Iblis Geryon dan Dewi Kadence |
Setiap hari selama ratusan tahun, sang Dewi mengunjungi neraka dan setiap hari itu pula Geryon mengawasi dari tempatnya bertugas, hasrat memanaskan darahnya lebih dari api kutukan di luar posnya. Seharusnya sejak awal ia tak mengamati sang Dewi, menjaga agar tatapannya terus tertuju ke bawah sepanjang waktu. Ia adalah budak dari Pangeran Kegelapan, dibuahi oleh kejahatan. Sedangkan perempuan itu seorang dewi, tercipta dari cahaya. Ia tak mungkin memiliki sang Dewi, pikir Geryon sambil mengepalkan tangan. Tak peduli betapa ia menghendaki yang sebaliknya. Lagi pula, mana mungkin sang Dewi menginginkannya. Obsesi ini... tak ada gunanya, dan tak memberinya apa-apa selain rasa putus asa. Dan, ia tak butuh rasa putus asa lebih banyak lagi. Namun, tetap saja ia mengawasi sang Dewi hari ini saat perempuan itu melayang melewati gua tandus, jemari berkuku warna koral menelusuri bebatuan bergerigi yang memisahkan bawah tanah dengan dunia kematian. Ikal-ikal keemasan tergerai di punggung yang elegan dan membingkai wajahnya yang begitu sempurna, teramat jelita, bahkan Aphrodite sendiri tak bisa menandinginya. Mata secemerlang bintang itu menyipit, warna merah merona membias di pipinya yang semulus batu pualam.
“Dinding ini retak,” ucap sang Dewi, suaranya bagai seuntai lagu di tengah-tengah desisan api di dekat sana – dan jeritan tak wajar yang selalu menyertai.
Geryon menggeleng, yakin benar ia hanya membayangkan kata-kata itu. selama berabad-abad bertemu, mereka tak pernah bertegur sapa, tak pernah sekalipun menyimpang dari rutinitas mereka.
Sebagai Penjaga Neraka, ia memastikan gerbangnya selalu tertutup hingga ada jiwa yang harus dibuang ke dalamnya. Dengan begitu, tak ada seorang atau sesuatu pun yang bisa meloloskan diri – dan jika mereka mencoba, dialah yang menghukum. Sedangkan sebagai Dewi Penindasan, perempuan itu memperkuat dinding penghalang hanya dengan satu sentuhan. Keheningan tak pernah pecah di antara mereka. Ketidakpastian menggelapkan sosok sang Dewi.
“Kau tak punya komentar?”
Sekejap kemudian ia berdiri di depan Geryon, meski laki-laki itu tak pernah melihatnya bergerak. Aroma honey-suckle mendadak mengalahkan bau burung belerang dan daging meleleh, dan Geryon menghirupnya dalam-dalam, memejamkan mata penuh kenikmatan. Oh, seandainya dewi itu selalu berada disana...
“Penjaga,” sang Dewi memanggil.
“Dewi,” Geryon memaksa pelupuk matanya terbuka sedikit demi sedikit, lambat laun menampakkan pendaran kecantikan sang Dewi. Dari dekat, perempuan itu tak sesempurna yang ia bayangkan. Segelintir bintik-bintik memerciki hidung mancung sang Dewi yang manis dan lesung pipi muncul seiring lengkungan senyum separuhnya. Ah, itu bahkan lebih baik lagi. Apa yang sang Dewi pikirkan tentang dirinya? Geryon bertanya-tanya. Mungkin sang Dewi menganggapnya monster, mengerikan dan cacat. Memang seperti itulah wujudnya. Tapi bila perempuan itu menganggap Geryon demikian, ia tak menunjukkannya. Hanya rasa penasaranlah yang bersarang di mata secemerlang bintang itu. Tapi tentu saja itu untuk dinding, duga Geryon, bukan karena dirinya. Bahkan saat ia masih manusia, para perempuan tak ingin berurusan dengannya. Mereka langsung menyingkir begitu ia menunjukkan perhatian kepada mereka. Ia terlalu tinggi, terlalu kekar, terlalu kikuk. Dan itu, bahkan sebelum penampilannya mirip dengan Ogre.Terkadang ia bertanya-tanya apakah ia tercemar sejak lahir.
“Retakan itu kemarin tak ada,” kata sang Dewi. “Apa yang menyebabkan kerusakan seperti itu? Dan, begitu cepat?”
“Segerombolan Penguasa Iblis setiap hari bangkit dari lubang neraka dan berjuang agar bisa keluar. Mereka sudah mulai muak dengan penahanan disini dan mencari manusia hidup untuk disiksa.”
Sang Dewi menerima berita itu tanpa reaksi. “Kau punya nama-nama mereka?”
Geryon mengangguk. Ia tak perlu melihat ke balik gerbang untuk tahu siapa saja yang berada di sisi seberang. Ia bisa merasakannya. Selalu.
“Kekerasan, Kematian, Kebohongan, Keraguan, Kesakitan. Haruskah kulanjutkan?”
“Tidak usah,” jawab sang Dewi pelan. “Aku paham. Mereka yang terburuk dari yang terburuk.”
“Benar. Mereka menghantam dan mencakari dinding di balik gerbang, sangat ingin pergi ke dunia manusia.”
“Well, hentikan mereka.” Sebuah perintah, dibalut oleh permohonan dengan suara serak.
Seandainya bisa. Geryon rela memberikan sisa-sisa terakhir kemanusiaannya untuk melakukan apa pun yang diinginkan sang Dewi. Apapun untuk membalas hadiah kedatangannya kesini setiap hari. Apapun untuk membuatnya tetap disini, memperpanjang aroma manis tubuhnya.
“Aku dilarang meninggalkan pos, sama seperti aku tak diijinkan membuka gerbang untuk alasan apapun selainuntuk memasukkan jiwa terkutuk ke dalam. Aku khawatir tak bisa mengabulkan permintaanmu.”
Suatu desah terdengar dari sang Dewi. “Kau selalu melakukan apa yang diperintahkan?”
“Selalu.”
Sekali Geryon pernah melawan ikatan tak kasat mata yang membelenggunya. Sekali, tapi tidak lagi. Melawan hanya akan mengundang kesakitan dan penderitaan – bukan padanya, tapi pada yang lainnya. Manusia tak berdosa yang mirip ibu, ayah, dan para saudara laki-lakinya – karena ibu, ayah, dan para saudara laki-lakinya sudah habis dibantai – dibawa kesini dan disiksa di depannya. Jeritan mereka... oh, jeritan-jeritan itu, jauh lebih buruk daripada pekik kesakitan yang merembes dari Neraka. Dan saat melihat itu... Geryon menggigil. Andai rasa sakit dan penderitaan itu ditimpakan pada dirinya, ia tak akan peduli. Ia akan tertawa dan melawan lebih keras lagi. Apalah artinya sedikit kesakitan lagi? Tetapi Lucifer, saudara Hades, sekaligus pangeran iblis, membutuhkan penjaganya tetap bugar, utuh. Jadi ia menggunakan cara lain untuk mendapatkan kerja sama Geryon. Kenangan itu akan menghantui Geryon selamanya, meski mungkin saja akan memudar di malam hari, seandainya ia butuh tidur. Tetapi ia tetap terjaga di setiap jam di setiap hari, tak pernah bisa melupakan.
“Kepatuhan. Aku mengharapkan yang berbeda darimu,” ujar sang Dewi. “Kau seorang kesatria, begitu tangguh dan percaya diri.”
Benar, ia memang seorang kesatria. Tetapi ia juga seorang budak. Peran itu tidak saling meniadakan. “Maafkan aku, Dewi. Ketangguhan dan kepercayaan diriku tak mengubah apapun.”
“Aku akan memberimu imbalan karena membantuku,” sang Dewi bersikeras. “Sebutkan hargamu. Apapun keinginanmu akan menjadi milikmu.”
Seandainya saja bisa, pikir Geryon lagi. Ia akan meminta untuk mencicipi tubuh itu sekali saja. Atau semalam dalam pelukan sang dewi. Telanjang. Menyentuhnya. Merasakan kehangatan kulitnya. Membayangkannya, membuat setiap otot di tubuh Geryon menegang. Ia bergairah, sekaligus putus asa dalam ketiadaan harapan. Tidak. Ia tak bisa mengambil resiko membuat orang-orang tak bersalah menderita hanya untuk memuaskan keinginannya dengan dewi jelita ini. Tapi, kenapa kau peduli itu? batin Geryon berontak. Lihat tubuh mulus itu, begitu menggairahkan! Jadi, satu pelukan? Atau cuma sekedar ciuman, apa salahnya?
“Penjaga?” desak sang Dewi. “Apapun.”
Geryon menelan ludah. “Maafkan aku, Dewi. Aku sangat ingin membantumu, tapi...”
Bahu indah sang Dewi merosot kecewa, “Tapi... kenapa? Kau juga ingin para iblis tetap di Neraka seperti aku. Benar kan?”
“Benar.” Geryon bimbang untuk memberitahukan alasannya menolak membantu perempuan cantik itu, ia masih merasa malu akan hal itu hingga kini. Sang Dewi terdiam, menunggu.
“Ehm, aku...” Geryon gemetar.
“Mungkin ini bisa membantumu untuk mengingat.” sang Dewi mendekat. Tangannya bergerilya tepat di penis Geryon yang sudah menegang sejak tadi. Dia meremas-remasnya lembut, membuat jantung iblis jantan itu naik turun tak karuan. Takut. Enak. Dan entah perasaan apalagi yang berkumpul menjadi satu.
“Keras sekali,” sang Dewi berbisik pelan. Kemudian dia membuka celana Geryon dan mengeluarkan ’isinya’.
Geryon tidak sampai hati untuk mencegah karena jujur, ia juga menginginkannya. Inilah yang diimpikannya selama berabad-abad, dan sekarang terjadi begitu saja karena alasan yang tidak begitu jelas. Dan sangat mudah. Jadi, mungkinkah ia menolak? Apalagi ini juga tidak menyalahi ikatan yang dibuat oleh Lucifer.
“Dewi… Dewi…” Geryon terbata.
Sang Dewi terus meremas penisnya. Tubuh montok perempuan itu sudah merapat semakin dalam, begitu insten dan... menggiurkan. Bahkan dengan sangat menggairahkan, dia sengaja menggesek-gesekkan payudaranya ke lengan Geryon. Sementara Geryon, yang semula diam karena kaget dan tak percaya, kini juga ikut larut dalam permainan. Tubuhnya menegang, dengan tangan meremas buah dada sang Dewi yang bulat dan padat, sambil memeluk tubuh perempuan itu begitu erat.
”Bagaimana, enak kan?” tanya sang Dewi, tangannya bergerak lincah dan cepat, mengocok penis Geryon.
Iblis itu hanya mengangguk.
“Anggap saja ini sebagai uang muka. Kalau kau mau membantuku, akan kuberikan yang lebih enak.”
Geryon mengerti apa yang dimaksud oleh perempuan itu. Tapi ia tak sanggup untuk menjawab karena sekarang sang dewi sudah jongkok dan menunduk di depan penisnya. Perempuan itu membuka mulutnya, dan.. Hupp! Ia menelan penis Geryon dan menghisapnya. Gila! Geryon bahkan tak pernah membayangkan akan mendapatkan kenikmatan seperti ini. Bisa menciumnya saja, dia sudah sangat bersyukur. Apalagi diemut seperti ini... Uhh, rasanya seperti masuk ke dalam Surga.
”Ooghhh… Ooghhh…” Geryon merintih, atau menggeram? Karena suaranya memang sangat berat, seperti auman empat harimau yang dijadikan satu.
Sang Dewi tampak sangat menikmati penisnya. Perempuan itu mengocoknya dengan tangan, sambil ujungnya terus diemut dan dihisap-hisap cepat. Lidahnya yang basah bermain, menggelitik kepala penis Geryon yang tumpul, yang dari lubangnya sudah mengeluarkan cairan precum.
Tak mau kalah, sambil bergidik keenakan, tangan kanan Geryon menggangkat rok panjang sang Dewi hingga ke pinggang. Dipandanginya celana dalam berwarna putih milik perempuan itu, juga bokongnya yang bulat dan sekal. Sedikit melenguh, Geryon segera meremas-remasnya. Sementara tangan kirinya, bergerak mengelus payudara sang Dewi yang kini sudah tidak tertutup lagi. Benda itu tampak bulat dan menggiurkan, bersinar bagai dua matahari di lubang neraka yang gelap ini. Ujungnya meruncing, terasa sangat keras dan padat. Tidak sampai tiga menit, Geryon akhirnya menyerah. Nafsu menggebu yang sudah ditahannya begitu lama, membuatnya jadi tidak tahan lama. Tanpa bisa dicegah, spermanya menyembur, muncrat ke dalam mulut sang Dewi. Perempuan itu sempat terkejut ketika menerima semprotan pertama. Tapi selanjutnya, saat ia sudah bisa menguasai diri, malah meremas penis Geryon agar benda itu mengeluarkan semua isinya. Sang Dewi menghisap dan memerahnya sampai habis. Mulutnya baru terbuka ketika penis Geryon sudah melemas dalam genggamannya. Tersenyum, dia lalu menelan semuanya. Sungguh luar biasa. Geryon segera membenahi celananya. Begitu juga dengan sang Dewi.
”Sekarang, boleh aku tahu alasannya?” tanya perempuan itu. Dia menyingkirkan jemari Geryon yang masih bertengger di atas bukit payudaranya.
“Aku telah menjual jiwaku pada Lucifer,” akhirnya Geryon mengaku. “Aku sudah tidak punya kehendak lagi. Hidupku hanya untuk melayaninya. Segala perintahnya, itulah yang kulakukan. Meski sangat ingin membantumu – apalagi setelah yang barusan – aku tidak bisa melakukannya.”
“Bagaimana itu terjadi?” sang Dewi tampak tertarik.
“Ceritanya panjang.”
“Aku bisa menunggu.”
“Apa kau tidak punya banyak tugas untuk dikerjakan?”
“Aku sedang melakukan tugasku sekarang. Kalau kau?”
Geryon tersipu, teringat apa yang baru saja mereka lakukan.
“Hmm, jadi...” sang Dewi mendesah. “Jiwamu milik Lucifer, sang Pangeran Kegelapan?”
“Ya,”
“Andai jiwamu dikembalikan, kau akan bisa membantuku?”
“Tentu saja,” Geryon menjawab mantab, suaranya serak.
“Baiklah. Akan kulihat apa yang bisa kulakukan.”
Mata Geryon terbeliak ngeri. Perempuan itu akan mendekati Lucifer? “Jangan, kau harus...”
Tapi sang Dewi sudah menghilang sebelum dia sempat menghentikannya.
***
Ruang Dalam Neraka...
”Lucifer, dengar aku baik-baik. Aku ingin bicara denganmu. Kau akan muncul di depanku. Hari ini, di ruangan ini juga. Sendirian. Aku akan tetap berada disini.” Kadence, Dewi Penindasan, paham ia harus menyatakan keinginannya dengan rinci atau pangeran iblis itu akan menginterpresentasikannya sesuka hati. ”Dan, kau akan berpakaian.”
Bila ia hanya meminta pertemuan, sang Pangeran mungkin akan memboyongnya ke tempat tidur, dengan tangan dan kaki terikat, pakaiannya lenyap, tubuh montoknya kelihatan, sementara satu legiun iblis mengelilinginya, sama seperti terakhir kali, dua ratus tahun yang lalu. Kadence memperhatikan sekelilingnya, seolah-olah mengamati tempat itu adalah tujuan kedatangannya. Alih-alih batu dan semen mortar, dinding istana Lucifer terbuat dari nyala api. Oranye-emas, berderak. Mematikan. Singgasananya tersusun dari tumpukan tulang, abu dan api. Di sampingnya terdapat altar bernoda darah. Satu tubuh tak bernyawa masih tergeletak di atasnya – perempuan, tanpa busana, dan tanpa kepala. Meski demikian, kepala itu akan segera terpasang kembali, agar siksaannya bisa dimulai lagi. Begitulah caranya disini. Jadi sulit untuk tetap bersikap tenang di tengah keadaan mengerikan seperti itu.
”Lucifer,” panggilnya lagi. ”Kau sudah dengar permintaanku. Sekarang datanglah. Atau aku akan pergi dan kau akan melewatkan kesempatan untuk mendapatkan tawaran menarik.”
Dentam langkah kaki mendadak menggema dan nyala api setinggi beberapa meter di hadapannya tersibak. Akhirnya. Dari dalam, Lucifer melenggang, seceria hari terbaik di musim panas.
”Ya, aku memang mendengarmu.” ucapnya dalam suara sehalus sutra. Ia bahkan tersenyum lebar dengan ekspresi jahat yang murni. ”Kau menyebut-nyebut soal tawaran menarik? Apa yang kau maksudkan, sayangku?”
Tubuh mulus Kadence bergidik. Lucifer bertubuh tinggi, berotot seperti seorang kesatria, juga tampan dan sensual meski ada neraka gelap berkecamuk di matanya. Di selangkangannya, terlihat tonjolan besar tertutup celana usang dari api. Benda itulah yang dulu memberikan orgasme bertubi-tubi kepadanya. Memandangnya, Kadence takut sekaligus tertarik.
”Apa keperluanmu?” tanya Lucifer, tetap tersenyum. Suaranya tenang, tapi tetap terdengar mengancam.
Kadence mengangkat dagu. ”Dindingmu telah dirusak, dan sekelompok iblis berusaha meloloskan diri.”
Pangeran Kegelapan, Lucifer |
Senyum sang Pangeran langsung lenyap. Matanya menyipit, menunjukkan kemarahan, yang kemudian dihalaunya dengan mengedikkan bahunya santai. ”Jadi, dindingnya rusak. Kau berharap aku berbuat apa?”
Kadence memantapkan tekadnya. Inilah saatnya. ”Si Penjaga. Dia bisa membantuku menghentikan mereka. Tapi karena kau memiliki jiwanya, dia harus mendapat ijinmu.”
Lucifer mendengus. ”Tidak. Aku tak akan memberi ijin. Untuk alasan apapun. Aku suka ia berada di tempatnya sekarang.”
Benar, dia menolaknya. ”Kenapa?” Kadence bertanya.
Lucifer mengetuk-ngetuk dagu dengan satu ujung jarinya. ”Well, penjaga terakhirku menjadi korban dari dusta satu iblis dan hampir mengijinkan satu legiun melarikan diri dari sana. Aku tidak mau itu terjadi lagi.”
”Tapi dindingmu sedang dirusak!” Kadence berusaha.
”Tidak.” Lucifer menggeleng. ”Kita cari cara lain. Jangan libatkan Geryon.”
Geryon. Akhirnya, sebuah nama. Berasal dari bahasa Yunani, yang berarti monster. Kadence tak menyukai nama itu. Geryon lebih baik dari penampilannya. Jauh lebih dari itu.
”Tak ada yang akan kau katakan lagi?” tanya Lucifer. ”Jadi, kita berpisah sekarang?”
Apa ini permainan Lucifer? Ia butuh dinding itu diperbaiki sama seperti Kadence. Kalau para iblis itu sampai lepas ke dunia manusia, mereka akan sama-sama repot. Menangkapnya lagi membutuhkan usaha besar dan keras. Tidak cukup ratusan tahun. Dengan pikiran itu, Kadence menjawab pertanyaannya sendiri. Ya, ini sebuah permainan. Lucifer tengah mempermainkannya.
”Aku penguasamu,” Kadence berkata. ”Aku akan...”
”Kau bukan penguasaku.” geram Lucifer tak terima. ”Kau adalah... pengamatku. Kau menyaksikan, memberi saran, dan melindungi. Tapi tidak memerintah!”
Kau terlalu lemah, Lucifer tak mengatakan itu. Lagi pula, ia tak perlu melakukannya. Mereka berdua tahu bahwa itu benar. Lucifer lah yang memegang kendali. Kadence cuma bisa mengikuti. Tak ada jalan lain. Ia akan melakukannya, demi Geryon. Menegakkan bahunya, Dewi cantik itu pun berkata,
”Aku tadi menawarkan sesuatu kepadamu. Boleh aku katakan sekarang?”
Lucifer mengangguk, seolah sudah menantikan pertanyaan itu sedari tadi. ”Silahkan,” sahutnya.
***
Dengan langkah ragu-ragu, Kadence mendekati ruangan dimana Lucifer berada. Letaknya di koridor Neraka yang paling dalam, tempat yang paling gelap dan panas. Sebentar saja, Kadence sudah banjir keringat. Tubuh montoknya tampak tercetak jelas di balik jubah putihnya yang tipis. Terutama tonjolan payudaranya yang tak ber-BH, benda itu tampak begitu menggiurkan. Putingnya yang mungil kemerahan terlihat kaku dan mencuat. Lucifer tak henti-henti meliriknya.
"Ayo masuk!" ajak sang pangeran kegelapan dengan riang.
"Mana Cerberus? Dari tadi aku tidak melihatnya." tanya Kadence berbasa-basi. Cerberus adalah anjing berkepala tiga penjaga neraka milik Hades.
"Oh, dia sedang jalan-jalan, sebentar juga kembali.” sahut Lucifer bercanda. Cerberus pasti sedang menjemput jiwa malang penghuni baru dari Neraka ini.
"Sebentar ya," katanya lagi sambil masuk ke dalam ruangan yang lebih dalam dan gelap.
Meski terkenal kejam dan sadis, tak disangka, kamar Lucifer ternyata tertata rapi. Dindingnya bercat hitam, alih-alih terbuat dari api. Di sudut ruangan, terdapat lemari kaca yang berisi berbagai macam senjata dan tengkorak. Di tengahnya, ada hamparan permadani berbulu dan kursi sofa kelas satu.
"Gimana, sudah siap?" tanya Lucifer mengejutkan.
Kadence segera menoleh kepadanya. ”Eh, ya... mari kita bicara.”
”Apa yang kau tawarkan?” tanya Lucifer tanpa basa-basi.
Kadence sedikit menarik nafas sebelum menjawab, ”Emm, kau tahu. Aku tidak bisa memberikan apa-apa sebagai ganti kebebasan Geryon, kecuali...” Tapi belum selesai dia berkata, Lucifer sudah keburu menuburuk tubuhnya.
"Hei, apa-apaan ini?" tanyanya kaget sambil meronta, mencoba melepaskan diri.
"Jangan berpura-pura, Kadence sayang. Ini kan yang mau kau tawarkan. Tubuhmu. Kita sudah sama-sama mengerti, aku membutuhkannya dan kau membutuhkan pelayanan Geryon bukan. Dia bisa menjadi milikmu asalkan kau mau melayani aku!" sahut sang pangeran iblis sambil berusaha menciumi bibir Kadence.
Serentak bulu kuduk Kadence berdiri. Geli, jijik... namun entah dari mana asalnya, perasaan hasrat menggebu-gebu juga kembali menyerang tubuhnya. Ingin rasanya ia membiarkan Pangeran Iblis ini berlaku semaunya atas dirinya. Harus dia akui, walaupun Lucifer kejam dan menakutkan, namun sebenarnya Iblis tua ini sering membuatnya berdebar-debar juga. Apalagi kalau mengingat pertemuan terakhir mereka yang ’panas’ dan ’membara’. Tapi sebagai seorang dewi, Kadence harus tetap menjaga harga dirinya, dia tidak boleh menyerah begitu saja. Jadi, dia tetap berusaha meronta-ronta, meski tahu itu percuma. Tidak ada yang bisa melawan kehendak Lucifer di neraka ini, kecuali Hades.
"Lucifer, lepaskan aku! Jangan... hhmmpppff!" kata-kata Kadence tidak terselesaikan karena bibirnya sudah keburu disumbat oleh mulut sang Pangeran.
Dia meronta dan berhasil melepaskan diri. Kadence segera bangkit dan terbang menghindar, tidak peduli meski salah satu payudara bulatnya sudah terburai keluar. Benda itu tampak mengayun-ayun indah saat Kadence terbang masuk ke kamar sempit dan gelap yang tadi dimasuki oleh Lucifer. Tindakan yang keliru, karena itu adalah tempat tidur sang Pangeran. Ada ranjang besar disana, berseprei empuk dari bulu angsa. Tampaknya Lucifer memasangnya tadi sebagai persiapan ’pertempuran’ mereka. Kadence terpojok. Dia malah seolah-olah mengajak Lucifer agar segera ’bermain’ dengan masuk ke ruangan ini. Merapatkan tubuh montoknya di sudut ruangan, Kadence mengatur kembali nafasnya yang terengah-engah. Payudaranya juga kembali ia kembalikan ke tempatnya. Tapi yang aneh, entah mengapa, birahinya terus naik dan naik. Seluruh wajahnya terasa panas, kedua kakinya sampai gemetar. Lucifer yang seperti diberi kesempatan emas, mengepakkan sayapnya pelan memasuki kamar dan menutup pintunya dengan sekali kibasan tangan. Lalu dengan perlahan ia mendekati Kadence. Tubuh perempuan itu bergetar hebat manakala Iblis tua itu mengulurkan tangannya untuk merengkuh dirinya. Dengan sekali tarik, dia jatuh ke dalam pelukan Lucifer. Bibirnya segera dilumat habis. Terasa lidah Lucifer yang kasap bermain, menyapu telak di dalam mulutnya. Perasaan Kadence bercampur aduk menjadi satu, antara benci, jijik, bercampur dengan rasa ingin dicumbui yang semakin kuat, hingga akhirnya ia pun merasa sudah kepalang basah. Memang inilah yang tadi akan ditawarkannya pada Lucifer. Tubuhnya. Sekarang, setelah diserang seperti ini, meski enggan untuk mengakui, hati kecil Kadence juga menginginkannya. Terbayang olehnya apabila Geryon yang melakukan ini, entah apa yang sedang dilakukan si iblis bawahan itu sekarang. Maka, tidak berniat untuk menolak lagi, ia pun membalas cumbuan Lucifer dengan hangat. Merasa mendapat angin, Lucifer jadi makin berani dengan menelusupkan tangannya ke balik gaun yang dikenakan oleh perempuan itu. Jantung Kadence berdegup kencang ketika tangan laki-laki itu meremas-remas lembut gundukan daging kenyal yang ada di dadanya. Terasa benar, telapak tangan Lucifer yang lebar bergerak liar di atas permukaan buah dadanya yang putih mulus, ditingkahi dengan gesekan nakal jari-jari berkuku tajam yang mempermainkan puting susunya. Gemas sekali nampaknya Iblis tua itu. Tangannya makin lama makin kasar bergerak di atas dada Kadence, bergantian kiri dan kanan. Setelah puas, dengan tidak sabaran, Lucifer mulai melucuti pakaian Kadence satu demi satu hingga berceceran di lantai. Hingga akhirnya Kadence hanya memakai secarik celana dalam saja, itupun sangat tipis dan mungil. Benda itu bahkan tidak sanggup menyembunyikan belahan vagina Kadence yang basah merah menggiurkan. Melihatnya, bergegas Lucifer melucuti celana pendeknya. Dari sana, menyembul batang penis itu yang telah menegang dahsyat, sebesar lengan, berwarna merah semerah kulitnya. Kadence bergidik. Tak terasa, ia menjerit ngeri. Sepertinya benda itu makin membesar saja dari waktu ke waktu. Bisa jebol miliknya dimasuki penis sebesar itu. Namun di lain pihak, Kadence tak dapat menyembunyikan kekagumannya. Seolah ada pesona tersendiri pada benda itu hingga pandangan matanya terus tertuju ke penis besar sang pangeran kegelapan. Nyala api memercik-mercik dari ujungnya saat benda itu bergoyang-goyang. Lucifer tengah berjalan mendekati dirinya. Tangannya meraih kunciran rambut Kadence dan menariknya hingga ikatannya terlepas dan rambut Kadence bebas tergerai sampai ke pinggang.
"Kau cantik sekali, Kadence..." gumam Lucifer mengagumi kecantikannya.
Kadence hanya tersenyum tersipu mendengar pujian itu. Ah, seandainya saja Geryon yang mengatakannya.
Dengan lembut Lucifer terbang turun sambil mendorong tubuhnya sampai terduduk di tepi ranjang. Lalu ia menarik celana dalam, kain terakhir yang menutupi tubuh mulus Kadence dan membuangnya ke lantai. Kini mereka berdua telah telanjang bulat. Lucifer dengan gemas mementangkan kedua belah paha Kadence lebar-lebar. Matanya nanar memandang daerah di sekitar selangkangan sang dewi. Nafasnya jadi sedemikian memburu. Tak lama kemudian, Lucifer membenamkan kepalanya di situ. Mulut dan lidahnya yang panjang menjilat-jilat penuh nafsu di sekitar kemaluan Kadence yang mulus tanpa rambut. Melenguh kegelian, Kadence memejamkan matanya. Ohh, nikmatnya, dia sungguh menikmatinya, sampai-sampai tubuhnya menggelinjang-gelinjang saking enaknya.
"Lucifer..!" rintih Kadence lirih. "A-aku tak tahan lagi...!" dia memelas sambil menggigit bibir bawahnya. Sungguh, dia tak tahan lagi mengalamai siksaan birahi yang dilancarkan sang iblis tua. Namun rupanya Lucifer masih ingin mempermainkannya. Tidak peduli, bahkan terlihat senang melihat Kadence dalam keadaan demikian, ia meneruskan jilatannya. Bahkan kini tangannya ikut bermain dengan menjulur ke atas dan meremas-remas payudara sang dewi yang bulat menggoda dengan lembut. Padahal Kadence sudah sangat kewalahan dan basah kuyup.
"Lucifer... Aaakkhh...!" dia mengerang keras, kakinya menjepit kepala Lucifer kuat-kuat untuk melampiaskan derita birahinya.
Digenggamnya erat tanduk yang menghiasi kepala sang pangeran kegelapan itu keras-keras. Kini, Kadence sudah tidak peduli lagi bahwa yang bercinta dengannya itu adalah pemilik Neraka yang seharusnya ia takuti. Salah sendiri, kenapa dia sungguh lihai membangkitkan gairahnya? Kadence yakin, dengan nafsu yang sebesar itu ditambah pengalaman selama ribuan tahun, Lucifer tentu sangat ahli dalam hal ini, bahkan sangat mungkin sudah puluhan atau ratusan dewi, makhluk sorgawi dan manusia yang sudah digaulinya. Sedang enak-enaknya, tiba-tiba Lucifer melepaskan diri, lalu ia berdiri di depan Kadence yang masih terduduk di tepi ranjang. Penis besar sang pangeran kegelapan persis berada di depan wajahnya. Kadence sudah tahu apa yang diinginkan Iblis tua itu. Tanpa sempat melawan ataupun memprotes, tangan Lucifer sudah meraih kepalanya dan di bawa mendekati kejantanannya yang... Wow! Sungguh sangat besar itu. Tanpa melawan sama sekali, Kadence membuka mulut selebar-lebarnya. Lalu dengan sekali telan, dicaploknya penis besar Lucifer dan dikulumnya dengan penuh nafsu hingga membuat sang iblis merem melek keenakan. Benda itu hanya masuk bagian kepala dan sedikit batangnya saja ke dalam mulut Kadence. Itupun sudah terasa penuh. Kadence hampir sesak nafas dibuatnya. Dia harus bekerja keras kalau mau memberi makhluk kegelapan ini kepuasan. Dan demi Geryon, dia rela melakukannya. Kadence terus menghisap, mengulum serta mempermainkan batang penis Lucifer keluar masuk di dalam mulutnya. Terasa benar kepala itu bergetar hebat setiap kali lidah Kadence menyapu ujungnya yang berapi.
Beberapa saat kemudian, Lucifer melepaskan diri. Ia lalu membaringkan Kadence di tempat tidur dan menyusul berbaring di sisinya. Kaki kiri perempuan itu diangkat, disilangkan di pinggangnya. Lalu ia berusaha memasuki tubuh Kadence dari belakang. Terasa kepala penis Lucifer yang besar menggesek klitoris di liang senggama Kadence, membuat perempuan itu bergidik. Lucifer terus berusaha menekan miliknya ke dalam milik Kadence yang memang sudah sangat basah. Akhirnya, setelah berusaha cukup keras, perlahan-lahan benda besar itu pun meluncur masuk. Dan ketika dengan kasar Lucifer tiba-tiba menekan keras hingga amblas seluruhnya ke dalam memek Kadence, perempuan itu tak kuasa menahan diri untuk tidak memekik. Perasaan luar biasa nikmat bercampur sedikit perih menguasai dirinya, hingga membuat tubuh mulusnya mengejang-ngejang selama beberapa detik. Lucifer yang mengerti keadaan itu, memberi Kadence kesempatan untuk bernafas dan membiasakan diri. Dia mendiamkan penisnya sebentar. Setelah nafas Kadence mulai tenang, barulah dia mulai menggoyangkan pinggulnya perlahan-lahan. Dan makin lama - setelah Kadence terlihat menikmatinya – menjadi semakin cepat. Kadence jadi tak kuasa untuk tidak merintih setiap Lucifer menggerakkan tubuhnya. Gesekan demi gesekan di dinding liang senggamanya sungguh sangat nikmat, membuatnya lupa ingatan. Lucifer terus menyetubuhinya dengan cara itu, sementara bibirnya tak henti-hentinya melumat bibir Kadence yang tipis, juga tengkuk dan lehernya. Sedang tangannya selalu meremas-remas payudara Kadence, tidak ingin membuat benda itu bergerak-gerak kesana-kemari. Kadence dapat merasakan puting susunya makin mengeras, runcing dan kaku. Dia bisa melihat bagaimana batang penis merah itu keluar masuk di dalam liang kemaluannya. Kadence selalu menahan nafas ketika benda itu menusuk ke dalam. Miliknya hampir tidak dapat menampung ukuran Lucifer yang super itu, dan ini makin membuat Lucifer tergila-gila. Tidak sampai di situ, beberapa menit kemudian Lucifer membalik tubuh Kadence hingga menungging di hadapannya. Ia ingin doggy style rupanya. Tangan makhluk itu kini lebih leluasa meremas-remas kedua belah payudara Kadence yang menggantung berat ke bawah sambil menusukkan penisnya dari belakang. Sebagai seorang dewi ia memiliki daya tahan tubuh yang jauh dibanding manusia, tapi menghadapi sang penguasa kegelapan tertinggi ini, dia memang bukan tandingannya. Iblis satu itu benar-benar luar biasa tenaganya. Sudah hampir dua jam permainan berlangsung, tapi tidak ada tanda-tanda kalau Lucifer akan mengakhirinya dalam waktu dekat. Kadence yang kini duduk mengangkangi tubuh makhluk itu, sudah hampir kehabisan nafas. Tapi demi Geryon, ia terus memacu goyangan pinggulnya. Kadence merasa sebentar lagi dia akan memperolehnya. Terus... terus... dan terus... dia sudah tak peduli lagi dengan gerakannya yang brutal ataupun suara erangannya yang kadang-kadang memekik nyaring menahan rasa luar biasa itu. Dan ketika klimaks itu sampai, tak peduli lagi meski dirinya seorang Dewi, Kadence berteriak kencang sambil menarik tanduk Lucifer. Dunia serasa berputar. Sekujur tubuhnya mengejang. Sungguh hebat rasa yang diterimanya kali ini. Ironis memang, sebagai dewi ia mendapat kenikmatan itu dengan melanggar aturan sorgawi, yang tentunya adalah kenikmatan terlarang.
Berkali-kali Kadence mengusap keringat yang membasahi dahinya. Lucifer yang masih belum finish, kembali mengambil inisiatif. Kini ganti dia yang berada di atas, menindih tubuh mulus Kadence. Lucifer memacu keras untuk mencapai klimaks. Desah nafasnya mendengus-dengus seperti kuda liar, asap dan hembusan api neraka keluar dari mulut dan hidungnya, sementara goyangan pinggulnya semakin cepat dan kasar. Peluh sudah penuh membasahi sekujur tubuhnya, juga tubuh Kadence. Sementara mereka terus berpacu. Sungguh hebat makhluk kegelapan ini, umurnya yang mencapai ribuan tahun tidak mempengaruhi staminanya. Beberapa saat kemudian, setelah setengah jam lagi berlalu, barulah Lucifer menggeram sambil mengeretakkan giginya. Tubuh Iblis tua itu bergetar hebat di atas tubuh Kadence. Penisnya menyemburkan cairan kental yang hangat dan panas ke dalam liang kemaluan sang dewi dengan begitu derasnya. Setelah rasa itu reda, perlahan-lahan mereka memisahkan diri. Bersisian, mereka terbaring kelelahan di atas kasur. Nafas Kadence yang tinggal satu-satu bercampur dengan bunyi nafas Lucifer yang berat. Mereka masing-masing terdiam, berusaha mengumpulkan tenaga yang sudah tercerai berai. Kadence terpejam, mencoba merasakan kenikmatan yang baru saja ia alami. Terasa ada cairan kental hangat perlahan-lahan meluncur masuk ke dalam liang vaginanya. Panas, dan sedikit gatal menggelitik. Bagian bawah tubuhnya terasa benar-benar banjir, basah kuyub. Kadence menggerakkan tangannya untuk menyeka bibir bawah itu, dan tangannya pun langsung dipenuhi oleh cairan kental berwarna putih susu yang belepotan di sana-sini.
"Hahaha...Dewi Kadence yang cantik, ternyata kau tak kalah dengan Aphrodite dan Artemis dalam hal yang satu ini!" Lucifer berkata penuh kemenangan.
Kadence yang berbaring menelungkup di atas kasur hanya tersenyum lemah, karena sungguh sangat kelelahan. Namun dalam hati ia kaget juga mendengar perkataan Lucifer tadi.
“Apa!? Jadi dua dewi tertinggi itu juga pernah....ah masa bodoh lah!”
Kadence memejamkan matanya untuk sejenak beristirahat. Ia tidak peduli dengan tubuhnya yang masih telanjang bulat. Lucifer kemudian bangkit berdiridan mulai mengenakan kembali cawatnya. Kadence pun dengan malas bangkit dan mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai. Sambil berpakaian ia bertanya,
"Bagaimana dengan permintaanku?"
"Minggu depan akan kubebaskan dia," sahut Lucifer pendek.
"Kenapa tidak besok pagi saja?" protes Kadence, tak puas.
"Aku masih ingin tubuhmu, manis. Layani aku selama seminggu ini.” Lucifer menyeringai.
Kadence terdiam, tidak sanggup berkata apa-apa.
***
“Aku tak mengerti. “ ucap Geryon sambil menyilangkan lengan di dada, sebuah tindakan yang mengingatkannya saat ia masih menjadi manusia. “Lucifer tak akan pernah setuju untuk membebaskanku dari... kekuasaannya.”
“Aku meminta padanya, ia setuju. Kau bebas.” Kadence mengarahkan tatapan ke kakinya yang bersendal, tak mau berkomentar lagi tentang masalah itu.
Geryon jadi bertanya-tanya, apa perempuan itu menyembunyikan sesuatu? Sang Dewi tampak lebih pucat dari biasanya. Geryon menyadari, setelah seminggu berlalu tanpa kehadirannya, rona merah di pipi perempuan itu lenyap, bintik-bintik di hidungnya memucat. Ikal-ikal rambut keemasan sang Dewi terkulai lemas di bahu dan lengannya, dan Geryon bisa melihat noda jelaga diantara helaian rambut indah itu. Tangannya sangat ingin terulur, untuk menyisirkan jemarinya di sela-sela rambut itu.
“Bagaimana bisa?” Geryon bertanya lagi. “Apa yang kau berikan untuk menebus kebebasan diriku?”
“Apa itu penting?” sang Dewi mengentakkan kakinya sedikit. “Untuk menyelamatkan dinding, aku butuh bantuanmu. Kau tahu, Lucifer juga tak menginginkannya runtuh.” Jemari sang Dewi memanggilnya. “Kemarilah. Lihat kerusakan yang terjadi disini. Celah ini sudah memanjang sejak terakhir aku melihatnya seminggu yang lalu. Dan akan terus membesar hingga batunya terbelah dua. Saat itulah, legiun iblis bisa memasuki dunia manusia.”
Kemana saja kau seminggu ini? batin Geryon, tapi tidak sanggup untuk mengatakannya. “Kalau aku melakukan ini... membantumu...” bisiknya.
Sang Dewi masih tetap tak berbalik. Jari lentiknya asyik menelusuri celah bercabang yang membentuk retakan-retakan kecil, mirip sungai kecil yang mengalir dari sebuah lautan yang bergelora. “Ya?” tapi desah napasnya terdengar keras saat dia berucap.
“Aku akan mendapat imbalan? Lebih nikmat dari yang kemarin?” Geryon membayangkan tubuh mulus sang Dewi, telanjang, berada dalam pelukannya. Dengan kelamin mereka saling bertemu dan menggesek. Oh, betapa nikmatnya.
“Ya.” Sang Dewi menjawab tanpa ada keraguan. Masih tetap mendesah keras.
“Kalau begitu baiklah. Kuterima.” Geryon mengangguk. “Aku akan membawamu ke Neraka, Dewi.”
Sang Dewi meliriknya sekilas, dan sekali lagi memalingkan pandang darinya. “Kalau begitu, ayo kita mulai bekerja.”
Dan mereka pun menghilang menuju bagian dalam Neraka...
END
By: Iisamu Takeo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar