Part 2
URL=http://www.imagebam.com/image/ebd35c459699958][/URL]
Kami meminta izin pemilik rumah makan untuk mengadakan liputan dan mewawancara secara acak pengunjung disitu. Selesai itu, aku memberikan bungkusan makanan kepada orang yang aku tunjuk.
"Kita harus cari rumah disini."
Aku mendatangi setiap penginapan yang ada. Tidak ada rumah yang bisa aku sewa. Hanya tersedia kamar saja. Itupun tinggal 1 karena sudah di book jauh - jauh hari.
"Udah penuh, Zizi. Cuma ada kamar."
"Fasilitasnya apa aja?"
"Standar sih. Kasur, televisi, kamar mandi air panas. That's it."
"Diambil aja dulu. Aku mesti ngeupload data dulu. Nanti dipikirin lagi."
Kamar yang kami dapat cukup sempit karena ukuran ranjang yang besar.
"Gimana, Zizi? Bener di ambil?"
"Terus kamu tidur dimana?"
"Dibawahnya ada karpet. Aku bisa disitu."
"Tapi, kamunya...."
"Gak apa - apa. Yang penting kerjaanmu dulu kelar."
"Yaudah deh."
Aku menyelesaikan administrasi dan Zizi mengeluarkan notebook dan mulai bekerja. Aku mengeluarkan kartu media simpan dari kamera dari kamera. Ia tidak ingin diganggu. Aku menungguinya di karpet. Kusandarkan punggungku ke dinding. Mataku terasa berat. Lamat - lamat aku mulai tertidur.
"Grha, kamu tidur?"
Gelagapan. Aku terbangun.
"Ah. Iya. Maaf, maaf gak sengaja. Aku cuci muka dulu."
Aku menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.
"Ada apa, Zizi? Maaf aku gak sengaja ketiduran."
"Kamu takut amat sih? Aku tadi cuma manggil kamu."
"Ya. Takut aja aku buat salah."
"Gak koq. Kamu gak ngehubungin Syifa?"
"Aku udah hubungin tadi."
"Kayaknya kamu kecapean deh. Dari semalem sampe sekarang. Kamu jagain aku waktu tidur. Istirahat gih."
"Makasih, Zizi. Aku mungkin butuh istirahat."
"By the way, makasih juga udah usap - usap rambut aku waktu tidur."
"Ups...maaf..kalo yang itu aku refleks aja."
"Gak apa. Kamu dah baik sama aku."
Aku tertidur kembali kutinggalkan Zizi tengah asyik bekerja. Tubuhku digoyang - goyang oleh Zizi sehingga aku terbangun.
"Grha. Sorry ngebangunin kamu."
"Iya gak apa - apa. Ada apa, Zizi?"
"Aku lupa ngasih tahu kalau kita belum ke sekretariat. Kita kesana yuk."
"Ya udah kita kesana yuk."
Kami menuju sebuah rumah di dengan plang bertuliskan "Sekretariat OW Xxxxx". Disambut oleh Pak Dirgo, kami berhasil mendapat izin. Walaupun, harus menyelipkan sejumlah uang koordinasi. Kami kembali ke kamar.
"Zizi, gimana tadi?"
"Bisa koq. Udah dapet izin. Tapi, ya begitulah. Mesti ada kontribusinya."
"Oiya, setelah liputan ini. Kau mau meliput lagi? Aku akan tunjukkan lokasi air terjunnya."
"Kita ke kamar dulu. Ambil peralatan. Abis itu kita muter cari liputan."
Aku bersiap dengan pakaian yang pantas. Zizi keluar dari kamar mandi. Ia cemberut dengan kemejanya.
"Kenapa cemberut, Zizi?"
"Ini nih kancing kemeja aku pada lepas semua."
"Gak ada pakaian lagi?"
"Ada sih. Tapi, pengen pake ini."
"Kancingnya ada?"
"Ada. Aku bawa. Tadi jatuh di kamar mandi."
"Tunggu sebentar."
Aku keluar dari kamar dan kembali dengan peralatan menjahit.
"Cuma 3 aja yang lepas. Mending dijahit aja."
Ia melepaskan kemejanya di depanku. Sleeveless shirt warna abu memperlihatkan bahunya yang menarik. Kuamati sebentar, ia tidak memakai bra. Putingnya tercetak walau samar.
"Kamu bisa jahit?"
"Bisa, kalo masang kancing."
Jarum jahit menembus kain mengaitkan benang di kancingnya. Tidak butuh lama untuk menyelesaikannya.
"Gak nyangka kamu bisa ngejahit."
"Kemampuan gak terlalu penting sih."
"Sekarang penting koq."
Membuatku menelan ludah melihat puting yang samar itu. Sayang, itu tertutup di balik kemeja.
"Yuk kita cari liputan."
"Ayo, Zizi."
Kami keluar dan mencari potensi liputan di tempat itu. Kami membaur dengan masyarakat lokal dan mengumpulkan informasi yang akan dibuat liputan. Terkadang, malah ia yang menjadi bahan kerumunan ibu - ibu dan remaja untuk berfoto. Dia masih menjadi selebritis untuk beberapa kalangan orang. Tidak lupa, ia juga mengambil beberapa foto untuk sosmednya. Kami bersantai sejenak sambil makan jagung bakar di dekat air terjun.
"Kulihat kau tidak banyak berfoto untuk dirimu?"
"Ah. Aku tidak punya banyak sosmed. Aku cuma punya facebook dan twitter. Itupun untuk membaca berita sekilas biar ada bahan obrolan."
"Apa akun twitter kamu? Biar aku follow."
"Biar aku follow punya kamu aja."
"Follow @ZivannaLetisha nanti mention aku loh."
"Diabisin dulu jagungnya nanti aku mention."
Aku melihat seseorang menatapku penuh curiga. Tidak terlalu kuhiraukan. Namun, aku tetap waspada. Apalagi, Zizi sedang melakukan citizen journalism. She's got no power to protect.
"Zizi, kita pindah yuk."
"Kenapa? Aku masih belum nyobain air terjun dan kolamnya.
"Nanti malem aja kita kesini lagi. Lagipula, udah mulai rame tuh."
"Kita ambil beberapa gambar untuk liputan lagi."
Sembari meliput, aku masih melihat orang itu mengamatiku dan Zizi. Kami selesai, dan kembali menuju kamar.
"Eh iya, kita ngeteh poci lagi dunk."
"Boleh aja."
Disebuah rumah makan, sambil minum teh poci. Aku mengamati sekitar.
"Eh, tadi kamu ngerasa gak?"
"Ngerasa apa, Zizi?"
"Tadi kayaknya ada liatin kita waktu liputan."
"Loh, kamu nyadar juga."
"Malah sewaktu di pasar sih."
"Makanya dari tadi aku ngeliatin sekitar."
"Kira - kira siapa yah? Jadi penasaran sih."
Aku memanggil tukang jajanan dan membelinya beberapa buah.
"Makan apaan, Grha?"
"Olos."
"Olos?"
"Iya. Makanan dari tepung diisi sayuran."
"Nyicip dunk."
"Boleh koq."
Zizi memakannya.
"Hmm....enak nih."
"Aslinya kalo ngeteh poci makannya ini."
"Eh, coba liat deh di deket penjual sayur. Tu kayaknya deh yang ngeliatin."
"Aku akan kesana."
"Eh. Ngapain sih? Ntar kenapa - kenapa loh."
"Menurut dugaanku, dia cuma pengen bicara sesuatu."
Aku menghampirinya. Awalnya, ia menolak ajakanku. Setelah cukup lama membujuknya, ia dapat kubawa. Ternyata seseorang remaja pria yang mengawasi kami dari tadi.
"Kamu siapa? Dari tadi aku melihatmu." Tanyaku.
"Grha, kasih minum dulu biar dia mendingan." Sambil menyodorkan gelas berisi teh.
Ia meminumnya. Ia mengumpulkan nafas dan mulai berbicara. Kami mengamati orang ini penuh selidik.
"Mengapa kau mengikuti kami?" Tanyaku.
"Aku mengikuti kalian sejak di pertigaan xxx dimana kalian meliput supir mobil bak terbuka."
"Lantas, mengapa kau mengikuti kami?" Tanya Zizi.
"A..a.a..aku disuruh untuk mengawasi gerak - gerik kalian disini."
"Kamu disuruh siapa?"
"Ini pasti kerjaan Pak Dirgo." Zizi marah.
"Jangan percaya Pak Danaran."
"Pak Danaran? Siapa dia?" Curigaku.
Dia langsung kabur begitu aku lengah.
"Damn, dia kabur, Zizi."
"Kita harus cari info siapa Pak Danaran."
"Sebaiknya kita mulai dari sekretariat dulu."
Aku membayar minuman yang kuminum bersama Zizi.
"Mas, tadi ngapain sama Jahri?"
"Jahri?"
"Itu mas yang tadi diajak ngobrol."
"Emang kenapa bu?"
"Dia anak agak sinting."
"Sinting kenapa bu?"
"Kasihan, Mas. Dia pernah nyebarin berita kalau Pak Danaran yang jadi bandar pelacur disini."
"Pelacuran? Bukannya gak ada?"
"Iya. Gak ada mas disini. Jahri nuduh Pak Danaran. Padahal, Pak Danaran itu orang yang baik."
"Kalo boleh tahu, siapa Pak Danaran?"
"Beliau seorang yang baik hati. Ia punya penginapan juga. Penginapannya xxxx. Beliau selalu menderma ke lingkungan sini. Aku rasa Jahri agak sinting karena pacarnya diduga dijual oleh Pak Danaran sebagai pelacur di kota. Maaf mas, saya jadi ngobrolin orang."
"Makasih bu informasinya."
Zizi melihatku kesal.
"Lama banget sih. Ngapain aja."
"Maaf, Zizi. Aku tadi nanya tentang pemuda tadi sama Pak Danaran."
"Dapet informasinya?"
"Dapet koq. Kita cerita aja di penginapan."
Sesampainya di penginapan, kuceritakan percakapanku dengan penjual tadi. Zizi mengangguk mengerti ceritaku.
"Jadi, siapa yang harus dipercaya?" Pikir Zizi.
"Aku juga tidak bisa menerima informasi ini secara langsung."
"Dia minta tolong ke kita. Apa yang bisa aku bantu?"
"Mungkin karena kau seorang wartawan. Wartawan selalu suka menyelidiki hal yang berbau rumor dan isu. Apalagi, jika itu benar - benar terjadi."
"Aku disini untuk citizen journalism."
"Do you want to investigate?"
"You'll help me, right?"
"Yeah. I'll help."
Spontan, ia memeluk tubuhku. Kami benar - benar berpelukan.
"Zizi, it's allright. Belum terjadi sesuatu kan?"
"Aku merasa takut setelah ia mendatangiku."
"Tidak apa, Zizi. Aku akan berusaha melindungimu. Ketakutanmu berlebihan."
Kami berpelukan hingga tertidur. Kuakui, Zizi cukup takut. Apalagi, Jahri juga menyebarkan aura tidak nyaman yang dapat kurasakan. Semoga, tidak terjadi hal yang buruk.
Kukecup keningnya saat tidur. Persetan jika ia memergokiku. Aku tidak akan peduli lagi. Aku ingin membuatnya nyaman.
"Grha, jangan kenceng - kenceng ciumin kening aku. Aku sampe kebangun nih."
"A.aku tidak sengaja."
"Sengaja juga gak apa. Koq diem? Gak mau dilanjutin nih?"
"Iya dilanjutin koq."
Bibirku mengecup hangat keningnya. Ia membalasnya dengan pelukanku erat. Payudaranya terasa menggencet di badanku. Jangan sampai tegang, jangan sampai tegang. Ia masih memelukku. Aku tidak berani untuk bertindak lebih jauh.
"Ntar keningku tipis diciumin terus."
"Hehehe....maaf."
Pipinya kiri kanan kuciumi berulang - ulang. Ia semakin bergairah. Nafasnya semakin berat. Kucium bibirnya, ia semakin terbuai.
"Mmmmmhhhhhh.......aaaahhhh.....mukaku basah diciumin terus."
Kugelitiki telinganya, ia mendesis nikmat.
"Aaaaaaacccccchhhhh........geli ah."
Giliran Zizi melakukan hal yang sama kepadaku. Lidahnya menyapu semua mukaku. Diciumi juga dengan gemas.
Kami saling bertatapan, dalam hati kami berkecamuk perasaan yang campur aduk.
"Zizi, boleh gak aku....."
"Boleh apa?"
"Mmmhhhh.....boleh gak aku kiss bibir kamu?"
Ia tertawa kecil. Seperti ada yang telah dilepaskan darinya.
"Sopan banget kamunya sih."
"You know the bonds between you and....."
"Ssstttt....it's only you and me now. Come on, hold my lips and my tongue tightly."
Pertama kalinya, aku mencium Zizi tepat di bibir. So warm. like a sugar, so sweet.
"Mmmhhhh......cccuuuppp.....ccccuuuuppp.....ccccuu uuppp.....ccccllluuuupppp.....cccclllluuuuppppp... ...ccccclllluuupppphhhh......ccccclllluuuuuppphhhh .....ccccclllluuuuppphhhh......"
Zizi menciumku begitu rapi. Tidak ada liurku keluar dari bibirnya. She's a good kisser. Kami berhenti berpagutan untuk mengambil nafas. Aku menyeka keringat di wajahnya.
"Kasihan wajah kamu penuh keringet. Sorry, aku gak bisa ngimbangin kamu tadi."
Zizi menciumku lagi.
"Mau latihan lagi biar ciumannya bisa ngimbangin?"
Kali ini, aku menciumnya. Di kasur, di karpet dan di kamar mandi. Kami berpelukan dan berpagutan satu sama lain hingga bosan. Baju yang kami kenakan sampai basah karena keringat. Ia menuntunku masuk ke kamar mandi. Dari shower, mengalir air dingin pegunungan yang cukup membekukan kulit. Tidak kurasakan karena Zizi dan aku masih berciuman. Kami masih mengenakan pakaian. Hingga Zizi mulai melepaskan baju yang kupakai. Tangannya mulai menjelajahi badan atasku. Tidak berhenti disitu, tanganku mulai meraba dadanya secara tidak langsung.
"Badan kamu bagus, Grha."
"Kau terlalu memujiku, Zizi."
Ia menyadari aku juga tidak bisa menahan keinginanku untuk tidak menyentuh dadanya. Ia melekatkan tanganku di kedua payudaranya.
"Gimana rasanya sentuh dada mantan Puteri Indonesia?"
"Koreksi, dan juga news anchor."
Telapak tanganku menapakkan kulitnya di dadanya. Empuknya terasa meski masih terbungkus baju. Kumainkan sebisaku saja.
"Aaaahhhhh....pelan - pelan.......uuuuucccchhhh."
Aku mulai senang bisa memainkan tanganku disana. Baru aku akan membuka pakaiannya. Dari kamar, ponsel Zizi berdering.
"Sebentar Grha....sepertinya ada telepon."
Dengan tubuh masih basah. Ia mengangkat teleponnya. Shit, gagal kesempatanku untuk melanjutkannya.
"Dari siapa tadi?"
"Jangan marah ya. Dari pasangan aku."
"Kamu udah ngabarin dia tadi."
"Belum sih."
"Yaudah. Kamu mau berendam gak di dekat air terjun. Airnya anget loh."
"Kenapa gak diterusin?"
"Jangan dulu. Aku ngehargain pasangan kamu. Lagipula, sekarang biasanya sepi loh."
"Boleh deh. Pengen tahu rasanya."
Kami berganti pakaian kering. Pakaian basah tetap kami bawa untuk berendam di kolam. Aku masih mengenali penjaga di kolam itu. Ia mengingatku karena pernah menolongnya saat berjaga disini.
"Pak. Masih disini."
"Mas kemana saja?"
"Iya. Baru sempet aja. Gimana kolam?"
"Sepi, Mas. Tadi abis ujan. Jadi males keluar."
"Pak, seperti biasa ya."
Aku menyerahkan beberapa lembar uang rupiah untuk sengaja mengosongkan kolam khusus kami berdua.
"Kamu kenal, Grha?"
"Iya. Dulu, ia sempat kutolong saat ia membutuhkan uang. Kita ke kolam yuk."
Kami kembali berganti pakaian basah. Teringat pakaian itu kami saling berciuman. Kami menceburkan diri ke dalam kolam yang hangat. Ia bermain dengan air di kolam, mengguyur kepalanya dan berenang kecil. Aku hanya duduk berendam di tepian.
"Sini dunk main sama aku."
"Kamu aja, Zizi."
Ia terus menyenangkan diri. Aku turut membantunya senang. Setelah puas bermain, ia mendekat ke aku. Dipeluknya badan aku sambil berendam.
"Enak disini, bisa santai."
"Aku juga gak nyangka bisa sedekat ini sama news anchor."
"Kamu sering liat acaraku."
"Morning show sama 16 sih yang aku suka. Kalo gak liat kamu, gak semangat."
"Ati - ati loh. Aku udah punya pasangan loh."
"In here. It's only me and you. Not else."
Ia kembali menjadikan tubuhku sebagai sandaran. Shit, penisku tegang. No time to lose it.
"Aku ngerasa aneh. Ada yang nyentuh paha aku nih."
Ia meraba - raba di bawah. Tangannya menyentuh penisku yang berada di balik celana pendek.
"Oooohhhh....."
"Kamu ereksi ya. Ngaku aja."
"Zizi, singkirin tangan kamu dari situ."
"Iya, aku singkirin."
Tangannya terlepas dan pahanya menjepit penisku.
"Udah lepas kan tangan aku."
"Iya lepas. Paha kamu malah ngejepit penis aku."
Ia tidak menjawabnya. Ia mendaratkan ciuman di bibirku. Naluriku mengikuti kemauannya. Aku sadar jika tempat ini bukan tempat yang tepat.
"Zizi. Jangan disini. Nanti ada yang ngeliat kita."
"Kita balik aja ke penginapan yuk."
Kami membersihkan diri. Aku memegani pakaian kering Zizi dan kulihat ada CDnya di tanganku. Aku menghirup aroma CDnya dalam. Bau yang nikmat. Aku teruskan hingga tidak sadar Zizi telah melihatku.
"Udah selesai belum maenin CD aku?"
"Ah, Zizi. Maaf. Maaf ini pakaianmu."
"Terima kasih."
Aku bergantian dengan Zizi menjaga pintu kamar mandi. Kami keluar dengan badan segar. Ia langsung menjewer kupingku.
"Aduh aduh aduh sakit Zizi dijewer kupingnya."
"Sakit? Ini hukumannya kalo maenin punya aku tadi. Pilih mana? Aku tuntut kamu atau kujewer?"
"Maafkan aku Zizi. Aku cuma penasaran aja baunya kayak gimana."
"Udah tahu baunya kan? Nah, giliran aku jewer kamu."
"Aduh aduh aduh aduh Zizi. Aku minta maaf. Aku traktir makan sate kelinci."
"Sate kelinci?"
"Iya. Sate kelinci. Ya gitu sih, kalo ngebayangin gimana nyembelihnya. Jangan makan. Kalo udah sate aja dimakannya."
"Enak gak rasanya?"
"Ya dicoba aja."
"Awas kalo gak enak. Aku tendang punya kamu."
"Aduh jangan dunk. Galak amat sih."
Secara acak, aku memilih penjual sate kelinci terdekat. Aku berharap sate ini enak. Zizi mencobanya.
"Hhhmmm.....rasanya lumayan enak."
"Syukurlah."
"Eits, tunggu dulu. Bukan berarti bebas hukuman."
"Ambilin kamera aku. Kita liputan sekarang."
"Loh? Baiklah."
Bersambung pada Post Selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar