Selasa, 01 Desember 2015

Cerita Dewasa Artis paula Varhoeven

~Mimpi di atas Langit Natsepa~




###





###


Sudah sejak tadi pagi sinar mentari begitu cerah. Namun hembusan angin dingin berbalut embun pagi masih terasa membelai mesra tubuhku laksana sentuhan lembut kekasih pada belahan jiwanya.


“Brrr.. Indahnya dunia.“ bisik ku lirih.


”Setuju ! Apalagi ditemenin jus durian & cewek secantik kamu ” tiba-tiba Alan menimpali ucapanku. Mengambil tempat disampingku. Segera tangan kanannya merengkuh pinggangku yang ramping. Telapak tangannya langsung mengusap lembut kulit lingkar pinggangku yang mengintip dari balik kemben yang aku pakai.



“Gomball..” senyumku mengembang mendengarkan ucapannya menutupi rasa tersipu malu atau rasa apalah aku tak tahu pasti. Ada perasaan hangat mengalir menjalar di relung tubuhku.

Saat ini aku sedang menikmati segarnya juice durian bersama Alan, teman kuliah ku di jakarta. Terdampar di heningnya kepulauan yang terletak di timur negeri ini & menikmati udara pantai sepanjang hari.


Disini memang ada kerabat jauhku dari bokap. Orangnya enak dan juga asyik. Atau bisa disebut cenderung cuek bebek alias tidak mau mencampuri urusan orang lain. Istilahnya Elu-elu, gue-gue. Begitulah dia, sepanjang kita juga asyik tentunya. Dan memang tujuan ku mengunjungi nya selain silaturahmi juga aku manfaatkan untuk menyepi, menggali jiwa seni & mencari inspirasi untuk berkarya dalam bidang designer.

Alan? Yahh.. Alan. Bukan Alan Budikusuma sang legendaris bulu tangkis tentunya. Atlanta Rendra Hadiningrat tepatnya, dan dipanggil singkat sebagai Alan. Dia adalah teman kuliah ku. Ayahnya konon adalah keturunan ningrat Surakarta yang kemudian menikah dengan seorang wanita dari Maluku dan kemudian menetap di Jakarta karena urusan domisili pekerjaan.


Meski satu kampus dan bahkan satu fakultas serta satu jurusan hanya saja kelas berbeda, namun kami belum saling mengenal (saking pendiamnya aku kali ya...) hingga kami di pertemukan saat ada event kecil Model on Catwalk beberapa waktu yang lalu.

Tinggi besar dengan jambang tipis menghiasi wajahnya yang ganteng berkulit coklat terang. Tipe cowok metrosexual. Dia begitu klik dengan jalan pikiranku sehingga dengan cepat kami jadi pasangan yang akrab.


Aku sendiri bernama Paula. Paula Verhoeven lengkapnya. Tak jarang ada pula yang memanggilku menggunakan nama tengahku Veve. Mereka yang memanggilku dengan panggilan Veve rata-rata adalah yang memang menganggapku sahabat dekat.

Memang sih jujur bisa dibilang cantik (gak narsis lho ya, apalagi kepedean ), bahkan bisa disebut cantik bin seksi nan aduhai. Itupun bukan murni pendapatku pribadi. Aku mengetahuinya dari penilaian teman-temanku.


Memang umurku masih bisa disebut sedang mekar-mekarnya kembang. Seorang gadis dengan umur 20 tahun yang masih bisa tumbuh kembang lagi. Dari segi postur dan perawakan, lagi-lagi aku adalah insan yang cukup beruntung.

Pertumbuhan badanku lebih maksimal dibanding gadis seusiaku. Tinggi badan yang mencapai 183cm memang benar-banar menjulang diantara mahasiswi teman kampus ku. Pertumbuhan bentuk tubuh yang begitu sempurna berikut lekuk serta busungan yang aduhai di angka 34b, dan dibalut kulit putih licin tanpa noda sedikit pun.


Tak jarang sewaktu di kampus, di mall, di tempat dugem, atau di mana pun berada tatap nanar cowok selalu saja terpikat dengan tongkrongan tubuh dan cara berjalanku. Hahahaa.. hmm, mungkin karena aku terlahir dari orangtua yang berpostur di atas rata-rata pada umumnya.

Jujur aku terpesona dengan sikap dan perhatian Alan yang wah kepadaku saat bersamaku. Sepertinya dia menebar benih cinta kepadaku dan aku pun bisa merasakannya secara nyata.


Begitu gentle semua tindakan Alan kepadaku. Aku yang semakin kesengsem pun memberikan sinyal yang terang bahwa aku juga jatuh hati padanya. Alan tetap cool menanggapi sinyal dariku membuat aku geregetan sendiri.

Desir sepoi sang bayu memang benar-benar telah membuatku merasa begitu nyaman dan santai untuk tetap duduk bersama Alan. Harap-harap cemas seolah kuingin lebih dari sekedar ngobrol biasa layaknya teman. Kuingin lebih dari itu. Kuingin gelombang badai asmara menghantam kami hingga membuat kami terlempar, terpental, dan tersungkur di hadapan keagungan cinta.


Mimpiku pun bercabang dua, menjadi designer dan menggapai cintanya Alan. Aku bahkan berjanji pada diriku sendiri, berjanji pada langit Natsepa bahwa kelak akan aku ungkapkan rasa yang ku punya padanya di saat yang tepat.



###






Pantai Natsepa. Letaknya tak terlalu jauh dari pusat kota Maluku. Pantai Natsepa memiliki pasir putih dan lautan yang biru jernih yang terlihat cantik dari atas tebing. Pemandangan inilah yang digandrungi banyak traveler.

Setelah puas bermain air, traveler bisa menyicip sajian khas Pantai Natsepa, yaitu rujak. Rujak di Pantai Natsepa punya rasa yang unik. Pada sambalnya, si pedagang biasanya memberikan tomi-tomi atau anggur Ambon.


“Ve, kamu itu beneran cantik lho. Dan seksi banget.” ucap Alan sembari berbisik tipis di telingaku. Kembali aku hanya mampu membalas dengan senyum simpul meski sebenarnya ada rasa geli juga yang menjalar dan kemudian menegakkan bulu remang ku tatkala hembusan nafas hangatnya menyeruk lorong telingaku.

“Ihh.. suka deh ya ngegombal muluu..” jawabku sekian detik kemudian setalah tersadar dari lamunan geli ku barusan. Namun kali ini ku ucapkan sembari secara reflek jemariku mencubit pelan pipi Alan.


“Mau dong say dicubit lagiii..!” sambut Alan, namun malah ku balas dengan mengacak-acak rambut di kepalanya. Tak ayal membuat Alan sedikit menahan gerakan tanganku di kepalanya.

Aku baru sadar bahwa ternyata cowok metrosexual seperti Alan selalu ingin menjaga penampilannya meski hanya rambut sekalipun. Tak ingin terlihat sediiiit saja tidak rapi.


“Kamu itu cantik, smart, seksi, aduhai... eh neng, udah punya cowok belum sih?” Imbuh Alan yang awalnya terkesan serius namun diakhir lagi-lagi membuatku tersipu dan mati kutu. Wah salah jawab bisa melayang nih harapan indahku untuk merangkai bunga kasih bersama dia.

“Ehmm.. menurut kamu?”, jawabku balik bertanya demi menyembunyikan rasa gugupku.


“Yeee.. gimana sih, ditanya malah tanya balik hehee...”, cerocos Alan dengan dibarengi senyum renyahnya yang khas dan memabukkan. Setidaknya memabukkan ku karena sebenarnya berawal dari senyum nya itulah dulu di Jakarta aku mulai tergerak meliriknya.

Tak langsung kujawab pertanyaan Alan tadi. Sebaliknya aku malah berusaha menyibukkan diri dengan mencomot beberapa tomi-tomi rujak yang sebelumnya sudah kami pesan.


“Paula yang cantikk, kok malah diem??. Kalo lihat kamu salting gitu jadi gemes deh. Makin cantik hehehe”, Alan kembali bertanya diiringi senyuman renyah yang kusukai itu.

[I]Ufhhh...senyum inihh nih.. selalu bikin aku gimanaa gitu! bisikku dalam hati.[I]

"Ehhm.. a..ada sih cowok yang lagi deket sama aku" tandasku terbata. Semoga dia bisa membaca sinyal positif yang kukirim ini.


"Halahh.. Mbelgedes!" Sambut Alan tiba-tiba dan terkesan bernada sangkalan.

Owh.. dia kok sewot?, jangan-jangan.... senyum simpulku kembali terkembang meresapi prasangka hati yang seakan terasa berhembus membawa angin sejuk dan memenuhi seluruh rongga jiwaku dengan nuansa keriangan ditumbuhi rumpun bunga-bunga dipelatarannya.


Alan sedikit mengernyitkan dahinya sebelum kemudian tangannya semakin erat merengkuh pinggang rampingku untuk semakin menempel erat di sisi tubuhnya. Dengan tanpa paksaan kusandarkan kepalaku di bahunya sembari sayup terdengar dendang merdu dari bibirnya..



I love.. the way you love me..
Strong and wild,
Slow and easy,
Hard and so.. so completely.


Bait lagu Boyzone yang pernah dicuapkan Ronan Keating dan Stephen Gatheli sekian tahun yang lalu terasa menjadi lagu pengiring yang tepat bagi kebersamaan kami, kemesraan kami, meski belum terucap ikrar cinta.

"Eh Ve.. lihat tuh gerombolan bule lagi asyik kayaknya main surfing. Aku ada ide nih, gimana kalau kita tawari tuh para bule buat beli cinderamata yang barusan aku beli dari pasar induk. Yahh sebenarnya sih ini cinderamata buat aku supply ke butik di Jakarta sono, tapi kalo kita jual ke tuh bule-bule bisa dapet untung bejibun kita !, secara mereka kan pada beduit tuh." Kasak kusuk Alan kembali mampir di telinga indahku hingga lagi-lagi membuat kuduk ini merinding geli plus ser-seran, namun segera ku tepis.


Tanpa menunggu lama, Alan bergegas mengambil tas berukuran besar yang tadinya sempat ia titipkan di warung rujak saat hendak bercengkrama denganku.

"Hi... we have any local handycraft. Maybe all of you wanna bring one or two for your family and friend in your country?" Dengan bermodal bahasa inggris ala kadarnya kucoba menawarkan cinderamata bawaan kami.


Tampak beberapa diantara mereka terlihat cuek, ada beberapa pula yang menolak halus dengan melambaikan tangan mereka.

"Come on.. this good for your giving !" Imbuh Alan menimpali.


Huftt.. not responding! runtukku dalam hati.

Wahh.. tapinya kok ternyata mereka masih pada muda dan ganteng-ganteng ya..asyik kali ya punya cowok bule nan ganteng membahana..hehehe, kembali hati ku bergumam diiringi pandangan kagum terkesima.


Baru saja kami berbalik arah dan melangkahkan kaki beberapa kedepan meninggalkan kerumunan bule ganteng tersebut tiba-tiba terdengar teriakan seorang memanggil kami.

"Hei tunggu, plis give me satu atau dua. I will buy untuk pesanan saudaraku yang want the oleh-oleh..!" Ucap seorang bule ganteng dengan aksen yang acakadul.


"Hi.. kenapa kau tertawa nona? ada yang salah?" Lanjut si bule ganteng.

Ohh...no..dia ganteng bingitt siee.. ucapku dalam hati sembari terus saja bengong memandang wajahnya.


Diluar dugaan, sepertinya antara si bule ganteng dengan Alan terlihat saling mencuri pandang.

Lhoo.. kok mereka malah saling pandang-pandangan gitu. Ah masa iya mereka saling jatuh hati?, jeruk minum jeruk dong??? Awalnya aku heran, namun pikiran aneh tersebut berusaha kuhilangkan.


“Harga berapa ini untuk satu item of your handycraft?” tanya bule kepadaku.

“Halloo... nona, please dijawab !” tambah si bule lagi. Aku menjadi terkaget, begitu kagumnya aku pada si bule sampai membuat aku bengong kayak sapi ompong. Aku menjadi tersipu malu atas kebengonganku tadi.


“Itu.. ii.i ini..aduh berapa ya?? eh Lan berapaan ini?” balasku sambil tergagap. Saat aku melemparkan pertanyaan harga tersebut ke arah Alan ternyata kondisi Alan tak jauh beda denganku. Sama-sama bengong.

“Ohh.. It’s free for you.. or.. up to you how much you wanna buy.” Alan lebih mujur, secepat kilat ia bisa menguasai keadaan. Sembari tersenyum lebar dan tatapan yang tajam ia membalas pertanyaan si bule.


“Oh really, are you kidding?” tanya bule merasa tak yakin dengan jawaban Alan.

“No..no.. I’m serious” potong Alan pendek.


“Yaa betul. Gratis aja buat kamu!” timpalku.

Dari peristiwa gratisan itu akhirnya kamipun saling berkenalan. Aku sekarang tahu bahwa si bule ganteng itu ternyata bernama Raden Saleh. Upss.. tentu tidak, ia adalah Rubben Sane dari Italia.


Semakin lama, perkenalan kamipun menjadi semakin dekat. Hingga akhirnya kami diundang makan malam di kebun hotel yang ditempati Rubben. Rencananya malam itu Rubben akan mengadakan pesta barbeque bersama teman-temannya.

Aku begitu kagum akan parasnya yang ganteng itu, ditunjang tongkrongan tubuh tegap tinggi menambah ia terlihat begitu menawan di mataku. Aku menjadi bimbang pada diriku sendiri di tengah persimpangan ini. Bagaimana mungkin aku tertarik pada dua pria sekaligus ? dan bahkan kini mereka tengah berdiri bersama dihadapanku. Hatiku menjadi kacau balau.


Acara barbeque menjadi tak lagi menarik bagiku. Aku lebih asyik bercanda tawa dengan dua makhluk gagah yang keduanya sangat kukagumi. Kami menjadi semakin dekat satu sama lain. Sesekali terlihat, kedua pria tersebut berpandangan sambil bertukar senyum. Beberapa kali pula mereka saling berbisik. Entah mereka saling membicarakan tentang aku atau tentang hal lain, aku tak ambil pusing.

Suasana canggung karena baru sehari kenal segera mencair. Lebih dari itu, secara bergantian Rubben dan Alan menggamit mesra pinggangku. Sesekali seperti tak sengaja kurasakan gamitan itu bergeser lebih naik dari pinggang rampingku hingga menyenggol lembut gundukan bukit tinggi kenyal di dadaku. Anehnya, bukannya aku marah, namun aku malah menikmati sentuhan itu. Ahh mungkin aku mulai gila karena mereka yang telah porak porandakan gugusan hatiku.

“Ehmm Paula, kamu ternyata asyik juga ya orangnya. Cantik juga !” ucap Rubben masih dengan menggamit pinggang atasku berikut sentuhan-sentuhan tipis di tepian dadaku.


Ohh senyum renyahnya, mereka sama..uhh bikin hatiku bergetar.. batinku.

“Kok cuman cantik doang. Emang aku gendut gitu ya?” ucapku lagi berusaha mengalihkan lamunanku akibat tawa renyah Rubben, namun malah jadinya ngelantur hingga tak sengaja kusebut tentang bentuk badanku.

“Of course not honeyyy... kamu sangat seksi, ramping, pinggul penuh, like a spain guitar, and your breast is so sensual.” tanggap Rubben terdengar sangat vulgar.


“Oww oww.. stop stopp. Kenapa harus sedetail itu sihhh ???” ucapku malu. Namun sebenarnya aku menjadi bangga di puji selangit oleh seorang bule yang notabene biasanya lebih mengidolakan gadis-gadis luar negeri yang tinggi dan mancung.

Hati ini semakin dibuat terkatung-katung diombang-ambingkan perasaanku sendiri. Bingung kupilih yang mana? begitu kata lagu.


“Ehmm Rubben, katanya kan asli Italia tuh. Kota mana?”

“Milan.” jawab Rubben pendek.


“Wow...cucok bookk. Ini aku juga ada rencana belajar fashion ke Milan” sambutku.

Bercengkrama dengan mereka berdua ternyata memakan waktu tanpa terasa. Sudah satu minggu sejak perkenalan kami dengan Rubben.


Sore yang mendung, tak ada seberkaspun matahari mampu menyeruak membelah gumpalan awan hitam yang berarak. Burung-burungpun tiada lagi terdengar riang suaranya. Petang dan mendung telah menggiring mereka memasuki peraduan.

Cring...

Suara ponselku terdengar nyaring memecah keheningan sore.


"Ya haloo.. siapa ini?" Kuangkat panggilan telpon dengan enggan.

"Woyy Ve.. ini Tari. Lu ama si Alan dicariin Pak Prapto dosen tuh. Gue disuruh bilang ke elu buat nemuin beliau besok pagi-pagi, karena jam 8 beliau sudah harus take off ke makasar menghadiri undangan universitas disana" cerocos Tari sohib kentalku di Jakarta.


"Waah..berarti gue musti balik Jakarta malam ini juga dong???" Ucapku masih dengan keengganan.

"Yahh..itu mah terserah elu Ve. Kayaknya ada tugas penelitian khusus ato apalah gitu, gue juga kurang paham. Lu satu tim ama Bella. Tuh Bella udah mulai galau khawatir lu ama Alan kagak muncul-muncul !" Lanjut Tari.


Tanpa berpikir panjang ku langsung menghubungi Alan dan segera pula menghubungi bagian ticketing bandara untuk reservasi. Hanya dalam beberapa jam setelah dihubungi Tari, kami sudah berada di antrian boarding pass bandara.

"Ga ada yang ketinggalan kan barang mu, Ve?"sergah Alan disela hiruk pikuk pengunjung bandara.

“Ga ada...eemmh tapi....!” Tiba-tiba ku seperti tersentak. Aku baru ingat kalau sebelum berangkat tadi ku lupa untuk mampir ke hotel tempat Rubben menginap.


Uhh...padahal lusa katanya dia mo balik ke Itali..! duhh kenapa sampai lupa gini sihh??! batinku sembari menerawang jauh keluar bandara. Sedih hatiku dan bodohnya diriku sampai untuk sekedar berpamit ke pria yang ku kagumi saja terlupa.

Ihhh..Apalagi aku belum juga dapat nomer teleponnya dan alamatnya di Itali...Ihhh bete bete beteee ! Runtukku semakin kalut. Rasanya ingin menangis saja.


“Vee, Verhoeven, kok bengong gitu sihh? Ada apa hayoo?” Seruan Alan membuatku tersentak dari lamunan. Dengan tersipu malu ku palingkan wajah ini ke arah lain demi menyembunyikan airmata yang sedikit menggenang di kelopak mataku.

“Ga papa kok Lan..!” Jawabku pendek.


“Ya udah, kalau emang ga ada papa mbokyao jangan bengong gitu. Ntar malah ilang lho cantiknya sayang..!” Hibur Alan yang langsung sukses membuatku tenang.

Dia manggil aku sayang...!? bikin Ge-Er ajah si Alan ini ungkapku dalam hati.Tapi memang ada benernya juga.


Buat apa aku sedih gara-gara tidak ketemu Rubben lagi? toh sama Rubben juga baru kenal ini. Lagian kan ada Alan yang juga ganteng, batinku lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar