Kamis, 31 Mei 2012

Panasnya Rimba Papua

Mona

Sudah lewat tengah malam. Aroma rusa guling bakar menyeruak hidungku. Air liurku menetes, demi menyaksikan Kibo yang ligat membolak balik hasil buruan kami di atas api unggun. Kami sama-sama lapar berat, karena sudah hampir setengah harian berburu rusa di rimba Papua. Untung saja, Kibo berhasil membidik seekor rusa malang yang sedang lengah.

Mata rusa itu mengerlip seperti lampu. Kibo mengarahkan dengan hati-hati senapan laras panjang jenis Mauser ke arah buruan. Ia tak ingin menimbulkan gaduh. Ah. Seekor rusa dewasa.

Aku menunggu di belakang dengan senter di tangan. Sebagai seorang perempuan, aku kurang mahir berburu. Tapi kalau temanku yang berkulit hitam dan bertubuh tegap ini, jangan ditanya. Berburu rusa adalah sumber hidupnya, sebagai orang asli Papua. Selain babi, tentunya.

Kibo memberiku aba-aba untuk mengarahkan senter tepat ke arah rusa itu. Mendadak rusa itu diam mematung, terpaku melihat sinar. Dalam hitungan detik, suara senapan meletus, memekakkan telinga.

Bidikan Kibo yang jitu, berhasil melumpuhkan buruan kami seketika. Dengan cekatan Kibo menyembelih dan membuang isi perutnya. Aku terkekeh-kekeh senang melihatnya. Akhirnya kami bisa makan malam.

Aku dan Kibo pernah menjelajahi pegunungan Tamrau dan Arfak untuk berburu rusa. Namun, lokasi favorit kami masih di sepanjang pantai Kepala Burung. Sayang, kini semakin susah saja untuk menemukan rusa dewasa. Hewan itu kian langka. Banyak tangan yang tidak bertanggungjawab melakukan pembantaian besar-besaran di rimba Papua.

Kibo menyobek  rusa bakar dengan gigi geliginya yang putih. Demikian juga aku, yang sedari tadi melahap hasil buruan kami dengan rakusnya. Kujejali mulutku penuh-penuh. Walau tanpa bumbu, santapan ini terasa lezat sekali. Sampai-sampai, kujilat jari jemariku yang menyisakan aroma daging.

Daging rusa guling bakar yang tersisa disayat tipis dan dimasukkan ke dalam wadah kedap udara. Kibo hendak memberikan buah tangan ini kepada dua saudaranya, Silvana, sang kakak ipar, dan Edo, adik lelakinya. Mereka berdiam di teluk Bintuni yang memerlukan waktu tempuh sekitar 6 jam lagi dari tengah rimba ini.

Kupacu jeep Wilisku dengan kecepatan sedang. Rasa kantuk kadang menyergap, sehingga aku dan Kibo harus bergantian mengemudi. Melihat fisikku yang sedemikian lelah, dia memaksaku untuk tidur saja. Tapi aku tak sampai hati. Untuk menepis kantuk, kuajak ia ngobrol sekenanya.

”Sudah berapa lama kau tidak menjenguk mereka?”

”Hampir setahun, mungkin.”  jawabnya tak bisa memastikan.

”Aku belum pernah bertemu mereka. Bagaimana kehidupan mereka di sana?” tanyaku lagi.

”Ya... seperti pada umumnya penduduk Bintuni, adikku Edo, bekerja sebagai penjual kepiting. Kalau kakak iparku, Silvana, dia sama seperti kamu, sama-sama orang luar Papua.” tukasnya. ”Suaminya sudah meninggal, ditembak aparat.” tambahnya kemudian.

”Oh, aku turut berduka.”

”Sekarang dia buka warung ikan bakar untuk menghidupi diri dan 2 anaknya.”

”Hebat! Aku suka perempuan mandiri.” pujiku terus terang.

”Ya, aku juga bangga akan Silvana. Dia perempuan tangguh. Meski, hanya sebatas kedai kecil-kecilan saja. Sedangkan adikku, Edo, ah. Dia juga lelaki kecil yang kuat.” seraut kebanggaan terpancar dari raut wajah Kibo. Kentara sekali kalau ia sangat merindukan kedua saudaranya itu.

”Mengapa kau baru sekarang memutuskan untuk pulang? Menurutku kau terlalu sibuk dengan masalah OPM itu.” ujarku.

Kibo terdiam. Ia paling tak senang kalau perjuangannya diusik orang. Apalagi olehku, sebagai warga luar Papua.

”Kami ingin merdeka. Merdeka dari kebodohan dan kemiskinan. Bukan semata-mata untuk berpisah dengan Negara. Andaikan pertambangan itu tak mengisap daya hidup kami...” Sorot matanya selalu nyalang saat membicarakan tentang perjuangan. ”Apalagi aparat pemerintah yang bertugas di daerah kami bersikap sewenang-wenang.” tukasnya, menambahkan.

”Oknum.” ujarku, menyanggah. Tak semua aparat pemerintah berlaku demikian.

Perjalanan yang awalnya lancar-lancar saja mendadak berhenti. Terjadi kemacetan panjang di depan. Sepertinya ada pohon tumbang atau tanah longsor, hal yang biasa terjadi di jalanan hutan Papua.

”Wah, sepertinya malam ini kita harus tidur di hutan,” kata Kibo.

Aku mengangguk mengiyakan. Segera kuatur tempat dudukku agar dapat tidur dengan nyenyak di kursi Jeep yang keras ini. Begitu juga dengan Kibo. Kecapekan, ditambah suasana hutan yang hening dan dingin membuatku pulas dengan cepat. Tapi rasanya baru terlelap beberapa menit saat kurasakan ada tangan yang meraba-raba paha mulusku. Membuatku geli hingga akhirnya aku terbangun.

”Kibo, apa yang kau lakukan?” kutepis tangan laki-laki itu.

”Tidak tahu, Mon. Tiba-tiba saja aku pengen.” tangannya melayang, mencoba memegang payudaraku.

Aku kembali menepisnya. Kusilangkan kedua tanganku untuk melindungi kedua buah dadaku yang montok ini. ”Waktunya tidak tepat, Kibo. Banyak orang disini.” aku menunjuk deretan mobil yang berhenti di depan dan belakang kami. ”Kenapa tidak pas di hutan tadi saja!” aku menambahkan. Memang, sudah biasa kami bercinta di sela-sela perburuan. Itu adalah salah satu wujud rasa terima kasihku karena Kibo sudah mau menjadi pemanduku selama menjelajahi ganasnya hutan Papua. Dia tidak mau dibayar dengan uang.

”Pengennya sekarang.” laki-laki itu terus memaksa. Bahkan kini dia sudah mengeluarkan penisnya yang besar dan hitam, yang selalu bisa membuatku orgasme berkali-kali. Memandangnya membuatku tergoda juga.

Aku celingak-celinguk melihat situasi. ”Iya, tapi jangan disini.” sangat tidak aman melakukannya di mobil. Karena Jeepku berbentuk terbuka, semua orang bisa melihat perbuatan kami dengan jelas.

"Dimana?” Kibo menuntut.

Aku segera memutar otak. ”Carilah tempat yang bagus di hutan. Kalau sudah ketemu, panggil aku dengan siulan.” cetusku.

Kibo

Kibo segera melakukannya. Pura-pura ingin kencing, dia turun dari mobil dan pergi ke semak-semak di tepi jalan. Tidak melangkah terlalu jauh, dia sudah menemukan tempat yang cocok. Di bawah sebuah pohon Gaharu besar, tampak hamparan rumput halus yang empuk dan rata. Semak perdu rapat tumbuh di sekelilingnya, melindunginya dari pandangan orang di jalanan. Benar-benar tempat yang sangat sempurna.

”Suiittt..” tak sabar, Kibo segera bersiul pendek memanggilku.
 
Setelah memastikan kedaan aman, tidak ada orang yang memperhatikanku, aku pun pergi menyusulnya. Aku kaget saat melihat Kibo sudah menanggalkan celana panjangnya, hanya mengenakan celana dalam dan kaos t-shirt. Rupanya dia memang sudah benar-benar tak tahan.

Kibo segera merangkulku, ”Kamu selalu bisa membuatku bergairah, Mon.” bisiknya sambil mengecup belakang telingaku. Daerah itu memang salah satu area sensitif di tubuhku, dan Kibo mengetahuinya. Dengan cepat, akupun menggelinjang dan balas mendekap tubuh kekarnya.

Tangan Kibo bergerak ke bawah, mengelus-elus paha mulusku sambil mencoba menanggalkan celana pendek yang aku pakai. Saat celana itu sudah jatuh ke tanah, dan aku berdiri cuma dengan bercelana dalam, Kibo langsung membelai-belai kaki jenjangku. Dimulai dari lutut, lalu bergerak naik perlahan ke atas menyentuh pahaku, dan terus naik hingga sampai ke selangkanganku. Tangannya berputar-putar disana, meraba benda mungil yang ada diantara kedua belahan pahaku. Dia seperti ingin merasakan kehangatan gundukan bukit kecil milikku yang masih terhalang secarik kain merah berenda.

”Ahhhh,” mendesah, aku merenggangkan kedua pahaku, memudahkan tangan Kibo untuk melaksanakan tugasnya.

Perlahan, gairahku mulai meletik. Kutarik wajah Kibo, dan segera kelumat bibirnya yang tebal dengan rakus. Lidahku menusuk, membelai dan menari-nari di dalam mulutnya, menjelajah disana dengan mesra.

”Hemph..” merasakan responku yang sangat baik, Kibo makin bersemangat. Dia kini tidak cuma meraba, sesekali tangannya juga memijit dan mencubit-cubit pangkal pahaku. Jarinya juga sering menyelip, masuk ke belahan kemaluanku yang masih terhalang lipatan celana dalam. Telunjuknya menggosok perlahan-lahan bulu-bulu milikku yang terasa mencuat kasar.

”Aughhhh,” perbuatannya itu membuatku mulai mengerang perlahan. Aku pun membalasnya dengan memasukkan tanganku ke balik celana dalamnya yang longgar. Dengan penuh nafsu kuraba dan kugenggam penisnya yang sudah menegang dahsyat. Aku juga meraba dan mengusap-usap biji pelirnya yang mungil kembar. Kibo paling suka kalau aku melakukan ini, belaian pada buah
pelirnya. Dia langsung mengerang.

Merasakan seranganku, Kibo membalasnya dengan melancarkan serangan lain yang tak kalah nikmatnya. Kali ini jari tengahnya menelusup masuk ke dalam lipatan kemaluanku dan bergerilya disana. Celana dalamku yang menghalangi, dia geser sedikit ke samping, sekedar memberi jalan bagi jarinya untuk lewat. Tonjolan klitorisku yang sudah sangat dia kenali, digesek-geseknya dengan mesra. Sambil menggesek, dia juga terus menekan-nekan
gundukan kemaluanku hingga aku makin mendesah keenakan. Sementara di atas, lidahnya terus bergerak mengulum bibirku. Kibo melumat dan mencium bibir tipisku habis-habisan.

”Hemphh…!” aku terjingkat saat jemari Kibo menyentil klitorisku. Dan dia terus melakukannya. Semakin aku terjingkat, semakin dia menyentil lebih keras. Aku yang tidak tahan, membalasnya dengan melakukan serangan brutal pada penisnya yang berada di dalam genggamanku. Kupencet benda itu keras-keras hingga Kibo mengaduh kesakitan.

”Aduduh, Mon. Sakit!” rintihnya, tapi tetap tersenyum.

Kurasakan batang itu semakin mengeras dan membengkak dalam genggamanku. Saat aku  menggosok dan menarik-nariknya, benda itu juga terasa berdenyut-denyut ringan, membuatku jadi makin suka. Aku terus membetot-betotnya selama Kibo terus menyentil-nyentil klitorisku. Dia menyentil keras, aku juga menarik keras. Dia menyentil ringan, aku tetap menarik keras, hehehe... pokoknya dia terus kuserang sampai menyerah.

Tak lama, konsentrasi Kibo mulai lepas. Serangannya pada klitorisku terasa  semakin melemah dan akhirnya berhenti sama sekali. Bahkan ciumannya juga ikut berhenti. Dia sekarang cuma berdiri lemas dengan mata merem melek keenakan menikmati pijitan jari-jari lembutku pada penisnya yang tegak mengacung. Celana kolornya yang longgar sudah melorot sejak tadi.

”Mon, aduh.. enak, Mon. Uhh.. Uhh.. Terus!” Kibo merangkul leherku, mencoba bertahan.

Tersenyum penuh kemenangan karena sudah berhasil memojokkannya, aku terus melancarkan serangan. Kugenggam penis Kibo semakin erat sambil terus kukocok cepat. Sesekali aku juga memijitnya keras-keras saat kurasakan tangan nakal Kibo kembali menusuk ke sela selangkanganku. Biji pelirnya yang menggantung bergoyang-goyang tak lupa juga kusambangi. Kuremas benda mungil itu sambil sesekali kucakar dan kucubit pelan, membuat Kibo langsung terjengkit setengah kesakitan setengah keenakan

”Mon, lepas…” terengah-engah, laki-laki itu berbisik, memintaku untuk  melepas celana dalam.

Aku pun melakukannya. Bahkan tidak cuma celana dalam, semua bajuku kulepas hingga aku telanjang bulat di depannya. Kibo tak berkedip menatap tubuh sintalku. Terutama payudaraku yang bulat dan besar. Sambil memegang dan meremas-remasnya, Kibo juga mencopoti bajunya hingga kini kami sudah sama-sama telanjang.

Menumpuk baju kami sebagai alas, Kibo segera membaringkan tubuhku dan menindihnya. Dengan tak sabar, dia mencoba memasukkan penisnya yang besar ke dalam kemaluanku. Agak sulit pada awalnya, tapi tetap bisa masuk. Begitu seringnya kami melakukannya hingga aku sudah tidak merintih sakit sama sekali. Yang ada aku malah mendesah karena rasa nikmat yang amat sangat saat penis besar Kibo menggesek pelan dinding vaginaku.


”Eggh… Kibo!” bisikku mesra dengan kedua belah tangan membelit lehernya, memantapkan posisi. Setengah mendekap setengah menggantung.

Di bawah, Kibo sudah langsung menggoyang tubuhnya, padahal penisnya masih belum masuk seluruhnya. Rupanya dia sudah benar-benar tak tahan setelah tadi kuserang habis-habisan. Kibo menggenjot tubuh montokku dengan cepat. Dorongan dan tarikannya terasa begitu dalam dan liar. Aku hanya bisa menahan setiap desakannya dengan rintihan dan desisan yang makin membangkitkan gairah. Aku tidak kuasa untuk mengimbangi karena Kibo bergerak dengan sangat cepat,

”Mon, aku tidak tahan lagi.” tapi rupanya itu malah membuat Kibo jadi tidak bisa bertahan lama. ”Aku mau keluar!” bisiknya sambil meremas-remas kedua payudaraku yang bergoyang-goyang indah saling berbenturan di depannya.

Aku mengangguk. ”Pelankan goyanganmu.” aku menyarankan. Aku ingin menikmati persetubuhan itu sedikit lebih lama lagi. Aku masih belum merasakan akan orgasme dalam waktu dekat.

Tapi Kibo sepertinya memang sudah tidak kuat lagi. Biar pun sudah memelankan goyangan, dia tetap tidak tahan. Diiringi dengan hujaman kuat yang dalam dan keras, Laki-laki itu pun memuntahankan laharnya.

”Mon, Oughh.. aku keluar.” Kibo mencium bibirku, sementara di bawah, penisnya masih berkedut-kedut kencang menyemburkan spermanya yang hangat dan kental. ”Maafkan aku,” sesalnya karena tidak bisa mengantarku sampai ke klimaks.

Aku tersenyum dan membalas ciumannya, ”Tidak apa-apa. Masih ada kesempatan lain.”

Kurasakan tubuh kekarnya melemas, dan batangnya yang masih menancap di kemaluanku, perlahan-lahan terasa mengkerut dan mengecil hingga akhirnya lepas dengan sendirinya.

Kibo bangkit dan segera memakai bajunya kembali. ”Tunggu disini lima menit, baru keluar. Aku pergi duluan.” ujarnya sembari memungut BH dan celana dalamku dan membantuku untuk mengenakannya.

”Iya, malah mungkin agak lebih lama. Aku harus mencuci dulu vaginaku,” kutunjuk sungai kecil yang mengalir tak jauh dari situ.

Kibo mengangguk dan melangkah pergi, kembali ke mobil. Saat melewati semak berdaun kecil yang rimbun, dia tidak menyadari ada sepasang mata yang mengawasinya.

##########################

Aku sudah akan beranjak menuju sungai ketika tiba-tiba saja ada seorang lelaki tua muncul dan mengagetkanku.

”Hei, siapa kau!” aku membentaknya sambil berusaha menutupi tubuhku yang masih telanjang.

”Justru saya yang harusnya bertanya, apa yang mbak lakukan dengan laki-laki tadi?” tanyanya dengan sopan tapi tegas.

”Ehm, i-itu suami saya. T-tadi kami... ” jawabku gugup terbata-bata. Aku terpaksa mengakui Kibo sebagai suamiku.

”Apakah mbak baru berhubungan badan dengannya?” dia bertanya lagi.

”Ah, tidak... iya.. tapi..” aku makin bingung. Apakah tadi orang ini mengintip?

”Ngaku saja, mbak. Ini demi kebaikan kita semua.” dia tampak menjilat ludahnya, seperti tergiur melihat kemontokan tubuhku.

”Eh, maksudnya?” aku pun berusaha menutupinya makin erat.

”Tahukah mbak kalau ini adalah pohon keramat?” dia menunjuk pohon besar yang ada di belakangku, tapi matanya tetap mengarah ke tubuhku.

Kutatap pohon itu dan menggeleng. ”T-tidak, pak. Memang kenapa?”

”Mbak telah melakukan sesuatu yang sangat fatal.” Laki-laki itu menggeleng. ”Barang siapa yang melakukan hubungan badan di bawah pohon ini saat bulan purnama, dia akan dilaknat mandul. Tidak punya anak. Tidak punya keturunan!” terangnya. ”Dan sekarang adalah bulan Purnama.” tambahnya kemudian.

Aku mendongak. Kulihat bulatan kuning terang yang bersinar penuh di langit. Aku langsung menggigil. ”Ah, jangan, pak. Aku tidak ingin madul. Aku masih ingin punya anak.” isakku.

”Bukan saya yang menentukan, Mbak. Ini sudah menjadi tradisi turun temurun di desa ini. Salah mbak sendiri, main seks kok sembarangan. Seperti tidak ada tempat lain saja.” dia malah memarahiku.

Aku masih ingin menikah dan membina keluarga bersama suami saat kembali ke Jawa nanti. Tapi siapa yang akan mau kalau aku mandul? Bayangan itu membuatku menangis sesenggukan.

”Apa tidak ada cara untuk membatalkannya, pak?” aku bertanya dengan suara bergetar. Takut dengan jawaban yang akan kudengar.

”Ada sih, tapi...” laki-laki itu menggantung jawabannya.

”Apa, pak?” aku bertanya tak sabar.

”Mbak yakin ingin melakukannya?” dia balik bertanya.

”Apapun akan saya lakukan agar tidak mandul, pak.” aku meyakinkan.

Laki-laki itu mengangguk. ”Ada dua cara...” dia berhenti, seperti ingin menambah tegang suasana.

Aku menunggu. Bahkan caranya tidak cuma satu, tapi dua. Aku kini bisa tersenyum gembira.
Yesua

”Yang pertama,” laki-laki itu kembali berbicara. ”Mbak bersetubuh lagi dengan suami mbak, disini, dibawah pohon ini, dengan ditonton oleh seluruh warga desa. Kalau sudah selesai, mbak tidur telentang, siap menerima guyuran sperma dari semua laki-laki yang menonton. Silakan mbak gunakan sperma itu untuk mandi agar kutukan di tubuh mbak bisa hilang.”

Mendengarnya, senyum girangku langsung surut. Berubah menjadi umpatan kecil dalam hati. Berat sekali syaratnya. Aku tidak akan sanggup melakukannya. ”Y-yang kedua apa, pak?” aku bertanya, berharap yang ini akan lebih ringan.

”Yang kedua...” laki-laki itu menyeringai. ”Mbak bersetubuh lagi disini, sekarang, tapi dengan laki-laki lain. Tidak perlu ditonton dan mandi sperma. Mbak cukup menelan spermanya saja untuk melunturkan tulah itu.”

Aku menghela nafas. ”Apa tidak ada cara lain, pak? Saya tidak bisa melakukan dua-duanya.” Berat sekali syarat itu. Bayangkan, aku harus bersetubuh dengan laki-laki lain!

”Terserah mbak. Saya cuma memberi tahu saja.” balas lelaki tua itu, tenang.

”Apa tidak ada cara ketiga, pak, yang tidak pakai hubungan badan?” aku mencoba bertanya, mencari alternatif.

Lelaki itu menggeleng. ”Cuma itu caranya, mbak. Silahkan pilih.”

Aku terdiam. Ini seperti memilih buah simalakama. Dimakan, ibu yang mati. Tidak dimakan, ayah yang mati. Bingung.

”Karena mbak mencemarinya dengan bersetubuh disini, jadi menebusnya harus dengan bersetubuh juga.” jelas pria itu. ”Tidak ada cara lain.” tambahnya.

Aku makin terdiam.

”Silahkan dipilih, mbak. Saya tidak memaksa. Cara pertama atau kedua? Atau malah pilih mandul?” gertaknya.

Aku menggeleng dan menelan ludah dengan berat. Meski tidak mau mengakuinya, aku sadar, aku telah kalah. Kata-kata MANDUL cukup untuk membuatku menganggukkan kepala. ”S-saya pilih yang kedua, pak.” lirihku.

Laki-laki itu menyeringai. ”Ya, aku yakin mbak bisa bersikap bijaksana.”

”A-apakah itu artinya... s-saya harus... bersetubuh dengan... b-bapak?” tanyaku tergagap.

”Tidak harus dengan saya.” sahutnya. ”Yang penting laki-laki lain, selain suami mbak yang tadi. Saya punya banyak teman di mobil, mbak bisa pilih satu.” dia menawarkan.

Aku segera menggeleng, menolak tawarannya. ”Jangan, pak. Bisa-bisa mereka kesini semua.” siapa sih yang akan menolak ditawari tubuh sintal menggoda di tengah hutan seperti ini, setelah berpisah lama dari istri atau pacar. Itu seperti menawarkan ikan asin pada kucing. Bisa-bisa aku diperkosa rame-rame nantinya.

”Pastinya begitu,” laki-laki itu tertawa, memperlihatkan giginya yang sudah mulai ompong.

Aku memandanginya. Kutaksir umur pria itu sudah lebih dari 50 tahun, terlihat dari rambutnya yang sudah mulai beruban dan memutih, bahkan sudah sedikit botak. Tubuhnya kurus agak kerempeng. Kulitnya hitam legam khas orang Papua. Secara keseluruhan, dia cukup menarik juga.

”B-bagaimana kalau bapak saja yang... m-membantuku?” aku berkata memutuskan. Pertimbangannya, dengan umur setua itu, dan kondisi fisik yang sudah tidak prima lagi, dia pasti tidak akan kuat bertahan lama menghadapiku. Aku bisa cepat dapat sperma yang bisa kugunakan untuk membatalkan kutukanku.

Tapi pria tua itu menggeleng. ”Saya sih mau-mau saja bantu mbak. Tapi masalahnya, saya sudah tidak bisa ngaceng lagi.” jelasnya.

Aku terhenyak, tapi cuma sesaat. ”Tapi bapak masih punya sperma kan?” tanyaku.

”Kalo itu ya masih ada, mbak.” jawabnya.

“Berarti tidak ada masalah, pak.” cetusku. “Nanti bapak saya rangsang agar bisa mengeluarkan sperma itu.”

”Ehm, gimana ya. Apa masih bisa?” laki-laki itu tampak ragu.

”Apa bapak tidak tergoda melihat tubuhku?” Sambil berkata begitu, kuturunkan tanganku yang dari tadi menutupi dada dan selangkangan. Kubiarkan dia melotot memandangi tubuh sintalku.

”Tergoda sih, mbak. Tapi tetap tidak bisa ngaceng.” dia membuka celananya dan menunjukkan penis hitamnya yang tetap menggantung mengkerut menyedihkan.

”Kita coba aja dulu, pak.” aku berjalan mendekatinya. Laki-laki itu terdiam saat aku mulai memegang dan mengelus-elus penisnya. Benda itu terasa sangat mungil dan dingin. ”Siapa nama bapak?” tanyaku untuk mencairkan suasana.

”Yesua.” sahutnya singkat. Matanya tak berkedip memandangi tubuh sintalku yang putih dan montok, yang kini menempel erat di depannya.

”Nama saya Mona.” aku memperkenalkan diri. Kuraih tangannya dan kudekapkan ke dadaku, kusuruh Yesua untuk meremas-remasnya pelan.

”Eh, i-iya… iya, mbak.” dia melakukannya dengan tangan gemetar hebat. Mungkin baru kali ini dia memegang payudara perempuan yang empuk dan mulus. Kibo dulu juga begitu waktu pertama kali melakukannya.

”Sudah berapa lama bapak tidak main seks?” aku bertanya lagi. Tanganku terus meremas-remas penisnya. Benda itu masih tetap tertidur.

”Sudah hampir 5 tahun, mbak.” Yesua menekan jemarinya di bukit kenyalku, seperti ingin merasakan teksturnya yang empuk dan kenyal. Selanjutnya, dia melenguh. ”Ughhhh,”

”Kenapa, pak?” tanyaku heran.

”Susu mbak... padat banget!” bisiknya, terlihat sedikit malu.

”Bapak suka?” godaku.

Pria itu mengangguk cepat. ”Suka, mbak. Suka sekali.” sahutnya.

”Kalau suka, tekan yang keras dong, pak. Begini!” kutekan tangannya, kusuruh untuk meremas lebih kuat lagi. ”Putingnya juga, pak. Dipijit atau dipilin-pilin gitu.” pintaku dengan muka memerah. Entah kenapa, merasakan tangannya mengusap-usap payudaraku, membuat hasratku yang tadi sempat terputus, mendadak kembali.

”Bantu saya ya, pak, untuk membatalkan kutukan itu.” kudekap tubuh kurusnya, kubiarkan dia memelukku.

“Uh, i-iya, mbak.” Yesua mengangguk. Tangannya mulai menjalar, mengusap-usap bahu dan punggungku yang halus dan mulus.

”Enghh,” aku sedikit melenguh saat jemarinya bergerak ke bawah, menjarah dan memijit-mijit bokongku yang bulat dan padat. ”Remas ini lagi, pak.” kutarik lagi tangannya, kubawa ke arah payudaraku. Aku masih ingin dia mengerjaiku disana. Aku memang paling suka kalau payudaraku diremas-remas. Rasanya geli-geli nikmat, bikin aku cepat terangkat.

Yesua melakukan seperti yang kuinginkan. Dia meremas dengan keras dan cepat. Pijitannya terasa begitu liar dan penuh nafsu. Daging kenyalku yang memenuhi seluruh telapak tangannya jadi tidak berbentuk lagi. Kadang mencong ke kanan, kadang ke kiri. Beberapa kali juga tergencet ke bawah, atau terlontar ke atas. Bahkan tak jarang, saling bertabrakan bertemu di tengah dengan puting mungil yang sudah tegang mencuat, saling menempel dan menyapa akrab. Sungguh sangat nikmat sekali rasanya.

”Ahhh... pak, ya… ya... begitu!” Birahiku makin menyala merasakan sentuhan nya. “Ughh... tekan lebih keras, pak. Ughhhh... lebih keras lagi. Ahhhhh...” aku mendesah tak karuan. Mataku terpejam, sementara tanganku masih terus meremas dan mengusap-usap penis Yesua yang kini terasa mulai sedikit padat, meski masih jauh dari kata bangun.

”Sini juga, pak.” kuraih tangannya, kubimbing menuju pangkal pahaku. Kugosok-gosokkan tangan itu disana. Aku tersentak sendiri saat kakasaran telapak tangan Yesua menjamah bulu-bulu halus di sekitar vaginaku. Apalagi saat jemarinya mulai mengusap dan menyodok-nyodok kasar, aku makin melenting. Rupanya, dia pintar juga merangsang wanita meski penisnya impoten.

Impoten?

Kurasa tidak. Benda itu kini sudah menegang dan mengeras sedikit, sudah lumayan kelihatan bentuknya meski masih terasa layu. Aku jadi makin bersemangat. Kuremas dan kuusap-usap makin cepat. Sepertinya penis itu bisa dibangunkan. Agak sulit memang, tapi tetap bisa. Hanya perlu usaha sedikit lebih keras daripada biasanya.

Di sisi lain, aku juga harus membagi konsentrasi dengan kocokan Yesua di pangkal pahaku. Tangan laki-laki itu kini menusuk dan mengorek-ngorek disana. Bergerak liar bagaikan mencari sesuatu. Saat sudah menemukan klitorisku, dia berhenti. Aku langsung merintih dan mengejang-ngejang saat Yesua tiba-tiba memijit dan memencet-mencetnya.

”Oughhh,” mataku terpejam.

”Tidak sakit kan?” tanyanya sambil terus memijit.

Aku menggeleng. ”E-enak... banget, pak! Terus, oughhhh... terus! Begitu... ya, aduduh!” rintihku sambil menggigit bibir. Tubuhku terasa lemas karena saking nikmatnya. Kurangkul tubuh Yesua agar aku tidak sampai jatuh. Pinggulku bergerak mengejar arah gosokannya.

Sementara Yesua, sambil terus mengocok, juga memelintir dan memilin-milin  putingku, membuatku makin bergetar dan mengerang keenakan. ”Uhh.. uhh..” aku mendekapnya semakin erat. Pinggulku berputar ingin menghindar, tapi tidak bisa. Kocokan Yesua mustahil untuk dihindarkan, rasanya begitu nikmat.

Melihatku yang mendesah-desah dan menggelinjang tak karuan hanya dengan gosokan tangan, membuat Yesua bertanya. ”Tadi belum tuntas ya, mbak, sama suami?”

Aku mengangguk mengiyakannya. Kuharap dengan begitu dia akan membantu memuaskan hasratku yang sekarang sudah meledak-ledak tak terkendali.

Dan Yesua rupanya mengerti. Dia mempercepat pijatan jari telunjuk dan ibu jarinya pada klitorisku, membuat pinggulku makin bergetar dan melonjak-lonjak liar. Di atas, dia juga meremas payudaraku semakin keras, sambil terus mengelitik dan mengusap-usap putingnya yang kini sudah semakin tegak mengacung. Aku jadi makin tak tahan. Kudekap tubuh laki-laki itu semakin erat sambil kusandarkan kepalaku ke bahunya.

”Auw!” Yesua menjerit saat tanpa sengaja kugigit bahunya. Salah sendiri, kenapa dia mencobloskan jari tengahnya ke liang vaginaku dengan tiba-tiba.

Aku membalasnya dengan menarik penis laki-laki itu kuat-kuat. ”Auw!” Yesua kembali menjerit.

Batangnya kini sudah semakin keras dan tegak. Ukurannya juga sudah membengkak tiga kali lipat. Belum ngaceng sepenuhnya tapi tanganku sudah kesulitan menggenggamnya. Terbukti, Yesua memang tidak impoten. Dia cuma sulit ngaceng saja. Dengan rangsangan yang tepat, penis laki-laki itu masih bisa berdiri normal. 

Setengah membungkuk, kuperhatikan penis hitam yang pendek namun gemuk itu. Ujungnya tampak menggelambir, tidak disunat. Aku jadi penasaran, bagaimanakah rasanya? Dengan gemas, aku terus mengocok dan meremas-remasnya hingga benda itu jadi semakin kaku dan menegang.

”Ughh,” rintih Yesua, tampak sangat menikmati. Sebelah tangannya kini meraba-raba bokong bulatku, menggosok dan mengusap-usap belahan pantatku yang halus dan mulus.

Di sisi lain, aku makin terpesona oleh kejantanan Yesua. Benda itu terus membesar dan makin membesar, sampai aku sudah tidak sanggup lagi menggenggamnya. Rasanya juga semakin kaku dan keras, seperti memegang tonggak batu. Terpesona, aku menghentikan kocokanku dan memandanginya. Sekarang tanganku cuma memijit dan mengusap-usapnya pelan.

”Ada apa, mbak?” tanya Yesua. Dia masih terus meremas bokong dan payudaraku.

“Yang begini ini bapak sebut impoten?” aku kembali mengocok penis itu.

“Dulu bisa lebih besar dan panjang,” sahut Yesua.

“Ah, benarkah?” entah kenapa, ada sedikit rasa menyesal di hatiku, kenapa baru berjumpa penis super ini sekarang, setelah masa kejayaannya lewat? Tapi tak apalah, itu juga masih lumayan, daripada tidak sama sekali.

”Tidak menyesal aku pilih bapak.” bisikku dengan birahi semakin menggelegak. Kugenggam kantung kemih Yesua dan kugosok dengan binal. Tak sabar rasanya aku menunggu penis besar itu merobek dan menusuk-nusuk selangkanganku. Pasti akan sangat nikmat sekali rasanya. 

“Pak!” aku sedikit terjengit saat jari telunjuk Yesua menyelip di belahan pantatku dan menyentuh pelan bibir kemaluanku.

Tak ingin dikerjai lagi, aku segera merebahkan tubuhku dan membuka pahaku lebar-lebar. Yesua tampak terkesima memandangi tubuh mulusku, terutama memekku yang sempit kemerahan. Bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitarnya, tampak sudah basah, seperti pepohonan tersiram hujan.

”Ayo, pak. Cepat lakukan, aku sudah tak tahan.” pintaku sambil menggerakkan pinggul berputar-putar.

Mengangguk, Yesua menjilati kemaluanku sebentar sebelum akhirnya memegang penisnya dan mengarahkannya tepat ke bibir vaginaku. Dia mendorongnya pelan. Terasa kekerasan ujung batangnya saat menyentuh gerbang kewanitaanku, membuatku bagai tersengat listrik.

”Aduh,” aku mendesis. Benda itu terasa begitu besar bagi memekku yang sempit. Penis itu jadi macet, tersangkut.

”Tahan ya, mbak.” kata Yesua sambil terus mendorong.

Aku memejamkan mata. Aku ingin merasakan penis itu menari-nari di dalam liang vaginaku, tak peduli bagaimana pun rasanya. ”Tekan terus, Pak.” sahutku sambil mendesah, benda itu masih nyangkut. ”Ayo. Tekan lagi, Pak” aku memberikan semangat sembari tangan kananku merangkul leher orang tua itu. Birahiku sudah tak tahan menuntut pelampiasan.

”Mbak nggak sakit?” tanya Yesua merasakan kemaluanku yang sempit sekali.

”Tidak apa-apa, ayo tekan lagi!” aku meminta.

”Baik, mbak.” dia kembali menekan dengan lebih keras. Terasa topi bajanya
sudah berhasil menelusup benteng pertahananku.

”Agghh...” aku agak menggelinjang merasakan ganjalan di mulut rahimku. ”Te-terus, Pakk! Oohh...” menarik nafas panjang, kucoba bertahan menahan ganjalan tongkat yang kekerasan dan ukurannya lebih dari yang biasa kurasakan.

Blesss! Dua pertiga lebih batang kemaluan Yesua sekarang masuk.

”Aduduh,” aku sedikit memekik sambil menahan perutnya, mencegah
hujaman lebih lanjut. Aku khawatir kebesaran penis itu tidak mampu kulayani.

”Bagaimana, mbak?” Yesua membiarkan sejenak kejantanannya di dalam, menikmati kehangatan vaginaku yang terasa berkedut-kedut ringan.

”Hhhhh... sebentar, Pak. Sebentar...” aku menarik nafas dalam-dalam menahan ganjalan besar di rahimku yang seolah-olah menyumbat jalan pernafasan. Aku berjuang keras agar bisa menikmati permainan itu.

Yesua mengangguk mengerti.

”Ahhh...” aku menggelinjang saat merasakan batang kejantanan laki-laki itu
tiba-tiba bergerak seolah menyentak-nyentak liang vaginaku. ”A-apa yang bapak... lakukan?” tanyaku sambil merem melek keenakan.

Ternyata Yesua mulai mempraktekkan teknik kegelnya, yaitu mendenyut-denyutkan batang kemaluannya tanpa menggerakkan badan, seperti orang  menahan kencing. Penis laki-laki itu menyentak-nyentak di lubang kewanitaanku. Aku jadi makin tersengat lemah tak berdaya. Kuresapi kenikmatan denyutan tongkat itu sambil kudekap tubuh kurus Yesua sebagai  pegangan.

”Bagaimana, mbak?” kembali dia bertanya.

”Ehm, iya... tekan lagi, Pak. Sudah lumayan enak sekarang.” sahutku pelan.

Yesua mematuhinya dengan kembali menekan penisnya pelan tapi kuat.

”Ugh. Iya gitu...” nafasku kembali tersedak. ”Terus, pak! Oohhh...” aku mendesah. Tubuhku mulai mampu menerima tusukannya. Perlahan tapi pasti birahiku yang sangat menuntut pelampiasan menjadikan kemaluanku mampu meredam geliatan tongkat Yesua yang keras dan tajam itu.

Kini, penis itu sudah masuk seluruhnya. Aku menghela nafas lega, sementara laki-laki tua itu tersenyum keenakan. Dia pun mulai mengayuh perlahan-lahan. Tusukannya pelan tapi kuat. Tiap tiga genjotan, Yesua seperti sengaja menekan agak kuat. Aku jadi tak tahan.

“Ohhh... sayang, tusuk lebih keras!” bibirku mulai ngaco menyuarakan ledakan birahi. ”Hhhh.. ya begitu! Aduh! Aduduh!” rintihku saat Yesua memenuhi permintaanku dengan mendorong batangnya keras-keras, membeset dinding dan pangkal kemaluanku.

“Mbak tidak apa-apa?” tanyanya ketika aku agak terlonjak saat menerima
hujamannya yang kesekian kalinya. Seluruh tubuhku semakin bergelinjang keras. Pinggulku mulai berusaha mengejar dengan liar kemana larinya
tongkat laki-laki itu.

”Sshhhhh... Sshhh...” aku mendesah keras, rasa ingin orgasme mulai menjalari seluruh tubuh mulusku. Kepalaku terdongak, mataku terpejam, sementara wajahku memerah semakin sayu. Nafasku yang berat sudah terengah-engah. Mulutku terbuka lebar mencoba menggapai oksigen sebanyak-banyaknya akibat jalan nafasku yang terasa tersumbat. Kedua tanganku mencoba bertahan menggayut di leher laki-laki itu.

Yesua tersenyum. Tanpa perlu bekerja terlalu keras, dia sudah bisa mengantarku mencapai titik akhir pendakian. Mendengar desahanku yang
semakin tak terkendali, tangan kanannya segera meraih bokongku dan membekapnya kuat-kuat.

”Mbak, oughhhh...” dia menghujamkan penisnya dalam-dalam.

”P-pak... aduh! Hhhhhh...!” aku cuma bisa melenguh menerimanya karena pinggulku tak berdaya untuk melarikan diri. ”Pelan-pelan saja, Pak! Oughhhhh...” Yesua kembali menusuk, kali ini lebih kerasl. Tangan kanannya juga semakin erat mencengkeram bokong telanjangku.

”Agkhhhh...!” kepalaku sampai tersentak ke belakang, hampir saja membentur batang pohon. Terasa bagian bawah tubuhku mengejang dan menggelinjang. Cairan lendir menyemprot dari dalam liang senggamaku. Aku melenguh, tapi Yesua tidak mempedulikannya. Dia terus menggenjot tubuhku, bahkan semakin cepat. Juga dalam. Sampai rasanya mentok ke dinding kemaluanku.

Aku menggelantung lunglai mendekap leher laki-laki tua yang tadi mengaku impoten itu. Orgasmeku sudah berhenti mengalir, tapi Yesua terus menghujam lorong kemaluanku. Dia terus mendorong dan menusuk sambil berpegangan pada bongkahan payudaraku yang bulat dan sekal. Aku jadi merasa lemas. Tubuhku  seperti tidak bertenaga lagi, sementara pikiranku   terbang ke awang-awang menjemput kepuasan birahi. Aku lupa diri!

Yesua tersenyum puas memandangi wajahku yang kuyu memelas. Aku mengernyitkan mata dan mendesah keras setiap kali hujaman penisnya menusuk keras. Laki-laki itu terus mengayuh perlahan namun penuh tenaga.

“Ohhh.. Pak! Oohhh... sudah, Pak! Oghhhhhh...!” aku menceracau lepas kendali, tersiksa oleh deraan kenikmatan yang kembali dan kembali menghempas tubuhku. Lenganku sebisa mungkin bergelayut di leher Yesua agar tidak jatuh. Dia berhasil memaksaku kembali merasakan gairah.

Yesua membantu dengan memeluk tubuh sintalku. Tangan kirinya membelit dari pundak menyilang ke ketiakku, sementara tangan kanannya kembali mencengkeram pantat telanjangku, menahannya agar tidak merosot jatuh. Kuku jarinya setengah dicakarkan ke belahan pantatku yang sudah sedemian panas membara. Beruntung tongkatnya yang sedemikian keras mengganjal kuat, membantu tubuh mungilku agar tidak merosot.

Yesua menunduk dan menggigit lembut bibir tipisku. ”Pak, oghhhh... mmphhhh!!” aku spontan bereaksi membalas ganas sentuhan bibir pria itu dengan mengulum dan menghisapnya kuat, mengemot mulut yang bau tembakau itu dengan penuh semangat. Lidahku menjelajah kemana- mana hingga sejenak aku lupa kalau di kemaluanku masih ada tongkat kerasnya yang mengganjal.

”Mbak, mmpmhhh...” Yesua membalas kulumanku yang penuh gairah dengan menjulurkan lidahnya dan mengemot mulutku semesra mungkin.

”Oh, orang tua ini... nikmat juga ciumannya,” benakku menerawang meresapi kemesraan yang kuperoleh.

Yesua kembali menunjukkan nafsunya dengan mengulum lebih keras,
seraya mendekap tubuh dan bokongku yang bulat. Aku jadi makin terlena oleh kemesraannya. Panasnya birahi membara yang tadi sempat terputus dengan Kibo seolah-olah mendapatkan pelampiasan. Hasratku bagai disirami air sejuk kemesraan oleh dekapan dan ciuman panas Yesua, orang tua kurus yang seumuran dengan ayahku.

Aku jadi lupa segalanya hingga tak sadar kalau laki-laki itu ternyata sudah orgasme di dalam kemaluanku. Air maninya yang kental moncrot memenuhi liang rahimku.

”Ahhh...” aku shok merasakan lubang vaginaku yang jadi basah membanjir. Dengan wajah sayu aku membuka mata dan memandang wajah Yesua
yang tengah memancarkan paras penuh penyesalan.

”Maafkan saya, mbak. Saya sudah nggak kuat menahan.” ucap laki-laki itu. Seharusnya dia menumpahkan spermanya di mulutku untuk menghilangkan teluh, bukan malah di dalam vagina seperti sekarang ini.

”Terus bagaimana sekarang, Pak?” aku jadi bingung.

”Emmm... ya mbak harus bersetubuh lagi dengan laki-laki lain. Kita barusan sama saja dengan mencemari pohon ini. Mbak sekarang dilaknat dobel.” terangnya.

”Ahh, aku tidak mau!” gila apa? Masa harus main seks lagi? Aku sudah capek. Vaginaku sudah panas. ”Ini kan karena kesalahan bapak!” kutatap tajam matanya.

”Iya, mbak. Bapak minta maaf. Tapi mau bagaimana lagi, kita sudah telanjur melakukannya.”

Perasaanku campur aduk, antara bingung dan marah. “Tidak! Pokoknya bapak yang harus bertanggung jawab!” aku berteriak frustasi.

Yesua mengambil celana dan mengenakannya. “Saya pasti bertanggung jawab, mbak. Tunggu disini, saya panggilkan teman-teman saya untuk membantu mbak meluruhkan kutukan itu.”

“Eh, pak, tunggu..” dan sebelum aku sempat mencegah, laki-laki itu sudah bergegas pergi. Meninggalkanku sendirian meratapi nasib. Haruskah aku melayani 2 orang lagi untuk menghilangkan kutukan itu? Apakah itu sepadan?

END?
By: Iisamu Takeo

Nidya: Born of the Highschool Slut

Nidya

Dodi, seorang pribumi bertubuh kekar dengan wajah ramahnya menyambut seorang gadis cantik bermata sipit yang keluar dari pintu gerbang sekolah. dengan ramah Mang Dodi membukakan pintu mobil mempersilahkan gadis cantik itu duduk di dalam. Dengan hati-hati ia menutup pintu kembali, setelah itu ia duduk di belakang kemudi.

“bagaimana sekolahnya non ??” Mang Dodi bertanya sambil menyalakan mobil.

“uhh sebel deh mang Dod, cape, tadi aku..dll dstt dsttt”

Nidya curhat kepada sopir kepercayaannya yang menengok kebelakang.mendengarkan curhat dari Nidya. Memang sudah lama mang Dodi bekerja di keluarga Nidya, semenjak Nidya masih duduk di kelas TK kecil, mang Dodi sudah mengantar jemputnya dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah. Mata Mang Dodi melirik melihat paha mulus yang tersembul, mau tak mau sebagai laki-laki normal mang Dodi menelan ludah yang membanjir melihat kemulusan paha putih yang mengkilap.

“pokoknya hari ini aku sebeeeeelll banget mang Dod , bete deh..” Nidya mengakhiri keluhannya.

“ya sudah.. betenya jangan lama-lama non, nggak baik…”


Mang Dodi menghadap ke depan dan mulai menginjak gas. Dengan mobil pajero sport mang Dodi mengantar Nidya pulang ke rumah dengan selamat. Seorang jongos yang berjaga membukakan pintu besi yang berdiri dengan kokoh dan yang seorang lagi sibuk berkiri kiri dan berkanan-kanan memandu mobil mewah itu. Nidya turun dari mobil kemudian mengangguk ramah kepada dua orang jongos yang menyapa, Mang Dodi mengekori dari belakang mengikuti Nidya masuk ke dalam rumah mewah yang sepi dari yang namanya “keluarga” . Mata Mang Dodi menikmati goyangan pinggul Nidya. Masih terbayang saat Nidya masih TK dulu, ia sering duduk di pangkuannya dan Nidya tertawa saat mang Dodi menggelitiki dan mencubit hidungnya yang mancung. Masih teringat dengan jelas saat Nidya keluar telanjang buat dari dalam kamar mandi, Nidya kecil berlari kepangkuannya dan menangis sambil berkali-kali menunjukkan bebek karetnya

“mang Dod , bek mati.. hu hu hu” , mata mang Dodi melotot bukan ke arah bebek karet yang menciut namun melotot ke arah selangkangan Nidya kecil. jarinya hendak menyentuh bibir vagina Nidya yang masih sangat suci. Tiba-tiba seorang perempuan tua menerobos masuk membawa belanjaan.

“Ehh-um Ehemmmmmm” Mang Dodi salah tingkah karena Mbak Ijah muncul tiba-tiba.

“Dodi mengapa non Nidya menangis ?? kamu apakan hah !!” Mbok Ijah menegur Dodi , matanya menatap curiga.

“MBOKKKKKK… Bek matiiiiii…..” Nidya berlari kearah Mbok Ijah.

“Ohhhh, bebek.. mana sini , biar simbok liat…” Mbok Ijah meniup bebek karet yang menciut, Nidya tersenyum senang.

“Mang.. Mang Dod, mang Dod !! MANGGG !!!” Nidya berteriak keras.

“Uhhh.. e- ehh iya non kenapa ?? ada apa”

Kenangan masa lalu Mang Dodi buyar seketika, ia mengejar ke arah kolam renang, agak keheranan mang Dodi melihat Nidya mematung berdiri pucat pasi, mang Dodi berlari menghampiri.


Mang Dodi

“kenapa non ?? kenapa…”

“i-i-itu mang .. itu…”

“yiahh si non, cuma beginian, mang Dod kira ada apaan…” Mang Dodi mencomot ulat bulu di bahu Nidya.

“Uhhh…. “ Nidya bernafas lega.

“Nihh uletnya !!” Mang Dodi pura-pura melempar ulat bulu ke arah Nidya

“Awwww… e-ehh mang bawa kesana ah!! Yee mang Dod !! awas ya!!” Nidya merengut, mang Dodi tertawa.

“mang beliin air kelapa dong…” Nidya mengeluarkan uang dari dompetnya.

“iya…, tapi traktir ya…” goda Mang Dodi cengengesan.

“Iya.. pokoknya beres…” Nidya tersenyum.

“Asikkkkkk….. makasih non…, Non Nidya emang paling baek dah” Mang Dodi memuji.

“udah , nggak usah nge-gombal, sebel…GPL ya” Nidya tersenyum manis.

“beres Nonnnn…” Mang Dodi menjawab dan segera berlari.

Di pinggir kolam renang, dua kursi mengapit sebuah meja bunda dengan sebuah payung yang menaungi. Sementara di tempat yang teduh berjajar kursi santai panjang. Di situlah Nidya duduk bersantai melepas kepenatan di atas kursi santai panjang. Matanya yang sipit terpejam, tangan kirinya menarik rok seragam abu-abunya ke atas, tangan kanan menyusul masuk ke dalam kain segitiga kecil berwarna putih bersih.

“ohhh mang Dodddd….”

Bibirnya mendesis saat angan membawa Nidya menuju sebuah tempat membayangkan nikmatnya kecupan mang Dodi. Dalam khayalnya, Mang Dodi sangat lugu sedangkan Nidya sendiri sangatlah liar hingga mang Dodi mengerang meminta ampun menghadapi keliaran Nidya. Darah muda Nidya mendidih seliar angannya.

“Emmm…..” tubuh Nidya mengerjat menahan nikmat.

“Ahh !!”

Rasa Nikmat disusul dengan terkejut. Mata sipitnya bertatapan dengan mata mang Dodi yang berdiri tercenggang, Nidya menunduk dengan wajah merah padam, malu bukan main, untuk yang pertama kali mang Dodi memergokinya sedang bermasturbasi. Wajah mang Dodi juga sama, merah padam karena nafsu yang memuncak. Angannya kembali ke masa lalu saat ia melihat Nidya kecil telanjang bulat dan berlari ke pangkuannya. Mang Dodi tidak tuli, jelas-jelas ia mendengar Nidya mendesis memanggil namanya, tidak perlu diragukan lagi, laki-laki dalam khayal Nidya adalah dirinya. Setelah menaruh air kelapa di atas meja mang Dodi berlutut di samping kursi malas.

“Non Nidya….” dengan memberanikan diri mang Dodi mengelus betis gadis itu

Karena tidak mendapat penolakan dari Nidya , mang Dodi semakin berani, tangannya mengelus ke atas mengusap paha putih mulus. Reflek Nidya mengapitkan kedua pahanya saat tangan mang Dodi  mengusap paha bagian dalam.

“mang Dod…” Nidya merintih dalam gejolak darah mudanya.

Matanya menatap sayu pada mang Dodi yang merenggangkan paha mulusnya, nafasnya tak beraturan dan berat. Tubuhnya yang masih awam menggelinjang dan menghangat. Tubuh Nidya rebah di atas kursi malas dengan dua kaki yang mulus mengangkang lebar.

“ohhhhhh.. mang Dod…hhsssshh” sekali lagi Nidya merintih saat mang Dodi menjatuhkan wajah pada kain segi tiga putih di selangkangannya.

Tubuh Nidya gemetaran seperti sedang meenjalani terapi listrik. Detak jantungnya berdegupan keras memompa darah untuk mengalir lebih kencang melepaskan nikmat dan nafsu yang sempat tertahan. Tangan Nidya membelai kepala mang Dodi. Ia menggigit bibir menahan desah yang hampir keluar saat lidah mang Dodi menyelinap melalui pinggiran celana dalamnya. Aktif, lidah mang Dodi menggeliat-geliat.

“Achhh…!” Nidya mendorong kepala mang Dodi yang lidahnya menoel bibir vaginanya.

“E-Ehhh mang Awww…” Nidya memekik kaget saat mang Dodi menjabret celana dalamnya.

“Hussshhh jangan keras-keras non…, nanti kedengeran loh…” Mang Dodi tersenyum mesum.

“ih Mang Dodi, maen buka aja…seenaknya” Nidya cemberut, ia bangkit sambil menarik rok seragamnya ke bawah.

“supaya lebih asik non.., percaya deh sama mang Dodi..”

Mang Dodi menjatuhkan Nidya kembali ke atas kursi, tangannya menarik rok seragam Nidya dengan paksa ke atas. Mulutnya mengejar belahan bibir vagina Nidya , gadis itu panik menggeser-geserkan pinggulnya menghindari mulut mang Dodi.

“ahhhhhhhh……m-mang Doddd…. Dhiiiii…ihhhh”

Tubuh Nidya lemas di atas kursi. Kecupan dan hisapan rakus mang Dodi membuat gairah darah muda Nidya kembali bergejolak, tubuh Nidya menggelepar dan melenting menikmati keagresifan mulut mang Dodi yang mencecar vaginanya.

“Aaaaa.. ahhhhhh…..” Nidya mendesah

Cairan orgasmenya tumpah kedalam mulut mang Dodi yang rakus menghisap-hisap vaginanya. Nidya merintih tak berdaya, selama ini dalam khayal memang dirinyalah yang liar dan mang Dodi yang lugu dan lemah namun pada kenyataanya justru sebaliknya. Dengan Mudah mang Dodi memeras cairan vagina Nidya bersama dengan luapan kenikmatan. Nidya tak melawan saat mang Dodi meloloskan seragam abu-abu dari pinggangnya. Hanya bra dan pakaian seragam yang melindungi kemulusan tubuh Nidya dari mata mang Dodi.

“Non Nidya cantik sekali..”

Mang Dodi membopong tubuh Nidya, dengan santai ia membawa Nidya masuk ke dalam rumah, lalu menaiki anak tangga dan membawa nona majikannya masuk ke dalam kamar. Semenjak kematian Mbok Ijah setahun yang lalu, suasana rumah menjadi sepi. Nidya salah tingkah saat mang Dodi mendudukkannya di pinggiran ranjang sedangkan mang Dodi duduk di sampingnya. Bibir tebal mang Dodi mengejar Bibir Nidya, dengan mudah mang Dodi merampas Ciuman pertama Nidya.

“Emhh…” Nidya menarik bibirnya, ia menatap sopirnya itu dengan mata sayunya saat tangan kekar mang Dodi melucuti kancing baju seragamnya setelah itu menarik kedua cup branya ke bawah

Sepasang buah dada indah tertopang oleh cup bra berwarna krem. Mata mang Dodi berbinar menatap nanar keindahan sepasang payudara Nidya, ia telah menjadi saksi tumbuhnya sepasang payudara indah di dada Nidya. Dada yang semula rata kemudian mulai berkembang dan terus berkembang dengan indahnya dihiasi sepasang puting merah muda yang runcing. Setelah melepaskan baju dan celana panjang dan celana dalamnya yang dekil, Mang Dodi berlutut di hadapan Nidya, ia mengusap-ngusap paha mulus Nidya yang mengangkang pasrah. Bibir mang Dodi melumat dan mengulum bibir Nidya, tangan kekarnya mengerayang menjelajahi lekuk liku tubuh Nidya yang menggeliut-geliut tak bisa diam geli oleh rasa nikmat. Cumbuan mang Dodi merambat ke leher, pundak bahu dan mengecup ke arah buntalan buah dada sebelah kiri.

“mang….ennnnnnnnhhh…mang Doddddddd” Nidya merengek manja.

Mulut mang Dodi  mengunyah puncak dada. Ke mana Nidya berusaha menarik dadanya ke situ pula mulut mang Dodi mengejar. Tak ingin ia melepaskan puncak buah dada Nidya dalam mulut, bahkan saat punggung Nidya jatuh ke belakang, mulut mang Dodi segera mengejar buah dada yang hendak melarikan diri dari mulutnya. Sambil terus menggeluti buah dada Nidya mang Dodi menggusur tubuh mulus Nidya yang menggeliat-geliat kegelian ke tengah ranjang.

“Aaaa. Aah !! hsssh nnnnnhhh” Suara desah tertahan dan rintih kecil mewarnai cumbuan-cumbuan mang Dodi yang semakin panas

Butir-butir keringat meleleh memandikan dua insan berbeda ras yang tengah asik menjalin hubungan terlarang. Menggelinjang tubuh Nidya dibawah tindihan tubuh kekar mang Dodi. Nidya yang berkulit putih mulus menggeliat resah merintih dan mendesah dibawah tindihan tubuh kekar mang Dodi yang meneduhinya.

“mmmm, hssh mang Dod.. ahhh…”

Nidya gelisah saat merasakan tekanan kepala kemaluan mang Dodi pada belahan vaginanya. Mang Dodi menepiskan tangan Nidya yang berusaha mendorong dirinya, entah kenapa ada rasa takut yang mencekam saat Nidya melihat mata mang Dodi yang liar.

“Ahhh..!!” desah kecil Nidya mengiringi tenggelamnya kepala penis mang Dodi.

Bibir vagina Nidya yang mungil melingkari leher penis mang Dodi. Dari usia tentu saja usia Nidya jauh lebih muda, dari warna kulit tentu saja kulit mang Dodi lebih gelap dari kulit Nidya yang putih mulus, dari wajah sudah tentu wajah beringas mang Dodi menang atas cantiknya wajah Nidya. Sekali lagi mang Dodi menekankan penisnya dengan kuat dan Nidya mengerang. Entah sanggup atau tidak vagina Nidya menampung batang di selangkangan Mang Dodi. Satu tusukan kuat menyusul dan Nidya mengaduh kesakitan, bibir vaginanya yang mungil sobek dan selaput daranya robek ditembus batang penis mang Dodi.

“Aduh mang Dod !! Aduh!!sakit ! sakit mang Dod !! sakit !!” tangan Nidya menggapai-gapai menahan pinggul dan dada mang Dodi.

“ENNNNNNNNNGGGHHHHHH..!!!!” suara erangan Nidya terdengar keras saat mang Dodi memaksakan seluruh batangnya masuk ke dalam vaginanya

Selangkangan mang Dodi dan Nidya bersatu, bulu jembut mang Dodi bergesekan dengan bulu jembut Nidya. Nafas Nidya terdengar keras, matanya terpejam menahan sakit yang menyengat. Batang mang Dodi menyesaki liang vaginanya yang sempit peret karena baru kehilangan keperawanannya. Selama ini belum pernah ada benda apapun yang melewati liang senggamanya.

“ Non Nidya, memeknya enak amat, sebenarnya sudah lama mang Dodi pengen nyolok memek Non Nidya, siapa sangka hari ini Mang Dodi bisa melakukannya, percayalah sama mang Dodi Non, sebentar lagi tubuh Non  bakal tersentak sentak keenakan he he he he” Mang Dodi menceracau menumpahkan isi hatinya.

“Hsssshhh ahh !! aduh mang.. hsssshhhh!!” Nidya mendesis kesakitan, batang mang Dodi mulai menggenjot.

“Auw-hhh..!!”

Berkali-kali mata sipit Nidya  membeliak saat mang Dodi membenamkan batangnya dalam-dalam. Nidya merinding mendengarkan geraman mang Dodi, otot perutnya serasa kram saat batang penis Mang Dodi menusuk dalam. Kecupan dan lumatan gemas mang Dodi pada bibir Nidya yang merekah membuatnya semakin kewalahan.

“Ahhhhh…..”

Mata Nidya Nanar, ada rasa nikmat luar biasa menyela rasa sakit yang mengigit. Untuk yang pertama kali ia merasakan denyut-denyut orgasme akibat sebatang penis yang menumbuki vaginanya, rasanya seperti jiwa terlepas dari raga, melayang ke langit indah berhiaskan tangga pelangi.

“mang Dodddddd….ahhh enak mangggg” erangnya

Nidya mulai meladeni kecupan dan cumbuan mang Dodi. Bibirnya menyambut bibir mang Dodi, kedua tangannya memeluk tubuh kekar yang sedang giat bekerja menumbukkan batang penis ke dalam vaginanya. Mang Dodi mencabut batangnya hingga terlepas dari vagina kemudian kembali mencoblos liang vagina Nidya. Kemudian ditusuk-tusukannya penisnya dengan gencar pada liang yang becek itu dan dicabut lagi.

“ahhh, manggg.. jangan digituin… mang dod..” Nidya merengek manja.

“abis harus digimanain dong ?” Mang Dodi bertanya

Wajah Nidya merona karena terangsang berat sehingga menambah cantik wajahnya.

“Ayo , Nidya bilang sama mang Dod, harus digimanain.” Mang Dodi sengaja menggoda nona majikannya.

“emmm.. digituin mang…” Nidya tersenyum malu.

“digituin gimana yach ? mang Dodi nggak tau tuch “ Mang Dodi tersenyum lebar.

“Ahhnnhh mang Dod jahat !!” Nidya mencubit dada mang Dodi.

“ADOWHH…!!” Mang Dodi mengaduh kesakitan.

“Hiaaaahhh…!!” Nidya mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong mang Dodi.

“Eiiiiitttttt…”

Mang Dodi menangkap tubuh Nidya. Dua insan berbeda ras itu bergulingan dan kembali bercumbu mesra layaknya sepasang pengantin baru. Mang Dodi duduk di pinggiran ranjang, Nidya berdiri memperhatikan batang perkasa di selangkangan sopir setianya. Mang Dodi menarik Nidya untuk berlutut di hadapan batang penisnya.

“Nah sekarang Nidya jilat kontol mamang ya” Mang Dodi mengarahkan Nidya.

“jijik mang.. ihhh…” Nidya masih jijik dengan batang mang Dodi.

“Loh kenapa harus jijik, coba dulu.. ayo…” Mang Dodi membujui Nidya.

“iii – ihhh ngak mau ah , bau” Nidya menolak sambil menutup hidung dengan tangan.

“Ayo .. cobain… dulu…”

Tangan kiri mang Dodi menahan belakang kepala Nidya. Dengan rayu dan sedikit paksaan akhirnya mang Dodi berhasil menjejalkan kepala penisnya ke dalam mulut Nidya. Sang sopir merem melek keenakan.

“Ayo dihisap non.. “ perintah Mang Dodi sambil membelai rambut Nidya.

“Emmm. Mmmhh..” Nidya tak habis pikir, mendadak ia menyukai bau penis mang Dodi, senang menghisap dan juga senang menjilat-jilat batang penis yang besar panjang.

Ada sesuatu di dalam dirinya yang menuntut pelampiasan dari kesepian dan kejenuhannya selama ini. Dari seks pertama dengan sopirnya ini ia merasa mendapat pelampiaskan atas seluruh rasa yang menggebu dalam dada yang membuatnya ingin merasakan lebih dan lebih lagi. Sesekali Nidya mengangkat wajah cantiknya menatap mang Dodi yang tersenyum kemudian ia kembali menunduk untuk bekerja mengoral penis itu. Dengan lembut lidah Nidya mengulas-ngulas kepala penis mang Dodi sebelum akhirnya mang Dodi membimbingnya untuk menduduki batang penisnya dengan posisi tubuh Nidya memunggunginya.

“jangan takut Non.., dudukin aja.., ntar juga masuk…” Mang Dodi menarik pinggul Nidya untuk turun.

“sebentar mang, Nidya takut…”

Setengah mati Nidya mengumpulkan keberanian.

“rileks aja, anggap aja Non Nidya lagi duduk di pangkuan mang Dod, dulu kan waktu masih kecil non Nidya sering duduk di pangkuan mang Dodi”

Mang Dodi mengecup punggung Nidya perlahan. Dengan hati ragu Nidya menurunkan vaginanya. Mang Dodi membimbing Nidya untuk belajar memasukkan penis ke dalam liang vaginanya.

“ih..”

Nidya mengangkat pinggulnya kembali saat ujung penis mulai tenggelam ke dalam belahan vagina. Geli rasanya saat kepala penis menjilat belahan vagina yang berlendir. Sekali lagi tangan Nidya mengarahkan kepala penis mang Dodi pada belahan vaginanya, kali ini ia menahan rasa geli yang menggelitik saat kepala penis membelah belahan vaginanya. Gemetar seluruh tubuh Nidya menahan sensasi nikmat saat penis mang Dodi tenggelam semakin dalam.

“Ohh mang Dod…!! Mang Dod..”

Wajah Nidya terangkat ke atas menahan nikmat. Vaginanya berkedutan dan meremas batang penis mang Dodi, dengan gerakan indah luar biasa Nidya menggeliat, tubuhnya mulai bekerja mengikuti panduan dari mang Dodi yang terus mengajari sambil memainkan buah dada Nidya.  Belum begitu lama Nidya menaik turunkan pinggul, ia merintih kecil, Vaginanya kembali berdenyut-denyut , rasa nikmat dimulai dari daerah panggul kemudian menyebar ke seluruh tubuh moleknya yang berpeluh. Mang Dodi memeluk erat-erat tubuh Nidya yang tengah orgasme. Sebuah gigitan gemas bersarang di pundak Nidya meninggalkan bekas gigitan merah. Tanpa melepaskan pelukan dari tubuh Nidya, mang Dodi beringsut ke tengah ranjang.

“Ohhh !! ennnnhh aaaa.. Ahhhhh…”

Tubuh Nidya melambung turun naik di atas tubuh mang Dodi, sungguh indah buah dadanya terpantul di dada mengikuti tubuhnya yang melambung-lambung. Suara derit ranjang mengiringi suara nafas berat, desah dan rintihan Nidya dalam kamar, suara geram gemas mang Dodi sesekali terdengar di sela-sela kesibukan meluncurkan batang penisnya ke atas pada sebuah lubang mungil yang menjadi target bulan-bulatan penis besarnya. Wajah Nidya seperti tengah menahan derita, namun sebenarnya bukan derita yang sedang dirasakan olehnya, ia tengah menahan rasa nikmat akibat sodokan-sodokan batang penis mang Dodi yang menghujam keras hingga terasa ke ulu hati. Bercak – bercak darah perawan menodai seprai putih. Berkali-kali Batang penis besar milik seorang sopir bernama Dodi menuai kemenangan atas vagina nona majikannya yang keturunan Chinese bernama Nidya. Sebelum akhirnya penis besar itu mengisi liang vagina Nidya dengan sperma. Hanya suara nafas Nidya dan Mang Dodi yang terdengar memburu di dalam kamar. Dengan sebuah handuk mang Dodi mengeringkan tubuh Nidya yang berpeluh. Hampir tiga jam lamanya mang Dodi menikmati sempitnya vagina dan kemulusan tubuh Nidya. Setengah jam kemudian mang Dodi keluar dari dalam kamar meninggalkan Nidya yang termenung kebingungan. Baju piyama berwarna pink menyembunyikan tubuhnya dari ketelanjangan. Papa dan Mama Nidya baru pulang jam 6 sore tanpa merasa curiga sedikitpun apa yang baru saja terjadi.

###########################

Beberapa hari kemudian, malam hari.

Pintu kamar Nidya dibuka oleh seseorang yang hanya mengenakan sarung dan kaos oblong, orang itu tidak lain adalah Mang Dodi yang mengendap-endap masuk ke dalam kamar nona majikannya. Dengan wajah mesum ia mengunci pintu, di atas ranjang Nidya menoleh kepadanya dengan wajah yang bingung campur malu. Mang Dodi menggusur selimut yang membungkus tubuh Nidya, setelah melepaskan sarung, kaos oblong dan celana dalam dekil, ia naik keatas ranjang meneduhi tubuh Nidya yang masih terbalut piyama berwarna pink.

“Mang Dod.. emmm…” Nidya mendesah menahan beban tubuh mang Dodi yang menindihnya,

Bibirnya menyambut bibir mang Dodi , mesra keduanya berciuman bagaikan sepasang pengantin baru yang berbeda usia dan ras dimana seorang dari  ras mayoritas memangsa dan menikmati cantik dan mulusnya seorang gadis ras minoritas. Satu demi satu kancing baju piyama Nidya terlepas, mata mang Dodi melotot melihat buah dada yang membuntal, padat dan kenyal terasa saat mang Dodi meremas buah dada sebelah kiri.

“Emmmhh mang Dod…”

Nidya menggeliat – geliat resah, sementara mulut mang Dodi semakin rakus dan kasar menghisapi buah dadanya. Sesekali Nidya merintih merasakan gigitan-gigitan gemas mang Dodi pada putting susunya.

“Ah..mmmmhhhh…”

Nidya menggeser-geserkan tubuhnya, kemanapun tubuhnya bergeser kesitu pula kepala mang Dodi mengejar buah dadanya. Sepasang buah dada Nidya yang ranum menjadi bulan-bulanan mang Dodi , begitu ganas mang Dodi menciumi buntalan buah dada dan menghisap kuat puncak payudara Nidya, setelah puas menggeluti sepasang buah dada yang membuntal, mulut mang Dodi melumat bibir Nidya. Setelah itu cumbuan mang Dodi merayap turun.pada leher, melewati belahan payudara, bermain pada perut dan pinggul dan terus turun mengejar milik Nidya yang paling sensitif.

“Ohh Non Nidya, indah sekali memek kamu Non…”

Mata Mang Dodi menatap tajam pada belahan bibir vagina Nidya, bulu-bulu lembut menghiasi vagina Nidya menambah indah pemandangan di daerah kewanitaannya. Mang Dodi mengendus-ngendus aroma vagina Nidya.

“Unnhhh .. ,aaa.. mang Dodddd.. mang Dodddd…” Nidya merengek saat hembusan-hembusan nafas hangat yang memburu menerpa vaginanya

Nidya mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar seolah Nidya ingin memperlihatkan seluruh keindahan yang dimilikinya kepada mang Dodi. Tubuh moleknya melenting menggeliat dan menggelinjang dengan indah saat vaginanya menjadi santapan mang Dodi yang rakus.

“Ussshhhh.. hssssshhhhhhhh… ahhhhhhh” tiba-tiba Nidya mendesis dan mendesah panjang, perutnya mengejang dan cairan vaginanya meluap bersama kedut-kedut orgasme

Begitu indah tubuh Nidya terkulai dibawah sorotan lampu kamar, butiran keringat meleleh membasahi tubuh mulusnya. Suara desah tertahan sesekali terdengar di antara suara seruputan seorang laki-laki yang usianya berbeda jauh dengannya.

“Mang Dod ?? “

Nidya tak mengerti ketika mang Dodi membalikkan tubuh mulusnya yang terkulai lemas dan mengikat kedua tangannya dengan menggunakan celana piyamanya. Setelah itu mulut Nidya disumpal dengan menggunakan celana dalam dekil milik mang Dodi.

“Emmm!!” Nidya berontak saat mang Dodi menyelipkan penis pada belahan pantatnya, kedua tangan mang Dodi menekan pundak Nidya ia menunduk dan berbisik di telinga gadis itu.

“jangan berisik non, nanti kita ketahuan”

Bisikan mang Dodi ternyata sangat efektif.

“hmmmm hmmmmmm”

Nidya berusaha menggelengkan kepala menolak keinginan mang Dodi. Nafas Nidya seperti orang yang sedang sekarat, matanya yang sipit membeliak, liang anusnya merekah diiringi rasa pedih dan perih yang tak tertahankan saat ujung kepala penis mang Dodi membongkar kerutan anusnya.

“Uhhh Nidya…peret banget bool mu Non…” Mang Dodi menceracau

Otot anus Nidya mengigit seputar ujung penisnya yang terbenam semakin dalam. Dengan sekali sentakan kuat mang Dodi membenamkan kepala penisnya hingga otot nidya melingkari leher penis mang Dodi. Kesenangan dan kenikmatan bagi mang Dodi harus dibayar mahal dengan kesakitan luar biasa bagi nidya.

“Emmmmmm !!! mmmmmhhhh”

Tubuh molek Nidya mengejang kesakitan saat batang penis mang Dodi memaksa masuk inchi demi inchi. Pandangan Nidya mendadak gelap seakan hendak jatuh pingsan namun rasa sakit tetap membuat kesadarannya terjaga dalam derita.

“Ehem, mang Dod sayaaaangg sama Nidya.. , sudah jangan nangisss… Sudah masuk semua…koq…”

Mang Dodi tersenyum merasakan empuknya buah pantat Nidya bergesekan dengan bagian bawah perutnya. Batangnya yang panjang dan besar tertanam dalam anus Nidya. Mang Dodi menarik celana dalam dekilnya, melepaskan mulut Nidya yang tersumpal.

“urhh.. s-sakit mang.. s sakit sekali .. aduhhh…” Nidya mengerang saat batang mang Dodi mulai bergerak seperti sebuah piston

Bisik rayuan-rayuan mang Dodi ternyata tidak sanggup untuk membayar rasa sakit yang dirasakan oleh Nidya yang merasa “dipermalukan” dan  “direndahkan” serendah-rendahnya oleh mang Dodi. Berbeda dengan apa yang sedang dirasakan oleh Nidya, Mang Dodi merasa kesuperioran atas diri Nidya. Ego mang Dodi sebagai bawahan/ sopirnya menimbulkan rasa bangga memangsa Nidya sebagai nona majikan dan berdarah Chinese. Dengan teratur batang penis mang Dodi terus bergerak memompa Nidya hinga puas. “Plooo—ppp” Mang Dodi mencabut penisnya, ia membebaskan mulut Nidya dari sumpalan celana dalam dekil milik seorang sopir kemudian menarik pinggul Nidya agar gadis itu menungging dengan sempurna untuk permainan selanjutnya. Ujung penis mang Dodi mencari – cari belahan vagina Nidya. Setelah dirasa pas, perlahan mang Dodi menjejalkan kepala penisnya.

“Mmmmhhhh..” Nidya merinding kegelian, rasa sakit pada anus dibayar oleh sedikit rasa nikmat saat ujung penis mang Dodi menembus dan mengocok-ngocok liang vaginanya.

Mang Dodi terlihat lihat mencecar liang vagina Nidya, serong kiri, serong kanan, menusuk dalam, dan mengocek. Dengan bimbingan dari mang Dodi, Nidya mulai belajar, saat mang Dodi menusukkan batang penisnya, ia mendesakkan pinggulnya menyambut tusukan penis mang Dodi. Untuk beberapa kali tusukan keras Nidya masih dapat bertahan, namun untuk tusukan-tusukan berikutnya tubuh Nidya mulai menggelinjang. Rasa nikmat berkedutan membuat kepalanya terasa ringan namun selain itu Nidya merasa malu mendengar suara yang berasal dari vaginanya. Risih saat payudaranya yang tergantung terayun – ayun dan risih saat buah pantatnya beradu dengan bagian bawah perut mang Dodi.

“mmmmhh emmmmh emmmhh…” Nidya menenggelamkan wajahnya pada bantal.

Mang Dodi tersenyum, sebagai seorang laki-laki sudah tentu mang Dodi takjub pada kecantikan Nidya. Terbayang olehnya wajah cantik Nidya kecil yang lugu dan polos, selama tujuh belas tahun mang Dodi menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri perkembangan Nidya kecil menjadi seorang gadis cantik bertubuh aduhai.

“Mang Dod.. Mang Doddddd….” Nidya merengek perlahan.

“Ya Non ??” Mang Dodi menyahut.

“Pelan-pelan mang…” Nidya meminta mang Dodi memperlembut tusukannya.

“Segini Non ??” Mang Dodi bertanya.

“He-emm.., hssssshhhh.. ohhhh mang Dod… enakk”

Tanpa sadar Nidya merintih keenakan saat  penis mang Dodi menusuk vaginanya. Begitu dalam dan lembut  membuat Nidya meringis dalam getar-getar kenikmatan yang berkedutan saat cairan orgasmenya kembali tumpah.

“Unnnhhhhhh mang Dooood.. utsssss !!” Nidya merengek manja saat mang Dodi membalikkan tubuhnya kemudian menarik kedua kakinya yang mulus indah ke udara.

Satu tusukan kuat membuat tubuh Nidya mengerjat, selanjutnya tubuh Nidya terguncang mengikuti helaan batang penis mang Dodi. Sedikit demi sedikit mang Dodi meningkatkan ritme tusukan penisnya, helaan – helaan nafas berat terdengar memenuhi kamar tidur Nidya. Ringisan Nidya mengeksploitasi sensualitas wajahnya yang jelita. Nidya menatap mang Dodi yang sibuk menjejal-jejalkan batang penisnya, mata laki-laki itu menatap tajam pada buah dadanya yang terguncang dengan hebat. Reflek Nidya menyilangkan kedua tangannya di dada untuk melindungi sepasang payudaranya yang terguncang. Mang Dodi terlihat kecewa, ia meletakkan kaki Nidya di bahu dan kedua tangannya mencekal dan menarik kedua tangan Nidya agar buah dadanya terekspos dengan sejelas-jelasnya dalam guncangan hebat yang membuat jantung mang Dodi berdegub dengan lebih kuat. Berkali-kali cairan orgasme Nidya tumpah meluap sebelum akhirnya sperma mang Dodi muncrat mengisi vagina Nidya. Tubuh Mang Dodi roboh menimpa tubuh molek Nidya yang berpeluh. Batangnya mengerut terjepit dalam kepitan vagina Nidya yang sempit.

“mmmmhhh mang Dod…” Nidya memeluk tubuh mang Dodi, keduanya berciuman lama dan mesra.

Setelah cukup tenaga Mang Dodi pamit keluar dari kamarnya dan Nidya pun tertidur kelelahan.

############################

Keesokan harinya, jam 7 pagi

Hari itu Nidya jadi pendiam, sementara ayah dan ibunya sibuk mengobrol bisnis di meja makan tanpa memperhatikan anak semata wayangnya. Nidya menghela nafas panjang untuk meringankan beban berat yang harus ditanggungnya akibat rasa nikmat sesaat.

“Nidya berangkat dulu ma.., pa..” Nidya pamit kepada kedua orang tuanya.

“Ya…” Ayah Nidya menjawab singkat.

“He-eh..” Ibu Nidya menjawab tak kalah singkat.

Mereka kembali sibuk dengan urusan masing – masing, kadang-kadang Nidya merasa hidup sendiri di rumah mewah yang semakin terasa sepi semenjak kematian Mbok Ijah setahun yang lalu. Hari itu Nidya tampak risih menatap mata Mang Dodi yang mesum sumringah. Wajah Nidya yang cantik merah padam mengingat apa yang telah dilakukan oleh Mang Dodi, sopir kepercayaan-nya.

“Non kenapa koq diem aja sih?” Mang Dodi memecah keheningan.

“Emm .. ngak apa-apa mang…”

Wajah Nidya merona saat mang Dodi menyapa. Nidya melihat ke jendela, sepertinya ini bukan jalan menuju sekolah, entah kemana mang Dodi akan membawanya. Nidya tidak peduli karena sebenarnya Nidya memang sedang tidak mood untuk masuk sekolah hari ini. Hilangnya perawan membuat ia tersiksa dalam rasa gelisah yang tak berkesudahan.

“Kemarin enak banget ya non…” Mang Dodi terkekeh mesum.

“Kita mau kemana mang ??” Nidya berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

“Mang Dodi punya kejutan buat Non Nidya” jawab Mang Dodi

“Kejutan?” Nidya heran

“Iya Non suka ngentot kan? Kemaren Non menikmati kan?” tanya Mang Dodi tanpa malu-malu lagi.

“Eeemmm....jangan nanya gitu ah Pak!” wajah Nidya memerah dan tidak tahu harus menjawab apa, memang tak bisa disangkal kalau dirinya menikmati persetubuhan itu.

“Hehehe...malu-malu ah si Non, Mamang yakin Non Nidya pasti suka kejutan ini….tubuh Non bakal menggeliat, menggeliat dan terus menggeliat he he he”

Mang Dodi senyum sambil menancap gas. Mobil melaju kencang menuju Gunung Tangkuban Perahu. Hari Senin tidak terlalu banyak orang, hanya ada beberapa mobil yang parkir dan dua buah bus pariwisata.

“Ayo non , udah sampe, yuk turun…ikutin mamang ya.. agak jauh supaya nggak pada curiga”

Mang Dodi membukakan pintu seperti biasa. Dengan hati ragu Nidya turun dari dalam mobil. Entah mengapa ia menurut saja mengikuti mang Dodi yang terus naik ke atas. Semakin ke atas semakin sepi, hanya satu atau dua orang saja yang kadang berpapasan dengan Mang Dodi dan Nidya. Menyusuri jalan berbatu menuju sebuah gubuk yang tampak ramai dengan beberapa laki-laki bertubuh kekar namun berpakaian kumal dan dekil.

“Mang Dodi?? Mereka siapa?”

Nidya bersembunyi di balik punggung sopirnya, sorot-sorot mata laki-laki bertubuh kekar itu tampak ganas dan liar seperti hendak menelanjangi tubuh Nidya. Wajah-wajah sangar dan beringas tersenyum mesum pada Nidya. Semuanya berjumlah lima orang.

“Ini temen-temen Mamang Non, Non kan katanya pengen kejutan ya, makannya Mamang ajak ke sini” kata Mang Dodi enteng.

“Ahhhhhhhh…!! Tapi Mang...kok gini....aaahhh!!”

Tiba-tiba seorang dari mereka yang bertubuh gempal menarik lengan Nidya. Bibir Si gempal yang tebal segera menyumpal bibir mungil Nidya. Keahlian si gempal dalam mencumbu membuat Nidya merinding panas dingin dan pemberontakannya mengendur. Keempat temannya tidak tinggal diam, mereka mengerubuti Nidya seperti semut mengerubuti sebongkah gula-gula. Mereka mempreteli satu persatu pakaian seragam Nidya, beberapa kancing seragamnya putus karena agak kasar, sehingga dalam waktu singkat Nidya telah telanjang di pelukan si pria gempal diiringi decak kagum orang-orang yang sama sekali tidak dikenal oleh gadis itu. Lima pasang tangan kasar itu segera menjelajahi kehalusan dan kemulusan tubuh Nidya. Meremas buah pantat, mencolek belahan bibir vagina dan mengelusi permukaan paha Nidya yang halus. Mata Nidya terbelak melihat batang-batang besar berurat mengacung perkasa. Nidya merasa panas oleh gairah yang membakar darah mudanya.

“Auhhhh…..” Nidya menjerit kecil

Si gempal melemparkan tubuh Nidya ke atas sebuah kain selimut belel yang dibentangkan di depan sebuah rumah gubuk tua. Serempak lima orang laki-laki berwajah beringas menerkam tubuh Nidya yang terpekik. Tubuh telanjang Nidya terlentang pasrah, lima pasang tangan kembali menjelajah menggerayangi sekujur tubuh Nidya yang putih mulus. Kelima Orang Laki-laki dengan wajah sangar terkekeh saat saling berbincang mesum. Dari situ Nidya mengetahui nama-nama mereka, yang bertubuh gempal bernama Bang Somad, yang berkumis bernama Bang Malik, yang berwajah codet bernama Bang Toto, yang brewokan bernama Kardi, yang bibirnya paling tebal bernama Jarot. Kesemuanya adalah penduduk setempat, ada yang menjadi penjaga keamanan, penjual mainan, dan petugas kebersihan.

“Minggir. Gua mau nyicip memeknya…” Bang Somad mengejar vagina Nidya.

“Siap banggg. Tapi kalau abang udah selesai jangan lupa bagi-bagi ya” sahut Bang Malik, ia dan kawan-kawannya mundur, memberi ruang bagi bang Somad.

“Iya lah  pasti...gua kasih kalau gua udah puas ngentot sama si amoy cantik ini”

Jawaban Bang Somad disambut senang oleh Malik dkk.

“Gila ini lobang, bagus amat ck ck ck seumur-umur baru kali ini gua ngeliat isi memek Cina…”

Mata Somad melotot melihat isi vagina Nidya yang berwarna merah muda, aromanya yang harum karena terawat membuat nafas Somad memburu. Dengan rakus mulut Somad melumat-lumat vagina Nidya. Rintihan Nidya membuatnya semakin liar dan beringas menikmati vagina gadis itu. Lidah Somad menusuk-nusuk dan mencokel – cokel daging mungil milik Nidya.

“Hssshshhh.. Hssssshhhhh ahhh!!” Nidya mendesis dan mendesah.

Permainan Bang Somad membuatnya kewalahan, geli tapi nikmat, risih tapi ingin lebih sementara keempat orang laki-laki berwajah beringas lainnya beserta Mang Dodi menonton dengan penuh nafsu, selentingan-selentingan nakal terdengar di antara mereka.

“Kasih bang !! kasih..!!” Jarot berteriak kemudian terkekeh.

“Hihhhhh…..”

Dengan sekali sentak, Bang Somad menusuk vagina Nidya.

“Aduhhh…!!” Nidya memekik keras, setengah penis terbenam dalam vaginanya.

“Ha ha ha ha ha…” Suara tawa menggelegar “ahh aaa aaaa ahhhhhhh…uuhhuyyy...amoy emang emoy!!”

Tubuh Nidya terguncang hebat. Mata sipitnya menatap mang Dodi yang asik mengabadikan persetubuhan liar antara Nidya dan Mang Somad dengan menggunakan kamera saku. Nidya mengerang menahan pompaan kasar dari Bang Somad.

“unnhh hsssshhh ahhhhhhh…..” nafas Nidya tertahan, denyut-denyut nikmat membuatnya terkulai diiringi sorak sorai keempat orang laki-laki beringas yang menyemangati Bang Somad yang menyerang dengan lebih gencar.

Suara erang, rintih dan pekik Nidya membuat bang Somad bergairah luar biasa. Suara becek terdengar keras saat Bang Somad memompakan batang penisnya ke dalam vagina Nidya. Bosan dengan posisi missionary dan kemenangan gemilang atas orgasme Nidya, Bang Somad menyuruh Nidya untuk menungging.

“Wuihh !! Bulet padet !! Mantap ini!!” Bang Somad memuji sambil menampar buah pantat Nidya.

Cairan orgasme Nidya meleleh pada paha bagian dalam, tangan Bang Somad mengusap keringat di punggung Nidya kemudian meremas-remas buah pantatnya sebelum akhirnya ia menggesekkan ujung penis pada belahan pantat Nidya yang hangat.

“Akkkhhh !! Aduh-duh.. Awwwww.. sakit bang..” Nidya mengaduh dan memekik kesakitan.

Anus yang masih lecet karena kemarin diperawani sopirnya kembali dikuakkan oleh sebatang penis yang lebih besar dari milik mang Dodi. Suara erang Nidya membuat jantung para lelaki di tempat itu berdegub dengan lebih kencang. Mang Dodi menjepretkan kamera sakunya pada wajah Nidya , mengabadikan ekspresi wajah cantik yang sedang kesakitan kemudian bak fotografer mengambil pose Nidya yang sedang menungging ditusuk oleh penis Bang Somad.

“sebentar bang…, saya pindahin dulu handycam nya..” Bang Dodi memindahkan handycam second yang dibeli dari sebuah counter di pusat perbelanjaan elektronik terbesar di kota Bandung, sebuah tripod menyangga handycam second yang masih berfungsi dengan baik.

“Aduh , aduh .. ahh ahh akhh awwww…” Nidya mengaduh dan memekik kesakitan, tubuhnya tersungkur maju mundur mengikuti gerakan batang penis Bang Somad yang bergerak kasar menyodomi anusnya.

Wajah Nidya dalam derita diabadikan dengan sejelas-jelasnya oleh sebuah handycam dan jepretan – jepretan kamera saku di tangan mang Dodi.

“Aduh sakit-s-sakit , T-tolong mang Dod.. Tolong…” Nidya memohon pertolongan mang Dodi yang terkekeh padanya.

“Aduhhh !! Ampun Bang ampunnnhh akhh arrrrrhhh…”

Kasar sekali Bang Somad menumbukkan penisnya. Suara benturan buah pantat Nidya dengan bagian bawah perut Bang Somad terdengar keras seperti suara tamparan. Jerit dan tangisan Nidya terdengar di antara suara tumbukan-tumbukan penis Bang Somad yang mencecar dengan gencar. Mata Nidya yang sipit terbeliak-beliak akibat rasa sakit yang tak tertahan. Suara merdu Nidya terdengar sedikit serak akibat terlalu sering dan terlalu keras menjerit.

“UNGGHH !! Anjing !!” Bang Somad mengumpat, spermanya muncrat dalam anus Nidya, batang penisnya berkedut-kedut , layu dan mengkerut, tubuhnya yang gempal ambruk menindih tubuh mungil Nidya.

Nidya merintih kesakitan saat gigitan gemas Bang Somad menancap di bahunya setelah itu barulah Bang Somad mengangkat tubuhnya dari tubuh Nidya.

“Aduhhh.. jangannnn….” suara Nidya kembali terdengar, empat orang laki-laki dengan wajah beringas menyerbu menggeluti tubuh mulusnya yang berpeluh, tidak ada seincipun tubuh Nidya yang lolos dari gerayangan-gerayangan tangan keempat lelaki itu yang menggerayang penuh nafsu binatang. Buah dada Nidya yang bulat padat menjadi sasaran empuk bagi mulut orang-orang gunung yang begitu bernafsu padanya.

“Sudah bang , jangan.. nggak kuat…” Nidya menolak saat dipaksa menaiki batang penis Bang Jarot.

“Tinggal naek !! Susah amat sih !!” Jarot yang terlentang membentak Nidya.

“Ha ha ha ha” suara tawa menggelegar mendengar gerutuan Jarot.

Dibimbing oleh tiga orang laki-laki Nidya naik ke atas penis Jarot, tangan jarot mengusap-ngusap paha, pinggul dan meremas-remas payudara Nidya. Saat merasa ujung penisnya mulai tenggelam dalam vagina, dengan gerakan mendadak Jarot mengangkat penisnya ke atas, tanpa ampun penisnya melesat menusuk vagina Nidya.

“Aaaaaa.. ahhhhh….”

Tubuh mulus Nidya pun menggelinjang dalam pelukan Jarot. Saat itu Malik yang tidak tahan mengarahkan penisnya ke pantat Nidya

“Aduh..!!jangan bang..!! tolong jangannn…” Nidya memohon saat Bang Malik mulai melakukan penetrasi ke duburnya

“AWWWWWWWW….” jerit Nidya terdengar keras saat anusnya ditembus penis.

Baru untuk yang pertama kali Nidya merasakan dua batang penis menusuk anus dan vaginanya sekaligus. Sekujur tubuhnya gemetar hebat, harga dirinya direndahkan serendah-rendahnya di hadapan para laki-laki di tempat itu. Mang Dodi melotot dengan wajah mesum ia kembali sibuk menjepretkan kamera di tangannya untuk mengabadikan obsesi dari angannya yang terliar, Nidya yang cantik mengerang disandwich oleh dua orang laki-laki berwajah beringas.

“Aduhh !! AOWWWW…!!” Nidya menjerit dan memekik keras saat dua batang penis bergerak seolah sedang saling berlomba mencari kenikmatan dalam anus dan vaginanya.

Nidya melenguh keras dalam rasa malu, ia dipermalukan semalu-malunya oleh Malik dan Jarot yang kasar dan beringas menghujamkan batang mereka ke dalam kedua lubangnya. Jerit dan pekik dalam rasa malu dan rasa direndahkan akhirnya berakhir dengan kepasrahan saat Nidya merasa kedutan-kedutan nikmat yang menyebar ke seluruh tubuh. Dalam kepasrahan Nidya merengek.

“He he he… nih susu buat yang mau…”

Malik menarik bahu Nidya agar posisinya duduk menjengking ke belakang, otomatis buah dadanya membusung menggairahkan. Dua mulut mengejar mengecupi buntalan buah dada kemudian menghisap kuat puncak payudaranya. Bergantian Toto dan Kardi melumat dan mengulum bibir Nidya, tangan mereka tak henti meremas buah dada yang membusung itu. Erang dan ringisan menabur sensualitas di wajah cantik Nidya yang sedang dikeroyok oleh empat orang laki-laki berwajah buruk yang menuai kemenangan gemilang atas orgasme yang dialami Nidya hingga penis Malik dan Jarot memuntahkan sperma panas dalam anus dan vaginanya.

“Sini cantik biar abang gendong…” Toto dan Kardi terkekeh menggoda Nidya.

Penis kardi mengait vagina Nidya dalam posisi menggendong berdiri berhadapan, reflek kaki Nidya mengapit pinggang Kardi. Tidak berapa lama penis Bang Toto menusuk anusnya. Anus dan vagina Nidya kembali menjadi bulan-bulanan dua batang penis yang bergerak dengan teratur menusuki liang vagina dan anusnya. Nidya mengalungkan kedua tangannya pada leher Kardi, ia menyambut lumatan bibir laki-laki itu sesekali Nidya menoleh ke belakang untuk berciuman dengan Bang Toto. Entah sudah berapa kali vaginanya berkedut dalam nikmat orgasme sebelum akhirnya diiringi suara lenguhan panjang wajah cantik Nidya menengadah ke atas langit saat ia tersiksa dalam buaian puncak klimaks bersamaan dengan semburan sperma panas Bang Toto dan Kardi. Mang Dodi tersenyum lebar menyaksikan tubuh Nidya yang putih mulus merosot turun. Nidya kecil yang kini tumbuh menjadi seorang remaja cantik terkulai dengan tubuh basah berpeluh dibawah kaki lima orang laki-laki berwajah sangar yang terkekeh puas menikmati kemudaan dan kemulusan tubuh moleknya. Tiga batang penis yang masih berdiri perlahan turun. Bang Somad , Bang Jarot, dan Bang Malik menembakkan spermanya pada wajah, payudara dan perut Nidya. Sebentar saja Nidya sudah belepotan cairan putih susu berbau menusuk itu. Mang Dodi mendekatkan kameranya ke wajah Nidya.

“Gimana Non? Enak ga?” tanya Mang Dodi

Nidya hanya mengangguk dengan senyum lemas. Ia menelan sperma dalam mulutnya agar tidak terlalu tersiksa dengan aromanya yang tajam. Terus terang, walaupun merasa dipermalukan namun dalam hati kecilnya ia mulai menyukai dan sangat menikmati suasana tadi.

“Lain kali mamang ajak entotan lagi Non mau kan?” tanya sopir itu lagi

“Mau...mau Mang” jawabnya

Begitulah awal dari kehidupan baru Nidya sebagai budak seks sopirnya sendiri. Hari demi hari selalu ada saja pengalaman baru bersama Mang Dodi. Kesepian dan kurangnya perhatian orang tua membuatnya berpaling pada kesenangan terlarang.

By: Putri Andina

Senin, 21 Mei 2012

Slutty Wife Tia 9: Hujan dan Kilat (Final)

SINOPSIS
Pak Walikota telah memilih Tia untuk melayaninya secara pribadi.  Sementara Bram dan Citra menyusul ke hotel tempat Tia berada.  Niat Bram hanya satu: Jemput Tia!

Story codes:
M/F, M+/FF, cons, rom

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu.  Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan. 
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

CREDITS
Terima kasih untuk Mr. Shusaku (KisahBB) yang memilihkan judul seri Slutty Wife Tia.  Terima kasih juga untuk “Sarah” yang memberi inspirasi untuk adegan di bab ini.

Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda?  Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com.  Selamat membaca.

Slutty Wife Tia 9
Hujan dan Kilat
-Ninja Gaijin-


-ringkasan cerita sebelumnya-

Tia mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram suaminya, menjadi lebih seksi dan binal.  Mang Enjup, atasan Bram, mengetahui perubahan Tia dan mempengaruhi Tia lebih lanjut menggunakan ilmu hipnotis.  Kemudian Mang Enjup mengumpankan Tia kepada Pak Walikota, dalam persaingan tender proyek besar.  Bram menyadari apa yang telah dilakukan Mang Enjup, dan segera bergegas mencari Tia…

*****
Shenny

Jam berapa sekarang…?
Di tengah himpitan dan hentakan, Shenny malah memikirkan waktu.  Dia sudah lelah melawan nafsu liar kumpulan manusia buruk rupa yang menjadi tamu istimewa pesta gila Pak Walikota di kamar Hotel V.  Jadi dia sudah tak peduli lagi ketika untuk kelima kalinya ada seseorang di antara mereka yang menindih dan menyetubuhinya.  Yang dia pikir hanya ‘kapan semua ini akan selesai’. Mata sipitnya kini menatap kosong berkeliling ruangan.  Dilihatnya pelacur impor itu, Gaby, masih saja aktif melayani orang-orang di sana.  Perempuan Latino itu berlutut di depan seseorang, dan dari belakangnya Shenny melihat kepala Gaby yang berambut coklat bergelombang bergerak-gerak di depan selangkangan orang itu.
Masih kuat nyepong, dia…
Tapi ketika Shenny mencari dua orang lagi, Tia dan Pak Walikota, keduanya tidak ada di sana.  Ke mana mereka?  Dia tidak melihat mereka keluar kamar.  Tadi memang Pak Walikota menarik tangan Tia dan mengajaknya ke arah belakang, lalu mereka tidak terlihat lagi.  Apa Tia ada di satu kamar di belakang…Lamunan Shenny terhenti ketika gigitan dan jilatan orang yang menyetubuhinya pada payudaranya yang kecil tapi kencang membuatnya nyaris klimaks lagi.  Dia benci situasi itu.  Pikiran dan harga dirinya tak suka mesti melayani manusia-manusia jelek ini, tapi tubuhnya berkhianat dan mau saja diajak menikmati sensasi.
“Ohh~” jerit Shenny, berusaha menahan rasa malu.  Dengan segala cara dia menyangkal bahwa apa yang dialaminya sekarang itu nikmat.  Dia gengsi kalau pertahanannya dibobol lagi seperti beberapa menit lalu, ketika dia orgasme sesudah disetubuhi tiga orang.
Aku ingin keluar dari sini… aku ingin keluar dari sini… aku ingin keluar dari sini…

*****

“Makasih buat kerjanya,” kata si manajer kepada kedua teknisi yang baru melapor.  “Emang kerjaan rutin sih, tapi kita tetap harus jamin sistem alarm kebakaran kita berfungsi.”
“Sama-sama, bos,” kata salah seorang teknisi itu.  “Jangan lupa jadwal pemeriksaannya tiap enam bulan ya.”
Dua teknisi dari perusahaan alarm kebakaran meninggalkan kantor manajer pemeliharaan gedung Hotel V.  Ketika menunggu lift, salah satunya nyeletuk. “Kita lupa periksa semua yang di lantai lima…”
“Lho, kan udah tadi?” temannya menanggapi.
“Kamu baru sekali ya ke sini?  Dulu saya ikut pas pertama kali hotel ini pasang alarm.  Nah, di lantai lima itu kan kamar-kamar suite-nya.  Tadi emang kita masuk ke beberapa yang kosong kan.  Tapi ada yang kita nggak bisa periksa karena lagi ada isinya.  Di kamar-kamar di sana, ada satu yang bertingkat.”
“Bertingkat?  Maksudnya gimana?”
“Itu kamar masuknya dari lantai lima, tapi di dalamnya ada tangga sendiri ke kamar lain di atas… di atap, lantai 6, kamar penthouse.  Harusnya di sana ada sambungan alarm kebakaran dan pipa air juga.  Tapi kita nggak periksa kamar itu, soalnya tadi kamar-kamar yang kita masukin nggak ada yang ada tangga ke lantai 6-nya.”
“Apa sebelum pulang kita periksa penthousenya dulu?  Biar tuntas kerjaan kita…”
“Kita bisa sih naik ke atap lewat tangga darurat, cuma kita ga bisa masuk ke kamar itu dari luar.  Mesti dari kamar induknya di lantai lima.  Nah, tadi kamu lihat juga kan?  Di depan pintu kamar itu ada orang.  Kayaknya pengawal.  Barangkali lagi ada orang penting di dalamnya.  Makanya tadi kita nggak masuk ke sana.”
“Ooo…”
“Besok-besok lagi aja kita periksa yang di sana, kalau lagi nggak ada orang.”
“Eh, Bang… Kenapa mesti ada kamar yang bentuknya aneh kayak gitu ya?”
“Yah… Kayak ga ngerti aja kamu.  Pemandangan di atas kan bagus, lumayan ga kehalang bangunan lain, cocok tuh buat…”
“Buat apa?”
“…Kamu kayak ga tau aja ini hotel apa.”
“Oh.”
Pintu lift terbuka dan mereka turun.  Samar-samar tercium wangi parfum perempuan dalam lift.  Bekas seorang perempuan yang baru naik ke lantai lima bersama adiknya.

*****

Bram dan Citra melangkah keluar dari lift yang sepi.  Sesudah mereka meninggalkan lift, lift itu akan turun lagi dan dimasuki dua teknisi di lantai di bawahnya. Bram celingukan melihat koridor hotel yang sepi.  Lampu temaram, kertas dinding bercorak ramai, karpet yang mulai usang.  Citra sebaliknya, berjalan di sana ibarat berjalan di dalam rumahnya sendiri.  Dulu ketika kehidupannya lebih liar daripada sekarang, Citra mungkin bisa seminggu 3-4 kali keluar-masuk berbagai hotel, menemui laki-laki yang berbeda tiap hari. Di ujung koridor terdapat pertigaan.  Citra memberi isyarat kepada Bram agar tidak buru-buru.  Dia tahu ada apa di situ.  Koridor tempat mereka berada berakhir di satu dinding, bertemu koridor lain yang merentang ke kanan dan kiri.
“Sebelah kanan, ada tangga ke bawah.  Ke sebelah kiri, di ujung koridor, ada pintu ke kamar suite.  Kalau perkiraanku benar, Tia pasti ada di dalam situ.”
Di ujung koridor, tepat sebelum pertigaan, Citra mengeluarkan tempat bedak yang bercermin dari dalam tasnya.  Dia berdiri membelakangi dinding di sebelah kiri, membuka cermin, lalu mengintip ke arah ujung lorong sebelah kiri.  Bram ikut melihat.
“Kaca spion” itu menunjukkan seorang laki-laki berambut cepak berdiri di depan pintu kamar suite.
“Ada yang jaga,” kata Citra.  “Gimana cara kamu ngelewatin dia?”
Bram memikirkan kemungkinan dia melumpuhkan si cepak.  Citra bisa membaca pikiran adiknya.
“Kamu yakin bisa menang berantem sama begituan?  Itu bodyguard, Bram.  Bisa aja kamu menang, tapi ga gampang.  Lagian kamu cuma bisa datang dari depan.  Nggak bisa sergap dia dari belakang.”
“Terus… Gimana kita bisa singkirin dia Kak?”
“Aku bisa bikin dia pergi dari sana,” kata Citra yang sekarang menggunakan cerminnya untuk mengecek penampilan.  “Tapi aku ga tau gimana caranya supaya kamu bisa masuk ke sana.”
Mata Bram melihat ke sekelilingnya.  Kertas dinding, karpet, hiasan, langit-langit.
“…bisa nggak, ya?” katanya seperti melamun sendiri.  Citra senyum.
“Kamu ada ide?” tanya Citra.
“Nggak tau bakal mempan atau enggak,” kata Bram, wajahnya lebih cerah dari tadi.  “Kalau berhasil, aku nggak perlu dobrak pintu buat ngambil Tia dari dalam sana.  Tapi aku tetap perlu bantuan Kakak buat nyingkirin bodyguard itu.”

*****
PENTHOUSE

Pak Walikota duduk selonjor di atas tempat tidur king size, mengenakan kimono.  Terdengar suara percikan air dari kamar mandi.  Di depan tempat tidur terdapat jendela lebar yang gordennya dibuka, menampilkan pemandangan langit menjelang sore dan gedung-gedung bertingkat di kota. Kota-nya. Kalau hanya melihat penampilan luar, semua orang akan merasa Pak Walikota sudah mengecap hidup yang sempurna.  Karier yang lancar dan terus menanjak, dari aparat menjadi pejabat, dengan kekuasaan dan kemakmuran yang makin lama makin besar.  Semua laki-laki pasti mendambakan apa yang telah didapatnya. Namun di balik penampilan penuh kejayaan, selalu saja ada yang tidak sempurna.  Kadang kekayaan dan kekuasaan tidak juga bisa mendatangkan kebahagiaan bagi pemiliknya.  Karena acap kali kebahagiaan terletak pada hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan dua itu. Itulah yang dirasakan Pak Walikota.  Meski dia boleh dikata bisa mendapat segalanya, sebenarnya ada hal-hal yang tak bisa dia dapatkan, meski dengan segala jabatan dan hartanya.  Makanya dia terus terobsesi oleh sesuatu...Tia. Pesta seks antara tiga perempuan dan kumpulan orang jelek membuatnya yakin bahwa dia tak akan dikecewakan.  Kini tinggal langkah terakhir.  Dia tadi mengulurkan tangannya ke Tia.  Dia membawa Tia menuju satu pintu di kamar suite itu.  Di balik pintu terdapat tangga ke atas, menuju satu kamar khusus di lantai enam.  Kamar itu adalah kamar istimewa yang tersendiri, dengan pemandangan kota dari atas.  Tiada yang mengganggu.  Dua perempuan lainnya, Gaby dan Shenny, biarlah melayani orang-orang suruhannya sampai mereka puas. Tia tak banyak bicara, tapi terus tersenyum selagi dia dituntun Pak Walikota menaiki tangga menuju kamar lantai 6 itu.  Kamarnya indah dan luas, sama seperti kamar induknya di bawah.  Sesudah membukakan pintu, Pak Walikota berbalik badan dan menatap Tia.  Pemandangan yang membuatnya sekali lagi menahan nafas.  Ketika diajak ke atas tadi, Tia sedang telanjang bulat, dan Tia tidak mengenakan lagi pakaiannya.  Dalam keadaan habis disetubuhi itu, entah kenapa, Tia tampak lebih menggairahkan bagi Pak Walikota.  Rambut panjangnya sudah dia gerai.  Wajah dan bentuk tubuhnya lebih mengatakan keanggunan, beda dengan keseksian Gaby dan Shenny.  Sikapnya yang tenang namun berani tadi juga beda dengan Gaby yang terkesan hanya bekerja memuaskan nafsu atau Shenny yang tak rela. Pak Walikota menikmati sosok Tia di hadapannya.  Tubuh Tia yang ramping tapi berisi, dengan payudara berukuran sedang dan pinggul montok, dan kaki panjang indah. Tia melihat di sana ada kamar mandi.
“Ehm… Pak… Boleh saya mandi dulu?” pintanya.
“Silakan,” Pak Walikota mengizinkan.  Tia pun berjalan ke kamar mandi.  Pak Walikota mendengar shower dinyalakan dan tirai ditarik.  Dia sendiri kemudian duduk santai di atas tempat tidur.
Dan selagi Tia membersihkan tubuh, Pak Walikota memejamkan mata, membayangkan betapa bergairahnya Tia tadi di bawah, dan apa yang mau dia lakukan kepada Tia. Lamunannya berhenti ketika Tia keluar dari kamar mandi, berbungkuskan handuk.
“Ayo ke sini,” panggil Pak Walikota.

******
KORIDOR

Bram berdiri menunggu di dekat pertigaan lorong sementara Citra menjauh dari sana, menelepon seseorang.  Si bodyguard masih berdiri mematung di depan pintu yang harus dijaganya.  Beberapa lama kemudian, Citra selesai menelepon dan kembali mendekati Bram.
“Oke.  Kamu cari tempat sembunyi dulu, jangan sampai kelihatan di sepanjang koridor ini.  Kakak mau singkirin orang itu.” Citra tersenyum mantap.
“Hati-hati, Kak,” pesan Bram selagi dia menjauh ke ujung koridor, pindah ke bagian yang tak terlihat dari dekat pertigaan.  Mereka sudah menyusun rencana dan sekarang saatnya beraksi. Citra menyelipkan sebatang rokok ke bibirnya lalu melangkah ke pertigaan koridor.

*****
Citra

“Punya korek, nggak?”
Si pengawal pribadi Walikota yang sedang berdiri menjaga pintu kamar sewaan atasannya terperangah melihat seorang perempuan cantik berjalan keluar dari koridor sebelah menuju tempatnya berdiri.
“Bang,” ulang Citra, “Punya korek nggak?”
Kalau perempuan lemahnya dengan kata-kata, laki-laki lemahnya dengan penampilan.  Si pengawal yang memang sedang bosan karena disuruh menjaga di luar jadi melongo memandangi Citra di hadapannya.  Dengan rok pendek dan blus ketat serba hitam, Citra tampak menawan.  Dia pasang tampang bosan sambil berkacak pinggang di depan si pengawal.
“Emh,” si pengawal merogoh ke dalam kantong dan mengeluarkan korek gas, lalu menyodorkannya ke Citra.  Tapi Citra tidak bergerak.
“Sini dong,” panggilnya.  “Nyalain,” katanya sambil memberi isyarat ke arah rokok yang terselip di bibir merahnya.  Citra sangat percaya diri dengan kemampuannya menguasai laki-laki.  Pegang nafsunya, dan laki-laki paling kaya, paling pintar, paling perkasa pun takluk.  Dia menunggu pesonanya bekerja.  Benar, si pengawal menurut.  Pemuda tegap itu maju mendekati Citra dan menyalakan korek api untuk menyulut rokok Citra.
“Makasih,” kata Citra sambil mulai mengisap rokok.  “Eh… lagi bosen yah?”
“Hehe, iya,” celetuk si pengawal.
“Mau bantuin aku gak?” celetuk Citra.
“Bantu apa nih?” kata si pengawal.
Si pengawal jadi bersender di dinding di sebelah Citra.
“Barusan abis dibooking ama om-om nih aku,” kata Citra, “Nggak sampai lima menit dia udah crot, lagian itunya kecil banget cuma segede jempol.  Cuma, dia jago ngegini giniin,”—sambil Citra menjulurkan lidahnya, menjilat-jilat udara di depan mulutnya—“bisa sampai aku nyaris keluar, tapi terus dia malah pengennya ngentot aja.”
“Terus?” tanya si pengawal.
“Kentang nih,” kata Citra. “Bisa bikin aku keluar gak?”

Si pengawal bengong disodori tawaran seperti itu.
“Itu om-om udah pulang, nggak bisa bangun lagi burungnya.  Tapi kamar bekas aku sama dia masih bisa dipakai.  Mau nggak?  Di sebelah sana… Sebentar aja deh.”
“Euhm… Beneran nih?” si pengawal tak percaya.
“Iyalah… Kenapa? Ga doyan cewek ya?” goda Citra.
“Hahaha… Siapa takut?” kata si pengawal.  Citra mendekat lalu merangkul pinggang si pengawal.
“Badan kamu gede…” puji Citra.  “Itunya gede juga nggak?”  Sambil tangan Citra nakal menyentuh permukaan celana bagian selangkangan.
Si pengawal mulai merasa panas dingin menghadapi godaan Citra.  Tugasnya untuk menjaga pintu mulai terlupakan.
“Ohhh…” desah Citra.  “Ayo… ke kamar yuk?”
“Eng, tapi…”
“Ayoooo~” pinta Citra dengan manja.  Dia menarik lengan si pengawal.  Awalnya lengan kokoh itu tak bergerak.  Namun digerayangi terus oleh Citra, luluh juga pertahanannya.  Dia mulai melangkah mengikuti Citra. Citra tadi menelepon pegawai hotel kenalannya.  Minta disediakan kamar kosong; yang belum dibereskan juga tidak apa-apa.  Mengingat kamar-kamar hotel itu lebih sering dipakai short time, kamar dengan keadaan seperti yang dimintanya kebetulan tersedia.  Di lantai yang berbeda memang.  Tapi si pengawal itu mau saja diajak Citra meninggalkan posisinya.  Keduanya berjalan menyusur koridor menuju tangga ke bawah.  Di depan tangga, Citra berbalik, berjinjit supaya bisa menjangkau ke atas, dan memberi french kiss kepada si pengawal.

*****

Sepuluh menit lebih Bram menunggu di ujung koridor yang jauh dari pintu kamar Pak Walikota.  Dia bertanya-tanya, apa kakaknya sudah berhasil menyingkirkan si pengawal?  Bram merasa waktunya sudah cukup lama, dan dia berjalan mendekat ke pertigaan.  Sepi.  Tidak ada suara.  Tidak ada orang? Bram memberanikan diri untuk melongok ke arah pintu kamar Pak Walikota.  Kosong!  Citra sudah berhasil menyingkirkan si pengawal.  Artinya kakaknya itu berhasil merayu si pengawal untuk pergi ke—  Bram menghentikan pikirannya di situ, tidak mau membayangkan kakaknya mau apa dengan si pengawal.  Bram kemudian mendekat ke pintu itu.  Sampai merapat ke pintu.  Dicobanya mendorong pintu.  Tidak bergerak.  Dilihatnya ke arah gagang pintu.  Di sebelah gagang pintu ada slot kartu.  Terkunci dengan kartu. Bram ganti memperhatikan lantai.  Tidak terlihat apa-apa di karpet di depan pintu.  Tidak ada barang jatuh.  Tidak ada kartu kunci.  Andai rencana mereka itu melibatkan mencopet kunci dari si pengawal, Citra jelas tidak berhasil melakukannya. Pintu itu terlihat kokoh.  Dobrak? Tapi memang bukan itu rencananya sejak awal. Tentu saja pintu itu akan terkunci.  Dan apakah membukanya, dengan kunci ataupun dengan paksa, itu strategi terbaik? Bram memandangi seluruh bagian pintu, lalu mundur dan memperhatikan sekeliling. Kiri, kanan. Atas, bawah.  Lantai, dinding, pintu. Bram meraba suatu barang dalam kantongnya.  Barang yang tadi dia ambil dari tangan kakaknya.

Karena perlindungan yang bisa diberikan seorang laki-laki kepada kekasihnya tidak mesti dengan kekuatan belaka…

*****
PENTHOUSE

Tia

Pak Walikota menahan nafas ketika Tia berjalan mendekat.  Langkah-langkahnya seperti macan lapar mengintai mangsa.  Seksi dan menggoda.  Tatap mata Tia membangkitkan nafsu badani Pak Walikota yang mulai tak tertahan.  Ketika sudah dekat dengan tempat tidur, Tia berhenti.  Sambil melempar senyum nakal dia berbalik, menggoyang tubuh, lalu membuka balutan handuk yang menutup tubuhnya.  Dia membuka dadanya membelakangi Pak Walikota.  Sambil menengok ke belakang, matanya mengerling genit.  Tapi lantas handuk itu dia naikkan lagi kembali menutup dadanya.  Kemudian dia berbalik, dan mengelus pahanya di tepi bawah handuk.  Sambil mengelus, terangkat sedikitlah handuk itu.  Tia menggigit bibir, lalu kembali membelakangi Pak Walikota.  Handuk dilepas lagi, turun memperlihatkan punggung, lalu ditarik sampai menutupi bahu; kali ini bagian bawah-lah yang terbuka, pantat dan pinggul Tia.  Tia berbalik lagi, handuknya turun lagi menutupi dada, tapi kali ini tangannya menurunkan handuk sambil menutupi payudara kanan.  Tangan Tia kemudian meremas lembut dan mengusap-usap payudara kanannya; gundukan daging yang cantik itu bergerak berputar lambat mengikuti gerak tangan Tia.  Kembali lagi Tia menutup dadanya dengan handuk. Tanpa berkata apa-apa Pak Walikota menikmati pertunjukan striptease Tia di depannya.  Benar-benar “strip” & “tease”.  Menelanjangi sambil menggoda.  Sesudah membungkus lagi tubuhnya dengan handuk, Tia kemudian menahan handuk di depan dada dengan lengan tapi melepas sisanya, sehingga handuk itu menggantung menutupi dada ke bawah, tapi tubuh belakang dan sampingnya tak tertutupi.  Tia lalu sengaja memutar tubuh ke samping sehingga Pak Walikota bisa melihat sekujur sisi tubuhnya yang sedang tak tertutup handuk.  Terakhir, Tia pelan-pelan membiarkan handuk itu merosot ke lantai sehingga dirinya pun bugil seluruhnya di hadapan Pak Walikota. Pak Walikota bergeser mendekati Tia, sehingga posisinya berubah jadi duduk di pinggir tempat tidur.  Dia menjulurkan kedua tangan ke depan dan mencengkeram pinggang Tia.  Tia berbalik, menungging membokongi Pak Walikota, memamerkan pantatnya yang bahenol, meremas-remas kedua belahannya.  Tia masuk ke dalam peran dengan sungguh-sungguh, bertindak seperti seorang pelacur betulan, mengumbar tubuhnya untuk mendapatkan perhatian penuh nafsu laki-laki.

Dapat dilihat Pak Walikota mulai panas melihat pertunjukan cabul yang disajikan Tia.  Matanya terpaku pada tubuh Tia, menatap lapar!  Dia tampak siap menerkam Tia dan melampiaskan gairahnya. Namun seolah masih ada sesuatu yang membuat Pak Walikota masih menahan diri…Tia berbalik badan dan menggenggam kerah kimono yang dipakai Pak Walikota.  Wajah laki-laki paro baya itu berubah khawatir.  Tapi Tia tak mempedulikannya selagi dia pelan-pelan membuka kimono itu. Ketika tubuh atas Pak Walikota terbuka, Tia terhenyak kaget.  Ini rupanya yang membuat Pak Walikota ragu. Tubuhnya besar dan atletis.  Gagah, karena masa lalunya sebagai perwira.  Namun tubuh Pak Walikota ternyata penuh bekas luka menjijikkan. Bertahun-tahun lalu, ketika masih berpangkat rendah dan bertugas di daerah konflik, Pak Walikota mengalami musibah.  Dia ikut dalam konvoi kendaraan yang disergap kelompok perlawanan.  Truk yang ditumpanginya terkena tembakan dan meledak.  Dia masih lebih beruntung daripada kawan-kawan sekesatuannya yang tewas atau cacat karena ledakan truk itu, tapi dia mengalami luka bakar parah di sebagian besar tubuh.  Bola api ledakan membakar tubuhnya dan dia terlempar keluar truk dalam keadaan membara, menjerit kesakitan.  Dia diselamatkan kawan-kawannya dan segera diangkut untuk dirawat, tapi sesudahnya dia hidup dengan tubuh rusak. Itulah yang sedang Tia saksikan sesudah dia membuka kimono Pak Walikota.  Tubuh tegap itu penuh bekas luka dan pertumbuhan kulit yang tak teratur, yang sebagian besar ada di sisi kanan tempat dulu ledakan menyambarnya.  Kulit tubuhnya berbercak tak teratur, putih, coklat gelap.  Puting kanannya sudah tak ada, mungkin rusak dan diangkat.  Di sana-sini terlihat benjolan parut bekas luka.  Sungguh mengerikan dan siapapun yang melihatnya bakal membayangkan kejadian macam apa yang bisa merusak tubuh orang sampai jadi seperti itu.
“Kamu… takut?” Pak Walikota menghela nafas, suaranya terdengar pasrah.  “Jijik?”
Tia tidak menjawab, malah dia mengelus salah satu benjolan bekas luka.  “Sakitkah… Pak?” tanya-nya dengan nada lembut.
“Nggak… Aku udah biasa…” kata Pak Walikota.  “Tapi… Tolong jawab pertanyaanku, Tia.”
Tubuh yang rusak itu terus-menerus membuat kehidupan Pak Walikota tak sempurna.  Pertama, sejak tubuhnya jadi penuh bekas luka mengerikan, istrinya tak lagi mau tidur dengannya.  Hubungan suami-istri mereka jadi mendingin dan sebatas hubungan formal, mereka tetap tampil sebagai suami-istri di depan umum namun inti hubungan itu telah hilang dengan enggannya sang istri bersetubuh dengan suaminya.  Pada akhirnya sang istri tak dapat menerima kenyataan bahwa tubuh suaminya telah rusak, dan hilanglah keintiman di antara mereka, yang tersisa hanyalah status suami-istri yang kosong.  Kehilangan kasih sayang, perwira muda dengan tubuh rusak itu berusaha keras membangun karier dan reputasinya sehingga pangkatnya naik dengan cepat dan jabatannya makin tinggi hingga akhirnya dia berhasil meraih kedudukan Walikota.

Semakin dia kaya dan berkuasa, mulailah dia berusaha mencari lagi kenikmatan yang tak didapatnya dari istrinya.  Tidak susah baginya mendapatkan perempuan.  Tapi… kekecewaan yang didapatnya.  Dia bisa membayar perempuan mana saja, tapi dia tak bisa menghilangkan rasa jijik mereka ketika melayaninya.  Dan dia tak suka ketika itu terjadi. Itulah alasannya dia mengadakan acara tadi.  Pak Walikota tahu, selain uang suap, para pengusaha yang mengincar proyek pemerintah bakal menyodorkan perempuan juga.  Dia tidak mau menikmati suguhan mereka begitu saja.  Baginya sebagai pejabat tinggi, mendapatkan perempuan cantik sekelas Gaby dan Shenny itu mudah.  Tapi itu tidak membuatnya senang.  Untuk apa membawa perempuan cantik ke ranjang lalu ketika disetubuhi dia memalingkan muka, memejamkan mata, atau pasang tampang tak suka?  Makanya dia menyiapkan sekelompok orang jelek untuk menguji perempuan-perempuan yang disodorkan kepadanya.  Dia ingin tahu apakah Gaby, Shenny, dan Tia sama saja dengan yang lain. Dan Pak Walikota juga telah terobsesi dengan Tia, sebagaimana sudah diceritakan. Karena itulah dia lega Tia lulus dari ujian harus melayani orang-orang jelek tadi. Dan sekarang dia sedang meminta kepastian lagi dari Tia.
“Apa kamu jijik sama badanku, Tia…?”
Tia tersenyum dan mengelus dada Pak Walikota.
“Enggak, Pak…” jawab Tia.
Pak Walikota tidak tahu, tapi pikiran Tia yang telah dibentuk oleh Mang Enjup dan Dr. Loren membuat Tia tidak jijik dan ngeri terhadap apapun.
“Rata-rata perempuan jijik sama badanku…” Pak Walikota curhat.
“Bapak tenang aja…” hibur Tia.
Kata-kata itu Tia sambung dengan ciuman hangat ke bibir Pak Walikota.  Di tengah pergumulan bibir, Tia meraih tangan Pak Walikota dan menyentuhkan tangan itu ke payudaranya.  Tangan Tia yang satunya lagi mengelus paha Pak Walikota, ke arah pangkal menuju selangkangannya yang masih bercelana dalam.  Tangan itu mengusap-usap kejantanan yang menegang di balik sana.  Pak Walikota serasa berada di surga, dan seorang bidadari cantik telah ditugaskan untuk melayaninya… Tia mengeluarkan batang yang tegak itu dari bungkusnya, dan terus mengelus-elusnya.  Sekalian dia melepaskan celana dalam Pak Walikota hingga mereka pun bugil berdua. Untungnya kemaluan Pak Walikota luput dari musibah yang menimpa tubuhnya dulu, tidak ada bekas luka apapun… Barang yang tegak kencang itu cukup besar, berwarna gelap.

Tia menghentikan ciumannya.  Dia berubah posisi badan dari berdiri ke berjongkok di depan Pak Walikota yang duduk.  Muka Tia mendekat ke selangkangan Pak Walikota. Tia mencekal pangkal batang kejantanan Pak Walikota, dan menggoyang-goyangkannya.  Dengan penuh rasa sayang Tia lalu mengusap-usapkan ereksi hangat itu ke pipinya.  Pak Walikota mengerang nikmat.  Tia bahkan menampar-namparkan batang Pak Walikota ke pipi dan bibirnya.
“Ahhh… Paak… Gede yaa…” kata Tia menggoda.
Tia menjulurkan lidahnya selagi menampar-namparkan penis itu ke bibirnya sehingga beberapa kali lidahnya menyentuh batang itu.  Matanya merem melek, melirik seksi ke arah Pak Walikota, seolah sedang membayangkan bagaimana rasanya menikmati kelelakian Pak Walikota. Kemudian Tia berlutut di depan Pak Walikota, menaikkan tubuhnya sehingga kedua payudaranya mendekat ke penis tegak Pak Walikota. Kemudian dia sorongkan kedua payudaranya mendesak ereksi Pak Walikota.  Ujung penis mencuat di atas belahan dadanya, dan disambut bibir lembut Tia.  Dengan penuh semangat Tia menjulurkan lidahnya, berputar-putar mengusap kepala penis itu, sebagaimana dia tahu disukai banyak laki-laki.  Kemudian penis panjang itu terbenam di himpitan dua gunung kembar yang digerakkan ke atas oleh pemiliknya.  Tubuh Pak Walikota mulai bergoyang, menyetubuhi buah dada Tia.  Nafasnya makin cepat dan kasar; tidak akan lama lagi…
“Ayo keluarin Pak,” dan Tia mencucup kepala penis itu lagi.  “Mau keluarin di mulutku apa dadaku…?” selagi kejantanannya merasakan jepitan dada Tia.  Pak Walikota cuma bisa pasrah menghadapi godaan Tia.  Tak tahan lagi…
“Ungh… !!??”
Ejakulasinya ditahan! Ketika mau menyembur, tiba-tiba Tia memencet dan meremas kepala burung Pak Walikota.  Meski kemaluannya berdenyut hendak menyembur, semburannya tertahan karena jalan keluarnya ditutup.  Pak Walikota mengerang frustrasi.
“Jangan dulu ya…” kata Tia dengan nada nakal.
Kemudian dia meminta Pak Walikota berdiri dengan punggung menempel di dinding.  Serbuan sensual berikutnya pun dilancarkan.  Tia berdiri membelakangi Pak Walikota, merapat, lalu membungkuk sambil menonjolkan pantatnya ke belakang.  Belahan pantatnya menyentuh kelelakian Pak Walikota.  Sepasang daging pantat yang mulus empuk itu mengelus bawah perut Pak Walikota.  Naik turun menyusuri panjang batang.  Kadang bergeol ke kanan dan kiri.  Kadang mundur mendesak.  Sementara yang empunya pantat meremas-remas sendiri kedua sisi luar pantatnya sambil mendesah-desah bergairah.

“Aahnn… Enak nggak Pak?  Enak nggak geolan pantat Tia?” Tia mencumbu dengan kata-kata saru, cukup mengejutkan Pak Walikota yang tak mengira kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut perempuan baik-baik.
Tia kemudian meraih ke belakang dan mengubah posisi kejantanan Pak Walikota.  Yang tadinya tegak dan di atas pantat kini dipindah mengacung ke depan bawah dan dijepit di antara kedua paha dan kewanitaan Tia.  Pak Walikota menahan nafas.
“Pak… Gerakin maju mundur ya?” pinta Tia.
Sesuai permintaan, Pak Walikota mulai bergerak, kemaluannya tercengkeram “paramek” (paha rasa memek), ujung burungnya mencuat-cuat di depan bawah perut Tia.  Laki-laki paro baya itu menggumam senang.  Rasanya seperti bermasturbasi, hanya dengan bantuan paha, bukan jari.  Kemudian Pak Walikota menyadari bahwa Tia menikmatinya juga, karena penisnya bergesekan dengan bibir vagina Tia, dan bibir itu terasa mulai basah dan licin.  Bahkan bisa terasa cengkeraman paha Tia makin becek, karena kemaluan Tia mengeluarkan cairan.  Tanpa malu-malu Tia mengerang nikmat, dan Pak Walikota mulai menambah kecepatan gerak. Tangan Pak Walikota yang tadinya nganggur bergerak ke atas, awalnya ragu mau menyentuh Tia atau tidak.  Lalu kemudian dia putuskan itu tidak apa-apa, dan dia meletakkan kedua tangannya di atas pantat Tia, dengan jari terentang yang kemudian mencengkeram kedua buah pantat Tia.  Dia menghela nafas, melihat bagaimana Tia menggeliat dan gemetar kesenangan selagi pahanya disetubuhi.  Apalagi tangan Tia juga ikut bermain, mengusap-usap bagian bawah penis Pak Walikota yang maju-mundur.
“Mmmmh, enak Paakh,” erang Tia lembut.
“Ah. Mau keluar…” kata Pak Walikota.  Mendengar itu, Tia malah makin gencar memasturbasi Pak Walikota, dan air mani Pak Walikota pun tiba-tiba menyemprot.
“Ah, aahhh…!” Pak Walikota menyodokkan pinggulnya ke depan, menuju jepitan paha Tia.  Semprotannya mendarat di tangan Tia yang memang sengaja menghadang di depan lubang.  Tia menjepit-jepitkan pahanya memompa semburan demi semburan yang kemudian dia tadah dengan tangan.  Perempuan muda itu tampak menggeliat lembut selagi Pak Walikota mendapatkan orgasme.
“Ih kental…” komentar Tia selagi setetes mani merambat jatuh dari tangannya.  Dia berbalik lalu menjilati cairan kental yang ditampung di tangannya itu sampai bersih.  Lalu dia tersenyum dan menjilat bibir seolah-olah habis mencicip sesuatu yang amat nikmat.  Tapi Tia belum puas.  Dia kembali menggarap kejantanan Pak Walikota, agar batang itu kembali tegak dan siap beraksi.

*****
LANTAI 4

“jemput tia. gausah pikirin kakak, kakak bs pulang sendiri”
Citra sempat mengirim SMS itu sebelum dia membuka pintu kamar kosong yang sudah disediakan untuknya.  Beda dengan kamar-kamar suite di lantai lima, kamar-kamar di lantai empat lebih kecil dan sederhana, karena sebagian besar penggunanya hanya berada 3 jam di sana.  Sesudah memilih perempuan di bawah, para hidung belang yang ingin memuaskan nafsunya biasa menuju ke kamar-kamar ini yang tersedia lumayan banyak di Hotel V.  Selain perlengkapan kamar hotel biasa seperti tempat tidur, lemari, dan TV, di kamar-kamar itu terdapat cermin di dinding dan langit-langit.  Kamar mandinya bukan berupa kamar sendiri, melainkan kotak 1x2 meter berdinding bening dengan shower. Dia langsung mengajak duduk si pengawal di tempat tidur dan menanyakan nama.
“Afri,” kata si pengawal malu-malu.
Citra mengaku bernama “Fenti” kepada Afri, lalu bergeser duduk merapat ke Afri.  Dilihatnya Afri tegang dan tidak santai—karena merasa meninggalkan tugas, jadi Citra merayu-rayu si pengawal agar makin terlena. Kata-kata manis tidak perlu banyak.  Citra menyambung dengan kecupan ke pipi.
“Kok diem aja… Kamu suka aku nggak?” tanya Citra dengan nada manja.
“Eh, iya, suka Fen…”
Mulai terlihat bahwa Afri sedang mempelajari kecantikan Citra.  Dalam kamar yang temaram itu, wajah Citra tampak bercahaya.  Tak salah tadi dia repot-repot bedakan dulu di mobil Bram.  Bra-nya membuat dadanya kelihatan lebih membusung, dan Afri juga terlihat melirik ke sana.  Dasar laki-laki, Citra membatin.  Walaupun diam saja tapi sebenarnya melirik juga, dan pasti ketahuan kalau sedang lihat-lihat.
“Cium dong,” tantang Citra.
Sepasang bibir merah yang manis menyediakan diri di depan Afri.  Pengawal itu ragu, masih tak percaya ada perempuan menyodorkan diri seperti itu kepadanya.  Ditambah lagi Citra menggenggam tangannya, lalu lanjut mengelus lengannya.  Afri merinding merasakan halusnya tangan Citra.  Citra lalu menarik tangan Afri ke balik roknya, agar si pengawal bisa mengelus pahanya.  Dan selagi membimbing tangan Afri ke arah pangkal paha, Citra mencondongkan badan ke depan dan mencium bibir Afri. Afri masih bujangan, dan sedang tak punya pacar.  French kiss dari Citra mengejutkannya.  Ketika lidah Citra membuka bibirnya dan bergulat dengan lidahnya, si pengawal menahan nafas.  Selesai menjelajahi rongga mulut Afri, Citra melepas ciumannya dan ganti menjilati leher Afri.  Lalu balik lagi ke mulut, satu lagi french kiss dan mengulum lidah Afri.  Citra merasakan nafas si pengawal jadi memburu, lalu menjulurkan tangannya ke bagian selangkangan celana Afri.  Tangan satunya lagi dengan gemas meremas kepala Afri yang berambut cepak.  Tahu-tahu saja posisi Citra sudah menunggangi selangkangan Afri, kepalanya berada sedikit di atas kepala si pengawal.  Citra merasakan kedua tangan Afri menjamah pantatnya.  Bagus. Si pengawal mulai berani.  Dan itu wajar.  Seharian dia bertugas mengawal tiga perempuan cantik, lalu tadi di dalam dia sempat menonton pesta seks ketiganya melawan kumpulan orang jelek.  Anunya protes minta ikutan, tapi dia tak berani ikut kalau tidak diperintahkan bosnya, Pak Walikota.  Bahkan tadi dia sempat mencegah Shenny kabur.  Karena tidak tahan, dia pindah berjaga di luar.  Tapi di luar dia malah bertemu perempuan ini, “Fenti”…

“Aku buka ya?” kata Citra.
Tanpa menunggu jawaban Afri, Citra membuka satu demi satu kancing kemeja safari yang dipakai si pengawal, lalu langsung melepas kemeja itu.  Dilihatnya tubuh Afri yang gempal seperti petinju.  Citra tersenyum; pemuda bertubuh gempal itu ternyata sifatnya malu-malu.  Lalu Citra kembali mencium bibir Afri sambil mengelus-elus bahu dan wajah Afri.  Citra membantu Afri melepas kaos dalam lalu dia teruskan menggodai pemuda itu dengan menjilati putingnya.  Sekalian, Citra membuka resleting celana Afri dan membebaskan kejantanan Afri dari dalam bungkusnya.
“Udah keras nih,” kata Citra sambil mengocok-ngocok batang kejantanan Afri.
Bentuknya pendek tapi berdiameter lumayan.  Citra melepas Afri dan merebahkan diri di tempat tidur.  Dia melipat lututnya dan menjangkau ke bawah, langsung mencopot rok dan celana dalam.  Dipanggilnya Afri supaya mendekat.  Si pengawal sudah melepas semua bajunya juga dan sekarang berlutut di hadapan Citra, penisnya yang tegang menunjuk ke arah kewanitaan Citra yang sudah menunggu.  Citra meraih tasnya dan merogoh ke dalam, lalu mengeluarkan sebungkus kondom.
“Pakai dulu ya?” kata Citra.
Dengan cekatan Citra merobek bungkus kondom dan memasangkannya ke penis Afri.  Lalu dia menggeser bagian bawah tubuhnya, meraih batang yang sudah diberi pengaman itu, dan memasukkannya ke dalam kewanitaannya.  “Ayo goyang,” perintah Citra.  “Entot aku Fri…”
Afri memang bujangan, tapi dia sudah tidak perjaka, gara-gara pernah diajak jajan oleh teman-temannya ke lokalisasi beberapa kali.  Jadi dia sudah tahu apa yang harus dilakukan.  Dia langsung bergerak maju-mundur menikmati gratisan dari “Fenti”.
“Ah… ah… ahah enakh!” Citra ber-acting sebagaimana layaknya seorang pelacur pemuas nafsu, kedua lengannya meraih ke atas dan kedua tangannya mencengkeram bantal, kepalanya menengadah dan berpaling, bibirnya mengerang-erang keenakan.  “Ah… hah… ah jangan… ah enak…!!”  Meskipun tak begitu terangsang, vagina Citra menjepit penis Afri.
“Ayohh… Lagii… lagi… terus…” Citra menjerit-jerit seolah bernafsu, sambil tangannya meremasi buah dadanya yang masih terbungkus baju.  Pinggulnya bergerak mendesakkan seluruh bagian kejantanan Afri ke dalam vagina.  Afri juga mulai berani, tangannya mulai menjamah bagian-bagian lain tubuh Citra. Apalagi Citra sengaja “berisik” demi memancing nafsu Afri agar makin bergejolak.  “Enak banget… terus sayang… aku suka sayang…” dengan kata-kata seperti itu, Citra memacu ego kelelakian Afri.  Sebagai wanita penggoda berpengalaman, Citra tahu bagaimana membuat laki-laki lawan mainnya merasa “perkasa”. Citra lalu berganti posisi, dia menyuruh Afri rebahan sementara dia bergerak mengangkangi selangkangan Afri sambil menghadap wajah Afri, posisi woman on top. Dia menggenggam penis Afri yang masih tegak dan mengarahkan lagi ke rekahan kewanitaannya.  Sambil tersenyum seksi Citra mulai menunggangi bawah perut Afri.  Sekalian dia membuka kaos ketatnya.  Afri langsung menyambut, kedua tangannya menjamah kedua payudara Citra bersamaan, menekan-nekan puting Citra.  Citra tampak kegelian dan kedua lengannya bergerak seolah mengusir tangan Afri.

“Ah… janganh… geli… pentilku gelii… Nanti aku cepet keluarh…”
Citra akhirnya menjauhkan tangan-tangan Afri dari payudaranya.  Dia kegelian betulan, dan terangsang, ada titik sensitif di payudaranya.  Sekalian dia mengubah posisi kaki, dari tadinya berlutut seperti menunggangi sekarang menjadi berjongkok mengangkang untuk mengubah posisi tusukan di kemaluannya.  Kedua tangan Afri digenggamnya dan dia mengubah gerakan jadi naik-turun.  Tapi akhirnya Citra melepas tangan Afri dan keasyikan ajrut-ajrutan di atas Afri.  Bunyi “cpok-cpok-cpok” kulit bertemu kulit terdengar tiap kali pantat Citra menghantam perut Afri.  Bosan dengan posisi itu, Citra lalu berhenti dan memutar tubuh sehingga membelakangi Afri, posisi reverse cowgirl, tanpa mencabut tusukan kejantanan Afri.  Dia langsung beraksi, pantatnya mengulek selangkangan Afri, nafasnya terengah memburu.  Afri menikmati pemandangan punggung dan pantat mulus Citra menggelinjang di depannya. Citra berhenti lagi, lalu mengangkat pinggulnya sehingga kemaluan Afri keluar dari dalam tubuhnya.  Dia mengubah posisi dengan canggung karena masih mengenakan sepatu hak tinggi—dia tahu banyak laki-laki suka dia tetap memakai sepatu hak tinggi ketika bersetubuh—berbalik kemudian merayap ke arah wajah Afri.
“Aku mau dientot dari belakang… dogy… ayo,” pinta Citra.
Afri langsung bergerak, berposisi berlutut di belakang Citra yang menungging, dan tanpa banyak basa-basi menyetubuhi perempuan cantik yang baru dia kenal itu dari belakang.  Afri kembali melihat wajah mesum Citra yang pasang ekspresi keenakan, menoleh ke belakang seolah ingin melihat bagaimana penis Afri menggempur liang kenikmatan.  Tubuh Citra terguncang-guncang dihantam serangan demi serangan.  Jeritan-jeritannya pun makin seru.  Lama-lama posisi doggy style berubah karena Citra tergolek ke sisi kiri.  Paha kanan Citra menyelip di bawah selangkangan Afri sementara pergelangan kaki kirinya digenggam Afri.
“Hah… ah… ah mau keluar…!” seru Afri di tengah dengusan nafasnya.
Citra juga berpura-pura mau orgasme, melengking-lengking tak karuan seolah sampai ke puncak kenikmatan.  Lalu Citra merasa goyangan Afri berhenti dan Afri menancapkan dalam-dalam penisnya.  Mendengar suara erangan Afri, Citra tahu si pengawal itu sedang berejakulasi, maka dia pun menjerit pura-pura klimaks.  Pinggulnya dia gerakkan memutar, memeras batang yang berejakulasi di dalam vagina.Afri mundur mencabut barangnya.  Citra memutar tubuh, berbalik jadi menghadap Afri, lalu meraih ke kemaluan Afri untuk mencabut kondom yang penuh.
“Hmm~!  Pejunya banyak yaa…” kata Citra sambil nyengir, menggoyang-goyang kantong lateks berisi cairan putih yang barusan dilepasnya dari kejantanan Afri.  Dengan profesional dia mengikat ujung kondom sehingga isinya tak bisa keluar.  Dilihatnya Afri yang masih kelihatan fit.
Mungkin Bram masih perlu waktu, pikir Citra.
“Masih ada sisanya nggak?” tantang Citra sambil menjilat bibir.  Afri nyengir.

****
KORIDOR

Bram membaca SMS dari kakaknya barusan, yang memesankan supaya dia fokus ke Tia.  Dia menyimpan lagi HP-nya di dalam dompet di ikat pinggangnya.  Lalu Bram melihat ke langit-langit koridor. Pertama-tama Bram memastikan tidak ada kamera CCTV di langit-langit.  Artinya, apapun yang mau dia lakukan, tidak ada yang bakal merekamnya.  Kedua, dia mencari satu lagi benda di langit-langit.

Ketemu!

Di langit-langit, kira-kira setengah jalan dari pintu kamar suite ke pertigaan koridor, Bram melihat sprinkler, keran air darurat untuk pemadam kebakaran. Dia berusaha menjangkau sprinkler itu tapi letaknya cukup tinggi.  Bram lantas menyeret satu pot tanaman yang besar ke sana.  Setelah sekali lagi memastikan tidak ada orang berkeliaran di koridor, Bram berdiri di atas pot besar itu dan merogoh ke dalam kantong. Tadi di dalam lift dia mengambil korek api gas milik Citra.  Korek itu sekarang menjadi bagian rencananya. Bram menyalakan korek gas dan menggunakan apinya untuk memanaskan sprinkler.

*****
PENTHOUSE

Tangan lembut Tia mendatangkan kehidupan.  Kejantanan Pak Walikota tidak dibiarkan lemas begitu saja sesudah tadi ejakulasi.  Beberapa kali kocokan sudah cukup untuk membangunkannya lagi.  Tia merasakan hangat batang itu, terbakar panas gairah pemiliknya untuk mencicip kenikmatan terlarang. Pak Walikota berbaring telentang di tempat tidur.  Tia berjongkok mengangkang di atas selangkangannya.  Tia membukakan pintu kewanitaannya bagi penis Pak Walikota selagi dia merendahkan jongkoknya…
“HHAA… GHNN!!”
Tubuh cantik Tia tiba-tiba gemetar dan ambruk menindih dada Pak Walikota, tepat ketika kejantanan Pak Walikota terhunjam seluruhnya menembus vaginanya.  Pak Walikota bingung dan segera menggenggam Tia.
“Tia… Tia?  Ada apa?”
“Ahh… Pakk… T-Tia keluarr…” rintih Tia.  Pak Walikota tersenyum kecil.  Terbersit sedikit rasa bangga karena merasa bisa membuat Tia orgasme.  Padahal sebenarnya Tia memang sudah terangsang berat sejak tadi melayani orang-orang jelek di bawah, dan klimaksnya ibarat tinggal menunggu kena “satu sentilan” lagi.
“Nggak apa-apa… Bapak terusin ya? Entot Tia…” dengan wajah memerah sesudah terlanda orgasme, Tia mengatakan itu.
Tentu saja Pak Walikota tak menolak.  Dia akhirnya mendapat juga apa yang diidam-idamkannya, bersanggama dengan Tia.  Dengan lembut Pak Walikota mulai bergerak, makin lama makin kencang mengguncang Tia di atasnya.  Tia yang masih lemah pasca-orgasme pasrah, menerima dirinya dijadikan pelampiasan nafsu Pak Walikota.  Wajahnya bersandar di atas dada Pak Walikota yang penuh bekas luka, namun tak ada sedikitpun rasa jijik.  Itulah yang membuat Pak Walikota makin antusias.  Makin tinggi kedudukan seseorang dan makin terpenuhi kebutuhannya, biasanya impiannya makin tinggi dan sukar.  Dalam hal Pak Walikota, impiannya adalah kembali menikmati pelampiasan nafsu badani bersama perempuan yang mau menerimanya tanpa jijik karena tubuhnya yang rusak.  Lebih spesifik lagi, dengan Tia, perempuan muda yang sebenarnya bersuami namun telah menjadi obsesinya selama beberapa tahun.  Dan tiada yang mengalahkan puasnya merasakan impian yang kesampaian.
“Emh, mmmmh…” Tia menengadah dan mencium Pak Walikota.
Pak Walikota membalas ciuman itu dengan lembut, tangannya mengelus rambut Tia.  Iri.  Pak Walikota iri sekali dengan Bram.  Anak muda itu mendapat istri yang dari luar terlihat begitu cantik dan anggun, dan dalamnya ternyata binal dan seksi. Tia sendiri sedang tak ingat dengan Bram suaminya.  Dia sedang mematuhi pemrograman bejat yang terpasang.  Semua perubahan yang terjadi—makeover dari Citra, sugesti dari Mang Enjup dan Dr Loren—dia sudah tak tahu lagi apa alasannya.  Memang awalnya dia berubah demi memuaskan selera Bram.  Dan itu berhasil, Bram kelihatan lebih menyukai penampilan dan pembawaannya yang baru.  Tapi Tia belum juga menyadari bahwa ada pihak yang memanfaatkan kecenderungan barunya demi kepentingan sendiri.  Sugesti Mang Enjup membuatnya terobsesi memuaskan nafsu laki-laki.  Semua laki-laki, bukan hanya yang paling berhak yakni Bram.  Dan Dr Loren memperkuat sugesti itu dengan menghapus trauma-nya.  Tia yang seharusnya menjadi seorang istri setia dijerumuskan.  Mang Enjup melacurkannya kepada Pak Walikota.  Dan Tia tidak menolak itu.  Dia seorang istri, namun sudah menjadi tak ubahnya seorang pelacur juga…

*****
KAMAR SUITE LT. 5

Stamina orang-orang yang ada di sana seolah tidak ada habisnya.  Gaby sedang menyepong entah penis keberapa sambil berposisi menungging dan di belakangnya ada yang menyetubuhinya.  Rambut perempuan Latino itu sudah kusut, tubuhnya mandi keringat, dan kemaluannya mulai terasa panas.  Dia sudah pernah terlibat pesta seks, tapi jarang-jarang durasinya bisa selama itu.  Entahlah.  Apa mungkin karena yang terlibat ini orang-orang yang dalam keadaan normal sulit mendapat perempuan, sehingga mereka memanfaatkan kesempatan langka sebaik-baiknya?  Dari tadi dia menunggu kapan orang-orang itu puas semua.  Tapi mereka terus kembali dan kembali.  Bergantian, melahap dia dan melahap perempuan sipit itu.  Sementara Tia dan Pak Walikota sudah tidak di sana.
“Aa… ahhh…” terdengar rintih lemah Shenny yang dipaksa orgasme lagi.
Gaby kasihan mendengarnya.  Shenny sudah hampir pingsan tapi orang-orang itu tak ada yang peduli.  Ditambah lagi, karena tadi Shenny bersikap angkuh, mereka lebih gemas dan kasar menyetubuhinya.  Wajah putih Shenny belepotan sperma; tadi ada yang berejakulasi di sana.  Shenny sendiri sudah tidak bisa protes, apalagi melawan.  Dia tergolek seperti boneka yang ditinggal pemiliknya.  Itulah dia sekarang: boneka cantik yang tak berdaya, mainan laki-laki.  Ditelanjangi, digagahi, dihujani mani. Tidak adakah yang bisa menghentikannya?  Yang bisa menarik mereka keluar dari lingkaran keji itu?

*****
KORIDOR

Di sprinkler pemadam kebakaran, ada sumbat pemicu berupa tabung kaca yang menghalangi bukaan pipa air.  Tabung kaca itu dirancang agar pecah apabila mencapai suhu tertentu—yang menandakan di dekatnya ada api.  Api di ujung korek gas yang disodorkan Bram sudah hampir sepuluh menit membakar tabung kaca di sprinkler depan pintu kamar suite…
PYARR! BYUUUURRR…
Bram nyengir ketika tabung kaca itu pecah dan air keluar memancar membasahi koridor.  Sedetik kemudian terdengar—
KRIIIIIINGGGGGGG…
Seiring tersemburnya air dari pipa pemadam kebakaran, alarm berbunyi dan sprinkler-sprinkler lain di sekitarnya jadi aktif, ikut mengguyur interior hotel dengan air.  Bram turun dari pot tanaman yang dari tadi diinjaknya untuk mencapai sprinkler yang disundut dan bergerak ke arah pintu kamar suite menembus hujan buatan.  Di depan pintu itu dia merapat ke arah sisi berengsel, menunggu reaksi.

*****
KAMAR SUITE LT. 5

Dering alarm kebakaran membahana mengalahkan suara desah nafsu manusia.  Beberapa sprinkler di dalam kamar suite ikut aktif, menyemprotkan air ke seluruh ruangan.  Gaby menjerit ketika air dingin menerpa kulitnya.  Shenny memejamkan mata.  Kumpulan orang jelek kebingungan sejenak, kemudian salah seorang di antara mereka teriak “Kebakaran!?” dan semuanya jadi panik.  Beberapa yang paling panik langsung berlari menuju pintu tanpa peduli keadaan mereka.  Meskipun pintu kamar tak bisa dibuka kecuali dengan kunci kartu dari luar, di sisi dalam pintu bisa langsung dibuka dengan memutar gagang.  Orang yang paling dekat pintu membuka pintu dan langsung keluar. Bram di samping pintu melihat seorang laki-laki jelek basah kuyup dan telanjang muncul dari pintu.  Bram langsung berteriak-teriak “Ada kebakaran! Ayo cepat semuanya keluar!  Ke tangga darurat di ujung sana!”  Sambil berpura-pura menjadi pegawai hotel, Bram menahan pintu tetap terbuka sambil menggerak-gerakkan tangan menunjukkan arah.  Seisi ruangan terburu-buru keluar.  Sebagian masih sempat berpakaian, walaupun kadang mereka asal comot saja sehingga mengambil pakaian orang lain sehingga ada yang keluar dengan memegangi celana yang terlalu besar, ada yang cuma sempat pakai kaos, dan lainnya.  Gaby sempat menyambar kemeja orang dan memakainya, dan dia termasuk yang cepat keluar walaupun sekujur tubuhnya lelah.  Penghuni kamar-kamar lain juga terlihat keluar menyelamatkan diri.  Koridor jadi ramai dengan orang-orang yang panik, semua bergegas menuju pintu tangga darurat di ujung. Semuanya terjadi begitu cepat.  Dalam sekejap kamar suite yang tadinya penuh tubuh-tubuh manusia yang saling belit dalam nafsu itu kosong, penghuninya lari menyelamatkan diri dengan berbagai kadar ketelanjangan.  Tapi dari semua orang yang melewatinya di pintu, Bram tidak melihat Tia maupun Pak Walikota.  Bram melangkah masuk, menembus hujan gerimis sprinkler yang mulai melemah. Di dalam, Bram melihat ruangan besar yang berantakan dan basah kuyup.  Di tengah ruangan itu Bram mendapati seorang perempuan yang tersungkur dan berusaha berdiri; perempuan itu telanjang.  Shenny terlalu lemah untuk bisa buru-buru menyelamatkan diri.  Bram menghampirinya.
“Masih ada orang lain di dalam sini?” tanya Bram.
Shenny tidak menjawab, hanya menunjuk ke arah belakang.  Bram membantunya berdiri, mengambilkan sehelai baju (entah punya siapa karena baju Shenny sendiri sudah robek-robek) lalu menutupi tubuh Shenny dengan baju itu.  Bram lalu memapah Shenny ke pintu.
“Xiexie…” bisik Shenny, mengucap terima kasih dalam bahasa ibunya.
Tapi Bram hanya mengantar sampai ke pintu dan membukakan pintu.  “Tangga darurat di ujung sana.  Saya mau periksa ke dalam, siapa tahu masih ada orang,” pesannya kepada Shenny yang kemudian berjalan tertatih-tatih ke tangga darurat. Di bawah hujan dari pipa-pipa air pemadam kebakaran, air mata Shenny mengalir.

*****
KAMAR LT. 4

Ketika alarm berbunyi, Afri sedang memeluk erat tubuh Citra yang digumulinya. Sprinkler di sana tidak ikut aktif, tapi alarm kebakaran menyala juga di lantai 4.  Karuan, Afri kaget.
“Ada apa ini?” katanya sambil melepas pelukannya dan keluar dari tubuh Citra.
Citra agak dongkol, karena sedikit lagi dia klimaks.  Tapi dia sudah tahu rencana Bram, jadi dia tidak heran.  Tugasnya satu lagi…Afri berpakaian dengan buru-buru.  Citra juga.  Sebisanya Citra tidak mau sampai kalah gesit dari Afri.  Begitu Afri bergegas keluar, Citra tidak ketinggalan.  Di luar, orang-orang yang sedang ada di kamar lain—umumnya para PSK dari lounge bawah dan tamu—berkerumun dan semuanya bergerak menuju tangga darurat.  Dengan sendirinya Afri dan Citra juga terbawa arus manusia.  Afri berbicara dengan beberapa orang dan menyimpulkan bahwa barusan itu alarm kebakaran. Di tangga darurat, Afri menunjukkan gelagat seperti yang Citra sudah duga.  Dia mau melawan arus dan naik ke lantai 5.  Pasti karena dia mau memeriksa keadaan orang yang seharusnya dia kawal, Pak Walikota.  Citra langsung menarik lengannya.
“Mau ke mana, ini orang-orang pada ke bawah?” tanya Citra.
“Aku mesti balik ke, … bosku.  Dia di atas,” kata Afri.  Afri tak mau menyebut “Pak Walikota”.
“Dia pasti udah ke bawah juga, lihat tuh orang-orang dari atas juga pada turun, ayo kita turun dulu aja nanti baru dicari di bawah,” bujuk Citra.  Afri masih mau naik tapi dia terdorong-dorong oleh arus orang-orang yang turun, maka akhirnya dia pun mengikuti kata Citra.

*****
KAMAR SUITE LT. 5

Bram membuka tiap pintu dalam kamar suite itu sambil harap-harap cemas, bersiap menemukan Tia di balik pintu.  Entah dalam keadaan apa.  Orang-orang berbagai bentuk dan ukuran yang tadi melewatinya jelas habis melakukan sesuatu yang membuat mereka telanjang… Bram menebak-nebak apa yang barusan terjadi, dan dia sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan.
“Brak!”
Setiap pintu dibukanya dengan gebrakan, seolah mau mengagetkan siapapun di dalamnya.  Kamar tidur.  Kamar tidur.  Kamar mandi.  Semua kosong dan tak terlihat seperti bekas dipakai orang.  Di satu kamar dia menemukan tas baju dan barang-barang pribadi seseorang.  Pak Walikota.
Dia masih ada di sini.  Tapi di mana?
Dan Tia juga pastinya masih ada di dalam sana. Bram melihat telepon seluler mahal, mungkin milik Pak Walikota, yang kebasahan terguyur air dari sprinkler di kamar itu.  Dia meraba pinggangnya sendiri.  Dompet HP-nya tertutup rapat sehingga biarpun dia sendiri basah kuyup kena semburan sprinkler, ponselnya aman. Tapi dia belum juga menemukan Tia.  Satu pintu lagi. Di balik pintu terakhir yang Bram buka, ada tangga ke atas. Berdebar-debar, Bram menaiki tangga itu.  Di sana tidak ada sprinkler sehingga tangganya kering.  Di ujung tangga ada pintu…Ketika menggenggam gagang pintu di ujung atas tangga, Bram menenangkan diri dulu.  Kalau di semua ruangan di bawah tidak ada Tia, maka Tia ada di sini…Dan waktu Bram merapatkan tubuhnya ke pintu itu, samar-samar dia mendengar…
“…ooh… ahh… aah…”
Tapi Bram tak terburu nafsu.  Dia masih sempat memikirkan sesuatu.  Tangannya kembali bergerak mengambil satu barang bawaannya…

*****
PENTHOUSE

“AAHH!!  AHH!  PAAKK!! TERUS PAK!”
Pak Walikota makin bernafsu melihat Tia yang sampai menjerit-jerit keenakan.  “Pelacur”-nya itu ternyata berisik di ranjang, tepat seperti yang dia sukai.  Dia berposisi tegak berlutut di ranjang sementara Tia rebah telentang.  Kedua kaki Tia memeluk pinggang Pak Walikota, seolah mau mendesakkan kejantanan Pak Walikota makin dalam.  Kedua tangan Tia mencengkeram seprai, tak kuasa menahan derasnya aliran kenikmatan.  Pak Walikota menyukai bagaimana kedua payudara Tia bergoyang-goyang ikut irama gerak tubuhnya, dan ekspresi wajah Tia yang dimabuk birahi.  Mereka berdua tidak tahu apa yang terjadi di lantai-lantai lain hotel, karena—sungguh ini hanya kebetulan—koneksi alarm kebakaran ke penthouse memang sedang rusak, dan dua teknisi yang hari itu memeriksa alarm tidak memeriksa ke sana.  Maka yang mengagetkan mereka bukanlah bunyi.  Melainkan…dua kilatan cahaya mengagetkan Pak Walikota.  Dia langsung menoleh ke arah cahaya itu dan sekali lagi terjadi kilatan cahaya.Di pintu penthouse, Pak Walikota melihat seorang laki-laki muda yang membidikkan ponsel berkamera ke arahnya.  Kilatan-kilatan cahaya tadi berasal dari lampu kilat kamera. Pak Walikota kaget setengah mati.  Lalu dia menyadari apa yang barusan terjadi.

Anak muda itu mengabadikan dirinya dalam posisi memalukan!

Maka reaksi pertamanya adalah murka.
“Apa-apaan ini?  Siapa kamu?  Sini.  Ke sinikan HP-nya!”
Pak Walikota yang kalap langsung mencabut “senjata”-nya dari dalam vagina Tia.  Bram melihat Pak Walikota berjalan dengan marah ke arahnya, tubuh besarnya tegap, telanjang, dan penuh bekas luka.  Dengan nekad Bram sekali lagi memotret, tepat di depan muka Pak Walikota.  Lampu kilat memaksa Pak Walikota memejamkan mata.
“Ah!  Sial!”  Pak Walikota sekejap tak bisa melihat karena pandangannya disergap cahaya terang, dan sejenak matanya berkunang-kunang.  Bram memanfaatkan kesempatan yang cuma sedetik itu untuk menghindar dari depan Pak Walikota dan melesat menuju Tia yang tergeletak di ranjang.  Mengetahui orang yang memotretnya menghindar, Pak Walikota berbalik dan kembali memburu ke arah Bram. Bram sempat menggenggam lengan Tia, tapi tidak sempat berbicara sebelum Pak Walikota menerkamnya.  Pak Walikota memiting leher Bram di ranjang.  Tapi Pak Walikota lupa tubuhnya sangat tak terlindung dan…DUGG! Entah refleks atau sengaja, Bram mengayunkan kakinya dan menendang selangkangan Pak Walikota keras-keras.  Pak Walikota melolong kesakitan dan cengkeramannya terlepas.  Bram langsung mendorong Pak Walikota sampai terjengkang di lantai, lalu menarik lengan Tia.

“Auhh… Bajingan!  Siapa kamu?  Wartawan?  Kamu berani macam-macam…” Pak Walikota mengancam, tapi ancamannya itu terdengar menggelikan karena dikeluarkan dalam posisi bergelung memegangi selangkangan di lantai.
Bram berdiri di depan Pak Walikota yang meringkuk di lantai, tangan kiri membidikkan lensa kamera telepon ke arah Pak Walikota, tangan kanan merangkul Tia.  Tia terlihat kaget sampai tak bisa berkata-kata.
“Saya suaminya, Pak,” kata Bram.  Dia baru menyadari betapa menjijikkan pejabat tinggi di hadapannya.  Bukan karena tubuhnya yang rusak, tapi karena orang ini, entah bagaimana caranya, telah mencabuli istrinya.
“Sini.  Sinikan HP kamu!!” Pak Walikota berusaha bangun sambil menahan nyeri, lengannya terjulur mau merebut telepon Bram.  Tapi Bram mengancam balik.
“Bapak maju lagi, foto-foto ini langsung saya sebar ke internet,” kata Bram.  Bram memencet beberapa tombol lalu membalik handphone sehingga Pak Walikota bisa melihat foto yang tadi Bram ambil, jelas menunjukkan wajahnya ketika sedang menyetubuhi Tia.  Di pojok foto itu terlihat tulisan “Upload?” dan Bram siap menekan tombol di bawahnya.
Baik Pak Walikota maupun Bram sama-sama merasa panas dingin.  Pak Walikota merasa seperti ditodong, aib bagi dirinya akan tersiar dalam beberapa detik kalau sampai foto-foto itu di-upload.  Bram sendiri gemetaran, sebagian karena dingin akibat bajunya basah, tapi lebih banyak karena dia sedang menggertak seorang pejabat dan dia sendiri tidak yakin ancamannya bakal mempan. Tapi Bram merasakan hangat tubuh Tia yang merapat ke tubuhnya dan dia menjadi tambah berani.
“Saya cuma mau jemput istri saya, Pak,” kata Bram tenang.  “Kita anggap saja kejadian ini tidak pernah ada.  Saya tahu Bapak orang terhormat… dan saya sendiri mau Bapak tetap terhormat.  Jadi saya minta Bapak biarkan kami pergi.”
Pak Walikota tak bisa berkata apa-apa.  Dia sendiri masih bingung kenapa Bram bisa masuk ke penthouse.  Dalam keadaan panik akalnya tak jalan.  Dia bukannya orang yang tak bisa mengancam.  Tapi dia tadi kaget ketika Bram tidak gentar dengan ancamannya dan malah balik mengancam.  Dan dalam hati kecilnya dia menyadari sendiri bahwa yang dilakukannya memang tak bisa dipertanggungjawabkan.  Dia akan sukar membela diri kalau sampai tersebar ada fotonya beradegan intim dengan seorang perempuan yang bukan istrinya—istri orang lain, malah.  Tapi dia tak bisa menekan laki-laki itu karena, akibat kemajuan zaman, dalam sekejap seluruh dunia bisa langsung melihat segala yang disembunyikannya. Jadi dia hanya bisa bengong menonton ketika Bram berjalan pelan-pelan membawa Tia menuju pintu. Bram membuka pintu.  Sebelum keluar dari kamar itu membawa Tia, dia melontarkan peringatan sekali lagi.
“Saya nggak akan sebar foto-foto ini selama Bapak tidak ganggu kami… Mohon Bapak ingat hubungan baik Bapak dengan keluarga kami.  Itu buat kebaikan kita semua.”
Bram dan Tia kemudian keluar dari penthouse. Pak Walikota merasakan kepalanya berat.  Dan selangkangannya sakit.  Dia ambruk lagi, meringkuk, seperti tidak ada tenaga untuk bangun.  Dia mulai berteriak-teriak.  “Afri!  Afriii!” Dia memanggil pengawalnya.  Sia-sia, orang yang dipanggil sedang ada di bawah bersama para tamu dan karyawan yang menyelamatkan diri dari “kebakaran”, dan malah mencari-cari Pak Walikota di bawah.

*****

“Mas…” seru Tia lirih kepada Bram ketika mereka berdua kembali di kamar suite lantai 4.
Bram menoleh dan melihat wajah cantik istrinya yang tampak kelelahan.  Dia membuka kamar mandi; di sana tadi dia melihat ada beberapa kimono handuk, jadi diambilnya satu dan dipakaikannya kimono handuk itu kepada Tia.
“Ayo kita pulang, Sayang,” kata Bram lembut.
Semburan air dari sprinkler yang aktif mulai lemah.  Tanpa banyak kata, dengan genggaman tangan amat erat, keduanya melangkah keluar dari kamar suite.  Koridor yang basah.  Tangga darurat, lantai demi lantai.  Pada tiap langkah, Bram tak melepas rangkulannya atas Tia. Sampai di bawah, Bram tak mencari Citra.  Kakaknya bisa mengurus dirinya sendiri.  Suasana ramai oleh orang-orang yang kebingungan mengira ada kebakaran; tanpa menarik perhatian siapapun, Bram langsung menuju mobilnya di tempat parkir.  Ketika dia duduk di belakang kemudi dan Tia duduk di sampingnya, dia merasa sedikit lega.  Secepat mungkin Bram meninggalkan hotel itu, menuju rumah.  Sepanjang perjalanan Bram dan Tia sama-sama membisu. Tak lama kemudian mereka sampai di rumah.  Bram memasukkan mobil ke garasi lalu membantu Tia keluar. Lalu Bram merasakan sesuatu dalam dadanya yang membuat dia tidak ingin membiarkan Tia berjalan sendiri dari mobil ke dalam rumah.  Tiba-tiba digendongnya istrinya itu, seolah mereka pengantin baru, dengan dua tangan di depan tubuh.  Dengan agak repot Bram membuka pintu sambil menggendong Tia, lalu dia langsung memboyong Tia ke kamar tidur mereka.  Di sana dia membaringkan Tia dengan lembut di tempat tidur.
Dilihatnya mata Tia berkaca-kaca.  “Mas… Aku… aku…” Tia tak sempat melanjutkan apapun yang mau dikatakannya, karena Bram keburu memeluk dan menciumnya.
Dalam kepala Bram sendiri terngiang potongan-potongan kata-kata yang didengar dan diucapkannya, sekitar setahun lalu…

“Saya nikahkan ananda… Bramanda Arditya… dengan anak saya yang bernama Setiawati Rasni… “
“Saya terima nikahnya Tia… maaf, Setiawati Rasni…”

Bram masih ingat bagaimana hadirin dan penghulu waktu itu tertawa ketika dia salah menyebut nama panggilan Tia dan bukan nama lengkapnya ketika mengucap ijab kabul.  Suasana bahagia namun tegang jadi cair, tapi janji kesepakatan nikah itu dia ucapkan sungguh-sungguh, dan dia menerima Tia dalam hidupnya dengan segala tanggung jawab yang menyertai. Termasuk, tentunya, menjaga istrinya. Bram sendiri baru menyadari betapa nekad tindakannya tadi.  Mulai dari membuat kehebohan dengan menyabot sistem pemadam kebakaran hotel, sampai berkonfrontasi langsung dengan seorang pejabat tinggi.  Mengancam walikota!  Kalau untuk alasan lain, Bram mungkin akan pikir-pikir melakukan semua itu.  Tapi kalau demi Tia…
“Maafkan aku…” bisik Bram ke telinga Tia.  “Mulai sekarang aku nggak akan lepaskan kamu lagi…”

*****

-

-

-

I just want you close
Where you can stay forever
You can be sure
That it will only get better

Rasanya seolah malam pertama lagi bagi Bram.  Biarpun dia hanya meninggalkan Tia beberapa hari, namun pertemuannya kembali dengan istrinya harus didahului perjuangan.  Namun dia sadar, demi Tia dia mau menahan diri dan menempuh semua bahaya.

You and me together
Through the days and nights
I don't worry 'cause
Everything's going to be alright
People keep talking they can say what they like
But all i know is everything's going to be alright

Setelah tenang, Tia menceritakan segalanya.  Mulai dari keputusannya mengubah penampilan atas saran Citra.  Lalu semua yang dia sadari telah dia alami.  Segala kejadian aneh, segala perbuatan yang seharusnya tak dia lakukan, peristiwa-peristiwa yang Bram belum tahu.  Bram sendiri, berdasarkan cerita Citra, tahu hal-hal lain yang Tia sendiri tak tahu, tapi dia biarkan istrinya menumpahkan semuanya.  Termasuk bagaimana Mang Enjup melibatkannya untuk melobi Pak Walikota, yang menyebabkan dia jadi ada di hotel.

When the rain is pouring down
And my heart is hurting
You will always be around
This I know for certain

Tia menyelesaikan ceritanya dan diam menunggu reaksi Bram.  Marah?  Kecewa?  Tidak, bukan itu.  Bram memeluknya erat, menciumnya, dan malah meminta maaf.  Bram tahu, akar perubahan Tia ada di dirinya sendiri, keinginan dan kesukaannya.  Dia senang dengan perubahan penampilan dan sikap istrinya, tapi dia tak tahu bahwa perubahan itu kebablasan dan telah menjerumuskan Tia.

You and me together
Through the days and nights
I don't worry 'cause
Everything's going to be alright
People keep talking they can say what they like
But all i know is everything's going to be alright

Kata-kata sudah cukup, dan digantikan oleh sentuhan.  Karena mereka sepasang kekasih, dan yang mereka butuhkan bukan kata-kata.  Mereka butuh bersatu kembali, dan itulah persatuan jiwa-raga dua manusia yang sebenarnya…

I know some people search the world
To find something like what we have
I know people will try, try to divide, something so real
So till the end of time I'm telling you there ain't no one

Maka ketika mereka kembali bersatu, satu-tubuh, Bram di dalam Tia, semua terasa lancar dan wajar kembali.  Bram tidak menginginkan apa-apa lagi selain istri yang dicumbunya.  Tia merasa nyaman memasrahkan diri kepada suaminya.  Dan semua rindu, sesal, gairah, serta cinta disempurnakan dengan sampainya mereka berdua bersamaan ke puncak kenikmatan.  Sepenggal surga yang dititipkan di dalam tubuh manusia.

No one, no one
Can get in the way of what I'm feeling
No one, no one, no one
Can get in the way of what I feel for you
--“No One”, Alicia Keys

-

-

-

*****

-

-

-
SATU SETENGAH TAHUN KEMUDIAN

Aku berusaha keras menahan supaya tidak buru-buru mencapai klimaks.  Sedikit lagi, ingin kubiarkan dia mendapat kenikmatan duluan.  Kalau tidak, dia bakal kesal dan merecokiku terus untuk cepat-cepat mampir lagi.
“AHH!!  IYA TERUSS!!  KONTOL KAMU… AHG!  MENTOK!  PANJANG BANGET!  NGHAHH!!  KAMU APAIN AKUUU…”
Kuperhatikan wajah Citra di bawahku yang terguncang-guncang selagi kugenjot dia kencang-kencang.  Lipstik merah menornya sudah terhapus ciuman demi ciuman kami, lapisan bedak tebal di mukanya pudar kena keringat.  Namun rias matanya masih utuh dan seksi.  Dia berteriak-teriak keras sekali sehingga aku yakin siapapun yang ada di bangunan ini bisa mendengarnya.  Kata-katanya, aku tak percaya sepenuhnya, karena aku tahu dia perempuan penggoda berpengalaman yang pasti lihai memikat dengan ucapan.
“HNNNGGGGHHH!!!!” Tiba-tiba Citra mengejang, memelukku erat dan mencium bibirku, saking kerasnya sampai kukira dia bukan mencium tapi menggigit.  Selangkanganku terasa basah.  Ah, dia sudah keluar…
Sesudah puas, Citra melepasku, wajahnya ambruk kembali ke bantal.  Kucium keningnya yang basah oleh keringat, tepat di antara kedua alisnya yang dilukis.
“Ahh… Sayang… maaf aku keluar duluan… Sekarang giliran kamu ya?” Seperti biasa, dia selalu minta maaf kalau dia dapat orgasme duluan.  Tapi kami sama-sama lebih suka seperti itu, karena kalau aku yang duluan, malah repot membuat dia ikut klimaks.  Dia langsung menjalankan prosedur standarnya.  Dia mulai mendesah-desah lagi, berlebihan, sambil membisikkan kata-kata kotor sementara liangnya yang becek kusumbat dengan batangku…
“Ah… oh… fuck me baby… Entot aku… Entot Citra… Aku pengen peju kamu… Semburin peju kamu di dalam memek aku… Ahhn…”
Dan biasanya kalau dia sudah keluar, kulepas juga kontrol atas kontolku, kubiarkan orgasme yang kutahan berjalan dengan sendirinya.
“Ahh… ah Cit… aku… NGHH!!”
Kurasakan kemaluanku menegang dan meledak di hangat jepitan vagina Citra, entah kenapa terasa lebih hangat, dan kutembakkan benihku di dalam sana sambil kepalaku menyuruk ke dada Citra.

“Ah… terus Sayang… aku suka banget kalo kamu keluarin di dalam…” Citra menyemangatiku sambil satu tangan memeluk kepalaku dan mengelus-elus rambutku, tangan lain mengitik-ngitik lubang anusku, dan pinggulnya digoyang perlahan memeras penisku.
Penisku berkedut-kedut di dalam vaginanya, melontarkan seluruh isinya.  Ketika semuanya sudah keluar tubuhku ambruk menimpa tubuh Citra.
“Unghhh…” keluhku, keenakan sekaligus kelelahan.  Citra tersenyum lalu mendorong tubuhku.  Ketika kucabut senjataku yang masih tersisa ketegangannya…
“Lho, kok copot?” gumamku melihat kondom yang tadi kupasang sudah tidak ada.
“Eish… nyangkut di dalam.  Pantesan tadi enak banget…” kata Citra yang kemudian menuju kamar mandi untuk segera cuci-cuci.
Aku ambruk lagi, telungkup, sambil nyengir dan berharap kalau Citra langsung membasuh kewanitaannya, kecelakaan crot di dalam itu tidak bikin aku jadi harus bertanggung jawab…Setelah berbaring beberapa lama, aku bangun dan membersihkan diri juga.  Citra sudah selesai.  Ketika aku keluar dari kamar mandi mengenakan handuk, kulihat Citra sudah kembali mengenakan pakaian, kaos ketat dan rok mini.  Selesai berpakaian, Citra mengajakku keluar dari kamar itu.
“Ayo, kita ngobrolnya di depan aja,” ajak Citra.  Kami pun keluar dari kamar itu menuju bagian depan.  Tempat itu adalah salon Citra.
Di depan, dua perempuan sedang duduk-duduk.  Yang satu bertubuh pendek montok dengan payudara besar dan rambut diwarnai pirang.  Satunya lagi bertubuh langsing.  Mereka adalah Widy, anak buah Citra yang sudah lama ikut dengan Citra, dan Haula, mantan SPG kosmetik yang baru diajak kerja Citra di tempatnya.
Widy nyeletuk, “Udah lega, Mbak Citra?  Kan Masnya udah dateng nengokin.  Pasti kepalanya udah nggak pusing lagi ni~”
“Hus, jangan sembarangan,” seru Citra.  Aku dan Citra lalu duduk agak jauh dari Widy dan Haula.

“Lanjutin ceritanya,” kumulai lagi pembicaraan.  “Tadi kepotong di bagian adik kamu bawa pulang istrinya.”
“Kamu kenapa sih penasaran banget ama mereka?” tanya Citra sambil mengerling genit.  “Kok bukannya penasaran sama akuu?”
Aku senyum saja.  Tapi, sejak aku mulai dengar kisah Bram dan Tia dari Citra, aku memang tertarik.
Citra mesem-mesem, lalu kembali bercerita.
“Beberapa hari sesudah itu, Bram ketemu sama orangtua kami.  Dia ngasih tahu tentang pembukaan cabang baru perusahaan di kota-nya Enrico.  Lalu dia minta untuk diserahi tanggung jawab pegang cabang itu.  Orangtua kami setuju.  Jadi Bram langsung boyong Tia, pindah ke sana.”
“Bram juga mau jauhin Tia dari Mang Enjup dan Pak Walikota ya,” kutimpali.
“Iya, emang itu niat adikku.  Sesudahnya ya … mereka berdua di sana,” Citra menyudahi ceritanya.  Aku mengangguk-angguk.
“Tapi mereka masih sering pulang nengok rumah.  Rumah sebelah, rumah mereka.  Aku yang diminta jagain, tapi aku lebih suka di sini.  Dan mereka kemarin bilang mau datang hari ini,” kata Citra.

Beberapa lama kemudian, kudengar suara mobil berhenti tak jauh dari salo.  Citra keluar.  Aku mengikuti.  Kulihat mobil terparkir di depan rumah sebelah.  Dari dalamnya keluar beberapa orang.  Pertama, dari balik pintu pengemudi, muncul seorang laki-laki muda.  Citra mendekati dan merangkulnya.  Laki-laki muda itu pasti Bram.  Kuperkirakan dia seumuran denganku. Lalu dari pintu penumpang, muncullah seorang perempuan cantik.  Rambutnya yang lurus sebahu digerai, tubuhnya yang aduhai terbungkus pakaian yang anggun namun aku bisa melihat lengkung pinggulnya yang cantik membentuk di balik rok.  Wajahnya dirias dengan apik.

Inikah Tia?

Aku sudah mendengar ceritanya dari Citra.  Semua yang mereka alami.  Dan rasanya cocok kalau perempuan muda ini jadi tokoh utamanya.  Meski pakaiannya tergolong sopan dan dandanannya tak semeriah Citra, Tia memancarkan aura keseksian yang sangat kuat, dari penampilan maupun pembawaan.  Perubahannya tidak hilang.  Tapi aku yakin sekarang dia hanya menyajikan dirinya seperti itu bagi suaminya. Yang belum Citra ceritakan adalah yang sedang digendong Tia.  Seorang bayi yang lucu, berumur kira-kira tiga atau empat bulan… Kucoba melihat wajah bayi itu dengan lebih jelas, dan ketika kulihat kemiripan anak itu dengan Bram, entah kenapa hatiku terasa lega. Dari jauh kuperhatikan keluarga muda itu; Bram, Tia, dan buah hati mereka.  Kelihatannya mereka bahagia.  Namun di balik itu ada kisah yang seru.  Tentang sepasang kekasih yang saling berjuang demi pasangannya.  Rasanya sayang kalau berlalu begitu saja.

Maka itu, kutuliskan kisah mereka.

SLUTTY WIFE TIA – TAMAT
Ninja Gaijin
Juli 2009—Juli 2011
*****

CATATAN PENULIS

Terima kasih kepada:
-Shusaku Kato yang menerbitkan cerita ini di blognya dan memberi judul “Slutty Wife Tia”
-Rekan-rekan penulis yang menginspirasi, menyemangati, dan berbagi ilham: Pujangga Binal, Dr H, Pimp Lord, Chads, Yohana, Pendekar Maboek, Bridesexstory Writer, Race Bannon, Mario Soares, Henz, Bang Haris, Diny Yusvita.
-Para pembaca yang selalu menunggu dan menagih lanjutan cerita, tapi juga jadi teman bicara yang menyenangkan dan sumber ide.

“Slutty Wife Tia” berawal dari beberapa artikel yang saya baca di internet, salah satunya ini: http://alturl.com/b2dfd dan dari sana muncullah ide untuk cerita Tia.  Seiring waktu, ceritanya berkembang dan membawa saya masuk ke dunia lain, bertemu orang-orang, dan mungkin berpengaruh ke hidup saya sendiri… Semoga cerita ini bisa memuaskan bagi para pembaca.

We don't need lists of rights and wrongs, tables of do's and don'ts: we need books, time, and silence. Thou shalt not is soon forgotten, but Once upon a time lasts forever.
--Philip Pullman