipeluknya gadis itu di punggungnya… membiarkan ia mengendurkan syaraf setelah tadi sangat tegang menikmati puncak orgasmenya. Sampai beberapa menit mereka masih berpelukan, kejantanan yang masih tegang itu masih berada di dalam ’sangkar’-nya. Banowati diam tak bergerak dalam pelukan Raden Arjuna, sepertinya dia lupa ada sesuatu yang bersemayam dalam tubuhnya. Perlahan gadisnya ini mengatur nafasnya yang tidak teratur. Setelah agak reda… perlahan Banowati bangkit dan melepas persetubuhan mereka. Lambat ia mengangkat pantatnya ke atas. Perlahan alat kelamin itu keluar dari vagina Banowati. Ketika sudah keluar seluruhnya…. Cairan vagina yang kental nampak melumuri batang kemaluan Arjuna. Ketika bagian ‘kepala’-nya akan keluar terdengar seperti bunyi plastik lengket yang basah akan di lepas. Clep..crrrek. Banowati tersenyum mendengar suara itu. Entah suara lipatan kemaluannya atau karena lendir yang begitu banyak melumuri batang kemaluan Arjuna.
########################
Arjuna dan Banowati mulai merasa bosan dan capek
“Anda masih mau lagi Raden?”
“Terserah situ”.
“Jadi Raden belum puas?”
“Manusia tidak pernah merasa puas dalam segala hal”.
“Jawaban Raden terlalu ilmiah untuk urusan seks”.
“Ya, kadang-kadang aku memang tidak cukup puas dengan sekedar predikat ksatria, pemanah ulung, play boy jempolan dan lain-lain itu. Kadang-kadang saya juga punya ambisi untuk jadi ilmuwan. Gombal ya?”
“Kampungan Raden!”
“Benar. Hari sudah akan sore. Sebaiknya Kangmasmu segera pergi”.
“Hati-hati Raden. Jangan sampai kepergok satpam”.
“Jangan risau mbakyu. Arjuna sudah berpengalaman puluhan tahun dalam menghadapi satpam. Permisi”.
“Mari Raden. Kuantar sampai ujung tembok”.
“Tidak usah”.
“Baik Raden”.
“Cepatlah berkemas, kita segera kembali ke Hastinapura. Jangan membuat Duryodana mencurigai hubungan kita,” kata Arjuna sambil melepas tangan Banowati yang melingkar di pinggangnya.
“Aku masih ingin bersamamu, Raden,” jawab Banowati manja.
“Iya. Aku pun begitu,” tukas Arjuna.
##########################
Senja belum juga turun, namun Banowati sudah sampai di istananya. Langkah-langkah kakinya kali ini tidak seringan seperti kemarin sehabis berkencan dengan Arjuna. Ia merasa pandangan mata orang yang dijumpai di istana itu mengandung kebencian di hati mereka. O, apakah perasaan ini tanda-tanda rasa bersalahnya karena telah mengkhianati perkawinannya dengan Duryodana? Embuh ra urus! Ia segera masuk ke kamarnya. Di sana ia menemukan Duryodana yang sedang leyeh-leyeh setelah seharian bekerja keras.
“Bagaimana acara semedi-mu di villa kita semalam, sayang?” sapa Duryodana sambil mengecup kening Banowati. Semedi? Hihihik … Banowati punya seribu macam alasan untuk bisa berkencan dengan Arjuna, salah satunya bersemedi di villa mereka.
Banowati hanya memberikan seulas senyum menggairahkan. Dan itu telah membuat lelah Duryodana hilang seketika. Dalam kisah Mahabarata, Duryudana dikenal sebagai tokoh antagonis. Dia memiliki sifat dan sikap yang buruk. Berbagai watak yang tidak baik seperti tidak peduli,mau menang sendiri, kejam dan tidak menghargai dan mengindahkan nasehat para sesepuh dan berbagai watak yang tidak baik lainnya sudah menjadi watak kesehariannya. Namun Untuk urusan cinta dan kasih sayang kepada istrinya, Duryudana sangat berbeda dengan sifat kesehariannya. Duryudana menjadi sosok yang luar biasa dan mungkin bisa menjadi contoh yang baik dalam mencintai dan mampu menerima cinta apa adanya. Bahkan kesetiaan dia terhadap istrinya sangat tidak masuk akal.
“Para Dewa selalu memberikan berkatnya padamu, sayang,” kata Duryodana.
“Kenapa begitu, Mas?” tanya Banowati sambil melingkarkan tangannya pada leher suaminya.
“Begini… setiap kali kamu selesai bersemedi, wajahmu selalu sumringah. Bukankah itu pertanda para Dewa memberkatimu, istriku?” kata Duryodana.
Mereka berpagutan. Lalu, sya…la…la…Mendengar permintaan Duryodana yang sudah terlanjur horny berat, mau tak mau pun pada akhirnya ia mau berrsetubuh sebagai istrinya yang tercinta. Walau di tiap persetubuhan itu, Duryodana tahu jika Banowati sama sekali tak menikmati sodokan batang penisnya.
“Bagaimana Banowati bisa merasakan enak… jika setiap kali aku menyetubuhi lubang kenikmatannya, lubang itu terasa begitu los… dan longgar…“ batin Duryodana.
“Aku hampir sama sekali tak merasakan gesekan nikmat pada dinding vaginanya sama sekali…”
Jelas saja yoni milik istrinya itu menjadi longgar, jika pada percintaan sebelumnya, vagina itu telah disesaki oleh batang lelaki yang sebesar gada rujakpolo.
Digerakkannya pinggulnya maju mundur, berusaha merasakan kenikmatan yang masih tersisa. Dengan kedua tangannya yang bebas, Duryodana mulai meraba dan meremas kedua pantat bulat istrinya. Lagi-lagi, ia rasakan lubang yoni milik istrinya begitu kopong, sama sekali tak menggigit. Mungkin sejak melahirkan dua anaknya. Iseng. Duryodana mulai meraba lubang anusn istrinya.
“Hei…. Mas….” Hardik Istrinya. “Jangan pernah coba buat masukin linggamu dalam pintu belakangku mas… …” ucap Banowati mengingatkan Duryodana setiap kali ia mencoba untuk menyentuh lubang anusnya. Duryodana senang melakukan itu dengan para selirnya. Sekilas, Duryodana sebenarnya ingin membunuh mereka berdua dan memotong lingga panjang milik Arjuna dengan pisau yang selalu ada di pinggangnya. Tapi Duryodana sama sekali tak ada niatan kuat untuk melakukan hal itu. Yang bisa dilakukan hanyalah menerima segala perlakuan mereka padanya. Padahal, Duryodana ingin sekali untuk dapat mencoba merasakan kenikmatan dengan istrinya. Tapi sudahlah, rasa untuk ingin merasakan Seks yang hot dengan istrinya sendiri hanyalah mimpi, toh diberi yoni milik istrinya ini saja Duryodana sudah bahagia. Walau sedikit sekali merasakan kenikmatan pada vagina Banowati, setelah beberapa menit menggoyang-goyangkan pinggulnya, pada akhirnya Duryodana berhasil juga membuang sperma panas pada yoni milik istrinya. Okelah, mungkin saat ini, ia bisa membiarkan mereka berpuas-puas diri untuk saling menyetubuhi di dalam tempat lain, tapi hati-2 setelah perang Mahabarata ini usai. Kembali tergambar, masa dimana Banowati akhirnya berhasil dinikahinya meskipun dia tahu bahwa tak akan pernah mampu memiliki hati dan cintanya. Cinta kasih Banowati telah terengkuh dibawa pergi oleh Arjuna. Duryudana sadar akan kelemahan dirinya. Namun cintanya begitu telah tertanam dan tertancap kuat dalam relung hatinya. Biarlah apa kata orang tentang istrinya ataupun apapun sikap istrinya terhadap dirinya yang adakalanya tersirat mengungkapkan harapan sejatinya, baginya Banowati adalah satu-satunya wanodya (wanita) yang dikasihinya sepenuh hatidan tiada tergantikan. Meskipun bila dia mau puluhan bahkan ratusan wanita yang tidak kalah cantik dengan Banowati mampu didapatkannya, namun Duryudana tiada mau melakukan itu, karena Banowati selalu memenuhi pandangan di setiap sisi hatinya.
#######################
Di hari lain, Taman Istana Hastinapura siang itu sepi dan aman. Banowati mendapatkan beberapa nilai tambah dari Arjuna, jantung hatinya.
“Bagaimana kalau kita mulai lagi Raden?”
“Setuju”
Angin mendesau, matahari tambah bergeser ke arah barat, keringat membasahi wajah dan leher Banowati. Selembar daun sawo kecik yang telah agak menguning lepas dari ranting lalu melayang jatuh. Siang itu, seluruh Warga Kurawa sedang keluar kota untuk menumpas gerombolan pengacau keamanan yang dimotori oleh para Pandawa. Kira-kira menjelang sore, Arjuna dan Banowati mulai merasa bosan dan capek.
“Anda masih mau lagi Raden?”
“Terserah situ”.
“Jadi Raden belum puas?”
“Manusia tidak pernah merasa puas dalam segala hal”.
“Jawaban Raden terlalu ilmiah untuk urusan seks”.
“Ya, kadang-kadang aku memang tidak cukup puas dengan sekedar predikat ksatria, pemanah ulung, play boy jempolan dan lain-lain itu. Kadang-kadang saya juga punya ambisi untuk jadi ilmuwan. Gombal ya?”
“Kampungan Raden!”
“Benar. Hari sudah akan sore. Sebaiknya Kangmasmu segera pergi”.
“Hati-hati Raden. Jangan sampai kepergok satpam”.
“Jangan risau mbakyu. Arjuna sudah berpengalaman
puluhan tahun dalam menghadapi satpam. Permisi”.
“Mari Raden. Kuantar sampai ujung tembok”.
“Tidak usah”.
“Baik Raden”.
Arjuna pergi. Banowati sendirian, dia lalu merapikan pakaian, rambut, make up, minum jamu galian singset, lalu melangkah ke luar taman. Di pintu taman itu satpam perempuan menghaturkan sembah.
Banowati membalas dengan sedikit mengangkat telapak tangan lalu melaju ke keputren.
Disana dayang-dayang sudah menunggu ketika junjungan mereka itu datang dan langsung masuk kamar. Dayang-dayang itu berbisik-bisik mendiskusikan junjungan mereka.
“Habis semedi, wajah Gusti ratu berbinar-binar”.
“Hyang Widi memang memberkatinya”.
“Tapi Gusti Ratu capek sekali tampaknya”.
“Ya, beliau langsung tidur”.
“Itulah Ratu”
“Beliau memang Ratu”
“Permaisuri.”
“Ya Permaisuri raja Gung Binatara”
Banowati Permaisuri Kerajaan Hastinapura, tertidur pulas, dengan menyungging senyum.
udara berangsur dingin, bersamaan dengan tenggelamnya Hyang Bagaskara, para fungsionaris Golongan Kurawa pun berdatangan dari luar kota. Istana kembali ramai, dayang-dayang sibuk, menyiapkan air hangat, minuman, dan makan malam.
#########################
Sebagai istri Kurupati, Dewi Banowati tidak pernah bisa melupakan lelaki pujaannya, Arjuna. Dan, Arjuna yang senantiasa dikuasai nafsu pun mengambil kesempatan di antara intrik politik dan kekuasaan menjelang perang Baratayudha dengan menemui dan mengajak Banowati berasyik masyuk di hutan perbatasan Astina. Perbuatan Dewi Banowati ini sebenarnya telah diketahui oleh pihak Kurawa, yakni Dursasana. Kepercayaan dan cinta Sang Kurupati yang demikian besar pada Dewi Banowati serta pergulatan menghadapi Pandawa untuk mempertahankan kekuasaan, sehingga mengabaikan laporan Dursasana yang memang berwatak brangasan atau tak sopan. Pada akhirnya, setelah Baratayudha selesai dengan kemenangan Pandawa, Dewi Banowati kembali kepelukan Arjuna. Salah satu pihak Kurawa yang selamat, yakni Aswatama putra Resi Durna, menyelinap diperkemahan Pandawa dan membunuh Dewi Banowati yang dianggap sebagai pengkhianat dan mata-mata yang menyebabkan kekalahan Kurawa. Lesmana anak siapa? Duryodana jingkrak-jingkrak gembira ketika Banowati mengabarkan kalau dirinya positif hamil. Lanang tenan, itulah predikat yang layak disandangkan kepada Duryodana yang saat itu baru dinobatkan sebagai raja muda Hastinapura yang kelak akan mewarisi tahta dari ayahnya. Dan, kabar kalau permaisurinya tengah mengandung calon jabang bayi, tentu saja ia bahagia bukan main. Duryodana bakal punya putra mahkota – dan ia sangat berharap anak yang lahir kelak adalah lelaki. Duryodana makin sayang kepada Banowati, permaisuri yang jelita. Ia perintahkan kepada para dayang untuk melayani 24 jam kebutuhan Banowati. Kandungan Banowati kudu sehat. Ia harus melahirkan manusia berkualitas, karena ia akan menjadi calon raja negara yang super power seantero jagad perwayangan. Banowati memanfaatkan kebaikan suaminya untuk merajuk jika ia menginginkan sesuatu hal, dan tanpa pikir panjang Duryodana mengabulkan keinginan istrinya. Kali ini – ini alasan yang bertama kali ia bikin – Banowati ingin menyegarkan pikiran di pesanggrahan di atas bukit yang tempatnya sangat sejuk dan tenang untuk tetirah. Duryodana tentu saja mengizinkan disertai permintaan maaf karena tak bisa mendampingi istrinya.
“Yes!!!” pekik Banowati, lirih.
######################
Di pesanggarahan Arjuna gelisah menunggu kedatangan Banowati. Sudah hampir dua bulan ia tak berjumpa dengan kekasih hatinya. Dasar Arjuna, pesan yang ia bawa melalui orang kepercayaannya sampai juga ke tangan Banowati dan disepakati untuk bertemu-kencan di pesanggrahan. Mereka pun melakukan olah-asmara seperti orang yang sangat kehausan di padang gersang. Edan. Cinta buta memang sering membuat gila orang yang melakoninya. Tapi, itulah cinta. Mereka tak bisa membedakan, cinta karena anugerah atawa cuma birahi semata? Embuh, ora urus.
“Say, perutmu agak gendut ya?” tanya Arjuna sambil mengelus perut Banowati.
“Iya. Di dalamnya ada anakmu!’ kata Banowati, kenes.
Mereka tertawa. Banowati bersandar di dinding, gadis hamil itu duduk sambil memeluk kedua lututnya. Setengah busana atasnya masih rapi tapi seluruh rok dan celananya sudah terbuka. Menampakkan kedua paha yang putih mulus dan montok. Sementara tumpukan daging putih kemerahan menyembul di sela rambut-rambut hitam yang nampak baru dicukur.
Sedikit tengadah dan dengan tatapan mata sendu ia berujar lirih… “Masukkanlah, Raden! Aku juga ingin menikmatinya….”
Arjuna hanya terdiam.. mereka sama-sama sudah membuka busana bagian bawah, beberapa menit kemudian mereka bergelut di pojok ruangan itu. Dengan penuh nafsu ditekankan tubuhnya ke tubuh Permaisuri itu. Banowati membalas dengan merengkuh leher Arjuna dan menciuminya penuh nafsu.
Tubuh Banowati terasa panas dan membara oleh gairah, bertubi-tubi diciuminya leher, pundak dan buah dadanya yang kenyal dan besar itu. Ia hanya melenguh-lenguh melepas nafasnya yang menderu. Setiap remasan dan kuluman… diiringi dengan erangan penuh kenikmatan. Tanpa disuruh Banowati membuka sebagian kancing bajunya. Menampakkan onggokan buah dada yang membulat dan putih. Tanpa membuka tali beha Banowati mengeluarkan buah dadanya itu dan mengasongkannya ke mulut Arjuna. Dengan rakus dikulumnya buah dada besar Banowati sepenuh mulut Arjuna. Banowati mengerang antara sakit dan enak. Nafas Arjuna pun semakin tersendat, hidung Arjuna beberapa kali terbenam ke bulatan kenyal dan hangat itu. Puncak dadanya basah oleh air liur Arjuna yang meluap karena nafsu. Licin dan agak susah meraih puting susunya yang mungil kemerahan itu. Jelas sekali kulihat proses peregangannya. Semula puting susu itu terbenam, namun dalam sekejap saja dia keluar menonjol dan mengeras. Banowati tahu susah mengulumnya tanpa memegang karena Arjuna mencengkram erat leher dan pinggang Permaisuri itu. Tanpa menunggu waktu Banowati memegangi buah dadanya dan mengarahkan putingnya ke mulut Arjuna. Arjuna pun mengulumnya seperti bayi yang kehausan. Mengulum dan menyedot sampai terdengar berbunyi mendecap-decap. Ia lihat Permaisuri itu, dalam sayu matanya merasakan kenikmatan, bibirnya tersungging senyuman dan tawa kecil.
‘Gigit sedikit, Raden.’ pintanya pada Arjuna.
Arjuna menuruti kemauannya, dengan gigi ia gigit sedikit puting susunya.
‘Aih….’ Jeritnya lirih sambil menggigit bibir. Barangkali ia tengah merasakan sensasi rangsangan nikmat luar biasa di bagian itu. Arjuna merasakan tubuhnya melunglai menahan nikmat.
Kemudian tubuh mereka saling mendekap semakin rapat. Gairah dan rangsangan nikmat menjalar dan memompa alirah darah semakin kencang. Secara naluriah Arjuna menyelusuri tubuh sintal Banowati. Mulai dari leher, terus ke punggung, meremas daging hangat di pinggul… terus ke bagian bawah. Akhirnya menyelip di antara paha. Permaisuri itu membuka pahanya sedikit, mengizinkan tangan Arjuna menggerayangi daerah itu.
Dalam pelukan erat, tangan Arjuna mencoba masuk… ehm.. bagian itu terasa hangat dan basah. Banowati menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam sembari menggigit bibir , desah-desah halus keluar tak tertahankan. Detak jantung Arjuna semakin kencang ketika ia bayangkan apa yang terjadi di’sana’. Gadisnya yang sedang hamil itu menggelinjang, nafasnya sesekali tertahan, sesekali ia seperti menerawang, apa yang dia harapkan? Arjuna tahu, Banowati menginginkan itu, dia mendorong-dorongkan pantatnya ke depan, agar bagian itu lebih tersentuh oleh jemarinya.
Dengan penuh pengertian Arjuna pun turun… dari leher… buah dada.. wajah Banowati terseret ke bawah, Arjuna menikmati setiap lekuk liku tubuhnya yang hangat. Setiap sentuhan dan gesekan menimbulkan rintihan lirih dari mulutnya. Wajah Banowati menengadah, matanya setengah terpejam, bibir agak terbuka, dan sedikit air liur menetes dari salah satu sudutnya.
“Teruskan, Raden… jangan hentikan..!” pintanya.
“Puaskan aku….!” katanya lagi tanpa rasa sungkan. Yah, tak ada rahasia di antara mereka. Apa yang dia inginkan untuk memuaskan hasratnya, pasti dia minta, kapan saja mereka bertemu. Begitu pula aku… kalau lagi pingin, dia pasti kasih.
Perlahan Arjuna menyusuri tubuhnya ke bagian bawah. Sekarang Arjuna sudah di atas perutnya yang mulus. Arjuna bermain-main sebentar di sana. seluruh tubuh Banowati memang sangat menggairahkan. Tidak ada lekuk tubuhnya yang tidak indah. Arjuna sangat menikmati semuanya.
Tiba-tiba Banowati memegang kepala Arjuna, meremas sedikit rambutnya dan mendorong kepala Arjuna ke bawah.
“Ayo, Raden, sudah gak tahan nih..! Jangan di situ aja dong….Aih..” Arjuna menurut…. Dulu Arjuna bilang ia ingin merasakan dan menjilati kemaluannya, dia bilang hal itu menjijikkan. Dalam keadaan terangsang dia sangat menginginkanya.
Sesampai di bagian itu… Arjuna terpana menyaksikan pemandangan indah terbentang tepat di depan matanya. Setumpuk daging berwarna kemerahan berkilat di celah-celahnya. Bagian itu, bibir kemaluan Banowati yang merah dan basah dipenuhi cecairan lendir yang bening. Dengan kedua jari telunjuk dibukanya celah itu lebih lebar… Klentitnya menyembul… nampak berkedut karena rangsangan nikmat tidak terkira. Berkali-kali ia berkedut… setiap denyutan dibarengi dengan nafas dan rintih tertahan Permaisuri itu. Arjuna memandang ke atas. Ke arah payudaranya yang terbuka, putingnya semakin mengeras. Nafasnya terengah-engah, buah dada ratu yang putih itu nampak naik turun dengan cepat. Terlihat lagi kemaluan gadisnya itu… semakin merah dan merekah. Ia buka lagi dengan dua telunjuk… cairan kental pun mengalir deras. Meluap dan merembes sampai ke sela paha, persis seperti orang yang sedang ngiler. Cairan itu terus mengalir perlahan… sampai ke arah anus. Kemudian perlahan berkumpul dan akhirnya menitik ke lantai. Semakin lama semakin banyak titik-titik lendir bening yang jatuh di lantai kamar itu. Terasa Banowati merenggut rambutnya… dan menekankan kepala ke arah vaginanya yang sedang terangsang itu. Arjuna pun semakin bernafsu…. Dengan penuh semangat Arjuna pun mulai mengulum dan menjilati seluruh sudut kemaluan Banowati
“Ahh…. Ahhhh… nikmat sekali, Raden!” Banowati merintih, tubuhnya menegang, cengkramannya di kepala Arjuna semakin kuat. Pahanya mengempot menekan ke arah muka, sementara kemaluannya semakin merah dan penuh dengan lendir yang sangat licin.
Arjuna pun semakin dalam menusuk-nusukkan lidah ke liang senggamanya. Beberapa kali klentitnya tersentuh oleh ujung gigi, setiap sentuhan memberi pengaruh yang hebat. Permaisuri Hastina itu melolong menahan nikmat… Arjuna terus menyelusuri bagian terdalam vaginanya. Oh… hangat dan sangat-sangat basah. Tak bisa dibayangkan kenikmatan apa yang dirasakannya saat ini. barangkali sama nikmatnya dengan rangsangan yang diperoleh dari kemaluan Arjuna yang juga sudah mengeras sedari tadi.
Rasanya sangat nikmat dan tergelitik terutama di bagian pangkal… rasanya ingin Arjuna melepaskan nikmat di saat itu juga. Tapi ia harus menyelesaikan permainan awal ini dulu, gadis gatal ini minta untuk segera di tuntaskan. Semakin Arjuna memainkan kemaluannya, semakin ia mengempot dan menekankan kepala ke arahnya. Sesekali Arjuna menengadah menatap wajahnya yang merah. Tampak ia menghapus air liurnya yang mengucur dengan lidahnya yang merah itu. Tiba-tiba ia tertawa mengikik… seperti ada yang lucu. Ia mengusap wajah Arjuna yang bergelimang cairan vaginanya. Sambil memandang penuh pengertian.
“Lagi, Raden” pintanya.
Arjuna mengulangi lagi kegiatan itu, putri itupun kembali merintih-rintih menahan rangsangan hebat itu di kemaluannya. Beberapa kali klentit itu disentuh dengan ujung gigi. Tiba saatnya, dia sudah sampai mendekati puncak. Nafas semakin memburu dan tubuhnya menegang hebat beberapa kali. Tanpa sungkan lagi, Banowati mengeluarkan lolongan penuh kenikmatan ketika rasa enak itu tiba… “Ohhhhh… hhhh…ahhhhhhhh…” jeritnya lepas.
“Enak sekali…” Pantatnya mengempot ke depan setiap denyutan nikmat itu menyergap vaginanya… dan setiap denyutan diiringi dengan keluarnya cairan yang lebih banyak lagi. Beberapa cairan itu bagaikan menyembur dari liang senggamanya, Arjuna mundur sebentar, melihat bagaimana bentuknya vagina yang sedang mengalami orgasme.
Tegang, merah, basah… berkedut-kedut, cairan pun membanjir sampai ke kedua pahanya….. mengalir dengan banyaknya sampai ke mata kaki… Arjuna pun tidak tahan melihat keadaan itu, cepat Arjuna berdiri… mengasongkan kemaluan yang sudah tegang itu ke arah Banowati. Banowati memeluk Arjuna, terasa tubuhnya bersimbah peluh, wajahnya yang memerah karena baru melepas nikmat itu disusupkannya ke leher Arjuna. Memeluk Arjuna semakin kuat…
“Puaskanlah dirimu, Raden!”
Arjuna pun mendekap tubuh sintal itu semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk di titik kemaluan Arjuna. Terasa semakin menegang dan mengeras…. Tapi Arjuna ingin merasakan sensasi yang lain.
Diturunkannya kepala Permaisuri itu ke bagian itu. Ia menurut, perlahan ia menyusuri tubuhnya dari dada terus turun ke bawah. Seperti yang dilakukan tadi, mulut Banowati menciumi perutnya dan terus turun… sesampai di bagian itu ia memandangi penis yang selama ini selalu dia senangi.
Ia menengadah.. memandang Arjuna dengan senyuman nakal.
“Besar sekali punyamu, Raden! Ini untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan mulai meremas pangkalnya. Arjuna terkesiap… jemari lembut itu mulai mengocok-ngocok kemaluan Arjuna dengan penuh cinta.
“Nikmatilah, Raden! Aku ingin kamu menikmati dan merasakan kenikmatan seperti yang aku rasakan, kamu milikku, tidak boleh untuk orang lain….” Arjuna mengangguk sambil tersenyum, perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau melakukan apa saja.
Perlahan ia mulai mengocok pengkal kemaluan Arjuna… sesekali ia mengecup bagian kepalanya yang seperti topi baja itu. Lembut dan penuh kasih sayang. Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil matanya terpejam.
“Ohh.. inilah yang aku impikan selama ini. Kepunyaanku milik kekasihku yang perkasa…” Kemudian ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam dan meremas-remas menimbulkan rasa geli luar biasa. Kemaluan Arjuna semakin menegang menahan nikmat.. keras dan enak.
Permaisuri itu sangat lihai mempermainkan jemarinya, seolah dia turut merasakan apa yang ia rasakan. Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal kemaluan Arjuna jemarinya terus juga digesekkannya. Akhirny Arjuna pun tak tahan lagi… ia merenggut rambut di kepala Banowati, tubuhnya pun menegang. Arjuna mendorongkan pantatnya ke depan, paha mengejang menahan sesuatu yang bakal dikeluarkan.
“mbakyu Banowati…” kata Arjuna sambil mencengkram rambutnya.
Ia menatap Arjuna, wajahnya tepat di ujung kemaluan Arjuna yang sedang dicengkeramnya. Permaisuri itu tersenyum kecil…. Dia senang menatap Arjuna yang sedang dalam puncak nikmat. Maka, sambil setengah terpejam, Arjuna pun mengeluarkan segalanya, kemaluan Arjuna meledak dalam genggaman tangan Banowati, menyemburkan air mani yang sangat banyak, mengenai seluruh muka Permaisuri itu. Sebagian ada yang menyembur dan kena ke rambutnya. Kelopak mata Permaisuri itu berkedip menahan serangan air mani yang mendarat di wajahnya…
“Hhhh…hhhh.hh,” perlahan nafas Arjuna mulai teratur… puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-kata.
Banowati bangkit berdiri dan menuju pojok ruangan. Paha dan pantat mulusnya nampak gemulai ketika ia melangkah. Permaisuri itu mengambil baju, mengusapkannya di wajah yang penuh cairan mani. Menoleh ke arah Arjuna sambil tersenyum, kemudian berjalan ke arahnya. Merentangkan kedua tangan, memeluk kesatria itu dan menempelkan pipinya di pipi Arjuna.
“Enak ya, Raden”
Arjuna mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang matanya lekat-lekat. Ia membalas tatapan Arjuna,
“Aku sangat mencintaimu, Raden. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanya…” Entah berapa lama mereka berpelukan sambil berdiri.
Tak lama kemudian mereka sudah berpelukan hampir tanpa busana. Dia berada di bawah dalam posisi tradisional. Siap dan menanti untuk dimasuki oleh lelaki yang bukan kekasihnya ini.
“Kalau malam begini… aku selalu membayangkan bersamamu, Raden.” Bisiknya di telinga, kedua tangan melingkar erat di leher Arjuna. Pipinya menempel erat dipipi Arjuna.
“Benarkah?” jawab Arjuna sambil mencium pipi hangat itu. Banowati mengangguk.
“Kadang bayanganmu begitui jelas seolah merasuki tubuhku…. Kalau begitu aku suka… emmh.. basah, Raden.”
“Oh, ya?”
“Iya… coba kamu rasakan, Raden.” Katanya sambil menggerakkan pantatnya, menggesekkan tumpukan kemaluannya di batang penis Arjuna. Ya, terasa hangat dan basah… “Sebelum kamu datang, aku sudah membayangkan dirimu.. emhhmmm… tanpa sadar ‘dia’ pun … sudah basah… Arjuna mencium telinga Banowati, dia seperti merinding., tubuhnya menggelinjang karena merinding kegelian.
“Kadang…” bisik Banowati lagi, “Keluar banyak sekali, sampai membasahi celanaku… sekarang juga udah begitu, Raden.”
Ya, Arjuna merasakan itu, sangat hangat dan sangat basah. Penasaran Arjuna menyelusupkan jemari ke daerah itu. Ya ampun! Sepertinya Arjuna memasukkan tangan ke mangkok bubur yang hangat. Tak disangka, permisuri genit ini ternyata menyimpan bara begitu panas. Sebuah rahasia yang selama ini dia pendam…
“Masukkan punyamu, Raden!” pinta Banowati … “Aku udah gak tahan lagi, sedari tadi aku menahan rasa terhadapmu… jangan sia-siakan malam ini… walau sebentar, aku akan puas….” Gadis itu menggelinjang sekali lagi, membetulkan posisi berbaringnya dan membuka pahanya sedikit lebih lebar agar mudah Arjuna menggelosorkan kemaluan ke liang senggamanya yang hangat itu.
Terasa meluncur dengan lancar memasuki kemaluan gadis itu. Terus masuk dan membenam sambil ke celah yang paling dalam. Gadis itu mengetatkan pahanya dan pantatnya mulai bergoyang ke kiri da ke kanan. Tubuhnya terasa semakin memanas. Pelukannya begitu erat dan buah dadanya yang menempel menekan ke dadanya. Dia sudah begitu bernafsu, nafsu yang di pendam lama dan ingin di lepaskan dalam pelukanku malam ini juga. Terus terang di menit-menit penuh cinta itu Arjuna tidak ingat lagi dengan raja Hastina, suami sang putri ini. Gadis ini butuh dipuaskan. Hasrat yang sudah menyeruak tidak bisa lagi di tarik surut ke dalam. Segala rem sudah di lepas dan mereka pun melayang tanpa kendali menikmati semuanya malam ini. Terdengar hujan di luar semakin deras. Titik air yang berjuta-juta itu seolah berlomba terjun ke bumi menimbulkan suara gemuruh tidak henti-hentinya. Tapi gemuruh itu tak sedahsyat gemuruh nafsu mereka berdua, Arjuna dan Banowati yang tengah menikmati cinta. Entah sudah berapa kali batang kemaluan keluar masuk liang senggama Banowati. Sudah berapa kali pula dia menggepit-gepit dan memeluk Arjuna dengan erat dengan kedua tangannya. Entah berapa kali ia terengah dan menggelinjang menggeram penuh nikmat.
“Hhhhhh… ehhhhhhh..hhhhhh….” erangnya setiap Arjuna mainkan dan menekan pantatnya ke kemaluan Banowati.
Luar biasa, setiap tekanan ke bawah di balasnya dengan tekanan ke atas. Terasa sudah sepuluh menit Arjuna mengayun pinggul di atas tubuhnya. Liang kemaluannya terasa semakin rapat dan sangat licin, mencengkram kuat batang kemaluan yagn menegang. Arjuna mengendurkan sedikit gerakannya. Mengalihkan perhatian ke tubuh bagian atas. Banowati mengerti, ia meregangkan tubuhnya menarik kepalanya ke belakang, membiarkan buah dada besar yang putih berkeringat itu meenyeruak dari pelukannya. Buah dada permaisuri yang besar dan kenyal, tidak seperti payudara anak-anak kota yang besar tapi loyo. Dua gumpalan kenyal itu pun kusergap dengan mulutnya, Arjuna melahap dan kunyah-kunyah sepuas hati. Puting susunya yang merah itu ku kulum dan hisap-hisap sambil digigit sedikit. Hanya sebentar saja, gadis itu menjerit tertahan….
“Ohhh.. geli, Raden!”
Arjuna terus mengulum…. Berganti ke kiri dan ke kanan, kemudian tangannya pun meremas-remas pangkal payudara Banowati dengan gemas. Sangat kenyal, hangat dan enak rasanya.
“Aku sudah gak tahan lagi… Raden,” rintihnya lirih, tubuhnya semakin panas dan berkeringat, tubuh Arjuna juga sama. Dalam hawa malam yang cukup sejuk karena hujan itu seolah tubuh mereka mengeluarkan uap. Tubuh bugil bermandi keringat yang mengebulkan asap nafsu birahi tak tertahankan.
Setelah puas dengan buah dada kenyal itu, Arjuna memeluk punggung gadis itu. Terasa dia mengangkat lututnya, menggepitnya di pantatnya. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya dan memelukku di pinggang.
“Tekan-tekan lagi, Raden.” pintanya.
Arjuna juga sudah pingin merasakan gesekan kemaluannya. Sambil saling berpagut erat Arjuna mengayunkan lagi pantatnya di atas rengakahan pahanya yang montok itu. Dia pun semakin menggepitk-gepitkan kakinya. Sekarang mereka konsentrasi ke setiap gesekan, setiap lipatan, setiap senti dari liang kemaluan Banowati. Malam ini sunguh hanya milik mereka berdua. Gesekan-gesekan itu semakin lama semakin berirama. Sementara Banowati melakukan aksi yang menambah kenikmatan, ia menggepit… lalu menahan. Gepit tahan gepit tahan…. Oh tak terlukiskan enaknya bercinta dengan gadis ini. Gesekan itu semakin intens mereka lakukan. Sampai-sampai mereka tak sadar kalau hujan sudah berhenti. Malam di luar terasa hening…. Tapi di atas dipan yang berbunyi kriak-kriuk ini dua tubuh saling memompa berpacu mengejar waktu. Takut kalau Dursasana dan Aswatama yang masuk. Arjunapun mempercepat ayunannya… sehingga di malam yang menjadi sunyi ini terdengar jelas suara penis yang keluar masuk ke kemaluan Banowati. Beradu rasa dalam limpahan cairan kemaluan Banowati. ‘Crekk.. Crekk.. Crekkk. Crek…Crekkk.. Crrek…kejantanannya naik turun menggesek lipatan-lipatan dinding kemaluan gadis itu. Bunyinya terdengar jelas sekali di telinga mereka berdua. Sesekali ia tekan akan kuat, gadis itu membiarkan dan menerima tekanan itu, menggeolkan pantatnya berkali-kali agar kelentitnya lebih tersentuh pangkal atas kemaluan yang keras.
“Tekan terus, Raden.. aihh…” Arjuna menekan lagi sambil menggerakkan pantat ke kiri dan ke kanan. Mungkin dia merasa gatal dan ingin gatal itu digaruk sampai tuntas…. Penggaruknya adalah batang kemaluan yang dia cengkram dan dia benamkan sedalam-dalamnya.
“Ohhh..ohhhhhhhhh,” lolong gadis itu melepas nikmat. Seluruh liang senggamanya berkedut-kedut dan sembari menggepit kuat. Tubuh Banowati menggelinjang dan menegang menahan rasa enak ketika ia mengeluarkan air kewanitanya.
“Eughhh…hhhhh… euuughhhhh….. ahhhhh… ” rintihnya sambil menyurupkan wajahnya ke leher Arjuna, lehernya nafasnya menderu, air liur berceceran dari bibirnya yang merah.
“Terusin aja, Raden….. Kalau enak ngapain juga di berhenti” bisik Banowati seolah hendak menghapus keraguannya. Maka Arjuna pun meneruskan lagi, kali ini dengan irama yang lebih cepat dan… tak lama kemudian croott…crotttt… sambil menekan Arjuna mengeluarkan air mani di dalam kemaluan Banowati yang mencengkram erat itu. Oh nikmatnya.
Beberapa menit telah berlalu. Sesudah menghapus keringat di dada, Banowati mengenakan pakaiannya. Kemudian sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia merapikan rambutnya yang kusut masai. Wajahnya tampak puas. Sangat puas telah beroleh kenikmatan yang selama ini didambakannya.
##########################
Saatnya Banowati melahirkan anak pertamanya. Sayang sekali, Duryodana tidak ada di sampingnya. Ia sedang melakukan titian muhibah ke negeri jiran. Ia sempat memperkirakan kalau anak pertamanya akan lahir setelah ia pulang dari acara kenegaraan itu. Rupanya si jabang bayi ingin segera melihat dunia. Tangisan bayi memecah kesunyian istana keputren. Bidan istana yang membantu proses persalinan Banowati membawa bayi merah ke dekat wajah Banowati.
“Anak lanang, gusti permaisuri,” kata bidan istana, setengah berbisik.
“Syukurlah. Kakang Duryodana pasti akan sangat bahagia,” jawab Banowati.
“Wajah anak ini tampan sekali, gusti!” kata bidan istana lagi.
Banowati segera menatap wajah anaknya. Dan ia sangat terperanjat. Wajah anaknya mirip sekali dengan wajah Arjuna, kekasih gelapnya. Tak ada mirip-miripnya dengan Duryodana. Ia segera meminta bidan dan dayang-dayang lainnya untuk keluar kamar. Ia beralasan, ingin beristirahat.
Bingung. Linglung. Itulah yang berkecamuk di pikiran dan dada Banowati. Bagaimana reaksi Duryodana nanti ketika melihat bayi itu? Ia pasti akan tahu kalau bayi itu bukan dari benihnya. Dalam kekalutan seperti itu hadir Bethari Durga masuk ke dalam kamarnya.
“Bantu aku Bethari. Please… bla..bla…” sembah Banowati kepada Bathari berjenis kelamin perempuan itu.
“Oke, gampang saja. Tapi ada tumbalnya!” sahut Bethari Durga.
Kesepakatan diperoleh. Simsalabim. Wajah bayi itu disulap menjadi sangat mirip dengan Duryodana. Banowati lega hatinya.
##############################
Maka, Duryodana melakukan acara sepasaran bayi sekaligus mengumumkan nama bayi lelaki itu: Lesmana Mandrakumara. Sebagai calon putra mahkota, Duryodana sangat mencintai Lesmana. Namun, dalam perkembangannya, Lesmana semakin berperilaku aneh, selalu kekanak-kanakan. Tidak pernah dewasa. Lesmana menderita keterbelakangan mental. Itulah tumbal yang disepakati oleh Banowati dan Bethari Durga. Dan saat dia harus maju perang sendiri ke medan perang, yang diingatnya hanyalah Banowati. Keselamatan Banowati adalah yang paling utama, maka dia memerintahkan prajurit kerajaan untuk mengamankan istri tercintanya ke tempat persembunyian.
“Suamiku bagaimana kabar dari perang Baratayuda? Apakah sudah berakhir? Apakah Kanda telah menyerahkan sebagian negri Astina kepada Pandawa?”
Mendengar pertanyaan dari bibir indah istrinya Banowati, seakan menusuk perih jiwa Duryudana. Ia sadar, apa maksud dari pertanyaan istrinya, yang sebenarnya ingin memastikan keselamatan dari kekasih abadinya, Arjuna.
“Istriku tercinta, perang masih berlangsung. Banyak sudah pepunden dan orang-orang terkasih telah gugur dalam peperangan ini. Eyang Bisma, telah gugur membela negri. Guru kami Durna, pun telah tiada. Dan suami dari kakakmu Surtikanti, Kanda Karna, pun telah gugur setelah menjadi senapati Astina. Kakakmu Surtikanti, mati bela pati,” geram Duryudana membayangkan gugurnya para andalannya yang gugur dalam pertempuran itu.
“Lalu apa kata dunia, bila mereka-mereka yang telah memberikan nyawa untuk negri ini sementara aku kemudian menyerah kalah? Sungguh aku akan dicap menjadi orang tak tahu diri. Termasuk golongan pecundang. Berpesta pora di atas darah dan peluh orang-orang yang membantu kemulyaan kita. Ingat Banowati istriku, selama tubuh Duryudana ini masih tegak berdiri. Selama nyawaku masih berada dalam jasadku, selama itu pula aku akan tetap melanjutkan peperangan ini,” tekat Duryudana dengan menahan amarah dan dendam membara.
“Namun bukankah Pandawa masih saudara kita sendiri Kangmas ? Bukankah sebenarnya Kangmas dapat menghindari perang saudara ini dengan memberikan hak mereka akan sepenggal tanah di Astina ini. Bukankah sebagai gantinyapun, rama Prabu Salya telah bersedia memberikan negeri Mandraka bila Kangmas menghendakinya ?” pedih Banowati tidak berdaya.
“Oooo Banowati, dinda tidak mengerti bagaimana perih hati ini menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa. Meskipun itu juga tidak diperoleh dengan percuma. Banyak ksatria mereka yang tewas juga. Namun Pandawa masih lengkap berjumlah lima, sedangkan Kurawa ? Tinggal berjumlah lima, dinda. Seratus tinggal lima. Bagaimana pertanggungjawabanku terhadap adik-adikku yang berkorban demi kemulyaan kakaknya, kalau aku saat ini menyerah begitu saja. Tidak, dinda ! Tidak saat ini dan tidak untuk selamanya ! Meskipun Pandawa masih bersaudara dekat denganku, meskipun masa kecil kami lalui bersama, namun saat ini keyakinanlah yang membuat peperangan antara kami harus terjadi”
“Oleh karenanya, kanda pamit kepadamu dinda. Ijinkanlah suamimu ini tuk maju ke medan laga. Perang pastilah menghasilkan hanya ada dua pilihan. Antara menang atau sebagai pecundang, antara masih hidup atau meregang nyawa. Itu yang kanda sadari dan tentunya juga si Adi. Dinda tahu bagaimana cinta kanda kepadamu. Dari awal kita menikah hingga kini tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Cintaku buta, tidak peduli akan terpaan kejadian apapun ataupun gejolak di hatimu yang setidaknya aku ketahui,” lembut Duryodana mengungkapkan hal itu.
Sebelum dia maju berperang melawan Pandawa, Duryodana harus yakin akan keselamatan Banowati, meskipun ia tahu dia maju berperang untuk menjemput maut.
First comment: Duryodana ini cuckold yg sangat setia,,, and he did not regret it. Gw gak pernah suka Arjuna.
By: Ruhul Yaqin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar