Jumat, 11 Desember 2015

Cerita Dewasa Artis Cica dan Ray 2

Malam itu, Ray sedang mampir di apartemen Cicha. Hanya sekedar mengobrol tak tentu arah di ruang tengah. Pukul sebelas malam ketika Ray hendak pulang, Ellen keluar dari kamarnya. Gaun tidur putih tipis dengan dalaman merah menyala. Sangat kontras, naluri lelaki Ray bekerja, ia melirik Ellen yang tengah meneguk air dingin.
“Liatin apa lo?” Tanya Ellen jutek, sambil melirik tajam ke arah Ray. “Jangan mimpi lo bisa ngentot sama gue! Tarif gue mahal! Cowok miskin kayak lo gak bakal mampu bayar gue.”
Ellen menyimpan botol minuman kembali ke kulkas hendak kembali menuju kamar.
“Emang lo tajir?” Ucap Ray, menghentikan langkah Ellen lalu menoleh dengan sorot mata yang tidak ramah. “Gak ada ceritanya perek tajir.”
Ellen tidak menjawab.
“Bisa jadi duit lo banyak, tapi lo bakal selalu ngerasa kurang. Apa bedanya sama orang miskin?” Lanjut Ray, kemudian berlalu setelah mengangguk ke arah Cicha.
Cicha cuma bisa cengengesan melihat tingkah mereka.
“Kok lo bisa kenal sama dia sih, babe?” tanya Ellen dengan wajah kesal, ia tidak pernah menerima kekalahan. “Rese banget tuh cowok!”
Cicha terkekeh. “Dia baik sebenernya, lo aja yang duluan jutekin dia.”

***

Di sebuah hotel Ray duduk di sofa. Di hadapannya ada Ellen berdiri dengan lingerie hitam tipis... menantang.
“Segitu penasarannya lo pengin nyicipin gue?” Tanya Ellen, angkuh. “Nabung berapa lama lo sampe bisa booking gue long-time?”
Ray tidak menjawab ia menatap Ellen... teduh.
Tatapan itu, tatapan seorang laki-laki yang tidak mampu diterjemahkan Ellen. Tidak, tidak ada tatapan napsu di sana. Itu bukan tatapan penuh gairah seperti yang biasa ia lihat dari laki-laki yang menatap keindahannya. Tatapan itu membuatnya salah tingkah.
“Gue milik lo malem ini, lo mau natap gue doang? Gak ngentot nih kita? Jangan bego!” Suara Ellen meninggi, menutupi rasa gugup yang pelan-pelan menjalar.
Ray berdiri dan mereka berhadapan. Ellen hanya sebatas dagu, dan Ray mengangkat dagu Ellen. Kali ini, keduanya beradu pandang. Senyuman Ray... menularkan sensai aneh dalam diri Ellen.
“Gue benci melakukan hal bareng sama orang yang beda tujuan.” Bisik Ray, lembut. “Gue ada disini demi kepuasan, lo ada disini demi uang.”
Tangan kiri Ray membelai pipinya. Tangan kanan Ray meraih tangan kiri Ellen. Tidak, dia tidak pernah seintim ini dengan pelanggannya yang lain. Biasanya, laki-laki berduit yang membayarnya akan menyerangnya habis-habisan, meluapkan birahinya, lalu tersenyum puas.
Bukan seintim ini.
Ray menyelipkan kertas di tangan Ellen. Tangan kirinya masih mengelus pipi Ellen ketika kepala Ray bergerak sedikit membungkung. Mengecup pipi kiri Ellen dengan lembut, terus... bibirnya bergerak menuju telinga Ellen, dan ia berbisik.
“Ini...” Bisik Ray, mengepalkan tangan Ellen sampai menggenggam kertas yang diberikan Ray. “Jangan kerja sama si Botak lagi. Itu cukup buat biaya hidup kamu sampai lulus nanti.”
Badan Ellen bergetar, Ray bergerak memeluknya. Merapatkan kepala Ellen ke dadanya. Membelai ubun-ubun serta punggung Ellen... menularkan kekuatan.
“Badan kamu terlalu mahal untuk dihargai, El...” Bisik Ray. “Aku gak peduli kamu mau ML seberapa sering, dengan siapa, itu urusan pribadi kamu. Tapi jangan ngelakuin itu demi uang.”
Sekali lagi Ray mengecup pipi Ellen.
“Berhenti, ya...” Nadanya tegas, seolah menegaskan kalau ia tidak akan menerima penolakan. “I don’t care if you still want to have sex, I still don’t care who is the guy. But, forgodshake don’t do that for money!”
Ray mengangkat wajah Ellen, menatapnya lekat-lekat. Mata perempuan itu merah berair, kerongkongannya tercekat sampai ia tidak mampu mengeluarkan kata. Ray menghapus airmata yang masih mengalir di pipinya. Bergerak mengecup kening Ellen sekali lagi.
“Aku pergi ya... Cuma mau ngasih itu kok.”
Ray pergi, Ellen masih mematung. Akal sehatnya masih berusaha mencerna yang baru saja ia alami. Butuh waktu cukup lama sebelum Ellen benar-benar menyadari yang ia alami barusan adalah kenyataan.
Dilihatnya kertas yang diberikan Ray.
Selembar cek... sembilan digit.
Ellen ambruk, ia memeluk lututnya sendiri. Tanpa bisa ditahan, airmatanya tumpah. Semuanya, seolah-olah ia ingin mengeluarkan semua yang ia pendam sendiri dan sudah terlalu lama ia pendam sendiri. Perhatian, kasih sayang, ketulusan, sesuatu yang lama tidak ia rasakan... bahkan menjadi asing baginya.

Bahkan kegelapan pun bisa dilawan oleh setitik cahaya kecil dari sebatang lilin.



***

Pukul 3 pagi, setelah melayani tamunya perempuan muda itu berjalan pulang. Tidak ada angkutan umum pukul segini. Lagipula jarak hotel dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Langkahnya terhenti ketika ia mendengar tangisan anak kecil. Bulu kuduknya merinding, rasa penasaran menuntutnya untuk mencari sumber suara. Ia kaget melihat bocah laki-laki terduduk dan menangis di sebelah tempat sampah. Pakaiannya lusuh, ia memperkirakan umurnya tidak lebih dari 6 tahun.
“Adek kenapa? Kok jam segini ada disini? Orang tua kamu mana?” Ia berjongkok menghampiri bocah itu, mengusap airmatanya. Naluri perempuannya bekerja, tidak mungkin ia tega membiarkan anak itu menangis tanpa melakukan sesuatu.
“Ru-rumahku... kebakaran, tante. Keluargaku meninggal semua. Aku... lapar.... huhuhuhuhuhuu.” Sebulir airmata menetes, perempuan itu memeluk bocah malang itu, tak peduli pakaiannya kotor dan bau.
“Kamu ikut tante, ya.” Ia tersenyum.
Perempuan itu memeluk si bocah lebih erat menggendong, membawanya pulang. Ia terus menerus mengusap kepala si bocah sampai tangis mereda. Malam itu ia baru tahu... hidupnya tidak seberat yang ia bayangkan.
“Nama kamu siapa?” Perempuan itu bertanya setelah si bocah berhenti menangis, mereka masih di perjalanan pulang.
“Aku... Araya Merdeka. Suka dipanggil Ray.”
“Nama Tante Santi, sayang. Mulai sekarang kamu tinggal sama Tante aja ya?”
Ray tersenyum mengangguk, memeluk Santi lebih erat. Membenamkan kepalanya ke leher Santi... mencari damai. Sementara Santi, pasrah menjatuhkan bulir-bulir airmatanya... dengan bibir yang tersenyum kecil.
Di rumah, sambil makan dengan lahap Ray bercerita. Ia baru saja pulang bermain layangan di kampung sebelah ketika menemukan rumahnya rata dengan tanah. Rumah yang ia tempati bersama kakek, nenek, dan Bapak Ibunya. Telinga kecilnya mendengar kabar kalau tidak ada yang selamat dari kebakaran itu.
Kabar mengejutkan itu yang membawa kaki mungil Ray berlari kencang tak tentu arah. Ia berlari sangat kencang. Tubuh mungilnya terlalu gesit untuk dikejar orang dewasa. Setelah lelah, Ray baru sadar ia berada di daerah asing. Bertahan di sana dua hari sebelum akhirnya Ray ditemukan Santi.
Selesai makan, Santi mendekap Ray erat. Membawa bocah itu tidur di pelukannya. Malam itu juga, untuk pertama kalinya Santi merasakan indahnya menyayangi orang lain. Selama ini ia selalu menganggap dirinya sebagai pelacur kotor dan tidak berguna. Tapi malam itu lain, ia merasa sedikit lebih berguna, bagi Ray. Bocah yatim piatu yang sekarang terlelap dengan damai di pelukannya.
Kamu boleh panggil aku Ibu, Nak.
Santi mengecup kepala Ray sekali lagi, setetes airmata jatuh di pipinya. Dan, Santi tertidur dengan damai.
Seumur hidup, ia belum pernah merasa sedamai ini.

***

Ray terduduk meratapi nisan Ibu angkatnya. Lima tahun ia hidup sendirian, sepeninggal Ibu angkatnya ia benar-benar tidak memiliki siapa-siapa lagi.

Nak, sebisa mungkin bahagiakan perempuan di sekitar kamu... demi Ibu, Nak. Karena Ibu akan bahagia kalau kamu melakukannya.

Sebulir airmata membasahi pipi Ray, mengingat pesan terakhir dari Ibunya. Orang asing yang dengan tulus menawarkan diri untuk merawatnya.
“Aku kangen Ibu.” Ucap Ray lirih, lalu mengecup nisan Ibunya sebelum pergi.

***

Perempuan yang kusebut Ibu... adalah seorang pelacur.
Umurku baru enam tahun ketika aku mendapati rumahku hangus terbakar, beserta isinya, juga orang-orang yang tinggal di dalamnya kecuali aku. Tidak banyak yang bisa dilakukan anak umur enam tahun menyikapi sebuah tragedi tentang kehilangan.
Mau tidak mau aku harus menelan kehilangan paling menyakitkan dalam umur semuda itu. Dan tidak banyak yang bisa aku lakukan. Bahkan tidak ada yang bisa kutanyai apa sebaiknya yang aku lakukan. Lagipula aku tidak sempat berpikir untuk bertanya karena aku benar-benar tidak punya pertanyaan untuk ditanyakan.
Jadi, aku cuma berlari.
Berlari sambil menangis entah kemana.
Berlari sampai benar-benar lelah entah mencari apa.
Dalam kepalaku, aku harus mencari, dan aku harus menemukan.
Lalu lelah itu benar-benar datang, aku berada di tempat asing yang kumuh tanpa nama. Ada beberapa orang lewat, tapi mereka tidak melihatku, atau melihat tapi tidak peduli.
Aku menangis, dan cuma itu yang bisa kulakukan.
Dengan harapan, setelah airmataku habis aku bisa mati seperti keluargaku yang lain.
Di malam kedua, entah pukul berapa aku kembali menangis. Sebelum ada seorang perempuan seumuran muda berjongkok menghampiri.
“Adek kenapa?” Dia bertanya.
Aku bercerita, mengeluarkan semua yang aku simpan. Semuanya dan benar-benar semuanya habis tanpa sisa. Perempuan itu membawaku ke dalam pelukannya. Menenangkan aku seperti yang biasa dilakukan Ibuku.
“Kamu boleh panggil aku Ibu, Nak...” Katanya, setelah membersihkan diriku yang kotor, memberi makan perutku yang lapar, dan menangkan hatiku yang gelisah.
Dia tidur disebelahku, menyanyikan lagu pengantar tidur, mengusap-usap kepalaku. Sampai aku tidur dengan damai dalam peluknya. Dan saat itu kesadaranku mulai kembali, aku masih hidup.
Bersama seorang perempuan yang mengizinkan aku memanggilnya Ibu. Dan dia seorang pelacur.

***

“Kita pindah ya Nak, tempat ini kurang baik buat kamu. Ibu mau kamu tumbuh jadi anak-anak yang bahagia seperti anak lainnya.” Dia berucap setelah seminggu aku tinggal di tempatnya.
Dulu aku tidak mengerti, dan butuh waktu lama untukku agar mengerti.
Tempat yang dia tinggali waktu itu berisikan manusia-manusia rusak tanpa harapan dan keinginan untuk hidup lebih baik. Maka dia membawaku pergi dari sana.
Waktu Ibu ketemu kamu, Ibu jadi punya harapan juga alasan buat hidup lebih baik, sayang. Ibu punya seseorang yang Ibu sayangi, kamu sayang Ibu kan? Itu cukup buat Ibu jadikan alasan, Ibu mau hidup lebih baik buat kamu. Ibu mau hidup lebih lama supaya bisa liat kamu tumbuh dan bahagia. Kata Ibu bertahun-tahun kemudian setelah dia tidak lagi menjadi seorang pelacur.
Dia Ibuku. Yang berusaha keras membenahi kehidupan hitamnya demi aku. Benar-benar Ibu yang kuat. Dia tahu kalau dirinya belum cukup baik untuk menjadi seorang Ibu, tapi dia tidak diam. Dia terus berusaha menjadi Ibu yang baik untukku.
Dan dia berhasil.
Padahal, aku cuma seorang anak yang ia temukan dini hari di sebelah tempat sampah. Aku tidak mengenal siapa dia, dan dia pun tidak mengenal siapa aku. Tapi hari itu kami sama-sama memulai kehidupan yang baru. Saling menjaga, dan saling menguatkan.      
Minggu siang, jadwal rutin Ray mengunjungi toko buku. Selain melukis, membaca adalah hobi lainnya. Ia menelusuri rak novel terjemahan. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok perempuan yang ia kenali.
“Ellen?” Yang dipanggil menoleh, terkejeut sesaat sebelum kemudian tersenyum hangat.
Sekarang, Ellen menatap Ray dengan tatapan berbeda.
“Kamu lebih cantik kalau ada di tempat kayak gini, bukan hotel atau kelab malam.” Ada semburat merah di pipi Ellen ketika ia mendengar ucapan Ray. “Suka baca buku apa El?”
“Emhhh...” Ellen terbata, setelah sekian lama akhirnya ia merasakan itu lagi. Perasaan salah tingkah di hadapan seorang laki-laki. Perasaan yang meletup pelan-pelan. Bahagia, yang tidak sanggup ia terjemahkan secara jujur. “Lagi pengin baca drama, yang sedih-sedih gitulah. Buku apa ya?”
“Yang sedih-sedih? Ya... buku tabungan.”
Ellen tertawa.
Kemudian, Ray memilihkan satu. Norwegian Wood, Haruki Murakami.
“Ini bagus.” Ray menyodorkan buku itu. Ellen menerimanya.
“Ngopi-ngopi dulu yuk? Kamu bawa kendaraan gak?” Ellen menggeleng. “Kalau nggak, kita bareng aja udah lama juga gak ketemu si Cicha.”
“Emhhh, aku udah gak tinggal di sana. Semua yang dikasih Tama udah aku kembalikan.”
Ray tersenyum, refleks tangannya bergerak membelai ubun-ubun kepala perempuan di depannya. Ellen hanya diam membeku tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Yaudah, yuk bayar dulu.”
Tidak penting siapa yang memulai, tapi kedua manusia itu berjalan bergenggaman sambil mengobrol ringan. Tidak beda dengan sepasang kekasih.

Ada Cicha, Ellen, dan Ray.
Ketiganya mengobrol ringan di apartemen Ellen yang baru. Cicha telah berada di sana ketika mereka sampai. Ia terkejut melihat keduanya pulang bersama bergandengan tangan.
“Ciyeeeee... udah baikan nih sekarang? Waktu pertama ketemu sih yang cewek jutek-jutek gitu. Sialan lo Babe, adik gue lo embat juga! Hahaha” Cicha menggoda ‘adik’-nya.
“Apaan sih lo Cha!” Semburat merah kembali menghiasi pipi Ellen.
Dan disinilah mereka, duduk di karpet kamar Ellen. Apartemen ini tidak sebesar dan semewah yang sebelumnya yang masih menjadi tempat tinggal Cicha. Tapi lebih terasa nyaman, Ellen bebas menatap ruangan ini yang sedikit banyak menjelaskan kepribadiannya. Cicha tertawa terbahak-bahak ketika pertama kali mengunjungi Ellen, seorang Ellen yang biasanya dingin dan ketus menata kamarnya menjadi serba pink.
Dulu, Ellen selalu memakai warna-warna gelap seperti abu-abu bahkan hitam.
“Kita main truth or dare!” seru Cicha di tengah obrolan mereka. Permainan yang biasa dilakukan ketika ingin mengorek sesuatu dari seseorang, atau ingin melihat seseorang melakukan sesuatu. Permainan ini tidak pernah gagal untuk memuaskan rasa penasaran.
“Berani gak? Ayolah jangan cemen!” Lanjut Cicha, memanasi dua orang temannya yang telrihat ragu.
“Oke!” Jawab Ellen tertantang.
Sebagai laki-laki, Ray tidak mau kalah. Ia setuju.
Cicha mengambil botol bir yang kosong. Memutarnya, menatap jahil ke arah Ellen yang dibalas dengan senyuman penuh konspirasi oleh Ellen.
“ELO RAY!” seru Cicha. Adik kakak beda orang tua itu tertawa puas.
“Truth!” jawab Ray. “Perjanjiannya satu pertanyaan kalau truth, satu suruhan kalau dare. Silakan diskusi.”
Keduanya berbisik.
“Pengalaman seks paling gila? Seperti apa? Dimana? Sama siapa?” tanya Cicha.
“Satu, Cha!” Ray protes.
“Iya satu... satu paket!” Jawab Cicha, dua perempuan itu tertawa, wajah Ray merengut. Laki-laki tidak pernah menang berdebat dengan perempuan. Dan di sini ada dua.
“Di helipad.”
“SERIUS LO?” Keduanya berseru kompak. “SAMA SIAPA?” Lanjut keduanya, bersamaan.
“Rhere.”
“WHAAAAT? RHERE?”Cicha berdecak kagum.
“Mbak Rhere yang jutek itu bukan sih?” Tanya Ellen yang langsung diamini Cicha dengan anggukan.
“Lo tahu Ray? Si Botak aja bertahun-tahun ngejar dia ditolak terus. Dan lo... ngentot? ML? Di helipad?” Lanjut Cicha.
“Cha, satu pertanyaan kok manjang gini sih.” Ray kembali protes, dua perempuan itu melotot.
“Satu paket, jadi ceritanya harus lengkap. Ceritain!” Kali ini Ellen yang bersuara, terlanjur penasaran.
Dikepung dua perempuan beringas, Ray cuma bisa menghembuskan napas panjang. Mengalah. Ray mencari posisi, membuat dirinya nyaman untuk bercerita. Ia telentang, dua perempuan itu mengikuti telentang di samping kanan-kirinya.

***

Dia terkikik melihat aku menggelar tikar yang kubawa. “Lo beneran niat ya pengin tidur-tiduran di sini?”
“Nih Mbak, eh Re... Biar gak sakit kepalanya.” Dia terkikik lagi.
“Sampe bawa bantal kecil segala?”
“Ini juga pake Re, dingin.” Aku membuka jaket yang kupakai. “Lagian udara begini malah pake baju seksi masuk angin baru tau rasa!”
Rhere cuma pakai tanktop putih ketat dengan bawahan hotpants.
“Gue pake kaus tangan panjang kok, cukuplah. Lagian bisa bayangin gak sih betapa terganggunya pikiran gue kalau liat cewek seksi ingusan?”
“Hahaha lo beneran rese ya!”
Disinilah kami, telentang berdua. Biasanya, aku sendirian tapi malam ini tiba-tiba ada model seksi yang terkenal jutek di sebelahku ikutan. Rejeki? Bukan, aku bukan anak soleh. Ini cuma kebetulan biasa.
Hening. Kami cuma menikmati bintang sambil tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Lo tau gak sih Ray kalau model-model lain sering ngomongin gue di belakang?”
“Re, lo itu terkenal dengan citra perempuan yang jutek, dingin, dan angkuh. Gak usah curhat kali...”
“Hahahaha anjinglah ini cowok.” Dia memukul bahuku pelan.
“Gue penasaran Re, ada berapa orang sih yang pernah liat lo ketawa terbahak-bahak kayak gitu?” Kalau sedang beruntung, orang-orang kantor bisa melihat dia tersenyum. Itu pun kalau dia sedang berada di depan kamera, tertawa? Bahkan ketika model lain bercanda di sela pemotretan perempuan satu ini cuma memejamkan mata sambil mendengarkan musik.
“Kayaknya cuma lo doang deh...” Katanya, aku menoleh dan ternyata dia sedang menoleh ke arahku.
Tuhan, ini bukan Rhere yang biasanya. Raut wajahnya sulit kubaca.
“Gue punya satu permintaan. Cuma satu.” Dia menatapku sungguh-sungguh. Raut wajahnya yang seperti itu belum pernah kulihat sebelumnya. “Lo mau gak sering-sering bikin gue ketawa kayak tadi?”
“Nggak.”
“Hahahaha anjing bangetlah, beneran ya Ray lo resenya!”
“Berani bayar berapa?” Aku menggodanya.
“Berapapun, apapun yang lo minta.” Jawabnya cepat.
“Iya deh model paling tajir.”
“Lo gak penasaran Ray gue dapet duit darimana? Kayak orang-orang yang selalu mengira-ngira sumber penghasilan gue? Lo tau sendiri kan, kalau gue gak pernah mau di booking.”
“Emang penting banget gitu buat gue nyari tau sumber penghasilan seseorang?”
Rhere terkikik geli.
“Jadi lo mau minta apa? Mau duit berapa?”
“Semahal itu ya tertawa lo? Sesusah itu ya lo buat ketawa sampe harus ngeluarin duit banyak segala?” Dia diam, sialan aku salah bicara. “Tapi gue gak tertarik sama duit, dan gak lagi pengin apa-apa.”
“Lo mau ngentotin gue pun gue kasih, Ray...”
“Ogah.”
“Hahaha, lo cowok paling aneh tau gak? Mungkin cuman lo doang yang bakal nolak gue tawarin badan gue.”
“Bukan karena gue gak suka atau gak napsu, gue cuma mau ML atas dasar suka sama suka. Lo mah pamrih gitu, gue ML sama lo cari kepuasan, lo ML sama gue supaya mau ngelawak depan lo. Kita beda tujuan, gue gak suka itu.”
“Agak aneh sih... tapi masuk akal.” Dia menoleh, kami bertatapan lagi. “Kalau gue bilang gue pengin ML sama lo, lo mau gak ML sama gue?”
“Yah... kalau lo maksa gue bisa apa. Cowok cuma bisa ngalah, Re... Ngalah.”
“HAHAHAHA NAJIS!”
Dalam hening, kami bertatapan.
“Cium gue dong, Ray.”
“Gak mau, lo pikir gue cowok apaan? Ada cewek seksi langsung nyosor.”
“IIHHHHHH!” Rhere bangkit duduk, mukul-mukul manja. Benar-benar bukan Rhere yang biasanya. Tiba-tiba, dia naik ke pangkuanku yang masih telentang. Jantungku berdebar. Dia membungkung, tangannya mengunci kepalaku.
“Gue perkosa lo ya sekarang!” Seru Rhere, kemudian gerak cepat.
Bibirnya melumat bibirku. Pagutannya liar, aku kewalahan mengimbanginya. Lidahnya membelit lidahku, kami bertukar saliva. Sambil tetap berciuman, tangannya mengunci tanganku. Badannya semakin merapat, uh dadanya bergesekan dengan dadaku. Refleks, aku mendesah ketika dia mulai menggoyang lembut pantatnya.
Dan Juniorku menengang sempurna. Sakit, ia meminta dibebaskan dari jeratan celana jeans yang terkutuk.
“Uh, kayaknya ukurannya lumayan. Ganjel nih, di memek gue.” Kata Rhere setelah bibir kami terlepas. Dia masih duduk di pangkuanku merasakan Juniorku menegang sempurna, ia menggigit bibir bawahnya.
Tanganku digiring ke dadanya. Man, ini payudara paling sempurna yang pernah kupegang. Besarnya, padatnya, dan rasanya ketika kuremas halus. Bahaya, ini pasti mengandung zat adiktif dan aku pasti kecanduan.
“Gimana? Ahh..., toket gue bagus gak? Ahhhh...” Disela remasan lembutku dia aktif bergoyang pelan, menggesek selangkangan.
“Uh, sesek Rhe.... Junior gue, sakit. Uh.”
Dia tersenyum, mundur guna mempereteli celanaku. Untunglah aku sudah melepas sepatu, ini mempermudah dia meloloskan bagian bawahku.
“Wow, gue paling suka kontol yang bengkok ke atas.”
Aw. Aku memekik ketika dia menggenggam Juniorku. Dan mulai mendesah ketika telapak tangan halusnya mulai mengocok pelan.
AAAHHHHHHH. Aku memejam, Juniorku dimasukkan ke mulutnya. Lidahnya bermain seolah-olah ingin memoles seluruh permukaan kepala Junior. Sialan, dia punya skill yang sangat serius.
R-rheeee.... Aku mengerang tak karuan.
Dia berhenti. “Gue gak mau buru-buru bikin lo K.O” Kemudian berdiri melucuti pakaiannya... Semuanya, man... SEMUANYA. Dan perempuan itu polos sekarang. Kalian tahu, dari 1-10 bentuk tubuhnya kuberi nilai 11. Benar-benar bentuk yang diidamkan semua perempuan. Lekukannya amat jelas dan tegas.
Dia menatapku nakal, jemarinya mengusap vaginanya sendiri sambil menggigit bibir bawah.
“Hmmmm. Basah nih gue, Ray.” Nada suaranya terdengar sangat erotis, teman. Ah seandainya dia bikin album yang isinya cuma desahan, penjualannya pasti tinggi.
“Gue masukin ya.” Katanya, kenapa dia harus meminta izin segala?
Dia mengarahkan Juniorku, setelah pas pelan-pelan dia mendudukinya.
Uh. Aku memekik ketika Juniorku masuk seluruhnya. Kalian pernah merasakan vagina perawan? Aku belum, tapi mungkin seperti ini rasanya meskipun Rhere bukan perawan. Sangat rapat, hangat, dan nikmat.
“Uhhhh Ray.... Ah, kontol lo enakhhhh. Anjinggghhhh kontol bengkok emang juara ahhhhhh.”
Dia bergoyang teratur, tidak cepat, tidak lambat. Dua tangannya meremasi kepalanya, ini seksi teman. Apalagi ditambah matanya terpejam dan berulang kali ia menggigit bibir bawahnya sambil mendesah. Raut wajah seperti itu mengalahkan indahnya pantai.
Tanganku? Di payudaranya tentu saja. Aku menggigit bibir, berusaha keras untuk tidak keluar terlalu cepat. Aku ingin menikmati ini selama mungkin.
“Uhhhh... Rayhhhh, enakkhhhh sayanggggghhh mhhhhh.” Dia terus menggoyang erotis. Percayalah, kalau ada penyanyi dangdut yang melihat goyangannya pasti langsung minder.
“Uhhhh.. Mhhhh ma-mau keluarhhhh gue Rayhhh ahhhh.” Dia menambah tempo, aku berkonsentrasi supaya tidak keluar lebih dulu.
“AAAAHHHHHHH....” Dia mendesah panjang, gelombang orgasmenya datang.
Dengan napas yang terengah-engah, dia menatapku sambil tersenyum nakal. “Lo kuat juga ya.” Katanya, kemudian mengecup bibirku, merebah di dadaku. Aku menghapus bulir-bulir keringatnya, membelai ubun-ubun kepalanya sambil memberi satu dua kecupan di sana.
“Masih kuat kan?” tanya dia.
Tanpa menjawab, aku membalikan posisi. Sekarang dia di bawah. Dia menggelinjang ketika bibirku menyapu kulitnya, dan lidahku ikut menggelitik membasahi.
Dari leher, turun ke dada. Oh, aku ingin mempermainkan payudaranya seumur hidupku. Putingnya, tegak berdiri, aku melumatnya mempermainkan lidahku di sana. Dia merintih-rintih karena ulahku. Payudara satunya dimanjakan oleh jari-jariku yang meremas halus sambil memilin putingnya. Begitu, bergantian.
“Ahhhh, Rayh..... Me-mekhhh... Ke memekhhh... Ah...... Shit, Rayhhh.”
Hidangan utama, vagina... yang beraroma khas vagina. Seperti Cicha, tapi yang ini lebih khas aromanya. Dua jariku menusuk, dengan jempolku yang menggesek klitorisnya. Dia menggelinjang semakin gila, kepalanya menggeleng ke sana kemari. Desahannya semakin liar tapi tetap terdengar sangat erotis.
“Gu-gueeehhh... Ke-luarhhhhh AHHHHHH....”
Yang kedua, membanjiri tanganku. Aku tersenyum puas melihat dia tersenyum puas. Kali ini aku tidak memberinya jeda, napasnya masih tak beraturan.
BLESSS! AHHHH, SHIT! RAY.
Aku memompa sambil tersenyum menatap mata sayunya, dia menarik kepalaku melumat bibirku dengan beringas sambil mengerang tertahan. Tanganku melakukan tugasnya dengan baik mempermainkan kedua payudara Rhere, dia menggeliat semakin tak karuan.
Lagih... Gue keluar lagihhh...
Gue juga, Rhe... dimana?
Dalemmhhh...AHHHHHH.
Spermaku menyembur di sana.
“Enak, Rhe?” Tanyaku, posisi kami belum berubah, Juniorku masih menancap di lubangnya.
“Stay with me, Ray... we can make love after you make me laugh.”
“Yang artinya?”
“Hahahahaha bloon lo!”
Aku cuma pura-pura tidak tahu, demi mendengar dia tertawa. Aku berguling telentang di sebelahnya. Rhere berpakaian lebih dulu, baru aku menyusul dengan tenaga yang tersisa. Dan kami telentang lagi.
“Laki gue bakal marah besar kalau tau gue dientot orang.”
“Bodo amat, yang penting bukan lo yang marah.” Jawabku, dia terkikik. “Toh biar pun dia laki lo, lo gak cinta sama dia kan?”
“Kenapa lo bisa tahu?” Dia menoleh, kami bertatapan.
“Menurut lo?” Aku bertanya balik.
“Yah gue cuma simpanan rahasia, bahkan gak seorang pun tahu hubungan kami. Buat apa gue kasih cinta? Kasih memek aja cukup.” Katanya, perempuan ini benar-benar jujur.
“Dia orang berbahaya, Ray. Lo harus tahu, kalau dia tahu gue ngentot sama lo mungkin lo bakal mati.”
“Terlepas dari dia tahu atau nggak, entah kapan dan bagaimana caranya gue pasti mati. Kita gak perlu takut pada sesuatu yang akan terjadi.”
“Sepertinya gue ketemu orang yang tepat.”
Dan kami berpagutan sekali lagi sebelum pulang.

***

“Anjing! Gue jadi horny denger cerita lo!” Seru Cicha, Ray hanya tertawa.
“Lo yang maksa tadi! Asal lo tahu gue masih punya cerita lain sama dia!” Cetus Ray, Cicha dan Ellen kembali menghadap ke arahnya. Kini mereka berdua duduk sementara Ray telentang santai.
“Dua hari setelah itu kita ketemu lagi, main lagi... di gondola.”
“WHAT?” Dua perempuan itu berseru nyaris bersamaan.
“Karena hari kerja, jadi sepi. Pas gondola mulai jalan, dia yang pake baju terusan ternyata udah gak pake daleman. Gue pelorotin celana jeans gue, tanpa diminta dia langsung ngocokin. Dilanjut dengan sepongan mautnya. Uh... Rasanya... juara.”
Ray memejamkan mata, mengingat hari itu.
“Pas udah tegang, dia naik ke pangkuan gue. Tangan gue mainin toketnya, bibir gue dilumat habis sambil dia goyangin badannya pelan-pelan. Anjing! Gue suka selera cewek ini. Dia mendesah-desah, berusaha mempertahankan tempo goyangannya yang lembut. Sepuluh menit, kami keluar bareng diiringi lolongan panjang dari kami berdua.”
“Anjing! Gue tambah horny Babe!” Seru Cicha, sementara Ellen cuma bisa diam sambil menggigit bibir bawah.
“Mau gue tambahin lagi?” Ray tersenyum jahil. “Kali ini lebih seru... di pos polisi... dan ada lima orang polisi tidur waktu gue ngentotin dia.”
“GIMANA CERITANYA?” Kedua perempuan itu kembali berseru.
“Dia nyamar jadi tukang jamu, lengkap dengan kostum khas tukang jamu, bawa gendongan jamu juga. Polisi itu kegenitan, semuanya pesan jamu. Di jamunya, udah dia kasih obat tidur. Pas mereka pada pules gue masuk. Kita quickie tanpa lepas pakaian. Gue genjot dia dari belakang masih dengan seragam tukang jamu lengkap.”
“Gue basah, serius.” Kata Cicha.
“Gue juga.” Ellen ikut bersuara.
“Makan tuh derita!” Jawab Ray, santai. “Satu lagi deh, di lapang futsal.”
“APA?!” Ray tertawa mendengar seruan mereka.
“Dia sewa lapangan enam jam, modusnya mau pemotretan dan minta gak ada orang di sana. Cuma ada gue, dia sama satu orang temennya cewek gue lupa namanya tapi... hot abis.”
“Gue sama dia pake kostum bola beda tim, temennya pake kostum wasit lengkap sama peluit dan kartu. Aturannya, kalau kasar di kartu kuning, kalau bikin cupangan di kartu merah. Ronde pertema gue cetak gol, menang 3-1. Ronde kedua gue gak sengaja ngejambak rambut dia waktu lagi doggy-style di tiang gawang, jadi gue kena kartu kuning. Terus kita ganti gaya, dia nyender di jaring-jaring. Gue genjot dia dari depan sambil remes-remes toketnya kita udah gak pake celana tapi atasan masih pake. Karena terlalu napsu dia nyerang leher gue sampe bikin cupangan. Dia kena kartu merah. Si wasit meniup peluit panjang. Karena gak ada pemain lagi, gue main sama si wasit yang langsung nyerang gue habis-habisan.”
Ketika Ray membuka mata, ia mendapati dua orang perempuan itu sedang mengocok vaginanya masing-masing. Mereka berdua sudah polos, entah kapan mereka melucuti bajunya.
“Ahhhh....” Keduanya mendesah sambil memejamkan mata.
Cicha membuka mata dan langsung menduduki Ray yang masih telentang. Tanpa izin ia membuka paksa kemeja Ray sampai kancing kemeja itu terlepas semuanya.
Cicha mencumbu leher, dada... kemudian melumat bibir laki-laki itu dengan ganas. Ray cuma bisa mendesah, serangan Cicha yang brutal tidak memberinya ruang untuk berbuat banyak. Yang bisa ia lakukan hanya meremas lembut payudara Cicha.
“El, sini...” Ajak Ray.
Ellen yang sudah terlanjur terbakar gairahnya menurut. Ray berhasil ditelanjangi Cicha. Sekarang, Cicha sedang menguasai penis Ray sementara Ellen menduduki wajah Ray. Memasrahkan vaginanya untuk dipuaskan.
Ahhhh..
Hmmmmm... Ohhhhhh... terusshhhh...
Suara desahan dua perempuan itu bersahutan. Cicha menduduki Ray, vaginanya sudah tak tahan minta dimasuki. Ellen yang pertama orgasme, cairan itu menyembur tepat ke wajah Ray.
“Sini El!” Panggil Cicha, ia bingung. Apa yang akan dilakukan Cicha? Ellen sama sekali belum pernah berhubungan sesama jenis. Cuma birahi yang meluap memaksanya menuruti Ellen.
Cicha masih bergoyang mengejar orgasme, seolah tak cukup bibirnya memagut bibir Ellen sambil meremasi payudara Ellen. Keduanya memiliki payudara yang nyaris sama indahnya.
Ragu Ellen hilang, kini ia amat menikmati dicumbu Cicha.
Gueeehhh... keluarhhh Rayy ahhhh
Ahhhhh
Mereka klimaks bersama. Cicha berguling, tanpa istirahat Ray menarik Ellen ke ranjang.
“Kali ini, kita sama-sama mau puas kan?” Tanya Ray kepada Ellen yang berada di bawahnya. Perempuan itu tersenyum sambil mengangguk.
Sambil menunggu penisnya kembali tegang, Ray merangsang Ellen. Menyerang seluruh permukaan kulitnya dengan bibir dan lidah. Tubuh molek Ellen menggelinjang dibuatnya.
Ketika penisnya kembali tegang sempurna. BLESSS. Ray menusuk dalam sekali hentak. Ellen memekik kaget tapi kemudian tersenyum mendapati Ray menatapnya tanpa berhenti menggenjot.
Lima belas menit dalam posisi yang sama. Hanya ditambahi pagutan di bibir dan leher serta remasan di dada Ellen, keduanya mencapai orgasme bersamaan.
“Mau ke mana lo?” Tanya Cicha melihat Ray langsung berbenah.
“Gue ada janji sama Rhere. Lo berdua lanjutin aja, Ellen juga masih pengin tuh.”
Cicha menatap Ellen yang kemudian dibalas dengan kerlingan nakal. Setelah Ray pergi, Cicha naik ke ranjang... menindih Ellen. Hari mereka tidak akan berakhir dengan cepat, tapi pasti akan berakhir dengan tidur karena kelelahan bercinta.

***

Di ruang VIP sebuah cafe, Ray duduk berdua dengan Rhere.
“Lo tahu siapa laki gue?” Ray menggeleng, “Darmono Agung.”
“Jadi laki-laki yang cinta mati sama lo? Yang ngasih sebagian sahamnya buat lo? Bokapnya Tama?”
Rhere mengangguk. “Sekarang lo terlibat affair sama gue, nyawa lo terancam lo tahu kan seberapa keji dia?”
Ray menggeleng.
“Dia itu iblis Ray, iblis. Haus akan kekuasaan. Siapa dalang dibalik penggusuran perumahan warna di Jakarta selatan itu? Itu dia. Lo inget tahun lalu ada petuhas pajak yang mati bunuh diri? Lo pikir dia beneran bunuh diri? Itu pembunuhan Ray. Lo masih mau deket-deket sama gue?”
“Gue udah bilang, kalau gue gak takut mati.”
“Jadi, kenapa lo gak sekalian bantuain gue?”
“Bantuin apa?”
“Ngancurin dia... dan anaknya.” Ucap Rhere, lirih. Ray merasakan kepahitan entah karena apa. “Berapa banyak nyawa melayang gara-gara Bapaknya? Dan berapa banyak perempuan yang masa depannya dirusak anaknya?”
Hening.
“Lo bakal ngerti Ray. Kalau aja lo liat delapan anak SMA yang dia ambil perawannya, kemudian berakhir jadi pelacur asuhannya. Jangan para penerima beasiswa yang dia jadiin umpan.”
“Lo tahu semua itu?”
“Gue bukan cuma tahu, tapi gue lihat. Tama selalu melakukan aksinya di ruang kerjanya. Tempat paling aman buat dia. Dan bodohnya, dia merekam semua itu.”
“Serius?”
“Gilanya, dia ngasih rekaman itu ke bokapnya.”
“...”
Hening.
“Lo mau bantu gue kan?”
Ray mengangguk mantap.

***

Seminggu kemudian...

“Bos ada paket!” Seru resepsionis kantornya. Tama menerimanya dan langsung masuk ke ruangannya.
Flashdisk? Taman mengguman. Ia menyalakan laptop.
(Open This.MP4)
Tama mengklik file tersebut. Ketika mulai, file itu langsung menampilkan sebuah video dengan wajah cantik Rhere memenuhi layar. Kening Tama mengkerut, dalam tayangan itu Rhere bertopang di meja, mukanya penuh keringat... dan ia mendesah.
Tangan Taman mengepal. Giginya gemertak menahan amarah. Rhere sedang digenjot seorang laki-laki. Kemudian Rhere berdiri, barulah wajah laki-laki itu terlihat jelas. Dua tangannya meremas payudara Rhere, lehernya dicumbu, Rhere tersenyum sambil mendesah.
“Kamu sayang banget sama aku kan mas?”
“Tentu.”
“Cinta”
“Pasti.”
AHHHHHHHHH....
Keduanya klimaks.

“Pa... Papa.” Napas Tama menderu. “BAJINGANNNN!”
BRAK! IA MEMBANTING LAPTOPNYA SAMPAI HANCUR BERKEPING-KEPING.
“Lo dimana Cha? Ke hotel biasa sekarang! Gue mau ngentotin lo!”
Tama pergi dengan emosi.
***

“Mas, kenapa sih kita gak nikah aja?”
“Sabar ya sayang, biar Tama duluan yang nikah.”
Rhere merebah di dada laki-laki itu. Keduanya bugil, mereka baru saja bercinta.
“Kamu janji mau wujudin semua fantasy aku sekarang kan?”
“Mas mau apa sih?”
“CIM, CIF, ANAL... ya?”
“Tapi Mas ikutin permainan aku ya?”
Laki-laki itu menurut, meski tangan dan kakinya diikat dan matanya ditutup. Ia merasakan penisnya dikulum. Ohhhhhhh ia mengerang kuat.
“Kamu makin jaghhhooo sayang enakhhhh banget.”
Kuluman itu semakin cepat.
Crot! Crot!
“Ahhhhhh.... Enak banget sayang.”
Penutup matanya dibuka, betapa terkejutnya ia mendapati bukan Rhere yang mengulum penisnya barusan.
“Aduh cyin sperma yey enak banget yaaa banyak lagi hiihihihi....”
“ANJING SIAPA LO? MANA ISTRI GUE?”
“Istri lo?” Ada laki-laki lain di ruangan itu, dia berdiri memegang kamera. Ray.
“ANJING SIAPA LO? LO GAK TAU SIAPA GUE?”
Rhere muncul dalam keadaan polos ia menungging menghadap Darmono Agung, pantat sekalnya lurus dengan Ray yang sudah membuka celana.
“Sayang kamu ngapain?” Kebingungan terlihat jelas di wajah laki-laki itu. Tidak ada yang menjawab.
“Anal gue Ray.”
Penis Ray mencoba menerobo anus Rhere yang telah dilumuri pelumas.
Huhhhhhhhh. Ini yang kamu mau kan mas? Uhhhhhh....
Ray menggenjot Rhere dengan tempo sedang.
Yang kencenggghhhh Ray.... Ughhhh.... Mas..... Akuhhhh di Anal mashhhh..... Uhhhh mashhh kok nangis sihhhh? Kan udah disepong si benconghhhh itu.
Ray memberi kode. Penis hanung mengacung melihat Rhere dianal Ray. Laki-laki setengah jadi di dekatnya tersenyum picik
CROT CROT CORT! Ray menumpahkan sperma di muka Rhere.
“Lo dapet salam dari anak yang keluarganya lo bakar 20 tahun yang lalu.”
Darmono tampak kaget, Rhere pun demikian.

***

PROSTITUSI MODEL KELAS ATAS TERKUAK, POLISI MENGGEREBEK TERSANGKA YANG JUGA PIMPINAN UNIVERSITAS TERNAMA DI JAKARTA DI SEBUAH HOTEL DALAM KEADAAN MABUK BERSAMA SEORANG WANITA BERINISIAL AS.

Berita itu menyebar, beberapa hari setelahnya Ellen dipanggil guna menjadi sakssi. Pukul dua belas dini hari ia baru keluar kantor polisi bersamaan dengan Cicha.
“Mas Cakra?” Ellen tercekat, mendapati kekasihnya berdiri sambil tersenyum.
“Gak usah kaget, aku tahu semuanya. Aku jadi polisi rahasia yang mengintai kasus Tama. Maaf aku terlalu lama menyelamatkan kamu.”

***

Aku mendapati Cicha menitikkan airmata. Dua puluh langkah di depan kami, Cakra berlutut melamar Ellen.
“Dia gak tahu kan cek yang lo kasih itu dari gue?” Tanya Cicha.
“Nggak. Lo yakin gak mau jujur?”
“Biarlah cuma ini yang bisa gue lakuin buat orang yang gue cintai.” Cicha menatap Ellen teduh, begitu dalam, begitu tulus. Aku tahu betul bagaimana rasanya tidak bisa bersama orang yang kita cintai.
Aku tahu perasaan itu. Aku tahu persis yang dirasakan Cicha. Karena... kami mencintai orang yang sama.
“Sekarang tinggal kita, pulang yuk. Lo jangan tinggalin gue ya!”
Pukul satu dini hari, kami pulang... membelah jalanan Jakarta menggunakan Cayman milik Cicha.


-TAMAT-      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar