Rabu, 06 Januari 2016

Cerita Dewasa Artis Gita Sinaga 1




Aku sendiri sibuk dengan pekerjaanku sebagai staff keuangan salah satu perusahaan outsourcing disamping hubunganku dengan Sibad masih intens. Sesekali, ia masih mengajak untuk berhubungan badan ketika tidak ada jadwal manggung. Aku pun tetap bertahan dengan gaya pertemuan yang terus sembunyi - sembunyi.
Weekend adalah hari terbaik yang selalu aku tunggu. Selalu menjadi hari yang aku beri untuk mengistirahatkan badan. Namun, tidak dengan Weekend kali ini. Aku diberi perintah untuk menukarkan uang ke salah satu money changers di Plaza Senayan. Sebuah tempat rekreasi berprestise di kawasan bisnis Sudirman Jakarta. Aku tidak terlalu mengenal tempat itu. Yang aku tahu tempat itu adalah tempat yang berkelas.
Sabtu pagi, dari rumahku di bekasi utara. Dengan kuda besi yang biasa menemani, aku pergi menuju Plaza Senayan. Cukup jauh perjalanan yang aku tempuh. Aku mengambil parkir liar yang dilegalkan di depan Ratu Plaza Senayan. Sebenarnya, aku tidak dapat mengambil di tempat itu. Namun, karena koneksi dan ada unit disana yang dikelola perusahaan outsourcing bekerja aku dapat mengambil parkir sekaligus melakukan kunjungan sejenak di unit cabang.
Aku memasuki Plaza Senayan dan menjelajah setiap sudutnya sambil mencari money changer. Kebetulan, sedang ada acara peluncuran mobil terbaru dari perusahaan otomotif ternama. Cukup ramai acara tersebut, apalagi acara tersebut dimeriahkan oleh artis. Aku melihat wajahnya yang cukup familiar. Ya, itu adalah Gita Sinaga. Wajahnya yang khas dan rambut sebahunya membuatnya nampak sedap dipandang. Ia bertindak sebagai MC bersama seseorang yang tidak aku kenal. Aku memandangi Gita cukup lama. Tenang sekali membayangkan wajahnya. Aku hampir lupa dengan tugasku. Aku bertanya kepada Petugas Keamanan dan bergegas menuju money changer. Tempat itu berkonsep minimalis. Nampak seorang bapak - bapak Tionghoa duduk dibalik etalase.
"Silahkan. Selamat datang di xxxx Money Changer. Mau tukar atau beli?" Sapanya ramah dalam aksen Tionghoa.
"Iya, saya dari PT. Xxxxxx."
"Ah, dari Pak Harman ya?"
"Iya Pak. Saya utusan Pak Harman. Beliau meminta saya kesini dan mengantar sejumlah uang. Beliau membutuhkan Dollar Amerika."
"Aku sudah meneleponnya tadi. Telah aku siapkan juga uangnya."
Aku mengeluarkan sebuah deposit box dari tas. Aku membukanya dan menyerahkan semua tumpukan uang rupiah dalam kotak tersebut. Bapak itu menghitungnya.
"Uangnya sudah sesuai. Saya ambil dahulu uangnya."
"Baik, Pak."
Bapak itu bangkit dan mengambil beberapa bundel uang Dollar Amerika.
"Totalnya 5000 Dollar dalam pecahan 100 Dollar. Silahkan."
Aku memasukkan uang tersebut ke Deposit Box. Seseorang membuka pintu dan mendekati etalase.
"Om Henri. Gimana uangnya? Ada kan?." Kata seseorang yang ternyata adalah Gita Sinaga.
"Tentu, buat Ci Gita ada lah pokoknya."
Aku mencoba menyapanya.
"Gita Sinaga, ya?"
"Iya." Balasnya dengan senyuman
"Saya melihat anda tadi di acara launching tadi."
"Terimakasih."
Pak Henri memberi sebuah amplop coklat kepadanya.
"Semuanya ada di dalam, ya."
"Seperti biasa ya, Om."
Ia terburu - buru pergi. Pak Henri masih berbincang kepadaku tentang Pak Harman, atasanku. Beliau bercerita tentang kedekatan dan bisnis money changer miliknya. Ponsel Pak Henri berdering.
"Iya, Ci Gita. Ada apa?"
"Koh, koq gak sesuai ya?"
Pak Henri berjalan ke belakang.
"Aduh, Ci Gita. Saya salah ambil amplop."
"Aduh gimana dunk, Om."
Aku mendengar percakapan mereka karena volume ponsel cukup terdengar.
"Pak, biar saya saja yang mengantar."
"Aduh. Bagaimana ya?"
"Bapak bisa menghubungi atasan saya dan ke saya."
Aku mengeluarkan sebuah kartu nama yang tertera nama dan nomor ponsel.
"Baiklah, kalau begitu. Saya minta tolong amplop ini diantar ke orang yang tadi."
"Bagaimana saya dapat menemuinya?"
Pak Henri menelepon Gita dan berbincang sebentar.
"Ia ada di mobilnya. Platnya B xxxx di Parkiran lantai 2."
Aku keluar dari Money Changer dan menuju parkiran lantai 2 dan kucari mobil dengan Plat yang telah diberitahu sebelumnya. Setelah beberapa saat, aku melihat Gita kesal menendangi ban mobilnya.
"Ada apa ya mbak?"
"Mas yang tadi di Money Changer ya?"
"Iya mbak. Oiya, sekalian saya menyerahkan amplop dari Pak Henri."
Ia menerimanya. Namun, kesalnya belum juga beranjak.
"Bannya kempes. Ada ban spare?"
"Ada di bagasi belakang."
"Boleh saya bantu?"
"Gak apa - apa nih?"
"Iya, saya berusaha untuk bantu saja."
Lengan kemeja kusingsingkan hingga setengahnya. Kuambil dongkrak dan peralatan yang tersedia di mobil. Tidak lupa, Ban spare telah aku siapkan di sampingku.
Dongkrak memompa sisi kanan depan mobil. Baut dan mur terlepas dengan usahaku disertai alat. Ban spare terpasang dan dan kukencangkan. Gita melihatku dengan antusias.
"Sudah selesai, Mbak. Nanti bannya segera diperbaiki."
"Syukurlah kalo gitu. Aku bisa mengembalikannya kepada Kara?"
"Maksud mbak, Girindra Kara?"
"Kamu tahu? Mobil ini punya dia."
"Ya tahu mbak. Profesinya juga aktris."
Gita mengambil sebuah botol minuman.
"Diminum aja dulu biar tidak haus."
Air mineral dari botol itu mengalir membasahi kerongkongan.
"Mas kerja sama Om Henri?"
"Ah, tidak mbak. Saya kebetulan saja menukarkan uang atasan saya disana."
"Jangan panggil mbak. Gita aja."
"Iya deh Gita..."
Aku menggaruk kepalaku.
"Kenapa kamu?"
"Berasa aneh aja."
Ia tertawa mendengar kataku tadi.
"Nama kamu siapa?"
"Grha."
"G..Ggggr...ap?"
"G-R-H-A"
"Grha? Namamu unik."
"Mbak Gita eh maksudnya Gita juga unik koq."
"Unik apanya?"
"Senyumnya."
"Ih..Gombal kamu ya."
Kami pun berbincang sejenak.
"Oiya, nih ada sedikit rezeki."
"Gak perlu, Gita."
"Rezeki jangan ditolak, lho."
"Aku gak nolak. Cuma kasih aja ke panti asuhan atau anak yatim. Mereka lebih butuh. Itung - itung juga Gita beramal."
"Begitu ya? Aku juga sekarang lagi beramal. Tapi, sama kamu."
"Ya udah kalau gitu. Aku terima uangnya. Nanti aku pakai untuk amal."
Beberapa lembar lima puluh ribuan telah berpindah tangan.
"Kamu kotor begitu. Nih, pake saputangan aku."
Ia menyerahkan sapu tangannya. Sebuah kain persegi berwarna putih bergaris pink dengan inisial G.S.
"Makasih ya, Git."
"Aku yang makasih harusnya. Kamu udah bantuin aku. Aku pergi dulu ya. Udah ditungguin."
Ia masuk ke dalam mobil. Aku mengetok kaca mobilnya.
"Gita, aku boleh....."
"Minta no telepon? Aku kira kamu gak minta."
"Iya. Kalau boleh sih."
Ia tersenyum kepadaku. Dan, ia memberi sepucuk kertas bertuliskan nomor pribadinya.
"Jangan lupa hubungin aku dan jangan disebarin."
"Tentu, Gita."
"Nanti malam ada acara? Datang ke event Slalom di Blu Plaza Bekasi. Aku hadir sebagai bintang tamu."
"Kebetulan rumahku di bekasi."
"Bagus kalo gitu. Ini, aku kasih IDcard Personal. Nanti kamu bisa ke Backstage. Kita ketemu disana."
"Baiklah, Gita. Hati - hati di jalan."
"Iya. Kamu juga."
Mobil MPV itu melaju meninggalkan area parkir. Setelah itu, kucari kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku keluar dari Plaza Senayan dan kembali ke Bekasi. Di jalan, aku melihat seorang kakek tua duduk di halte. Ia memakai atribut militer. Kuhentikan motorku dan menghampirinya.
"Bapak kenapa ada di sini?"
"Jualan, Cu."
Ia menunjuk dagangannya yang berupa minuman botol, rokok, dan permen.
"Bapak mantan tentara?."
"Iya, Cu. Dahulu, kakek berperang melawan para penjajah. Pengorbanan jiwa raga sudah menjadi keharusan bagi kemerdekaan negara ini. Setelah perang berakhir, kakek harus mencukupi kebutuhan sendiri."
"Kakek tidak ada sanak saudara?"
"Keluarga, kerabat, dan saudara kakek sudah tidak bisa mengenali kakek. Mereka semua menganggap kakek sudah tidak berguna."
Tidak tahan dengan penderitaan yang diungkapkan, aku menyudahi pembicaraan tersebut.
"Kek, ada sedikit rezeki. Mohon diterima."
Aku memberikan uang pemberian Gita untukku.
"Apa ini, Cu?"
"Diterima saja. Itu lebih berguna untuk kakek."
Kakek itu menitikkan air mata. Ia terharu. Aku memeluk menenangkannya.
"Makasih, Cu. Cucu udah mau menolong kakek."
"Rezeki ini dari Gita Sinaga, kakek. Kakek seperti kakek saya sendiri. Saya sedih dengar kehidupan kakek sekarang."
Dari seberang jalan, sebuah mobil berhenti. Ia melihat dan kemudian terharu. Gita menyeka air matanya. Tanpa banyak berkata, ia menjalankan mobilnya. Tangisnya semakin tidak tertahankan jika berlama - lama disana.
Aku kembali meneruskan perjalanan. Sebuah sms dari Sibad cukup menggodaku.
"Sayang, lagi di Ambassador nih abis belanja. Ke parkiran dunk, pengen ngentotin kamu. Masih di jakarta 'kan? Aku di basement 2 dekat tiang xx"
Aku merubah arah perjalananku ke Mall Ambassador dan singkat cerita, aku telah bertemu dengan Sibad di mobil.
"Sayang, pindah ke belakang."
Aku menurutinya. Ia menaikkan rok span pendek ke atas hingga menampakkan memeknya yang tercukur rapi. Tidak lupa, ia menaikkan pakaiannya keatas sekedar untuk memamerkan dadanya yang kencang.
"Suka?" Tanyanya binal.
Kontolku menegang tidak karuan. Celana jins yang aku kenakan terasa sempit. Kulucuti celanaku dan menampakkan kontol yang tegang.
Sibad melihatku kegirangan.
"Uuuhhh.....gatel nih memeknya. Pengen digarukin pake ini." Katanya sambil mengelus kontolku pelan. Didekatkannya mukanya ke kontol dan menghisapnya agar basah semata.
"Yakin langsung dimasukkin? Gak perih?" Tanyaku.
Semenjak ia berhasil ngentot denganku. Perlahan, ia mulai membiasakan diri dengan ukuran kontolku. Ia berasumsi, semakin banyak ngentot, semakin nikmat rasanya. Aku sendiri tidak pernah memakai kondom dengannya. Pernah aku memakainya, ia menyiksa kontolku dengan dijepitnya sampai ngilu hingga aku gagal ejakulasi.
"Udah basah memek akunya. Buruan."
Aku memasukkan jariku untuk memastikannya.
"Kering memek kamu nih. Boong kamunya."
Ia menyeringai sengaja membohongiku. Aku menampar mukanya hingga ia cukup tersakiti. Romansa seperti ini yang disukainya, menjadi wanita lemah yang tersakiti.
"Ampun sayang, ampun. Jangan tampar lagi."
"Dasar perek. Memek kering lu bilang basah. Ngentot lu. Emut nih kontol." Aku mencacinya agar birahinya semakin naik.
Ia mengulum kontolku.
"Masukin semuanya, perek. Kepalanya doank. Lu kira masih imut bibir lu? Emut ampe muntah2 lo."
Ia memasukkan kontolku jauh ke dalam mulutnya. Ia sudah pernah mengemut kontolku sampai penuh hingga ia tersedak. Tetapi, ia lebih menambahi drama agar terkesan menyenangkan.
Cukup lama ia mengulum kontolku yang berkedut di dalam mulutnya. Kucabut kontolku yang sudah basah oleh liurnya dan meludahi bibirnya yang kemudian dilumurkan pada memeknya.
"Masukkin pelan - pelan yah. Kontol kamu lebar soalnya." Iba Sibad kepadaku.
Kumasukkan perlahan kontolku ke dalam memeknya.
"Oooccchhhh.....iya terus.......uuuccchhhh."
Ia mendesah penuh nikmat dan aku memacu Sibad mengejar nikmatnya ragawi.
"Sayang.....kamu....ngapain....disini...."
"Oohhh.....tadi...uuucchhhh......ada pentas.....yeeeaaahhh......undang aku........sssshhhhh........mmmmmmhhhhhmmmm....... "
"Udah......selesai...."
"Belum.....lagi istirahat.......sssshhhhh......aahhhhh....."
Ponsel Sibad berdering.
"Sibad, kamu dimana? Acaranya udah mau mulai lagi."
"I-iya...lagi....tanggung.....bentar...lagi..selesai. "
"Buruan kalo ke toiletnya."
"I-iya...bawel."
Ia tetap menelepon ketika aku sibuk memacu tubuhnya.
"Lama banget sih keluarnya. Aku udah mau ada acara lagi."
"Iya bentar lagi."
Kutambah ritmeku semakin beringas. Ia juga semakin liar memainkan kontolku.
"Sayang, aku mau keluar."
"Aku juga. Barengan keluarnya."
Kami berdua orgasme bersamaan. Pejuhku bercampur dengan cairan nikmatnya di dalam memeknya dan nafas kami tersengal - sengal seperti selesai berolahraga.
"Makasih sayang, memek kamu enak banget."
"Kontol kamu gak ngebosenin. Pengen terus ngentot sama kamu."
Aku membelai rambut yang tergerai di wajahnya.
"Iya sayang. Tapi, kamu sekarang punya acara yang harus diselesein. Nanti kan kalo ada kesempatan lain, kita bisa lagi kan?"
"Pasti lagi kalo itu."
"Oiya, Jangan masturbasi di mobil sambil bayangin aku. Kemeja aku kamu cium baunya. Kan udah ada aku."
"Kamu ngintip ya waktu itu?"
"Kebetulan saja aku melihatmu dan memuaskan diriku juga."
Ia mencium bibirku dan aku membalasnya dengan mesra.
"Sayang, kamu bisa temenin aku disana? Masih kangen sama kamu. Kamu liat dari jauh aja." Katanya sambil membetulkan pakaiannyam
"Bisa. Tapi, gak lama. Aku mesti nganterin titipan bos aku."
"Iya. Liatin aku nyanyi abis itu boleh kamu tinggal."
Aku keluar dari mobil dan menuju tempat show Sibad. Sibad kemudian menuju backstage. Kami berjalan berjauhan. Tidak mengenal satu sama lain. Show berlangsung meriah, ia menyanyi dengan ekspresif. Sesekali, ia melihat ke arahku dengan tatapan matanya yang mampu melumpuhkan pria manapun. Dari kejauhan, aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya yang selesai menyanyi di panggung.
Aku segera kembali ke rumah dan menyelesaikan pekerjaanku. Semoga, aku masih bisa bertemu Gita nanti di event Slalom.
Kukirim pesan singkat basa basi saat aku berada di rumah. Ia merespons dengan baik. Kami bertukar pesan membicarakan hal yang penting sampai tidak penting. Ia mengakhiri karena mempersiapkan event Slalom nanti.
"Dateng ya ke Event. Aku tunggu kamu disana. Btw, you're a good man to see. Not much like you do before."
Aku tidak mengerti maksud ucapannya. Namun, aku putuskan untuk bertanya kepadanya nanti.
Sibad tidak menghubungiku setelah apa yang aku alami bersama. Toh, aku tidak boleh berharap dan sadar diri. Pepatah bilang "humans do good things in sex. But, not the relations. They're fear to be bound in freedom in the name of legal married."
Petang hari, aku bersiap menuju event tersebut. Meski kuda besi yang kupunya tipe cub, tidak menyurutkan langkahku. Ini hanya event otomotif biasa. Kuda besiku mengaspal dengan santai hingga aku melihat seseorang tengah kebingungan dengan mobilnya. Mobilnya nampak seperti sebuah hatchback yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Kuhampiri orang tersebut.
"Kenapa mas mobilnya?"
"Sepertinya kehabisan bensin. Damn."
"Bukannya tinggal beli di eceran."
"Bahan bakarnya cuma bisa dibeli di daerah Kalimalang. Kerang Kuning. Kebetulan aku ingin kesana. Namun, kekasihku tidak akan mengijinkan aku meninggalkannya sendirian. Aku juga dikejar waktu untuk event di Blu Plaza."
"Event Slalom?"
"Iya. Aku mengikuti salah satu lomba."
"Baiklah, aku akan membelikannya untukmu. Tunggu disini. Aku akan kembali."
"Benarkah? Aku akan sangat berterimakasih. Ambillah Kartu Bahan Bakarku. Aku sudah menghubungi mereka untuk menyiapkannya. Hanya, tidak ada yang mengantarnya kesini."
"Kau masih akan menunggu disini? Apa tidak terlambat?"
"Aku memanggil mobil derek untuk mengantarku kesana. Kau bawa saja ke tempat Event. Oiya, Namaku Bhumi. Teman - temanku lebih sering memanggilku Ibum."
"Namaku Grha. Baiklah aku akan kembali dalam waktu yang tepat."
Dengan cepat, aku menuju SPBU yang dituju di daerah Kalimalang. Aku langsung menunjukkan kartu kepada salah seorang petugas dan ia memberiku 2 jerigen bahan bakar yang cukup besar. Aku meminjam kantong rak motor yang aku taruh di belakang kanan dan kiri. Menempatkannya di tempat tersedia, aku langsung menuju event. Sesampainya, dengan peluh yang membasahi badan. Aku memasuki tempat event dengan memakai IDcard Personal. Penjaga di depan mengecek IDcard yang kupunya dan menanyaiku.
"Dapat IDcard ini darimana?"
"Aku mendapatkannya dari temanku."
"Kami tidak percaya. Jangan - jangan palsu."
Aku bersikeras bahwa IDcard itu asli. Syukurlah, Bhumi melihatku bersitegang dengan penjaga.
"Ah, Grha. Bagaimana?"
"Aku sudah membawanya. Tetapi, penjaga tidak memperbolehkanku masuk dengan alasan IDcard palsu."
"Grha adalah orang yang mengurus bahan bakarku. IDcard itu dariku. Ijinkan dia masuk. Aku membutuhkannya apa yang dia bawa."
Penjaga itu terdiam. Ia mempersilahkanku masuk dengan terpaksa.
"Terimakasih, Bhumi. Kau menolongku tadi."
"Kau juga sudah menolongku dengan bahan bakar ini."
Bhumi membawa 1 jerigen yang aku bawa. Ia menuju mobilnya dan mengisi bahan bakarnya.
"Tapi aku penasaran. Bagaimana kau mendapatkan IDcard personal. Aku sendiri saja hanya mendapat IDcard Guest."
"Gita Sinaga memberikannya padaku."
"Gita Sinaga? Maksudmu MC di event ini? Bagaimana kau mengenalnya?"
"Aku pernah membantunya dengan mobilnya. Dan, ia memberikannya kepadaku."
"Kamu beruntung bisa berkenalan dengan Gita Sinaga. You Know, she's fucking damn sexy bitch pain in the mouth."
"Maksudmu?"
"Iya adalah MC off air yang seksi. Kamu akan tahu ketika kamu melihatnya nanti memandu event kali ini."
"Bisa Drift? Slalom?"
"Mobil saja aku tidak punya."
"Oh..sorry. I didn't know that."
"It's okay, Bhumi."
"Well, just hang 'round here and say you're my fuelman. You'll be respected."
"Thanks, Bhumi. Aku tidak dapat membalas kebaikanmu."
"You scratch me, I'm scratch you. Got it?"
Kami pun tertawa bersama. Bhumi mengenalkan teman - temannya kepadaku.
Acara pun dibuka dengan serangkaian lomba dan hiburan. Dan tentu saja Gita hadir disana. Aku memandangnya dari tempat berada.
Ia memakai kemeja pendek yang sesuai dengan lekuk tubuhnya. Dengan jins robek menambah keseksiannya. Suaranya mendebarkan hati.
"Grha, kau mau menemuinya?"
"Iya, jika ia sudah turun panggung."
"Go get her, right?"
Aku meninggalkan Bhumi yang masih sibuk dengan mobilnya. Aku segera menuju backstage. Dengan IDcard yang aku miliki. Aku menyusuri tempat itu. Kutemukan dia tengah duduk sendiri dengan botol minuman yang kosong.
"Hei, Gita."
"Hei, Grha. Kupikir kau tidak akan datang."
"Mana mungkin aku tidak datang? Orang secantik kamu yang undang aku."
"Duduk gih. Temenin aku istirahat."
"Duh , keringet kamu banyak tuh."
Aku menyekanya dengan saputangannya yang pernah dipinjamkannya. Ia terdiam terkejut.
"Kau masih menyimpannya?" Katanya membuyarkan kediamannya.
"Masih. Aku berniat untuk mengembalikannya. Tetapi, sekarang sudah basah. Mungkin harus pakai handuk kali."
"Dasar kamu ya. Memangnya aku mandi keringat."
Kami bercanda gurau mengisi waktu istirahat.
"Rokok? Ini gratis koq."
"Aku tidak merokok."
"Kamu keberatan dengan cewek yang merokok?"
"Tidak. Silahkan saja. Aku lebih suka menjadi rokoknya."
"Jorok akh candaanya." Ia meninju lenganku.
Ia mengambil rokok dari kotaknya. Dan menaruhnya di bibir. Aku mengeluarkan zippo dan menyalakan rokoknya. Asap berhembus dari mulutnya.
"Sudah berapa lama merokok?"
"Sejak aku terjun dalam dunia seni. Aku hanya merokok ketika suntuk."
"Sayang aja aku lihat kamu ngerokok."
"Makasih udah perhatian ma aku."
"Ngerokok itu bikin ciuman gak enak loh."
"Masa? Kan aku udah pake lip balm."
"Ya tetap aja beda aja rasanya."
"Memang bedanya gimana?"
Kupegang kedua pipinya. Kudekatkan mukaku ke mukanya. Rokok ditangannya jatuh ke lantai. Kami saling bertatapan.
"Kamu cium bau terbakar? Itulah baunya kalo ciuman."
Ia tetap terpaku. Aku mencium bibirnya dengan mesra sejenak.
"Sekarang, bau rokoknya sudah berpindah di mulutku."
Kami menempelkan dahi dan hidung dan menggesekkannya bersamaan.
"Kau menciumku sesingkat itu tidak akan memindahkan baunya keseluruhan."
"Kau bohong kan? Kau ingin menciumku lagi kan?"
"Tidak. Aku tidak menginginkannya."
"Tapi aku menginginkannya."
Kurekatkan kembali bibirku dengan bibirnya. Kutahan kepalanya dengan tanganku. Setelah itu, aku memegang pinggangnya. Berusaha untuk menaikkan kemejanya namun ditahannya dan ia melepaskan ciumannya.
"Jangan sekarang, Grha. Aku masih harus menyelesaikan acara ini."
Aku berhenti dan merapikan kemejanya.
"Maafkan aku bertindak lancang denganmu tadi. Seharusnya, aku tidak melakukannya."
Aku memegang kepalaku sendiri. Mengapa aku bisa bertindak sejauh ini. Gita menghampiriku dan menghiburku.
"Tidak apa. Aku tahu kamu orang baik. Aku pernah melihat apa yang kau lakukan tadi. You're such a good man. You deserve a good things."
"Thank for the compliment. Tapi, aku telah kurang ajar sama kamu."
Gita meraba celanaku. Ia mengelusnya perlahan. Aku memegang tangannya.
"Not this time, right? Selesein acara kamu dulu. Maybe, we can do it later."
Ia tersenyum.
"Kamu emang beda ternyata. Kamu lebih sopan dan gak menuntut."
Gita membalik badannya. Ia nampak sibuk sendiri. Aku penasaran dengan apa yang dilakukannya.
"Hey, smile ya." Katanya sambil membuka kemejanya yang telah dilepas kancingnya.
Mataku tidak bisa lepas dari pemandangan itu. Gita memakai bra hitam. Kulit putihnya begitu kontras dengan warna bra. Dada itu nampak penuh. Seperti ingin tumpah.
"Gimana bentuk badan aku?"
"Ba-bagus koq. Aku menyukainya."
Aku langsung menghindari pemandangan itu. Aku takut tidak dapat mengendalikan diri. Ia mendekatiku yang menunduk menghindari. Didongakkannya kepalaku dan dipeluknya erat. Mukaku mendarat di dadanya yang empuk dan hangat.
"SssssHhhhh...." Ia mendesah karena nafasku menghangatkannya. Dadanya tidak terlalu besar, entah kenapa mampu membuatku panas dingin. Kontolku memberontak tak karuan di balik CD. Sungguh nyaman dipeluknya.
"Grha. Udahan dulu ya. Bentar lagi aku harus naik panggung." Katanya sambil mengusap rambutku.
"Baiklah, Gita. Aku akan menunggumu."
Ia kembali memakai pakaian dan bersiap naik panggung. Aku keluar dari backstage dan Bhumi menyambangiku.
"Hey Boys, what you get?"
"Ah, nothing to tell about. Just meet and a little chit chat."
Aku melihat Gita dengan semangat menjadi pembawa acara. Still, I love her.
"Hey, do you have some condoms? Need to release something."
Aku mencoba melihat dompetku.
"Just one. It's okay for you?"
"Thanks. Keep my back. I'll do it in my car, ya."
Ia masuk ke dalam mobil bersama pacarnya. Aku duduk di kap mobil dan kuawasi sekitar.
"Dia benar - benar gila. Seks di mobil, di event seperti." Gumamku.
Cukup lama ia menghabiskan waktu di dalam mobil. Aku tidak terlalu memperhatikannya, mataku tertuju pada Gita seorang. Bhumi mengagetkanku. Ia menepuk pundakku dengan keras.
"Makasih ya udah ngasih kondom. Pusing banget gue."
Aku tersenyum membalasnya. Event pun selesai, aku masih tetap berada di sana.
"Gak balik?"
"Aku mau ketemu Gita lagi, Bum."
"Nih, kunci apartemen gw di Centerpoint. Have a good nite with her."
"Gimana balikinnya nanti?"
"Serahin aja ke pengelola. Terserah mau pake berapa lama. Gue beberapa hari ini di luar kota."
"Makasih ya, Bum."
"Gue cabut ya."
Kami berpisah dan aku menyambangi Gita kembali. Ia telah berganti pakaian. Kaos putih dengan jaket dan celana jins.
"Kamu ada acara setelah ini?"
"Belum tahu. Sepertinya tidak ada."
"Aku ingin mengajakmu beristirahat. Kamu kelihatan kecapekan."
"Aku laper banget. Pengen makan."
"Mau makan di restoran?"
"Males. Pengen makan yang beda."
"Aku masakkin gimana?"
"Kami bisa masak?"
"Tidak seberapa bisa sih. Tapi, lumayanlah."
"Ya udah kalo gitu. Kamu masakkin makan malem buat aku, terus aku masukkin kamu buat malem ini."
Aku menoleh ke arahnya.
"Hahaha...jangan begitu ah. Aku masakkin aja dulu. Aku cari bahan masakan di swalayan dulu ya."
Kami berbelanja bahan masakan di sebuah swalayan. Dengan keranjang belanjaan di tangan kiri, aku menyusuri bagian dalam swalayan. Gita menggamit tanganku dan memeluknya erat menempel ke dadanya. Untung, kami berbelanja di tempat yang sepi. Setelah selesai, aku bersamanya bergegas menuju apartemen Centerpoint.
"Disini tempatmu?"
"Tidak, kebetulan temanku mempercayakannya untukku. Ia sedang ada urusan."
Setelah parkir, aku memasuki apartement dan segera kupersiapkan masakan.
"Kamu istirahat aja, Gita. Aku akan manggil kalo udah selesai."
"Aku mandi dulu kalo gitu."
Sembari aku memasak, Gita membersihkan dirinya. Ia keluar dari kamar mandi. Ia keluar dengan handuk yang menutupi badannya dan rambut yang digelung handuk.
"Kayaknya enak nih. Baunya kecium sampe sini."
"Moga aja enak. Kamu gak pake baju. Dingin loh."
"Pengennya diangetin."
"Emangnya sayur?"
"Ih..beneran akunya."
Aku mencubit hidungnya gemas.
"Nih, aku masakin spaghetti sama tumis sayur hijau."
Aku menghidangkan di piring dan meletakkannya di meja.
"Mari makan." Ucapnya senang.
Kami makan dengan lahap serta berbicara ringan mencairkan suasana. Aku sangat senang bisa bersamanya.
"Aku tutup gordennya."
Aku menutup gorden. Di luar sedang hujan deras. Seorang pemulung di luar bersama istri dan anaknya berteduh di bawah pohon. Gerobaknya di biarkan kehujanan.
"Gita, aku keluar dulu, ya."
"Kemana? Di luar hujan loh."
"Iya, cuma sebentar."
Aku mengambil sisa masakanku. Menaruhnya di tempat makanan. Tak lupa aku membawa beberapa ponco disposable untuk aku berikan.
"Aku ingin memberikan makanan ini kepada pemulung di seberang jalan. Sebentar aja."
"Iyah. Aku tunggu."
Aku mengusap - usap rambutnya. Aku turun memakai lift. Dari jendela, Gita melihatku kehujanan saat menyeberang jalan dan memberikan makanan.
"Kamu bikin aku takjub lagi, Grha." Gumam Gita.
Grha kembali ke apartement. Masih memakai handuk, Gita memeluk tubuh basahku.
"Kenapa kamu, Gita? Badanku masih basah."
"Biarin.."
Ia memelukku lebih erat.
"Tiduran yuk."
"Tapi.."
Ia membantuku melepas pakaian dan celana hingga menyisakan boxer yang kupakai. Kami berbaring di tempat tidur. Gita membelai wajah dan badanku.
"Baru kali ini aku bertemu seseorang sepertimu. Padahal, aku baru bertemu denganmu tadi. Tapi, aku merasa nyaman di dekat kamu."
Aku mencium keningnya lembut. Begitu hangat hingga aku merasakan tentram. Ia duduk di hadapan boxerku. Ia menelusupkan tangannya melalui sela boxer yang longgar. Digenggamnya kontolku dan dikocoknya perlahan.
"Eehhhhh.....enak Gita."
Ia melepaskan handuk yang melingkar di tubuhnya. Sepasang bongkah daging menggantung indah di hadapanku. Putingnya berwarna coklat muda dengan aerola yang minim. Tubuhnya bersih bagai pualam.
"Kamu liatin akunya begitu banget."
"Aku gak percaya aja kamu cantik banget."
"Masa sih?" Gita gemas dan mengocok kontolku.
Dilucutinya boxer dan aku telanjang bulat di hadapannya. Aku menutup mukaku karena malu.
"Kamu nggemesin banget sih."
Ia membuka mukaku dan menciumnya berulang - ulang.
"Kamu gak mau liatin aku?"
"Mau donk, Gita."
Gita kembali mengocokku dengan nikmat. Aku meremas kasur menahan ejakulasi yang sebentar lagi sampai.
"Gita....." Kataku lemas.
Kontolku berkedut kencang, pejuhku muncrat menodai muka dan leher Gita. Gita melongo seakan tidak percaya.
"Pejuh kamu banyak banget sih."
Kontolku lemas tidak berdaya. Aku bangkit dan berusaha membersihkan pejuhku di tubuh Gita.
"Jangan dibersihin, Grha. Aku pengen kebaikan kamu di tubuh aku."
"Bukan ini, Gita."
Aku membersihkan pejuhku dari Gita. Kuciumi dan kumainkan dadanya.
"Oooooccchhhhh.........uuuuhhhh........yeeeeeaaahh hh......"
Aku memainkan puting kirinya dan menghisapnya dengan lembut. Ia menikmatinya. Puting kanannya pun tidak luput dari hisapanku dan remas - remasan di dadanya. Kutinggalkan bekas cupang di dadanya.
"Grha......trus.......ampun.......enak.......ssshh hhhhh.........ooooccchhhh.........aaaahhhhh...."
Ia sendiri masih memakai CD putih yang tipis.
"Boleh aku...."
Gita mengangguk pelan.
Kulepas CD nya. Memeknya bersih dari bulu. Putih, halus dan harum. Kumainkan lidahku disana hingga basah. Akupun memasukkan jari ku.
"Jangan, Grha. Aku masih belum siap."
Aku sedikit kecewa. Tapi, tidak masalah.
"Kamu pernah anal? Kamu masukkin di pantat aku aja."
Ia menungging dan lubang pantatnya terlihat menarik. Aku mencoba membasahi dan merangsangnya.
"Uuccchhh.....situ.....terus..."
Aku mencoba memasukkan kontolku di pantat Gita.
"Seret banget, Gita."
Gita tidak menanggapi. Ia mencari bantal dan menggigitnya dengan keras. Aku tetap meneruskannya hingga seluruhnya masuk. Kudiamkan sejenak di dalamnya. Aku mencoba memainkannya. Namun, Gita mengerang kesakitan. Aku merasakan ada sesuatu di dalamnya. Kucabut perlahan dan kontolku berlumuran kotorannya. Ia pun terpaksa mengeluarkan kotorannya karena sakit. Ia terlihat lelah.
"Gita, kamu..."
"Iya, aku tidak siap. Perutku sakit hingga aku begini."
Kotorannya masih menetes keluar dari pantatnya. Aku membersihkannya dengan tisu basah dan menggendongnya ke kamar mandi.
Gita duduk di kloset dan buang air.
Aku membereskan tempat tidur dan menaruhnya di tempat laundry gedung.
Gita keluar dengan wajah sendu. Ia terlihat lelah. Aku bergantian membersihkan diri.
Aku melihatnya tengah menghisap rokok.
"Masih merokok aja?"
"Mulutku asam."
"Makan permen donk."
"Tidak mempan."
"Lainnya?"
"Sama saja."
"Kamu pengen gak ngerokok lagi."
"Pengen sih. Tapi susah."
"Mau nyoba gak pake caraku?"
"Gimana? Aku udah capek."
Aku mencabut rokoknya. Ia kesal dan kucium bibirnya.
"Udah aku pindahin lagi baunya ke mulut aku."
"Cium lagi dunk."
"Gak kalo kamu masih ngerokok."
"Tuh kan."
Ia merajuk manja. Kubelai rambut dan kucium pipinya.
"Jangan ngambek dunk sayang."
"Abisnya kamu sih. Kamu..."
Aku membuka handuk yang menutupi kontolku di depan mukanya. Kontolku kembali menegang.
"Cepet amat tegangnya."
Ia menggenggam kontolku dan mulai mengulum kontolku. Kocokan lembut dengan lidahnya bermain dengan nikmat. Kupegangi kepalanya agar tidak kemana - mana.
Tidak butuh waktu lama, aku kembali menumpahkan pejuhku di dalam mulutnya.
"Uhuk...uhuk..uhuk....uhuk..uhuk...Jahat kamunya, pejuh kamu bikin aku keselek."
"Maaf ya Gita, aku gak ada maksud."
"Kamu berusaha bikin aku gak ngerokok lagi. Gak ada yang salah dengan kamu."
"Iya, aku gak mau kamu ngerokok lagi."
"Kamu bantuin aku, ya."
"Tentu. Aku akan bantuin kamu."
"Makasih, sayang."
"Kamu istirahat. Aku pakein selimut."
"Kamu masuk temenin aku."
Kami beristirahat dalam satu selimut dan tempat tidur. Malam itu, kami tidak melakukan penetrasi sama sekali. Aku tidak ingin menyakitinya.



Hari 1
Keesokan paginya, aku menyiapkan makanan untuk Gita.
"Met pagi, Gita. Aku menyiapkan roti tawar isi selai stroberi dan susu hangat."
"Pagi, udah bangun kamunya?"
"Udah koq. Sarapan dulu gih."
"Udah sarapan kamunya?"
"Aku udah makan tadi."
Aku duduk disampingnya. Ia sarapan di atas tempat tidur. Dengan lahap, ia mengisi perut kosongnya.
"Berasa jadi spesial dibikinin sarapan ma kamu."
"Hehehe...gak apa - apa koq. Kamu juga spesial buat aku."
"Maksudnya?"
"Ah, tidak lupain aja. Oiya, kamu mau bantuin aku berhenti ngerokok. Gimana caranya?"
"Selama 3 hari kedepan, kamu ke sauna. Selama 3 hari jangan ngerokok. Dan olahraga."
"Aku mau kamu nemenin kamu. Kalo aku gak bisa nahan, aku ngerokok punya kamu. Gimana?"
"Katanya kemaren jorok punya aku."
"Punya kamu enak. Ada manis - manisnya. Boleh lagi pagi ini?"
"Emang udah gak betah?"
"Pagi - pagi biasanya aku ngerokok."
Aku berdiri dan melepaskan boxer.
"Hihihi...lucu banget kalo belum tegang. Lemes gitu."
Gita langsung mengulumnya dalam keadaan lemas. Sentuhan halus di titik kontolku membuatnya tegang perlahan.
Ia mulai memvariasikan kulumannya.
"Git.....aku.....aku.....keeellllluuuuaaarrrrrr... ......"
Ia menjulurkan lidahnya dan pejuh dari kontolku berhamburan di dalam mulutnya. Ia mengocoknya sampai pejuhku tidak bersisa. Ia menelannya dan melemparkan senyum kepadaku.
"Udah lengkap sarapanku. Ayo ke sauna sekarang. Kebetulan, ada temanku memiliki tempat sauna. Nanti, aku bilang ke temanku aku akan kesana selama 3 hari dan menyewanya secara pribadi."
Aku meghubungi Bhumi untuk menyewa tempatnya selama 4 hari ke depan.
"Halo, Bhumi. Ini aku, Grha."
"Yeah, Whazzup."
"Bhumi, aku sewa tempatmu selama 4 hari ke depan. Bisa?"
"Untuk apa?"
"Ada sesuatu hal."
"Owh, my men has finally got the shit. Damn, you're fucking lucky number 7. Come on, tell me what you're do with her?"
"Tidak, dia hanya ingin bersamaku selama 3 hari ke depan."
"It's a long day full of happiness. Need a dozens of caps?"
"Aku hanya membantunya dalam mengatasi sesuatu."
"Okay. Okay...I'm not rushing in. Use as you please. Tell me if you leave."
"How much I pay?"
"No, my fuelman. It's free of charge okay."
"Thank you really much. Can I have a time with the girl?"
"Be careful, don't jerk off."
"Hahaha...okay bye.."
"Bye too....."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar