Sabtu, 25 November 2017

Cerita Dewasa Avengers 1

"Aakkhhh...!" teriak dua orang prajurit serentak saat tubuh mereka bertubrukan dengan kerasnya. Salah satu dari prajurit itu baru saja diseret dan dilemparkan dengan mudahnya ke arah temannya sendiri oleh seorang pria yang sedang lincah mengendarai sepeda motor bergaya klasik. Pria itu berpakaian ketat serba biru dengan strip merah dan putih di bagian perut, lengkap dengan sebuah bintang putih yang terpatri di tameng Vibranium yang terpasang di punggungnya.

"Tony, bagaimana keadaan di atas sana?" Kapten Rogers bertanya melalui perangkat komunikasi kecil yang tersemat di telinganya, yang mana merupakan alat bagi seluruh anggota Avengers agar tetap saling terhubung. Sepeda motor yang dikendarainya masih melaju di tanah bersalju, gesit mengarahkannya ke setiap prajurit musuh yang tumbang satu demi satu terkena serangan-serangan yang dilancarkannya.

"Aku sedang mendekat," balas Tony Stark dari balik baju besinya. Ia sedang terbang berkelit melewati barikade tembakan-tembakan musuh, hingga...

BOUNGG...

Baju besi andalannya tak sengaja menabrak sesuatu dari bagian gedung besar yang merupakan markas musuh. Sang Iron Man pun terlempar.

"Brengsek!" Tony Stark memaki jengkel sambil mengontrol arah terbangnya lagi.

"Ucapan...," Kapten Rogers mengingatkan tentang larangan mencetuskan kata-kata kotor. "Jarvis, apa yang terjadi?"

"Bagian pusat gedung dilindungi oleh semacam lapisan energi," J.A.R.V.I.S., program kecerdasan buatan milik Tony Stark langsung memberikan analisis. "Teknologi milik Strucker lebih maju daripada teknologi Hydra."

"Tongkat Loki pasti penyebabnya," ujar Thor di dalam pertempuran. Mjolnir andalannya dilontarkan, memukul banyak musuh sebelum palu besar itu kembali ke tangannya dengan sendirinya.

Natasha Romanoff Si Black Widow melompat ke arah dua prajurit musuh, melumpuhkan mereka dengan pitingan khasnya yang mematikan. Wanita berpakaian ketat serba hitam itu mendarat dengan mulus. "Cepatlah, kita selesaikan saja sesegera mungkin sebelum Strucker mendadak punya ide lain."

"Tenanglah, Nat. Perhatikan saja ke sekitarmu," jawab Clint Barton Si Hawkeye dengan santai. Panahnya melesak tepat ke tubuh seorang musuh yang hendak menyerang Natasha dari belakang.

Agen Romanoff terkejut melihat tubuh musuh yang tergeletak tewas di belakangnya. Ia melihat Agen Barton di kejauhan, tersenyum tipis. "Terima kasih."

"Sama-sama," sahut Clint sembari melancarkan serangan "tepat sasarannya", memelesatkan anak panah ke target berikutnya.

Di posisi lain, tanah dan salju bergegar keras mengikuti irama telapak kaki dari satu makhluk hijau besar. Hulk yang merupakan perwujudan sosok monster yang ada di dalam diri Bruce Banner mengamuk menyerang semua fasilitas "besar" musuh yang dilihatnya. Tank, artileri, bunker, humvee, dan semua alat-alat perang musuh dihancurkan olehnya. Teriakan keras melaung setiap kali dia menghantam.

Hutan pinus yang begitu lengang mendadak menjadi medan perang, namun perbatasan markas Strucker itu hanya diisi oleh korban-korban dari kehebatan pasukan Avengers. Perlahan tapi pasti, Avengers menguasai keadaan, dan posisi Strucker kian terjepit.

Dibekali oleh kekalutan, pihak musuh menyerang semakin gencar. Senjata-senjata berat canggih dipersiapkan di bagian luar markas mereka. Tanpa membuang banyak waktu, mereka langsung mengaktifkan meriam-meriam yang mampu memuntahkan peluru-peluru berbentuk energi dahsyat. Tembakan-tembakan pun berhamburan memenuhi medan perang.

Para prajurit Strucker mencoba menggempur Tony Stark yang terbang hilir-mudik di sekitar markas mereka. Berkali-kali tembakan mereka lakukan, namun tak berhasil mengenai Si Iron Man. Tembakan-tembakan meriam mereka malah menyasar ke arah kota di mana warga-warga sipil berteriak panik dan ketakutan.

"Strucker memang tampak tak peduli jika warga sipil jadi korban," ujar Tony prihatin. "Jarvis, kirim para Iron Legion...."

Tak lama setelah Tony Stark memberi perintah pada J.A.R.V.I.S., datanglah robot-robot Iron Legion ke kota. Robot-robot yang berbentuk mirip seperti kostum Iron Man, namun lebih praktis karena tidak ada orang yang berada di dalamnya. Prajurit-prajurit mekanik Tony Stark itu mencoba mengevakuasi penduduk kota.

"Bagaimana, Tony? Kau bisa melumpuhkan pertahanannya?" tanya Kapten Rogers seraya mencampakkan sepeda motornya ke mobil tempur musuh, membuat seluruh prajurit di dalamnya terlempar berhamburan.

"Sedang kulakukan," jawab Tony Stark. "Jarvis?"

"Sumber tenaga perisai ada di gedung sebelah utara," J.A.R.V.I.S. merespon.

Tony Stark segera terbang ke arah yang dituju, melumpuhkan titik kelemahan dari perisai energi yang melingkupi gedung dengan roketnya. "Jalan sudah terbuka, para hadirin!"

"Berita yang bagus," kata Kapten Rogers. Tameng Vibranium yang dilemparkannya mengenai tiga musuh sekaligus, dan kembali ke tangannya layaknya sebuah bumerang.

Thor yang kebetulan berada di dekat situ langsung menghampirinya. "Kau pergilah bersama Stark ke pusat gedung, lumpuhkan mereka, dan bawa tongkat itu. Aku dan yang lainnya akan berjaga di sini."

Kapten Rogers mengangguk.

"Aku yang akan masuk ke lab-nya. Kau urus saja si Strucker sialan itu, Kap," ujar Tony Stark.

"Hei, ucapanmu!" Kapten Rogers mendongkol.

"Maaf, Kap, keceplosan...," jawab Tony sekenanya.


***​

Perang di New York sudah berakhir, tetapi perang berikutnya datang menghampiri Avengers. Tongkat Loki yang direbut ketika pertempuran melawan tentara Chitauri telah jatuh ke tangan musuh, Wolfgang von Strucker. Pria yang juga punya panggilan Baron Strucker itu awalnya merupakan salah seorang anggota S.H.I.E.L.D., namun dia punya visi sendiri. Tak puas dengan kepemimpinan organisasi itu, ia pun berkhianat dan membelot ke komplotan Hydra.

Nicholas Cooper dan Mark Smith adalah dua orang ilmuwan S.H.I.E.L.D. yang sebelumnya ditugaskan untuk meneliti tongkat tersebut setelah pertempuran New York. Pada awalnya, Mark Smith ingin menjadi Agen Lapangan, tetapi S.H.I.E.L.D. punya kebijakan lain. Organisasi itu ingin Mark Smith tetap berada di Divisi Penelitian, membantu koleganya, Nicholas Cooper.

Malapetaka bermula saat Hydra yang masih berupa "parasit" di S.H.I.E.L.D. kala itu mengutus Baron Strucker untuk mencuri "tongkat sakti" tersebut. Strucker menggunakan taktiknya dengan menggoda Mark Smith untuk bergabung ke Hydra dan menjadi Agen Lapangan. Tergoda iming-iming itu, Mark Smith pun melakukan syarat pertama yang diajukan Strucker: membunuh Nicholas Cooper dan membawa lari artefak itu. Misi terlaksana dengan baik, dan tongkat itu pun sukses mendekam di pusat penelitian Strucker.

Guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, Avengers yang sudah mendapatkan lokasi di mana tongkat itu berada langsung bertolak ke markas Strucker di Sokovia, sebuah Negara kecil di daerah Eropa Timur. Avengers sukses mengamankan wilayah itu, namun sesuatu yang ditakutkan ternyata sudah terjadi. Strucker yang dibantu oleh ajudannya, Doktor List, rupanya sudah sempat melakukan perkara-perkara ilegal dengan tongkat bermata biru tersebut.

***​

Tony Stark berhasil menerobos fasilitas Strucker dengan melumpuhkan prajurit-prajurit penjaga yang masih tersisa. Saat memasuki sebuah ruang kontrol, ia melihat Doktor List yang sedang mengunduh sesuatu dari komputernya sebelum kabur. Tony cepat tanggap dan tanpa ampun langsung menyerang kaki tangan Strucker itu dengan satu hantaman sinar repulsor dari telapak tangannya. Doktor List yang tak punya pertahanan apa-apa langsung tumbang.

"Aku sudah di dalam," lapor Tony. "Jarvis dan aku akan menganalisis semuanya."

"Dimengerti...," balas Kapten Rogers di seberang. Ia masih sibuk melumpuhkan musuh yang masih memberikan perlawanan di dekat pintu masuk gedung. "Romanoff, ada baiknya kau 'ninabobo'-kan Banner sekarang."

"Sedang kulakukan...," sahut Black Widow. Ia sudah sampai di dekat Hulk, Si Monster Hijau Raksasa. Ia menghela napas. "Hei, Pria Besar...! Matahari sudah hampir terbenam...."

***​

Tony Stark keluar dari baju besinya. "Pasang mode siaga," ucapnya.

J.A.R.V.I.S. langsung menaati perintah dan mengambil kendali kostum perang Stark. Tangan baju besi itu mengacung, mengawasi sekitar.

Tony menggantikan Doktor List, mengunduh semua file. Saat dia menyuruh J.A.R.V.I.S. memindai ruangan kecil itu, ada pintu rahasia yang terdeteksi, pintu yang memasuki sebuah lorong. Dengan keingintahuannya yang berlebih, Tony tanpa ragu memasuki pintu rahasia itu demi melihat-lihat ruangan lain. Dia berlenggang meninggalkan baju besinya, perlindungan utamanya.

Sementara itu, di sisi lain, Kapten Rogers meneruskan eksplorasinya sendiri. Ia mendobrak salah satu pintu, dan tanpa sengaja bertemu dengan seseorang yang sejak tadi mereka cari. Seseorang yang juga mencoba melarikan diri.

"Baron Strucker... akhirnya kami mendapatkanmu," ujar Sang Kapten.

Lari Strucker tercegat. Ia hanya bisa tersenyum getir. "Cukup lama juga bagi kalian, ya?"

"Itu hanya soal waktu, sama halnya dengan dirimu yang akan merasakan penjara," balas Kapten Amerika.

"Kau akan memenjarakanku dengan apa?"

"Dengan bukti 'Program Eksperimen Manusia Ilegal'."

"Hmm...." Strucker memperlebar senyumnya. "Cukup menarik mendengar 'orang mati' sesumbar..."

Strucker tiba-tiba meraih pistol di pinggang, hendak menembak Kapten Rogers. Namun saat senjata itu masih tertodong, Kapten Rogers dengan cepat menepisnya dengan tameng Vibranium dan menendang Baron Strucker hingga terbentur ke dinding. Penjahat Hydra itu pun pingsan.

"Aku sudah mendapatkan Strucker," lapor Kapten Rogers.

"Ya...," ucap Tony Stark sebelum ia tiba di dalam sebuah ruangan yang sangat lebar, "aku mendapatkan sesuatu yang lebih besar...."

Anak Howard Stark itu terpana melihat seisi ruangan. Ia tak menyangka terhadap apa yang sudah dilakukan oleh Baron Strucker di tempat itu. Leviathan, kapal besar tentara Chitauri yang sempat menginvasi New York ada di sana. Dan entah bagaimana caranya, tiruan-tiruan robot Iron Legion miliknya juga terbaring indah di dekatnya, seakan-akan proyek yang perlu dilakukan pada robot-robot itu hanya tinggal dirakit dan diberi sumber tenaga untuk segera siap tempur. Semua itu benar-benar mengejutkan dan memberinya helaan napas berat. Berkembang sedikit saja, teknologi itu bisa-bisa menjadi ancaman yang serius bagi seluruh dunia, terkhusus bagi Avengers.

Tony menatap 10 meter ke depan. Matanya melihat secercah cahaya biru, cahaya yang keluar dari batu di tongkat Loki. Artefak itu berdiri tegak di sebuah panel canggih, tempat penyerapan sumber daya. Tony hendak mengambil tongkat itu, namun baru beberapa langkah ia maju, tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya hingga terpental. Tubuhnya membentur sebuah kabinet dengan cukup keras, lalu tersungkur di lantai.

Tony Stark tak sempat melawan. Earset komunikasinya yang tak sengaja terjatuh diinjak remuk begitu saja. Gerakan musuhnya sangat cepat. Belum lagi dia bisa berdiri, tubuhnya tahu-tahu terangkat naik, melayang setengah meter di udara. Tubuhnya terasa kaku, tak bisa bergerak. Ada aura merah tipis yang menyelimutinya.

Di hadapan Tony berdiri dua orang: seorang laki-laki muda berpakaian sporty, dan seorang perempuan muda yang sedang mengontrol kekuatannya. Mereka berdua menatapnya tajam.

"Tony Stark, 'Bapak Perang Modern'... senang bertemu denganmu," sapa laki-laki itu seraya tersenyum, bersedekap.

"Siapa kalian?" tanya Tony.

"Tidak ada gunanya kami memberitahumu," jawab gadis itu. "Kami hanya ingin tahu apa yang kau rasakan sekarang. Takut? Panik? Atau mungkin... putus asa?"

Tony menelan ludah. Matanya melihat mereka berdua bergantian.

"Kini kau sendirian, Stark," ujar pria itu. "Tidak akan ada seorang pun atau apa pun yang bisa menolongmu, sama seperti apa yang kau lakukan pada kami dahulu."

"Jadi, isu eksperimen manusia itu benar? Kalian adalah 'hasilnya'?" Tony mencoba kritis.

Mereka berdua tersenyum.

"Tebakan yang bagus, Stark. Kau memang pintar," ujar pemuda itu. "Tapi... sangat disayangkan, kepintaran dan segala kehebatanmu itu takkan bertahan lebih lama lagi."

Pria itu menatap wanita di sebelahnya, mengangguk pelan. Wajah mereka berdua tampak dipenuhi amarah dan dendam.

Tubuh kaku Tony Stark perlahan-lahan diturunkan hingga kakinya terjejak di lantai. Dia menelan ludah sekali lagi, menatap tajam wanita di depannya yang tampak seperti sedang mengumpulkan semacam kekuatan di tangan kanannya. Aura merah muncul di tangan itu, seperti bola energi yang siap dilepaskan.

"Riwayat seorang Tony Stark akan berakhir di sini...," ucap gadis itu, dan sedetik kemudian, tangannya meluncur cepat ke kepala musuhnya.

Tony berpasrah, memejamkan matanya.

Namun, sesaat kemudian, apa yang terjadi? Lengang.

Sang Iron Man yang tak merasakan apa pun membuka matanya, menyaksikan tangan yang berada di depan wajahnya dengan heran. Tidak ada tanda-tanda aura merah yang tadi, gadis itu hanya mengacungkan tangan kosong.

Wanita tersebut menurunkan tangannya perlahan, menatap Tony dalam-dalam. Ia seperti tersentak akan sesuatu.

"Ada apa?" tanya pemuda di sebelahnya.

Gadis itu menggeleng pelan. "Kita tak seharusnya melakukan ini."

"Apa maksudmu? Kita sudah menunggu lama untuk ini."

"Aku tahu. Tapi... aku melihat sesuatu yang berbeda darinya."

Lelaki itu menatap Tony lekat-lekat. Ada yang mengganjal di hatinya. Ia menggeleng. "Tidak, orang ini harus menerima ganjarannya."

"Tidak!" tegas perempuan itu. "Kita bisa bicarakan ini, tapi tidak di sini. Sebaiknya kita pergi sekarang, dan biarkan saja dia membawa tongkat itu."

Pemuda itu menghela napas. Matanya masih memandang Tony dengan tajam.

"Pietro...," ucap gadis itu sambil menatap pria di sebelahnya.

Lelaki itu balas menatap. Dengan berat hati, ia pun mengangguk.

Wanita tersebut mengalihkan pandangannya ke Tony Stark. Ia memberikan sorot mata yang serius. "Pastikan kau tidak berbuat apa pun pada tongkat itu selain menjaganya agar tetap aman. Kalau terjadi sesuatu lagi, kami bersumpah akan benar-benar menghajarmu."

Tony membisu. Mendapati musuh yang mengampuninya dengan sebuah nasihat tampak cukup mengena di hatinya.

Sekejap kemudian, lelaki itu menggendong si gadis, lantas pergi dengan kecepatan tinggi, hilang bagaikan angin. Ditinggal pemiliknya, aura merah yang melingkupi Tony pun lenyap. Tubuhnya bisa digerakkan kembali.

Tony terpegun, seakan ada sesuatu di benaknya. Tak lama, ia menghela napas berat, membuang beban pikiran itu. Ia berjalan perlahan mendekati tongkat Loki. Tangannya terangkat, membentuk sebuah gestur.

Bagian tangan dari baju besinya tiba-tiba datang melingkupi tangannya. Dengan tangan besi yang terpasang itu, Tony dengan cepat menangkap tongkat tersebut, mencabutnya dari tempatnya. Artefak itu pun resmi diamankan Avengers.

***​

Seluruh pahlawan super Avengers saat ini berada di dalam Quinjet, menuju perjalanan pulang. Natasha Romanoff sedang terlibat obrolan bersama Bruce Banner, membicarakan kesuksesan dalam meninabobokan Hulk. Doktor Banner mensyukuri kemajuan itu, namun masih masygul terhadap apa yang telah dilakukannya di jauh hari sebelumnya.

Sementara itu, Thor dan Kapten Amerika masih betah menatapi tongkat bermata biru yang berhasil mereka rebut. Sebuah keberhasilan yang "sekali lagi" mereka lakukan demi menyelamatkan dunia.

"Hei, Banner! Doktor Cho dari Seoul hendak masuk ke dalam lab-mu. Dia ingin melakukan beberapa 'persiapan'." Stark menatap Banner dari kursi kemudi Quinjet.

"Oh... ya, mmm... izinkan saja dia masuk...," jawab Banner sedikit terbata-bata. Ia dan Stark seakan sedang memberi kode lewat pikiran.

"Siapa Doktor Cho?" tanya Natasha.

"Dia seorang ahli genetika yang terkenal," sahut Banner. "Dia sangat berpengalaman di bidang jaringan tubuh."

"Untuk apa?" tanya Black Widow lagi, menyelidik.

"Aku dan Tony ingin melakukan beberapa percobaan dengannya," lanjut Banner. "Jika dikembangkan, mungkin apa yang kita dapat darinya akan berguna untuk Avengers."

"Kudengar dia juga membawa aset terbarunya, sebuah temuan mutakhir," timpal Tony yang beranjak dari kursinya, setelah menyerahkan kendali pesawat kepada J.A.R.V.I.S..

Natasha terdiam sejenak, lalu bertanya, "Ini untuk akademis saja, kan?"

"Kuharap demikian," potong Barton santai. "Kita tidak ingin berjibaku untuk kesekian kalinya, bukan?"

Seisi pesawat saling melihat satu sama lain.

"Ya," susul Banner, "hanya untuk akademis saja."

Semua terdiam, bermain dalam pikiran masing-masing. Perasaan Natasha sedikit bimbang, tapi dia mempercayakan sepenuhnya pada Banner.

Tony mencoba fokus. Ia bergabung bersama Thor dan Kapten Rogers, menengok tongkat Loki. "Melegakan, ya? Mengingat kemandirian kita semenjak SHIELD jatuh," ujar Tony. "Jadi... inikah akhir dari tugas kita?"

"Tentu saja tidak," sanggah Thor. "Tapi ini merupakan akhir dari pencarianku. Dengan ini, sudah tak ada lagi pengaruh yang bisa membahayakan Midgard."

"Bisakah sekali saja kau tak membicarakan 'hal-hal dewa'-mu itu?" Tony memprotes. "Aku hanya makhluk tak abadi yang punya kadar rasionalitas tingkat rendah."

Thor dan Kapten Rogers tersenyum.

"Setidaknya kita tahu bahwa energi dari tongkat ini juga sangat ampuh untuk membuat senjata selain Tesseract," ujar Kapten Rogers. "Dan Strucker juga menggunakannya untuk eksperimen manusia, meskipun sampai sekarang tak terbukti berhasil."

Tony terdiam sejenak, berpikir akan kejadian yang telah menimpanya. Ia menatap lamat-lamat batu biru yang tersemat di tongkat itu.

"Aku dan Banner bermaksud meneliti tongkat ini," kata Tony kemudian. "Hanya beberapa hari sebelum 'pesta perpisahan'. Apa kau keberatan?"

"Oh, tidak, silakan saja," jawab Thor. "Kemenangan besar memang harus dirayakan. Lagi pula aku penasaran dengan pesta yang kau katakan itu. Apa itu pesta besar? Kau antusias sekali mengatakannya sejak kemarin."

Tony tersenyum saja. "Kapten? Kau ikut?"

Kapten Rogers mesem-mesem. "Ya, kenapa tidak?"

Tony dan Kapten Rogers menoleh ke Natasha. Thor yang tak mengerti ikut-ikutan menatap wanita itu.

Black Widow yang merasakan kesenyapan balas menatap ke mereka bertiga, tersenyum simpul. "Apa?"

"Ini... mmm... sebenarnya bukanlah pertanyaan retorik, Romanoff. Kau tahu... mmm... hanya mengisi waktu yang... kau tahulah, sekadar bukti kebersamaan kita. Akhir-akhir ini Avengers merasa butuh sesuatu yang... menaikkan adrenalin secara spesifik...." Tony memutar bola mata, memejam, memainkan kedua tangannya hanya demi mengeluarkan kata-kata yang terpantas.

"Diamlah, Tony. Aku tahu apa maksudmu," ucap Natasha santai.

"Kau tahu?"

Agen Romanoff tersenyum cuek. "Kau pikir ada yang bisa disembunyikan dari SHIELD?" katanya congkak. "Aku sudah mendengarnya, Tony."

Alis Tony mengernyit. "Bagaimana kau bisa tahu? Maksudku, dari kemarin aku tidak 'berbaur'. Kau tahu, sibuk menata jenggotku, dan..."

"Lihatlah ke belakangmu, pesolek...," sela Natasha.

Tony berbalik, melihat Kapten Rogers yang sedang memegang penis tegangnya dari ritsleting celananya yang terbuka.

"Maaf, Tony. Celana ini benar-benar sempit. Aku tak bisa menahannya," ucap Kapten Amerika sambil mengurut lembut kemaluannya sendiri.

Seisi pesawat langsung bersorak risau melihat kelakuan pahlawan super bertameng Vibranium itu.

"Oh, Kap, tak bisakah kau sembunyikan 'benda' itu? Kau membuatku malu punya Kapten sepertimu," Clint Barton menutup matanya.

Banner menggeleng pasrah, Thor manggut-manggut sambil tersenyum, sementara Tony Stark hanya bisa cengar-cengir.

"Jadi, ini maksud kalian? Pesta Cinta?" Thor mencoba menandaskan.

"Thor, tak mengertikah kau dengan apa yang kukatakan tadi?" Tony memotong. Mukanya lesu.

Thor tertawa sembari menepuk bahu Stark. "Maaf, kawan. Aku tahu kau aneh mendengarnya, tapi itulah sebutan yang kupahami."

"Ya... ya... sudahlah...," Tony mencoba mengakhiri percakapan tak produktif itu. "Kapten, ini belum saatnya. Jadi, lakukan apa yang harus kau lakukan."

"Baiklah," jawab Kapten Rogers. Ia berjalan ke bagian belakang pesawat. "Romanoff, aku akan menunggumu...!"

"Dimengerti, Kap...!" balas Natasha sekenanya.

Banner tak berhenti menggeleng, Barton menepuk jidatnya, sementara Kapten Amerika mengambil posisi push-up dengan ritsleting celana yang masih terbuka.

"1... 2... 3... 4...," Kapten mulai berhitung di setiap pompaan lengannya.

"Jangan berhenti sebelum kusuruh, Kap!" imbau Natasha.

"Dimengerti, Agen Romanoff...!" sahut Sang Kapten. "8... 9... 10..."

"Apa yang dilakukannya?" tanya Thor.

"Meredakan rangsangan seks di tubuhnya," kata Tony seraya menengok Kapten Rogers yang sedang "berolahraga".

"Apa kalian sudah sering melakukannya?" tanya pria berambut pirang itu lagi.

"Sekali," jawab Tony. "Saat itu Banner bahkan belum 'resmi' masuk ke dalam tim."

"Lalu?"

"Lalu terjadilah," sambung Tony asal.

"Oh, Tony, sebaiknya kau berhenti menceritakan pengalamanmu itu," timpal Banner.

"Oh, aku minta maaf, Banner. Aku akan diam." Tony bersedekap. "Thor, sebaiknya kau diam juga. Jangan sampai dia jadi hijau."

Bruce dan Natasha saling tatap, tersenyum.

"Aku tak marah padamu, Tony," imbuh Banner. "Kau seharusnya bisa membedakan amarah dengan..." Banner terdiam.

"Dengan apa? Cemburu?" Natasha menyisipkan pendapat.

Bruce tersenyum, agak tertunduk. "Yah, terserahlah...."

"Akuilah, Pria Besar, kau benar-benar manis dalam wujud manusiamu," puji Natasha.

"Itukah pendapatmu?" balas Banner. "Kalau begitu, bolehkah aku ikut 'berpesta'?"

"Tentu, kawan. Asal kau berubah jadi hijau sebelum melakukannya," Tony memotong.

Banner terkikih pelan. "Tidak bisa, kawan. Amarah dan nafsu seks itu hal yang bertolak belakang. Aku takkan punya hasrat seksual lagi jika dalam wujud seperti itu."

"Oh, aku keliru kalau begitu," Tony menjawab sekenanya. "Sayang sekali. Padahal aku ingin melihat sebesar apa 'senjata' Hulk saat bercinta."

Natasha memelototi Tony Stark.

"Oh, cukup. Sebaiknya aku tidur saja," ucap Agen Barton, merebahkan diri. "Kalian semakin gila."

Suasana lengang sejenak, hanya suara hitungan Kapten Rogers yang terdengar.

"Jadi... siapa pasanganku di pesta nanti?" tanya Thor antusias, memecah keheningan.

Tony, Natasha, Banner serentak menatap Thor. Bahkan Clint ikut-ikutan melirik.

"Apa?" Thor melihat mereka satu per satu.

Semuanya mengikik tertahan.

***​

Quinjet tiba dengan cepat di menara Avengers di New York. Doktor Helen Cho dan Agen Maria Hill menyambut. Kapten Rogers merapikan ritsleting celananya, lantas keluar dari pesawat tak lama setelah anggota Avengers yang lain masuk ke bangunan bergaya futuristik itu.

"Bagaimana kabar Strucker?" tanya Kapten Rogers.

"NATO menangkapnya," jawab Agen Hill. "Segala dakwaan sudah terbukti, dan seluruh fasilitas miliknya sudah dalam kendali."

"Bagus," ujar Kapten. "Sekarang aku hanya perlu bersiap-siap untuk sebuah acara besar."

Maria Hill tersenyum. "Apa yang akan kau lakukan sebelum itu? push-up? Lari maraton?"

Kapten Rogers nyengir. "Kau ikut?"

"Takkan mungkin kubiarkan kau membuat Romanoff kelabakan sendirian, Kap," tantangnya.

Kapten Rogers mengembuskan napas, menyeringai sambil berkacak pinggang. "Bersiaplah Hill, aku bisa melakukannya seharian."

***​

Semua anggota Avengers tersebar di dalam menara, mengurusi kesibukannya masing-masing. Tony Stark dan Bruce Banner sedang mendengarkan presentasi dari Doktor Cho di dalam laboratorium. Mereka berdua tampak antusias pada alat rancangan ilmuwan Korea Selatan itu.

"Jadi, ini adalah mahakaryamu itu?" tanya Banner pada Doktor Cho saat melihat sebuah peti logam sebesar orang dewasa yang terhampar di depannya.

Doktor Cho tersenyum simpul. "Sebenarnya, iya. Tapi, ini butuh sedikit penyempurnaan lagi."

"Bagaimana cara kerjanya?" tanya Tony pula.

"Peti ini memiliki kemampuan pencetak Nano Molekuler dari pembacaan fungsional setiap jaringan tubuh, mengikatnya dan menirukannya dengan cepat. Sel-sel yang bisa dijadikan pondasi diregenerasi kembali, sehingga segala bentuk kerusakan bisa diperbaiki."

"Jadi, itu artinya kau bisa membuat jaringan tubuh dengan ini?" Banner menyela.

"Ya," tegas Helen singkat.

Tony dan Banner saling tatap sekilas, tersenyum tipis.

"Apa maksudmu tentang 'sedikit penyempurnaan'?" Tony menyoal kembali.

"Roh, Tony. Apa gunanya kita merekayasa 'agen hidup' jika dia tidak hidup." jawab Helen. "Aku masih mencari solusi yang terbaik antara membuat jantung yang bekerja simultan dengan organ lainnya atau dari sumber energi sekunder."

"Sumber energi sekunder?" Banner mengernyit.

"Mungkin sumber energi seperti yang terdapat di dada Iron Man," timpal Doktor Helen Cho sambil tersenyum santai. "Kita tidak mungkin menggerakkan jaringan biologis dengan bensin, bukan?"

"Terdengar masuk akal," gumam Tony.

Sang Iron Man merenung sejenak. Bruce Banner terdorong untuk melihat-lihat peti, bertanya banyak hal pada ilmuwan berwajah cantik itu. Doktor Cho juga dibantu oleh dua asistennya untuk mengurusi segala macam perlengkapan.

"Banner...," Tony memanggil.

Bruce Banner menoleh, menghentikan kuliah singkatnya sejenak.

"Bisa ikut aku sebentar?" tanya Tony dengan nada serius.

Banner mengangguk. "Tentu. Ada apa?"

Tony tak menjawab. "Doktor, tidak apa-apa jika kami tinggal sebentar, kan? Kau bisa melihat-lihat dulu sejenak ke tempat lain. Anggap saja rumah sendiri."

Helen Cho tersenyum. "Oke."

***​

Stark mengajak Banner ke laboratoriumnya. Beberapa komputer di dalamnya tampak dibiarkan menyala. Tongkat Loki ada di sana, sedang dianalisis oleh J.A.R.V.I.S..

"Ada apa, Tony?" Banner memulai pembicaraan.

"Aku ingin pendapatmu, Banner," jawab Tony. "Bagaimana menurutmu?"

"Oh...." Banner melengos, tersenyum. "Pembicaraan ini lagi?"

"Ayolah, Bruce. Kau tahu apa maksudku." Tony sumringah. "Bukankah perkiraanku benar?"

"Tidak. Mendekati pun tidak," bantah Banner. "Doktor Cho adalah tamuku, Tony. Dia ke sini untuk menunjukkan kreasinya, bukan untuk mendukung imajinasimu."

"Dengar, Bruce. Ultron bukanlah imajinasi lagi jika seandainya saja kita berani melangkah. Tidakkah kau melihatnya juga?"

Banner terkekeh. "Sekarang kau melibatkanku?"

"Tidak. Aku mengharapkanmu," tegas Stark. "Kau lebih paham mengenai Bio-Organik daripada aku, bukan?"

Banner menghela napas berat, menggeleng pelan. "Terlalu banyak pengandaian, Tony."

Stark hanya bisa memandangi temannya itu, terdiam masygul.

"Analisis berjalan tidak sempurna, Pak," lapor J.A.R.V.I.S. tiba-tiba, memecah keheningan.

"Apa yang kita dapat, Jarvis?" tanya Tony sembari berjalan mendekati tongkat Loki.

"Lapisan biru pada batu di tongkat itu tampaknya melindungi sesuatu di dalamnya, Pak," ujar J.A.R.V.I.S.. "Ada beberapa elemen yang tak kuketahui."

Tony memperhatikan benda biru berkilauan itu dalam-dalam. Sesuatu bermain di pikirannya.

"Ada apa, Tony?" tanya Doktor Banner yang masih berdiri di tengah ruangan.

"Entahlah. Aku seperti... merasakan sesuatu," jawab Tony.

Banner mendekat, ikut memperhatikan tongkat tersebut.

"Bagaimana kalau..." Tony tak melanjutkan kalimatnya, namun bergegas mengambil sebuah alat seukuran telapak tangan berbentuk kaca di dekat situ. Diarahkannya benda tersebut tepat ke batu biru di tongkat itu, lantas memantulkannya ke tengah ruangan.

Tiba-tiba sebuah proyeksi digital terbentang, berbentuk semacam gumpalan besar berwarna biru, berdenyut dan seakan sedang bergejolak secara konstan. Tony dan Banner terpana.

Kedua ilmuwan Avengers itu berjalan perlahan ke tengah ruangan, menyaksikan proyeksi itu lebih dekat. Mereka hanya diam beberapa saat, lantas saling tatap, tersenyum penuh ketidakpercayaan.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Tony.

"Ini... ini luar biasa," jawab Bruce. "Sungguh tak kusangka sesuatu seperti ini keluar dari sebuah batu. Lihatlah, ini seperti jaringan saraf manusia. Dia seakan sedang..."

"Berpikir...," sambung Tony.

"Ya...," ucap Banner dengan pandangan yang tak lepas dari proyeksi tersebut.

Di saat mereka berdua masih terkagum-kagum, Tony tiba-tiba teringat akan sesuatu. Ia terdiam, lantas berjalan ke dekat sebuah meja, menumpangkan kedua tangannya di sana.

"Sekarang, apa yang kau pikirkan?" tanya Banner yang menyadari gelagat temannya itu.

Tony tidak segera menjawab. Ia masih berpikir. Sesaat kemudian, ia memandangi kembali proyeksi itu, lalu terdiam lagi, menimbang-nimbang dalam benaknya.

"Katakan kalau kau tak segila itu," ucap Banner tiba-tiba, seolah bisa membaca isi kepala Si Iron Man.

Tony menatap pencipta Hulk itu lamat-lamat, tersenyum tipis.

Banner mengangguk mafhum. "Benar, itu dia."

"Bukankah kau bilang ini luar biasa?" ujar Tony sambil menadahkan tangannya ke arah proyeksi.

"Ya! Ini benar-benar luar biasa, bahkan melebihi dari apa yang kita bayangkan. Tapi, apakah kau tidak ingin berkalkulasi dulu? Kau sedang mencoba menciptakan sesuatu yang kau bahkan tak tahu akan jadi apa."

"Aku sedang mengalkulasikan tampilan antar-mukanya," potong Stark santai.

"Tony, bisakah kau sedikit saja lebih kritis?" Banner menatap Stark dalam-dalam. "Tidakkah kau lihat apa yang kita punya di sini? Benda ini bahkan jauh lebih kuat daripada pakaian tempurmu, dan mungkin punya energi yang tak terbatas. Kau harus memikirkan risiko akan..."

"Oh, berhentilah jadi orang naïf, Banner," potong Tony. "Itukah yang kau lakukan ketika menciptakan Hulk? Kau dengan mudahnya memaparkan radiasi Gamma sebesar itu ke tubuhmu sendiri. Apakah kau memikirkan risikonya? Jangankan mengenai kematian, kau bahkan tak tahu tubuhmu akan jadi hijau setelahnya."

Raut wajah Doktor Banner melemah, tersenyum lesu. "Kenapa kau selalu saja membawa-bawa masa lalu?"

"Maaf, Banner, aku hanya mencoba kritis," jawab Tony sekenanya.

Senyum Bruce mengembang. "Baiklah. Tapi, coba kau lihat apa yang ada di sini." Bruce Banner menunjuk proyeksi. "Benda ini bisa 'berpikir', Tony. Apakah kau tidak memikirkan akan dampak yang bisa dilakukannya?"

Tony terdiam.

"Makhluk yang kau buat bisa saja punya keinginan sendiri, melawan kehendakmu," lanjut Banner. "Dan jika dia berseberangan dengan kita, dia akan menjadi musuh yang lebih berbahaya daripada Loki."

Tony menatap Banner lekat-lekat. "Itu tidak akan terjadi."

"Bagaimana kau bisa berkata begitu? Kau hanya berargumen tentang apa yang ingin kau capai tanpa tahu bahwa itu semua delusi."

"Ini bukan delusi!" sergah Tony. "Aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."

Kalimat Doktor Banner tersumpal di mulutnya. Alisnya mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Aku sudah melihat hasil eksperimen Strucker, Bruce. Aku melihat mahakarya itu."

"Eksperimen manusia itu?" tanya Banner.

Tony tak menjawab. Hanya menghela napas.

"Seperti apa mereka? Apa yang mereka lakukan?"

"Mereka masih manusia dan mereka mencoba membunuhku," sahut Tony gamblang.

Banner tertegun. "Lalu... kenapa kau masih hidup?"

"Entahlah," jawab Tony. "Secara teknis, mereka 'memaafkanku'."

Si pencipta Hulk itu tersenyum simpul. "Memaafkanmu? Apa salahmu pada mereka?"

"Mari kita akhiri ini dengan 'aku tidak tahu'," tegas Tony. "Waktu kita sempit, Banner. Kau bisa mengubah segalanya sekarang."

Bruce terdiam, berpikir. Sesekali matanya melirik ke proyeksi berbentuk gumpalan itu.

"Bayangkan jika ini semua berjalan sukses. Kita bahkan tidak perlu lagi keluar menghadapi musuh. Kita bisa kirim Iron Legion keluar sana bersama dengan Ultron, Alpha mereka yang baru." Tony Stark menatap Banner penuh harap. "Jarvis tak lebih dari sekadar firmware, dia harus menunggu perintahku dulu untuk menjalankan segalanya. Tapi, benda ini...," ucap Stark sambil menunjuk proyeksi, "dia berinisiatif sendiri, Banner. Dia bisa memutuskan dan tahu apa yang harus dilakukannya."

"Bagaimana dengan kemungkinan terburuknya?" Banner menyoal. "Kau hendak membuat makhluk itu tanpa memberi tahu tim lebih dulu?"

"Oh, berhentilah melibatkan tim, Banner. Aku tak mau mendengar 'kau tak berhak melakukan itu'," tegas Tony. "Strucker sukses melakukannya pada dua manusia hidup, Bruce. Mengapa kita tidak bisa melakukannya pada seorang manusia buatan?"

Banner menatap Tony, menghela napas berat.

"Tidak akan ada kemungkinan terburuk, Doktor," ucap Tony sambil memegang pundak Banner. "Hanya kedamaian dunia."

Bruce memandangi proyeksi itu sekali lagi untuk sesaat, lantas menatap Stark. "Baiklah. Apa yang harus kulakukan?"

***​

Bruce Banner dan Tony Stark kembali ke laboratorium tempat di mana peti itu berada. Mereka langsung berdiskusi dengan Doktor Cho yang kebetulan masih ada di sana, merencanakan peminjaman peti itu dalam beberapa hari.

"Tentu saja boleh. Aku senang penemuanku akan sangat berguna bagi dunia," jawab Doktor Cho antusias. "Sejujurnya, aku masih punya satu peti lagi di Laboratorium U-Gin. Kalian bisa membawa yang satu ini."

"Terima kasih, Doktor," ucap Banner. "Kau memang genius."

"Tidak segenius dirimu, Doktor Banner," balas Helen ramah.

Banner dan Tony saling tatap, tersenyum.

"Mmm... Doktor, kami akan mengadakan pesta beberapa hari lagi. Kau mau ikut?" celetuk Tony.

Banner memelototi Stark.

"Hanya mencoba beramah-tamah, Doktor," imbuh Tony lagi, tak peduli dengan tatapan rekannya itu.

"Bagaimana, ya? Aku agak sibuk akhir-akhir ini," keluh Doktor Cho. "Tapi, aku akan coba luangkan waktuku."

"Itu terdengar bagus," ucap Tony.

"Apakah Thor juga akan hadir di pesta itu?" tanya Helen. "Aku ingin sekali mengobrol panjang lebar dengannya."

"Oh, tenang saja, Doktor. Kau akan bisa mengobrol dengannya sepuas yang kau mau," pungkas Stark sembari melirik Banner di sebelahnya.

Banner menggeleng pasrah, tertunduk menyembunyikan senyumannya.

Doktor Cho nyengir melihat gelagat aneh kedua ilmuwan Avengers itu. "Ada apa?"

***​

"Oohhh... aku cinta kamu, sayang... aahhh... sshhh... ohhh...," seorang wanita berwajah oriental sedang mengerang-erang nikmat di atas ranjang, menikmati tusukan penis yang keluar-masuk di vaginanya.

"Hnghhh... sshhh... aku senang kau jadi pasanganku... ahhh...," pria berambut pirang menjawab dengan suara beratnya. Ia menatap wanita yang ditidurinya dengan penuh nafsu. Napasnya tersengal.

Doktor Helen Cho dan Thor Odinson sedang memacu birahinya dengan gaya missionary. Thor menyodokkan penisnya yang besar dan panjang itu ke vagina Helen yang sudah memuntahkan orgasme enam kali. Doktor cantik itu sedang menantikan orgasmenya yang ketujuh.

"Aahhh... sayang... tusuk memekku terus, sayang.... Tusuk yang dalam... oohhh... yaahhh...." Helen semakin memanas. Tangannya sibuk memegangi setiap inci tubuh kekar Dewa Petir pujaannya itu.

Thor semakin mempercepat ayunan pinggulnya, mencocokkan zakarnya dalam-dalam. Tangan besarnya meremas lembut buah dada wanita itu. "Kau cantik, Helen... hngghhh... kau cantik...."

"Aahhh... aahhh... entot aku, sayang... entot aku... oohhh... sshhh...." Doktor Cho memejamkan matanya. Mulutnya agak terbuka merasakan kenikmatan yang tiada tara. "Aku mau keluar, sayang.... Oohhh... aahhh... Thor... aku mau keluar...."

"Keluarkan, sayang.... Keluarkan air cintamu.... Hngghhh... aku akan... aahhh... keluarkan air cintaku untukmu...," Thor membalas dengan tak kalah bergairah. Wajahnya sudah merah padam, bersiap untuk mengeluarkan sperma dewanya.

"Aaahhh... Thor...! Ooohhh...!" Helen mengernyit. Seluruh wajah panasnya sudah bercucuran peluh. Bibirnya bergetar. "Aku keluar, sayang...! Aaahhh...! Aku keluar...! Thor...!"

Di saat bersamaan, Thor berteriak, "Helen...! Aaakkhhh...!"

Tubuh mereka berdua menegang bersamaan. Penis Thor amblas di dalam vagina Helen Cho, menyemburkan air mani pertamanya dari persetubuhan itu. Helen sendiri melingkarkan kakinya di pantat Thor yang berkelejat-kelejat tegang. Dada Helen kembang-kempis merasakan orgasmenya.

"Hngghhh...," Thor menggeram sebelum mencium bibir Doktor Ahli Genetika itu. Mereka berciuman dengan ganas.

"Cupp... mmhh... cupp... cupp... hmmhh...." Kecupan dan hembusan napas mereka beradu, membuat suara-suara erotis namun mesra. Thor tampak tak peduli jika rambut pirangnya yang agak gondrong turut menyapu wajah Helen.

Saat mereka puas menyatukan bibir, senyuman pun tersemat di paras keduanya. Wajah mereka berdua sangat dekat, memandang penuh cinta seolah memang merupakan pasangan suami istri. Mata Doktor Helen yang redup menandakan kepuasan sekaligus keletihan yang didapatkannya. Sudah hampir dua jam mereka bercinta.

"Ini 'pesta perpisahan' yang luar biasa," ujar Thor dengan napas yang masih belum teratur.

Helen Cho tersenyum. "Aku tak pernah tahu Avengers punya pesta seperti ini."

"Oh, ini idenya Stark. Aku juga baru tahu ada acara semacam ini di Midgard."

"Midgard? Apa itu?"

"Oh, maaf. Maksudku Bumi," Thor mengoreksi.

Suasana lengang sejenak di dalam kamar yang mereka tempati. Namun, mereka berdua tampak fokus mendengarkan suara erangan dan desahan wanita yang lamat-lamat datang dari ruangan yang tak jauh dari situ. Thor dan Helen tersenyum tipis demi mendengarkan kemeriahan yang terjadi di sana.

"Kau ingin bergabung dengan mereka?" tanya Doktor Cho.

"Bagaimana denganmu?" tanya Thor balik.

"Kurasa aku tetap di sini. Aku capek sekali, ingin beristirahat."

"Oh, baiklah kalau begitu. Sampai nanti." Thor mengecup mesra dahi Helen, lalu mencabut penisnya.

"Ahh...!" Doktor Cho memekik kecil saat penis besar Dewa Petir itu terhunus tiba-tiba dari vaginanya. Air mani Sang Dewa meluap keluar seketika.

"Kau tak apa-apa?" Thor bertanya sambil menengok organ intim gadis itu.

Doktor Cho tersenyum, menggeleng. "Tidak apa-apa, hanya sedikit ngilu."

"Oh...." Thor mengangguk, balas tersenyum. Ia turun dari tempat tidur, hendak berjalan keluar. Namun baru beberapa kaki dia melangkah, dia menoleh ke belakang, tersenyum lagi. "Kau yakin tidak akan hamil, kan?"

Doktor Cho terkikih pelan, menggeleng.

Thor tersenyum lagi, menatap wanita itu sebentar, lantas melangkah pergi. Tubuh kekarnya yang telanjang bulat itu hilang di balik pintu.

Sepeninggal Thor, Helen tersenyum penuh arti. Ditariknya selimutnya, lantas tidur dengan segudang pengalaman hebat yang baru saja dirasakannya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar