"Halo... Denny?"
"Ya Nad. Ada apa?"
"Lo sama anak-anak ada rencana mau hiking ya?"
"Iya. Kok lo tau?"
"Tadi gak sengaja liat distatus BBM si Vicky, pas gue tanya malah dioper disuruh nanya ke elo. Kok gak ngajak gue sih?"
"Emm... Sori Nad, bukan gitu, kirain lo lagi sibuk. Ini juga mendadak, baru kemaren aja pas lagi nongkrong ama David ama Vicky, tau-tau aja kepikiran buat nanjak, taunya langsung pada antusias nanggepin, ya udah langsung realisasiin aja."
"Gue ikut ya Den, sumpek banget ni gue, udah lumayan lama gak refreshing. Siapa aja yang berangkat?"
"Boleh Nad, nanti sekalian gue pesenin tiket pesawat ke Surabaya kalau emang mau gabung. Rencananya Vicky sama David. Tapi tadi David bilang malah belum tentu jadi ikut karena ada urusan mendadak. Jadi kalau David batal ikut, terpaksa kita berangkat bertiga aja, termasuk lo."
"Ok, gue mau siapin perlengkapan dulu."
"Sekedar tahu Nad, trip kita kali ini lumayan lama dan lumayan jauh, mungkin minggu depan kita baru balik ke Jakarta."
"Oh, no problem. Jadi kapan kita berangkat?"
Suara mesin mobil avanza berwarna hitam terdengar menderu memasuki jalanan perbatasan wilayah Kabupaten Situbondo yang siang itu terlihat lengang. Mobil yang belum lama disewa dari kota Surabaya itu berisi tiga orang penumpang, dua laki-laki dan satu perempuan.
Mereka adalah Denny Sumargo, Vicky Nitinegoro dan Nadine Chandrawinata. Tiga presenter sebuah program wisata-petualangan disebuah salah satu stasiun TV swasta yang cukup terkenal berjudul My Trip My Adventure. Namun perjalanan mereka kali ini tidak terkait program acara itu, karena saat ini program My Trip My Adventure sedang dalam masa break. (ketika sebuah program mulai mengalami penurunan rating yang signifikan, maka program tersebut akan mulai digantikan progam lain yang lebih segar atau akan dilakukan masa break sejenak, dan akan kembali tayang suatu saat nanti).
Sebuah program memang bisa saja dilakukan break sewaktu-waktu, namun sebuah jiwa petualang yang ada dalam diri manusia tentu tidak bisa dipaksa istirahat begitu saja, dan ketika gejolak jiwa petualang ini mulai datang, seseorang akan mencari sebuah tempat pelampiasan untuk melepaskan adrenalinnya.
Seperti halnya mereka bertiga saat ini, walau saat ini perjalanan mereka sedang tidak berhubungan dengan program acara My Trip My Adventure, tapi tetap berhubungan dengan sebuah petualangan. Petualangan yang panjang, karena tujuan yang mereka tuju saat ini adalah Gunung Argopuro, gunung dengan pendakian terpanjang sepulau Jawa.
Gunung Argopuro atau disebut juga "Argopura" adalah gunung api yang terletak di Jawa Timur, tepatnya di perbatasan kabupaten Probolinggo, Situbondo, Jember dan Bondowoso.
Argopuro memiliki arti "Argo=Gunung" dan "Puro=pura" atau berarti "Pura di atas gunung dan merupakan gunung yang sudah tidak aktif lagi.
Gunung Argopuro memiliki ketinggian 3.088 mdpl. Termasuk dalam kawasan deretan "Pegunungan Yang" di Jawa Timur. Secara geografis gunung Argopuro berdiri di antara kedua gunung yang memiliki peringkat khusus di Indonesia, yakni Gunung Semeru (puncak tertinggi di Jawa) dan Gunung Raung (trek ter-extreme di Jawa).
Jika Semeru dan Raung adalah gunung yang ber-peringkat "ter", maka Argopuro juga demikian adanya, Gunung Argopuro berperingkat sebagai gunung dengan jalur pendakian terpanjang di pulau Jawa.
Gunung Argopuro masuk dalam pengawasan dan pengelolaan Sub BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) wilayah Jember. Spot alam yang ada selama pendakian gunung Argopuro tidak kalah indah dengan gunung-gunung lain seperti Gunung Merbabu atau Gunung Semeru. Bahkan Argopuro merupakan salah satu gunung dengan pemandangan terindah di Jawa.
Gunung Argopuro mempunyai spot savana yang luas nan indah, puncak yang memiliki historys dan danau hening yang dinamai "Danau Taman Hidup". Gunung Argopuro mempunyai 2 jalur pendakian yaitu Baderan di Situbondo dan jalur Bremi di Kab. Probolinggo. Kebanyakan para pendaki memulai perjalanan dari baderan dan mengakhirinya di Bremi atau sebaliknya. Sepanjang perjalanan pendakian, para pendaki akan disuguhi pemandangan menakjubkan dari indahnya alam Argopuro.
Terutama spot yang dinamakan Cikasur, sebuah savana luas yang menjadi tempat favorit bagi mereka yang berkunjung ke Argopuro. Disaat pagi pendaki akan disuguhi sunrise berhias kabut tipis yang melayang dan berlatar suara kicau burung, kokok Merak dan ayam hutan yang saling bersahutan, akan membuat hati tenang siapapun yang menyaksikan. Bahkan jika beruntung pendaki bisa melihat kawanan merak yang sedang mencari makan atau rusa dan kancil yang berlarian.
Meskipun dalam riwayatnya cikasur adalah bekas landasan terbang pada zaman Jepang dan mempunyai cerita mengerikan tentang pembantaian para romusha, namun tak bisa menghalangi dan menutupi keindahan cikasur untuk dinikmati para pendaki. Disini para Pendaki tak akan kekurangan air, karena di cikasur melimpah air dari sebuah sungai kecil berair bening dan segar.
Dipuncaknya gunung Argopuro adalah bekas Kawah yang telah mati, bau belerang masih sangat terasa. Puncak ini berbentuk punden berundak semacam tempat pemujaan. Puncaknya ada tiga yakni Puncak Rengganis, Puncak Argopura, dan Puncak Arca. Puncak tertingginya berada di puncak Argapura.
Pada puncaknya terdapat sisa-sisa bangunan kuno reruntuhan candi-candi tertinggi di jawa yang diyakini sebagai petilasan Dewi Rengganis yang menjadi legenda yang masih menjadi misteri di Argopuro.
~ ¤ ¤ ¤ ~
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh dari Surabaya. Mobil yang mereka tumpangi kini sudah memasuki wilayah Besuki, dan mulai merayap ke arah desa Baderan, basecamp awal pendakian Argopuro. Hari sudah beranjak malam ketika mereka bertiga sampai di kantor BKSDA desa Baderan yang sekaligus dijadikan pos perizinan pendakian.
“Guys kita sudah sampai basecamp. Sekarang kita tinggal ngurus izin, habis itu baru kita bisa lempengin badan, udah pada pegel kan?” ucap Denny sambil merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku
“ Habis itu cari makan dulu ya. Dah pada demo ni cacing dalam perut,” ujar Vicky.
“Ah lo mah makan mulu yang dipikirin,” sambar Nadine.
“Emang lo gak laper?”
“Laper sih,” jawab Nadine sambil memeletkan lidahnya.
“Iya-iya, habis ini kita isi tenaga. Tapi masukin dulu gear kita kedalam, habis ngurus izin kita cabut makan. Lalu kita tidur, ingat kita harus hemat tenaga dan jaga kondisi badan. Besok perjalanan kita bakal panjang.”
“Siaaapp…” seru Vicky dan Nadine hampir bersamaan.
~ ¤ ¤ ¤ ~
Matahari belum juga lama menampakkan dirinya. Suara kokok ayam jantan milik warga desa Baderan juga sesekali masih saling bersahutan. Tapi tiga anak muda petualang dengan tas carier besar dipunggungnya sudah sibuk untuk bersiap memulai perjalanan.
"Teman-teman, udah siap jalan? Udah pada mandi dan sarapan kan? Ingat, perjalanan kita bakal lumayan panjang dan lama. Mungkin empat sampai lima hari kita bakal tinggal di gunung. Tapi kita gak perlu mikirin hal itu, sebab karena alasan itulah kita ke sini. Jadi kita nikmatin aja. Ingat kita lagi gak syuting My Trip My Adventure, gak ada kru lain disini yang akan slalu memberi pertolongan, disana kita hanya bertiga, karena itu kita harus saling jaga, jangan sampai ada yang tertinggal. Kita naik bareng, turun juga harus bareng," ujar Denny yang mereka tunjuk sebagai leader, memberikan pengarahan dengan bersemangat. Sedangkan Vicky dan Nadine nampak mendengarkan dengan serius.
"Gimana soal air Den, lo yakin cukup kita cuma bawa air segini," tanya Vicky.
"Soal air gak perlu khawatir, di gunung ini banyak sumber mata air yang bisa kita ambil nanti. Oh ya, target camp kita hari ini adalah Cikasur. Kalau gak ada halangan mungkin sore nanti kita sudah sampai sana. Jelas semua?" ucap Denny yang diikuti anggukan kepala Vicky dan acungan jempol dari Nadine.
Dan perjalanan panjang sebenarnya mereka pun dimulai.
~ ¤ ¤ ¤ ~
Hangatnya sinar matahari yang bersinar cerah, dan kicau burung-burung liar di pagi itu mengiringi langkah-langkah mantap dari tiga anak muda yang lincah melibas setiap tanjakan terjal dan rimbunnya hutan di jalur pendakian Gunung Argopuro.
Sepanjang perjalanan itu, mata mereka dimanjakan indahnya pemandangan rangkaian tebing dan barisan perbukitan yang menghijau dikejauhan. Keindahannya yang melenakan seolah menjadi pengobat ketika kaki mulai terasa letih melangkah. Maka tak salah jika banyak yang mengatakan bahwa track pendakian Argopuro adalah surganya para pendaki.
Ketika Matahari mulai terik diatas kepala, ritme langkah merekapun mulai mengurangi kecepatan. Keringat yang mengucur deras seakan memaksa mereka untuk mengambil istirahat, sekaligus mengisi kembali tenaga didalam badan dengan makan siang.
Tak terkecuali Nadine yang siang itu mengenakan kemeja flanel kotak-kotak yang ia lapis tank top berwarna putih didalamnya, serta bercelana panjang lapangan, juga nampak terlihat mulai kepayahan bersimbah peluh. Tiga kancing atas kemeja sengaja ia lepaskan untuk sedikit mengurangi panas, memperlihatkan bagian atas dadanya yang mengkilap basah akan derasnya keringat yang keluar.
Akan tetapi seterik apapun matahari menyengat kulitnya maupun sederas apapun keringat membanjir ditubuhnya seakan tak sedikitpun mengurangi pesona ayu parasnya. Kulitnya yang mulai terlihat coklat malah semakin menambah kesan eksotis dan anggun pada diri dara berusia tigapuluh satu tahun ini.
Posisi mereka saat ini baru sampai dipos dua atau pos sumber mata air dua. Dibawah pohon yang cukup rindang mereka beristirahat. Mereka mulai menyantap bekal yang mereka bawa dari Baderan. Selain untuk menghemat waktu, tak perlu membongkar tas untuk mempersiapkan peralatan memasak, juga karena target mereka hari ini masih sangat jauh.
"Gilak, lumayan juga ya treknya," seru Vicky sambil menenggak sebotol air setelah menghabiskan sebungkus makanannya.
"Ya ginilah, namanya juga naik gunung. Kalau mau turun ya kapan-kapan kita ke pantai sambil nyelem ke laut, haha" canda Denny menanggapi Vicky.
"Masih jauh Den?" tanya Nadine.
"Apanya? Puncak? Dua hari lagi kita sampai sana. Tapi kalau target kita ngecamp gak lama lagi kok. Mungkin menjelang malam kita udah sampai."
"Hahaha..." tawa Vicky yang merasa ucapan Denny sedikit lucu dengan menyebut perjalanan 5-6 jam dengan kalimat "gak lama lagi".
"Kita nikmatin aja, kalau kita menikmati perjalanan ini, tau-tau ntar juga nyampe," Denny menambahkan.
"Bener tu Nad, nikmatin aja. Ntar kalau lo kecapekan gue gendong deh. Asal ada upahnya, hehe," celoteh Vicky sambil melirik belahan dada Nadine yang sedikit menyembul dari balik tank topnya.
"Dasar stres..." sahut Nadine sambil melemparkan botol air mineral yang telah kosong ke arah Vicky.
"Udah, jangan mikir aneh-aneh di gunung. Yuk kita lanjutin jalan lagi. Makin lama kita istirahat, makin tubuh kita kembali dingin, dan makin terasa berat pula badan buat dipake jalan lagi," Denny mengajak teman-temannya kembali bersiap.
"Tau ni anak kalau mulai sedeng, otaknya agak geser," ketus Nadine sambil kembali mengenakan kemeja panjangnya yang tadi saat beristirahat memang ia lepas agar gerah sedikit berkurang.
"Ah lo gitu aja marah," tanggapan Vicky sambil cengengesan.
"Udah udah, jangan bercanda terus. Yuk cabut, sampahnya jangan lupa kumpulin kita bawa turun lagi."
"Siap bosss."
~ ¤ ¤ ¤ ~
Perjalanan kembali mereka lanjutkan. Beberapa rintangan dan beratnya jalur dengan tanjakan-tanjakannya yang menantang mereka daki dengan bersemangat, setelah badan terasa kembali segar setelah baru saja mengisi ulang tenaga. Sampai tak terasa perjalanan selama berjam-jam telah mereka tempuh sambil beberapa kali beristirahat.
Keluar masuk hutan telah mereka lalui. Dari hutan lebat sampai beberapa padang savana luas. Termasuk pos alun-alun kecil dan pos alun-alun besar telah mereka lewati tanpa berhenti karena tengah mengejar waktu untuk sampai ke target camp, sebelum malam tiba.
Karena memang tidak dianjurkan melakukan trek malam di Argopuro. Selain diyakini oleh warga sekitar akan gangguan gaib yang mungkin muncul, juga karena habitat dan ekosistem di gunung ini masih sangat murni dan terjaga, sehingga trek malam akan sangat rawan bertemu hewan-hewan buas.
Namun hingga panasnya terik matahari berubah hangat, berganti dengan segurat garis merah di langit barat, mereka belum juga sampai ditempat yang dituju.
"Den, udah seharian ni kita jalan, lo yakin trek kita bener. Coba lo cek lagi GPS-nya" Vicky mengutarakan keresahannya.
"Udah tenang aja, kita dijalan yang bener kok. Siapin aja headlamp kalian. Kita akan trek malam," Denny menjawab.
"Lo yakin," Vicky menambahkan.
"Ni lo cek sendiri, gak lama lagi kita sampai," jawab Denny sambil memberikan GPS yang ia bawa kepada Vicky.
Mereka bertigapun mulai menyiapkan headlamp dikepala mereka, karena garis cahaya merah diufuk barat tadi, kini perlahan mulai tenggelam berganti pekat malam yang menelan semesta.
Suara kicau burung disiang hari telah berganti suara jangkrik dan belalang malam yang seolah membantu mengusir senyap dimalam itu. Batang-batang pohon besar yang berdiri menjulang tampak seperti kumpulan raksasa yang mengintai dari sela kegelapan. Beruntung langit saat ini cerah tanpa sedikitpun noda awan, memperlihatkan pesona milyaran bintang yang bertaburan dilangit malam.
Cahaya senter dikepala mereka menyorot jalanan setapak yang mereka lalui, dengan urutan Denny yang berjalan paling depan, Nadine ditengah, dan Vicky berjalan sebagai sweeper dibelakang. Mereka bertiga melangkah dengan hati-hati, karena selain menyorot jalanan mereka juga harus menghindari daun beracun yang akan menyengat saat tersentuh kulit, yang banyak tumbuh disepanjang track Argopuro.
"Bentar! Tali sepatu gue lepas," Nadine mendadak berhenti lalu merunduk membetulkan tali sepatunya.
"Ya udah buruan kita tungguin," ujar Vicky sambil menyalakan sebatang rokok, yang kini berdiri berada sekitar tujuh meter didepan Nadine.
"Yuk udah.." Nadine pun kembali bersiap melanjutkan perjalanan setelah yakin tali sepatunya telah terikat kencang. Kedua temannya juga telah membalik badan melanjutkan langkah, hingga tanpa sadar Nadine kini berada di urutan paling belakang.
Namun baru saja Nadine akan mulai melangkah tiba-tiba terdengar suara orang berdehem dibelakangnya. Dengan cepat Nadine menoleh kebelakang, tapi tak didapati seseorangpun disana. Padahal dia yakin tadi mendengar suara itu dengan sangat jelas. Diarahkannya senter kearah sudut pepohonan dan semak dikejauhan, tapi tetap terlihat tak ada siapa-siapa.
"Woi Nad, buruan! Lo ngapain?" Suara Vicky dari depan menyadarkan Nadine dari rasa penasarannya.
"Iya bentar... Tungguu..." Nadine menjawab, lalu mempercepat langkah mengejar kedua temannya, sambil sesekali menoleh kebelakang.
Perasaannya mengatakan seperti ada sesuatu sedang mengawasi mereka. Tapi segera dibuang pikiran itu jauh-jauh. Dia teringat ucapan Denny, "jangan mikir aneh-aneh di gunung". Perjalananpun mereka lanjutkan kembali.
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh dan waktu yang tak bisa dibilang sebentar. Ketiga petualang itu akhirnya sampai di sebuah savana yang sangat luas. Lebih luas dari savana-savana yang telah mereka lalui sebelumnya.
Meski gelap mendominasi namun sinar dari kerlip bintang-bintang dilangit yang sedikit memberikan cahayanya, seolah memberitahukan bahwa savana luas yang konon pernah dijadikan landasan terbang oleh jepang pada masa penjajahan ini akan terlihat sangat elok saat dipandang esok hari nanti.
"Yap kawan-kawan, kita udah sampai di Cikasur," Denny membuka suara menginfokan teman-temannya.
"Fiuhh.... Akhirnya sampai juga," Vicky berkata lega sambil menyeka peluh dikeningnya.
"Yaudah, ayo langsung aja kita cari tempat buat diriin tenda, biar bisa lebih cepet nglemesin kaki," ucap Denny sambil melangkah maju mencari spot yang cocok untuk mendirikan tenda.
~ ¤ ¤ ¤ ~
Tenda telah didirikan, dan hidangan masakan Nadine pun sudah siap disajikan. Nasi putih yang mengepul hangat dengan lauk telur goreng, mie, dan sarden, serta ditemani tiga cangkir teh panas telah tersedia. Seakan menjadi makanan ala bintang lima saat dinikmati dialam bebas dan dalam keadaan kelelahan seperti malam ini.
Bersinarkan lampu tenda elektrik yang digeletakkan diatas rerumputan dan dibawah langit malam dengan kerlip cahaya bintang-bintang, setelah mengganti pakaian dengan baju yang kering, bersama-sama mereka menyantap hidangan itu dengan lahap dan nikmat, meski tanpa ditemani hangatnya api unggun.
Mereka sadar tak memungkinkan membuat api unggun ditempat itu untuk sekedar menghangatkan badan, karena permukaan savana Cikasur adalah hamparan rerumputan yang tebal, jadi akan sangat berbahaya menyalakan api disana.
"Enak juga ya masakan Nadine," ujar Denny sambil menyendok nasi dipiringnya.
"Iya dong, siapa dulu yang masak..." Nadine membanggakan diri.
"Ini sih bukan karena makanannya yang enak. Tapi perut lo aja yang udah kelaperan," sela Vicky diantara kunyahan dimulutnya.
"Yee... Lo mah gak bisa liat orang seneng dikit. Awas ya besok gak gue masakin lagi, makan aja tu rumput," gerutu Nadine sambil memonyongkan bibir.
"Waduh jangan gitu dong neng cantik, masakan lo enak kok, kan cuma becanda. Ni buktinya nasi dipiring gue aja udah ludes. Pokoknya lo calon mantu idaman mertua dah. Cuma sayang aja lom laku," celoteh Vicky mendengar ancaman Nadine.
"Haha... Sukur lo, udah gak pa-pa besok lo gue cariin aja selada air. Banyak kok di sungai Cikasur ini, lo makan deh tu selada sampe kita pulang," Denny menambahi.
"Sial lo Den, lo pikir gue kambing makan selada doang berhari-hari."
"Hahaha... Ya udah, udah makin larut ni. Mending kita segera istirahat aja dalam tenda. Perjalanan besok gak kalah jauh daripada hari ini, jadi kita mesti siapin tenaga. Lagian angin lembah juga mulai dingin," ucap Denny menghimbau teman-temannya, karena perjalanan ke puncak memang masih sangat jauh.
"Kalian pada duluan aja, gue beresin ini dulu, lagian gue masih pengen liat bintang," Nadine menanggapi.
"Yaudah sini gue bantuin," Denny menawarkan bantuan.
"Udah gak usah, kelar ini gue nyusul masuk kok. Udah lo berdua masuk aja. Lagian lo berdua kan yang bawa carier dan beban yang lebih berat."
"Ya udah tapi jangan lama-lama diluar, sekali lagi ingat perjalanan kita besok masih panjang."
"Oke deh kapten."
Denny dan Vicky pun akhirnya mendahului Nadine kedalam tenda karena lelah dan kantuk mereka seakan tak bisa lagi tertahankan. Sementara itu selesai membereskan kembali alat-alat memasak, sejenak Nadine menghempaskan tubuhnya keatas rerumputan.
Tebalnya rumput alang-alang seolah membuat Nadine serasa tengah berbaring diatas permadani yang sangat empuk.
Malam ini memang nampak sangat istimewa. Meski tak ada sang rembulan, namun cahaya milyaran bintang di angkasa sana adalah pemandangan yang lebih dari cukup untuk dinikmati dimalam ini. Apalagi Milky Way yang tak disembarang tempat bisa dilihat, bisa dengan jelas dinikmati disini. Nadine memandang jauh menembus langit malam. Pikirannya terasa begitu tenang.
Namun angin yang mulai berhembus sangat dingin perlahan mengusik Nadine yang tengah menikmati malam, padahal malam itu dia sudah mengenakan jaket gunung yang cukup tebal dan sarung tangan. Merasa telah cukup menikmati malam, dan angin beku juga bertiup semakin kencang, maka akhirnya Nadine memutuskan untuk segera masuk kedalam tenda menyusul kedua temannya.
Namun baru saja Nadine berdiri. Matanya menangkap sesuatu yang tak biasa. Dalam remang malam, meski hanya disinari cahaya bintang, dikejauhan dia melihat sesosok bayangan hitam yang tengah berjalan. Dia yakin itu bukanlah binatang, karena sosok itu berjalan tegak layaknya manusia. Namun semakin ia pandang, sosok bayangan itu semakin lama semakin samar, lalu kemudian menghilang.
Nadine mengusap-usap matanya, namun sosok itu benar-benar telah menghilang. Nadine kembali meneruskan tujuan awalnya tadi yaitu masuk kedalam tenda dan menganggap apa yang baru saja ia lihat adalah halusinasinya karena efek terlalu lelah setelah seharian berjalan.
"Udah puas ngliat bintangnya," sapa Denny yang ternyata belum tidur.
"Udah. Dingin banget diluar," jawab Nadine sambil memposisikan dirinya kedalam sleeping bag. Posisi mereka saat ini, Denny berada diujung, Vicky ditengah, sedangkan Nadine mau gak mau mendapat tempat disamping Vicky, yang berarti diujung juga, berseberangan dengan Denny.
"Dingin Nad? Sini gue kelonin. Walau lo bau asem, seharian gak mandi, gak apa-apa dah," sela Vicky yang ternyata juga belum tidur.
"Enak aja, mending lo kelonin sana tu Denny."
"Buset, lo kira gue hombreng kaya pasangan heboh Andre sama Radit anak TransTV itu, lo suruh ngelonin batang," sambar Vicky yang modusnya gagal.
"Gue juga masih mending dikelonin sapi, daripada lo kelonin. Lagian napa sih lo cowok ngambil posisi ditengah-tengah?" seru Denny.
"Bodo ah, yaudah mending gue molor," Vicky semakin menenggelamkan tubuhnya ke dalam kantung tidur.
Canda dan tawa ketiga sahabat itu berakhir saat alam mimpi mengambil alih kesadaran mereka. Namun tidak dengan Nadine, gadis itu masih terjaga, memikirkan kejadian-kejadian aneh yang tadi baru ia alami. Dari suara berdehem saat dihutan, sampai ketika ia melihat sosok bayangan belum lama tadi.
Suara angin kencang diluar tenda, menerpa batang-batang rumput yang saling bergesek menimbulkan suara berdesir bak air hujan yang turun dengan deras. Seiring larutnya malam, Nadine pun akhirnya terenggut dalam kelelapan. Namun sebelum ia terbuai dalam tidurnya, hatinya mengatakan. Ada sesuatu yang "salah".
Tak terasa fajar mulai menyingsing di bumi Argopuro. Perlahan menyingkap tabir gelap bergantikan semburat jingga sinar surya yang mencuat dari balik gugusan bukit dan sela pepohonan di ufuk cakrawala timur.
Disela kabut tipis yang mengambang di udara, dua ekor anak kancil liar tengah asik saling berkejaran, lincah kaki-kaki kecilnya menampar bulir-bulir embun bening yang manja bergelayut di ujung pucuk rumput alang-alang yang memenuhi pelataran padang savana Cikasur. Suara riuh koak merak serta kokok ayam hutan seakan saling bersahut dengan merdunya nyanyian gelatik dan murai yang semakin menambah semaraknya suasana pagi.
Dinginnya udara yang serasa menusuk kulit mulai membangunkan Nadine dari tidurnya yang memang tak terlalu nyenyak sejak semalam. Dilihatnya Vicky masih lelap tidur dalam kepompong sleeping bag di sampingnya, sedangkan Denny sudah tak terlihat lagi ada ditempatnya.
Dengan kepala yang terasa sedikit agak pening, perlahan Nadine beranjak bangun. Udara yang seakan merasuk ke dalam tulang, langsung menyergap ketika ia membuka resleting pintu tenda. Diluar sana terlihat Denny sedang melakukan gerakan-gerakan senam kecil, untuk sekedar menghangatkan badan.
Tak habis pikir Nadine pada pria satu ini. Disaat dirinya yang saat ini tengah menggigil karena dinginya udara yang hampir mencapai titik beku, pria satu itu malah dengan cueknya berolah raga ringan diluar hanya dengan kaos oblong dan celana pendek.
"Hei Nad, udah bangun?" sapa Denny ketika melihat Nadine beranjak keluar tenda.
"Gila lo ya Den, udara dingin gini cuma pake t-shirt kaya gitu."
"Haha... Biar dingin ini udara yang kita cari Nad, segar dan sehat, yang kita gak perlu takut-takut buat menghirupnya dalam-dalam, dan tentunya gak akan bisa kita dapat di kota," jawab Denny sambil tersenyum.
"Terserah lo aja deh," ucap Nadine sambil semakin erat melipat tangan di dada.
"Kopi?" tawar Denny sambil menghampiri rebusan air yang dimasaknya dengan kompor kaviar kecil yang nampak sudah mendidih.
"Boleh."
"Lo kenapa Nad, lesu amat kaya bukan Nadine yang biasa," tanya Denny sambil menuangkan air panas ke sebuah cangkir yang berisi serbuk kopi sachet.
"Gak pa-pa cuma kurang nyenyak tidur aja semalam."
"Yakin gak pa-pa. Kalau emang gak enak badan..."
"Beneran gue gak pa-pa Den, lo tau gimana gue kan. Kalau cuma pusing-pusing dikit nanti juga ilang, pokoknya kita lanjutin dan selesaiin pendakian ini," sela Nadine memotong ucapan Denny, seolah tahu kearah mana ucapanya berujung.
"Oke. Tapi kalau lo emang udah gak kuat nerusin, langsung bilang aja, gak ada gengsi-gengsian, ingat kita kesini buat fun," lanjut Denny sambil mengulurkan secangkir kopi hangat.
Nadine hanya diam sambil menyeruput kopi hangat ditangannya. Cukup mujarab untuk sedikit mengusir rasa dingin yang menyelimuti seantero punggung pegunungan di ketinggian diatas 2200 mdpl ini.
Sambil menghirup segarnya aroma kopi, pandangan mata Nadine menyapu pemandangan sekitar. Dilihatnnya dengan mata kepalanya sendiri pemandangan suasana pagi yang begitu mempesona, seperti tak bisa ia lukiskan dengan kata.
Nadine berdiri, menatap sunrise yang menggeliat dari balik peraduan dan mulai membagi setiap binar cahayanya pada semesta. Dan secara alamiah telah membuat naluri exploringNadine bangkit. Membuatnya merasa segala keindahan ini tak cukup hanya dilihat dengan mata dan disimpan dalam memory otaknya. Melainkan juga harus diabadikan dalam jepretan sebuah kamera, agar segala keindahan ini tetap bisa nikmati bahkan ketika perjalanan ini telah selesai.
"Den gue jalan-jalan bentar ya, mau iseng motret-motret sekitar," ujar Nadine pada Denny.
"Oke. Tapi jangan jauh-jauh, dan juga jangan lama-lama. Bentar lagi habis sarapan kita lanjutin perjalanan."
"Sipp..." jawab Nadine sambil mengacungkan jempolnya lalu beranjak kembali masuk ke dalam tenda mengambil kamera dan dengan bersemangat segera melesat pergi menyusuri savana, seakan lupa dengan pening yang sedari tadi menyerang kepalanya.
~ ¤ ¤ ¤ ~
Tangan Nadine tak hentinya menekan tombol shutter di kameranya. Mengabadikan setiap jengkal keindahan yang seakan sengaja diciptakan oleh Penciptanya untuk bisa ia nikmati dan rasakan. Bagai lukisan mahakarya raksasa yang dilukis dalam sebuah kanvas luas savana Cikasur.
Bak fotografer alam liar profesional, dengan melangkah pelan-pelan diatas rumput ilalang yang menguning diterpa surya, Nadine tampak asik menikmati mengambil berbagai gambar pemandangan alam termasuk beberapa satwa liar yang berada dalam jangkauan kameranya.
Kini mata Nadine tertuju dan tertarik pada dua ekor merak liar yang sedang mencari makan. Burung eksotis liar berbulu indah yang tak mungkin bisa dia lihat disembarang tempat. Dengan bergerak mengendap-endap Nadine berjalan mendekati sepasang satwa cantik itu. Ujung jari telunjuknya tak ia lepaskan dari tombol shutter kamera. Bersiap menjepret dan mengambil gambar burung-burung itu kapanpun juga.
Namun semakin dekat Nadine mengendap melangkahkan kakinya, semakin pula Merak liar itu merasakan kehadirannya, dan dengan perlahan pula Merak-merak itu mulai bergerak menjauh.
Rasa penasaran Nadine membuatnya tak mau kehilangan momen ini. Posisinya belum cukup untuk menangkap gambar dua burung indah itu. Dengan gerakan bak kucing yang tengah mendekati mangsa Nadine terus mengikuti kemana dua ekor merak itu bergerak. Dan tanpa disadarinya, posisi Nadine kini mulai menjauhi savana, memasuki hutan belantara.
Beberapa saat setelah memasuki hutan Nadine mulai kehilangan jejak dua unggas itu. Matanya mencari ke segala arah tapi memang harus diterima kalau dia memang sudah kehilangan jejak dua burung penghuni Cikasur itu. Dengan rasa sedikit kecewa Nadine akhirnya menyerah untuk mendapatkan gambar burung-burung itu.
Setelah menyurutkan niat dan merasa sudah terlalu lama meninggalkan kawan-kawannya Nadine berniat kembali ke tenda, karena tahu Denny dan Vicky pasti sudah menunggunya. Tapi hal tak terduga kini kembali membuatnya mengernyitkan dahi. Arah darimana dia datang seperti menghilang. Sekelilingnya seperti berubah lebih lebat daripada saat dia datang kesini tadi. Nadine kehilangan arah.
Sambil tetap mencoba berpikir tenang, Nadine mencoba mencari kembali jalan keluar dari hutan ini. Dalam pikirannya pasti jalan keluar tak terlalu jauh dari tempat ini, karena dia merasa belum terlalu jauh masuk ke dalam hutan. Nadine mulai melangkah setapak demi setapak menyusuri lembabnya hutan yang dirasanya semakin sunyi.
Suara kicau burung-burung liar yang tadi riuh bersahutan kini mendadak hilang tak terdengar. Suasana terasa semakin senyap seiring langkahnya, yang entah semakin keluar atau semakin dalam memasuki hutan. Bahkan kini sinar matahari seakan semakin tak mampu menembus lebatnya dedaunan pohon-pohon raksasa di hutan tempatnya berada kini. Sisa kabut yang masih mengambang dipadu dengan semakin gelap dan heningnya hutan, seakan baru membuat Nadine tersadar. Dia telah tersesat.
Nadine berusaha mulai mengingat dengan cepat tentang ilmu survival yang pernah dia dapatkan sebelum menjadi presenter My Trip My Adventure tentang bagaimana bertindak ketika tersesat di alam liar.
Nadine berhenti sejenak, menghirup nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dia mulai memutar ulang memory tentang bagaimana dan arah darimana tadi dia bisa sampai disini. Matanya menerawang mengorientasi medan sekitar, mencari sedikit petunjuk untuk bisa keluar dari hutan ini.
Tapi semakin dia mengenali tempat ini semakin pikiran Nadine bertambah resah. Karena dia yakin kalau hutan ini berbeda dengan hutan yang tadi dia masuki, dan secara pelan tapi pasti, rasa takut kini mulai menggerayanginya.
Nadine kembali melangkah dengan hati-hati dan berharap segera menemukan jalan keluar. Berusaha keras membuang segala pikiran negatif yang mulai menghantui dirinya. Tapi belum sempat kakinya jauh melangkah dari tempatnya semula, langit yang tadi cerah mendadak berubah cepat menjadi kelabu, lalu perlahan rintik-rintik air menetes dari langit.
Nadine harus menelan perasaan aneh yang kembali mendatanginya. Karena dilihatnya sedari pagi tadi, langit dan cuaca nampak bersahabat, namun kini berubah dengan sangat cepatnya menjadi mendung gelap yang bergulung-gulung. Tapi belum hilang rasa terkejutnya, Nadine sudah dikagetkan suara halilintar yang membelah angkasa, lalu diikuti hujan deras yang semakin lama, turun semakin bertambah lebat.
Diiringi kilat dan suara petir yang sambar menyambar di angkasa, dan hujan yang datang bak air bandang, sambil menahan rasa panik, Nadine buru-buru kembali meneruskan langkahnya. Hampir dia tak mampu lagi melihat sekitar karena derasnya hujan yang datang.
"DENNNYYYY.....! VICKKYYY..., hah..hah..hah!"
"DENNNYYYY.....! VICKKYYY...," teriak Nadine sekuat tenaga, memanggil kedua teman sependakiannya.
Namun suaranya seakan redam ditelan suara deras hujan yang semakin menggila. Sambil melindungi kameranya dibalik jaket yang ia kenakan, Nadine terbata melangkah, seakan tak tahu arah. Dengan hampir putus asa karena jalan keluar yang tak kunjung ditemukan, ditambah keadaan sekitar yang nampak semakin sulit terlihat karena pekatnya awan hitam, yang dipikirkan Nadine saat ini hanyalah terus berjalan, karena kalau boleh jujur kini rasa takut sudah menguasainya. Dan dia ingin segera meninggalkan tempat ini, berharap keajaiban datang, agar dirinya segera menemukan jalan keluar secepatnya.
Semakin jauh Nadine melangkah semakin dia kehilangan pengamatan dan orientasi medan. Ditambah keadaan yang semakin mencekam dan rasa panik yang menguasai, Nadine nekat terus melanjutkan perjalanan sambil menahan terpaan derasnya jutaan tetes air hujan yang terus menghantam.
Hingga pada saat ketika kaki kanan Nadine tak sengaja terpeleset menginjak tepian jurang perdu yang tak terlihat karena tertutup semak belukar, membuat Nadine langsung kehilangan keseimbangan.
Sekuat tenaga Nadine mencoba menyeimbangkan badan, namun sepertinya sia-sia. Derasnya hujan membuat licin medan yang ia jadikan pijakan. Maka tak ayal sedetik kemudian tubuh Nadine terpeleset terjungkal jatuh ke jurang.
Nadine jatuh terguling turun, badanya berputar, terus menghantam tumbuhan semak perdu yang tumbuh diarea tanah miring yang berkedalaman sekitar dua puluhan itu. Tubuhnya baru berhenti setelah mencapai dasar jurang. Badan sintalnya diam tak bergerak disana. Nadine tergeletak kehilangan kesadaran.
~ ¤ ¤ ¤ ~
Ujung jari gadis itu bergerak-gerak, menandakan bahwa tubuhnya masih dalam keadaan bernyawa. Lalu tak berselang lama matanya yang bundar perlahan membuka, kesadarannya kini mulai kembali.
Pelan-pelan dia mencoba untuk membangkitkan badan. Sambil terduduk ia memegangi keningnya. Kembali mengingat hal apa yang telah menimpa dirinya saat ini. Saat memori dalam otaknya mulai terkumpul, perlahan ia mulai mengingat apa yang terjadi.
Keadaannya kini terlihat sangat kacau. Beberapa luka lecet menghiasi beberapa bagian kulit tubuhnya yang masih terbungkus jaket gunung yang juga sudah robek di kanan kiri. Bahkan kameranya sudah lenyap entah tersangkut dimana. Hujan tampaknya telah berhenti, namun sepertinya hal itu tak akan banyak membantu Nadine untuk berbuat apa selanjutnya.
Sekuat tenaga Nadine mencoba berdiri. Dengan sedikit terhuyung dia berpegang pada batang pohon-pohon kecil yang tumbuh disekitarnya. Pelan-pelan Nadine mulai berjalan tertatih-tatih, pergelangan kaki kanannya terasa sedikit nyeri. Mungkin terkilir ketika terjatuh tadi.
Dan kini, entah kemana arah yang akan dia akan tuju, pikirannya pun masih berkecamuk tak menentu. Yang ia pikirkan saat ini hanya terus berjalan. Dirinya semakin dicekam dalam rasa ketakutan.
"TOLOOONGGG...! DENNY... VICKY..." Suara Nadine terdengar menggema diseluruh penjuru hutan. Namun tak ada tanggapan dari siapapun disana.
Meski hujan telah berhenti, namun terlihat mendung tebal masih menyelimuti. Dan dari setitik sinar matahari yang sedikit terlihat dari persembunyiannya di balik awan hitam, telah nampak surya semakin bergeser condong kearah barat. Yang berarti mengisyaratkan malam akan segera menjelang.
Nadine semakin bingung dan putus asa dengan keadannya sekarang. Karena dengan keadaannya saat ini yang bahkan belum makan apapun sejak pagi tadi, dia tak yakin bisa selamat melewati malam ini. Badan dan pakaiannya yang basah kuyup, ditambah suhu udara malam di gunung ini, akan membuatnya mati hypotermia dalam waktu yang tak lama.
Ditambah sampai saat ini dia belum juga mendapat tempat berlindung, membuatnya rentan dari serangan hewan buas malam nanti. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang telah mengumpul jadi satu, serasa memenuhi dadanya, membuat Nadine tak mampu lagi membendung air mata yang mulai mengalir dari sela indah matanya.
Namun, sepertinya sebuah keberuntungan besar masih menaunginya. Disela langkah kakinya yang berjalan tertatih, dan diantara rasa putus asa yang ia bawa. Matanya melihat sosok yang ia kenal berada dikejauhan. Sontak dengan cepat, sekuat tenaga Nadine berteriak.
