Selasa, 08 Desember 2015

Cerita Dewasa Artis Cica dan Ray 1

Jalanan Jakarta yang lengang pukul satu pagi tidak membuat Ray menggeber Cayman yang ia kemudikan. Ini pengalaman mengemudi paling menegangkan seumur hidupnya, di pangkuannya duduk seorang perempuan yang sibuk menggesekkan selangkangannya. Ray mati-matian menahan matanya untuk tidak terpejam, menikmati cumbuan bibir tipis di lehernya, bergerak halus dan basah menelusuri semua yang mampu dijangkau. Ketika serangannya terlalu panas, Ray hanya bisa menjambak halus rambut ikalnya yang tergerai sepunggung meskipun sia-sia karena dua detik kemudian perempuan itu menyerangnya lagi. Meski ia sangat menikmati sensasi ini, ia harus tetap berkonsentrasi agar keduanya bisa sampai apartemen perempuan itu dalam keadaan hidup.
“Cepet dong Babe... gatel nih...” Desah perempuan itu, tepat di telinganya. Laki-laki mana yang tidak berdesir tengkuknya diterpa desahan napas perempuan se-seksi ini?
Belum lama banyak orang bertanya-tanya siapa perempuan berinisial AS yang diberitakan telah digerebek aparat di hotel berbintang itu? Ray tidak, sekarang yang bersangkutan sedang menggila di pangkuannya. Mengerang, menggeliat, menyerah pada gairah. Hanya saja, Ray memanggilnya dengan nama lain; Cicha. Hanya orang-orang tertentu yang memanggil perempuan berdada indah itu dengan nama Cicha.
“Tahan dulu ya, kita udah sampe parkiran nih!”
“Gak mau!”
Dan Ray cuma bisa pasrah ketika Cicha menggeliat semakin tidak beraturan, oh jangan lupakan erangan napsu itu, laki-laki manapun akan lupa diri mendengarnya.
Mereka sampai, Ray menggendong Cicha di depan, perempuan itu tetap menyerangnya tanpa henti. Untunglah apartemen ini mempunyai fasilitas private lift.
BRUGH! Mereka menjatuhkan diri ke ranjang. Sekarang, giliran Ray yang beraksi. Tentu saja, ia gatal ingin membuat perempuan yang sedang ia tindih ini tak berdaya.
Dengan tenang, Ray mendaratkan bibirnya ke leher menggelitik setiap bagian yang tersapu dengan lidahnya sambil menurunkan mini-dress hitam serta dalamannya. Ray melakukan itu dengan amat perlahan, mempermainkan gairah Cicha yang tidak berhenti mengerang.
Mukanya tepat berada di hadapan vagina Cicha. Basah, sangat basah. Ray menghirupnya dalam-dalam perempuan itu semakin resah. Ia amat menyukai bau ini, benar-benar bau vagina, dan bukan aroma sabun pembersih.
“Ma..masukhinnn... Plishhhh...” Ray tersenyum picik, mata perempuan itu semakin sayu, sorot matanya jelas memohon.
“Sabar, Babe...” Kata Ray, sambil mencopot heels, menjadikan Cicha benar-benar polos.
Ia membuka kancing kemejanya perlahan, demi melihat Cicha semakin gelisah menunggu. Sambil menatap Ray Cicha membuka kaki, membelai vaginanya sendiri, mengerang, dengan sorot mata memohon.
Ahhhmmm, babe... ayo.... u-uhhh......
Ray hanya tersenyum, ia selalu senang mempermainkan gairah Cicha. Ketika dirinya sudah benar-benar polos, terpampanglah penisnya menengang sempurna. Lingkarnya tidak besar, tapi panjang dan gagah berurat, sedikit melengkuk ke atas.
Sekarang lawan mainnya menggigit bibir bawah, berharap penis itu segera memasukinya. Tapi Ray punya rencana lain. Ia membungkuk, menindih. Kedua tangannya bekerja di payudara bulat padat itu, memainkan putingnya, bibirnya kembali menyerang leher. Membasahinya sekali lagi tanpa meninggalkan jejak merah. Jejak merah di leher akan merepotkan bagi seorang model yang biasa berfoto dengan pakaian terbuka.
Ahhhh... Plishhh, masukhinn... Plishhh.... Ga-gathel, Babe... Plishhh...
Perempuan itu berusaha mengangkan pantatnya, mengejar penis Ray. Tapi gagal ketika kedua lutut Ray menahan pangkal pahanya.
A-anjinggghhh, Babe... Akhuuu... Ga kuatthhhh....
BLES! Penis itu masuk seluruhnya dalam sekali hentak.
AKHHHMMMM! Cicha memekik kaget, tapi kemudian mengerang kenikmatan ketika Ray mulai menggoyang lembut.
Mhhhh... Enak?
Bang-ngethhhhh..... Ahh... terush... Kencenginhhhh.....
Ray menaikkan tempo, masih dengan posisi yang sama. Belum lima menit Ray menggoyang, lawan mainnya menjerit tertahan.
A-AHHHHH..... SHIT! AKHUU... KELUARHHHH... AHHHH.... Vaginanya menyemprotkan cairan kenikmatan cukup banyak, Ray tersenyum penuh kemenangan.
Ia mencabut penisnya, dengan napas yang tidak beraturan mereka bertatapan. Teduh, lembut, dan dalam. Ray mengusap bulir-bulir keringat di dahi Cicha, memancing senyum kecil perempuan itu
“Giliranku ya?” Pintanya, manja.
Mereka bertukar posisi, dan kembali bercinta sampai keduanya tertidur kelelahan. Entah berapa kali vagina Cicha menyemprotkan cairan kenikmatan, tapi perempuan itu hanya berhasil memancing sperma Ray dua kali. Sekali menyemprot rahimnya ketika mereka melakukan gaya woman on top. Sekali lagi, setelah doggy-style yang dilanjutkan dengan blowjob. Ia mempersembahkan blowjob terbaiknya, menyedot penis Ray kuat dan dalam. Ketika Ray sampai, ia tidak membiarkan setetes pun keluar dari mulutnya. Semuanya ia telan habis seperti orang kehausan. Setelah itu mereka berbaring berhadapan, lalu terlelap karena kelelahan.

Pagi hari, Cicha terbangun dengan senyum mengembang di bibir tipisnya, melirik ke samping dan tidak mendapati Ray. Ia hanya menutupi tubuhnya dengan selimut lalu berjalan keluar kamar mencari sosok laki-laki yang memberinya kepuasan semalam. Ditemukannya Ray sedang sibuk di dapur. Rambutnya basah, sehabis mandi ia cuma memakai celana olahraga panjang tanpa memakai baju. Uh! selangkangannya kembali lembab melihat bagian atas tubuh Ray yang benar-benar memanjakan matanya.
“Lo lagi bikin apa sih, babe?” Tanya dia, nadanya merajuk. Ray menoleh ke arah Santi.
“Bikin lo senyum.” Jawab Ray.
Dan Cicha pun tersenyum.
Ini senyum yang sama ketika kali pertama ia bertemu dengan Ray dua tahun lalu, di gudang kampus. Di gudang itu Ray mendapati Cicha terbaring lemah. Pakaiannya berserakan, yang menempel cuma bra yang sudah putus serta kemeja yang robek-robek. Cicha terlalu lelah, meski matanya terbuka ia tidak bereaksi apa-apa ketika Ray masuk dan melangkah mendekat.
Ia cuma menatap laki-laki itu.
“Gu-guee... capek.” Katanya terbata-bata. “Tolong, jangan perkosa gue.”
Ray tidak menjawab, ia menatap perempuan itu. Membuka jaket yang ia pakai lalu menutupi tubuh Cicha.
“Baju lo udah gak berbentuk, pake itu buat pulang.” Kata Ray, yang tanpa basi-basi langsung meninggalkan Cicha sendirian.
Thanks. Cicha berucap lemah, bahkan Ray pun tidak mendengar itu.
Pertemuan itu, membawa mereka sejauh ini, sedekat ini. Meskipun bukan sebagai sepasang kekasih.

***

Laki-laki pelontos itu bernama Tama, umurnya baru 28 tahun dan sudah menjadi pimpinan sebuah universitas swasta paling bergengsi di Jakarta. Meski ia mengantongi gelar master di bidang ekonomi, posisi itu ia dapat bukan karena kecerdasan dan usahanya sendiri. Tapi dengan bantuan. Tama adalah orang bodoh, sejak lulus S2 dari Australia Tama bekerja sebagai dosen sebelum akhirnya Ayah Tama yang merupakan orang terkaya nomor tujuh di negeri ini mengambil alih kampus itu yang kemudian ia jadikan hadiah ulang tahun ke 28 untuk anak pertamanya.
“Saya ingin berkontribusi untuk memajukan pendidikan Indonesia.” Jawab Tama, ketika ditanyai wartawan kenapa ia memilih untuk memimpin kampus ini ketimbang usaha lain yang dimiliki keluarganya.
Tama tersenyum ramah, mengangguk sopan, menjawab semua pertanyaan dengan tenang. Semua yang melihatnya di layar kaca pasti menaruh perhatian kepada laki-laki yang senang tampil rapi itu.
“Buat adek-adek yang kurang mampu, jangan khawatir kami menyediakan beasiswa prestasi kuotanya kami tambah dua kali lipat. Asal memenuhi syarat, kalian bisa kuliah gratis sampai lulus. Jangan minder hanya karena kampus kami dikenal sebagai kampus elite, bagi kami prestasi adalah segalanya. Dan kami menghargai kalian yang berprestasi, baik akademis maupun non akademis.” Kata-kata Tama ketika menutup wawancara.

***

Ellen, perempuan campuran Sunda-Manado adalah mahasiswi tingkat akhir sekaligus bidadarinya FE. Seorang Ellen tidak perlu pakaian terbuka untuk memancing tatapan lapar laki-laki yang melihatnya. Cukup celana jeans ketat, flat-shoes, dan kaus ketat. Maka pikiran laki-laki tidak akan pernah sama lagi. Semua yang ada dalam pikiran mereka tergantikan di detik peretama ketika melihat Ellen. Apalagi Ellen mengikat rambutnya, memamerkan leher jenjangnya akan membuat mereka yang melihat ingin mendaratkan bibirnya di sana.
Padet bro!
Yoi, seukuran mangkok ayam jago!
Bibirnya tebel, merah alami, Mb... sepong dong, Mb.
Tuhan, jangan biarkan dia lulus cepat, Tuhan! Beri dia cobaan!
Begitulah bisik-bisik antar lelaki setiap ia lewat.
Ellen bukannya tidak tahu, tapi ia memilih untuk tidak peduli. Kalau ia bereaksi menolak pun tidak akan menghentikan mereka. Mungkin mereka malah akan semakin menggila. Maka tidak bereaksi apa-apa adalah yang terbaik. Mahasiswi cerdas ini paham betul caranya mengambil keputusan. Meski kadang, ada keputusan yang ia ambil tanpa ia pahami sungguh-sungguh.
Seperti keputusan yang ia dua tahun yang lalu.
Ellen berada di ruangan wawancara memakai seragam seperti yang diperintahkan. Atasan putih, rok hitam, sepatu hak tinggi. Mengenai make-up, ini inisiatifnya sendiri. Polesan tipis di wajahnya disempurnakan dengan ukuran pakaiannya yang tampak pas di badan.
Ia akan diwawancara pihak kampus, ini tahap terakhir sebelum kemudian diputuskan apa ia berhak menerima beasiswa atau tidak.
“Perkenalkan, saya Tama Agung.” Laki-laki di depannya memperkenalkan diri.
Tatapan mata lelaki itu, pelan-pelan membuat Ellen mati gaya. Tajam, tegas, terarah. Ia sudah dandan secantik mungkin, tapi sepertinya yang ia lakukan tidak berpengaruh banyak untuk Tama.
“Kamu asli Bandung?” Tanya Tama, Ellen mengangguk. “Kenapa memilih kuliah di Jakarta. Dan kenapa memilih kampus ini?”
Hening sejenak. Ellen tampak ragu-ragu, sebelum wawancara dimulai ia diberi pengarahan oleh staff agar menjawab semua pertanyaan dengan jujur. Haruskah? Ellen membatin.
“Kamu tidak terlihat seperti orang tidak mampu.” Lanjut Tama.
“Saya memang bukan orang miskin.” Jawab Ellen, pada akhirnya. “...tapi juga bukan orang kaya.”
Tama mengangguk, mempersilakan Ellen untuk bercerita. Sejak tadi, ia sudah mendengar banyak cerita dari calon penerima beasiswa yang lain. Cerita-cerita pilu tentang kemiskinan yang menghambat masa depan. Kalimat pembuka dari Ellen menarik minatnya untuk menyimak lebih lanjut.
“Saya ada di Jakarta, untuk meninggalkan Bandung.” Ellen berhenti sejenak, menarik napas. “...karena Bandung sudah lama meninggalkan saya.”
Tama mengerutkan kening, tapi tidak memotong.
“Orang tua saya masih ada... tapi seperti tidak ada.” Ellen kembali mengatur napas, dadanya berdegup kencang. Tama menyodorkan segelas airputih. “Papa punya toko besi yang cukup untuk membiayai hobinya mabuk dan main perempuan. Mama punya butik yang cukup untuk menghidupi dirinya tanpa harus mengandalkan Papa.”
“...dan mereka tidak bercerai.”
“...masih tinggal di rumah yang sama, tempat favorit mereka bertengkar. Dan saya harus menyaksikan itu, tidak setiap hari, hanya setiap mereka bertemu. Saya ingin hidup mandiri, ingin lepas dari mereka.”
Berhasil, Ellen menceritakan masalah yang ia alami tanpa menangis. Ia memaksakan diri untuk tersenyum.
“Punya adik?”
“Satu, perempuan. Sekarang kelas satu SMA, sejak SMP dia ikut Om saya di Singapura.”
“Pacar?”
“Dia masuk akademi polisi, saya gak pernah tahu kabar dia lagi.”
“Rencana kamu ada di sini? Kamu bilang ingin lepas dari orang tuamu. Beasiswa ini cuma menanggung biaya pendidikan. Belum biaya hidup... dan biaya gengsi.”
“Saya bisa kerja, pernah bekerja sebagai model foto waktu SMA. Beberapa kali menjadi SPG di pameran otomotif.”
“Catatan akademis kamu bagus, saya bisa pastikan kamu lolos. Mengenai pekerjaan, saya bisa bantu kamu. Kalau tidak keberatan, kamu datang ke kantor saya nanti malam.”
Ellen tersenyum, kali ini lebih tulus. Mereka bertukar kontak sebelum Ellen meninggalkan ruangan itu.

***

Cicha menungging berpegangan ke sandaran sofa, dari berlakang Tama memompa penisnya dengan kecepatan tinggi. Ia tidak pernah bosan menyetubuhi Cicha. Tangannya meremas dada Cicha dengan gemas. Cicha mengerang, merintih, seperti itu jadinya kalau rasa nikmat disuarakan.
Mmmhhhh... Cha, a-anjingghhh enak, Cha....
Ta-Taammmhhh... Shit, Tammmhhhh
Keringat mereka berucucran menyampur, Dama melupakan lelah menurut pada ego, sekarang ia menambah serangannya dengan menciumi tengkuk Cicha. Dan Cicha semakin tidak berdaya. Sesekali Dama menampar pantat Cicha sampai kemerahan.
Gu-gueee, kel-luarhhh Cha...
A-AAHHHHH

Keduanya menjerit bersamaan, Cicha ambruk di sofa. Dama turut ambruk di sebelahnya tidak lama kemudian. Sperma Dama meleleh keluar saking banyaknya.
“Thanks, Bitch!” Ucap Tama tanpa menoleh.
Ia mengumpulkan tenaga yang tersisa lalu berdiri menuju kamar mandi guna membersihkan diri. Setelah membersihkan diri seadanya, Tama kembali menghampiri Cicha yang posisinya masih belum berubah.
“Bangun lo!” Perintah Tama. “Gue mau ada tamu, lo bersih-bersih, terus balik lagi ke sini. Lo harus ketemu dia.”
Cicha menurut, meninggalkan ruangan itu.

Tiga puluh menit kemudian...

Ellen datang dengan backless dress warna merah menyala. Pukul 7 seperti yang mereka sepakati. Ketika masuk ke ruang kantor Tama, ia melihat sosok yang benar-benar berbeda. Tama yang sopan dan berwibawa, berubah menjadi seorang Tama yang terlihat... berbahaya.
He dress like a man. Semua yang menempel di badannya mungkin akan cukup untuk membeli sebuah rumah mewah. Penampilan yang tidak dapat ditolak perempuan manapun yang mendewakan harta.
“Duduk El, berhubung lagi gak di kampus... kita gak usah formal ya. Panggil gue Tama aja.” Sementara Ellen duduk di sofa panjang, Tama berjalan menuju kulkas membawa dua botol bir. “Lo cantik malam ini.”
“Thanks.” Ellen menerima bir dari tangan Tama.
“Gue gak suka basa-basi. Mengenai bantuan yang mau gue kasih.” Tama menyalakan rokok. “Akademis lo emang bagus, tapi pekerjaan yang berhubungan dengan itu cuma bakal menyita waktu lo dan gak bakal ngasilin banyak duit.”
Hening sejenak, keduanya meneguk bir masing-masing.
“Gue punya dua pilihan: Pertama, lo jadi model di majalah dewasa punya perusahaan gue. Atau, lo jadi anak buah gue... jadi pelicin bisnis perusahaan gue. Lo ngerti maksudnya?”
Ellen tampak tidak terkejut. Ia perempuan cerdas, sudah mampu memperkirakan bantuan apa yang akan ditawarkan Tama.
Pikirannya berkecamuk. Ia memang tak peduli lagi dengan keluarganya, bahkan dengan dirinya sendiri. Yang ada di pikirannya cuma... Cakra. Kekasihnya yang sekarang sedang berusaha meraih cita-citanya menjadi seorang polisi. Dan Eliza, adik kandungnya yang sangat ia rindukan.
“Lo masih perawan?” Tanya Tama, membuyarkan lamunan Ellen. Perempuan itu menggeleng.
“So nothing to loose, right? Saran gue, lo ambil pilihan kedua. Itu bisa lo lakuin diam-diam, dan gue bisa jaga rahasia lo.” Tama menyulut rokok keduanya. “Gue juga bakal ngejamin hidup lo, tepat tinggal, mobil, semuanya gue kasih.”
Ellen terdiam sejenak. Dia belum menentukan pilihan ketika Tama berdiri di depannya, membuka resleting celana kainnya, lalu mengeluarkan penisnya yang masih layu.
“Let me test you first.”
Dengan ragu-ragu, Ellen menggenggam penis Dama. Tidak panjang, tapi diameternya cukup membuat Ellen menggigit bibir bawah. Ellen menatap Tama yang hanya tersenyum dalam anggukannya.
Ia mengecup kepala penisnya, sebelum mulai memasukkannya pelan-pelan. Hanya sebatas kepala penis, Ellen berhenti. Ia menghisap penis Tama kuat-kuat, Tama bergidik menahan nikmat. Ellen menambah serangannya, ia mempermainkan lidahnya menjilati lubang kencing Tama, menelusur lingkar kepala penis Tama, lalu mempermainkan bagian bawah kepala penis Tama.
“Uh... lo berbakat jadi pereekhhhhhh ahhhh.” Tama mendesah pajang ketika Ellen mulai memasukkan seluruhnya, menghisapnya kuat-kuat. Desahan Tama semakin tidak karuan, Ellen mulai memaju-mundurkan kepalanya. Permainan lidahnya begitu lihat.
“Anjinghhh... Ini sepongan terbaik yang pernah gue rasainhhh ahhhh... terus, El... Ahh..... Anjinghhhh.”
Ellen mulai terangsang oleh desahan dan kata-kata kasar Tama. Ia semakin bersemangat membuat laki-laki itu tidak berdaya. Ellen menambah tempo, desahan Tama semakin tak terkontrol.
“Gu-gueee... Sam.. Ahhhhhhhhkkkk.”
Sperma Tama tumpah dalam mulut Ellen, hanya supaya tidak berceceran mengotori bajunya, Ellen menelan semuanya.
“Good job, El!” Tama tersenyum puas.
Ellen masih diam, masih menimang apa yang sebenarnya dia lakukan? Di sini, dengan seorang laki-laki yang barus saja ia berikan oral terbaiknya. Dan laki-laki itu bukan Cakra. Ellen memang sudah tidak perawan lagi, tapi hanya Cakra yang izinkan untuk menjamah tubuhnya. Sekarang, laki-laki itu sedang berusaha meraih mimpinya. Dan perempuan yang ia cintai sedang berusaha memuaskan laki-laki lain. Mengingat itu, mata Ellen memburam. Tapi ia tidak ingin menangis di depan Tama.
“Cha!” Tepat setelah Tama membenahi pakaiannya masuk seorang perempuan. Otomatis Ellen menoleh, menatap perempuan itu. “Mulai sekarang, dia tinggal sama lo. Dia ade lo Cha!”
Perempuan itu menatap Ellen.
“Bimbing dia ya... jadi perek! Sepongannya lebih enak dari lo btw.” Tama mengalihkan pandangannya ke Ellen. “Lo udah tahu dia kan El? Model yang suka bikin cowok-cowok horny itu?”
Ellen mengangguk.
“Panggil dia Cicha. Dia bakal jadi kakak lo, mulai malam ini lo tinggal sama dia.” Lanjut Tama.
“Gue duluan.” Tama pergi.
Cicha menghampiri Ellen yang kelihatan masih kaku.
“Lo boleh panggil gue Cicha.” Cicha menyodorkan tangan.
“Ellen.” Tangan Cicha disambut, keduanya tersenyum ramah.
Di tempat lain, Tama sedang memantau jalannya sesi pemotretan. Rhere, yang menjadi kali ini menjadi modelnya. Perempuan sintal ini tidak terlalu sering tampil. Tapi sekali saja orang melihat, ia akan kesulitan melupakan sosok Rhere. Lekuk tubuhnya, senyum misteriusnya, jangan lupakan dadanya yang padat sempurna.
Tama semakin gelisah ketika Rhere berfoto dengan pose yang menantang. Lingerie merah transparant, senyum dingin, dan tatapan yang cukup untuk membuat laki-laki manapun lupa diri. Karena itu, Tama memutuskan untuk menunggu diluar.
“Kamu udah makan Re?” Tama menghampiri Rhere ketika sesi pemotretan berakhir. Ia berjalan di samping Rhere.
“Apaan sih lo botak! Gak usah sok perhatian gitu deh.” Balas Rhere, ketus.
“Aku Bos kamu loh, jangan galak-galak bisa kali.” Jawab Tama sambil berusaha mengimbangi langkah Rhere yang semakin cepat.
Rhere berhenti, menoleh menghadap Tama. Tatapannya, maut. Bahkan untuk seorang Tama.
“Terus? Lo mau pecat gue? Lo gak bakal manggil gue lagi jadi model majalah punya lo? Silakan aja, kalau lo mau kontrak kerja sama dengan klien besar itu putus.”
“Bukan gitu, Re...”
“Perusahaan lo yang ini bukan apa-apa tanpa mereka, dan gue adalah model kesayangan mereka. Kalau gue gak ada, mereka gak bakal mau kerja sama lo.”
“Iya, Re... Aku cuma-“
“Gue cabut, bye!”
Rhere melangkah, meninggalkan Tama yang mati gaya menatap punggungnya pergi menjauh. Seumur hidup, Tama selalu mendapatkan apapun yang ia mau dengan mudah. Dan Rhere adalah hal tersulit.
“Bos gue pantang menyerah ternyata!!!” celetuk asisten Tama yang tiba-tiba muncul di belakang Tama.
“Anjing lo ngagetin aja.” Keduanya tertawa. “Kalau lagi berhadapan sama dia gue selalu ngerasa percuma jadi cowok tajir... itu gak bikin dia kagum.”
Asisten Tama tertawa. Seorang Tama, curhat.
“Udahlah Bos cari yang lain aja kenapa sih. Toh masih banyak yang suka rela ngangkan depan lo.”
“Mereka itu masa lalu, dan masa kini. Kalau Rhere... masa depan.”
“Gokil! Seorang Tama? Hahahaha... Kenapa harus dia sih?”
“Dia beda. Gak bisa digiur sama uang... apalagi tampang. Gue gak pernah tahu apa yang bisa bikin dia kagum, atau cuma sekedar tertarik. Dari dulu, dia tertutup banget. Lo tahu betul kan penghasilan model-model kita berapa? Dan lo juga tahu kan kebanyakan model kita jual selangkangan buat gengsi mereka? Kecuali Rhere, klien bokap yang dari Australia nawarin $100.000 pun ditolak.”
“Ya gue tahu itu, dia satu-satunya model kita yang gak pernah mau kerja sampingan. Tapi kelihatannya, di antara model lain dia yang paling tajir.”
“Itu dia, misterius banget kan?”
“Sejak kapan sih lo naksir dia Bos?”
“To be honest... Dia cinta pertama gue.” Asisten Tama tampak terkejut. “Waktu gue kelas 3 SMP, dia kelas satu.”
Percapakan mereka berlanjut ke kedai kopi yang tidak jauh dari kantor. Malam itu, Tama memutuskan untuk membagi satu rahasia terbesar dalam hidupnya. Ia butuh seseorang untuk meredakan kegelisahan yang ia pendam demikian lama.
Di kantor, Rhere tidak langsung pulang. Ia pergi ke atap gedung. Tanpa diketahui siapa-siapa, ia memang selalu menghabiskan waktu disini sendirian setelah pemotretan selesai.
Sampai di atap, ia langsung menuju tempat kesukaannya, dari sana ia bisa melihat gemerlap kota Jakarta. Langkahnya terhenti ketika dia melihat ada sosok laki-laki berdiri menatap ke bawah di tempat biasa ia menghabiskan waktu.
“Ray?” Rhere menyapa, laki-laki itu yang melukis mural untuk setting fotonya.
“Yo?” Ray menoleh. Rhere duduk di sebelahnya.
“Lo ngapain ada di sini? Gak mau bunuh diri kan?” Ray tergelak.
“Suntuk gue Mbak...” Jawab Ray, Rhere melotot.
“Jangan panggil gue mbak kenapa sih! Rese banget lo jadi cowok.”
“Cih! Niatnya mau sopan malah dibilang rese, jadi cowok serba salah ya...” Kali ini Rhere yang tergelak. “Ke atas yuk, gue biasanya suka telentang di helipad. Liat bintang, keren loh!”
Rhere mengangguk, ia bangkit mengikuti Ray.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar