Yanti |
"Aku ga perlu masuk ke dalam!" dia memotong. "Aku udah kapok ama kamu, setan! Lihat apa yang aku punya!" Yanti meraih tasnya, membukanya, dan mengeluarkan pen pendeteksi uang palsu.
Dia meletakkan tutup di giginya, dan mengeluarkan pena itu. Dia bekerja dengan cepat, dia memindai empat belas lembar cepekan, dan duduk kembali tanpa bilang apapun. Empat belas tanda benang pengaman di empat belas gambar duit cepekan.
"Kenapa?" dia bertanya dengan kasar. "Mengapa Om kasih aku uang?"
"Sebab Om ehm. ..aku.."
"Karena aku tidak bisa tidur di malam hari berpikir bagaimana aku bikin kacau hidup Yanti!" katanya sinis. "Jadi sekarang aku mau beli hati nurani sehingga ngerasa lebih baikan diri sendiri! Asu, ngentot!" dan dia melemparkan lembaran-lembaran itu kembali wajahku. "Yanti ga pingin ‘uang rasa bersalah’ dari Om!"
"Ya, aku akui, aku merasa bersalah tentang apa yang om lakuin," kataku. "Tapi juga lebih dari itu. Om tidak bermaksud menyakitimu. Aku tidak bermaksud untuk menyebabkan kamu menderita dengan cara yang kamu lakukan. Aku hanya bersenang-senang, hanya main-main guyon sedikit, tapi ternyata kelewatan. Aku ga pernah bayangkan jadinya berakhir seperti ini. "
"Sialan! Bajingan pembohong!"
"Aku sumpah, jika aku bisa kembali dan membatalkan apa yang udah terjadi, aku akan lakukan... Tapi aku ga bisa. Aku tidak pernah bermaksud nyakitin kamu, aku gak pernah maksudkan agar kamu kehilangan bayi, dan aku minta maaf. Aku sangat, sangat nyesal. "
Dia tak bilang apa-apa, hanya menatapku dengan mata kelam, dan jam menonton air mata di pipiku.
"Sini," kataku, sambil menyerahkan uang. "ini yang bisa om lakukan buat coba menebus yang udah terjadi padamu. Maafkan aku, maafin om ..."
Dia mengambil uang, dan menaruh itu di dipan, dan terus menatapku, tak bilang apa-apa. Aku melihat ke matanya, dan ia balas menatapku, tak satu pun dari kami omong apa-apa, hanya melihat ke dalam mata masing-masing, dan melihat air mata menetes.
"Aku sudah kembali di sini mungkin, ahhhh ... Dua lusin kali sejak aku meninggalkanmu malam itu," aku mengakui. "Kadang-kadang aku dapat kesempatan berhenti, dan selalu berhenti di sini di pangkalan truk dan coba nyari kamu."
"Aku ada di penjara.... Taik!"
"Aku tahu sekarang. Aku mau panggil di radio CB, dan dengarkan apakah kamu ada di pangkalan ... Tapi kau gak ada. Aku udah tanya semua cewek yang ngider disisni kalau mereka lihat kamu .. Tapi ga ada. Aku nelepon Bunga Seroja buat ngecek apakah kamu ada di sana, tapi mereka bilang kamu gak kerja di sana lagi. Aku malahan ke mini-mart pas setelah Lebaran, siapa tahu kamu ada disana. Om udah kaya gila nyariin kamu."
Yanti duduk di sana diam, menatapku, menusuk jiwaku dengan mata kecoklatan yang dalam.
"Aku pergi ke mini-mart, dan tanya apakah mereka pernah melihat gadis muda, cantik, berambut kecoklatan dengan bayi baru lahir, tapi mereka gak pernah lihat."
"Mengapa Om cari saya?" tanyanya dengan tenang. "Kenapa?"
"Karena aku merasa seperti sampah untuk apa yang telah aku lakukan padamu. Itu memang gak bener aku memberikan uang palsu, dan mestinya aku gak gitu. Aku tinggalkan sini hari besoknya, pergi ke Bandung, dan pikiranku gak bisa lepas dari kamu. Aku nyetir berjam-jam dengan CB dan musik selalu dimatiin, dan selalu mikir tentang kamu, dan apa yang sudah om lakukan. Om hanya ingin betulin, dan minta maaf ama Yanti. . Om gak sengaja udah ngancurin hidup kamu. Sepertinya kamu benci banget pada om, aku ngerti sebabnya, dan aku gak menyalahkan kamu - aku juga benci diri sendiri juga. Aku gak bisa memaafkan diri sendiri atas apa yang aku lakukan padamu. . "
Aku lihat hook kirinya menerpa sudut mataku, tapi aku tidak cukup cepat. Bletakk! Tamparan lain mendarat ke pipi kanan, dan yang satu ini menyakitkan. Kuletakkan tanganku ke wajahku, dan ketika aku tarik kembali, ada noda darah di jari-jariku.
"CUKUP, sialan loe!" Aku berteriak, kudorong dia kembali ke tempat tidur.
Aku berdiri di atasnya, kemarahanku mulai mendidih. Dia tidak bilang apa-apa, tapi menatap ke arahku dengan pandangan bersalah karena telah menyiksa orang secara fisik.
Semenit berlalu ... Dua ... Tiga ... Kami berdua saling menatap, tidak bilang sepatah kata pun.
Akhirnya, dengan berbisik pelan dia berkata, "Yanti udah maafin Om."
"Apa?"
"Aku bilang Yanti udah maafin. Kukira om gak bermaksud nyakitin sayanya, mungkin aja itu cuman guyon yang keterlaluan, aku maafin kok."
Aku jatuh kembali ke tempat duduk, dan air mataku meleleh.
"Ini," katanya, menyodorkan lap. "ambil nih."
"Terima kasih," kataku, aku mulai menyeka mataku.
"Gak disitu, pipinya," sambil mengambil kain itu kembali. "Om bedarah."
Dia menaruh kain di pipiku, tapi aku tanpa sadar mengelak waktu tangannya mendekat.
"Aku gak akan mukul om," katanya. Dia mulai menyeka darah dari wajah saya, dan berkata, "Maaf aku bikin muka om luka. Harusnya aku gak mukulin Om, Yanti gak biasa aja orang yang minta maaf ama Yanti."
"Gapapa," kataku. "Aku layak dapat begitu."
"Gimana tangannya?"
Aku melihat ke bawah, tanda gigitan sudah hilang, tapi ada memar kecil yang mungkin perlu waktu dua minggu untuk sembuh. "Gak apa-apa," kataku. "Aku masih hidup."
"Om tahu, ada agak lucu."
"Apa yang lucu? Om berdarah lucu?"
"Bukan, bukan itu. Yang lucu, satu-satunya laki-laki yang main ama Yanti selagi hamil, orang yang main seks dengan Yanti sebelum masuk penjara, adalah orang pertama yang pingin main seks dengan Yanti waktu keluar penjara, "katanya.
"Aku berani taruhan kamu juga benar-benar pingin ketemu aku lagi, kan?"
"Anggap aja Yanti ada perasaan macem-macem," dia tersenyum. "Aku ingat betapa baiknya Om ama Yanti, dan gimana Om bikin Yanti nyampe kenceng banget, dan kemudian Yanti ingat kenapa masuk penjara, dan ... Aah ..."
"Yah ... Aku. .. Ahhh ... Gak manggil kamu ke sini malam ini untuk main seks," Aku tergagap. "Aku cuma ingin minta maaf ama kamu. Kupikir kamu gak ingin ada hubungan lagi dengan aku setelah itu."
"Om gak mau lagi main ama Yanti?" dia bertanya tak percaya. "Kenapa? Sekarang Yanti tidak hamil, Yanti gak menarik?"
"Bukan .. Ya ... Enggak .. Maksudku ... Ya ..."
"'Ya' atau 'Tidak' – Om mau main seks dengan Yanti ya nggak?"
"Iya, tentu saja!"
John |
"Jadi kesini dong om," katanya, ia menggeser kembali ke tempat tidur. "Sinih ... Ngomong-ngomong, siapa nama asli Om?"
"John," kataku.
"Ya, aku ingat Om bilang namanya Randy, dan itulah yang aku bilang kepada penyelidik, tapi aku juga ingat bahwa Om bilang namanya Ricky, dan yang lain lagi... Robby, ya kan?"
"Ronny, kalee."
"Ya gitulah. Jadi, John nama asli Om?"
Aku berdiri dan merogoh dompetku dari saku belakang. "Ini di sini," aku bolak-balik SIM-ku, "Lihat aja sendiri."
"Johny Ananda, Kelurahan Samaan, jalan Mawar Nomor XXX, Malang, Jawa Timur. "Dimana itu Samaan?"
"Malang kota, deket kuburan," kataku. "Tidak terlalu jauh dari kuburan umum atau pasar jalan Tawang Mangu."
"Tidak, aku belum pernah ke Malang."
Kuletakkan dompetku kembali, duduk di tempat tidur, meraih botol kecilku 'Vitamin V', dan dia bertanya "Viagra?"
"Uhhh ..." Kataku. "Mungkin ... Jadi kenapa kalo ya?"
"Coba lihat," kata Yanti, saat ia mengambil botol dariku. Dia membaca labelnya diam-diam, dan mengembalikannya.
"Bagus!" katanya sambil tersenyum. "Sekarang Om telen Viagranya, karena Om pasti perlu sekarang!"
"Hah?"
"Aku belum pernah main setelah ama Om enam bulan yang lalu, dan aku harus tebus semua malam ini. Om ada kerjaan berat yang harus dilakukan malam ini, MBAH!" katanya sambil nyengir.
"Aku tak tahu apakah aku ..."
"lakukan seperti terakhir kali, dan Om akan oke-oke saja!" dia tertawa.
Aku menaruh satu pil biru kecil di bawah lidahku, dan merasa pil itu larut di mulut, Yanti menarik kaus luarnya dari atas kepala, dan membuka bra-nya, membiarkan pegunungan susunya bergantung bebas. Ukurannya tidak sebesar seperti yang kuingat, tetapi sama-sama mengesankan. Aku melepas sepatu dan kaus kaki, menarik bajuku dari atas kepala, dan turunkan celanaku ke lantai. Aku Burungku berdenyut, berkedut menunjuk ke depan, karena ingat kesenangan yang pernah diberikan oleh tubuhnya yang indah. Terlentang kembali di dipan, dia mencopot sepatunya, menarik kaus kakinya, dan buka retsletting celana jeans-nya. Mengangkat pinggul, dia menarik lewat kakinya yang panjang. Dia terlentang kembali, berpakaian hanya CD biru tua, yang perlahan-lahan dicopot sehingga kelihatan semua di mata saya.
"Sinih," bisiknya.
Aku pindah, dan menciumnya di bibir. Waktu wajahku mendekati wajahnyanya, dia menggeser wajahnya ke samping sehingga aku mencium pipinya. Aku mencium pipinya, lehernya, dan dadanya. Aku bergerak perlahan ke gunungan payudara, dan menggeser lidahku di puting sampai memuai dan menonjol munjul dari payudaranya.
"Emmmmmh ..." lenguhnya lirih. "Emmmmmh ..."
Aku terus mencium dan menjilat puting, bergantian antara mengemut dengan bibirku, dan meniup-niup udara dingin di atasnya. Matanya kelihatan melamun, terlihat setengah terbuka, dan aku tahu dia menikmati. Aku perlahan-lahan bergerak ke bawah, mencium dan menggigiti perutnya yang datar, perut bagian atas, dan bagian atas pahanya. Aku ingin melihat cukuran yang rapi, tapi ternyata telah berganti dengan hutan tebal, gelap dan berbulu kusut. Aroma vaginanya memabukkan, dan aku menggerakkan wajahku di antara kedua kakinya yang terbuka lebar.
Aku tiup lembut di vaginanya, dan dia mengerang lembut. "Ahhhhh ..." Klitorisnya menyembul, minta untuk diisap, dan bibir vaginanya mulai membuka seperti kelopak bunga yang sedang mekar.
"Jilat memeknya om," dia memohon.
"Hmmmm ..." aku bilang, menikmati efek yang aku ciptakan pada dirinya. "Aku gak dengar."
Dia tak bilang apa-apa, tapi menaruh tangannya di belakang kepala aku dan mencoba untuk menarik wajahku ke dalam vaginanya yang manis. Leherku kubuat kakudan menolak, sambil aku meniup udara dingin ke klitorisnya.
"Ohhhhh ..." lenguhnya memanas. "Jilat memeknya om, cepetan!"
Kukeluarkan ujung lidahku, dan sedikit menyentuh klitorisnya. Dia terlompat seperti kena kejutan dan mengerang, "oooohhhhhh ..."
Tangan Yanti mengelus bagian belakang kepala, dan aku menggerakkan wajahku ke depan sedikit, dan bernapas dalam aroma harum cairan yang manis. Aku menggeser lidahku keatas dan ke bawah di alur celah sempitnya, dan aku dengar ia mengeluh, "Enngghhhh ..."
Aku menjilat celah itu ke atas dan ke bawah, dan mengaduk lidahku diatas bibir vaginanya yang seperti karetnya. Rasanya luar biasa- manis, pahit, asin, dan asam, sekaligus – kompleks, hanya cairan seorang wanita dapat berasa seperti itu. Pinggulnya maju mundur saat aku menjilat vaginanya yang ber-jus, dan sirup mengalir keluar dari vaginanya. Aku menjilat di celah sempitnya, dan terus memperlakukan seperti itu sampai mengalir cairan yang mujarab.
"Ooohhhh ..." aku mendengar dia mengerang. "Enak sekali, yang itu enak bangetsss ..." Aku pindahkan lidahku ke klitorisnya, dan sekali lagi hati-hati menyentuhnya dengan ujung lidah. Dia berkelojot bawahku dan meraung, "Aaaaaahhhh ..."
Aku menyentil-nyentil klitorisnya bolak-balik dengan lidahku di atasnya seperti itu, tubuhnya menggelepar di tempat tidur dan dia memuku-mukullkan tinjunya di kasur. "Aaaahhhhh ..." lenguhnya. "Aaaahhhhh ..."
Aku mengemut klitorisnya yang berdenyut-denyut dengan bibir, dengan lembut kutarik dengan bibirku, dan mulai berdehem lembut. "Hmmmmm ..." ada melodinya, suara bergetar keluar dari tenggorokan dan bibirku. "Hmmmmm ..."
Yanti menggulirkan pinggulnya, tinjunya memukul- kasur, mencoba menarik kepalaku lebih ke dalam, dan menggoyang kepalanya ke kiri kanan. Dadanya naik-turun, susunya terpental-pental, putingnya mencuat lurus ke atas, dan dia mau keluar. Kakinya melingkar di belakang kepala saya, dan dia mnyodokkan vaginanya yang basah ke arahku, sambil mengempit dan mengendorkan otot-otot di pahanya.
"Hmmmmm ..." aku melanjutkan. "Hmmmmm ..."
"Aduuuuuhhhh," Yanti meratap. "Jangan brenti, jangan brentiii. Aku mau keluar, keluarrr, mau keluarrrrrrr.."
"Hmmmm ..." "hmmmm ..." "hmmmm ..."
"Aduuuuhhhh ..." ia berteriak, "Nggghhhh .. Aaaahhhh.."
Tubuhnya menggeliat di bawahku dan aku hanya bisa menjaga bibirku tetap di klitorisnya. Dia berkelojotan dan melengkung ketika orgasme menguasai dirinya, dan aku terus berdehem di atas klitorisnya. Dia meraung, lenguhannya makin keras, dia meracau, tinjunya memukul kasur dalam kenikmatan. Dia memutar pinggulnya dan menjerit keenakan,
"Oooooooohhhhhh ...Nnnggghhhh"
Aku berhenti berdehem di klitorisnya, dan biarkan klimaksnya berkurang. Aku dengar napasnya ngos-ngosan, dan kulirik. Mata Yanti tertutup, dan wajahnya bersinar kepuasan. Matanya perlahan membuka, dan ia menatapku dengan melamun.
"Wih enak banget om!" serunya lembut. "Di mana om belajar?"
Aku menurunkan bibirku kembali ke klitorisnya yang membesar dan memjepit di antara bibir. "Hmmmmm ..." Aku bertanya. "Apa katamu?"
"Aaaaaahhhh ..." lenguhnya pelan, orgasme yang lebih kecil muncul lagi. "Aaaahhh ..."
Aku bikin dia mencapai puncak seksual yang hiruk-pikuk, dan aku buat dia sampai dan sampai lagi hanya dengan berdehem-dehem di atas klitorisnya. Jadi, aku lakukan terus.
"Aaaahhhhh ... Oh Aduh, tolong ..."
"Hmmmmm ...?" aku bilang, menggetarkan bibirku pada klitorisnya yang sensitif. "Apaan?"
"Nngghhhhhh ..." lenguhnya, saat orgasme lain menyelubungi tubuhnya yang berlekuk-lekuk. "... Nnnggghhhhhh... Oooohhhhhh ... Keenaken ommm!"
"Kamu suka? Enakkan? Hmmmmmm...?"
"Ooooohhhhh ..."
Jus manis asin mengalir keluar dari vaginanya, dan aku menggeser lidahku sepanjang celahnya dan menikmati rasa lezat jusnya.
"Ooohhh yaaaahhh, jilat memeknya oommm!"
"Apa? Hmmmmm ...?" saat aku berhenti menjilati vagina lezatnya, dan melanjutkan berdehem pada kelentitnya yang sangat lembut.
"Aaaaahhhhh ... Jangannn brentiii!" dia memohon, tangannya mencoba mendorong kepalaku ke vaginanya.
Aku teruskan permainan kucing dan tikus ini sedikit lebih lama, sampai penisku berdenyut-denyut menuntut perhatian. Aku menyelip di tempat tidur di sampingnya, dan gulingkan dia ke samping, mengangkat, kaki kanan yang panjang dan lentur ke udara. Penisku yang keras menyelip ke dalam vaginanya yang basah dari belakang, aku mulai mengocok masuk dan keluar dari celah hangatnya, jus manis membasahi bolaku waktu jus itu mengalir keluar dari vaginanya yang berasap.
"Ummmmm ..." lenguhnya, "Entotin terus memek Yanti ..."
Yanti menggapai ke bawah dan mulai menggosok klitorisnya dengan jari-jari, membuatnya vaginanya berkedut dan berkejang-kejang.
"Oooohhhh ..." dia mendesah puas, "Entotin, entotin terus, entotin teruss ..."
Kugeser lengan kiriku di bawah lehernya, dan sekitar untuk payudara yang kenyal. Bergantian kiri kanan, aku menggosok teteknya yang berat, lalu kutarik secara perlahan putingnya, sehingga menonjol putting-putting itu. Yanti dengan lembut mencium lenganku sambil aku bermain dengan susu yang besar, dan ia melenguh
"ooooohhh yeahhhhh, entotin Yanti, biarin akunya keluar, biarin sayanya keluarrr ..."
Aku terus menggoyang penisku masuk dan keluar dari celah sempitnya yang dilumasi, menikmati rasa vagina panas dan lembabnya yang kejang-kejang menggenggam penisku. Aku melihat ke matanya, dan ia menatapku dengan pandangan yang lebih dari sekedar nafsu ... Lebih hangat, melihat lebih dalam.
"Emmmmmmh ... Om bikin Yanti keenakan!" serak suaranya penu dengan gairah.
Bolaku mulai jadi tegang, dan kurasakan orgasmeku mendekat. "Aku mau keluar lagi," lenguhnya, "Aku keluar!"
"Hhhhhh ..." Bisikku di telinganya. "Kerasa aku keluar ..."
"Lailah, Lailah, aku keluar, entotin, entotin terus ..."
Vaginanya mulai mengepal-ngepal, menggenggam berkejut-kejut sepanjang penisku, dan aku merasa otot-ototnya meremas batangku. Yanti berhenti bermain dengan klitorisnya, dan menggerakkan tangannya ke kantung bolaku. Dia membelai di tangannya dengan lembut, dan aku mengerang waktu aliran benih panas memancar keluar dari kepala penisku ke vaginanya yang basah. Kedutan lain datang dan banjir air mani menggelontor berkedut-kedut. Muncrat lagi, lagi dan lagi sampai bolaku menguras semua isinya ke dalam vaginanya yang panas. Aku dengan lembut menurunkan kakinya, dan kami berdua berbaring di tempat tidur, keringat membasahi tubuh, dan burungku yang masih keras berendam dalam vaginanya yang basah dan hangat. Lenganku otomatis memeluk tubuhnya, menariknya lebih dekat, dan dia merapat ke badanku, matanya tertutup. Aku membuka ventilasi, dan merasakan aliran udara dingin malam atas tubuh kita kepanasan. "Aku akan berbaring di sini hanya sebentar dan istirahat," aku berpikir sendiri. "Hanya satu atau dua menit ..."
####################
Berkedip mataku, bisa kulihat awal hari melalui kaca jendela. Lenganku memeluk tubuh Yanti, tangan menangkup susu kirinya, dan penisku menempel di pantatnya. "Jam menjunjuk 05:51" di radio AM / FM.
"Hanya satu atau dua menit ..." aku berpikir sendiri.
Aku duduk, dan Yanti mulai mengulet. Dia bangun agak bingung, melihat saya. "Kita ketiduran kali ..." Aku mengangkat bahu.
Yanti menatapku aneh, dan kubayangkan dia mengingat ulang malam tadi di kepalanya, dan coba untuk memahami mengapa dia ada di sini sekarang, dan terutama karena ada saya.
"Aus," dia bergumam mengantuk. "Ada minuman?."
Aku tersenyum padanya, buka pendingin, mengambil sebotol jus jeruk, memutar atasnya dan menyerahkan padanya.
"Makasih," katanya, meneguk banyak. Dia menelan, meneguk lagi, lagi, dan lagi, dan akhirnya berkata, "Jam brapa?"
"Hampir jam enam," kataku. "Kita sedikit tidur siang."
Dia mengangguk setuju, dan terus menatapku. Setelah beberapa saat dia berkata "John?"
"Ya?"
Puas bahwa dia dapat dapat namaku yang benar, katanya, "John, kamu hari ini sibuk?"
"Tidak," kataku. "Trailer ini tidak ngangkut sampai hari Senin, trus aku kembali ke Jatim. Kenapa?"
"Maukah om nolongin Yanti?" dia bertanya.
"Apa?"
"Ada beberapa tugas yang belum kelar, aku butuh tumpangan. Maukah om bantu Yanti, ayo dong?"
"Tentu saja," kataku. "Aku akan antar trailer ini ke tempat drop, dan aku libur akhir pekan."
"Terima kasih," katanya. Dia duduk di tempat tidur, dan mengerenyitkan hidung kecilnya yang lucu. Menggapai ketiak, dia menghirup melalui hidungnya, dan berkata, "Wheeehhh, bau! Aku perlu mandi." Dia lihat kearahku, mengendus lagi dan bilang, "Om juga bau! Om perlu mandi."
"Tau gak," kataku. Mari kita parkir trailer ini, dan aku cari kamar hotel. Kamar mandi di perhentian bukan dirancang buat mandi panas yang enak, dan kita butuh mandi begitu. Gimana oke? "
"Oke," katanya.
Saat ia bergerak untuk berpakaian, lengannya menyenggol meja, dan uang yang kuberikan tadi malam jatuh ke lantai. Kami berdua berhenti dan melihatnya.
Yanti tidak bilang apa-apa - hanya terus melihat uang itu. Akhirnya, ia menggapai ke bawah, mengambilnya, dan mengatur lembaran-lembaran itu dengan rapi. Dia mengambil seratus ribuan tiga lembar dari dari gepokan itu, dan tangan sisanya dikembalikan ke saya.
"Nih," katanya.
"Nggak," kataku. "Ini milikmu semua, simpan."
Dia melihat tas Bank kecil tempat aku menyimpan uang, menaruh lembaran sisanya di dalamnya, dan menyerahkan padaku. "Ini."
"Simpan aja," kataku. "Aku utang padamu ..."
"Aku ambil tigaratus, itu saja utang om," katanya. "Udah impas."
"Oke kalau begitu," kataku sambil merogoh tas dan menarik keluar sekitar lima lembar lagi, "gimana tadi malam?"
"Gratis," dia tersenyum. "Di rumah. Aku napsu banget, kalo ada orang mati ato kambing hidup Yanti entotin!"
"Uuuu, mesum!" Aku menyeringai, saat aku menaruh tas kembali di tempat yang tersembunyi.
Dia tersenyum dan menggeleng. "Waah!"
Kami berpakaian, dan aku keluar dari perhentian truk. Sebuah perjalanan singkat dan kami berada di tempat ngedrop. Aku memarkir trailer, dan mengirim pesan biasanya. "Jemput Senin, kirim ke Cilegon kapan saja sebelum Jumat tengah malam," kembali sms beberapa menit kemudian.
"Baiklah," kataku. "Aku mau pulang!"
Aku berjalan menuju Jalan besar, dan kulihat sebuah hotel. Banyak ruang parkir truk, dan kelihatannya sangat oke.
Kami masuk ke parkiran hotel yang cukup bagus. Aku menaruh beberapa pakaian bersih di tas saya, dan kami berjalan ke lobi dan mendaftar. "Apakah Anda dan putrinya perlu kamar terpisah?" petugas front office bertanya.
"Putri?" aku berpikir sendiri, "Apakah kita benar-benar terlihat seperti ayah dan anak?"
"Tidak," kataku. "Tempat tidurnya yang terpisah aja."
"Kamar 423," menyodorkan kartu kunci. "Lantai atas, sisi barat. Terima kasih tinggal bersama kami."
"Ayo, Ayah!" dia cekikikan saat ia meraih tanganku.
Kami naik lift ke lantai atas, menemukan ruang, dan berjalan masuk. Sebuah kamar yang luas, hotel bergaya khas. Dua tempat tidur king size, TV, sofa, meja, dua kursi, dan pintu kaca geser yang mengarah keluar ke balkon kecil.
"Kau dulu," kata Yanti. "Perlu waktu lama. Aku cukur saat kamu mandi," sambil ia duduk di tempat tidur dan mencopot sepatu dan kaus kaki.
"Oke," aku menaruh tas mandi aku di meja cuci muka. "Ini barang-barang saya, pake dulu."
Dalam sekejap mata, Yanti mencopot bajunya, bra, celana jeans-nya, dan berdiri di depanku hanya memakai celana dalamnya. Dia membuka tas, dan ambil pisau cukurku dan krim cukur. Dengan halus ia mengangkat satu kaki panjangnya ke atas meja dan mulai memoles krim cukur di selangkangannya, sambil menyeimbangkan badannya yang anggun di sisi lain seperti angsa. Menutup pintu kamar mandi, aku melepas pakaian, dan duduk di toilet untuk buang air pagi hari. Saat aku duduk di sana, aku berpikir tentang apa yang aku lakukan padanya, dan bagaimana dia memaafkanku. Aku ingin mengenalnya lebih baik, tapi aku ingin tahu bagaimana perasaannya terhadapku. Aku menyeka, menyiram, membuka shower, dan perhatikan dengan senang bahwa pancuran itu ada unit pijatnya. Tidak ada yang lebih enak dari pada mandi dengan pijat air membuat aku merasa lebih segar. Aku menyesuaikan suhu – setelah pas, masuk. Aku mandi busa, bilas, shampo rambut, dan mencukur jenggot di wajah dengan pisau cukur sekali pakai yang telah disediakan hotel. Beralih dari 'Spray’ ke Massage’ mulai aliran air berdecit-decit, dan aku berbalik dan membiarkan jet air memiijat pangkal leher saya. Pijatan mandi melemaskan badanku, dan aku berdiri di sana, membiarkan jet berdenyut airnya memukul-mukul leher dari bahu atas. Kurasakan perubahan suhu cepat di udara dalam ruangan, dan kudengar pintu ditutup, tapi aku terlalu asik dalam pijatan jadi tak banyak memperhatikan. Toilet menggerojog, pintu kamar mandi terbuka dan menutup dengan cepat, dan air berhenti mengalir di atasku. Aku berbalik, dan Yanti berdiri dengan punggung ke saya, dengan semprotan mengucur di badannya.
"Ini," ia menyodorkan lap berbusa. "tolong gosok punggung."
Aku mengambil kain lap, dan mulai menggosokkannya di punggungnya. Bahunya, punggung atas dan bawah, napasku sedikit jadi lebih cepat. Aku menggosokkan lap di pantatnya yang bulat dan busanya melicinkan gosokanku. Perasaan sensual menggosok tubuh basah dan kulitnya yang bersabun menyebabkan burungku membengkak. Dia mundur ke tubuhku wakru menyemprotkan air di dadanya, kurasa burungku yang tegak menusuk di pantatnya, ia genggam dengan lembut dan berkata pelan, "apa ini?"
Aku tak bilang apa-apa saat ia dengan lembut menggosok penisku yang bengkak di antara bongkahan pantatnya yang berbusa sabun, dan perlahan-lahan ia memutar pinggulnya dengan lingkaran kecil.
"Aku gak melihat om telen Viagra hari ini," katanya pelan. "Om pasti menyukai Yanti!"
Kupindah tanganku ke perutnya, dengan lembut kutekan ke badanku. Tangannya melingkari leher saya, dan menarik perlahan wajahku ke lehernya. Aku pelan menyondol dan menggigiti daerah sensitif lehernya saat tanganku berkeliaran di atasnya. Aku merasa payudara nya yang penuh menggantung, mengangkat dan memijatnya dengan jari-jariku. Aku menggeser tanganku turun dari payudara ke perutnya, merasakan tubuh sensual itu. Saat aku menggosok tanganku di atas puncak paha dan pangkal paha, aku melihat sesuatu yang berbeda - sesuatu yang hilang.
"Seneng yg ini?" bisiknya. "Aku cukurin." hutan lebat sebelumnya sudah hilang, meninggalkan cukuran Mohawk yang dipangkas dari bulu-bulu subur di tempatnya.
"Ya, seneng bangettss!"
Saat aku menggosok tanganku di atas paha dan pangkal paha, dia menyelipkan tangannya ke bawah saya, dan dengan lembut menggosok klitorisnya yang menonjol. Aku tidak perlu dorongan, aku mulai dengan mudah memijat tonjolan agak keras itu dengan jari-jariku. Yanti mendesah puas, dan terus menggosokkan pantat kenyalnya ke penisku. Dia membungkuk ke depan sedikit, bersandar ke dinding kamar mandi dengan satu tangan, dan dengan tanganya yang lain menggapai dan menggenggam batang saya. Dia mendorong pinggulnya ke belakang, dan aku merasa palkonku memasuki liang yang sesak dan hangat.
"Pelan-pelan," erangnya parau. "Jangan nyakitin memekku."
Aku menggosok klitorisnya dengan jari-jariku, kurasakan penisku di sana. Baru sadar aku di mana penisku, dan aku menyukai rasa yang berbeda berada di dalam celahnya dengan berdiri. Aku hati-hati menggerakkan penisku ke depan sedikit, dan merasakan perlawanan ketat atas tusukanku. Perlahan-lahan aku menggenjot penisku yang berkedut-kedut dalam dirinya, pelumasannya sangat alami yang mempermudah jalan di dalam vagina basahnya - dan rasanya sedikit sakit. Aku menyelipkan tanganku yang lain di gunung payudaranya, dan menggosok putingnya, membuat dua putting itu berdiri keluar dari payudara kenyalnya. Aku menggerakkan tanganku sampai lehernya dan mengelus pipinya, kemudian tanganku bergerak di depan mulutnya, dia mencium jari-jariku. Tanganku berpindah kembali ke dadanya, dan menggosok payudaranya yang fantastis dengan puting kerasnya. Perlahan-lahan aku berusaha menggesek seluruh panjang batang penisku dari belakang lalu berhenti. Jemariku terus mengulek dan mengobel klitorisnya yang berdenyut-denyut bersamaan dengan daging payudaranya, membuatnya mengerang keenakan,
"Ummhhh ... Rasanya sedap banget!" Aku menyelipkan jari tengahku ke dalam bibir vaginanya yang menggetar dan lezat. "Ohhhhh!" dia mendesah, saat tubuhnya sedikit bergidik. "Ohhhhh yaaahhh!"
Jariku mencari dan menemukan daerah kecil di dinding vagina lezat nya, dan mulai memijat tempat itu. "Laa ilaaah," erangannya lantang, "Jangan brenti! Ohhhhh ... Jangan brenti!"
Vaginanya berkontraksi dan berkedut di jariku, dan jusnya menetes dari vaginanya yang lezat saat aku menggosok telapak tanganku di atasnya klitorisnya yang tegak dan bergerak-gerak. Burungku bisa merasakan jariku yang bergerak masuk ke dalam lorong surga itu, sensasinya luar biasa. Aku menarik tubuhnya merapat kedekatku, dan dia menjerit kesenangan,
"Ouhhhh ... Ya di sana, gosok memeknya, ohhhhh ... Teruss jangan brenti!"
Otot vaginanya mengepal-ngepal pangkal penisku, dan otot-ototnya meremas dari bawak ke atas dan ke bawah sepanjang batangku. Jariku membelai G-spot, telapak tanganku menggosok klitorisnya yang sensitif, dan Yanti meratap keenakan.
"Ohhhhhh ..." dia melolong. "Ohhhhh ... Terusss, jangan berenti ... Aku mau keluar, aku mau keluar, ohhhhhh ..." saat itu ia mendorong pantatnya ke arahku. "Ohhhh ... Aku keluar, aku keluar om ..."
Genggaman vagina dan ototnya meremas penisku saat aku terus memijat vaginanya yang basah. Kurasakan tubuhnya gemetar dan vaginanya kejang-kejang. "Aaaaaaahhhh ..." dia meraung, memukul-mukulkan tangannya di dinding kamar mandi. "Aaaaaahhhh ..."
Sewaktu klimaks Yanti berkurang, aku terus memindahkan jariku di dalam lorong manisnya. Aku memindahkan ujung jariku ke kepala penisku, dan itu menyebabkan mulainya orgasmeku sendiri.
"Ahhhh ..." Aku mendengus. "Aku keluar!"
Karung bolaku berkontraksi, perasaan sesak yang sangat kukenal, dan tusukanku jadi berdenyut-denyut waktu semburan air mani keluar dari ujungnya ke dalam liang yang menggenggamnya dengan kencang. "Ihhhh ..." Aku mengerang tak berdaya. "Ohhhhh ..."
"Aaaaahhh ..." Yanti meratap waktu orgasme lain datang membuatnya mengejangkan tubuh seksinya keenakan. "Aaahhhhh ... Enaaaaak, mmmm, ahhhhhh ..."
Ada pancuran hangat keluar dari kepala penisku, yang berdenyut, membanjiri pantatnya dengan air maniku. Semprotan demi semprotan membasahi perut saat liangnya penisku, otot-ototnya bergetar dan bergerak-gerak di penisku yang berdenyut. Bolaku menghabiskan isinya ke liangnya yang ketat, dan terus memompa dengan kacau sampai benar-benar terkuras. Waktu klimaks kami perlahan-lahan berkurang, kami berdua berdiri, terengah-engah, dan merasakan semprotan air hangat di tubuh. Yanti perlahan berdiri tegak, dan penisku yang lemas keluar dari liangnya. Dia berbalik dan melingkarkan lengannya di leherku, dan dengan lembut mencium pipiku.
"Uh, enak banget!" katanya. "Aku tidak pernah nyampe begitu sebelumnya. Belajar dimana om? Dan yang tadi malam sambil bersenandung?"
"Udah sedikit latihan," aku tersenyum.
"Om bisa latihan ama saya aja nantinya!" katanya sambil tersenyum.
Kami berbilas, melangkah keluar dari kamar mandi, dan berhanduk kering. Aku ganti pakaian bersih, Yanti mengambil pakaian yang sudah dipakai, menghirup, dan mengeriputkan hidungnya yang lucu karena jijik. "Wheeeh ... Aku benci pake pakaian kotor sesudah mandi!"
"Aku punya kemeja kamu bisa pakai," aku menawarkan. "mungkin sedikit kebesaran, tetapi kalo kamu mau ..."
"Iya dong"
"Ada di dalam truk, aku segera kembali."
Aku ke lift ke lantai bawah, naik ke truk, dan menemukan celana pendek dan kemeja putih lengan pendek berkancing. Saat aku berjalan ke kamar, dia menaruh telepon.
"Aku menelepon kafe, tapi terlalu pagi, gak ada siapa-siapa di sana. Aku menelepon Tifa, salah satu penyanyi yang aku tahu dari Seroja, dia bilang mereka mungkin akan kirimin aku gaji terakhir Yanti. Kantor pos bilang mereka ada setumpuk surat yang telah dikumpulinbuat saya, dan mereka buka sampai siang. Aku nelpon yang punya kos, tetapi jawabannya cuma inbox semua. "
"Wow," seruku. "Cepat, efisien, dan lengkap! Kamu akan jadi seorang seorang sekretaris yang baik!" Aku menyeringai.
"Om kaget kalo tahu aku bisa macam-macam 'Om Senang'," dia menyeringai balik. "Apaan tuh?" sambil menunjuk ke tanganku.
"Pembantu," kataku. "boxers. Aku pakai ukuran empat puluh, dan kukira cocok ..."
"Aku ukuran tiga puluh enam, tahu gak!" ia menyela, cemberut menghias wajahnya.
"Gede," tambahku buru-buru, "terlalu besar dan ... Wah ... Baggy ke kamu, dan kamu harus penitiin. Kau jauuhhhh ... Lebih kurus dari aku, dan kamu akan ..... "
"Cukup," dia tersenyum. "Aku ngerti."
Dia menemukan peniti di tas toilet punyaku, dan bikin celana pendek jadi lebih kecil. Yanti menghilang dari pandangan di sudut sambil aku duduk di tempat tidur dan menyalakan TV. Ketika ia muncul lagi, dia nampak cantik banget. Rambut hitamnya yang panjang lepas di belakang diikat, dan meskipun dia tidak pakai make up, Yanti terlihat sangat cantik. Dia mengenakan kemeja, bagian bawahnya diikat bersimpul, perutnya yang rata sedikit kelihatan. Dua kancing atas dibuka, memberikan intipan pada payudaranya yang mulus. Dia tidak mengenakan bra, dan aku hanya bisa melihat areola gelap melalui katun kemeja putihnya. Celana jeans di pinggulnya mencetak sempurna bentuk badannya yang langsing.
"Om suka?" saat ia melangkah di depan cermin, memutar dari sisi ke sisi, dan ia lihat bayangannya sendiri.
"Ya, sangat suka!"
"Aku kelihatan gemuk," ia mengerutkan kening. "Pinggul aku besar."
"Kamu cantik luar biasa," kataku. "Kau tampak sempurna!"
Yanti tersenyum mendengar pujian itu, dan menoleh padaku. "Siap? Yuk kita pegi."
Aku membuka pintu dan dia naik dalam truk. Aku memanjat, menghidupkan mesin, dan dia bertanya, "Om tahu jam berapa sekarang?"
"Sembilan tujuh belas," kataku sambil melirik jam di radio.
"Aku lapar. Kita ada waktu, Yuk kita cari sarapan!"
"Ide bagus," kataku. "Yok kita pergi!"
Di sisi seberang jalan aku lihat 'Simpang Empat’, aku arahkan ke sana, dan memarkir truk. Aku buka pintu, dan ia melompat keluar dan meraih tanganku. Kami berjalan ke restoran, dan mengambil tempat duduk di sebuah bilik.
"Kopi?" meminta pelayan saat ia bawa menu.
"Ya, silakan," kataku. "Nggak, terima kasih," kata Yanti. "Aku pingin segelas jus jeruk, dan es teh besar."
Kami pelajari menu, dan Yanti bertanya aku mau apa. "Mungkin telur dadar." Jawabku. "gimana kamu?"
"Aku tak tahu," katanya. "Aku lapar."
Pelayan datang kembali dengan minuman kami, dan bertanya "Apakah bapak dan putrinya udah siap pesan?"
"Putriku," pikirku. "Mengapa semua orang pikir dia putriku?"
"Apakah udah siap, Ayah?" Yanti tertawa.
"Telur dadar, bubur ayam, roti," kataku. "dan kamu, putriku sayang?"
"Aku makan orak-arik telur, ama roti."
"Aku gak lihat," kataku, melihat ke menu. Pelayan menunjuk sambil menulisan dengan pennya. "
"Empat telor "tulisnya. "Empat telor, bubur ayam, sosis dua batang, roti panggang. Tiga krupuk udang, tiga tahu isi, dua tempe goreng, dua bakwan, sambel. Ini jadi sarapan berselera tinggi."
"Marinir aja makan gak sebanyak itu!" Seruku waktu pelayan ke dapur dengan pesanan kami. "kamu laper atau apaan?"
"Aku gak makan bener udah enam bulan, bapaak!" katanya tajam. "Ingat di mana aku kemaren?"
"Oh ya," kataku. "Maaf ... Lupa."
"Penjara kasih makannya gak bener, rasa makannya kayak sampah," katanya, agak ketus. "Mungkin gak bisa disebut makanan!"
"Maafin, aku gak bermaksud bikin kamu sedih."
Percikan kemarahan menyala di matanya kecoklatan, tapi segera digantikan oleh sesuatu yang lain, tak bisa aku katakan apa. Sarapan kami tiba, dan kami membicarakan sarapan, obrolan ringan tentang kehidupan. Aku menceritakan bagaimana aku bergabung dengan Angkatan Laut langsung dari perguruan tinggi, kerja dua puluh tahun, dan keluar dengan pensiun yang cukup layak. Aku bilang aku menikah tanpa punya anak dan cerai delapan belas tahun yang lalu. Aku menghabiskan sebagian besar hidupku di laut, dan tidak pernah menikah lagi. Aku menjelaskan bagaimana aku mulai mengemudi truk sejak empat tahun lalu, karena aku ingin melihat beberapa tempat sebelum menetap. Yanti menceritakan kisah yang jauh lebih menyedihkan, dari rumah tangga miskin dengan ibu pecandu obat dan ayah yang kasar. Dia menceritakan bagaimana dia meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke perguruan tinggi, dan mulai menyanyi untuk membantu membayar biaya kuliah. Setelah lima semester kuliah, ia jatuh ke dalam perangkap tawaran industri hiburan malam, dan entah bagaimana ia tidak pernah berhasil kembali ke perguruan tinggi. Dia cerita bahwa dia berganti-ganti pacar, pasangan, cinta satu malam yang semuanya punya kesamaan - mereka semua memperlakukannya seperti sampah. Aku tidak termasuk didalam daftarnya, tapi hal itu tidak membuatku senang. Pelayan membawa tagihan, dan mengambil piringku. Aku melihat ke meja, dan lihat Yanti telah membersihkan semua yang ada di piring nya! Dia sudah makan semua kecuali dua batang sosis yang ada di tengah-tengah piringnya.
"Kurang matang?" Kataku, menunjuk ke sosis. "Apa jatuh?"
"Lihat nih," katanya, dengan pandangan menggoda.
Dia ambil sosis dengan ibu jari dan telunjuk, meletakkan ke bibirnya, dan mulai perlahan-lahan menggerakkan sosis itu keluar masuk di mulutnya.
"Mmmmmm ..." lenguhnya, mengerling padaku. "Mmmmmm ..."
"Hentikan!" Aku mendesis padanya. "Jangan gitu!"
"Mmmmm ..." dia terus mengerang. "keras banget, ngaceng, geliii ..."
"Hentikan!"
"Gurih, enak, aku mau yang begini!" dia menyeringai nakal.
Berlawanan dengan protesku, penisku malah jadi hidup akibat dari tontonan erotis itu. Pas waktu kukira bisa jadi lebih mesum lagi, dia menarik sosis sedikit dari mulutnya, diolesinya dengan saus yang tersisa di piring nya, dan kembali menggerakkan di mulutnya. Lidahnya keluar dan berputar di ujung sosis, ia menjilati saus sampai bersih.
"Emmmmm ..." lenguhnya sambil mengedipkan sebelah mata padaku. "Enaaakkk!"
Aku menatapnya terpaku, pameran yang seksi, dan penisku berdenyut-denyut seperti itu akan meledak.
"Cukup," kataku sambil berdiri. "Ayok, kita pergi."
Cepat-cepat aku melihat bon, dan meninggalkan sejumlah uang dan tip untuk pelayan. Bagian depan celanaku keluar melejit kedepan memalukan, aku menutupinya dengan jaket sehingga tidak ada yang melihat gelagat burungku yang tegak mengamuk. Yanti berjalan keluar pintu disamping saya, tak bilang apa-apa, hanya senyum seperti kucing Anggora. Aku membuka pintu ke truk, dan saat ia naik ke dalam, pantatnya digoyang-goyang dengan provokatif di depan wajahku. Dia memanjat masuk dan duduk, tapi aku memanjat dari belakangnya. Yanti bergerak kembali ke tempat tidur dan duduk membiarkan aku lewat, tapi aku berhenti dan duduk di tepi kursi penumpang.
"Tolong jangan lakukan itu lagi!" Kataku sambil menatap wajahnya.
"Lakukan apa?" dia bertanya, pura-pura tidak bersalah.
"Yang di restoran! Jangan lagi."
"Karena tadi di depan umum?" katanya, menekankan 'umum'.
"Enggak," kataku, "karena aku tidak suka jalan dengan burung ngaceng! Kamu bisa main-main jika kamu mau, cuma jangan ganggu harimau tidur kalau gak siap jadi pawangnya! Jangan anggap... "
Pemadam kebakaran mendekat, dengan lampu berkedip dan sirene meraung-raung. Ini memperlambat di depan kami, membuat berbelok ke kanan, dan menuju perempatan. Aku berhenti bicara dengannya, dan berbalik untuk nonton. Aku tidak tahu apa ada orang hidup yang tak berhenti untuk nonton pemadam kebakaran - kukira salalu ada kanak-kanak dalam diri kita.
"Okeeey?" kubilang, menoleh padanya. "Apa kamu ngerti apa yang aku. .."
Dalam beberapa detik kulihat sudah pemadam kebakaran itu lewat, Yanti bajunya telah dipreteli tak tersisa apa-apa, dan berbaring di tempat tidur di belakang jok saya, benar-benar telanjang.
"Sinih," bisiknya, peregangan di tangan saya. "Sinih, jadi pawang harimauku."
"Aku. .gue." aku tergagap, aku berdiri. "Itu bukan maksud. .."
"Johnny ngaceng! Johnny ngaceng!" ia bernyanyi dengan suara gadis kecil. "Johnny benar-benar menyukaiku, karena Johnny ngacengggg!" sambil ia menggapai ke depan dan menggosok penisku melalui celana. "Sinih!" serunya saat ia mulai buka gesper ikat pinggang saya.
Aku menarik diri darinya, mengunci pintu, dan menutup tirai.
"Ya, aku ngaceng," kataku sengit. "Kamu harus tahu, kamu yang bikin ngaceng aku!" Aku menendang copot sepatuku, menjatuhkan celana dan celana pendek, dan merangkak di antara kakinya yang panjang terkangkang.
"Aku mau menjinakkan harimaumu!" Desisku marah saat kugosokkan penisku di celah sempitnya yang licin berminyak. "Aku bungkam mulut harimaumu, oke?." aku mendorong maju, dan penisku dengan mudah nyelip ke vaginanya yang sudah licin. Ototnya menggenggam batangku, dan dia menjerit dengan senang hati.
"Ummmmm ..." dia jeritan, "Entotin Yanti."
Aku mulai memompa penisku masuk dan keluar dari celahnya yang panas- lembut dan menyedot pada awalnya, tapi karena aku penasaran dengan adegan kecil di restoran, dan mulai kugenjot dengan lebih keras. Yanti membuka kancing bajuku, goresan kukunya terasa ringan di dada, dan dia menarik keras puting susuku.
"Entotin Yanti yang keras!" ia menuntut, matanya bernapsu. "Entotin Yanti semaumu!"
Aku mulai menggenjot vaginanya sekeras-kerasnya – kasur bedspringnya mendecit, truk bergoyang, dan bolaku memukul-mukul plek plek plek karena menampar pantatnya. Ini bukan seks lagi - ini adalah siapa mau mengusai siapa. Salah satu dari kami akan kalah dalam lomba ngentot ini, dan aku bertekad untuk tidak kalah. Dia juga. Yanti merasakan vaginanya yang lezat kugempur, dan membalas menyodorkan vagina panasnya ke arahku.
"Ayo, entotin entotin!" dia menggumam. "Entotin Yanti Bapaaaak, entotin aku, entotin aku yang keras!"
Aku bercinta dengan semua tenaga yang kupunya, penisku menggelepar-gelepar dalam liangnya yang lembut, jus hangat mengalir di atas bolaku. "Entotin Yanti, entotin memeknya, entotin Yanti yang kenceng!" dia menangis. "Bikin Yanti keluar, bisa gaaak? Masukin semua, Ayaaaaah! Bisa gaaak? Entotin Yantiiih!"
Dia melingkarkan kakinya yang panjang di belakangku, membenamkan tumitnya ke punggung, dan menarikku ke dalam vaginanya yang berapi-api. "Bisa nglawan aku, Papiii??" dia mendesah, menatap dengan mesum ke mataku. "Yanti cewek yang paling enak dientotin! Entotin Yanti yang keras! Cepetan, entotin memek Yanti!"
Aku seolah mau mampus menyerah, kutaruh tanganku di bawah pantatnya yang bulat, dan kutarik lebih keras ke penisku yang berdenyut-denyut. Tanganku mencengkeram pantatnya begitu ketat, aku tahu ini menyakitinya, tapi dia terus menggesek barangnya di penisku, mengocok klitorisnya keselangkanganku, dan melolong, "Entotin Yanti, entotin aku yang kenceng dan keras Ayaaah!"
Menggapai punggungku, kuambil pergelangan kakinya, dan berhasil kubuka kancing kakinya dari punggungku yang menekan badanku ke badannya. Dia nyengir seolah-olah dia menang, tapi aku cepat melemparkan kakinya, sehingga kakinya terlipat kembali, dan tumitnya hampir menyentuh telinganya. Aku membenamkan penisku masuk dan keluar dari memeknya yang mengeluarkan juice, menggenjot lebih keras, sekeras-kerasnya. Gerakan bergelombang membuat susunya yang besar bergoncang dan bergoyang-goyang, putingnya yang keras berputar acak di udara.
"Oooohhh yeaaaaa," lenguhnya. "Om cinta ama memek Yanti, kan?"
"Yeeees," Aku terkesiap, saat kulepaskan pergelangan kakinya dan membiarkan kakinya beristirahat di pundakku. "Ya, aku seneng bangetts ..."
"Bilang dong!" dia memohon hangat. "Katakan saja! Katakan om cinta ama memek Yanti!"
"Aku suka memek kamu!" Aku mengerang saat aku membenamkan penisku ke dalam vaginanya yang sedap. "Aku suka memek kamu, Ai lap yu..."
"Emmmmm ... Memek aku cinta ama kontol ayah!"
Kami bertatap mata satu sama lain, dan sesuatu di antara kami menyatakan hal yang lebih dalam. Tiba-tiba terasa tidak penting lagi siapa yang menang dalam lomba bercinta ini. Aku berhenti menggoyang penisku ke vaginanya yang basah, dan menggeser posisi batangku sehingga si otong ini menggosok itilnya yang tegak saat aku menusuk sangat dalam, keluar masuk di vaginanya yang empuk.
"Ohhhhh ... Apem kamu gurih bangettss!" Aku merintih, "Kamu bikin aku keluar lagi!"
Tangannya mulai menggosok bahu dan lengan saya, saat ia menatap mataku.
"Enngghhhhh ..." dia meratap. "Entotin apemku John! Enngghhhhh yaaa, aku mau keluar ..."
"Laaaillaaah," ia menjerit, saat celahnya yang selembut sutra mulai kejang-kejang dan berkontraksi di penisku yang berdenyut-denyut. "Lailaaaah, John! Aku keluar! Keluarin di dalemm, enngghhhhhh ..."
"Enngghhhhh ..." Aku mengerang karena aku merasa tembakan pertama air maniku muncrat keluar dari kepala penisku. "Enngghhhh ..."
"Aaaaaahhh ..." Yanti meraung sambil kukunya cakar bahuku. "Keluarin di memekku!"
Mataku tertutup, dan setiap lembar ototku berkontraksi menyatu di penisku. Aku menarik pinggulnya dan mendorong penisku sejauh yang aku bisa ke dalam vaginanya yang bergetar. Bolaku berdenyutan dan berkedut-kedut menempel di lubang belakangnya ketika cairan itu memasuki liang surganya. Pejuku seolah tak habis habis, kental dan lengket, memenuhi liang surgawinya. Tapi dia benar - aku tidak pernah dapat yang lebih baik dari dia. Dia meremas dengan otot vaginanya, menguras semua tetes dari mani yang ada di bolaku sampai terasa sakit selangkanganku, akhirnya kucabut keluar dari lorong penuh cairan itu.
Kuturunkan dengan lembut kakinya dari pundakku, dan saat aku duduk kembali, dia menurunkan kakinya dan menatapku dengan matanya berwarna mahoni. Kami tidak bicara selama beberapa menit, hanya saling menatap, tenggelam dalam pikiran masing-masing, napas kita perlahan-lahan kembali normal.
"Seri," akhirnya aku berkata sambil menyeringai kepadanya. "Tapi kalau aku telen vitamin V, kamu akan mohon ampun!"
"Ayah gak perlu Viagra lagi kalau ketemu sayanya," dia menyeringai kembali. "Aku adalah yang dipengeni setiap orang. Nama sayanya 'Miss Viagra', itulah aku!" dia tertawa. "Yang paling hebat di Pantura!"
"Kamu nakal sekali, Yanti," kataku, perlahan-lahan menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum padanya. "Kamu gadis yang nakalll."
"Ada gadis kecil, yang rambutnya mrintil, di tengah jidatnya yang kecil," katanya, memulai sajak lama. "Waktu dia hebat, dia jadi dahsyat. Dan ketika dia jahat ... Dia jadi bejat!" dia selesai, tersenyum lebar padaku.
"Itu kan kamu," Aku tersenyum saat aku mengangguk. "Kamu hebat, kamu nakal, dan kamu emang dahsyat. Gak pernah ketemu orang seperti kamu."
"Aku emang istimewa!" katanya, sambil duduk dan menciumku lembut di pipi. Dia melihat handuk di keranjang cucian saya, menyeka celah sempitnya dimana jus kami bercampur dan mengalir keluar, dan menyerahkan padaku. "Ayo," katanya, "Aku ada tugas lain."
Kami berpakaian, dan aku membuka korden. Aku setengah-mengharapkan melihat kerumunan orang di luar bertanya-tanya dan orang-orang berteriak mengapa truk kami bergoyang-goyang, tapi nyatanya tidak ada. Hari cuma hari biasa saja.
Aku mengarahkan truk besar ini ke jalan raya, dan dalam beberapa menit kami mendekati lingkungan dia. Dia mengarahkan, sampai kulihat kantor pos di sebelah kanan, dan aku pinggirkan ke tempat parkir. "Aku segera balik," katanya, sambil keluar dari truk. "Jangan tinggalin aku."
"Meninggalkan kamu sekarang atau nanti?" aku berpikir sendiri. "Cepat atau lambat aku harus pergi."
Yanti kembali beberapa menit kemudian dengan tas kotak penuh surat, majalah, dan junk mail. Dia mendapat masuk ke truk, menaruh kotaknya di tempat tidur, mengambil seikat amplop, dan mulai memilah-milah.
"Sampah, sampah, sampah, sampah," katanya. "Sampah, tagihan, sampah, sampah, tagihan, tagihan, faktur bank ..." saat ia berhenti di sebuah amplop. Dia buka, membaca surat itu dan berkata, "Sial!"
"Apa?"
"Mereka ambil motor saya," katanya. "Sial! Kukira mereka ambil waktu aku gak bayar. Yaah begitulah, semua manajer keuangan mesum itu juga maunya cuman ngentotin doang."
"Gak ada orang hidup yang gak pingin ngentotin kamu," kupikir sendirian. "Pastor aja pasti nyerah,dan mau ngentot ama kamu!"
"Motor apaan?"
"Mio J 2011," katanya. "Motor bagus, tetapi bayarnya nyekek, dan perlu ganti lampu. Siang-siang disuruh nyalain, aturan paling goblog di dunia" katanya. "Tagihan, sampah, sampah, tagihan, sampah, aha ... Ini dia!" saat ia menarik keluar sebuah amplop dan dibukanya.
"Dua juta lima ratus lima puluh ribu rupiah," kata Yanti, melambaikan gajinya di udara, sebelum memasukkan ke dalam tasnya. "Mereka mengambil lima ratus ribu untuk 'biaya kunci locker, tapi gapapa."
"Sampah, tagihan, tagihan, tagihan, sampah," saat ia mulai membalik-balik tumpukan amplop lagi.
"Eh-oh, dari pemilik kos," saat ia membuka amplop.
Dia membaca surat itu diam-diam, meletakkannya, melihat ke luar jendela, dan membaca surat itu lagi. "Anjing babi setan belang, BANGSAATTT" ia berteriak sampai terengah-engah. "SIALAN biang anjing! SIALAN sialan, sialan taik, shit! Sialan babi masuk neraka loh!" dia meninjunya di dashboard truk. "Ngentot," ia berteriak, "Kontolll, APAAN, apaannih!"
"Tenaang, tenaang!" Kataku keras, "Kau bisa pecahin barang! Apa yang salah?"
"Ini!" teriaknya, mengipatkan surat padaku. "aku dikerjain!"
'Ibu Suyanti yth,' surat itu dimulai demikian, dan sisanya adalah surat standar. Intinya adalah, kamu tidak bayar sewa/kos beberapa bulan, kami jual barang-barang kamu untuk membayar sewa kos, dan kamu masih berutang tiga bulan sewa kos dan biaya pengacara.
"Aduuh kacau," dia terisak-isak sambil mulai menangis. "Aku tak punya apa-apa. Mereka telah menjual perabot saya, TV, semua barang-barang saya, bahkan pakaian juga!" ia menangis makin keras. "Aku jadi kacau, aku gak tahu mau ngapain lagi."
"Aku gak punya tempat lagi, gak ada pakaian, gak ada tempat tinggal, tidak ada motor, tidak ada apa-apa," dia terisak-isak tak terkendali. "Apa yang aku akan lakukan, di mana aku tinggal? Aku kacau!" dia meratap. "Hidupku jadi kacau!"
Aku duduk diam saat ia bangkit dari kursi dan melangkah ke tempat tidur di belakang jok. Yanti berbaring telungkup dan menangis histeris, aku duduk diam dan mengawasinya.
Bersambung...
By: Ruhul Yaqin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar