Juanisa |
“You look sexy, babe!” seru Ryoko menyambut Nisa yang baru masuk mobil. “Dipirangin ya? Cocok kamu jadi blonde gini. Pasti entar pada ngelihatin kamu semua deh. Ayo, kita jalan,” katanya.
Mobil langsung melesat. Nisa tahu harga mobil itu bisa mencapai setengah miliar. Sebegitu menguntungkankah bisnis Ryoko?
“Eh, Pak Eddy tadi telepon, dia bilang teman-temannya puas sama kamu,” kata Ryoko. “Kapan-kapan dia mau booking Irina lagi, katanya.”
“Buat kayak kemarin lagi atau buat dia sendiri?” kata Nisa.
“Biasanya kalau dia sih pasti bukan buat dia sendiri. Tapi malam ini pokoknya kamu harus tampil oke ya. Steal the show. Aku yakin kamu nggak bakal pulang cepat….”
“Pulang pagi?” tanya Nisa.
“Hahaha…” Ryoko hanya tertawa. “Tergantung kamu-lah say. Pulang pagi, pulang besok siang, pulang minggu depan habis dikekepin tamu… Yang penting jangan nggak pulang aja.”
*****
“Now baby boy listen to me, boy show me
How you’re gonna get me paralyzed”
Nisa langsung disergap suasana pesta yang riuh di dalam ruangan klub tempat pesta pembukaan Hotel Scarlet. Lirik lagu barusan dinyanyikan oleh penyanyi aslinya, Nez, yang tampil lebih seksi daripada biasanya. Laki-laki dan perempuan berbaur di lantai dansa, ditingkahi lampu kelap-kelip. Dia tidak hanya bersama Ryoko. Ada 4 anak buah Ryoko lainnya, yang tadi datang dengan mobil lain—hanya Nisa yang semobil dengan Ryoko. Ketika melintas lantai klub, beberapa laki-laki mencoba mendekati Nisa dan yang lain untuk mengajak dansa, tapi semuanya ditolak. Ryoko membawa rombongannya ke satu pojok ruangan di mana ada beberapa sofa mengelilingi satu bar. Satu set sofa yang masih kosong menjadi tempat mereka. Tapi Ryoko tak langsung duduk, dia berkeliling menyapa orang-orang yang duduk di sofa lain. Di tempat temaram itu Nisa mengenali beberapa wajah: ada seorang artis sinetron, ada model, ada beberapa yang tampangnya seperti pengusaha. Ryoko sudah menjelaskan bahwa malam itu akan ada “kontes”. Nisa duduk, menunggu giliran… Matanya mempelajari semua yang datang. Pukul 11. Pukul 12. Pengunjung silih berganti. Beberapa datang ke sofa-sofa sekeliling bar, yang Nisa simpulkan sebagai tempat VIP; lainnya menyalurkan energi beradu tubuh dan aksi di depan panggung yang menampilkan Nez. Tepat pukul 12 Nez menutup konsernya, memberi salam ke penonton, lalu turun ke belakang panggung. Menggantikan Nez adalah beberapa DJ biasa yang memainkan house music.
“Sebentar lagi. Ayo kita semua siap-siap,” Ryoko berdiri mengajak anak buahnya menuju ke satu tempat.
Nisa baru kali ini melihat sesama “dagangan” Ryoko. Fina dan Vonny sehari-harinya berprofesi public relations, namun mereka kelihatan berpengalaman. Terlihat dari busana dan dandanan mereka yang glamor. Ella, mahasiswi, kelihatan polos dan salah tempat berada di sana. Tapi tubuhnya yang bagus ditonjolkan dengan bajunya yang seksi. Terakhir, Putri, yang mengaku tidak punya pekerjaan lain, bertubuh kurus kering dan matanya agak kosong, tapi lidahnya bertindik dan sekujur lengannya bertato. Beberapa kelompok lain juga bangkit. Banyak perempuan muda dan satu laki-laki atau satu perempuan lebih tua (dan satu kelompok dipimpin seorang banci gendut). Semuanya menuju pintu yang ternyata mengarah ke belakang panggung. Di sana mereka semua berkumpul, mungkin 25 orang perempuan dan lain-lain. Pukul 1 pagi. MC mengumumkan.
“Alright ladies and criminals! Malam ini kita ada acara Miss Scarlet Angel! Sebentar lagi kita saksikan para angels tampil di depan kita! HERE WE GOOOO! Sambut para ANGELS!!!!”
Sepasang rapper tampil di depan bagian panggung yang menghadap ke daerah sofa VIP. Mereka beraksi namun segera jelas bahwa acara utamanya adalah penampilan para Angels, perempuan-perempuan seksi yang berkumpul di belakang panggung.
“Let’s start with the lovely Miss AUSTINNNNN!”
MC memanggil “Austin”, dan seorang perempuan muda dari kelompok lain keluar ke panggung. Tubuhnya jangkung, rambutnya yang panjang dibuat ikal. Pahanya yang mulus membawanya melangkah dengan percaya diri ke tengah panggung di mana dia disambut sorak sorai penonton. Austin menari seksi sesudah sampai di tengah panggung, berusaha menarik perhatian, sampai MC memanggil nama berikutnya dan Austin mundur ke arah belakang, tapi tetap di panggung dan bergoyang pelan mengikuti house music.
“Next we have… the HOT! Miss Sendy!”
Sendy mendapat giliran kedua, juga dari rombongan lain, tubuhnya lebih pendek dari Austin dengan rambut megar, tarian seksinya lebih vulgar daripada Austin. Nama demi nama disebut, termasuk Fina dan Putri dari rombongan Ryoko. Nisa sempat kaget ketika melihat Putri yang tadi bengong saja itu ternyata berani memelorotkan sedikit hotpantsnya untuk memperlihatkan tato di bagian atas belahan pantatnya ke telepon.
“And now… Miss IRINAAAA!!”
Giliran Nisa! Dia melangkah ke tengah panggung dengan tegap seolah berbaris. Dia sudah memilih penampilan yang tepat, serba emas: rambut pirang dengan gaya side swept, gaun ketat warna emas dengan punggung terbuka, sandal bertumit tinggi, perhiasan besar-besar. Musik menggelegar dari speaker di belakang Nisa sementara kedua rapper mengoceh. Dia bisa melihat banyak wajah orang di depannya, berteriak-teriak dan bersorak-sorai. Tangannya menggenggam sesuatu yang akan membantunya. Nisa tahu apa yang harus dilakukan dan membiarkan tubuhnya mengambil alih, menari mengikuti musik. Di tengah trance-nya dalam menari, Irina medekatkan dirinya ke tepi panggung, matanya melirik ke sebuah objek yang ia tau akan menjadi senjata rahasianya. Ia tak mengacuhkan pandangan heran penonton, lalu membungkuk di tepi panggung, membiarkan belahan payudaranya terpampang menggoda mata para lelaki, dan tanpa di sangka-sangka mengambil satu pitcher bir yang ada di meja dekat panggung dan menumpahkan isinya ke dadanya. Penonton langsung riuh menggila. Diteriaki mesum, Nisa entah kenapa malah merasa bangga. Sedetik kemudian dia merasa aneh, kenapa harus bangga ketika memamerkan tubuh di depan orang banyak seperti ini. Tapi kemudian MC menyebutkan nama yang mendapat giliran berikutnya dan Nisa mesti bergabung bersama yang lain di bagian belakang panggung. Sesudah semuanya maju, para “Angels” dipersilakan kembali ke belakang panggung. Nisa langsung masuk ke toilet perempuan. Di sana juga ada beberapa perempuan lain yang tadi ikut kontes. Salah satunya menatap tajam ke dia, seorang anggota rombongan lain. Samar-samar Nisa seperti ingat pernah melihat wajah si gadis yang menatap itu ke dia. Apa dia pernah masuk TV atau semacamnya?
“Gilaaa! Irina… Berani banget kamu, say! Nih kubawain baju gantinya,” Ryoko tiba-tiba masuk ke toilet dan heboh sendiri, dan si gadis yang memelototi Nisa pun menyingkir. Nisa dengan cuek melepas baju warna emasnya yang basah dan mengganti dengan baju lain yang tak kalah seksi, lalu membetulkan riasan wajahnya yang tadi sempat terciprat bir. Sementara Ryoko terus mencerocos memuji ide Irina untuk membasahi diri di panggung.
“Taruhan, kalo kamu ga lolos ke babak lelang aku mau botakin rambut,” kata Ryoko sambil nyengir. “Here let me help you babe…” lalu dia membantu Irina memulas lipstik kembali.
Setelah itu, MC memanggil lagi para Angels ke panggung, semua berjejer. Penonton sepertinya habis dihalau dari depan panggung oleh para bouncer dan karyawan club, sehingga depan panggung kosong sampai ke wilayah sofa-sofa VIP. Nisa memandang ke arah sana, wajah-wajah mereka yang duduk di sana tak terlihat. Lalu MC mengumumkan hasil “voting para juri” yang rupanya adalah mereka yang duduk di sofa. Para tamu VIP itu memilih 5 cewek untuk masuk ke tahap berikutnya, “Angel Auction” di mana mereka kemudian bisa ikut lelang “kencan” dengan Angels yang dipilih. Dengan basa-basi MC menyatakan bahwa uang hasil lelang akan disumbangkan untuk tujuan sosial. Sebagian memang benar, namun orang-orang seperti Ryoko dan para pemimpin rombongan—para germo—lainnya tahu bahwa sebagian uang itu akan jadi keuntungan mereka.
“Yang pertama lolos ke auction adalah… IRINA!”
Nisa pura-pura senang seperti kontestan acara putri-putrian, lalu maju ke depan. Dia yakin bisa lolos, tapi tak mengira bakal dipilih pertama. Dilihatnya Ryoko bertepuk tangan dan girang, karena tidak mesti botak sebagaimana yang dia bilang di toilet tadi. Selanjutnya terpilih empat nama lain: Sendy, Helen, Gita, dan salah satu anak buah Ryoko lainnya yaitu Putri.
Babak lelang pun dimulai, dan ini terbatas kepada para tamu VIP di sofa saja. Semua penawaran dimulai di harga satu juta dan peserta yang berminat menawar bisa mengangkat tongkat yang ujungnya ditempeli papan bulat bertuliskan nomor dan dicat fluoresen sehingga menyala dalam gelap. Sesuai urutan abjad, Gita adalah yang pertama dilelang. Dia tampak masih muda, mungkin belasan tahun, dengan tubuh lentur; pada giliran tampilnya tadi dia melakukan split di atas panggung. Lelangnya berlangsung cepat, hanya tiga kali naik harga; Gita pun menghasilkan “sumbangan” empat juta. Berikutnya Helen, dia ini yang tadi memelototi Nisa di toilet, dan ternyata dia mantan artis remaja yang hanya pernah satu kali main sinetron—jadi pemeran yang hanya muncul satu episode pula—dan lelangnya menghasilkan enam juta. Putri berkacak pinggang ke arah para tamu VIP ketika gilirannya untuk ditawar. Sialnya, hanya satu yang menawar dia. Jadilah dia hanya dapat dua juta. Kelak Nisa akan tahu bahwa yang menawar kencan Putri sebenarnya seorang perempuan juga, seorang eksekutif terkenal berambut pendek yang memang doyan sesama.
“Lima juta… lima juta ayo ada lagi yang minat? Satu… dua… tiga… Yak! SOLD! Kita dapat Lima Juta dari bapak yang jenggotan di sana itu! Baik Sendy silakan, oh ya itu si Bapak datang sendiri, pick up your date ya Pak…” Seorang laki-laki gendut jangkung berjenggot, bertampang Timteng, menggamit Sendy yang ketawa-ketiwi untuk “kencan”. Keduanya meninggalkan panggung sambil si MC sekali lagi mengingatkan bahwa uang yang diperoleh dari lelang “untuk sumbangan sosial”. Akhirnya tiba giliran Nisa.
“Oke ladies and criminals… sekarang kita tampilkan Miss Irina yang tadi sudah berbasah basah basah di depan kita, moga-moga rejekinya lebih basah daripada yang sebelumnya, ya? Baik lelangnya kita mulai, satu juta. Ada yang mau dua juta? Dua juta? Ya, dua juta! Dua juta… tiga juta? Ya tiga juta! Oh! Langsung ada yang nawar empat juta. Lima juta…?”
MC terus mencerocos selagi harga kencan Irina naik terus ke tujuh juta. Dan tinggal dua orang yang berlomba menawarnya.
“Yak, kencan dengan Irina sekarang berharga tujuh juta. Delapan juta, ada yang mau delapan juta?” Satu bulatan berwarna fluoresen terangkat dalam gelap. Salah satu penawarnya mau delapan juta.
“Oke, delapan juta, ternyata buat Boss Tandy! Ada yang mau sembilan juta?”
Nama si penawar ternyata “Tandy”. Namun di sebelah kanannya terangkat lagi satu bulatan fluoresen.
“Ooo! Kali ini Boss Igo! Sembilan juta, Boss Igo!”
Kedua penawar yang duduk berdekatan itu, Tandy dan Igo, terus berusaha saling mengalahkan dan menaikkan terus harga Irina sampai dua belas juta dan lebih. Tamu lain sudah tidak ada lagi yang mau bersaing.
“Lima belas juta buat Boss Tandy,” seru si MC. “Boss Igo mau enam belas juta?”
Igo tidak mengangkat lagi tongkat penawarannya.
“Lima belas juta buat Boss Tandy. Ada lagi yang mau nawar…? Satu… dua… tiga…” MC berhenti sebentar, “SOLD! Lima belas juta untuk kencan bersama Miss Irina, jatuh kepada Boss kita, Tandy!” Sesudahnya lampu terang kembali, dan Nisa bisa melihat bahwa Tandy dan Igo sebenarnya duduk satu meja. Mereka berdua dan orang-orang lain yang duduk di meja itu semuanya anak muda, mungkin anak-anak orang kaya atau pengusaha muda. Igo menyalami Tandy sambil menepuk-nepuk lalu menonjok pelan bahu Tandy. Nisa bisa melihat, Tandy bertubuh gempal dengan rambut keriting dan kulit gelap, sementara Igo berambut panjang dikuncir, ganteng, bertubuh langsing. Keduanya berbarengan maju ke dekat Nisa untuk menjemputnya. Ketika Tandy sudah mendekat, Igo pergi sambil menceletuk “Ntar gantian ya bro.” Ryoko langsung mendekat ke Tandy dan Nisa. Ryoko memberikan secarik kertas bertuliskan angka-angka, lalu membawa Nisa pergi.
Sambil bergerak menjauh, smartphone Ryoko berbunyi. SMS dari bank. Transfer 15 juta masuk dari rekening Tandy. Ryoko langsung nyengir, kemudian memberi instruksi ke Nisa.
*****
Kamar hotel itu terlalu dingin, dan Nisa mematikan AC-nya. Refleksnya sebagai aparat terlatih membuat dia langsung mengamati sekeliling. Dan yang dilihatnya di sekeliling adalah pantulan bayangannya sendiri. Hotel yang menyediakan cermin sebanyak ini di dalam kamar pasti hotel berorientasi “hiburan”. TV layar datar di dinding juga menyajikan beberapa saluran yang menayangkan film porno. Satu-satunya bagian kamar yang tertutup dari pandangan hanya WC. Shower berada di ruangan sebelahnya yang berdinding kaca. Orang yang mandi di sana pasti terlihat dari arah ranjang. Lantai parket kayunya mulus.
Cermin di tiap sisi kamar hotel memaksa Nisa melihat wajahnya sendiri ke manapun dia menghadap.
“Cewek nakal… Perek… Lonte…”
Nisa merasa seolah-olah ada yang meneriakinya seperti itu. Mungkin di antara penonton kontes tadi ada yang berteriak demikian. Dan kenapa tidak? Yang dia lihat di cermin itu memang pantas disebut cewek nakal. Berambut pirang, make-up tebal, baju seksi. Duduk di dalam kamar hotel menunggu orang yang sudah membeli dirinya untuk semalam. Biarpun mahal, tetap saja dia menjual harga dirinya sebagai perempuan. Untuk apa? Dedikasi kepada tugas? Apa harus sampai seperti ini pengorbanannya?
Nisa tak bisa lolos. Dalam kepalanya, panggilan-panggilan mesum terhadapnya terus bergema. Dia meringis. Bayangan pelacur di cermin ikut meringis. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka.
“Hai Irina,” sapa Tandy. Pemenang lelang itu masuk dan langsung duduk di ranjang di sebelah Nisa.
Berbasa-basi sebentar, Tandy mengaku “orang partai” kepada Nisa. Umurnya baru 30 tahun, tapi wajahnya tampak lebih tua. Sesudahnya Nisa akan tahu bahwa Tandy seorang mantan aktivis mahasiswa yang kemudian direkrut partai dan menjadi staf lembaga pembuat undang-undang. Sementara Igo, temannya yang kalah lelang, adalah anak pengusaha yang menjadi pengurus partai itu; Igo sengaja mengalah karena sebenarnya sudah membooking cewek lain. “Irina” lalu berdiri, berjalan ke depan Tandy yang duduk di ranjang. Dia berlutut dan membuka resleting celana Tandy, membebaskan penis Tandy yang sudah membengkak. Irina meniup sepanjang kejantanan itu yang tegak menunjuk ke atas. Tanpa menggunakan tangan, Irina langsung membuka mulutnya lebar-lebar dan melahap seluruh kepala burung Tandy. Mata Irina menatap mata Tandy dan pipinya mengempis selagi dia mengisap lembut. Tandy memandang cermin di samping ranjang dan melihat seluruh adegan cabul itu. Gadis yang berlutut dan penis yang masuk ke dalam mulut…
“Shit!” Tandy mengumpat.
Sejenak Irina melepas kulumannya dan Tandy ternyata tidak tahan. Muncratlah dia tepat di depan muka Irina; Tandy seperti mau menangkap kepala Irina agar cipratan mani itu tumpah ke muka tapi Irina terlalu cepat dan akibatnya semburan mani Tandy hanya jatuh di lantai dan lutut Irina. Lantai parket kayunya mulus… Gampang membersihkannya.
Tak mau buang-buang waktu, Irina langsung membuka semua baju. Tandy juga buka baju. Karena masih muda, Tandy mudah dibuat tegang lagi dengan elusan tangan Irina. Sementara tangan Tandy menjamah kedua payudara Irina, menggodai pentilnya sampai mencuat keras. Irina langsung telentang pasrah, mengangkang dengan lutut tertekuk. Tandy menindihnya, mengangkat pinggul Irina ke pangkuannya sementara Irina menggenggam penis Tandy untuk diarahkan masuk ke celah kewanitaannya. Tandy seperti terburu-buru, langsung menerobos sedalam-dalamnya ke kemaluan Irina yang baru sedikit basah, membenamkan tubuh Irina dalam kasur empuk. Setelah sepenuhnya masuk, dia berhenti, wajahnya tampak serius.
“Aahh… fuck me… entot memek Irina…” desah Irina, berakting seperti selayaknya pelacur.
Dan Tandy kembali ejakulasi terlalu cepat, rupanya wajahnya serius karena menahan crot. Namun dia tak tahan sesudah mendengar godaan genit Irina dan mengeluarkan peluru-pelurunya ke dalam vagina. Tandy ambruk di atas Irina, terengah-engah, penisnya melunak pelan-pelan sampai akhirnya keluar sendiri dari dalam Irina. Malam itu jatah ejakulasi Tandy sudah habis sesudah ronde kedua. Akhirnya Irina meninggalkan Tandy yang tertidur telungkup di ranjang. Tanpa banyak bicara, dia beranjak ke kamar mandi, membasuh dirinya dan mengeluarkan sperma Tandy yang tak banyak dari dalam kemaluannya. Dia lalu memakai bajunya kembali, mengecek dandanannya, lalu keluar. Pukul setengah tiga pagi. Nisa dijemput oleh orang suruhan Ryoko dan diantar kembali ke kosnya. Dan esok malamnya, ketika Nisa kembali dibooking di Hotel Scarlet oleh Igo (dengan harga lebih rendah), dia menemukan sesuatu yang semestinya membuat dua sahabat itu kompak karena senasib. Igo juga tidak tahan lama seperti Tandy!
*****
Nisa menutup wajahnya dengan handuk panas sementara ia menikmati hangatnya air dalam bathtub yang bercampur dengan ramuan aromatherapy. Ia mencoba mengusir kepenatan yang melanda tubuhnya serta kegalauan yang bersemayam di hati dan benaknya. Bayangan lelaki demi lelaki yang telah menikmati tubuhnya silih berganti berdatangan, berdansa di pelupuk matanya yang terpejam itu. Ia terkenang beberapa lelaki yang menikmati tubuhnya. Mereka membuatnya sangat terkejut. Mereka bukan saja dari kalangan bisnis maupun eksekutif muda. Pernah ia mendatangi sebuah rumah sederhana, dan sesuai permintaan ia datang dengan menggunakan lingerie sexy sementara untuk menutupinya Nisa mengenakan coat sexy yang tetap menonjolkan keindahan kakinya. Dan ketika ia memasuki ruangan itu, ia terkejut. Ada lima orang lelaki yang ia tahu adalah orang-orang yang menamai diri mereka “pembela”… Ia mengetahui persis siapa lima lelaki yang menyeringai jahat di hadapannya, karena sebagai seorang polisi ia wajib mengetahui pergerakan ormas yang dipimpin kelima orang itu. Dan perlakuan mereka benar-benar di luar perkiraan Nisa. Sepertinya kelima orang tersebut mengidap penyakit sadisme yang parah, dan mereka menutupi semuanya itu dengan dalih pembelaan agama. Bagaimana tidak, mereka merenggut lepas coat yang digunakan Nisa, menjambak rambutnya, membantingnya ke lantai. Mereka membelenggu lengannya dengan tali rami, lalu menariknya ke sebuah dipan tua, dan mengikat erat tali rami itu ke ujung dipan hingga kini separuh tubuh Nisa telungkup di atas dipan tua dan bau itu, sementara pinnggulnya menggantung di pinggir dipan dan lututnya bertumpu di lantai. Nisa merasakan punggungnya sangat panas ketika kelima lelaki keparat itu mendera punggungnya, pantatnya, pinggulnya, pahanya dengan sabuk kulit yang tadinya menahan sarung mereka yang kini telah tergeletak begitu saja di lantai. Mereka menyumpahinya, mencacinya, merendahkannya lebih dari binatang, mengatainya dengan kata-kata hina. Dan akhirnya dengan dalih menyucikan tubuh kotornya mereka bergantian mendepositkan “benih suci” mereka kedalam vagina, mulut, dan anus Nisa bergantian, bergiliran… bersamaan. Satu minggu lamanya ia tidak bisa menerima tamu demi memulihkan tubuhnya. Nisa juga terkejut ketika mendapati beberapa politikus, anggota dewan, dan tokoh besar lainnya juga menikmati pelayanan tubuh seorang wanita lain yang jelas bukan istri resmi mereka… selama ini Nisa menyangka kalau gosip itu terlalu berlebihan, namun sperma mereka yang bersarang dalam tubuhnya membuktikan kalau rumor itu ternyata benar. Namun satu tokoh ini… tokoh yang sangat ia kagumi….Nisa membenamkan tubuhnya ke dalam bath tub, seakan mencoba melupakan kenangan itu… namun tak bisa. Betapa kecewanya ia ketikan ia mendatangi sebuah hotel berbintang lima, lalu naik ke sebuat president suite hanya untuk mendapati kalau tokoh panutannya, figur pengayom yang dibanggakannya ternyata juga tak lebih dari lelaki hidung belang… Nisa merasa sangat kecewa ketika ia harus melayani Komisaris Besar Polisi Bambang Harjadi. Nisa beranjak keluar dari bathtub… ia kembali harus menjalankan tugas dari Ryoko… tugas yang sangat dibencinya saat ini… karena ini kali ketiganya ia harus melayani sang Kombes, yang sepertinya sangat menikmati pelayanan dari dirinya, seperti juga beberapa klien lain yang memang menjadi langganannya.
#####################
Penthouse hotel yang berbeda
Nisa baru saja membasuh dirinya setelah persetubuhan pertama yang dilaluinya… kali ini pasti akan ada beberapa persetubuhan tambahan, karena sang Kombes menyewanya all night. Nisa merasakan dinginya angin malam yang menyeruak ke dalam penthouse mewah itu. Dengan berbalut shower robe, ia berjalan ke arah balkon dan mendapati sang Kombes sedang memandang jauh ke arah ribuan lampu yang menerangi kota tercinta ini.
“Kemari n’Duk… ada yang ingin aku tanyakan kepadamu…” kata sang Kombes tanpa mengalihkan pandangannya dari kota metropolitan di hadapannya. Nisa sedikit tertegun mengetahui kalau feeling sang Kombes masih cukup kuat untuk orang seusianya.
Nisa berdiri di samping lelaki yang sangat berwibawa itu, lelaki yang memang dikaguminya itu… sambil bersidekap menahan dinginnya udara malam, ia turut memandangi semarak kota yang seakan tak pernah tidur itu.
“Bagaimana kemajuan kasusmu n’Duk?” tanya sang Kombes yang jelas mengejutkan Nisa.
Sang lelaki memandang ke arah sang gadis yang nampak pucat pasi itu dan bergetar, ia lalu merengkuh bahu sang gadis dan mendudukannya ke kursi di teras penthouse itu.
Cukup lama keduanya terdiam…. Nisa bergetar… ia tak tau harus menjawab apa…. Ia menangis….
“Bapak tau...?” tanya Nisa sambil terisak.
“Tentu saja n’Duk…. Karena Rasidi tak akan memilihmu tanpa perintah dariku.”
Tangis Nisa makin menjadi….
“Kenapa Pak…..? Kenapa Bapak menjebak saya? Menjerumuskan saya?”
“Karena aku tau cuma kamu yang bisa n’Duk… karena cuma kamu yang bisa aku percaya… karena aku yakin cuma kamu yang mampu….”
Nisa menutup wajahnya dengan tangannya yang bergetar….
“Tapi Bapak telah menjual saya….”
“Salah n’Duk… kamu yang menjual dirimu sendiri… kamu sudah diberi pilihan untuk tidak ikut dalam kasus ini. Kamu yang menginginkannya….”
Nisa memandang putus asa ke arah lelaki itu….
“Sekarang bagaimana Pak…? Aku harus bagaimana….?”
“Roda sudah berputar…. Kamu tak bisa mundur lagi…..”
Nisa terdiam, ia tau kalau yang dikatakan lelaki itu benar… ia sudah masuk begitu dalam, ia harus menyelesaikan misi ini.
Lelaki itu kembali bertanya, “Bagaimana kemajuan kasusmu n’Duk? Beri aku gambaran karena Rasidi seperti tidak mau melaporkan perkembangan kasus ini dengan mendalam… sepertinya ia juga menyulitkan kamu n’Duk?”
Nothing to lose…. Nisa membenarkan hal itu, ia melaporkan segala hal yang ia ketahui pada sang Kombes mengenani kasus Ryoko, dan juga melaporkan bagaimana komandannya, Rasidi, selalu melecehkan dan menyulitkannya setiap ia melaporkan perkembangan.
“Berhati-hati dengan Rasidi, n’Duk… aku merasa ia akan mencoba menjebakmu dan membongkar penyamaranmu pada Ryoko.”
“Tapi kenapa Pak? Ia salah satu dari kita?” tanya Nisa tak percaya.
“n’Duk… ternyata kamu begitu naïf…. Rasidi ingin mendapat bagian dari jaringan Ryoko… dan ia akan berusaha menanamkan kukunya ke dalam jaringan Ryoko… ketika aku suruh dia merekrut kamu, aku tahu dia keberatan karena sudah punya kandidat sendiri… dan bukan seperti kita yang ingin menggulung Ryoko… ia ingin menjadi bagian jaringan itu…. Ia ingin menjual gadis-gadis muda untuk menjadi anggota Ryoko… Maka dari itu n’Duk… berhati-hatilah.”
Nisa memandang lelaki itu dengan tertegun…. Semua yang dikatakannya begitu mengguncang dirinya… ternyata benar kalau ia tergolong naïf sehingga begitu mudah dibutakan “perintah demi tugas”
Lelaki itu lalu bangkit dari duduknya, mengulurkan tangan…
“Ayo n’Duk…. Temani Bapak…..”
Dan dengan hati yang tak menentu Nisa bangkit…. Dan kembali persetubuhan terjadi….
*****
Kembali Nisa dibuat sedikit bingung dengan alamat yang harus didatanginya, sekali ini ia harus berjuang mencari alamat yang ternyata cukup jauh berada di luar kota, di sebuah villa terbengkalai di daerah pegunungan, jauh dari keramaian. Memang Ryoko memintanya memakai pakaian biasa, namun tetap saja Nisa merasa kalau kali ini, seperti yang sudah-sudah, akan menjadi hari yang tidak biasa. Dan benar dugaannya….ketika ia masuk ke ruang tengah villa, ia melihat Ryoko sudah berada di sana, beserta beberapa orang lelaki yang berseragam dokter dan perawat.
******
Another fetish…..
Namun kali ini dugaannya salah kerena ketika mereka membuka jalan bagi Nisa, ia bisa melihat seorang wanita muda sedang duduk di sebuah kursi metal, tangan dan kakinya tebelenggu… tubuhnya telanjang, dan Nisa bisa melihat jepit buaya yang tersambung kawat tembaga menjepit erat puting payudara dan klitoris sang gadis yang nampak terengah-engah dengan kepala terkulai. Ryoko menghampiri Nisa…
“Kamu tahu…. Aku paling tidak suka dengan pembohong…. Dan aku lebih tidak suka lagi dengan pengkhianat,” kata Ryoko sambil menekan tombol sebuah remote yang menyebabkan aliran listrik menyengat sang gadis yang berteriak dan terlonjak kesakitan di kursi itu, Nisa bisa melihat darah yang mengalir dari pelipis, hidung dan bibir sang gadis.
“Wartawati ini ditangkap anak buahku. Dia terlalu banyak tanya, terlalu banyak tahu, dia mau hancurkan aku!” kata Ryoko tajam. Pandangan matanya begitu keji, pandangan yang tak pernah dilihat Nisa sebelumnya, pandangan orang yang mampu untuk membunuh.
“Dan yang lebih menyakitkan… dia tahu satu rahasia….”
Jerit sang gadis kembali menggema di ruangan itu ketika Ryoko kembali menekan tombol remote itu…
‘Berhati-hatilah n’Duk…. Rasidi akan berusaha menghancurkanmu…’
“Dia sebut satu nama!” kata Ryoko geram….
Gadis itu memandang Nisa…. Dan berkata lirih… “Ya… dia orangnya….”
Nisa menatap tajam ke arah sang gadis… lalu menghujamkan pandangan yang tak kalah garangnya ke Ryoko. Lalu tanpa diduga semua orang, Nisa membuka seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat, lalu pergi ke arah meja peralatan medis yang tersedia di sana untuk tujuan yang tidak diketahuinya, namun sekali ini perbuatan drastisnya ini bisa menyelamatkannya atau membuatnya terbunuh. Dengan satu gerakan bagai aliran air Nisa menyambar pisau bedah, lalu mendekati Ryoko. Ia lalu merenggut remote dari tangan kanan Ryoko, lalu menyerahkan pisau itu ke tangan Ryoko, tatapan keduanya tetap saling terkunci. Nisa lalu menggengam tangan kanan Ryoko dan dengan keras menarik tangan yang memegang pisau itu ke arah lehernya sendiri, menekankan ujung pisau itu ke lehernya. Nisa bisa merasakan darah mulai mengalir dari luka gores kecil di lehernya, namun ia tak peduli… ia menantang Ryoko untuk menekan lebih dalam lagi….
“Aku dapat seorang kakak waku kamu pungut aku… kamu penolongku…. Dan kalau kamu sudah tak lagi mempercayai aku… Ayo…. Habisi aku…. Buang bangkaiku di mana kau suka… atau jadikan aku makanan anjing sebagimana kau suka… namun untukku… kehilangan kepercayaanmu membuatku tak ingin hidup lagi!”
Denting pisau jatuh terdengar ketika Ryoko berhasil melepaskan cengkeraman Nisa di tangannya… padangan mata Nisa membuatnya ketakutan. Jauh lebih berbahaya dari dirinya. Ruangan itu hening…. Nisa memunguti pakaiannya lalu beranjak pergi dari villa itu…. Hatinya berkecamuk…. Namun ia sudah berhasil menanamkan sesuatu dalam benak Ryoko… she is special…
*****
Dua hari setelah insiden itu, Ryoko datang ke kamar kos Nisa. Ia membawa beberapa foto.
“Maaf, Irina, aku kemarin meragukanmu… ternyata wartawati keparat itu mengarang cerita supaya aku mencelakaimu… dia bilang kamu polisi yang menyusup.Memang pernah ada polisi yang memang ingin menjadi partnerku tapi aku tolak… Tapi akhirnya aku sadar kalau dia bohong, mungkin supaya bisa lolos…” kata Ryoko sambil memeluk Nisa.
Nisa terdiam… ia memandangi foto-foto itu dengan tatapan dingin.
“Irina….” kata Ryoko pelan….
“Perkataanku tetap… kau adalah kakak yang tak pernah aku miliki…. Aku menghormatimu,” kata Nisa tanpa mengangkat pandangannya.
Ryoko tersenyum.
“Baiklah… kalau kau sudah mau lagi… kabari aku…. Tuan Bambang Harjadi menginginkanmu…” katanya lagi sambil melangkah keluar kamar kos, meninggalkan Nisa, meninggalkan foto-foto yang bergeletakan di atas meja… foto yang menggambarkan operasi body modification yang mereka lakukan pada sang wartawati…
Gadis itu tak akan lagi bisa keluar dari lingkaran Ryoko… tak ada lagi yang akan mengenalinya, dan tak ada lagi yang dapat dilakukannya selain membiarkan tubuhnya menjadi pemuas…. Untuk selamanya….
Dan kini kesempatan untuk menghajar Rasidi semakin dekat…
*****
“Ada satu petunjuk yang mungkin ada sangkutannya dengan penyelidikan kamu,” kata komandan Nisa, Rasidi. Dia mendatangi Nisa di kamar kos untuk mengecek anggotanya itu. Dia mengambil satu lembar data dari dalam map. Ada foto seorang perempuan muda di sana. “Ini kasus yang sudah beberapa bulan. Ada laporan kehilangan orang. Dia wartawati majalah berita yang sedang investigasi kasus korupsi. Memang belum tentu ada hubungannya, tapi salah satu orang yang sedang dia usut itu diduga dekat dengan Ryoko. Langganannya.”
“Pejabat?” celetuk Nisa.
“Iya. Orangnya kurang terkenal, ada indikasi sudah biasa korupsi, tapi licin jadi tidak pernah kena kasus. Kamu tahulah orang pers, kalau sudah penasaran mereka bisa lebih usil dari kita. Majalahnya mau bongkar korupsi orang ini. Eh malah wartawati yang menginvestigasinya hilang. Memang belum tentu ada hubungannya. Bisa saja si wartawati hilang tanpa ada hubungan dengan Ryoko. Kamu cari tahu ya.”
“Siap komandan.”
“Kamu lagi siap-siap kerja ya?” celetuk Rasidi. Memang, dia datang ketika Nisa baru saja selesai berdandan.
“Iya...”
“Sip,” kata Rasidi, “Udah pas banget tampang kamu. Lanjutkan, ya.”
“Siap komandan,” kata Nisa sambil menggemertakkan giginya. Sesudah diberitahu kenyataan oleh AKBP Bambang, Nisa mulai memandang atasan langsungnya itu dengan berbeda.
“Kalau boleh tau, kamu sudah sama siapa aja?” tanya Rasidi. Nisa menyebut beberapa nama. Eddy. Tandy. “Pembela”. Kombes Bambang tidak disebutnya.
“Hmm. Bisa nyenggol ke mana-mana nih ya... Kalau bisa sih bersih. Yang kita incar cuma Ryoko. Lainnya, kamu tau kan, di hukum kita ga ada larangan orang make jasa PSK. Terus, ada hal-hal yang bisa buat bukti?”
“Smartphone dia, terus aliran dana ke rekening bank dia. Kelihatannya sebagian yang pakai jasa anak buah dia transfer uang langsung ke dia.”
“Ada tempat khusus dia biasa operasi?”
“Nggak ada. Dia sendiri ada beberapa tempat tinggal. Alamatnya di sini, sini, sini,” Nisa menulis beberapa alamat, yang dia pernah datangi, “tapi nggak tau tempat-tempat itu punya dia atau bukan.”
“Tamu ada yang pakai anak buah dia di tempat-tempat itu?”
“Nggak. Selalu di luar. Hotel, rumah tamu, villa... Mobil juga pernah...” kata Nisa. Dia mengingat seorang klien yang pernah menyetubuhinya di atas kap mobil mewah yang masih panas sementara teman-teman kliennya itu menyoraki, menyemangati si klien untuk terus memacu kejantanannya di dalam tubuh Nisa yang menahan panas kap mesin. Nisa ingat bagaimana punggungnya terasa panas, juga payudara dan perutnya, ketika lelaki itu membalikkan tubuhnya kemudian menyodominya dengan kasar.
“Oke. Ini buat masukan operasi selanjutnya. Omong-omong yang mau ditemuin sekarang orangnya siapa?”
“Orang baru, belum kenal.”
“Oke. Aku tinggal dulu. Terus kabari kalau ada kemajuan.”
“Siap komandan.”
Nisa terus menatap tajam ke Komisaris Rasidi selagi yang bersangkutan meninggalkannya. Apa sebenarnya yang diinginkan? Diapakan saja data dari dirinya? Apakah Rasidi memang benar-benar mau menggulung bisnis Ryoko? Kalaupun iya, apakah untuk mengambil bagian atau menyingkirkan saingan, seperti kata Kombes Bambang Harjadi? Tiba-tiba Nisa merasa ingin bertemu lagi dengan perwira senior itu. Dia butuh bimbingan, ketika atasan langsungnya tak lagi bisa dia percayai. Dan, Nisa harus mengakui, Kombes Bambang tahu caranya memperlakukan perempuan... biarpun dia merasa bahwa bagi laki-laki itu, perempuan ideal adalah yang menjadi abdi pemuas nafsunya. Nisa memeluk dirinya sendiri sambil terpejam.
*****
Sesudahnya Nisa menuju tempat tugas terbarunya. Kata-kata Komisaris Rasidi tadi tidak mengagetkannya. Dia tahu ada di mana wartawati yang hilang itu, Savitri. Malah dia akan bertemu Savitri malam itu. Acara kali ini beda: Ryoko memintanya datang ke satu rumah mewah, lagi-lagi tempat baru. Entah tempat milik siapa. Pukul enam sore tepat, dia datang ke tempat yang dimaksud. Rumah mewah itu penuh barang antik. Entah rumah siapa. Ryoko mengenakan gaun malam hitam yang cantik, bergaya cocktail dress ketat memeluk pinggang dengan bagian rok panjang bertepi pink. Bagian bahunya terbuka, sementara di punggung terbelah menjadi bentuk V yang dihias tali-tali. Rambutnya dikonde kecil di belakang, make-upnya menambah kuat kecantikan alami. Sementara “Irina” mengenakan jaket panjang hitam. Di bawah jaket yang menutup sampai ke lutut itu dia memakai sepatu but sebetis. Rambut panjangnya (sekarang hitam lagi) digerai dan ditata sehingga tak menutupi wajahnya yang dirias dramatis: bulu mata palsu panjang, eyeliner hitam tebal, lipstik merah darah. Dalam rombongan Ryoko dan Irina ada dua orang lagi. Satu adalah seorang laki-laki jangkung berjas dan berkacamata hitam dan satu orang lagi yang tidak jelas sosoknya karena tertutup pakaian hitam bertudung. Laki-laki itu salah seorang asisten Ryoko.
“Selamat datang,” Seorang laki-laki yang ada di dalam rumah menyambut mereka. “Selamat datang di rumah saya. Ayo, kita langsung saja ke ruang saya.” Laki-laki itu bertubuh jangkung juga, dan berkepala botak. Atau lebih tepatnya, nyaris tak ada rambut apapun di wajahnya—tanpa kumis, jenggot, dan cambang, bahkan alisnya pun tipis. Dan di balik kemeja mahal yang dikenakannya tubuhnya tampak sangat tegap. Mungkin orang yang biasa berolahraga keras. Irina mengira umurnya 40-an.
Ketika memasuki ruang pribadi laki-laki botak tanpa alis itu, Irina terkesan. Ryoko juga terlihat terkesan. Kantor pribadi laki-laki itu sangat mewah dan penuh barang-barang seni. Empat sisinya dihias lukisan besar. Lantainya tertutup karpet merah empuk bermotif rumit. Sofa beludru di dua sisi. Meja megah dengan permukaan granit.
“Ini benar-benar mewah, Pak Prabu,” Ryoko berkomentar. Nama orang itu juga terkesan ningrat, dengan sederet gelar keturunan dan akademis-hukum terpampang di papan nama di atas meja granit itu. Dan dia memang seorang pengacara terkenal. Kadang-kadang wajahnya muncul di acara “Dewan Advokat” di salah satu stasiun televisi. Nisa benci acara itu, isinya sekelompok orang yang ngomong keras tanpa ada maknanya.
“Saya punya teman desainer interior yang bantu saya bikin rumah ini,” Prabu memberitahu. “Kalau mau, ini kartu nama dia.” Ketika Ryoko dan Nisa melihat kartu nama itu, ternyata desainer interior yang dimaksud adalah pemilik gedung berisi toko perabotan super mewah.
Prabu mempersilakan Ryoko dan Nisa berkeliling mengagumi benda-benda seni dalam ruangan pribadinya. Nisa berhenti di hadapan satu patung bidadari telanjang yang bersimpuh di atas daun. Diperhatikannya bahwa di dalam ruangan itu mungkin ada lima patung perempuan telanjang, semuanya bertubuh indah, dengan dada membusung, pinggul menarik, dan bibir sensual.
“Ah, ya, yang paling saya suka memang patung-patung ini,” kata Prabu.
“Semuanya tidak seperti nyata, Pak Prabu,” Ryoko menanggapi. “Perempuan biasa badannya nggak akan sebagus itu, lho...”
“Itulah seni,” Prabu memberi kuliah. “Seni mewujudkan idealisme kita, impian kita. Kata Plato semua hal di dunia ini hanya bayangan tak sempurna dari arketipe di dunia ideal. Perempuan juga begitu, kan? Di dunia nyata yang ada perempuan-perempuan tidak sempurna. Tapi sudah hakikatnya perempuan ingin mempercantik diri, karena mereka membayangkan ingin mendekati ideal itu. Iya kan? Makanya industri baju, salon, kosmetik, dan bedah kecantikan maju pesat.”
“Ah, Pak Prabu. Ujung-ujungnya kan ke laki-laki juga. Laki-laki kan yang menginginkan perempuan tampil sempurna? Mau dibungkus dengan filsafat apapun, semua laki-laki normal tetap suka kecantikan. Yang kaya, yang miskin, yang pintar, yang bodoh, semuanya mencari yang cantik dan seksi. Bullshit kalau ada yang mengaku bisa mengalahkan kecenderungan dasar itu demi nilai-nilai lain. Makanya, yang berkoar menjunjung tinggi ideologi saja diam-diam masih nyari yang muda dan nakal kan?” tangkis Ryoko.
“Hahaha, kamu memang paling tahu laki-laki,” Prabu tergelak.
“Tapi beda kan antara patung dengan betulannya,” Ryoko melanjutkan. “Patung cuma bisa dipandangi... Dielus-elus seperti ini tidak ada reaksinya,” katanya sambil mengusap salah satu patung bidadari telanjang.
“Makanya,” kata Prabu. “Bagaimana dengan pesananku, sudah selesai kan? Kamu bilang butuh waktu tiga bulan untuk persiapannya. Sekarang sudah tiga bulan.”
“Don’t worry, I put your money into good use,” jawab Ryoko. “Irina?”
Irina bergerak ke belakang, ke arah sosok bertudung dalam rombongan Ryoko, lalu menuntunnya ke depan Prabu. Lalu Irina membuka jubah bertudung yang menutupi dia...
“Ummh!”
Gumam teredam perempuan terdengar ketika sosok itu diungkap. Hanya gumam yang bisa dikeluarkannya karena mulutnya dibungkam ball gag.
Dulu namanya Savitri. Tapi sekarang tidak ada lagi yang mengenalinya.
*****
Pada saat pemimpin redaksi bertanya siapa yang mau investigasi, Savitri langsung mengajukan diri. Dia baru saja menyelesaikan masa percobaan dan ingin segera membangun reputasi sebagai jurnalis. Setelah sebelumnya hanya ditugasi meliput kasus-kasus kriminal kecil dan mewawancara tokoh-tokoh kurang penting, Savitri merasa investigasi kasus korupsi adalah pencarian berita yang lebih menarik. Lagipula laporan investigasi bisa dimuat berhalaman-halaman di majalahnya dan kerap menjadi cover story. Beda dengan berita-berita tulisannya terdahulu yang cuma terbit satu paragraf dan kecil-kecil. Maka Savitri pun mulai menginvestigasi kasus korupsi pengadaan kartu identitas yang melibatkan pejabat departemen bernama Drs Agam, MM, MBA, MSc itu. Orang yang suka menulis gelar lebih panjang daripada nama aslinya itu diduga mendapat keuntungan karena tender tidak fair yang melibatkan perusahaan miliknya. Aparat resmi belum bergerak, tapi majalah tempat Savitri bekerja sudah mendapat tip dari seorang bawahan Agam. Savitri mulai membuntuti Agam dan mengorek keterangan. Dan ketahuanlah beberapa sisi sensasional kasus tersebut yang membuat investigasinya berbelok. Agam adalah pelanggan Ryoko. Nyaris tiap minggu sang pejabat menikmati tubuh anak buah Ryoko, baik dengan uangnya sendiri maupun sebagai traktiran dari pihak-pihak yang butuh bantuannya. Savitri jadi tertarik sekalian membongkar bisnis prostitusi kelas tinggi Ryoko. Pemimpin redaksi sempat memperingatkan Savitri agar hati-hati kalau melangkah terlalu jauh: kasusnya sensitif dan bisa menyinggung kepentingan banyak pihak. Namun Savitri yang sudah getol pantang menyerah. Dia bahkan sempat adu mulut dengan pemrednya yang dianggap tidak berani mengungkap lebih banyak. Savitri mulai memasukkan bisnis Ryoko dalam investigasinya. Pengawasannya terhadap Agam saja sudah bisa menghasilkan data mengenai beberapa anak buah Ryoko. Suatu ketika, dengan menyamar jadi petugas room service hotel tempat Agam menginap, Savitri sempat mencuri-curi memotret salah seorangnya. Namanya Irina. Ketika Savitri mengamati foto Irina di kantornya, ada seorang wartwan senior yang menceletuk bahwa wajah Irina mirip dengan istri seorang teroris yang tahun lalu diciduk. Savitri penasaran, dan sesudah membuka arsip liputan seniornya, dia yakin bahwa istri si teroris dan Irina adalah orang yang sama. Tapi bagaimana mungkin? Pertama-tama Savitri menduga istri teroris itu terjerumus dunia hitam sesudah suaminya ditangkap, divonis, dan dihukum mati. Tapi kemudian Savitri menganggap skenario itu kecil kemungkinannya. Apakah Irina sebenarnya intel? Savitri menyelusup makin jauh. Kasus Agam mulai ditinggalkannya karena bisnis Ryoko lebih menarik, ia kemudian berkenalan dengan seorang komandan polisi, Komisaris Rasidi, yang memberikan bocoran mengenai Irina pada dirinya dengan fakta yang telah dipelintir sedemikian rupa, sehingga Savitri makin percaya kalau ada polwan yang telah menjual diri kepada Ryoko dan menjadi Irina. Namun karena kurang jam terbang, investigasinya mulai tercium oleh Ryoko. Dan ketika itulah dia terjebak. Suatu hari, Savitri berhasil mengajak bertemu salah seorang anak buah Ryoko untuk wawancara rahasia di satu kafe. Tapi ternyata di kafe itu Savitri lengah. Dia dibius lewat minuman, dan sesudahnya tak pernah melapor lagi ke kantor redaksi majalahnya. Sesudah satu minggu hilang, pemimpin redaksinya dan keluarga Savitri mengajukan laporan kehilangan orang ke polisi.
to be continued...
By: Ninja Gaijin & Pimp Lord
Tidak ada komentar:
Posting Komentar