"DENNY....! DENNY....! TOLONGIN GUE... GUE DISINI...!" Teriak Nadine kepada sosok yang terlihat agak jauh didepannya.
Sosok itu menoleh kearah Nadine. Dan terlihat segera bergerak cepat menghampiri posisi dimana Nadine berada. Sampai tak berapa lama orang itu telah sampai ditempat Nadine kini.
"Nad... Lo kemana aja, kita berdua sampai bingung nyariin lo. Lo gak pa-pa kan?" ucap Denny setelah sampai didepan Nadine.
"Den gue takut..., gue..., gue gak tahu kenapa bisa sampai disini," Nadine merasakan kelegaan yang teramat dalam setelah bertemu salah satu temannya. Segera ditubruknya Denny, seolah takut terpisah dengan teman-temannya lagi.
"Udah... Semua baik-baik aja. Lo aman sekarang. Gue udah disini," Denny memeluk erat Nadine, memberikan rasa aman padanya.
"Gue takut Den. Gue ngrasain hal aneh disini."
"Tenang aja, gue udah ada disamping lo. Sekarang udah mau malam, gue udah diriin tenda didekat sini. Lo istirahatin dulu badan lo disana, besok kita baru turun."
"Iya Den."
Denny pun segera memapah Nadine ke tenda yang dia dirikan tak jauh dari sana.
~ ¤ ¤ ¤ ~
Setelah sejenak membersihkan diri disungai yang tak jauh dari sana, mereka segera melanjutkan langkah ke tenda yang ternyata memang tak terlalu jauh dari tempat Nadine tadi ditemukan. Bukan di Cikasur dimana kemarin tenda didirikan.
Jaket Nadine kini sudah tak lagi ia kenakan, karena selain telah rusak, juga karena basah dan akan berbahaya jika terus dipakai. Praktis kini Nadine hanya memakai t-shirt yang bahkan didalamnya sudah tak berlapis apa-apa. Karena sejak kemarin malam Nadine memang sudah tak mengenakan bra, mengikuti kebiasaannya setiap hari yang biasa tidur tanpa bra.
Hingga tak ayal, bentuk puting payudara Nadine sedikit terjiplak dari luar kaosnya.
Sampai tak lama merekapun sampai di tenda yang didirikan Denny ketika matahari benar-benar telah terbenam. Sebuah api unggun segera Denny nyalakan untuk segera menghangatkan badan mereka dari hawa dingin pegunungan.
"Vicky kemana?" Tanya Nadine setelah sedari tadi tak melihat Vicky.
"Vicky gue suruh turun ke bawah buat nyari bantuan, kita berdua khawatir lo gak kunjung ketemu. Jadi kita bagi tugas, Vicky turun nyari bantuan sedang gue lanjut nyari lo disekitar sini," jawab Denny sambil membakar sesuatu diatas api unggun.
"Vicky turun sendirian?"
"Mau gimana lagi."
"Maaf. Gara-gara gue kalian berdua jadi repot. Dan acara pendakian ini jadi berantakan," Nadine menundukkan wajahnya, merasa bersalah.
"Jangan gitu Nad, kita disini sebagai keluarga, saling bantu dan akan saling jaga," Denny mencoba menghibur Nadine agar tak terlalu menyalahkan diri sendiri.
"Tapi tetep aja, gue cuma bisa bikin repot lo berdua."
"Daripada terus nyalahin diri sendiri kaya gitu terus, mending lo makan kelinci panggang ini. Maaf, beras dan makanan serta sebagian besar peralatan kita gue tinggal di Cikasur, dan buat ngambil kesana kayaknya gak memungkinkan ngliat kondisi lo sekarang."
"Gak apa-apa, ini juga udah cukup. Thanks ya Den"
"Gak usah dipikirin."
"Tapi lo gak kaya biasanya nangkap kelinci di gunung. Biasanya di gunung semut aja gak tega buat lo injek."
"Ya mau gimana, namanya juga terpaksa. Udah makan aja, habis itu tidur, besok pagi-pagi kita balik ke Cikasur. Siapa tahu Vicky sama bantuan dari bawah udah ada disana."
"Iya Den, sekali lagi thanks."
Mereka berduapun mulai lahap menyantap kelinci panggang hasil tangkapan Denny. Bercahayakan nyala api unggun yang berkelebat ditiup angin malam, tapi tak mengurangi panasnya yang menghangatkan suasana.
Namun bertepatan dengan selesainya mereka menghabiskan makan malam, rintik-rintik gerimis perlahan kembali mulai turun lagi dari langit. Nyala api unggun yang tadi nampak benderang, kini mulai meredup sebelum akhirnya padam. Denny dan Nadine pun buru-buru berlindung masuk kedalam tenda, menghindar dari gerimis yang bisa membasahi tubuh mereka.
Di dalam tenda, Nadine segera menyeka buliran air gerimis yang menempel dirambut dan kulitnya, disusul Denny yang baru masuk setelah memastikan api unggun benar-benar padam.
"Ni pakai jaket gue," ucap Denny yang melihat Nadine mulai meringkuk, hanya dengan t-shirt lengan pendek tanpa jaket.
"Gak usah Den, pakai aja."
"Gak apa-apa, gue udah biasa dingin, ni pakai," Denny melepaskan jaketnya dan memberikannya pada Nadine. Lalu segera ikut berbaring disebelah Nadine.
"Mending kita pakai, buat selimutan berdua aja," Nadine menyelimutkan jaket yang diberikan Denny ketubuh mereka berdua, meski hanya mampu menyelimuti seadanya.
"Terserah lo lah."
Suara rintik gerimis terdengar berderap menjatuhi tenda. Tak terlalu deras, namun cukup membawa hawa dingin malam yang seakan menembus dinding tenda. Dibawah remang lampu tenda yang mulai kehabisan daya, mereka berdua belum juga bisa memejamkan mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar