Yanti |
"Ini salahmu!" kata suara kecil dalam hatiku. "Kau melakukan ini padanya. Kamu bertanggung jawab atas kejadian yang terjadi padanya. Kau pikir lucu memberi uang palsu cetakanmu, dan ini yang terjadi. Ini semua salahmu, harus kamu luruskan!"
Aku mengambil peta jalanku dari lantai, buka-buka halaman peta kota dan bertanya, "Di mana mall terbesar?"
"Apa?" dia tersengguk, "Apa om bilang?"
"Mall, di mana mall terbesar, paling besar? Mega-mal atau komplek pertokoan yang semuanya ada. Setiap kota biasanya punya, di mana di sini?"
"Carrefour," dia terisak-isak, "Di Jalan utama Cirebon atau kita ke Tegal."
Aku tahu tempat itu, dan aku segera merasa di peta - sekitar tiga puluhan menit berkendara.
"Oke," kataku, kutarik truk ke lalu lintas. "Let’s go."
"Kenapa?" dia beringus. "ngapain kita pergi ke mall?"
"Kamu butuh pakaian, dan mereka menjualnya di mall."
"Aku tidak punya uang," dan dia mulai menangis lagi. "Aku tidak punya apa-apa!"
"Biar aku yang khawatir, kamu tenang aja, oke? Aku belikan beberapa pakaian. Kamu dapat tinggal dengan aku di hotel untuk beberapa hari, dan kita akan coba untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan. Ini tidak banyak, tapi untuk saat ini itulah awalnya. " Kataku. "Mari kita pergi cari pakaian untuk dipakai."
"Oke, masa untuk dimakan" ingusnya menggoda. "Oke."
Tiga puluh lima menit nyetir membawa kita ke mall Perancis yang besar. Aku memarkir truk, turun dan membukakan pintu. "Ayo," kataku, "kita pergi belanja."
"Om gak perlu lakukan ini untuk saya."
"Aku tahu," kataku. "kita pergi ajalah."
Senyum mencerahkan wajahnya, dan dia turun, menutup pintu, dan meraih tanganku. Kami berjalan bergandengan tangan di tempat parkir, dan melalui pintu kaca yang mengarah ke dalam mall. Dalam hidup, setiap orang punya satu keahlian - pelukis, seniman, musisi, pilot, ahli bedah, mekanik, tukang kebun - setiap orang punya beberapa bakat alam, kemampuan yang diberikan Tuhan. Bakat Yanti adalah belanja. Dia masuk ke toko seperti angin puyuh, dari dalam langsung melancarkan gempuran. Dia menyerang rak pakaian, membolak-balik seperti tukang penatu, pilih delapan, sepuluh, dua belas item dan menuju ruang ganti dengan aku ditarik di belakangnya.
Aku duduk di bangku di luar ruang ganti selama Yanti masuk ke dalam. Tiga puluh detik berlalu, dan dia muncul dengan celana jins dan melihat dirinya di cermin besar - "Apakah Om suka begini?"
"Ya."
"Aku tidak suka, mereka pantatku terlihat gemuk." Kembali ke ruang ganti, tiga puluh detik kemudian keluar dengan pasangan lain "suka yang begini?"
"Ya."
"Aku tidak suka, membuat pantatku kelihatan tepos." Kembali ke ruang ganti, tiga puluh detik kemudian, pasangan ketiga "Suka ini?"
"Ya."
"Aku tidak suka, pinggulku kelihatan besar." Setelah dia mencoba semua pakaian, dia pilih satu atau dua item dan menyerahkan kepadaku untuk kupegang. Sisa pakaian yang lain diserahkan ke pramuniaga yang malang untuk ditaruh kembali di gantungan, sambil dia menyerang rak pakaian yang lain.
Ini pengalaman baru dan berbeda bagi saya, karena dengan belanja pakaian bersama wanita, aku memposisikan diri jadi peran pendukung - mengikutinya dari toko ke toko, membawa tas keluar ke truk, dan yang paling penting ... Membayar itu semua. Tingkat dasar, tingkat atas, tingkat menengah, dan tingkat teratas semua merasakan jejak kami. Sayap Utara, sayap Selatan, Timur dan Barat sayap semuanya menerima kehadiran kami. Aku mulai melihat bahwa kemana pun kita pergi, Yanti adalah pusat perhatian. Semua pria menoleh dan mengaguminya ketika kami berjalan. Tidak diragukan lagi dia wanita paling menarik di mall, dan itu membuat dadaku bengkak dengan bangga, mengetahui bahwa wanita yang sangat menyilaukan kecantikannya ini bersama saya. Kami sedang berdiri di salah satu department store besar, dan dia berbicara dengan seorang wanita di counter kosmetik tentang sesuatu yang terdengar seperti kita berada di toko bangunan - fondasi, dasar, dan istilah lain yang aku tidak tahu. Aku berjalan ke konter perhiasan, dan melihat ke dalam. Sebuah kalung dengan tiga untaian mutiara menarik pandangan mata saya, dan aku minta ke pramuniaga.
"Itu mutiara bukan?," kataku. "Aku pingin lihat, boleh?."
Petugas membuka display, membuka pintunya, dan menyerahkannya kepada saya.
"Sebuah kalung indah, Pak. Kalungnya indah sekali."
Ya, begitu juga harganya. Harganya jauh lebih murah di navex di Yokohama, tapi ini bukan di Yokohama.
"Aku ambil," menyerahkan kartu kredit saya. Yanti mendekat, dan aku cepat-cepat pindah memotong jalannya.
"Aku tadi tanya-tanya kemana kamu pergi," katanya.
"Hanya browsing, buang waktu, melihat-lihat," jawabku.
"Aku perlu satu hal lagi, trus selesai," sambil kembali menuju konter kosmetik.
"Aku akan segera ke sana."
"Ini, Pak," kata petugas penjual, menyodorkan kalung mutiara dalam kotak, dan tanda terima untuk ditandatangani. "Apakah untuk putri Bapak?" dia bertanya, menoleh ke Yanti.
"Putri?" aku berpikir sendiri. "Bukan dia... Pacarku? Pelacur? Pacar? Kawan buat ML? Siapa dia?"
"Ya," aku menandatangani tanda terima dan menyembunyikan kotak itu di saku jaket dalam.
"Saya yakin dia akan suka, dan jika dia tidak suka kami akan senang untuk ..."
"Dia akan suka sekali," kataku. "Terima kasih."
"Terima kasih, Pak!"
Aku berjalan kembali ke counter kosmetik, membayar pembeliannya, dan kami pergi. Di perjalanan kembali ke mal setelah mengambil di ke truk, Yanti bilang,
"Aku haus, kita minum yuk."
Aku melihat lapak camilan, dan kami menuju ke sana. Aku pesan secangkir kopi, dan dia pesan es krim. Kami duduk di meja beseberangan, aku menyeruput kopi, Yanti makan cone es krimnya. Sambil aku menatap keluar ke mal, menonton hiruk pikuk, aku mendengar suara yang akrab –
"Mmmm ..."
Aku melihat kembali padanya, dan senyum iblis yang seksi dan sensual menghias di wajahnya.
"Mmmmmm ..." ia memutar-mutar lidahnya yang sensual di ujung kerucut es krim. "Nyemmm ..."
"Jangan gitu lagi ah."
"Nyemmmm ..." dia melenguh. "Mmmmm ..."
Dia menjilat kerucut dan menyeka sedikit es krim di atas bibirnya, menjulurkan lidah dan menjilatinya. "Lllmmmm ..." katanya, menjengkitkan alisnya ke arahku, "Manis dan lembut!"
Burungku mulai membengkak dan mengangguk di celana, dan aku duduk terpaku oleh kelakuannya yang agak cabul, yang sedang terjadi di depanku. Yanti melihatku yang menatapnya lekat-lekat dan tiba-tiba berdiri dan mengumumkan, "Aku udah selesai, yuk kita pergi."
John |
Hanya dengan memikirkan pekerjaan aku mampu membuat penisku yang berdenyut-denyut mengecil sedikit. Aku memutuskan untuk tidak menyebut kelakuannya seperti pagi ini, dan dia tampaknya agak kecewa ketika aku tidak berkomentar. Yanti berjalan ke tempat sampah, melempar sampah ke dalamnya, dan menuju meja counter. Aku lihat dia menunjuk sesuatu dan berbicara dengan seorang petugas yang masih muda. Dia menyerahkan sesuatunya dalam cangkir kecil dan dia mengedipkan mata ke arahnya, tersenyum, dan mendekatiku. Kami berjalan sepanjang mal, bergandengan tangan.
"Apa yang kamu dapatkan?" Aku bertanya.
Yanti menunjukkan aku apa yang dia pegang di tangannya - sebuah cangkir plastik kecil dengan cheri tunggal.
"Lihat ini," katanya. Dia mengambil ceri dari cangkir, dan dimasukkan ke dalam mulutnya.
Rahang bawahnya bergerak sedikit, dan aku bisa melihat lidahnya bergerak di dalam bibirnya. Dia berhenti, meletakkan tangannya ke mulutnya, dan mengambil sesuatu.
"Nih," tersenyum nakal saat ia menyerahkannya padaku.
Aku mengambil dari tangannya dan melihat ke bawah ... Batang ceri terikat dalam simpul sempurna. Sebelum aku bisa bilang apa-apa, dia menyeret aku dengan lengan menuju toko pakaian pria.
"Kamu butuh celana," dia katakan sambil mendorongku masuk.
"Mosok?" aku bilang, sambil menjatuhkan batang ceri di saku bajuku.
Sewaktu kita berjalan melewati rak pakaian pria, ia meraih satu dari rak dan mendorongku menuju ruang ganti, dia bilang, "Nih, coba ini."
"Gak cocok, kukira" kataku padanya, sambil dia mendorong aku ke dalam sebuah ruangan. "Ini kayaknya terlalu kecil ..."
Pintu terutup di belakang saya, dan aku mulai berbalik. Sebelum aku bisa bilang apa-apa lagi, aku merasa sepasang tangan membuka gesper ikat pinggangku dan menarik celana dan celana pendek. Aku melihat ke bawah, dan ada dia, berlutut di depanku. Burungku agak membengkak, dan tanpa berkata dia mengulumkan bibirnya di situ.
"Aaahhhh ..." Aku mengerang. "Apa yang kau lakuin padaku ..."
"Shhhh ..." Aku dengar bisikannya. "Shhhhh ..."
Lidahnya yang ahli berputar-putar di ujung penis yang berdenyut-denyut seperti yang ia lakukan di es krim, dan kepalanya berayun-ayun bolak-balik mengisap penisku. Tangannya dengan lembut menarik pantatku maju ke mulutnya yang rakus menyedot. Tanganku meraih pegangan didinding, karena lututku mulai goyah keneenakan oleh mulutnya di penisku. Maju mundur mulutnya di penisku yang berdenyut, lidah multi talentanya berputar-putar di kepala penis. Saat ia menelan penisku, kurasakan napasnya yang panas dari lubang hidung menggelitik jembutku. Yanti melepas bibirnya dari penisku yang berkedut, dan menjilati dari bawah ke atas, seperti permen panjang.
"Aarrhhhh ..." Aku mengerang pelan-pelan. "Aarhhhh ..."
Dia menggesek lidahnya di bagian bawah dan menjilati pangkalnya hingga berkedutan. Dia perlahan menjilati kantung bola, sebelum menghisap kedua bolaku ke dalam mulutnya yang hangat dan diputar-putar dengan lidahnya.
Erotika yang dia lakukan membuat kepalaku pusing. Di luar pintu, aku bisa mendengar orang berbicara dan pintu ke kamar ganti yang lain terbuka dan menutup ketika pelanggan lain mencoba pada pakaian mereka. Mereka sibuk urusannya sendiri, sama sekali gak tahu ada gadis muda nakal yang cantik di dalam ruangan ini denganku, dan berusaha keras membuat aku keluar di mulutnya. Maju mundur terus dia menjilati penisku yang berdenyut-denyut, dan kemudian mendorong lebih dalam ke mulutnya dengan satu tangan, tangannya yang lain mulai menggerayangi kantung bola, dan aku merasakan kedutan akrab mulai menencang di kedua telorku.
"Aku mau keluar," aku mengerang pelan. "Ohhhh ... Aku mau keluar!"
Dia merasakan kedutan di penisku yang menandakan orgasme sudah dekat, dan aku merasa tangannya menggapai pantatku. Tiba-tiba aku merasa salah satu jarinya menekan lubang pantatku dan meronta mauk ke pantatku saat aku keluar. Yanti dengan lembut mengocok lubang pantatku dengan jarinya saat aku menembakkan semburan demi semburan mani ke dalam mulutnya yang menunggu dengan hangat. Jarinya yang meluncur masuk dan keluar di pantatku terasa luar biasa, dan lubangku terasa meremas-remas jarinya saat aku keluar. Bolaku mengeluarkan benih dan bekerja keras bersaing dengan mulutnya yang menyedot.
"Ennggghhh ..." Aku mengerang tak berdaya, "Enngghh ..."
Lututku yang sudah lemah menekuk, dan aku jatuh kembali di dinding ruang ganti dengan keras, dinding-bersuara 'gedebuk'.
Ada ketukan di pintu. "Ada masalah, Pak?" Aku mendengar suara laki-laki berkata.
"Ya," aku nyaris tidak berhasil menjawab, "Aku baru saja kepleset. Aku oke saja."
Aku menatap Yanti, saat ia berdiri di atas kakinya. Sebelum aku bisa bilang apa-apa, dia melingkarkan lengannya di leher dan mencium pada bibirku dengan keras. Aku merasa lidahnya menekan bibirku dan aku secara otomatis membuka mulut. Lidahnya melenggot dalam mulut dan kurasakan sesuatu yang baru dan berbeda - hangat, sedikit manis, sedikit asin, dan kental - seperti saus atau semacam krim; begitulah kira-kira. Dia memutar lidahnya di sekitar lidahku selama beberapa detik, kemudian menarik kembali dan menatapku dengan hangat dengan mata kelam miliknya.
"Toni tidak akan pernah membiarkan aku menciumnya setelah aku ngisep dia. Kau berbeda -. Aku suka deh!" seksi bisiknya. "Yuk kita pergi."
Ketenanganku perlahan-lahan kembali mendekati normal, dan aku menyelipkan bajuku, memasang gesper celanaku, dan mengakkan diriku. Aku mengambil pakaian olahraga dari rak mantel, dan membuka pintu ruang ganti. Seorang pemuda, petugas penjualan usia SMA ada di sekitar empat meter memunggungi saya, dan ia bebalik saat aku membuka pintu.
"Nah, Pak ..." ia mulai, dan berhenti di tengah kalimat. Matanya melihat kepadaku dan ke Yanti, yang baru muncul dari ruang ganti, dan berdiri bergandengan tangan denganku, menyeringai seperti kucing belang. Anda tidak perlu secerdas Einstein untuk tahu apa yang barusan terjadi di sana, dan ia menatapku dengan seringai di wajah remajanya.
Aku menyelipkan tangan kananku di saku saya, ambil dua puluh ribu, dan kusalamkan ke tangannya. Aku menyerahkan pakaian olahraga dengan tangan kiri saya, dan menjabat tangannya dengan tangan kanan saya.
"Ma kasih!" kataku sambil tersenyum penuh percaya diri padanya. "terima kasih banyak!"
Kurasakan dia mengambil dua puluh ribuan itu ketika aku jabat tangannya, dan Yanti mulai menarik aku pergi. Aku melihat anak muda itu melihat ke tangannya, kemudian mengantongi lembaran itu ke saku celananya. Jika ada sistem rekaman video CCTV keamanan, aku tahu pasti dia akan menunjukkan tontonan ‘kencan’ kami kepada teman-temannya - tapi aku tidak peduli, aku sudah dapatkan gadisnya.
"Terima kasih, Pak!" serunya waktu Yanti menyeretku pergi, "Terima kasih banyak," dan hampir seperti tak sengaja ia berkata, "Silahkan, datang lagi!"
"Oh, pasti!" Yanti cekikikan. "Itu dijamin!"
"Kau sangat nakkkaall!" Aku tertawa, waktu kita berjalan keluar dari toko pakaian pria. "Kamu gadis yang nakkall."
"Aku tahu," katanya. "Kau ga ingin aku yang beda khan!" "Dan," tambahnya sok tahu, "Tadi barusan yang ketiga hari ini! Kamu gak perlu Viagra kalo udah punya aku!"
Lalu kami pergi. Blus, rok, gaun, celana jeans, celana panjang, bra, celana dalam, kaus kaki, sepatu, pakaian, pakaian, pakaian, dan lebih banyak pakaian lagi.
Akhirnya, aku diselamatkan oleh suara dari sebelah atas - "Perhatian pengunjung," suara pengeras cukup merdu. "Mal akan ditutup dalam lima belas menit. Terima kasih atas kunjungan Anda, dan selamat malam."
"Auuwwww," kataku setengah bercanda, setengah sinis, "Dan aku barusan jadi anget. Untung deh."
"Seven eleven buka 24jam 7 hari penuh." Yanti mengumumkan.
"Perlu apa lagi kamu?" Aku bertanya, agak putus asa.
"Buat mandi," katanya. "Makanan."
Kami menuju pintu keluar, dia berhenti di depan sebuah toko pakaian perempuan, dan mengumumkan, "Aku mau pipis."
"Aku akan pergi memundurkan truk dulu," kataku.
"Oke, aku nanti cepet keluar."
Aku mengemudi ke pintu masuk mal, dan dalam beberapa menit Yanti muncul dari mal dan naik ke dalam truk. Dia bergerak menuju dipan di belakang jok, dan kukira aku melihat dia meletakkan tas kecil kembali ke sana, tapi ada sesuatu yang tidak sengaja jatuh ke lantai. Dua jam perjalanan ke Carrefour membelikannya shampoo, sabun, pisau cukur, pisau, deodoran, sikat gigi, pasta gigi, obat kumur, cotton buds, penyeka kapas, gunting kuku, pinset, cat kuku, alkohol, dan banyak barang-barang kecil lainnya . Dia juga berhasil memilih satu pengeriting, setrikaan, pengering rambut, cermin makeup berlampu, dan enam tas nilon untuk membawa semuanya. Kami memuat barang-barang itu di tempat tidur sampai, dan aku kembali ke jalan besar.
"Aku lapar, kamu lapar gak? Kita cari makan malam," katanya.
"Ya, aku leper. Kau hampir bikin aku kering, aku perlu makanan."
Kami kembali ke tempat kami sarapan pagi ini, dan aku melirik jam radio; 12:37 – tak terasa kami sudah bergaul selama delapan belas jam.
Saat kami berjalan ke restoran, aku beli koran, dan ambil edisi sore. "Aku ingin periksa bola," kataku.
Kami memesan makan malam, dan sambil aku melihat bagian olahraga, Yanti membaca halaman depan. Selama makan malam aku terkejut mengetahui bahwa dia cukup cerdas. Yanti punya pengetahuan yang baik tentang keuangan, politik dunia dan nasional, dan geografi dunia. Dia sedikit ketinggalan untuk berita terkini - tapi kukira itu karena ia ada dalam tahanan baru-baru ini. Dia mampu melakukan dialog tentang banyak topik, dan dia adalah seorang pembicara yang baik. Pelayan membawa cek, dan bertanya apakah kita ingin yang lain lagi.
"Sarapan sosis?" yanti bilang, ia menatapku sambil tersenyum nakal nampaknya ada masalah bagi saya.
"Tidak ada lagi, terima kasih," aku memberitahu pelayan. "Sosis adalah lelucon kami."
Pelayan tak bilang apa-apa, hanya tersenyum senyum terpaksa dan pergi.
Yanti bilang dia perlu ke kamar mandi, dan aku bilang padanya aku akan menunggu di sini saja. Saat ia pergi ke kamar kecil, aku merasa tonjolan di saku bajuku, dan aku mengeluarkan segepok besar lipatan bon tanda terima dari toko.
"Apaan sih?" aku berpikir sendiri. Aku ratakan lipatan-2 itu, dan mulai menjumlahkan angka di kepalaku - "317 ditambah 286 sama dengan 603 ditambah 262 ada 865 ditambah 184 ada 1049 ditambah 473 sama dengan 1522 plus ..."
Yanti duduk dan melihat aku menjumlahkan bon-bon. "Yah," ia bertanya sambil tersenyum, "Berapa kamu udah keluar buat aku hari ini?"
Aku menambahkan dua kuitansi terakhir di kepala dan jawaban saya, "Apa itu penting?"
"Tolong kasih tahu, aku pingin tahu."
"Aku gak ngitung recehannya, cuman berapa ratusan. Dengan hotel, itu sedikit lebih dari empat puluh tujuh."
"Aku menghabiskan hampir empat puluh lima cepekan dari uang kamu buat pakaianku hari ini?" tanyanya dengan suara tenang.
"Dan perangkat mandi dan dan lain-lain."
"Ya ampuun!" katanya, sambil merosot. " Yanti menyesal, Yanti kelewatan." Dia menatapku sedih dan berkata, "Besok aku akan kembalikan kalo kamu mau. Yanti gak butuh semua itu, aku tidak nyadar aku ngabisin ..."
Aku mengangkat tangan ke arahnya. "Jangan khawatir itu," kataku. "Ini bukan masalah besar."
"Ini masalah buatkku," katanya. "Aku gak basa ngabisin uang kamu seperti itu."
"Ya bisa," kataku, "... Dan kamu udah khan?" sambil menyeringai padanya.
Dia menatapku dengan mata kelam, dan tak bilang apa-apa selama satu menit. Akhirnya dengan suara berbisik ia bertanya, "Kenapa, John? Kenapa kamu lakukan ini?"
"Karena."
"Karena apa?
"Karena, aku utang ... I love yu... Hanya karena itu sebabnya."
Aku menaruh jaketku, dan kurasakan sesuatu di saku ada benjolan di bagian dalam menekan dadaku. "Oh ya," Aku ingat. Aku segera bergerak ke sisinya, dan bergeser di sebelahnya. "Aku punya sesuatu untukmu," kataku. "Aku harap kamu suka." kutarik kotak perhiasan dari saku dalam, dan meletakkannya di depannya. "Ini, buka aja."
Dia membuka kotak, dan mundur seperti dia baru saja melihat ular. "Ahh John," bisiknya lembut, "cantik bangeeet!" Dia menatapku dan menggeleng, "Kamu gak harusya, kamu gak perlu, aku gak pantas ..."
"Apa kamu suka?" Tanyaku penuh harap.
"Oh ya," dia tergagap. "Ya!"
"Nih." aku mengambil kalung itu dari kotak, dan saat ia mengangkat rambutnya yang panjang, coklat tua aku membuka dan kupasang kalung di lehernya.
"Kau tampak lebih cakep!" Kataku.
Yanti berbalik dan melihat bayangannya sendiri di jendela kaca. Dia menggerakan tangannya ke lehernya, merasakan untaian indah, dan berbalik dengan air mata menggenang di matanya yang kelam.
“Terima kasih," katanya, saat ia dengan lembut mencium pipiku. "Aku gak tahu harus ngomong apa."
"Senyum kamu, udah bilang semua."
Dia menatapku dan aku melihat air matanya mulai menetes di pipinya. "Terima kasih John untuk semua yang telah kamu lakukan buat Yanti," katanya. "Aku gak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kamu. Kamu baik banget pada Yanti, kamu begitu baik, aku. .. Aku. .."
Aku menatapnya dan tersenyum, memeluknya erat-erat, dan menciumnya. Saat aku menggerakkan wajahku ke arahnya, dia menurunkan kepalanya, aku mencium keningnya.
“Kita tidur yuk," kataku. "ini hari yang panjang, dan aku capek."
Aku meninggalkan uang untuk tagihan di atas meja, dan kami meninggalkan restoran. Aku membuka pintu, dia memanjat, dan aku berjalan memutar dan memanjat di sisi saya. Saat aku duduk, dia bergerak di atas, dan dengan lembut mencium pipiku lagi. Dia tersenyum lembut padaku, dan ketegangan begitu tebal menggantung seperti awan. Aku tahu apa yang aku rasakan, dan kukira aku tahu apa yang dirasakannya, tapi tak satu pun dari kami akan mengatakan itu. Kami kembali ke hotel, dan ketika aku membuka pintu, dia mulai menyodorkan barang bawaan.
"Malam ini?" Kataku. "Sekarang?"
"Tolong? Tolonglah? Buat saya?"
"Ini akan lima kali bolak-balik, mungkin enam," kataku. "Tunggu sebentar, aku punya ide."
Aku masuk hotel, dan mencari salah satu kereta bagasi yang disediakan hotel. Aku menemukan satu, tetapi tidak ada dinding sisinya, dan mungkin akan jadi lebih repot. Ide lain...aku ke meja counter petugas depan, dan membayar dua puluh ribu untuk pergi mendapatkan satu bak plastik besar yang digunakan housekeeping menaruh pakaian kotor ketika mereka membersihkan kamar. Ia gelidingkan kepada saya, dan kugulung ke truk. Yanti akhirnya membawa beberapa kantong sambil aku mendorong gerobak - ada begitu banyak barang, tidak akan masuk semua di bak mandi. Kami naik lift ke kamar, dan menumpuk semuanya di sekitar tempat tidur yang terdekat ke pintu. Kuletakkan bak cucian di lorong, memanggil petugas untuk memberitahu bahwa ia bisa mengambilnya, dan berterima kasih padanya setelah aku menggunakan bak cuciannya. Yanti melepas jaketnya, dan mulai memeriksa tas dan barang-barang. Aku mengawasinya selama satu menit dan berkata,
"Aku mau mandi, aku akan segera selesari."
"Oke."
Aku nyalakan air, sesuaikan suhu air yang tepat, dan nyemplung, setelah memastikan pintu kamar mandi terkunci – kukira aku gak bisa main yang bergairah lagi dengan Yanti hari ini. Aku gosok sampai berbusa, bilas, berhanduk, dan mengenakan celana pendek longgar buat tidur. Muncul dari kamar mandi, aku melihatnya sangat asyik dengan pakaian barunya. Dia tersenyum dan menciumku saat aku lewat di depannya - aku tersenyum kepadanya dan terus ngeloyor ke bed lainnya. Aku duduk di tepi tempat tidur lainnya, dan melihat keluar ke pintu kaca geser. Sebuah garis awan terlihat di cakrawala, dan sepertinya ada hujan deras sedang bergerak mendekat
"Kamu oke?" dia bertanya.
"Aku baik-baik, hanya lihat ke luar jendela. Sepertinya mau hujan."
Dia tak bilang apa-apa, dia sibuk dengan pakaian barunya. Aku menyalakan televisi, dan mencari saluran cuaca, entah di Indovision atau program lain. 'Hujan mulai Minggu dini hari, dan berlanjut sepanjang hari Minggu, "kata penyiar. Di dalam ruangan sudah dingin, jadi kukira aku akan bisa nyelusup di bawah selimut biar hangat. Aku membolak-balik saluran di TV, tapi tidak ada yang menarik, dan kelopak mataku mulai berat. Hal terakhir yang aku ingat adalah suara yang berkata, "gimana ini, John? Yang ini cocok gak?"
#################################
Aku bangun, karena aku harus pipis. "10:03" kata radio jam di meja. Aku keluarkan semua isi kandung kemih, dan diam-diam menyelusup kembali ke tempat tidur. Aku melihat bahwa semua pakaian barunya yang dilipat rapi ditumpuk di tumpukan kecil di tempat tidur dan sofa. "Itu satu pelaut hebat," sepertinya samar-samar kuingat sesuatu dari kehidupan lain. Menyeret ke pintu kaca geser, aku menarik kembali tirai dan melihat ke luar. Langit mendung, dan hujan adalah mengguyur. Saat aku merangkak kembali di bawah selimut, aku melirik di tempat tidur di sebelah saya. Yanti berbaring di sana dengan memunggungi saya, selimut ditarik sampai menutupi bahunya, dan mendengkur lembut. Kukeluarkan tanganku, kuusap dan kutepuk pantatnya yang montok, berguling, dan tertidur lagi. Aku bermimpi aku kembali di Angkatan Laut, dan aku berada di laut. Kami menangkap putri duyung berambut gelap dengan mata cokelat besar, dan dia ngajak aku ngentot. Kami lakukan, dan rasannya itu luar biasa, sangat menyenangkan. Begitu sedap dan menyenangkan sehingga aku terbangun dan membuka mata. Yanti mengangkangiku, menggesek memeknya yang sehalus beludru keatas dan kebawah pada penisku yang sudah bangun. Aku mengawasinya sejenak, terpesona oleh apa yang kulihat. Dia mengenakan daster sutra, berwarna sampanye yang menyelubungi tubuhnya yang berlekuk pas di atas pahanya. Dua tali tipis menahan daster itu, brokat halus dari sutra dan renda menutupi sebagian payudaranya yang menggantung. Areola cokelatnya yang besar hanya terlihat di balik tabir, dan putingnya tertekan renda. Bagian depannya berpotongan rendah, dan menampilkan hamparan dadanya yang tumpah.
"Aku tak ingat membeli daster ini, dia pasti membeli ini ketika kami meninggalkan supermarket," kukira.
Rambut cokelat gelapnya acak-acakan membuat kerangka frame wajahnya cantik, kalung mutiara itu berkilau, bercahaya lembut, dan aroma halus parfumnya mengisi hidungku. Dia adalah gambaran keindahan feminin dewi kamaratih – dewi asmara. Dia memuaskan dirinya sendiri dengan tubuh saya.
"Selamat pagi," bisikku.
"Shhhhh ..." bisiknya, menaruh jari-jarinya lembut di bibirku. "Dengar ... Dengar hujan?"
Suara hujan di kaca pintu geser mengingatkanku tentang malam yang baru berlalu, tidak terlalu lama. Tubuhnya bergerak semulus hujan, saat ia mengocok vaginanya yang juicy pada penisku yang sudah ngaceng membesar. Matanya tertutup, dan ia menaikkan dan menurunkan badannya di penisku. Naik turun dia menggosok kweanitaannya yang manis padaku, memutar pinggulnya, dan membuat penisku masuk keluar di dalam vaginanya lezat.
Diam-diam, aku menggerakkan tanganku ke tubuhnya, merasakan kakinya cantik dan kenyal, pantatnya yang kencang, punggung, bahu, lengan, dan payudaranya. Aku menggosokkan tanganku di atas tubuhnya lagi dan lagi, merasakan sentuhan sensual dari kulitnya, payudaranya yang matang, otot-otot ketat pahanya saat dia menusuk dirinya dengan penisku. Celah sempitnya yang terlumasi lebih panas dari gunung berapi, dan aku bisa merasakan aliran lava keluar darinya membasahi bolaku karena dia dengan tegas memanjakan keinginan nakalnya pada diriku. Aku melihat payudaranya bergelombang malas saat ia memuaskan dirinya sendiri dengan penisku, dan aku dengan hati-hati membelainya dengan dibatasi daster yang halus. Aku pindahkan tanganku, dan dengan lembut kutarik ke bawah kain yang menutupi payudara kirinya. Susunya kini telah bebas dan tersajikan di depan mataku. Aku memutar-mutar lidahku di sekitar putingnya yang keras, seperti peluru dan dengan rakus kusedot ke dalam mulutku.
"Emmmmm ..." Suara Yanti nyaris tak terdengar.
Tangannya bergerak ke bagian belakang kepalaku, dan dia mulai menggeser jari-jarinya ke rambut saya, sambil menarik kepalaku ke teteknya yang besar. Tidak ada air susu lagi di dalamnya, tapi aku masih terus menyusu dan memperlakukan putingnya seperti ada susunya- menarik lembut ujung dot susu itu dengan bibirku, menggesek lidahku di puting dan meniupkan udara di atasnya sebelum aku teruskan mengisapnya. Yanti tak bilang apa-apa, tapi hanya terus diam-diam secara seksual meremas penisku yang keras dan berdenyut-denyut. Aku terus menggerakkan tanganku pada tubuhnya, dan saat aku menggerakkan tangan di pahanya, aku merasa salah satu tangannya di atas tanganku. Aku otomatis tahu apa yang dia inginkan, dan aku menyelipkan jari-jariku ke mana tubuh kami menempel bersama-sama. Aku merasa klitorisnya keras, dan dengan ringan kupijat dan kurangsang dengan jari-jariku. Gesekan jari itu mengirimkan sengatan listrik kenikmatan ke tubuh bahenolnya. Yanti menggesek klitorisnya sudah terlalu peka ke jari-jariku dengan napsu yang besar, dan saat aku menarik bibirku payudaranya yang dari empuk, kulihat wajahnya makin mempesona. Matanya tertutup, dia menggigit bibir bawahnya, dan dia benar-benar terbawa perasaan bersamaku. Kudengar suara napasnya menjadi lebih dalam dan lebih tak beraturan, dan pinggulnya tampaknya bergerak atas kemauan sendiri, sambil terus memompaku dengan vaginanya yang berkedut-kedut manis. Dan dia menggosokkan itilnya yang sensitif ke tanganku. Dengan napas terakhir, kurasakan vaginanya otomatis bergetar kejang di penisku yang menancap dalam. Otot-ototnya menegang, saat ia mendorong vaginanya yang basah di penisku, ditancapkannya dirinya sedalam-dalamnya. Aliran nektar madu panas keluar dari vaginanya dan melumuri bolaku dengan hangatnya. Dia bergetar mengejang dua, tiga, empat kali, dan perlahan-lahan mulai bernapas lagi. Wajahnya, seluruh tubuhnya bersinar merasakan kenikmatan seksual, dan hal itu membuatku merasa senang mengetahui bahwa aku bisa memberikan kepuasan fisik seperti ini padanya. Setelah reda orgasmenya, Yanti turun dari badanku, dan berbaring di sampingku di tempat tidur. Lengannya di pelukkan di dadaku, dan kepalanya berada di samping telingaku.
Aku berbaring melihat langit-langit , berpikir tentang bagaimana perasaanku padanya, dan aku mendengar, dengan lembut ia berkata,
"Aku mencintaimu, John. Aku cinta sekali sama kamu."
Seperti bendungan pecah, kata-kataku juga nyerocos keluar dari mulutku, "Aku juga mencintaimu, Yanti! Aku juga cinta sama kamu!"
Dia bangkit, bergerak di atas, dan menciumku penuh di bibir. Aku merasa lidahnya di bibirku, dan ketika aku membuka mulut, aku merasa lidahnya yang berbakat tergelincir ke dalam. Kami menjalin lidah, dan kami berciuman, dan berciuman, dan berciuman lagi. Aku memeluk, dan menarik dia lebih dekat denganku, menekan bibirnya sepenuhnya ke mulutku. Ribuan emosi yang terpendam mengalir ke seluruh tubuh saya. Otakku dibanjiri lautan perasaan yang bertentangan, sampai tiba-tiba aku berhenti dan menarik kepalaku kembali.
"Enggak, aku gak bisa."
"Gak bisa apa?"
"Aku tidak bisa melakukan ini. Enam bulan aku mencarimu, dan sekarang aku sudah menemukan kamu, aku harus tinggalkan kamu. Aku tidak bisa membiarkan diriku lekat sama kamu, karena kamu akan menghancurkan hatiku lagi, "kataku.
"Lagi?"
"Ketika kamu meninggalkan aku malam itu, aku sangat berharap kamu akan berjalan kembali kepadaku, dan aku sangat sedih kamu ternyata malah pergi ..."
"Kau bukan satu-satunya," kata Yanti.
"Apa maksudmu?"
"Ketika aku tinggalkan kamu, yang kupikirkan cuman seseorang yang akan memperlakukan aku seperti aku pingin diperlakukan. Dan gimana aku bisa jadi bahagia. Entah gimana aku merasa dekat dengan kamu , dan kukira kamu rasakan hal yang sama juga. Aku jalan di seberang jalan, tetapi semua yang ingin aku lakukan adalah kembali di truk dengan kamu. Aku masuk toko, berhenti sebentar, dan kembali berjalan keluar pintu . Kamu sedang nyetir, jadi aku masuk kembali untuk mendapatkan bir buat Toni, dan kamu tahu cedritanya."
"Kenapa kau gak kembali?" Tanyaku pelan. "Kenapa enggak balik?"
"Takut, kukira," katanya pelan. "Takut bahwa seseorang sebaik kamu tidak pingin seorang gadis seperti aku. Takut ditolak, takut gagal, takut yang gak kuketahui, cuma takut."
"Aku juga," kataku. "Dan lihat yang terjadi."
"Aku duduk di penjara dan mikir," kata Yanti. "Aku mikir tentang bagaimana manisnya kamu ama Yanti, dan aku mikir apa yang kamu lakukan yang menyebabkan Yanti berada di penjara, Yanti gak bisa paham - Itu seperti cerita Jeckyl dan Hyde. Entah gimana Yanti bisa tahu bahwa jika Aku kembali ke truk, semuanya akan beda, dan Yanti gak akan kehilangan kamu. "
"Dan sekarang aku akan meninggalkanmu lagi. Aku akan menuju ke Surabaya hari Senin, dan aku gak tahu kapan ketemu lagi."
"Yah," katanya, menatapku lembut dengan mata kelamnya, "Itu mungkin gak jadi masalah. Aku sudah putuskan ingin pergi dengan kamu."
"Pergilah dengan aku?" Tanyaku tertegun. "Kenapa kamu gak mau tinggal di sini?"
"Ngapain?" katanya. "Gak ada apa-apa lagi punyaku di sini. Yanti gak punya kerjaan, tidak ada kos-kosan, tak ada keluarga, tidak ada. Yanti punya kesempatan mengakhiri bagian dari hidup Yanti yang ini, dan mulai hidup baru dengan si Om, jika kamu membiarkan Yanti ..." suaranya jadi pelan.
"Tapi ..."
"Truk ini cukup besar untuk kita berdua, khan? Kau tidak menikah, dan Yanti juga tidak. Gak ada alasan Yanti gak bisa pergi dengan si Om, kecuali jika si Om tidak ingin ama Yanti."
"Tentu aku ingin sama kamu!" aku bilang, sambil Yanti mengangkat kakinya yang panjang dan indah ke atas perutku, bergerak naik dan duduk di perutku. "Tapi gimana dengan..."
"Bagaimana dengan apa yang kita? - perbedaan umur kita? Bahwa si Om cukup tua untuk jadi ayahku. Yang Yanti tahu adalah ini -?. Aku mencintaimu, dan kamu mencintaiku. Om baik padaku, peduli padaku, dan kamu coba membuat Yanti bahagia. Itu semua yang diinginkan gadis manapun, tak ada lagi yang lebih penting. "
Senyum ceria mulai ada di wajahku saat ia melanjutkan, "Ingat yang kamu katakan, hidup ini terlalu singkat buat menjadi tidak bahagia, dan Yanti harus cari orang yang bikin Yanti bahagia? Itulah kamu, om John. Kamulah yang Yanti inginkan. .. "
Aku tak bilang apa-apa, tapi mataku jadi sembab. Dia menatapku, tersenyum manis, dengan lembut membelai rambutku, dan bilang, "Selain itu, kamu utang."
"Hutang apaan?" kubilang agak terkejut.
"Aku punya pacar, tapi dia pergi dan sekarang aku punya kau," katanya. "Aku pernah punya tempat sendiri dan motor, dan sekarang enggak."
"Kau ingin aku belikanmu rumah petak dan motor?"
"Tidak, aku pingin lebih. Kau utang padaku lagi. Kamu utang bayi padaku."
"Bayi?"
"Ya, bayi," kata dia lirih. "Aku hampir dapat bayi tapi kehilangan dia. Aku pingin punya bayi, dan kamu akan kasih aku bayi."
"Aku gak yakin siap jadi ayah ..." Aku berusaha katakan sebelum Yanti menaruh jarinya di bibirku. Dia menurunkan wajahnya sehingga hidung kami hampir berentuhan, dan mata kami terpisah beberapa senti.
"Aku pingin punya bayi," katanya blak-blakan, saat ia menatap tajam ke arahku dengan mata yang kelam. "Dan kamu akan memberikannya kepadaku."
"Aku ini?"
"Ya, kamu," tegasnya. "Kemudian kamu akan memberi aku yang kedua, sehingga yang pertama akan punya teman bermain!"
"Dua?" Aku bertanya, sejenak tertegun.
"Paling dikit ... Mungkin lebih."
"Terus?," kataku, terpesona oleh matanya yang besar, dan mulai menyukai suara kehidupan baruku. "Bilang lagi ..."
Sambil Yanti telah menceritakan masa depan, dia telah memposisikan dirinya sehingga bibir vagina kenyalnya menyentuh kepala penisku. Dia duduk tegak, dan menghempaskan pinggulnya ke bawah sehingga penisku tergelincir masuk ke dalam vagina yang sedap, dan lembut,
"Kamu akan ML dengan Yanti dan bikin Yanti hamil. Kamu akan ML dengan aku dan buat aku puas bila Yanti jadi napsu saat Yanti hamil. Dan ketika tetek Yanti jadi penuh susu, kamu akan mengisapnya sehingga gak jadi nyeri karena kepenuhan susu. Atau ... "
Dia sudah menggerakkan vaginanya yang licin perlahan naik turun di batangku yang kejang-kejang, tapi dia tiba-tiba berhenti. Kepala penisku ditancapkan dalam hangatnya liangnya, tapi sisanya terkena udara dingin, dan perasaan itu betul-betul indah.
"Jangan goda aku," bisikku serak. "Jangan ..."
Dia mengrjaiku dengan tempiknya yang berminyak ke tugu kemerdekaanku dan berbisik, "Kamu bisa bikin Yanti hamil gak ...?" ia mengangkat pinggul dan berhenti lagi dengan hanya ujung penisku yang masuk dalam dirinya.
"Jangan," aku merengek. "Jangan godain ..."
"Kamu bisa menjaga dan cintai Yanti gak ...?" karena lagi-lagi dia menggoyang vaginanya yang hangat dan juicy ke bawah dan sengaja meninggalkan kepala penisku saja yang masuk di vaginanya yang sedap.
"Oh jangan, Yanti!" aku memohon, menggeliat dan menekuk pinggulku, mencoba untuk mendorong seluruh penisku yang berdenyut-denyut kesakitan kedalam celahnya yang manis bermadu. "Biarin aku di..."
"Ah, ah, ah, jangan terlalu cepat," ia berbisik, sambil mendorong ke bawah pada perut saya. "gimana gitu, Ayah? Mau tambah yang ini?" dengan santai ia menggesek vaginanya pada kontolku yang berdenyut-denyut, meggiling pinggulnya, dan menyelipkan palkon kembali dan berhenti. "Atau ini?" ia duduk tak bergerak hanya dengan kepala penis yang ada dalam vaginanya yang panas dan basah.
"Ya tuhan Lailahailallooh, ayolah!" Aku mengigau mengerang. "Aku gak tahan ..."
"Hmmmmm? 'Ya' atau 'Enggak? Apakah kamu akan memberikan yang Yanti inginkan?" katanya pelan saat ia perlahan-lahan mengedutkan otot vaginanya di penisku lagi, pinggulnya bergulung beberapa kali, dan perlahan-lahan naik kembali. "Atau enggak?" ia berhenti. Penisku hampir meledak dari siksaannya yang luar biasa sedap. "Ya, ya, ya Tuhan, YES!" Aku berteriak. "Aku akan berikan bayi buat kamu, aku akan berikan apa pun yang kamu mau! Aku akan cintai kamu selama sisa hidup aku!" kutarik pinggangnya, dan kutusuk dia dengan penisku yang berkedut.
"Yanti tahu kau pasti mau!" dia tersenyum bahagia.
Yanti mulai menggesekkan kewanitaannya yang lembut dan manis ke atas dan ke bawah dan menggenjot pinggulnya bergulung-gulung, membuat vaginanya menggosok seluruh batangku. Pukinya yang sedap memijat-mijat burungku yang nyeri dan panas, dan jus berminyaknya mengalir, memandikan dan menenangkan penisku dengan sari madunya yang nyaman. Dia mencondongkan tubuh ke depan sehingga payudaranya menggantung di atas dadaku dan rambut cokelat gelapnya yang panjang menggelitik wajahku, dia memandang penuh kerinduan di mataku.
"Emmmm ..." bisiknya, sambil vaginanya membelai lembut indah naik turun di sepanjang penisku, masuk dan keluar dalam kehangatan surgawinya. "Keluarin, John. Entotin Yanti sampai hamil. Keluarin di dalem memek Yanti dan bikinin bayi. Keluarin di dalam dan bikinin bayimu, bayi kita ..."
"Enngghhhhh ..." Aku mengerang, "Ini bayimu!" Tanganku menarik pinggulnya ke bawah saat aku melengkungkan punggungku dan mencoba untuk mendorong penisku yang berdenyut sedalam-dalamnya di vaginanya yang sepertinya datang dari surga.
Ledakan muncrat keluar dari ujung penisku dan membanjiri tempiknya dengan air mani. Dia menurunkan kepalanya dan menciumku, menggelincirkan lidahnya kedalam mulutku ketika aku klimaks dalam vaginanya yang menggenggam dan mengisap semprotanku. Muncratan, muncratan lain, dan semprotan lain memasuki liang bayinya yang beruap, seolah vaginanya meremas-remas penisku, memerah cairan sampai tetes terakhir. Bagian dalam tubuhku serasa mencair, dan kontolku menembakkan benih ke dalam gerbang kewanitaannya yang menyambut dengan senang. Aku terus muncrat sampai tidak ada yang tersisa, dan aku rubuh kembali telentang di tempat tidur, habis total secara fisik dan emosional. Yanti berbaring di samping aku lagi sehingga penisku yang lemas menyelip keluar, kepalanya Yanti menekan di lenganku. Aku meraihnya dan menariknya lebih dekat, dan dia merapat kepadaku. Aku menggeser tanganku di punggungnya, dan berhenti dengan tangan menggenggam pantatnya yang kenyal dan bulat.
"Aku mencintaimu John," bisiknya lembut, ketika tangannya lembut membelai wajahku. " Yanti sangat senang kita bersama-sama."
"Bagaimana aku bisa begitu beruntung?" aku berpikir sendiri.
Ketika aku berbaring, perlahan-lahan kesadaranku pulih, dia bilang, "Apakah aku suka kota Malang?"
"Ya, kukira kamu pasti suka. Ini adalah kota yang cukup kecil, cuaca bagus, dan kita punya pemandangan yang indah dari Gunung Panderman dari ruang tamu."
"Kedengarannya bagus!" katanya. "Berapa lama waktu yang dibutuhkan kita untuk menuju ke Jawa Timur?"
"Jika kita berangkat besok, kita sampai Senin malam, Selasa pagi mungkin ..."
"Tanggal berapa hari ini?"
"Ini hari Minggu tanggal tujuh belas," kataku.
Aku dengar dia dengan lembut menghitung, dan merasakan jari-jarinya di dadaku saat dia menghitung hari, "delapanbelas, sembilan belas, dua puluh..."
Ada jeda saat ia berpikir, lalu berkata, "Aku mulai pembuahan Kamis atau Jumat. Aku subur akhir pekan depan. Aku biarkan kamu beristirahat sampai kita sampai di Surabaya, tapi ketika kita pulang sebaiknya kita siap untuk akhir pekan depan - kamu banyak pekerjaan...Ayah "! Katanya, dengan seksi dan senyum nakal.
"Ya Allooh," kataku, "Apa yang kulakukan?" aku tersenyum lebar. "Untung, setidaknya aku masih punya beberapa Viagra."
"Ayah gak perlu Viagra, kamu punya aku!" Yanti berbisik sambil menciumku di bibir.
"Aku mencintaimu Yanti!" Bisikku kembali ketika aku memeluknya erat-erat. "Yuk kita berpakaian dan cari makan siang prasmanan."
"Apakah ayah kira ada yang punya sarapan sosis?" dia cekikikan, dengan binar nakal di matanya yang kelam.
"Yanti, kamu nakalll!" Kataku penuh kasih, sambil aku menggeleng-geleng. "Kamu gadis yang nakal!"
"Yanti tahu!" katanya, seringai penjahat menghiasi wajahnya yang cantik. "Itu sebabnya si Om cinta ama Yanti!"
###########################
Epilog
Kami sudah menikah selama tujuh tahun dan punya empat anak, dan aku mencintainya. Cinta yang terus tumbuh setiap-hari. Hidup kami luar biasa, kehidupan seks kami hebat, dan kami lebih dari sekedar bahagia. Duduk di samping komputer, ketika aku menulis ini, ada gulungan plastik bening yang telah kubuat khusus. Di dalamnya ada satu benda kecil - batang cherry diikat dengan simpul pita. Dan Yanti benar ... Aku tidak membutuhkan Viagra, aku punya Yanti
TAMAT
By: Ruhul Yaqin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar