Sabtu, 25 November 2017

Cerita Dewasa Avengers 2

"Hei...!" sapa Thor yang sudah tiba di ruangan yang cukup berisik, penuh erangan dan kata-kata porno dari sejumlah orang yang sedang berhubungan seksual di sana. Wajah Thor langsung berseri-seri melihat kelakuan mereka.

Tampak di sana ada Maria Hill yang sudah bugil, sedang dalam posisi berjongkok naik turun di atas ranjang guna memompa penis hitam Kolonel James Rhodes yang berbaring santai. Agen Hill juga sedang asyik mengulum penis Kapten Rogers yang berdiri di sampingnya.

Sementara itu, di samping mereka juga ada sebuah ranjang yang sedang diisi oleh satu pasangan yang sedang dilanda berahi. Natasha Romanoff yang telanjang bulat sedang dalam posisi merangkak menerima tusukan penis Bruce Banner. Payudara indahnya berguncang erotis di setiap entakan pinggul yang dilakukan pria berbulu dada di belakangnya.

"Oohhh... sshhh... hai, Thor.... Mau bergabung?" ucap Natasha. Wajah mesumnya sangat menggoda.

"Bagaimana kabar Doktor Cho, Thor?" tanya kapten Rogers sambil memegangi kepala Agen Hill yang sedang maju-mundur mengisap penis tegangnya.

"Oh, dia baik-baik saja," jawab Thor singkat.

"Apa kau menikmatinya?" tanya Banner pula dengan wajah merah seperti baru dipanggang sinar matahari.

"Kau baik-baik saja, Banner?" Thor balas bertanya. "Kau tidak akan berubah, kan?"

"Hngghhh... sshhh... aku tidak apa-apa...," sahut Banner. "Memek pelacur ini benar-benar nikmat...."

Thor nyengir. "Hei, bukankah kata-kata itu..."

"Tenanglah, Thor," potong Kapten Rogers. "Aku tak akan melarang kalian mengucapkan hal-hal itu di saat seperti ini."

"Sebaiknya kau... bergabung denganku, Thor," ucap Romanoff tersendat-sendat saat Bruce menaikkan tempo sodokannya. "Oohhh... aahhh... mulutku... sshhh... sudah tidak sabar.... Oohhh... ingin merasakan kontol besarmu itu... oohhh... yahhh.... Fuck, baby...! Fuck...! Fuck...!"

Anak Odin pun memegang penisnya yang kembali mencuat, berjalan mendekati Natasha. "Kau yang minta, ya."

Dalam sekejap, kemaluan Thor yang panjang dan besar itu pun masuk ke dalam mulut agen S.H.I.E.L.D. yang seksi itu. Natasha hanya mampu mengulum setengah batang zakar si pria berambut pirang.

Thor mengayuh pinggulnya dengan lembut, mengeluar-masukkan alat vitalnya di dalam mulut Romanoff. Agen Romanoff tampak sedikit kesusahan dalam bernapas, namun dia tetap antusias melahap batang besar itu. Sesekali Natasha menggeleng-gelengkan kepalanya, merasakan kemaluan Si Dewa Petir itu di setiap dinding mulutnya.

"Oohhh... kau benar-benar pelacur, Romanoff...," ujar Thor yang kembali naik syahwat.

Plakk...

Banner menampar bongkahan pantat Natasha. "Benda ini yang selalu tercetak di pakaian ketatmu itu, Natasha.... Sekarang akan kunikmati sepuasnya...."

"Mmhhh...! mmhhh...! hmmhhh...!" tiba-tiba terdengar teriakan tertahan dari ranjang sebelah. Maria Hill mempercepat genjotannya. Dia mengayak penis Kolonel Rhodes dengan kasar sambil tetap menyumpalkan kemaluan Kapten Rogers di mulutnya, dan...

"Mmmhhh...!" jeritannya terpungkas dengan sebuah tegangan hebat di seluruh tubuhnya. Agen Hill mengejang dan payudaranya tampak bergetar halus mengeluarkan orgasme. Beberapa detik dihabiskannya dalam puncak nafsu.

"Puaahhh...." Maria Hill mengeluarkan penis Kapten Amerika dari mulutnya. Batang besar dan panjang itu berlumuran air liur.

"Bagaimana Agen Hill? Kau puas?" tanya Rhodes.

Maria terkekeh. Tubuhnya telungkup di atas tubuh Rhodes. "Kurasa sedikit lagi...," ucapnya dengan napas terengah-engah.

"Baiklah. Mari kita buat ini jadi akhir yang memuaskan...," ujar Rhodes seraya mengubah posisi menjadi kebalikannya. Maria Hill menjadi di bawah, sementara Rhodes siap menyodokkan kemaluannya dari atas.

"Ohh... Rhodey.... Testosteron...." Maria kembali menikmati tusukan demi tusukan penis hitam itu.

Sang Kapten menyeringai. Ia meninggalkan Agen Hill, bergabung ke Romanoff yang sedang dijejali dua batang zakar. "Bolehkah aku bergabung?"

"Tunggu sebentar, Kap.... Aahhh... sedikit lagi...." Banner menyodokkan pinggulnya sekeras mungkin. Ia hendak mengakhiri segalanya.

Plokk... plokk... plokk... plokk... plokk...

Bunyi hantaman selangkangan Bruce dan Natasha kian nyaring. Bokong wanita itu bergegar keras.

"Nghhh... mmhh... hmmhhh... nghhh...," Agen Romanoff mengernyit menyambut terpaan penis Banner. Napasnya bertambah sulit karena kemaluan besar Thor yang masih tersumpal di mulutnya. Tak jarang ia tersedak dan tak sengaja menyemburkan liurnya ke selangkangan Thor.

"Oohhh... aakkhhh... Natasha... aakkkhhh... Natasha...," Bruce meracau sambil memegang kuat gumpalan pantat Black Widow. Matanya meredup, dan dada berbulunya tampak memerah.

"Ngghhh...! Nggkkhhh...!" Natasha tiba-tiba mengeluarkan suara seperti orang yang tercekik. Tubuhnya mengejang-ngejang, melentik tegang. Daging bokongnya bergetar, pertanda wanita itu sedang mengalami orgasme.

Hanya beberapa detik setelahnya, Banner pun ikut orgasme. Ia memuntahkan seluruh air maninya ke dalam vagina perempuan sundal itu. Badan Banner agak condong ke depan, mengejat-ngejat dengan mulut terbuka. Tak ada kata-kata yang bisa dikeluarkannya selain mendengus berat.

Kedua kemaluan mereka menempel erat beberapa saat, mendalami rasa sedap yang menjalari tubuh masing-masing.

Thor menarik penisnya, keluar dari mulut Romanoff. Sama seperti Kapten Rogers, ia menyeringai melihat wanita yang baru saja dinikmatinya. "Tampaknya kau sudah lelah, Romanoff."

"Kau yakin?" ujar Kapten Amerika sambil melirik Thor.

Thor mengerutkan dahi. Ia mengintip wajah Romanoff yang ternyata sedang melirik ke arah Kapten, tersenyum nakal.

"Tunggu saja, Kap...," kata Natasha dengan napas kembang-kempis. "Ronde berikutnya akan menjadi penentu segalanya."

"Oh, begitukah?" sahut Kapten. "Jadikan itu penentu dirimu sendiri, Romanoff."

"Aku menyerah," susul Banner. Ia melepaskan penisnya, ambruk bersandar di kepala ranjang. Matanya hendak terpejam.

Thor terkekeh. "Kau baik-baik saja, kawan?"

"Ya... ya... tertawalah...," ujar Banner dengan senyum tipis.

"Aahhh...! Rhodey...! Kerahkan tenagamu...! Ooohhh...! Entot terus...! Oohh... sshhh... mmhhh... oohhh...!" Maria Hill semakin menggebu-gebu menyambut helaan penis Rhodes. Teriakannya memecah ruangan.

"Aku akan lakukan, sayang.... Aku akan lakukan...," ucap Rhodes menyemangati dirinya sendiri. Sodokan zakarnya kian cepat menghantam vagina pasangannya. Tangannya juga turut meremas payudara Maria Hill, menambah sensasi panas yang mereka rasakan.

Perhatian Kapten Rogers dan Thor teralihkan. Mereka tersenyum sambil mengurut penis panjang menjulang yang mereka miliki demi melihat kemeriahan yang disajikan pasangan berbeda ras itu.

Tak lama kemudian, Kolonel Rhodes mengernyit. Mulutnya agak menganga dan urat-uratnya tampak tercetak di dahinya. Dengan tubuh yang tampak sudah mengilap karena keringat, Rhodes berujar, "Aahhh... Maria... aku tak tahan lagi...."

"Keluarkan, Rhodey.... Sshhh... keluarkan, sayang...," jawab Agen Hill seronok. "Oohhh... cepat keluarkan.... Sshhh... aahhh... Semprotkan semuanya...."

"Ohh... ini dia... ini dia...!" ucap Rhodes kelabakan. "Aahhh... aku keluar...! Aaakkhhh...!"

James Rhodes menekan penisnya sedalam-dalamnya. Wajahnya mendongak, terpejam sambil memegang kuat payudara Maria. Otot pantatnya berkelojotan memompa sperma yang ia punya.

"Oohhh... mmhhh... yaahhh... Panas, Rhodey... Oohhh... yahhh... nikmat...." Maria Hill pun terpejam merasakan semprotan semen petinggi militer itu. Kakinya yang tadinya mengangkang kini merapat ke tubuh berpeluh yang sedang menekannya.

Setelah Rhodes selesai memberikan benihnya, ia menelungkup menciumi bibir Maria. Kecupan-kecupan mereka tampak tak begitu ganas, faktor dari tubuh yang sudah kelelahan. Hingga sesaat kemudian, mereka berdua hanya mengeluarkan napas tersengal, berpelukan menikmati akhir perjalanan seksualnya.

"Hei, sampai kapan kalian mau berdiri terus?" sela Natasha, memecah perhatian Thor dan Kapten Rogers.

Kedua pahlawan super itu menoleh ke Natasha yang sudah berbaring menyamping, menopang kepalanya dengan tangan. Mereka saling lirik, tersenyum.

"Kau ingin gaya bercinta seperti apa?" tanya Thor.

"Naik saja ke sini, dan entot aku semau kalian...," jawab Natasha sambil tersenyum menggoda.

Kapten Amerika menatap Sang Dewa Petir. "Thor, kau serang langsung. Aku akan menyerang mulutnya," dia menginstruksi layaknya sedang di medan perang.

"Tak masalah," sahut Thor yang bergegas naik ke atas ranjang. Tak butuh waktu lama baginya untuk membuka celah kangkang Romanoff dan menusukkan penis besarnya ke sasaran.

"Oouuhhh... fuck...!" jerit Natasha yang vaginanya baru saja disatroni zakar seorang dewa. Namun ia langsung terbungkam saat penis Kapten Rogers hinggap di mulutnya. Agen Romanoff yang seksi pun sukses telentang pasrah dengan dua batang yang mengisi lubang tubuhnya.

"Mau ke mana, Banner?" tanya Kapten yang melihat Bruce turun dari ranjang.

"Oh, mau ke toilet," jawabnya sekenanya.

Kapten Rogers tersenyum saja, melanjutkan sodokan lembut penisnya di mulut Natasha.

"Mmhhh... ngghhh... mmhhh...," Natasha menggumam nikmat menerima kemaluan besar Kapten Rogers. Tangannya merayap ke pantat kesatria tampan itu, mengubek-ubek permukaan lubang pantatnya.

"Oohhh... Romanoff, kau benar-benar nakal...," respon Kapten Rogers.

Sementara itu, Thor kelihatan bersemangat memompa penisnya di dalam vagina Natasha. Dia mengelus-elus paha terkangkang wanita itu, menikmati kulit mulusnya. Kemaluan besarnya tampak ketat mengisi liang peranakan Si Agen Seksi. Sisa-sisa air mani Banner sebelumnya meluap keluar.

Cukup lama mereka dalam gaya itu hingga Kapten meminta Thor untuk menggantikan posisinya. "Thor, kita ganti tempat. Aku akan hancurkan memek pelacur ini...."

Thor tersenyum. "Tak masalah," ucapnya lagi.

Sekejap kemudian, Kapten Amerika berbaring, dan Natasha mengambil posisi di atasnya. Wanita itu membelakangi Sang Kapten, dan dalam posisi setengah jongkok sambil menopangkan tangannya ke belakang, ia langsung menurunkan tubuhnya. Vaginanya pun menelan dengan sempurna penis besar yang ada di bawahnya.

"Oohhh... Enak sekali kontolmu, Kap...!" jeritnya sembari memasukkan batang zakar Thor ke dalam mulut. Thor sendiri sudah berdiri di sampingnya, di atas ranjang.

Bagai kesetanan, Kapten Amerika yang berada di bawah tubuh Agen Romanoff tiba-tiba mengayunkan pinggulnya dengan kecepatan tinggi. Sambil berpegangan pada pinggang Natasha, penisnya menikam vagina itu dengan keras dan kencang.

Natasha Romanoff yang sedang asyik dengan penis Thor sontak melepaskan kulumannya. "Aahhh... Kapten... oohhh... yaahhh... fuck... fuck... fuck... fuck...," ia meracau penuh nafsu di setiap terpaan penis yang dirasakannya. Fokusnya terpaku pada pria yang ada di bawahnya.

"Bagaimana, Romanoff...? Kau menyukainya...?" tanya Kapten Rogers yang seakan tak menunjukkan kelelahan sedikit pun mengayuh pinggulnya secepat itu. Wajahnya terlihat santai.

"Oohhh... Kap... teruskan... oohh... fuck...," balas Romanoff seraya memperhatikan ke selangkangannya. Ia mengernyit dengan wajah merah padam.

"Nikmati kontolku, Nona...," ucap Thor, mengarahkan kemaluannya ke mulut Natasha. Namun, baru saja kepala zakar Thor tiba di bibir wanita itu, datang sebuah pekikan keras.

"Aahhh... Kap... aahhh... ooohhh.... Aku keluar, Kap... aku keluar...! Ooohhh...! I'm cumming...! Fuck...!" Natasha Romanoff menggelinjang sejadi-jadinya. Saking dahsyatnya orgasme itu, topangan tangannya goyah dan tubuhnya ambruk ke belakang menimpa Kapten Amerika. Seluruh badannya bergetar hebat.

Kapten Rogers terkekeh. "Nikmatilah, Romanoff...," ucapnya sambil meremas payudara Natasha, menambahkan kenikmatan pada wanita itu. "Aku bisa melakukannya seharian."

Thor ikut-ikutan tertawa. "Hei, kau sampai melupakanku."

Mata Natasha meredup, bibirnya bergetar. "Maaf, Thor.... Aku... tak tahan...," ucapnya dengan aksen seperti orang yang sedang menggigil.

Kapten Rogers mendiamkan zakarnya di dalam vagina Natasha, memberi kesempatan pada perempuan tersebut untuk merasakan puncak berahinya dengan baik. Tangannya memainkan puting payudara Agen Seksi itu dari bawah. "Ini adalah yang terakhir, Romanoff," bisik Kapten Rogers. "Aku akan mengeluarkan apa yang kupunya sebentar lagi."

"Oh, buatlah itu secepat mungkin, Kap," balas Natasha yang sedang tersengal-sengal. "Aku tak ingin pingsan seperti waktu itu."

"Kau butuh obat?" guyon Kapten Rogers.

"Oh, lucu sekali, Kap," balas Romanoff asal.

"Belum selesai?" celetuk Banner yang baru datang dari toilet, berbalut handuk.

"Sedikit lagi, Banner," jawab Kapten. "Pacarmu ini agak bandel."

Bruce tersenyum simpul, lantas melongok ke ranjang di seberang.

Thor mengikuti arah pandangan Bruce, menatap James Rhodes dan Maria Hill yang sudah tertidur nyenyak.

"Pelankan suara kalian, anak-anak," kelakar Banner dengan memelankan suaranya.

Thor tersenyum.

"Aku keluar dulu, ya. Mau mencari udara segar," kata Banner berpamitan.

"Jangan jauh-jauh, Banner. Kau baru saja berejakulasi lima kali," Kapten memberi pesan.

Banner nyengir. "Aku mengerti, Kap...," sahutnya sambil melenggang keluar ruangan.

"Mari kita lanjutkan," sambung Kapten Rogers.

"Lakukanlah, Kap," jawab Natasha. Ia memasang posisi semula, setengah jongkok dengan tubuh yang tertopang tangan ke belakang.

"Thor?" Kapten Rogers memberi kode.

"Oh, kurasa aku sudah selesai," balas Thor. "Aku ingin menonton kalian saja."

"Benarkah? Baiklah kalau begitu." Kapten Amerika kembali melanjutkan permainan seksnya. Ia memegang pinggang Natasha sambil mengeluar-masukkan penisnya dengan perlahan.

"Mmhhh... sshhh... aahhh...," Romanoff mendesah nikmat.

"Kau suka, Romanoff?" tanya Kapten Rogers.

"Ya... teruskan... sshhh...." Natasha melirik Thor yang duduk di tepi ranjang sebelah, tempat Rhodes dan Maria Hill tertidur. "Yakin tidak ingin bergabung, Thor?"

Thor tersenyum saja.

"Diamlah, Romanoff. Kau bisa benar-benar pingsan jika kau mengajaknya bergabung," ujar Kapten Rogers di telinga Natasha.

"Aku hanya ingin menghiburnya, Kap...," sahut Natasha ramah.

'Akulah yang seharusnya kau hibur," sanggah Kapten. "Aku belum keluar sejak kita memulai pesta ini."

Natasha terkikih. "Tampaknya kelebihanmu itu menjadi kekuranganmu, ya."

"Diamlah, dan rasakan ini...," celetuk Kapten Amerika. Ia tiba-tiba melakukan hal yang sama, mengayunkan pinggul dengan cepat.

"Oohhh... Kap... enak sekali.... Aahhh... terus, Kap... oohhh... fuck... yaahhh... fuck... fuck... ssshhh... mmhhh... aahhh... fuck...."

Kapten Rogers yang mendengarkan desahan dan keluhan wanita itu malah semakin bersemangat. Kecepatan sodokannya melaju hingga titik maksimal. Penis besarnya menumbuk liang vagina sempit Natasha dengan kencangnya hingga segelintir mani Banner yang bercampur dengan cairan vagina itu berhamburan keluar dan membentuk lendir yang memutih.

"Oohhh... sshhh... oohhh... yaahhh... entot terus, Kap... entot... oohhh.... Kontolmu enak sekali... fuck... fuck... fuck me, baby... fuck... Aahhh... enak, Kap... oohhh...." Natasha mendongakkan kepalanya. Tubuhnya melentik menerima tujahan batang zakar yang nikmat itu.

Plokk... plokk... plokk... plokk... plokk...

Hantaman selangkangan Kapten Amerika disambut baik oleh gumpalan pantat Natasha, mengeluarkan bunyi tepukan yang sensual. Thor yang tak ikut serta sampai mengelus penisnya sendiri melihat tontonan sensual itu.

"Apa hanya perasaanku saja, atau memekmu terasa semakin nikmat...?" tanya Kapten Rogers di sela-sela sodokannya.

"Mmhhh... Aku tidak tahu, Kap... oohhh... aahhh... entot terus... terus... oouuhhh... fuck...."

"Kurasa... aku akan keluar, Romanoff...," ujar Kapten yang mulai mendatangi ujung berahinya.

"Oohhsshhh... cepatlah, Kap... aahhh.... Aku sudah... tak sanggup lagi... oohhh...."

"Tunggu... akhh... sedikit lagi...," Kapten memberi isyarat.

Baru saja Kapten meminta Natasha untuk menahan, Agen S.H.I.E.L.D. yang seksi itu mengernyitkan alisnya sambil memejamkan mata. Wajah dan bagian payudaranya sudah memerah, mulutnya menganga, membantu pernapasannya yang sudah megap-megap. Wanita itu tak mampu lagi menahan orgasmenya. Dengan satu tarikan napas berat, Natasha Romanoff menjemput puncak syahwatnya.

"Aaahhhh... Aku keluar...! Aku keluar...! Ooohhh... I'm cumming...! Ooohhh...! Fuck...! Fuck...! Fuck...!" Natasha mengejang-ngejang. Seluruh tubuhnya menggeletar untuk kesekian kalinya.

Namun, apa yang terjadi? Kapten Rogers tetap menyodokkan penisnya dengan kecepatan yang sama. Ia tak berhenti. Tubuh Natasha yang hendak roboh ditahannya dengan tangannya. "Masih belum, Romanoff...."

"Oohhh...! Aaahhh...! Hentikan, Kap...! Hentikan...!" Natasha berteriak-teriak. Wajahnya seperti hendak menangis. "Kapten...! Oohhh...! Aaahhh...! Rogers...! Aaahhhh...!"

Natasha hendak menyingkir, namun Kapten Amerika menjambak rambutnya hingga ia mendongak dan tak bisa berbuat apa-apa. Sang Kapten tetap menghantamkan penisnya ke vagina wanita berwajah mesum itu.

"Kapten, itu cukup," ujar Thor yang tiba-tiba tegak dari duduknya. Dia panik melihat ekspresi yang diberikan Natasha.

"Sedikit lagi... sedikit lagi...," ujar Kapten dari bawah tubuh Romanoff. Wajahnya sudah memerah pula.

"Kapten, dia bisa..."

Belum selesai kalimat Thor, tubuh Natasha tiba-tiba tersentak hebat. Vaginanya terlepas dari tusukan kasar penis Kapten Rogers, dan memuncratkan cairan bening seperti air seni.

"Aaaahhh...!" Natasha menjerit keras dengan pinggul terempas-empas. Cairan itu menyemprot beberapa kali dari vaginanya, membasahi ranjang.

Tanpa diduga, ternyata Kapten Amerika juga mencapai orgasmenya. Pria tampan itu mengeluarkan air maninya dengan semburan-semburan dahsyat. Saking hebatnya semburan itu, beberapa tetes air maninya sampai memercik hingga ke wajah Romanoff melalui celah kangkangnya. Seluruh cairan kenikmatan yang dikeluarkan Kapten Rogers sukses membasahi seluruh tubuh wanita itu.

"Hngghhh... hngghhh... hngghhh...," Kapten Rogers tersengal-sengal seraya memeluk erat Natasha dari bawah. "Bagus sekali, Romanoff...."

Natasha tak menjawab. Ia hanya terpejam dengan dada naik turun. Mulutnya masih sedikit terbuka.

Thor masih di posisinya, berdiri dan tercengang.

Kapten yang menyadarinya langsung terkekeh. "Ada apa, Thor?"

Putra Odin tersenyum, menggeleng pelan. "Kau betul-betul gila, Kapten. Dia bisa pingsan."

"Tapi tidak, kan?" sanggah Kapten Rogers, terkekeh lagi. "Kau baik-baik saja, Romanoff?"

"Hmmhhh... 'benda' itu benar-benar menyengat...," ucap Natasha lirih.

Thor dan Kapten Rogers tertawa lepas.

"Hei, kupikir pesta ini memang hebat. Mungkin persis seperti Kamar Seribu Tahun," Ujar Thor sambil berkacak pinggang.

"Kamar Seribu Tahun?" Kapten Rogers menyelidik.

Thor mengangguk. "Sebenarnya itu hanyalah sebuah kamar di Asgard, kamar untuk para raja. Kebetulan waktu itu Kakekku Bor menggunakannya untuk bercinta dengan Nenekku. Dia berkata bahwa pengalamannya di kamar itu sangat luar biasa. Dia sangat kelelahan bercinta dengan istrinya seakan-akan umurnya sudah berkurang seribu tahun. Sejak saat itu, kamar itu dinamai Kamar Seribu Tahun."

Kapten Rogers tersenyum saja, memeluk erat wanita yang tergeletak di atasnya.

"Cukup dua jam saja, Thor.... Itu sudah cukup...," ucap Natasha lagi. Matanya melirik Dewa Petir yang masih telanjang, tersenyum tipis.

Thor dan Kapten Amerika kembali tertawa lepas.

Tak lama setelah gelak mereka terhenti, Thor tiba-tiba teringat sesuatu. "Mmm... ngomong-ngomong, Stark di mana? Aku tidak melihatnya dari tadi."


***​

"Mmhhh... aahh... Tony... sshhh...," Pepper Potts mendesah dan mendesis. Matanya memandangi bola mata pria yang sedang menidurinya.

"Nona Potts... kau 'terasa enak'...," ujar Tony Stark yang sedang tergopoh-gopoh mencolok-colokkan penisnya ke dalam vagina milik belahan jiwanya.

"Sshhh... oohh... sshhh... Tony...."

Tony Stark mendadak tegang. Urat-urat nadi bermunculan di dahinya. Napasnya mendengus dan akhirnya memekik tertahan. "Aahhh... Pepper... hngghhh...!"

Tony terpejam merasai orgasmenya. Dalam sekian detik, ia pun ambruk menimpa kekasihnya itu. Pepper memeluknya dari bawah, mengelus-elus rambut Sang Iron Man.

"Haruskah ada kata-kata baru setiap kita bercinta, Tony?" tanya Pepper Potts sambil tersenyum.

"Itu hanya variasi, Nona Potts," jawab Tony Stark yang menenggelamkan wajahnya di pundak Pepper.

"Apa artinya 'terasa enak'?" Potts menyoal lagi.

"Itu artinya kau enak dari segi apa pun."

"Apakah jika aku menamparmu suatu hari akan 'terasa enak'?" Pepper terkekeh.

"Kau bermaksud menamparku? Kalau begitu aku harus membuat protokol 'anti-tampar' pada Jarvis."

"Oh, Tony... kau seharusnya berhenti membuat hal-hal robot itu."

Stark mengangkat kepalanya, memandangi Pepper Potts. "Kenapa kau mempermasalahkannya? Bukankah aku ini Iron Man? Aku tak bisa berpisah dari pakaian besi itu, Pepper. Aku dan benda itu adalah satu."

"Bukan itu yang sedang kubahas, Tony," kilah Pepper sambil memandang lamat-lamat kekasihnya.

"Oh, itu... itu hanyalah program perdamaian yang lainnya," jawab Tony sekenanya.

"Setidaknya aku tak menganggapnya seserius itu hingga kau mengajakku bercinta di dalam lab-mu seperti ini," kata Pepper. "Lihatlah, kau bahkan tak bisa memalingkan perhatianmu sedetik pun darinya."

Pepper Potts mendorong tubuh Tony untuk bangkit. Ia melihat ke tempat pembaringan mereka yang ternyata adalah peti penciptaan Doktor Cho yang sedang aktif. Benda itu mengeluarkan cahaya dari dalam, terpancar dari balik kaca-kacanya.

"Mau bagaimana lagi? Aku tak bisa menundanya," timpal Tony. "Ini keajaiban, Pepper. Sejak aku dan Banner mampu menghancurkan pelindung batu yang ada di tongkat itu, semua tampak semakin mudah."

Pepper berbalik, melihat ke dalam peti dari celah-celah kacanya. "Apa yang sebenarnya ingin kau buat?"

"Android," sahut Stark. "Aku ingin menciptakan sesuatu yang tangguh. Sesuatu yang bisa menggantikan peran Avengers."

Pepper menatap Tony, tersenyum. "Apa itu artinya kau akan berhenti membuat robot?"

Tony balas menatap Pepper, dalam-dalam. "Ya, sayang, itu pasti."

Senyum Pepper mengembang. Ia mengecup Tony dengan lembut.

"Yang barusan itu untuk apa?" tanya Tony, mengomentari ciuman yang didapatnya.

"Itu untuk kepercayaan seorang kekasih," jelas Pepper sambil menyentuh bibir Tony dengan telunjuknya.

"Senang bisa dipercaya...," celoteh pria berjanggut eksentrik itu. "Ini pesta yang menyenangkan, ya."

"Ya, asal kau tak bergabung dengan tim Avengers yang lain."

Stark tertawa. "Apa kau tak ingin bergabung dengan mereka?"

"Oh, please, Tony." Pepper nyengir.

"Hei, ini hanya sebuah 'jika', sayang," sanggah Tony. "Jika kau kuperbolehkan bercinta dengan salah seorang di antara mereka, siapa yang akan kau pilih?"

Pepper memandangi Tony Stark sejenak, lantas berpikir. "Mmm... sepertinya aku akan memilih Kapten Rogers."

"Ding... ding... ding...! Aku sudah menduganya," cetus Stark. "Sangat wajar, sayang. Kapten punya wajah tampan dan... 'anu' yang besar. Asal kau bisa menjaga dirimu agar tidak bercinta dengan Hulk, karena dia bisa membunuhmu."

Pepper cekakakan. "Nasihat yang bagus, sayang," tandasnya. "Hei, bagaimana denganmu? Jika kau memang kuperbolehkan bercinta dengan salah seorang di antara mereka, siapa yang akan kau pilih?"

"Mmm...." Tony berpikir.

"Oh, aku sudah tahu jawabannya," sela Pepper. "Itu pasti Agen Romanoff, bukan?"

"Bagaimana kau bisa berpikir begitu? Aku tak ingin Romanoff," bantah Tony.

"Tidak? Jadi kau pilih yang mana? Apakah ada Agen yang lain?"

Tony mengambil alat seukuran telapak tangan yang berbentuk kaca di meja yang ada di dekatnya. Jari-jari tangannya lincah memainkan tampilan digital yang ada di kaca itu, lalu menunjukkan sebuah foto wanita cantik berambut pirang terurai. "Dengan dialah aku ingin bercinta," ucapnya gamblang.

Pepper nyengir. "Hei, bukankah ini seorang bintang porno?"

"Kau yang tanya, kan?" timpal Tony. "Aku kebetulan melihat foto ini di internet, dan dia berhasil membuat ereksiku lebih efektif dari biasanya."

Pepper terkikih pelan. "Apakah kau merindukan kehidupan lamamu? Playboy dan semacamnya?"

Tony menghela napas. "Aku sudah punya kau, sayang. Semua yang kuinginkan hanya ada pada dirimu."

Pepper menatap kedua mata Tony lekat-lekat. "Aku mencintaimu...."

"Aku mencintaimu juga...," balas Tony.

Mereka pun berciuman mesra.

"Mmm... ngomong-ngomong, berapa lama lagi androidmu ini akan selesai?" tanya Pepper sesaat kemudian.

"Tak lama. Setelah ini kami hanya perlu menambahkan Vibranium agar anatominya lebih kuat. Kecerdasan buatan dan kode genetiknya sudah kami program dan dilapisi oleh protokol Jarvis. Sekarang yang harus dilakukan adalah membiarkan Jarvis mengunggah matriks dan skema datanya dulu."

Pepper manggut-manggut. "Karena mendengar penjelasanmu, aku jadi sedikit haus," katanya sambil membelai pipi Tony. "Bisa tolong kau ambilkan minum."

"Tentu saja, sayang," jawab Tony santai. Ia mengecup Pepper sebelum melangkah pergi.

"Pakai es, ya," tandas Pepper.

"Oke," sahut Tony. "Hei, hati-hati kakimu, sayang. Ada panel di sana."

Pepper tersadar. Kakinya hampir saja menyentuh panel kontrol yang ada di bagian sisi atas peti itu. Ia menjauhkan kakinya, lantas berbaring kembali di atas peti.

Sepeninggal Stark yang keluar dari ruangan, Pepper mengarahkan pandangannya ke sana-sini. Ia tersenyum lagi melihat foto wanita yang ada di alat kaca serbaguna milik Tony. Tak lama, ia pun menghentikan sorot matanya di langit-langit laboratorium. Perlahan-lahan, matanya terpejam, menikmati kesenyapan.

Beberapa saat kemudian, Stark muncul dengan sudah memakai celana panjang. Ia membawa meja sorong yang di atasnya sudah lengkap dengan minuman segar dan camilan. "Pesanan kamar datang...," ucapnya riang.

"Oh, terima kasih...," jawab Pepper pula, terduduk di atas peti. "Hei, kau sudah pakai celana?"

"Kenapa? Kau ingin membunuhku dengan menguras semua spermaku? Ayolah, ini gencatan senjata, sayang."

Pepper terkekeh. "Aku tak berkata begitu, sayang."

Kekasih Tony Stark itu hendak turun dari peti, namun sebuah malapetaka tiba-tiba terjadi saat ia tak sengaja menginjak sebuah tombol yang ada di panel kontrol. Seketika pintu peti itu terbuka dan Pepper Potts jatuh menjungkir ke dalamnya.

"Pepper!" jerit Tony yang serta-merta berlari menuju peti.

Tony sempat bersyukur karena perut Pepper masih tersangkut di atas palang logam yang merupakan alat pembuat jaringan tubuh bagian depan. Namun, belum lagi sedetik waktu berlalu untuk Pepper sempat mengulurkan tangan, palang itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya seakan mempersilakan tubuh wanita itu untuk masuk ke dalamnya.

"Tidak! Pepper...!" Tony menganjurkan tangannya, hendak meraih tangan Pepper.

"Tony...!" Pepper berteriak, hendak mengulurkan tangannya pula. Namun, belum sempat tangannya terangkat sempurna, palang logam tadi tertutup kembali, mengunci pergerakan tangannya. Tubuhnya bagai terisap dan dibawa ke posisi yang "diinginkan" peti itu.

"Pepper...! Raih tanganku...! Pepper...!" Tony Stark mencoba mengulurkan tangannya lagi ke bawah, tapi peti itu seolah bekerja dengan cepat. Dia langsung menarik tangannya karena peti itu mendadak tertutup dengan sendirinya.

"Jarvis, matikan petinya...!" perintah Tony.

"Sedang kucoba, Pak, tapi aku harus membatalkan semua skema datanya dulu. Itu butuh waktu," J.A.R.V.I.S. merespon. "Kusarankan untuk mematikan secara manual, Pak."

"Brengsek!" maki Tony. Ia langsung menuju panel kontrol, menekan tombol abort, namun tak terjadi apa-apa. peti tetap berjalan. "Brengsek! Brengsek!"

"Energi dari luar diserap ke dalam peti, Pak," J.A.R.V.I.S. memberikan analisis. "Tampaknya batu itu yang melakukannya."

"Pepper!" teriaknya lagi memanggil kekasihnya. Ia sudah tak bisa lagi melihat wajah wanita itu karena sudah terbalut oleh jaringan tubuh buatan.

Tony Stark nanar dan panik. Saat ia melihat selang-selang yang mengarah ke peti itu, ia pun mencoba menariknya.

JUSSHHH...

Satu selang sukses tercabut. Dia pun menggilir setiap selang yang lain hingga semuanya terlepas dari peti.

Tony tersengal-sengal. Ia melihat ke dalam peti lamat-lamat. Ada cahaya remang-remang yang dipancarkan batu kuning yang ada di kepala manusia buatan itu.

"Pepper...?" panggilnya lirih.

Pintu peti itu tiba-tiba terbuka. Stark sempat kaget, namun tetap mencoba menengok ke dalamnya.

Sesosok makhluk tiba-tiba bangkit dari dalam. Berbentuk manusia, namun bagian terluar tubuhnya seolah tanpa kulit, hanya otot-ototnya saja yang terlihat ditambah sebuah batu kuning berkilauan yang tersemat di keningnya. Makhluk itu tak hanya bangkit, namun perlahan-lahan melayang di udara, keluar dari peti yang telah "memenjarakannya".

Stark mundur beberapa langkah saat makhluk itu turun dan menjejakkan kaki di depannya. Ia menatap Stark dalam-dalam.

"Tony...?" sapa manusia buatan itu dengan suara lembut layaknya wanita. Ia tersenyum.

"Pepper?" jawab Tony ragu-ragu.

"Aku bukan Pepper," tegasnya.

Tony Mengernyit. "Jadi siapa kau?"

Makhluk itu diam sejenak. "Aku tidak tahu," ucapnya.

"Bagaimana kau bisa muncul? Keluarkan Pepper!" Tony mendesak.

Makhluk itu tersenyum. Ia melirik ke meja kerja Tony.

Sesaat kemudian, makhluk itu berubah bentuk. Seluruh anggota tubuhnya perlahan dilapisi oleh kulit yang putih dan mulus. Kepalanya yang botak tiba-tiba ditumbuhi rambut yang terus tumbuh terurai, berwarna pirang hingga setengah punggungnya. Tekstur wajahnya membentuk dan berubah menjadi wajah yang sangat cantik, sama persis seperti yang ada di alat kaca mirip smartphone yang terletak di meja kerja Tony. Payudaranya membesar, dan organ intimnya juga terbentuk, bahkan lengkap dengan bulu vagina yang sudah tercukur rapi.

Tony terpana melihat semua itu. Dia bahkan tak beranjak sedikit pun saat wanita itu mendekatinya.

"Bagaimana, Tony? Kau suka?" tanya makhluk itu.

Tony menggeleng cepat, seolah tersadar. "Kembalikan Pepper," tegasnya.

Wanita itu tersenyum saja. Ia tiba-tiba berjongkok, membuka celana Tony.

"Apa yang kau lakukan?" Tony bertanya dengan nada kalap.

Perempuan cantik itu diam saja, memelorotkan celana Tony Stark dan langsung mengisap penisnya yang setengah tegang.

Mata Tony mendadak layuh menyaksikan makhluk seksi dengan batu berkilauan di dahi itu mengulum kemaluannya sambil mendongak menatap wajahnya. Napasnya mulai memburu.

Tapi ternyata hal itu tidak berlangsung lama. Wanita itu melepaskan kulumannya dan berdiri tegak di hadapan Tony, memperhatikannya dengan sebuah senyum simpul.

Belum sempat ditebak apa maunya, telunjuk wanita itu tiba-tiba terangkat, mengarah ke wajah Tony. Ia menyentuh kening Sang Iron Man dengan lembut, sekali saja, namun efeknya sangat besar.

Tony Stark langsung roboh, berlutut hingga kemudian telentang di lantai dengan tubuh mengejang-ngejang. Wajahnya memerah dan matanya meredup seperti orang yang terkena epilepsi. Tiba-tiba dari penisnya yang terbuka bebas itu keluar cairan putih, menetes-netes di setiap kejangan otot pinggulnya.

"Hoohhh... hngghhh... aahhh...," Tony mengeluh-ngeluh tertahan. Dia yang sudah banyak mengeluarkan air mani untuk kekasihnya, kini harus menggelepar karena orgasme 'ajaib' itu.

Hanya sesaat momen itu terjadi, Tony lantas terkulai lemas. Tubuhnya seakan terkena multi-orgasme. Dia cuma sanggup melihat wanita yang berdiri di hadapannya dengan mata hampir terpejam.

Makhluk itu jongkok, membelai pipi Stark. "Kau menikmatinya?"

Tony tak menjawab. Napasnya tersengal-sengal.

"Aku akan menjalankan misimu, Tony," ujar wanita itu. "Aku akan mengusahakan kedamaian untukmu."

Tony tetap membisu, terpegun loyo.

"Kedamaian itu harus dimulai dengan cinta, Tony. Dan cinta itu adalah nafsu," lanjut perempuan tak berbusana itu. "Aku akan membuat dunia ini dipenuhi oleh nafsu, agar tidak ada di antara mereka yang saling bertikai."

Stark mengernyit. Mulutnya hendak mengatakan sesuatu, namun seakan tertahan di mulutnya.

"Sampai jumpa, sayang. Aku akan berikan yang terbaik," ucap wanita itu seraya berdiri tegak. "Kurasa aku harus mengunjungi seseorang dulu untuk melancarkan misi ini."

Tony cuma bisa melihatnya meraih pakaian Pepper yang tergeletak di dekat situ, lantas melenggang keluar dari ruangan. Sang Iron Man tak bisa mencegahnya. Tubuhnya seperti hampir pingsan.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara mesin pesawat dari luar. Quinjet dibawa pergi oleh wanita itu.

"Tony?" Banner memanggil dari pintu.

"Aku di sini, Banner...," sahut Stark dengan suara lirih. Napasnya masih terkempul-kempul.

"Hei, apa yang terjadi? Di mana Nona Potts?" tanya Banner yang melihat temannya terkulai lemah dengan celana terbuka. "Aku baru saja mendengar Quinjet menyala dan pergi begitu saja. Siapa yang keluar tengah malam begini?"

Tony menarik napas segar, mengumpulkan tenaga untuk duduk dan bersandar di dinding. "Panggil seluruh tim, Banner. Situasi sangat genting...," ujarnya terengah-engah.

***​

Tim Avengers sudah berkumpul di laboratorium milik Stark, mendengar penjelasannya atas apa yang telah terjadi. Semuanya tidak berpakaian lengkap. Para lelaki selain Tony hanya memakai handuk sementara para wanita hanya berbalutkan selimut di tubuh mereka. Seluruh orang tampak berang dan kecewa pada Tony yang ternyata diam-diam telah membuat eksperimen sendiri tanpa memberi tahu tim. Thor yang naik pitam bahkan menghancurkan semua komputer yang ada di ruangan itu dengan palu Mjolnirnya.

"Aku sudah muak dengan ini semua, Stark!" rutuk Thor. "Tidak pernah ada ancaman yang lebih besar di Sembilan Dunia selain Midgard."

"Thor, tenanglah. Kita harus bicarakan ini pelan-pelan," Kapten Amerika mencoba menetralkan.

"Kau harus bertanggung jawab atas apa yang kau perbuat, Stark," tegas Thor. "Batu itu harus kembali bagaimanapun caranya."

Tony cuma terdiam, duduk di lantai bersandarkan dinding.

"Kenapa, Thor? Apakah batu itu sangat berbahaya?" Natasha menyoal.

"Aku melihat gambar di layar komputer Stark, dan itu adalah 'Batu Pikiran'," jelas Thor. "'Batu Pikiran' adalah salah satu dari enam batu terkuat di jagat raya, dan orang sembrono ini baru saja menggunakannya untuk 'bermain-main'."

Thor menuding Tony, namun Tony tetap diam saja. Ia tampak putus asa setelah kehilangan kekasihnya.

Natasha menatap Doktor Banner. "Apa kau juga ikut membantunya?"

Banner melipat bibir, tertunduk.

"Sudah kuduga," imbuh Natasha.

"Apa pilihan kita saat ini?" tanya Kapten Rogers.

"Kita tidak tahu cara yang terbaik sebelum melihat sepak terjang makhluk itu," cetus James Rhodes. "Pilihan kita sekarang hanyalah menunggu."

"Tapi menunggu sampai kapan?" tanya Kapten Rogers. "Kita tidak mungkin melihat korban berjatuhan dulu, bukan? Pepper juga ada di dalam tubuh makhluk itu, dan sesuatu yang buruk bisa saja terjadi."

"Sudah coba melacak Quinjet?" usul Maria Hill.

"Itu sia-sia," jawab Natasha. "Dia pasti sudah dalam mode stealth sekarang."

Di tengah perdebatan, Tony Stark memejamkan matanya. Energinya yang terkuras habis karena orgasme itu membuatnya sangat mengantuk. Ia pun jatuh tertidur.

"Kelihatannya seseorang sudah sangat mengantuk," ucap Natasha yang melihat Tony roboh perlahan-lahan.

Semuanya mendadak senyap. Tak ada lagi opini yang keluar dari mulut mereka.

"Sepertinya kita memang cukup lelah untuk memikirkannya malam ini," ujar Kapten Rogers. "Kurasa Rhodes benar. Kita harus melanjutkannya besok pagi."

Thor menghela napas, pasrah pada keputusan majelis.

Semuanya kembali ke kamar masing-masing, meninggalkan Tony yang tertidur sendirian di atas lantai laboratoriumnya.

***​

Pagi yang cerah menjelang, namun seisi menara Avengers tampak muram. Tony sudah bangun sejak sebelum fajar, berpikir di dalam laboratoriumnya. Ia mondar-mandir ke sana-kemari dengan setengah telanjang. Sesekali ia bertanya pada J.A.R.V.I.S. tentang sesuatu, namun jawaban asisten pribadinya itu selalu saja terdengar kurang memuaskan.

Semua tim Avengers bersama Doktor Cho tiba di ruangan Stark dengan pakaian lengkap. Mereka siap merundingkan rencana yang akan dilakukan.

"Kau sudah bangun, Tony?" sapa Natasha saat tiba di ruangan itu.

Tony diam saja, hanya memandang Romanoff dengan tatapan kosong sambil menumpangkan kedua tangan di meja. Di wajahnya masih terukir jelas perasaan kehilangan.

"Stark, aku minta maaf. Semalam aku agak kelewatan," Thor mendekati Tony, menepuk pundaknya.

"Tak apa, kawan. Aku mengerti," balas Tony.

"Baiklah, sekarang apa yang harus kita lakukan?" Kapten Amerika membuka jajak pendapat.

Semuanya mendadak menatap Stark, seakan menunggu Sang Iron Man untuk membuka mulut pertama kali.

Tony yang paham akan hal itu pun mulai berbicara. "Dia ingin membuat kedamaian dunia dengan cinta," cetusnya, meniru yang dikatakan manusia buatan itu. "Cinta itu didasari nafsu, dan dia berpikir nafsulah yang merupakan kunci perdamaian dunia."

"Apa?" Natasha nyengir, tidak percaya akan apa yang didengarnya.

Seluruh anggota tim Avengers tercengang.

"Ya, itulah yang kudengar darinya sebelum dia pergi," imbuh Tony Stark. Ia berjalan perlahan ke tengah ruangan sambil menjelaskan. "Aku dan Banner tidak memprogramnya untuk melakukan itu, tapi kurasa itu adalah inisiatifnya sendiri. Masing-masing individu bisa sesuka hati memilih caranya untuk menjaga kedamaian, namun aku tidak menyangka dia akan memilih jalan itu."

"Bukankah itu bisa menghadirkan paham seks bebas massal?" imbuh Natasha.

"Atau lebih buruk," timpal Banner. "HIV, kanker, penyakit kelamin, bahkan berdampak ke masalah psikis."

"Anak-anak...," imbuh Rhodes. "Anak-anak akan dipertontonkan oleh sesuatu yang sangat tabu."

Suasana lengang sesaat, memikirkan risiko yang mengerikan itu.

"Apakah keadaan Pepper yang baru saja berhubungan seks bisa mempengaruhi pemikiran makhluk itu?" tanya Kapten Rogers, memecah keheningan.

"Bisa jadi," sahut Banner. "Dia adalah makhluk yang baru saja terlahir, dan kadar hormon seks yang tinggi adalah keadaan pertama yang dirasakan tubuhnya."

"Aku masih belum mengerti, Tony," sela Rhodes. "Tadi malam, saat dia bangkit, kau bilang dia 'menyetrummu'?"

"Aku tidak tahu pasti. Tapi entah kenapa aku tak bisa menahan orgasme saat dia menyentuh dahiku," papar Stark.

"Dia bisa membuatmu orgasme hanya dengan menyentuh dahimu?" Natasha memastikan, tersenyum simpul.

Tony tak menjawab, hanya mengangkat alisnya.

"Itu adalah kekuatan batu itu," beber Thor. "Selain punya kekuatan besar, 'Batu Pikiran' itu juga bisa memanipulasi pikiran siapa saja, termasuk mengontrol dan membaca isi kepala orang lain."

Tony Stark terdiam. Ia teringat sesuatu.

"Ada berita baru di TV, Pak," sela J.A.R.V.I.S. tiba-tiba. "Sesuatu terjadi di Sokovia. Mungkin kau ingin melihatnya."

Stark langsung mengambil alat kacanya yang mirip smartphone itu. Menekan beberapa tombol, lantas menampilkannya ke proyeksi digital.

Di sebuah stasiun televisi, seorang pria berjas hitam sedang menyiarkan kabar mancanegara. Di Headline-nya tertulis "Serangan Seks di Sokovia". Seluruh anggota tim Avengers tertegun menyaksikan isi berita yang isinya adalah video-video yang telah disensor, menampilkan sejumlah penduduk Sokovia yang sedang berhubungan seks di depan publik.

"Para polisi Sokovia mencoba mengevakuasi mereka agar tidak dilihat khalayak umum. Namun, laporan dari lapangan mengindikasikan adanya pertambahan drastis akan kasus serupa di beberapa titik. Pemerintah setempat juga melakukan karantina, karena ada beberapa penduduk yang menunjukkan gejala ekstrem berupa orgasme mendadak. Sampai saat ini, pemantauan dan penanggulangan adalah cara terbaik sebelum mengisolasi Sokovia dari penyebaran penyakit-penyakit tertentu."

Tony langsung mematikan perangkatnya itu begitu berita berganti ke topik lain. Tim Avengers terdiam, beberapa menghela napas panjang.

"Apakah itu dia?" Kapten Amerika memecah keheningan.

"Tak diragukan lagi," jawab Tony.

"Bagaimana cara kita menghentikannya?" tanya Romanoff. "Apa kita harus membunuhnya?"

"Tidak!" sergah Tony. "Pasti ada cara lain."

"Dengan apa?" Thor menyela.

"Ada satu cara yang bisa kita lakukan," ucap Tony.

"Pemisahan...," sambung Banner yang mengerti apa yang ada di pikiran Stark.

Tony menatap temannya itu, mengangguk yakin.

"Apa maksudnya?" tanya Rhodes.

"Makhluk itu terbagi ke tiga elemen: batu itu, jaringan sintetis, dan Pepper," Stark memaparkan. "Kemungkinan besar kekuatan batu itulah yang membuat manipulasi antara tubuh Pepper dan jaringan tubuh sintetis. Kecerdasan buatan sudah tak diperlukan lagi karena otak Pepper sudah ada di dalamnya, bukan? Dan kurasa itu sebabnya proses percampuran itu bisa terjadi sangat cepat."

"Itu masuk akal," tambah Doktor Cho. "Pencetak sel yang kubuat memang homogen untuk setiap manusia. Tidak terpaku kepada golongan darah atau penyakit apa pun."

"Jadi, bagaimana cara kita memisahkannya?" tanya Kapten Rogers.

Tony terdiam. Dahinya berkerut.

"Itu dia masalahnya," ujar Doktor Cho. "Walaupun Nona Pepper dan jaringan tubuh itu bisa dipisahkan, itu akan sangat menyakitkan."

"Apa kau bisa memisahkannya dengan meminimalisir rasa sakit itu?" tanya Kapten Rogers pada Doktor Cho.

"Cara satu-satunya hanyalah mengubah kutub dari mesin pencetak sel di peti itu," beber Helen. "Mesin itu akan berbalik menjadi pemusnah sel. Itu akan meluruhkan jaringan tubuh terluar dan memberi kesempatan pada kita untuk memisahkannya dari tubuh Nona Pepper."

"Lakukan!" tegas Tony.

"Tapi, Tony, apa kau yakin dengan itu?" Doktor Helen risau. "Nona Pepper akan tetap..."

"Aku tak peduli!" potong Stark.

"Tony? Pepper kemungkinan besar akan merasakan luka layaknya luka bakar stadium 3 hingga 4. Apa kau yakin?" Banner menegaskan.

"Apa kau punya jalan lain?" tanya Tony pada Banner dengan mata berkaca-kaca. "Beri tahu aku, Banner, apa kau punya jalan lain?"

Banner tertunduk membisu.

Tony menatap semuanya, menanti seseorang di ruangan itu yang mungkin punya ide lebih baik. Namun, semuanya ikut membisu.

"Aku hanya ingin menciptakan sesuatu yang berguna, teman-teman," ujar Tony dengan segenap perasaan. "Aku ingin menciptakan Ultron agar kita tidak lagi bertengkar dan saling menyalahkan satu sama lain. Apakah kalian tidak ingin pertemuan yang damai, minum teh bersama-sama di gedung ini, dan tidak lagi membahas kerusuhan di luar sana? Atau malah kalian lebih memilih untuk berjibaku di luar sana, melanggar kedaulatan negara orang, dan melepaskan ledakan di mana-mana? Itukah keinginan kalian?

"Oke, aku minta maaf, Thor, Kapten, Banner, dan semua orang yang merasa tak suka dengan tindakanku. Sejujurnya, aku sudah lelah memakai baju kaleng itu. Iron Man hanyalah pereda atas tirani berkepanjangan yang telah kulakukan di masa lalu. Aku hanya ingin menghabiskan hidupku dalam kedamaian. Aku hanya ingin menghirup udara segar. Aku hanya ingin membuat satu pahlawan yang tidak lagi menyimpan rasa ego di hatinya. Pahlawan Bumi yang sesungguhnya."

Semuanya terdiam mendengar kata-kata Tony yang emosional. Mereka seakan melihat seseorang yang lain. Suasana lengang beberapa saat.

Kapten Rogers menghela napas berat. Ia menatap Tony dengan senyuman lebar. "Katakan saja apa yang harus kami lakukan, Kapten...," ujarnya bersemangat.

Semuanya tersenyum melihat Tony. Semangat mereka membumbung tinggi.

"Doktor, setelah ini aku ingin kita bertiga bersama Banner segera membuat alat itu," pinta Tony.

Doktor Cho mengangguk.

"Jika tubuh itu dipisahkan, bagaimana dengan batunya?" tanya Stark.

"Aku yang akan mengurusnya," jawab Thor cepat, tersenyum yakin.

"Bagaimana caramu melakukannya?" Kapten Rogers menyoal. "Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa batu itu kuat?"

"Aku tidak akan menghancurkannya, tapi menariknya dari tubuh makhluk itu," timpal Thor. "Ada benda di ruang penyimpanan Asgard yang bisa menanganinya. Aku akan ke sana sebentar untuk meminta izin pada Ayahku."

"Terdengar bagus," ucap Tony.

"Ngomong-ngomong, apa kita perlu mengajak Clint? Tanya Natasha.

"Kurasa tidak," jawab Tony. "Suruh saja dia membawa Quinjet cadangan kemari."

"Bagaimana denganku? Apa aku perlu ikut?" Tanya Banner pula.

"Kurasa... kau juga ikut, Bruce," ujar Stark. "Untuk berjaga-jaga apabila pengetahuanmu dibutuhkan di sana."

"Bagaimana dengan makhluk itu, Tony?" tanya Kapten Rogers. "Jika kita sudah punya alat-alat untuk memisahkan semuanya, bagaimana cara kita membuatnya lengah? Dia tak akan membiarkan dirinya dipisahkan begitu saja, bukan?"

Semua orang sontak terdiam. Namun berbeda dengan Stark, ia tersenyum.

"Untuk itulah kau ada di tim ini, Kap," ujar Tony mantap. "Kau harus mengajak wanita itu bercinta."

"Apa?" Kapten Rogers mengernyitkan alis.

Tak hanya Kapten, semua orang di situ melongo mendengar perkataan Tony.

"Ide apa lagi ini, Tony?" keluh Banner.

Tony tetap tersenyum. "Makhluk itu suka seks, kan? Kita berikan seks padanya."

"Lantas, sesudah Kapten berhubungan seks dengannya, apakah kau bisa memastikan makhluk itu lengah, Tony?" Rhodes menyambut argumen.

"Itu cukup mudah," balas Stark. "Kita akan pisahkan dia saat dia... orgasme."

"Orgasme?" Natasha tersenyum.

"Akuilah, Romanoff. Kau juga lupa daratan saat orgasme, bukan?"

Agen Romanoff melengos, cengar-cengir.

"Aku juga yakin Kapten bisa melakukannya," tandas Tony. "Bukan begitu, Kap?"

Kapten Rogers menahan senyumnya. "Mengapa aku?" tanyanya lagi. "Kenapa tidak Thor saja? Atau kau yang memang pasangan Pepper?"

"Aku mungkin lebih kuat darimu, tapi kau punya stamina yang lebih baik dariku," ujar Thor kepada Kapten. Ia pun mengerling ke Stark.

Tony mesem-mesem, mengangguk ringan.

"Ya... ya... okelah...," Kapten Rogers merespon asal-asalan.

"Tapi Tony, kita tetap harus memikirkan kemungkinan terburuk." Banner menatap rekannya dengan serius. "Jika kita gagal merayu wanita itu untuk bercinta dengan Kapten, apa yang akan kau lakukan?"

Tony terdiam. Matanya menatap semua wajah teman-teman setimnya. Ia menghela napas. "Kita lihat saja nanti, Banner," ucapnya seraya menengok ke peti, memulai pekerjaannya.

"Mari kita hadapi, Tony. Kita harus menggunakan kekerasan," imbuh Kapten Amerika.

Tony berhenti sekejap, lantas melanjutkan tugasnya, tetap terdiam, tak menoleh sedikit pun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar