“Wow,” katanya.
“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Dr. James.
“Kamu sangat berbeda James,” jawab Olivia.
“Kamu juga sangat berbeda kalau sedang tidak bertugas,” kata Dr. James.
“Baiklah, mau terus merayuku atau segera berangkat?”
“Segera berangkat, ayo!” Dr. James mempersilakan Olivia masuk ke mobil sedannya.
Acara makan malam mereka adalah di sebuah restoran bergaya Eropa. Makanannya sangat lezat, Olivia memesan steak impor dimasak medium rare, demikian juga Dr. James. Satu ruangan hari itu dibooking oleh pihak rumah sakit. Kepala rumah sakit memberikan penghargaan kepada beberapa karyawan yang memang telah berjasa selama bekerja di rumah sakit. Dan penghargaan juga jatuh kepada Dr. James atas dedikasinya sebagai Dokter forensik yang bekerja sama dengan pihak kepolisian selama ini.
Malam itu Olivia dan Dr. James mengikuti makan malam dengan baik. Olivia menikmatinya dan mereka pun terlibat pembicaraan serius. Olivia menceritakan apa yang Lukman katakan.
“James, bagaimana menurutmu?” tanya Olivia.
Dr. James melihat sudut mata Olivia yang indah dan dia pun tersenyum. Wajah Dr. James memang kaku tapi menyiratkan kelembutan yang misterius. “Dia tidak berbohong.”
“Tapi dia menyembunyikan sesuatu dariku selama ini,” ujar Olivia.
“Trust me, aku sarankan engkau tidak mendekati Briptu Ade Husini ataupun Bripda Burhanudin. Terlalu berbahaya. Mereka salah satu pelakunya,” jelas Dr. James.
“Bagaimana kamu bisa simpulkan itu?”
“Semuanya sudah jelas. Mereka berdua berada di tempat kejadian dan suamimu tewas di sana dengan peluru bersarang di punggung dan dada. Dan seperti yang aku ceritakan Mat Codet tak pernah membunuh dengan cara seperti itu. Menembak punggung dan dada? Yang benar saja. Dari penjelasan Lukman saja aku sudah mengetahui bahwa Mat Codet sama sekali tak membawa senjata. Kalau memang ia membawa senjata maka dia akan membalas tembakan Lukman. Dia tak takut hanya dikejar seorang Lukman. Itulah yang terjadi,” Dr. James memberikan hipotesnya.
“James, ajak aku keluar!” ujar Olivia.
“Kemana?” tanya Dr. James.
“Kemana saja,” jawab Olivia.
“Baiklah, ayo!” Dr. James berdiri dan mengulurkan tangannya. Olivia pun bangkit dengan berpegangan pada tangan Dr. James. Mereka berdua pun keluar dari acara makan malam itu.
Mobil melaju memecah jalan raya yang sekarang sedang diguyur hujan. Weaver sedang menari-nari membersihkan kaca mobil Dr. James dari guyuran air hujan. Hujan kian deras membuat mobil-mobil berjalan lambat, bahkan kekhawatiran akan datangnya banjir sudah menjadi biasa di ibu kota sekarang ini.
“Boleh aku tahu di mana engkau tinggal?” tanya Olivia.
“Tentu saja,” jawab Dr. James.
Mobil kemudian menuju ke sebuah perumahan. Perumahan ini dipenuhi dengan bangunan tipe 52. Ketika melewati pos penjagaan Dr. James memberi salam kepada satpamnya. Mobil melaju lagi hingga melewati beberapa blok. Setelah sampai di sebuah rumah dua lantai dengan berbagai tanaman hias yang mengelilinginya barulah mobilnya berhenti.
“Kita sampai,” kata Dr. James.
“Rumahmu?” tanya Olivia.
“Lebih tepatnya menyewa. Aku tak pernah kepikiran punya rumah sendiri, mungkin nanti kalau aku sudah berkeluarga,” jawab Dr. James sambil diselingi ketawa kecil. Pria ini segera keluar dari mobil untuk membuka pagar setelah itu ia masuk lagi untuk mengemudikan mobil masuk ke dalam halaman rumah. Olivia keluar dari mobil dan Dr. James menutup lagi pagarnya.
Dr. James masuk ke dalam rumahnya terlebih dulu. Olivia cukup takjub dengan ornamen-ornamen dan lukisan-lukisan yang ada di rumah pria bujangan ini. Beberapa topeng tampak tersusun rapi di rak buffet. Sebuah sofa besar melingkar mengepung sebuah meja kaca berbentuk elips dengan hiasan vas bunga di atasnya.
“Mau minum sesuatu? Aku bisa buatkan,” kata Dr. James.
“Tak perlu repot, aku hanya ingin menenangkan diri,” Olivia menolak secara halus.
“Aku tak akan meracunimu, cuma air jeruk hangat agar engkau lebih rileks,” kata Dr. James.
“Baiklah,” Oliva pun setuju.
Lelaki ini melepaskan jas birunya dan melepaskan dasinya. Setelah itu ia taruh di sebuah kursi yang ada di meja makan. Dia kemudian mengambil dua buah jeruk dari dalam kulkas, setelah itu dia memotongnya potong menjadi dua. Buah jeruk itu diperasnya di sebuah alat setelah itu airnya ditambahkan dengan air hangat yang ada di dispenser. Dr. James kemudian menyuguhkannya kepada Olivia.
“Terima kasih,” kata Olivia. Dia kemudian menerima gelas yang berisi perasan jeruk hangat itu.
“Mau aku pijat? Ini akan membantumu untuk rileks,” Dr. James menawarkan sambil berdiri di belakang Olivia. Dia kemudian memijat-mijat pundak Olivia dengan lembut.
“Ahhh... iya, aku emang lelah akhir-akhir ini. Suamiku meninggal, sahabatku tidak berkata jujur, dan ada pengkhianat di kesatuan. Semuanya bertumpuk-tumpuk di kepalaku,” ujarnya.
Dr. James memijat-mijat pundak Olivia. Bau parfum Olivia dihirupnya, memberikan sebuah suntikan halus yang langsung menusuk ke dalam otaknya. Beberapa syarafnya beraksi atas pengaruh aroma yang melekat di tubuh sang polwan ini. Dr. James memijat di sekitar area leher, Olivia merasa enak dan nyaman. Perlahan-lahan James memberikan sentuhan di pundaknya yang terekspos. Gaun yang dipakai oleh Olivia merupakan gaun yang mana ada tali di pundaknya tali itu pun turun begitu saja tanpa diperintah. Olivia membiarkannya. Dari pijatan menjadi belaian. Entah sejak kapan tapi Olivia ingin belaian itu tetap ada.
Sang dokter kini membelai leher Olivia dengan jari telunjuknya, menelusuri setiap kulit yang ada di leher, pundak dan bahunya. Tubuh lelaki ini merendah, sekali pun ia lebih tinggi tapi karena tubuh Olivia sekarang sedang duduk ia merendah untuk bisa mencium aroma parfum yang ada di leher Olivia. Janda beranak satu ini tak tahu kenapa tiba-tiba wajahnya menoleh ke belakang dengan mata terpejam. Dr. James menyambutnya dengan sebuah pagutan. Rasa hangat langsung hinggap di dada Olivia, membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Hanya saja ia merasa nyaman. Mungkin karena kenyamanan itulah kini James sudah ada di depannya dengan kedua bibir mereka masih melekat. James sekarang duduk di atas sofa sambil memegang wajah Olivia. Olivia mendorong James. Matanya menatap James dengan penuh tanda tanya. What's wrong with me? Itu batinnya.
“Maaf, aku... tidak melakukannya karena sengaja,” kata Dr. James.
“It's OK, teruskan!” ujar Olivia. Dia mengumpat kepada dirinya sendiri. Betapa bodohnya dia berkata seperti itu. Bukankah itu sama saja dengan ia memberikan kesempatan kepada James untuk menjamahnya lebih jauh. Seorang polwan yang kini dipagut lagi oleh seorang lelaki yang baru dikenalnya. Olivia tidak munafik, dia menyadar dirinya butuh sesuatu kehangatan. Hasratnya untuk bercinta masih ada, terlebih ia membutuhkannya. Dia sendiri yang membiarkan dirinya berada di dalam pelukan James. Dokter ini sekali pun usianya lebih tua tapi benar-benar bisa menguasainya.
Olivia melepaskan kancing baju sang dokter satu per satu, hingga tubuh bagian atas sang dokter terbuka. Sebuah badan yang tegap dan Olivia merindukan badan seperti ini. Badan atletis yang juga dimiliki oleh suaminya dulu. Dia mulai menciumi dada James. James hanya mengusap-usap kepala sang polwan memberikan kenyamanan sekali lagi, hingga kemudian Olivia membiarkan James melepaskan tali gaunnya, dan kini tubuh bagian atasnya terekspos. Gaun yang dipakainya ini merupakan model yang langsung ada bra, sehingga secara teknis ia tak memakai bra malam itu. Payudara Olivia masih terlihat kencang dengan putting berwarna merah kecoklatan. Matanya terpejam ketika James menghirup aroma payudaranya.
Sebagai seorang wanita apalagi seorang penegak hukum dia tentu saja tidak akan rela tubuhnya dijamah sedemikian rupa, tapi yang mendasari Olivia membiarkan James adalah ia sudah tak percaya kepada siapapun kecuali seseorang yang baru saja memberikan rasa nyaman kepadanya. Dia memang tak bisa melupakan suaminya, di sisi lain Dr. James merupakan orang yang sangat lihai memancing titik-titik sensitif dari libido seorang Olivia. Olivia menggigit bibir bawahnya pertanda ia mulai terbawa suasana. Dia tersentak ketika bibir James sudah mengenyot putting payudaranya yang seharusnya hanya untuk suaminya. Ah, lupakan suaminya. Suaminya tidak ada, sudah pergi. Dia toh sekarang sendiri lagipula ia juga butuh belaian, ia butuh kehangatan. Bukankah masuk akal kalau misalnya sekarang ia lebih mementingkan bagaimana nafsunya terbakar? Ya, itulah yang diinginkannya. Tubuh Olivia sedang terbakar, bahkan ia menurut ketika James menarik tubuhnya agar berdiri di hadapan lelaki itu. Gaunnya jatuh dan tubuh Olivia terekspos hanya memakai celana dalam berwarna putih dengan sebuah revolver bertengger di paha sebelah kirinya.
Olivia membantu James melepaskan belt pistol kaliber 36 itu sambil perlahan-lahan membiarkan James mengeksplor perutnya yang mulus. Gerakan berikutnya pistol berikut sarungnya itu dilemparkan ke atas sofa. Sedikit demi sedikit James menurunkan celana dalam berenda berwarna putih yang dipakai Olivia. Bulu-bulu halus di area kewanitaan yang selalu dirawatnya kini terekspos. Sebuah pemandangan yang memabukkan dilihat oleh James, laksana campuran anggur merah ataupun gin atau vodka. Tapi semuanya itu tak sebanding dengan pemandangan yang kini dilihatnya. Sebuah visual yang menggairahkan, erotis dan semua lelaki menyebutnya surga dunia.
Olivia tak tahu kenapa ia sangat ingin James menciumi area miliknya itu. Bukan berarti dia menjadi perempuan jalang sekarang. Tidak. Ia malah ingin James menjadi budak nafsunya untuk sesaat. Malam ini saja. Tidak lebih. James mengerti sinyal-sinyal yang disampaikan oleh Olivia, memberikan sebuah romansa klasik berbalut birahi yang sudah terbakar. Tubuh keduanya menghangat saat bibir James menciumi area privat yang seharusnya dijaga oleh Olivia. Olivia merawat area itu, bukan berarti ia ingin disentuh oleh lelaki lain, tapi sudah menjadi kebiasaannya ketika ia membersihkan area itu dengan sebuah sabun khusus. Semenjak di kepolisian tak pernah ada yang menyentuhnya seperti ini melainkan suaminya dan James. James dengan lembut mencium bibir kemaluannya yang merekah. Lidahnya menyapu, memberikan sebuah sapuan yang lembut tapi basah. Anehnya Olivia terangsang atas perlakuan James. Dan lebih aneh lagi dia membiarkan hal itu. Sangat tidak masuk akal.
James menyapu rambut hitam Olivia. Lidahnya seolah-olah merupakan sebuah alat yang mampu memberikan surga kenikmatan yang selama ini hilang. Olivia menginginkan lebih, ia memajukan pantatnya sehingga kepala James terbenam di dalam selakangannya. James pun merebahkan diri di sofa sementara Olivia naik ke sofa dan memberikan kemaluannya kepada James.
Tubuh Olivia berputar dan mereka dalam sekejap dalam posisi 69. Sebuah angka kode yang selalu diibaratkan dengan sebuah posisi dalam hubungan persenggamaan, posisi felatio yang bisa menambahkan keintiman dalam sebuah hubungan sex. Bukankah ini juga yang paling disukai oleh semua pasangan di dunia, yah tidak semuanya. Tapi ini lebih baik daripada sekedar hubungan seks konservatif. Olivia melepaskan celana yang dipakai James, kemudian menarik celana dalam yang dipakai oleh lelaki ini. Tampak sebuah benda, sebatang daging berwarna coklat dengan urat-uratnya yang menegang dimana aliran darah sekarang dipompa di area tersebut. Olivia kangen kepada benda ini. Ia langsung menjilatinya tanpa ada rasa jijik atau pun mual. Ia memasukkan kepalanya ke dalam mulutnya yang sekarang basah. Lidahnya menari-nari seperti ular yang kelaparan, menggelitik sisi kejantanan seorang James. James menikmatinya, sekaligus menikmati lendir yang keluar dari kemaluan seorang polwan yang kini pasrah tubuhnya dijamah. Olivia menikmati batang itu, berkali-kali ia melenguh saat titik-titik sensitifnya disentuh oleh lidah James. James juga mengerang saat telurnya dihisap, atau bahkan kedua telurnya sudah hilang dikulum oleh Olivia yang gemas dengan bentuk kejantanannya.
Suara ludah bercampur dengan batang kemaluan yang keluar masuk mulut Olivia makin menambah suasana menjadi erotis. Batang itu makin keras, demikian juga rasa menggelitik di kemaluan Olivia makin menjadi-jadi ketika lidah James makin masuk menggelitiki rongga kemaluannya. Pantat Olivia yang padat itu bergetar ketika syaraf-syaraf seksualitasnya sudah mulai tersentuh oleh batasan-batasan yang disebut dengan orgasme. Olivia menegang, bersamaan dengan itu semburan-semburan cairan kental dan bening membasahi wajah James. James menyudahi aksinya sementara Olivia terkulai di atas kedua pahanya sambil menghirup dalam-dalam aroma penis James yang sudah bercampur dengan ludahnya. Olivia merayap di atas tubuh James dan ia pun terlentang. Nafasnya terengah-engah dengan peluh membasahi dahinya. James kemudian bangkit, ia duduk memandangi tubuh Olivia.
Tubuh Olivia masih bagus, buah dadanya masih padat, kulitnya putih dengan putting merah kecoklatan. Buah dada itu sekarang naik turun bersamaan dengan nafasnya. Lengannya diletakkan di dahi sekarang membuat ketiaknya yang bersih tanpa bulu terekspos. Ketiak itu putih, halus, bahkan tak pernah ada tanda-tanda dicukur. Sementara itu perutnya tidak rata, sedikit buncit, tapi tidak gemuk, lebih cenderung semok, bukan montok. Pantatnya adalah sebagai pertanda. Wanita ini pasti sering melakukan senam. Bukan lebih tepatnya suka melakukan olahraga, tubuhnya benar-benar terawat dengan baik apalagi daerah kewanitaannya, sangat sempurna. Sekarang tempat itu sedang basah, becek dan lembab. Aromanya benar-benar menusuk hidung. James tersenyum sambil mendekati Olivia. Kini dia mendekatkan wajahnya ke wajah polwan ini. Sebuah ciuman yang dalam diberikan. Olivia memejamkan matanya, bukan berarti ia tak berani menatap wajah James, tapi ia malu karena orgasme bukan karena suaminya. James sangat gentleman. Dia hanya menindih Olivia dengan bertumpu pada lengannya. Dada mereka berhimpit dan keduanya sama-sama merasakan detak jantung masing-masing.
“Ohh... James, apa yang sudah aku lakukan?” bisik Olivia.
“Entahlah, engkau yang menginginkannya bukan?” kata Dr. James sambil membelai poni Olivia. “Kita sudahi? Aku tak apa-apa.”
“Sudah terlanjur, lakukanlah!” bisik Olivia.
“Kamu yakin?”
“Iya, aku yakin. Please be gentle!”
Perintah Olivia ini bagaikan titah seorang ratu bagi James. Dan titah itu harus dipatuhi. James tak ingin hubungan ini menjadi sebuah hubungan semalam saja. Itulah perasaannya sekarang. Terlebih James tahu seorang janda seperti Olivia pasti menginginkan hubungan yang tak hanya semalam saja. Lebih dari itu, hubungan ini adalah hubungan yang akan terjadi di mana dia dan Olivia saling membutuhkan. Batang kemaluan James sudah berada di lipatan garis kemaluan Olivia, kepalanya yang mengkilat dan keras sekarang berusaha untuk memasuki liang senggama yang tak pernah dimasuki selain oleh suami Olivia.
“Aaaaa....!” pekik Olivia saat batang itu mulai memasuki daerah pribadinya yang kini sudah becek dan licin. “James.... ohhh... kamu sudah masuk.”
“Iya, mau aku teruskan?” James sekali lagi meminta ijin padahal seharusnya tak perlu ditanya lagi pasti Olivia akan mengijinkannya.
“Kenapa kamu bertanya? Lakukanlah!”
“Aku takut kalau-kalau kamu akan menembakku dengan revolvermu,” goda James.
“Kalau kamu tidak bergerak aku akan menembakmu,” jawab Olivia dengan godaannya pula. Keduanya tertawa.
Setelah itu dimulailah fase persetubuhan panas. Batang James yang keras keluar masuk dengan lendir Olivia yang membasahinya. Liang senggama Olivia serasa penuh, mungkin karena lama tidak dimasuki, mungkin juga karena ia merasa batang James ini lebih besar dan keras. Kerasnya sempurna. James menghimpit tubuh sang polwan sambil menciumnya. Olivia seperti mabuk kepayang dengan perilaku james seperti itu. Terlebih James sangat lembut memperlakukannya, ketika akan menyentuh G-Spot miliknya James menekannya dan ketika meninggalkan area itu James sangat pelan. Hal itu memberikan efek kenikmatan yang luar biasa, vaginanya serasa digaruk-garuk, geli dan gatal. Sofa berderit, menandakan hentakan beban tubuh mereka ternyata tak mampu ditampung oleh benda yang ditutupi oleh bahan kulit itu. Sofa mahal itu menjadi saksi bagaimana persenggamaan itu terjadi.
James rupanya tak puas setelah beberapa menit ia menggenjot Olivia, ia ingin Olivia menungging. Olivia memutar tubuhnya. Baru saja ia menungging tiba-tiba James sudah masuk lagi kini dengan hentakan-hentakan yang lebih keras sambil tangan James meremas pantatnya yang padat.
“Aahhh.... James, terusss....ohhkkk.... sodok terus yang kencang. Ohh... kontolmu luar biasa,” kata Olivia. Tak biasa bagi seorang polwan seperti Olivia mengatakan perkataan seperti ini, tapi ini luar biasa. Di luar pikiran James.
“Apa kamu tadi bilang sayangku?” tanya James.
“Kontol James, kontolmu... Ahhh... menusuk rahimku...eehhhmmm!” lenguh Olivia.
“Memekmu juga sempit sayang, ahh... pantatmu benar-benar memabukkanku,” ujar James.
Keduanya bergoyang terus memacu birahi mereka. Mereka menikmati setiap erangan dan desahan. Bahkan ketika mereka berganti posisi lagi dengan Olivia duduk membelakangi James sambil kedua tangan dokter ini meremas buah dada Olivia. Ibu satu anak ini sudah kesetanan dengan penis James. Ia bergerak liar, memutar-mutar pantatnya membuat batang James keenakan.
“Ohh.. James, posisi ini bikin aku cepat keluar.... aaahhhhh!” Olivia memekik keras ketika ia akan menuju puncak lagi. Gerakan pantatnya meliuk-liuk bagaikan gada-gada yang tertiup angin. Batang James serasa dijepit dengan erat, sensasinya tentu saja ngilu-ngilu nikmat terlebih Olivia langsung ambruk di atas sofa karena orgasme panjangnya.
James seakan-akan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, ia posisikan tubuh Olivia terlentang. Kini dengan sisa-sisa tenaganya Olivia membiarkan James membuka lebar kedua pahanya dan James memasukinya lagi. Posisi misionari ini kini menjadi posisi terakhir yang diinginkan oleh James, ia ingin mengaduk vagina Olivia sambil melihat bagaimana reaksi wajah cantik sang polwan. Batang James menusuk lagi dan kini lebih dalam membuat semua batangnya hilang ditelan oleh liang senggama Olivia.
“Aaaahhhh!” jerit Oliva berkali-kali ketika James terus menghujamkan sedalam-dalamnya batang kemaluannya ke dalam liang senggamanya.
James makin cepat bergoyang. Olivia tahu bahwa lelaki ini sudah akan mencapai puncaknya. Ia membiarkan apa yang dilakukan oleh James. Dibiarkannya lelaki itu meremas-remas payudaranya yang sekal. Memilin putingnya hingga ia menjerit keenakan. Dan ketika James akan sampai kepada puncaknya Olivia seakan-akan merasa batang itu makin keras dan berkedut-kedut. Vaginanya mencengkram kuat membuat batang James seperti di remas kuat. Ia bergoyang makin keras, makin cepat hingga kemudian dihujamkan sedalam-dalamnya saat semburan kuat berkali-kali memancar dari batang penis besar miliknya yang kini tertanam sempurna membanjiri rahim Olivia.
“JAAAAAAMMMMMMEESSS AAAAAHHHKKK! Fuuuccckkk! Aaaahhhh....!” Olivia menjerit keras ia tak peduli kalau pun suaranya didengar oleh para tetangga.
James menindih Olivia dan memberikannya kecupan-kecupan lembut sebagai pertanda pertempuran telah berakhir. Sementara itu ia tak ingin melepaskan batang pusakanya dari dalam liang senggama yang becek bercampur sperma dan lendir kewanitaan. Keduanya kemudian tertidur sambil berpelukan di sofa. Olivia tampak merasa nyaman dan tersungging senyum di bibirnya.
* * *
Jam menunjukkan pukul tiga pagi ketika Olivia menggeliat terbangun dari mimpi. Dia melihat James juga terbangun di sebelahnya sambil memeluk erat dirinya. Kepalanya diciumi bertubi-tubi. Wanita memang akan merasa nyaman kalau dicium seperti itu.
“James,..,” suara Olivia lirih.
“Tak usah bicara, kita sama-sama menikmatinya bukan?” tanya James.
Olivia mengangguk.
“Maka dari itu biarlah ini semua mengalir,” lanjut James. “Kamu tak perlu bertanya bagaimana ini semua terjadi, terkadang segala sesuatu terjadi begitu saja.”
“Aku harus pulang,” bisik Olivia.
“Kenapa?”
“Anakku nanti mencariku, James. Aku harus pulang,” kata Olivia manja.
“Aku takut besok tidak bisa melihatmu lagi,” kata James.
“Oh tidak, jangan bilang kamu jatuh cinta.”
“Maybe.”
“James... kamu baik tapi...”
“Aku tahu, kamu masih teringat suamimu. Aku bisa mengerti. Setidaknya aku sudah mengetahui bahwa aku mulai jatuh cinta kepadamu.”
“Oh... James.” Keduanya berciuman lagi. Olivia kemudian bangkit dari sofa. “Boleh aku pinjam kamar mandinya. Aku tak mau pulang dengan bau seperti ini.”
“Ayo, aku tunjukkan,” kata James mengajak Olivia menuju ke kamarnya. Di sana ada sebuah kamar mandi.
James dan Olivia masuk ke dalam.
“Kamu tak perlu ikut James. Aku bisa mandi sendiri,” kata Olivia.
Tapi James merespon lain. Dia memeluk Olivia, lalu memagutnya lagi. Sepertinya baru saja menemukan mainan baru, James kembali lagi menjelajahi tubuh Olivia. Olivia tahu apa yang terjadi dia pun pasrah ketika James memeluk, menciumnya dan batang kemaluan James menempel dengan keras di perutnya. James kemudian duduk di pinggir bathup. Olivia pun duduk di atas pangkuan James. Perlahan-lahan Olivia menempatkan batang kemaluan James memasuki liang senggamanya.
Dengan sedikit hentakan ke bawah penis James melesak masuk. Seakan tak percaya Olivia merasakan lagi rongga kemaluannya sudah penuh oleh batang James yang sudah keras. James menggerak-gerakkan pantatnya membuat Olivia kembali terbakar birahi.
“Ohhh... James, kamu membuatku terbakar,” bisik Olivia dengan mendesah.
Bukan Olivia saja yang terbakar, tapi James juga demikian. Dia mengulangi lagi pergumulan yang panas di kamar mandi. Olivia terus menggerak-gerakkan pantatnya. Batang James dilahap dengan sempurna di dalam liang senggamanya sambil digerakkan berputar. Keduanya terus berusaha menuju puncak sekali lagi. Tapi sepertinya Olivia akan sampai lebih dulu, dia makin tak terkendali. Gerakannya liar.
“Jamessss....ssshhhh aaahhhh,” suara Olivia membuat kamar mandi makin berisik oleh desahan-desahan nafsu.
Sekarang Olivia menjadi sang nahkoda yang mengendalikan keadaan. James memang membiarkan hal itu. Ia tahu makhluk satu ini sedang dalam masa-masa di mana dirinya tak bisa dikendalikan. Olivia sepertinya ingin mencurahkan rasa kerinduan kepada suami yang dicintainya. James menerka bahwa Olivia sekarang sedang membayangkan dia bercinta dengan suaminya. Tebakannya bisa jadi benar. Olivia lebih banyak memejamkan mata selama bercinta, ia bahkan sesekali saja menatap James, selebihnya menghindari kontak mata secara langsung. James merasakan vagina Olivia berkedut-kedut, sebentar lagi janda beranak satu ini akan mendapatkan orgasmenya. Dan benar saja. Tubuh Olivia melengkung dengan kepalanya mendongak sambil mulutnya menganga. Lendirnya keluar dan menyemprot berkali-kali membasahi batang kemaluan James. Olivia mengejang sambil mencakar punggung James sedangkan pantatnya menekan kuat.
“Kamu belum keluar James?” tanya Olivia.
“Belum sayang,” jawab James.
Olivia kemudian beranjak dari pangkuan James. Dia lalu menghidupkan shower. Pancuran air pun membasahi rambut polwan cantik ini. James mendekat dengan batang penisnya yang masih mengacung. Olivia menungging memberikan liang surgawinya kepada James. Lelaki ini tak perlu menunggu, dia langsung memasukkannya.
“Ohhh.... luar biasa, batangmu keras sekali,” ujar Olivia.
Setelah itu kembali hentakan-hentakan bertenaga dari James menyerang Olivia. Kedua tangan Olivia bersandar ke tembok, sementara James menggapai payudaranya dan meremas-remasnya dengan gemas. Selakangan mereka beradu, berhimpit seperti tak ingin lepas begitu saja. Olivia mengimbangi hentakan-hentakan James dengan memutar-mutar pantatnya. Dia begitu kesetanan dengan batang penis James. Ia sudah tak bisa lagi berfikir apakah perbuatannya salah atau benar. James mengalihkan tangannya membelai punggung Olivia yang mengkilat terkena cahaya lampu kamar mandi, kemudian dia memegang pinggang Olivia dan berusaha melesakkan penisnya sedalam-dalamnya ke dalam liang surgawi Olivia. Sekalipun sebenarnya itu sudah benar-benar mentok bahkan menyentuh mulut rahim Olivia. Gerakan-gerakan James makin cepat membuat Olivia tahu kalau pasangan senggamanya ini juga akan sampai.
“Sayang, boleh aku keluarkan di mulutmu?” tanya James.
“Iyaahh... ayo yang cepat! Aku juga ingin sampai,” jawab Olivia.
Segera James mempercepat gerakannya lagi dan benar saja Olivia menegang dan mencengkram dengan kuat batang penis James dengan otot-otot vaginanya. James juga akan orgasme. Dia mendorong Olivia, segera saja Olivia berbalik lalu berlutut di depannya membuka mulutnya. James memasukkan kepala penisnya ke dalam mulut Olivia sambil mengocok dengan kuat batang penisnya. Semburan-semburan sperma kental masuk ke dalam mulut Olivia. Mulut polwan cantik ini sekarang telah dilecehkan oleh seorang lelaki yang bukan suaminya. Tapi Olivia tak marah atau pun melawan. Ia melakukannya dengan sadar dan atas kemauan dia. James berkejat-kejat, sampai spermanya benar-benar habis dan dihisap semuanya oleh Olivia. Beberapa tetes meleleh di mulut Olivia. James lemas dan duduk di tepi bathup. Olivia tersenyum kepada James. Ia membuka sedikit mulutnya sehingga sperma yang ditampung di mulutnya tadi meleleh lalu tumpah di atas payudaranya yang sekal. Olivia meratakan sperma itu di sana. Ah, pemandangan yang sangat bitchy bagi James. Mereka pun mengakhiri persenggamaan malam itu.
* * *
Setelah Dr. James mengantarkan Olivia pulang ke rumahnya pagi itu, dia dan sang polwan jadi makin dekat. Dan bisa ditebak setelahnya, keduanya hanya berjumpa untuk bercinta. Mereka janjian ketemu lalu bercinta, hampir setiap ketemu seperti itu. Untuk sesaat Olivia melupakan apa yang dicarinya di divisi Omega. Namun James sepertinya menyembunyikan sesuatu dari Olivia. Beberapa kali mereka berjumpa lagi tapi James bersikap aneh, ia lebih banyak diam. Hingga suatu hari mereka bertemu di rumah sakit lagi.
“Apa yang terjadi?” tanya Olivia.
“Tidak ada,” jawab James.
“Ayolah James, kamu tak bisa membohongiku. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari raut wajahmu itu,” ujar Olivia.
“Aku mencintaimu, Olivia,” kata James.
“Aku tahu itu, tak perlu engkau sembunyikan. Aku juga,” katanya. “Kamu sudah makan? Bagaimana kalau kita makan siang?”
“Olivia, aku ingin bicara serius denganmu. Please?!”
“Baiklah, silakan,” kata Olivia sambil menampakkan senyumannya yang khas.
James menghela nafas. Dia sedikit menjauh dari Olivia. Ruang kerjanya sepi. Biasanya mereka bercinta juga di ruang kerja ini kalau ada kesempatan. James masih teringat ketika ia mengarap polwan ini di atas mejanya. Tapi ini bukan saatnya mengingat saat-saat itu. Sudah hampir sebulan hubungan mereka dan James sangat mencintai Olivia.
“Aku tidak pernah jatuh cinta seperti ini Olivia, tidak pernah. Aku pernah jatuh cinta, tapi aku menganggap mereka yang pernah singgah adalah sebuah objek dari sebuah eksperimen. Tapi engkau beda. Ada sesuatu yang tidak dimiliki oleh mereka ada padamu,” kata James.
Olivia penasaran.
“Aku tahu kamu selalu menempuh bahaya Olivia, tapi kali ini aku tak ingin kamu terluka atau kenapa-napa,” kata James.
“Hahahaha. Apaan sih? Bercandamu tidak lucu James. Sudahlah, aku tak akan percaya dengan cara bercandamu seperti itu,” kata Olivia.
“Aku ingin membantumu selama ini. Aku telah mengumpulkan beberapa catatan mengenai Ade Husini dan Burhanudin. Mereka berdua ada persoalan dengan suamimu,” jelas James. Dia kemudian pergi ke mejanya. Dia lalu mengambil sebuah berkas di dalam lacinya lalu meletakkannya di atas meja. “Bacalah berkas ini! Setelah ini terserah apa yang ingin engkau lakukan, tapi aku menyarankan engkau jangan bertindak bodoh.”
Dengan terisak, Olivia membuka berkas itu. Di sana ada data-data yang membeberkan apa yang telah dilakukan oleh Briptu Ade Husini. Dia pernah terlibat penggelapan barang bukti narkoba yang kemudian diketahui oleh Kompol Ikram ArRasyid suaminya. Kemudian Bripda Burhanudin juga melakukan tindakan yang tak kalah heboh, dia memalsukan data barang bukti narkoba. Hal itu juga diketahui oleh Ikram ArRasyid. Kedua polisi itu pernah diskors atas perilaku itu, namun atas kelakuan baik mereka hukuman itu sangat ringan.
“Kedua orang itu punya motif kuat untuk membunuh suamimu, aku sarankan engkau tidak berbuat hal yang bodoh. Berikan itu kepada Komisaris Lukman. Biar dia yang melakukan hal yang selanjutnya,” kata James.
Olivia menghapus air matanya. Dia menyarungkan lagi revolvernya lalu mengambil berkas itu. James berusaha menyusulnya.
“Olivia tunggu! Dengar jangan bertindak gegabah!” kata James.
Olivia tidak mengindahkan panggilan James. Hari itu Olivia segera pergi menuju ke markas. Ia ingin menemui kedua orang yang ada di berkas yang dia bawa. Dia segera menelpon Lukman.
“Lukman?!” sapanya.
“Olivia? Kamu kemana saja?” tanyanya.
“Di mana Ade Husini dan Burhanudin?” tanya Olivia.
“Dia ada di markas, kenapa?”
Olivia menutup teleponnya dan segera menuju ke markas Polda Metro Jaya. Segera ia memarkir mobil dan langsung naik ke tempat meja kerja kedua orang itu. Kebetulan mereka berdua berada di satuan reserse. Olivia bertanya-tanya di mana dua orang itu berada, ternyata mereka berdua sedang berada di ruang barang bukti.
Olivia langsung masuk ke sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat banyak rak-rak barang bukti. Tak ada siapapun kecuali seseorang yang sedang mencatat sesuatu. Dia adalah Briptu Ade Husini. Ketika Olivia masuk dia sangat terkejut.
“A-ada apa?” tanya Ade gugup.
“Aku tahu semuanya, engkau yang telah membunuh suamiku bukan?” tanya Olivia.
“Tunggu dulu, kenapa kamu bisa punya prasangka seperti itu?”
“Aku tahu, engkau pasti mengambil pistol Mat Codet kemudian menembakkannya ke suamiku. Itu semua engkau lakukan karena dendam dengan suamiku yang memergoki kamu mengambil barang bukti narkoba. Tak kusangka kamu benar-benar seorang yang biadab,” Bripka Olivia mengeluarkan revolvernya.
“M-mau apa kau?” tanya Ade.
“Aku ingin menembakmu. Aku akan mengirimmu ke neraka. Manusia seperti kamu tak pantas untuk hidup,” jawab Olivia.
“Oke, oke, aku minta maaf. Sorry, tapi ini bukan ideku. Ini ide Burhanudin. Dia yang menarikku untuk melakukan ini semua,” kata Ade sambil mengangkat tangannya. “Turunkan pistolmu, kita sedang ada di markas.”
“Aku tak peduli....,” kata Olivia. Tentu saja perasaannya sekarang sedang berkecamuk. Dia teringat dengan semua perlakuan suaminya yang lembut, namun dengan teganya orang yang ada di hadapannya ini menghabisi nyawa suaminya begitu saja. Ini tentu saja tak bisa dibiarkan. Dendam yang ada di dalam dadanya tak bisa lagi dibendung. Hammer di pelatuknya ditarik. Ia sudah bersiap untuk menarik pelatuknya.
“Bripka Avvy Olivia, tolong jangan lakukan ini! Kita semua punya keluarga bukan? Ingat anakmu, ingat keluargamu!” kata Ade memohon.
“Apakah kamu juga pernah berpikir begitu ketika menembak suamiku?” tanya Olivia.
“Bukan aku yang menembak tapi Burhanudin!” kata Ade.
“Aku tak peduli, kalian akan aku habisi semua!” mata Olivia berkaca-kaca. Ia benar-benar sudah gelap mata. Ia lupa bahwa dirinya adalah aparat penegak hukum.
DOR! BRUK!
Tubuh Olivia ambruk dengan kepala berlubang. Darah mengalir di kepalanya. Di belakangnya ternyata ada seorang polisi yang menembaknya. Dia adalah Burhanudin.
“Kenapa kamu tembak dia?” tanya Ade.
“Kamu ingin aku bagaimana, membiarkan dia menembakmu? Lagipula dia sudah tahu semuanya. Aku tak mau mengambil resiko!” jawab Burhanudin.
Hari itu Polda Metro Jaya dihebohkan dengan kematian Bripka Olivia yang tragis. Tentu saja Ade Husini dan Burhanudin memalsukan laporan bahwa Bripka Olivia ingin menembak Ade dan terpaksa Burhanudin menembaknya. Satu orang yang tidak percaya akan hal itu adalah Lukman. Sebagai sahabatnya ia tahu apa yang dilakukan oleh Olivia yang sembarangan menembak itu tidak wajar sama sekali. Sayangnya kasus itu tak berlangsung lama.
TAP! TAP! TAP! DOK! DOK! DOK!
Bripda Burhanudin terbangun. Dia seperti mengalami mimpi buruk. Ia mengejap-ejapkan mata, kemudian ia terkejut karena mendapati tubuhnya terikat. Tangan dan kakinya diikat dengan sangat kuat. Tak hanya itu di depannya ada Ade Husini yang mana posisinya sama seperti dirinya terikat. Mereka berdua masih berseragam lengkap.
Burhanudin bingung, ia sama sekali tak ingat bagaimana ia bisa berada di tempat ia sekarang dengan tangan dan kaki terikat. Ia mencoba mengingatnya dengan kepala pusing. Terakhir kali dia baru saja melakukan apel pagi rutin seperti biasa, setelah itu ia harus pergi bersama Ade Husini untuk wajib lapor ke markas Polisi Militer sebagaimana hukuman mereka dulu yang telah mencuri barang bukti. Lalu tiba-tiba dia tidak sadar.
“Sudah bangun?” tanya seseorang.
Burhanudin menoleh ke arah sumber suara. Dia mendapati seseorang dengan baju yang sangat rapi. Memakai jas biru dan dasi. Berpakaian rapi tapi semuanya ditutup oleh sebuah mantel hujan plastik tembus pandang, lengkap dengan penutup kepalanya. Usianya sekitar empat puluhan taksirnya. Wajahnya sebenarnya bersahabat tetapi ada nuansa aroma psikopat kental yang keluar dari sudut matanya. Mata itu bukan mata yang bersahabat, menatap tajam hingga menusuk jantung kepada siapa saja yang berhadapan langsung.
“Siapa kamu?” tanya Burhanudin.
Lelaki itu membawa sebilah kapak besar di tangan kanannya. Suara ketukan tadi ternyata dari kapak itu. Kemudian dia mengangkat kapak tersebut dengan kedua tangannya, setelah itu mengayunkannya ke kepala Ade Husini.
CROOSSSSTTTTTT!
Langsung saja dari tebasan kapak besar itu membuat kepala Ade Husini terbelah menjadi dua secara melintang, namun tidak terlepas begitu saja. Kepalanya teriris separuh dengan belahannya masih menempel. Bentuknya benar-benar persis seperti kulit kacang yang baru saja dikupas. Otaknya terlihat dengan darah mengucur seperti air mancur. Darah Ade Husini muncrat mengenai mantel hujan yang dipakainya. Burhanudin menjerit.
“Aaarrgghh! Apa yang kamu lakukan? Siapa kamu? Siapa?” tanyanya. “Kenapa kamu melakukannya?” Burhanudin gemetar, ia tak menyangka rekannya sudah tewas dihadapannya. Dia menganggap ini cuma mimpi tapi ia bisa merasakan semuanya. Ini berarti bukan mimpi.
Lelaki ini tidak diam begitu saja. Ia tersenyum di sebelah kepala Husini yang sudah terbagi menjadi dua melintang tepat di hidungnya. Burhanudin terbelalak ngeri.
“Kenapa kamu ketakutan melihat kematian? Bukankah kamu telah membunuh Ikram ArRasyid? Bahkan istrinya juga kamu bunuh, bukan?” tanya lelaki itu.
“Hii...i-iya, aku minta maaf. Aku minta maaf, i-itu... itu... aku terpaksa melakukannya. Maafkan aku, lepaskan aku!” Burhanudin memohon sambil menangis. Dia sekarang benar-benar ketakutan bahkan sampai terkencing-kencing. Merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk.
“Kamu tak perlu khawatir, aku tidak akan membunuhmu sekarang. Aku akan memakan tubuhmu setiap bagian satu per satu hingga akhirnya aku akan memakan otakmu, kamu tahu save the best for the last? Itulah motoku,” kata sang lelaki ini. Dia mendekat ke Burhanudin. Polisi ini gemetar ngeri, terlebih wajahnya sekarang dijilat oleh lelaki ini. “Hmm... lezat sekali, seperti yang kubilang, save the best for the last”
Burhanudin menjerit, ia berteriak-teriak tapi tak ada yang bisa mendengarnya. Dia sekarang tenggelam dalam kegelapan. Dia hanya bisa menunggu detik-detik kematiannya setelah satu per satu organ tubuhnya hilang dan dimakan oleh lelaki ini. Ia bahkan menikmati live show bagaimana tubuhnya dimasak dan dimakan oleh sang kanibal.
* * *
TOK TOK TOK!
Pintu terbuka. James melihat Lukman berada di depan pintu. “Pak Lukman?”
“Dokter, boleh saya masuk?” tanyanya.
“Silakan!” jawab Dr. James.
Lukman kemudian masuk ke dalam rumah sang dokter. Lukman cukup takjub melihat berbagai benda seni yang ada di dalam ruang tamu. Ia agaknya sedikit terlupa kenapa ia datang ke tempat dokter forensik ini karena terkesima dengan berbagai benda-benda seninya.
“Maaf mengejutkan Anda,” kata Lukman.
“Tak apa-apa, ada apa gerangan?” tanya Dr. James.
“Aku mohon maaf. Aku tahu kamu akhir-akhir ini dekat dengan Olivia, aku juga sangat bersedih kehilangan sahabatku. Aku hanya ingin memberitahukan bahwa aku sudah tahu siapa pembunuh Olivia. Mat Codet sudah berhasil ditangkap dan dia memberi kesaksian bukan dia yang membunuh Kompol Ikram. Dari sini saya mengetahui kalau pembunuhnya adalah Ade Husini dan Burhanudin, mereka berdua berkelompot. Sementara ini kami tak tahu mereka berdua berada di mana karena menghilang begitu saja. Mungkin mereka mengetahui bahwa kejahatan mereka sudah terendus oleh Olivia makanya mereka melarikan diri setelah membunuh Olivia. Aku ke sini hanya ingin memberitahukan itu,” terang Lukman.
Raut wajah Dr. James tampak sedikit bersedih mengingat Olivia. Ia tak bisa bicara apa-apa.
“Maafkan saya Dok, sebaiknya saya pergi. Mungkin itu bisa membuat hatimu sedikit lega, tapi kami akan tetap mengejar kedua oknum polisi ini. Anda bisa percayakan kepadaku. Olivia dan suaminya juga adalah sahabatku. Kalau Anda butuh apa-apa bisa menghubungi The Omega. Divisi ini sekarang yang menangani kasus Olivia,” kata Lukman sambil memberikan sebuah kartu nama. James menerimanya. “Permisi,” Dia kemudian pergi meningalkan James.
James kemudian terisak dan menangis. Ia duduk di sofanya dan menutupi wajahnya. Tangisan yang memilukan, tangisan seseorang yang kehilangan kekasihnya. James tak akan bertemu dengan Olivia lagi, tetapi dia akan tetap menyimpan memori indah dengan polwan cantik ini, polwan cantik yang telah mengubah hatinya.
Setidaknya setelah pemakaman Olivia, semua aparat berkabung sekaligus semua pejabat yang menenal baik Olivia juga berkabung. Dr. James ada di pemakaman itu, saat itulah Lukman mengetahui sedekat apa hubungan James dan Olivia. Tapi sekalipun sekarang James bersedih karena Olivia tetap pergi, namun ia tetap bisa memeluk tubuh Olivia, tetap bisa bermesraan dengan Olivia karena tubuh Olivia sudah diawetkan olehnya dan sekarang berada di kamarnya.
The End
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam pembuatan cerita ini.
Di antaranya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar