Sekitar beberapa menit lalu aku meninggalkan rumah orang tuaku di Bandung. Walau beberapa waktu belakangan ini terkadang aku dan pacarku kerap terlibat beberapa perselisihan kecil, sepertinya ayah tetap tolerir atas hubunganku dengan janda dua anak ini, bahkan usianya jauh diatasku. Wanita cantik berdarah Jerman yang sekarang tengah duduk disampingku dengan tatapan kedepan, tepatnya kearah kaca depan mobil yang tengah kami kendarai ini. Entah apa yang dilamunkannya.
"Eh, ril..kamu pernah ngebayangin enggak, kalau kita nih...maksudnya para pekerja seni, memiliki suatu tempat khusus yang luas dan tentunya lengkap dengan prasarana yang kita butuhkan dalam berkarya, dan yang paling penting kita dapat bebas sebebas-bebasnya dalam berkreasi, tanpa terikat oleh batasan-batasan yang dibuat oleh birokrat..." kali ini lamunannya telah terpecah, berganti dengan paparan dari khayalannya itu. Ah, tidak...terlalu sinis kalau aku sebut itu sebagai khayalan, mmm..baiklah "harapan" aku rasa lebih tepat.
"Seperti Hollywood maksudmu..?" ujarku, sambil pandanganku tetap kearah jalan raya didepanku. Jalan disini memiliki banyak tikungan tajam, sehingga aku tetap harus berkonsentrasi dalam memegang kemudi.
"Yah, semacam itulah... Mmm..tapi tidak, menurutku Hollywood tidak bisa dikatakan bebas..mereka terlalu banyak disusupi berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan bisnis dan komersil..jadi menurutku mereka belum merdeka secara utuh" paparnya, sambil sesekali mengamati smartphone ditangannya.
"Namanya juga industri hiburan, tentu mereka harus komersil. Kalau tidak begitu, bagaimana bisa mempertahankan eksistensi mereka, sedangan untuk menghasilkan sebuah karya saja perlu dana, belum lagi....."
"Iya...iya...aku tau itu, yang sedang aku bicarakan ini adalah sebatas berandai-andai belaka, sebagai insan seni yang butuh penyaluran secara utuh, tanpa harus ada intervensi dari pihak produser" potongnya.
"Insan seni ni yeee..." godaku.
"Jangan ngeledek kamu, walaupun aku cuma tergolong sebagai artis kelas ecek-ecek yang belum pernah mendapatkan penghargaan apapun, tapi aku memiliki segudang ide dikepalaku ini yang butuh penyaluran"
"Iya deh, iya.. Tapi aku enggak pernah menganggap kamu sebagai artis kelas ecek-ecek koq.."
Kali ini dia terdiam, pandangannya menatap malas kearah jendela disamping kirinya, sementara kedua tangannya dilipat didadanya, dan itu berlangsung untuk beberapa saat.
Apa dia tersinggung dengan sindiranku tadi. Aku akui memang, bahwa sebagai artis peran, dia masih belum bisa berbuat banyak. Dalam artian di bebeberapa sinetron dan layar lebarnya belum satupun yang berhasil mendongkrak namanya sebagai artis peran yang diperhitungkan. Apalagi mendapatkan penghargaan resmi.
Tapi aku akui bahwa dia memiliki semangat yang tinggi, didalam kepalanya seperti ada sesuatu yang ingin sekali dia wujudkan dalam sebuah karya. Namun ya itu tadi, tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukungnya. Mengharapkan produser sepertinya sulit. Kapasitas kekasihku ini belum dapat "merangsang" kepercayaan produser.
Kalau untuk dunia model, aku akui itu adalah lahannya. Namun sepertinya usia yang telah menginjak kepala empat, dunia model sudah tak lagi bisa diharapkan terlalu banyak.
Didalam industri hiburan memang selera pasarlah yang memegang peranan. Dan suka atau tidak, sebagai pekerja seni kita harus menyesuaikannya, jika tidak maka kita akan habis. Lain ceritanya kalau berkarya hanya sekedar hobby belaka, sedangkan orang seperti aku, dan juga pacarku ini, berseni adalah sebagai profesi, tempat mencari nafkah.
Seperti halnya aku yang adalah seorang musisi. Kalau ingin menuruti ego, aku juga ingin membuat musik yang aku sukai, yaitu jenis musik bergenre progresive rock dengan arasement yang njlimet, seperti musiknya Yes, Pink floyd, Emerson Lake Palmer, atau Genesis. Tapi kalau aku nekat buat yang seperti itu, siapa yang mau dengar. Produser mana yang mau bunuh diri dengan menggelontorkan modal tanpa hasil. Ujung-ujungnya, terpaksalah aku harus menyingkirkan dulu rasa idialisku
Didalam dunia entertainment, pacarku ini memang jauh lebih dulu memulai ketimbang aku. Mungkin disaat usiaku masih anak-anak dia telah terjun didunia model. Bahkan ditahun 1987 dia telah bermain didalam film layar lebar. Tapi bukan berarti aku lebih minim pengalaman dari pada dia. Sebagai publik figur aku telah banyak makan asam garam didunia hiburan, mulai dari yang manis sampai yang paling getir sekalipun, bahkan hingga aku jatuh terpuruk kedalam lembah yang paling hina, yaitu jeruji penjara.
Mungkin di negeri ini baru akulah orangnya yang dihukum penjara hanya karena merekam adegan bercintaku dengan pacarku sebelumnya. Kalau dipikir-pikir apalah salahku itu. Yang aku lakukan tidak merugikan orang lain, bahkan aku juga tidak mempublikasikannya, justru pihak lainlah yang melakukan itu. Tapi hukum berkata lain, aku harus rela menjadi penghuni hotel prodeo selama dua tahun, dan itu aku jalani dengan tegar, dan tanpa sekalipun menyogok pihak lapas agar aku bisa berada diluar tahanan seperti yang kerap dilakukan oleh Gayus tambunan, teman senasibku di lapas “Suka Miskin”. Dan saat selesai masa tahananku, aku keluar dengan langkah tegap, dan kembali berkarya. Sukurlah, dalam waktu singkat kejayaan yang telah terpuruk dapat kuraih kembali.
"Kira-kira dinegeri ini bisa enggak ya, hal seperti itu terwujud?" setelah beberapa menit dia terdiam, kembali dia membuka suara.
"Apanya?" jawabku
"Ah, kamu ini..yang aku bahas tadi, wadah untuk kita berkreasi dengan bebas.."
"Owwhh...tentang holiwut-holiwutan itu... Gak tau juga ya? Kayaknya sulit.. Kalau menurutmu, kapan ya kira-kira bisa terwujud ?" justru aku yang malah balik bertanya, sepertinya dia kurang puas dengan reaksiku yang hanya seperti itu.
"Sampai mati kali.." jawabnya malas, dengan nada yang sedikit sinis. Lalu kembali seperti tadi, melipatkan tangan didada sambil menatap malas kearah jendela samping.
"Sampai mati? Mungkin juga sih..." balasku, seraya kubuka jendela disampingku. Kuambil sebatang rokok dan kuselipkan dibibir. Tapi dimana tadi pematik kuletakan? Ah,sial..ternyata ada dibawah kursi, terpaksalah aku harus menunduk untuk meraihnya.
“BRRAAAAAAKKKK....!” kurasakan benturan yang sangat keras, yang membuatku membatalkan niat untuk meraih pematik.
"Apa itu.. Apa itu barusan...." panikku, seraya kuhentikan kenderaan.
"Apaan sih?" heran pacarku.
"Suara benturan keras tadi...kayaknya kita menghantam sesuatu..." sambungku.
"Ngaco kamu.... Dari tadi tenang-tenang aja koq..." ujarnya, sekarang malah aku yang merasa heran, namun aku mencoba untuk tetap santai.
"Owwhhh...ya sudah kalau begitu..." apa iya dia tidak merasakannya, suara benturan itu begitu keras, bahkan getarannya seperti membuat remuk badanku.
"Kamu enggak apa-apa ril..?" dia sepertinya heran melihat sikapku.
"Kamu gak ngedrag kan?" tanyanya lagi, sambil memandang curiga kewajahku.
"Ngaco' kamu...sejak kapan aku suka barang begituan" akhirnya kuputuskan menepi sebentar, sekedar untuk menghisap sebatang rokok
*******
Sekitar sepuluh menit setelah itu, mobil kami melintasi daerah pedesaan yang cukup indah. Tapi entah didesa mana tepatnya, aku tak terlalu paham. Rumah-rumahnya tertata rapi, serta lingkungannya tampak bersih dan hijau oleh rumput dan pepohonan. Dan yang paling menakjubkan adalah bunga-bunga beraneka warna tampak tumbuh hampir disemua lahan. Hmmm..baru kali ini aku melihat alam pedesaan begitu indah seperti ini.
Dan, eh...apa itu, sepertinya sebuah kafe, aku rasa tak ada salahnya untuk mampir sekedar ngopi disana.
"Shop...kita ngopi dulu ya...?" tawarku kepada pacarku
"Boleh, keliatannya enak nih tempatnya..." setujunya, yang sepertinya juga kagum dengan keindahan alam didesa ini.
"Ini namanya daerah apa sih, apa daerah wisata?"
"Aku juga gak begitu tau...perasaan baru kali ini aku lihat. Bisa jadi ini memang kawasan wisata yang baru dibuka"
"Ah, kamu ini...besar di Bandung tapi gak tau daerah sini, perasaan jaraknya gak terlalu jauh dari rumahmu" yang dikatakan pacarku memang masuk akal. Tapi sungguh mati, aku memang belum pernah melihat tempat ini sebelumnya.
Jalan rayanya yang sepi memudahkan aku berbalik arah untuk kembali menemukan kafe yang kami lihat barusan.
********
"Expresso Kafe" itulah yang tertulis pada plang didepan kafe, seraya kuparkirkan mobilku dihalamannya.
Seperti biasa, saat ditempat umum seperti ini, aku dan juga pacarku selalu mengenakan topi dan kaca mata hitam untuk sekedar mengurangi perhatian khalayak agar tak terpusat pada kami. Karena sebagai manusia biasa, tentu kami juga butuh privasi.
Kafe yang cukup bersih, dengan penataan ruang yang apik dan artistic. Pada dindingnya dipenuhi photo-photo artis tanah air dari masa ke masa, yang aku kenal disitu ada photo Bing slamet, Gesang, kelompok musik The Rollies, The Mercies, serta beberapa artis film seperti Soekarno M noor, Benjamin S, Citra Dewi, Didi Petet, Dicky Zulkarnaen, Bagyo dan masih banyak lagi.
Walaupun tanpa pendingin ruangan, tempat ini cukup nyaman dan tidak panas. Sepertinya penataan sirkulasi udaranya dirancang dengan cermat, sehingga bisa menghasilkan kenyamanan alami seperti ini tanpa harus mengandalkan AC.
Aku dan pacarku duduk dikursi agak pojok, tentunya dengan maksud agar tidak terlalu menarik perhatian pengunjung.
"Selamat datang, ada yang bisa dibantu ...?" seorang wanita pelayan kafe menghampiri kami. Seragam yang dikenakannya cukup modis untuk ukuran kafe diwilayah sekelas kota kabupaten seperti ini. Dengan pakaian ala France-Maid, seperti pelayan-pelayan dirumah bangsawan Eropa dalam film-film barat.
Aku mengamati sejenak kartu menu diatas meja. Akhirnya kuputuskan untuk memesan kopi dan kue donat.
"Kamu pesan apa shop...?" tanyaku pada pacarku.
"Sama'in aja lah.." jawabnya dengan tak acuh. Perhatiannya lebih ditujukan pada orang-orang disekitar kafe.
"Kopi dua, sama donatnya empat..." Setelah mencatat pada buku notes yang dipegangnya, pelayan itu melangkah pergi. Masih sempat kulihat gerakan bokongnya yang terbalut rok hitam dengan tinggi diatas lutut, sehingga paha mulusnya juga terekspose. Sepatu hak tinggi menambah menarik penampilannya. Hmmm bodi yang indah, tak kalah dengan model-model ibu kota.
"Udaaaahh...jangan dipelototin terus, emangnya aku gak tau, apa yang ada dibalik kaca mata hitammu itu.." Ah, sial...rupanya pacarku memperhatikan juga.
"Ah, bisa aja kamu..." seraya kualihkan pandanganku kearah lain.
"Eh..ril, coba deh kamu perhatikan sekumpulan pengunjung dimeja seberang itu, sepertinya gak asing deh. Coba kamu amati baik-baik, barangkali kamu lebih familier... Yang aku tau pasti cuma yang satu itu, mirip sekali dengan Olga saputra.." ujar pacarku setengah berbisik.
Hmmm....sepertinya memang betul, mereka mirip sekali dengan selebritis tanah air, ada yang mirip Olga, presenter yang baru saja meninggal ditengah masa jayanya. Sedang yang itu mirip Benjamin S, tapi yang satu itu mirip siapa ya? Ah, sepertinya Gito Rollies, rocker gaek yang juga telah almarhum itu. sepertinya sipeniru ini mengambil sempel Gito versi mudanya, dengan rambut kribo lebat. Dan yang satu lagi, seorang pria berambut gimbal dengan topi ala Bob Marley. Ah, sepertinya adalah duplikatnya Mbah Surip, musisi nyentrik yang meninggal dunia disaat karirnya tengah meroket, tapi duplikatnya ini terlalu muda, sehingga tampak kurang mirip.
Ah, aku rasa mereka hanyalah sekumpulan anak muda komunitas mirip selebritis yang tengah berkumpul mencari perhatian.
"Ah, biasa...paling anak-anak komunitas mirip artis lagi cari perhatian..." jawabku
"Tapi yang mirip Olga itu kenapa pas banget sih, dari suaranya sampai gayanya juga pas...hebat banget tuh anak, bisa niru sampai sebegitunya.." komentar pacarku. Ia juga sih, kenapa si Olga palsu ini demikian mirip, begitu pula dengan si Benjamin palsu itu, yang sangat mirip dengan Benjamin versi tahun 70an, dengan celana cutbray, rambut agak gondrong dan berjambul, dan saat dia berbicara jambulnya itu seperti ikut bergerak-gerak. Tapi mengapa selama ini mereka belum pernah terekspose dimedia, terutama televisi. Selama ini cukup banyak aku saksikan di TV tentang orang-orang yang mirip Benjamin, tapi tak ada yang sesempurna ini.
Ah, siapa lagi itu pelayan kafe dimeja sebelah, yang tengah sibuk mengelap meja. Sepertinya aku tak asing dengan sosok ini. Ah, tak salah lagi dia sangat mirip dengan Nike ardila. Artis cantik serba bisa yang tewas ditengah masa keemasannya akibat kecelakaan lalu lintas pada pertengahan tahun 90an. Aku sangat familier sekali dengan sosok itu, sosok yang diam-diam aku idolakan disaat aku masih abg.
Untuk beberapa saat aku terpana dengan penampilannya yang begitu mirip dengan idolaku itu, sebelum akhirnya pacarku mencubit pahaku.
"Makan tuh, Nike Ardilla palsumu..." ujarnya pelan.
"Aaahh, enggak.. Aku cuma kaget aja, ada orang yang mirip Nike sesempurna itu, bahkan dia hanyalah seorang pelayan kafe..." ujarku, membela diri.
"Sekarang, apa kamu juga masih berpikir kalau dia juga bagian dari komunitas yang kamu sebutkan tadi.." Ah, benar juga ya, kalau dia bagian dari kumpulan pemuda itu, kenapa juga dia justru adalah seorang pelayan disini.
Ah, sekarang aku baru ingat, bisa jadi kafe ini memang memiliki konsep seperti itu. Yaitu menyuguhkan sosok-sosok artis legendaris tanah air yang telah almarhum, sekedar untuk bernostalgia.
Jadi sekumpulan pemuda itu memang sengaja ditempatkan disitu oleh pengelola. Toh jaman sekarang, berbagai kiat dilakukan untuk menjaring pengunjung, ada kafe berkonsep horror, ada yang berkonsep detektif, sepak bola, tentara dan masih banyak lagi. Dan kali ini berkonsep "menghidupkan" kembali artis-artis legenda yang telah wafat. hmmm...konsep yang cukup menarik.
Pelayan yang tadi padanya kupesan kopi dan makanan telah kembali, kali ini dengan baki berisikan dua cangkir kopi dan sepiring kue. Ah, aku baru nyadar, ternyata dia mirip dengan biduan Alda, ya Alda risma, penyanyi yang menurut rumor tewas akibat overdosis.
"Selamat menikmati..." ujarnya, setelah meletakan pesanan kami.
"Makasih mbak...anda mirip sekali dengan Alda..." sapaku, sekedar beramah tamah, yang hanya dijawab dengan senyum dingin, seraya ngeloyor pergi. Keberadaan "satpam" disampingku membuatku tak berani lagi menatap bokong yang dibalut rok yang tingginya sebatas paha itu.
"Tempatnya asik juga buat nongkrong..." gumamku, sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lalu kuselipkan dibibir.
Pematik? Ah, sial...seingatku masih dimobil. Untuk balik kemobil terlalu jauh, Ah, lebih baik kupinjam saja dari artis-artis palsu itu, toh mereka juga tengah merokok, kecuali si banci itu.
"Bisa pinjam koreknya mas..." pintaku, kepada empat orang yang berkumpul dalam satu kursi itu.
"Aahh, ma'de rodok lu...Tampang aje keren, korek kagak punye...Nih lu pake, awas jangan lu telen.." ujar orang yang mirip Benjamin. Ah, bener-bener gila, gaya dan cara ngomongnya sangat mirip dengan Benjamin S yang beberapa filmnya sering aku tonton.
"Ketinggalan dimobil.." jawabku, sambil menyalakan rokok.
"Terima kasih....Oh ya, anda sangat mirip Bang Ben..." ujarku, sambil menyerahkan pematik jenis Zippo kepadanya.
"Ah, muke gile lu...terserah ape katelu aje lah.... Ngomong-ngomong, itu gaco'anlu boto juga ye... kaya' noni-noni Belande...pinter juga lu cari cewek...." sial, sebuah ucapan yang kurang sopan bagi orang yang belum saling kenal. Namun aku tetap menanggapinya dengan senyum. Bisa jadi dia hanya sekedar menunjukan kebolehannya dalam menirukan gaya Benjamin S.
"Oke semuanya, terimakasih..." ucapku, seraya kembali kemeja kami.
"Selamat datang ya bro..." kali ini suara serak-serak basah dari Gito rollies palsu, yang menyapaku sambil mengangkat telapak tangannya. Yang tentunya aku balas dengan cara yang sama pula.
Baru saja aku duduk, tiba-tiba nyelonong masuk sesosok tubuh kurus dari pintu utama. Sosok yang tidak asing lagi bagiku. Seniman nyentrik asal kota pahlawan, dengan topi serta kumis panjang menjuntai hingga tersambung dengan janggutnya. Sedang rambutnya yang panjang dikepang kebelakang, tentu dengan kaca mata hitam selalu lekat dimatanya. Ah, rupanya ada duplikat Gombloh juga dikafe ini, seniman pencipta lagu kebyar-kebyar yang wafat sekitar akhir tahun 80an. Walaupun disaat dirinya masih hidup aku masih seorang bocah, tapi sampai saat ini aku tetap senang mendengarkan lagu-lagunya. Yang beberapa liriknya bagiku cukup berbobot.
Wooww...rupanya dia juga bernyanyi secara live disini, dengan hanya diiringi oleh gitar yang dimainkannya sendiri, serta harmonika yang digantung dileher dengan bantuan holder khusus.
Ah, aku masih ingat judul lagu itu "Kugadaikan Cintaku". Sungguh luar biasa orang ini , bukan cuma penampilannya yang mirip, tapi juga suaranya. Plek...seperti Gombloh.
Semakin betah saja aku berada disini. Hiburannya keren, suasananya nyaman. Dan yang paling penting, tak ada orang usil, apalagi paparazi yang memperhatikan aku. Yang berpura-pura sibuk dengan ponselnya, tapi sebenarnya sedang mengambil gambarku dan pacarku. Bahkan diantara pengunjung yang ada disini, tak ada seorangpun yang aku lihat sedang memegang handphone. Berbeda sekali dengan pengunjung kafe-kafe dikota besar, yang walaupun mereka duduk satu meja dengan kawan-kawan mereka, tapi perhatian tetap terpusat pada benda yang bernama handphone itu, sehingga kehangatan diantara mereka terlihat hambar.
*******
Tanpa terasa hampir setengah jam kami berada disini, sebelum akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Namun yang membuatku benar-benar heran adalah disaat tadi aku hendak membayar. Si pelayan yang mirip Alda itu justru menolaknya, dan dengan ramah dia bilang "Owwhh...disini semuanya gratis mas.." Ah, benar-benar aneh, apa maksudnya itu. Apa karena Kafe ini baru, sehingga mereka tengah berpromosi dengan cara seperti itu.
Saat kami berada diluar kafe, kulihat beberapa orang tengah saling bercakap-cakap. Ah, wajah-wajah itu rasanya tak asing lagi bagiku. Ya, ketiga orang yang tengah berbincang-bincang dikursi taman itu, kesemuanya itu adalah komedian ternama tanah air. Tentu saja mereka adalah duplikatnya, alias palsu, karena setahuku ketiga orang itu sudah almarhum, mereka adalah Jojon, Ateng, dan yang satu lagi Dono.
"Aku mulai merasakan adanya keanehan dengan tempat ini..." ujar pacarku saat kami berada didalam mobil.
"Maksudmu? "
"Semua orang-orang yang ada disini, termasuk semua pengunjung kafe, sepertinya aku tak asing dengan wajah-wajah mereka itu. Walau bukanlah sosok yang sangat populer, tapi sepertinya aku pernah melihat mereka. Entah mereka itu hanya sebagai kameramen, sutradara atau penata lampu. Sayangnya memang aku tidak mengenal mereka dengan akrab. Dan beberapa dari mereka aku yakin adalah orang-orang yang pernah eksis dalam dunia hiburan tanah air.." paparnya , sepertinya apa yang dikatakannya itu benar, selain empat orang yang merupakan artis populer tanah air tadi, dimeja lain sepertinya juga ada beberapa sosok yang tak asing. Namun sayangnya aku juga tak begitu mengenal mereka, selain hanya wajah-wajah mereka saja yang pernah aku lihat dilayar tv.
"Jadi menurutmu, anehnya itu dimana?" tanyaku, sebenarnya aku juga mulai merasakan ada yang ganjil ditempat ini, mulai dari tempat ini yang menurutku terlalu cepat pembangunannya. Bagaimana tidak, belum sebulan aku juga melintasi jalur ini saat dari Bandung menuju Jakarta, tak pernah aku melihat lokasi seperti ini, dimana bunga-bunga yang indah terhampar diseluruh desa, serta penuh dengan taman-taman yang penataannya begitu indah, seperti tempat-tempat dinegeri dongeng, yang tentu saja menarik minat pengendara yang melintas untuk menyinggahinya, termasuk aku.
Pengendara yang melintas? Ah, aku baru menyadari, bahwa selama tadi aku melintasi jalan raya dilokasi ini, tak satupun ada kendaraan lain yang melintas kecuali kendaraanku, dan sampai sekarangpun dijalan raya itu tetap sepi.
"Ya, aneh aja...suasana disini itu lho, indah sih, bahkan dimusim kemarau seperti ini, yang hampir dalam tiga bulan terakhir tak turun hujan, tapi bunga-bunga dan rerumputan disini tumbuh demikian subur...air yang mengalir disungai itu demikian jernihnya. Sesuatu yang langka dinegeri ini.." paparnya.
"Ah, dijaman teknologi canggih seperti sekarang ini, hal seperti itu bisa saja dibuat, dengan ilmu pengetahuan tentunya, jadi enggak ada yang anehlah..." sanggahku, sekedar untuk menenangkan hatinya untuk tidak berpikir yang macam-macam, walaupun sebenarnya aku juga merasa heran.
"Okelah, sekarang kita sudah ngopi dan makan donat yang enak...Saatnya kita melanjutkan perjalanan" ujarku, seraya menghidupkan mesin mobil.
"Ah,sial...mesinnya gak bisa distarter....brengsek...!" berkali-kali kuputar kunci kontak, hasilnya sama saja, hanya suara jkekkkekk...tanpa mesinnya hidup.
Kucoba keluar, dan membuka cover penutup mesin. Tapi apa yang dapat aku lakukan, toh aku buta soal mesin, entahlah apakah itu masalah pada akinya yang mulai soak atau sistim bahan bakarnya yang tersumbat, aku tak tau pasti.
Kucoba menghampiri pelawak-pelawak palsu yang masih mengobrol dikursi taman, sekedar untuk menanyakan lokasi bengkel terdekat.
"Permisi mas...kalau bengkel mobil terdekat dimana ya?" tanyaku
"Wah, disini gak ada bengkel mas, wong disini juga nggak ada yang punya mobil..." jawab pria yang mirip Dono. Wah, suara dan cara berbicaranyapun sama persis dengan anggota warkop DKI itu.
Waduh, memang sungguh aneh, didaerah pulau jawa, yang letaknyapun tak jauh dari kota Bandung, tapi tak seorangpun yang memiliki mobil, sungguh tak masuk akal, bahkan didaerah miskin dan tertinggal yang berada dipelosokpun masih ada mobil disana..
Ah, aku baru ingat, bengkel mobil langgananku di Bandung pasti bisa mengirimkan montirnya kesini, toh hanya sekitar setengah jam saja jarak Bandung kesini, seraya kuambil handphoneku dari saku celana.
Ah, brengsek...tak terhubung, dan Ah, ternyata memang tak ada sinyal, benar-benar apes aku kali ini.
"Disini koq nggak ada sinyal ya mas?" tanyaku lagi.
"Ya enggak ada, wong disini juga gak ada yang punya handphone.." jawab Si Dono palsu lagi.
"Apa telpon dikafe bisa dipinjam ya?" tanyaku, penuh harap.
"Disana juga gak ada telpon, diwilayah ini semuanya gak ada telpon..." Astaga, benar-benar tempat yang aneh. Kafe dengan penataan apik dan modern seperti tadi bahkan telponpun tak ada, sungguh aneh.
Tapi memang kalau aku lihat disini tak terlihat adanya tiang ataupun kabel telpon, bahkan kabel listrik PLNpun tak ada, kecuali hanya pohon-pohon rindang yang diatasnya burung-burung berwarna indah saling berterbangan.
"Sekarang, daripada keliatan bingung kayak gitu, mendingan duduk dulu disini mas, ajak juga tuh temennya sekalian.." tawar lelaki pendek yang mirip dengan pelawak Ateng.
Akhirnya kami duduk dibangku taman bersama ketiga pelawak palsu itu. Tak terasa hampir setengah jam kami ngerumpi. Sepertinya pacarku cukup terhibur dengan banyolan mereka yang segar dan kocak. Dan dia juga mulai akrab dengan ketiganya, bahkan sepertinya juga mulai lupa dengan masalah yang tengah kami hadapi ini.
Berbeda denganku, masalah mobil mogok dengan tanpa adanya kepastian pihak yang memperbaiki masih menjadi ganjalan bagiku, yang berefek kurang antusiasnya aku dengan banyolannya. Aku menanggapinya hanya sekedar tersenyum, itupun dengan sedikit dipaksakan agar tak terkesan angkuh. Ah, entah akan tidur dimana kami malam ini.
Ditengah galaunya pikiranku, masih sempat aku berpikir tentang orang-orang yang ada disini, termasuk dengan ketiga orang ini. Apa iya, mereka tidak mengenal kami? dengan kami telah membuka kaca mata dan topi seperti ini, aku rasa hampir semua orang dinegeri ini mengenali. Bukannya aku GR atau takabur, tapi itu kenyataan. Ini bahkan mereka tak sedikitpun menyinggung tentang siapa kami. Padahal ditempat lain, ditempat umum seperti ini, entah sudah berapa puluh orang yang mengajak berpoto, dan sebagai publik figur terpaksa itu harus kulayani, walaupun sebenarnya aku merasa sedikit kurang nyaman karenanya.
Tiba-tiba dari arah jalan raya datang seorang pria yang penampilannya mirip Adi bing slamet, namun dengan kening sedikit lebih lebar. Ah, tidak...dia bukan mirip Adi bing slamet, tapi mirip Bing slamet, ayah dari Adi bing Slamet, sepertinya dia ingin memasuki Kafe.
"Hey, Mas Bing... Ayo dong mampir sini, kenalan dulu sama temen baru nih.. Gimana sih Pak lurah kita ini, main nyelonong aja..." sapa pria yang mirip Jojon dengan agak berteriak. Si pria yang disapa Mas Bing akhirnya menghampiri kami.
"Haii, halo semuanya.... oh, ini toh teman baru kita, wah hebat....selamat datang...selamat datang...dan selamat berkarya disini..." sapa pria itu. Ah, apa maksudnya dengan ucapan "selamat berkarya disini". Aku sama sekali tak pernah melakukan perjanjian kontrak dalam bentuk apapun dengan pihak disini, mengapa pula dia mengucapkan seperti itu.
"Mmm...maaf, apa maksud perkataan anda dengan "selamat berkarya disini" , terus terang saya masih belum paham.." tanyaku.
"Ah, iya..iya..iya...anda masih baru kan? Saya paham kalau anda masih belum mengerti..." ucap pria itu, seraya duduk dibangku taman bersama kami. Kursi taman berbahan beton berbentuk leter U dengan ditengahnya terdapat meja kecil yang juga berbahan beton, kini dihuni oleh enam orang termasuk aku dan pacarku.
"Saya selaku lurah disini memang berkewajiban menerangkan secara ditail kepada warga kami, terutama terhadap warga baru seperti kalian..." Warga baru? Aku semakin bingung mendengarnya, sedang aku sendiri tak memiliki niat untuk menetap disini.
"Maaf pak, anda salah kalau mengira saya akan menjadi warga diwilayah ini. Saya hanya kebetulan singgah disini, sekedar untuk ngopi. Dan yang terjadi adalah mobil saya mogok, sehingga kami tak dapat melanjutkan perjalanan, itu saja..."
"Baiklah bung...sebaiknya anda mendengarkan penjelasan saya dulu... Pertama-tama akan saya ceritakan terlebih dulu mengenai kampung ini, yang bisa dikatakan sebagai kampung seniman. Dimana para penghuninya adalah para insan seni yang dulunya pernah berkiprah didunia hiburan tanah air.." sampai disitu dia menatap tajam kearahku dan pacarku, lalu melanjutkan penjelasannya kembali.
"Yang saya maksudkan dulunya pernah berkiprah didunia hiburan tanah air adalah dimasa hidupnya dialam fana..." terangnya, dengan nada yang ditekan, seolah ingin menggaris bawahi keterangannya itu.
"Tapi kami masih hidup, kami...." sanggahku, yang langsung dipotong olehnya.
"Untuk dialam fana kalian sudah mati, kita semua yang berada disini sudah mati... Tapi dialam yang sekarang ini justru kita bisa hidup kekal selamanya. Dan selama itu pula kita bisa bebas berkreasi disini, bebas sebebas-bebasnya untuk mencurahkan segala ide yang ada dikepala kita kedalam sebuah karya seni " Aku dan pacarku saling bertatapan mendengarkan penjelasan itu, berbagai pikiran berkecamuk didalam benakku. Mau tidak mau, sepertinya aku mulai mempercayai apa yang dikatakannya itu. Segala keganjilan yang sebelumnya sempat kuherankan mengenai tempat ini terjawab sudah. Rasanya sulit bagiku untuk membantah kenyataan ini. Jadi kesimpulannya, orang-orang berwajah selebritis yang sebelumnya kukira imitasi, ternyata mereka adalah yang sebenarnya, seniman-seniman yang telah meningal dan berkumpul kembali disini.
"Saya paham, sebagai orang yang tengah mengalami masa keemasan dalam karirnya, kenyataan ini sungguh membuat anda merasa kehilangan. Tak ada lagi penggemar yang memuji dan mengelu-elukan anda. Tak ada lagi kemewahan duniawi yang selama ini kalian rasakan, itu wajar. Semua orang yang ada disini pada mulanya seperti itu. Tapi itu tak sampai memakan waktu lama, setelah itu mereka justru bersukur telah berada disini. Disini anda tak perlu mencari nafkah, karna makanan selalu tersedia. Nah, dikafe inilah kita bisa makan berbagai macam makanan yang kita inginkan, semuanya gratis, dan buka 24 jam. Dan anda juga tidak perlu tahu dari mana pasokan makanan itu kita dapat. Kita hanya perlu bergiliran bertugas sebagai pelayan disana. Ah, itu untuk setiap orang paling-paling hanya kebagian satu kali dalam dua bulannya, itupun hanya enam jam, dan selanjutnya akan digantikan oleh sukarelawan lain. Penghuni kampung ini banyak, mencapai ratusan. Tentu semuanya adalah pekerja seni. Baik seni musik, seni peran, seni tari,seni lukis dan masih banyak lagi..." pemaparan yang diberikan oleh Bing ini, sepertinya mendapat perhatian yang cukup besar dari pacarku ini. Itu dapat kulihat dari ekspresi wajahnya yang begitu serius menyimak.
"Mmm..tadi anda katakan bahwa disini kita bebas menuangkan ide yang ada dikepala kita kedalam sebuah karya seni, misalkan saya memiliki ide, katakanlah untuk membuat sebuah film sesuai dengan yang saya inginkan. Apakah saya juga akan difasilitasi untuk merealisasikan ide saya itu..." pacarku mulai mengeluarkan unek-unek dihatinya yang selama ini hanya menjadi impian.
"Owwhh, tentu bisa..anda tinggal menuliskan sedikit gambarannya kepada saya. Nanti akan saya agendakan, dan dalam waktu hanya beberapa hari, anda sudah bisa merealisasikan ide anda itu. Dan semua kru tentunya akan siap bekerja sama.." paparnya, sambil menyalakan sebatang rokok.
"Lalu, seandainya film itu sudah jadi, dimana akan didistribusikannya? Mmm...maksud saya dipasarkannya..." Ah, sepertinya pacarku benar-benar berharap banyak dengan dunia barunya ini. Sedangkan aku masih berharap semua ini hanyalah mimpi belaka. Mana ada kehidupan seperti ini setelah kita mati. Kecuali itu hanya mimpi, dan aku berharap akan segera terbangun dalam mimpi ini. Lalu kembali akan kuraih duniaku sesungguhnya. Dunia yang pernah terpuruk, dan baru-baru ini telah berhasil kuraih kembali. Tentunya dengan segala kemilau kejayaannya.
"Oowwhh.. Kita berkarya disini bukan untuk tujuan komersil, tapi untuk kepuasan batin...itu lebih dari segalanya, apalagi hanya uang... Yah, film yang telah selesai kita buat akan kita saksikan bersama digedung bioskop kita, yang dalam setiap minggunya ada saja film-film baru yang kita tonton. Dan semuanya itu menurut saya adalah film yang berkualitas. Bukan film kelas kacang goreng yang hanya mengeksploitasi adegan kekerasan dengan harapan laris manis dipasaran...." Wajah pacarku tampak berbinar mendengarkan penjelasan pria itu. Sepertinya dia mulai mendapatkan tempat yang cocok dihatinya. Seperti yang sebelumnya sempat diutarakannya padaku. Tentang holiwut-holiwutan, tempat dimana dia dapat mengeksploitasi idenya secara bebas dengan adanya sarana dan prasarana yang mendukung. Ah, klop sudah dengan yang dipaparkan si Bing ini. Mungkin bagi pacarku, dunia barunya ini adalah sebagai mimpi yang menjadi kenyataan. Sedang aku, justru berharap semua ini cuma mimpi.
"Oh, iya..yang perlu anda ketahui, bahwa hidup anda disini adalah abadi, Anda tak akan menjadi tua seberapapun umur anda. Penampilan anda akan tetap seusia layaknya 25 sampai 28 tahun. Usia dimana sesorang berada dipuncak keemasannya dalam segi penampilan..." Benar juga apa yang dikatakannya, kulihat wajah pacarku ini lebih segar dari sebelumnya. Sebagai wanita dengan usia empat puluhan dia memang mulai terlihat tua, garis dipinggiran mata dan keningnya juga mulai terlihat seandainya dia tak pandai-pandai menutupinya dengan make-up. Tetapi sekarang ini, aku melihatnya itu semua tak ada. Kini kulit wajahnya terlihat lebih kencang dan licin.
"Dan yang tak kalah penting yang perlu anda ketahui, mmm...Maaf, kalian berdua adalah sepasang kekasih kan?" yang aku jawab dengan hanya menganggukan kepala.
"Didalam kehidupan kita selama ini, kita menjunjung tinggi kebebasan dan kebersamaan. Dan atas dasar itu pula, kami disini tidak terikat oleh apapun, termasuk ikatan suami istri atau pacar. Dan itu bukan berarti kami tidak memiliki rasa cinta. Justru disini kita semua saling mencintai, dan dengan kadar yang sama. Untuk itu merupakan suatu hal yang wajar apabila dalam soal hubungan seks kita bebas melakukannya dengan siapa saja disini. Tergantung siapa yang kita suka, sesuai selera lah...kapan saja dan dimana saja... Sekali lagi, itu sudah menjadi kebiasaan disini..." uufff..sampai terjatuh rokok yang baru saja kuhisap mendengar penuturannya itu.
"Maksudnya, pacar saya ini, bebas disetubuhi oleh siapa saja disini?" tanyaku, dengan nada yang agak tinggi. Tangan pacarku mengelus-elus pahaku sebagai isyarat agar aku tetap tenang.
"Ya begitulah, dan anda juga bebas berhubungan badan dengan siapapun wanita-wanita yang anda anggap menarik disini. Mereka pasti akan dengan senang hati melayani anda. Mau sekaligus dengan dua wanita boleh, tiga bisa, empat juga monggo kalau kuat.." Ah, brengsek, dan tambah kesal lagi saat kulihat reaksi pacarku sepertinya justru tertarik dengan kebijakan gila itu.
"Kedengarannya lucu juga tuh..." bisiknya padaku. Ah, kampret...dianggapnya apa aku ini.
"Oke kalau begitu, saya sarapan dulu... Oh iya, nanti kalian antar kawan-kawan baru kita ini kerumahnya masing-masing" Kerumahnya masing-masing? Maksudnya?
"Mari kalian ikut kami, biar kita antar kerumah baru kalian.." ajak Dono, yang diikuti oleh dua lainnya.
"Udah, ikutin aja..." ajak pacarku, sambil menarik tanganku.
Akhirnya kami mengikuti mereka, berjalan menyusuri taman yang dipenuhi bunga-bunga. Sepertinya wilayah ini memang didominasi oleh taman dengan pohon-pohonya yang tertata rapi. Serta diselingi oleh kolam dengan airnya yang jernih dengan ikan-ikan koi yang berwarna menarik. Bunga teratai juga tak ketinggalan mengambil perannya dalam menambah indahnya kolam.
"Nah yang ini tempat tinggal untuk mbaknya..." ujar komedian bergigi merongos itu kepada kami, setelah tiba disebuah rumah mungil tapi terlihat rapi dan bersih. Yang tentunya dihalamannya juga dihiasi oleh taman bunga. Bahkan pada kusen jendelanya dirambati oleh bunga morning glory yang cukup lebat. Sedang pada temboknya juga dipenuhi oleh tanaman rambat berdaun kecil, hingga temboknya benar-benar tak terlihat.
Saat pacarku memasuki rumah itu, tentu saja aku juga ikut memasukinya. Tapi tangan si Dono itu malah memegang lenganku.
"Eiiittt...tunggu dulu.. Anda juga punya rumah sendiri. Ayo kami antar..." ujarnya.
"Tapi...."
"Sudah tenang aja, nanti juga kamu bisa main kesini. Ayo ikut kami dulu.." ajak Dono, setengah memaksa.
Akhirnya aku mengikutinya, meninggalkan pacarku yang melambaikan tangan sambil tersenyum.
Tak berapa lama kami tiba dirumah yang dimaksud. Bentuknya tak jauh beda dengan yang tadi. Hanya pada jendelanya tak ditumbuhi bunga morning glory.
"Ya sudah, kami tinggal dulu ya...Selamat beristirahat, dan selamat menikmati rumah barunya..." lalu mereka pergi meninggalkanku sendiri dirumah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar