Rabu, 06 Januari 2016

Cerita Dewasa Artis Marissa 2

Part 2



Penisku masih sedikit tegang naik turun. Ia kembali menggenggamnya.
"Penis kamu masih tegang? Oh my....boleh aku minta sesuatu?"
"Apa, Cha?"
"Entotin aku kaya kamu perkosa aku."
"Aku gak tega, Cha."
"Plisss, perkosa aku."
"Maafin aku ya, Cha."
Kupegang tangannya erat disamping badannya. Kubuka belah pahanya dengan pahaku. Penisku tepat di depan Vaginanya. Sempat terpikir, mengapa aku harus melakukan ini.
"Buruan, katanya mau merkosa." Pintanya pelan.
"Bleeesshhhh........"
Tidak butuh waktu lama penisku untuk masuk. Agak longgar, namun tetap saja mampu mencengkram penisku kuat. Segera saja, kumulai genjotannya.
"Gamparin muka aku, Grha."
Tanganku menampar keras mukanya yang cantik. Aku terus menamparnya hingga bekas kemerahan di pipinya terlihat.
"Ooooohhhh.........ssssssshhhhh.......mmmmmhhhh... ...ampun........ampun.........ampun........"
Payudaranya menjadi sasaran untuk kumainkan dengan keras. Kunikmati hubungan badan ala pemerkosaan ini. Sifat liarku membantuku menggapai setiap nikmat di tubuhnya. Beberapa kali kulihat wajah Marissa yang sayu lemas, berlinangan air mata. Sesekali, ia menutupi wajah dan memaksaku untuk melepaskan penisku. Aku yang masih mendalami peranku terus saja tidak mengindahkannya.
"Ampun........jangan....jangan.....jangan.......sa kit....sakit.......sakit.......lepasin......lepasi n.......lepasin......"
Aku melepaskannya dan membalik badannya. Aku menyodokkan penisku dari belakang. Bongkahan pantatnya menggoda mataku. Tiada ampun lagi, kujambak rambutnya dan kutarik. Penisku masih melakukan tugasnya.
"Aaaaahhhhh.......ssssssshhhhh.......udah......uda h......uuuuddddaaaahhhh.......sakit.......ssaaakki iitttt.......pppeeerriiihhhh......ppppeerrriiihhh. ..."
Kudekatkan penisku di wajahnya.
"Bacot, lonte berisik banget. Rasain nih." Ejek aku pada Marissa.
Penisku menampari mukanya. Ia menutup matanya takut. Ia benar - benar berakting dengan kejadian ini.
Aku sudah tidak tahan lagi, aku memasukkan penisku dalam mulutnya. Dengan rambut terjambak, kuperkosa mulutnya hingga spermaku membuatnya tersedak. Sempat memuntahkannya dan mengenai badannya. Ia terlihat begitu lelah dan seperti wanita yang telah diperkosa.
Aku mendekatinya dan memeluknya.
"Cha, kamu gapapa kan?"
"Gapapa koq. Kamu udah menuhin keinginan aku bagus banget. Cuma gak nyangka aja, aku berasa kaya beneran."
Kucium bibirnya pelan dan kupakaikan tubuhnya pakaian dalam yang layak.
"Gak pernah bakal berakhir seperti ini, Cha."
"Gak pernah dapet perhatian seperti ini juga, Grha."
Selimut itu kutarik menutupi tubuh kami berdua yang saling berpelukan.
"Temenin aku malam ini, Grha."
"Aku temenin kamu, Cha."
Keesokan harinya, ia meninggalkanku sendirian di kamar hotel dan pesan bahwa ia ada urusan sehingga harus ditinggalkannya. Semenjak peristiwa itu, aku menjadi curiga kepadanya.
Meski, aku sendiri semakin berhati - hati. Wanita ini sepertinya mensejajarkan kastanya denganku. Berusaha membuatku dekat dengannya. Apakah ada sesuatu hal yang aku tahu? Atau ia ingin menjebakku dengan semua ini?



Shit, aku tidak boleh terjebak dengan permainan ini. Hal ini bisa membahayakan perusahaanku.
Dia makin membuatku semakin tidak fokus. Setiap saat aku memikirkannya. Apa yang ia lakukan kepadaku?
Semoga saja tidak ada apa - apa. Kulihat file SPK antara perusahaanku dengan perusahaan Pak Tito. Belum kubuka, mouse komputerku hanya menyorotnya. Aku menelepon salah satu staff di perusahaanku.
"Elfie, tolong cek-in SPK PT. Xxxxx."
"Ada apa? Ada yang salah."
"Tolong review ulang pasal - pasal perjanjiannya. Entah, aku merasa janggal."
"Baiklah, aku akan memberitahukan segera setelah aku menemukan kesalahan."
"Dan juga tolong draft awal yang sudah disetujui dan draft final yang sudah ditandatangani dicek ulang."
Marissa, apa kau menjalankan rencana seseorang. Teringat dengan Pak Tito, aku menghubunginya.
"Halo, Pak Tito."
"Pak Grha, sudah lama kau tidak meneleponku. Ada hal yang dapat aku bantu?"
"Kau menaruh action camera di ruang meeting waktu itu? Apa kau merekam sewaktu kita meeting?"
"Itu hal yang konfidensial. Aku tidak boleh sembarangan memberitahukannya."
"Apa kau menyembunyikan sesuatu yang tidak aku ketahui?"
"Tidak. Aku tidak menyembunyikan sesuatu."
"Pak Tito, saya tahu kepentingan saya saling berseberangan dengan kepentingan anda. Tetapi, saya sangat membutuhkan bantuan anda."
"Saya sudah bilang. Saya tidak tahu apa - apa. Permisi, saya masih ada urusan."
Pak Tito menutup teleponku. Kecurigaanku semakin bertambah. Ada sesuatu hal yang terjadi. Aku harus menemukan jawaban. Aku harus mengurangi intensitasku dengan Marissa. Walaupun, ia terkadang bisa mengajakku ke dalam alurnya.
Kualihkan pikiranku dengan "bobo siang" dengan orang lain. Tapi, tetap saja. Marissa terlalu dalam menancapkan pesonanya kepadaku sehingga aku tidak dapat lupa.
Elfie mendekatiku saat tengah bekerja.
"Grha, aku mendapatkan apa yang kau minta. Tapi, aku tidak dapat menunjukkannya disini."
Aku bersama Elfie keluar kantor ke cafeteria terdekat.
"Gotcha, ada sedikit perbedaan dengan draft SPKnya. Lihatlah dengan matamu sendiri." Alfie menggeser tablet elektroniknya dan meng-compare 2 dokumen yang sudah ditandai.
Aku membacanya dan terbelalak.
"What the fuck, ada merubah pasal ini. Tetapi, bagaimana caranya? Draft asli SPK baru dikeluarkan saat meeting." Aku tidak percaya dengan apa yang kubaca.
"Aku takut menyampaikannya kepadamu. Tetapi, hal ini akan sangat membahayakan divisimu dan stabilitas perusahaan jika dibiarkan. Kerugiannya ditaksir menjadi 40 persen dari nilai kontrak."
Seketika pikiranku kacau dan gagal paham. Mengapa hal ini dapat terjadi.
"Aku akan memberitahukan kepada atasanku. Aku akan menanggung segala resikonya. Dan, aku minta tolong. Bisakah kau melacak email dikirim oleh siapa dan bisakah kau mengambil data dari sumbernya? Aku rasa ada yang mempermainkanku saat meeting itu terjadi."
Aku mengirimkan email yang dikirim Pak Tito.
"Tautan laman dewasa? Yang benar saja."
"Telusuri uploadernya. Dan, ambil semua datanya."
"Kau yakin, hal ini akan memakan waktu yang lama dan membutuhkan jaringan deep web."
"Terserah apa yang kau lakukan. Karena setelah ini, aku akan diberhentikan dari perusahaan."
Aku memberitahukan kesalahan yang terjadi kepada atasan. Dan, mereka melakukan investigasi. Surat pemberhentian sampai di mejaku. Untuk saat ini, aku dinonaktifkan.
Seketika, kontakku dengan Marissa berkurang drastis. Aku lebih sering menghabiskan waktuku dengan yang lain dan mencoba menghubungi Pak Tito.
Sibad menghiburku dengan goyangannya saat aku berhubungan badan, Gita yang selalu menelan habis spermaku, Zaskia yang selalu menyediakan anusnya untuk anal. Dan, Kara yang selalu memberiku titjob. Tidak luput, aku selalu berusaha mencari tahu apa yang terjadi.
Hari berganti minggu, dan setelah beberapa minggu. Elfie menghubungiku.
"Halo, Grha. Gimana kabarmu?"
"Baik saja. Apa yang kau temukan."
"Sekumpulan video porno indonesia. Dan ada satu video scrap yang menurutku tidak berguna. Dan komputer ini terdaftar di Gen. Affair PT. Xxxxx ."
"Video scrapnya berisi apa?"
"Hanya percakapan orang orang berjas."
"Lebih baik kita bertemu."
"Aku akan ada di alun - alun kota sore ini. Datanglah, aku sangat merindukanmu."
Sore, di bangku taman aku dan Elfie bersama. Dari kacamata kotaknya, ia memperlihatkan video scrap.
"Ini video meeting perusahaan kita dengan PT. Xxxxx"
"Kau yakin?"
"Iya, wanita itu Marissa Christina. Dia menjadi MC meeting waktu itu."
Adegan demi adegan kulihat. Beberapa kali kutemukan statis yang mengganggu. Aku melihatnya berulang - ulang.
"Kau mencari apa?"
"Aku mencari bukti yang menunjukkan bahwa Marissa telah menukar dokumen SPK saat coffe break. Aku curiga statis ini sengaja dibuat untuk mengaburkan kita."
Kuamati berkali - kali hingga pusing sendiri.
"Damn, aku tidak dapat menemukan apapun."
"Kau sudah berusaha."
"Bagaimana kelanjutan kasus kemarin?"
"Kita tidak dapat berbuat apa - apa. Jika kita berhenti maka kita harus membayar 70 persen dari nilai kontrak. Jika diteruskan perusahaan akan merugi sekitar 40 persen. Jika dibawa ke jalur hukum, kita harus menanggung biaya lebih berat."
Kembali kuamati video itu di detik terakhir. Aku menangkap sesuatu yang dilakukan dalam sepersekian detik.
"Aku menemukan sesuatu. Tapi statis ini menggangguku. Bisakah kau mengamatinya lagi."
"Tentu jika kau mau bersabar."
"Baiklah. Tolonglah aku."
"Sebenarnya ada hal yang ingin aku tanyakan kepadamu?"
"Apa Elfie? Katakan saja."
"Kau pernah berhubungan badan dengan wanita yang di video itu?"
"Maksudmu?"
"Perusahaan tidak memecatmu karena menemukan kesalahan ini. Mereka memecatmu karena saat investigasi dimulai, beberapa petinggi dikirim sebuah video yang berisi kau sedang memperkosa Marissa di kamar hotel."
Pikiranku kembali mengingat hubungan badan yang pernah kulakukan bersamanya. Sial, dia merekamnya dan menjadikannya senjata makan tuan untukku.
"Kau tidak menjawabnya? Berarti itu benar terjadi."
"Elfie, dengarkan aku. Aku memang pernah berhubungan badan dengan Marissa. Dia memintaku untuk melakukannya."
"Tapi video itu membuktikan bahwa kau memperkosa Marissa. Kau sempat akan dipolisikan. Tetapi, agar masalah ini tidak meluas. Kau di pecat dari perusahaan."
"Aku melakukannya karena permintaannya, Elfie. Percayalah."
"Aku percaya. Walau, video itu membuatku tidak memungkiri kalau kau benar memperkosanya."
"Elfie, percayalah padaku. Aku dijebak olehnya."
Ia berdiri dan melangkah pergi tanpa sepatah kata. Aku begitu gusar atas kejadian ini. Tidak kusangka akan serumit ini. Hingga beberapa hari kemudian, aku benar - benar mencari tahu apa yang terjadi. Aku menghiraukan semua ajakan wanita yang pernah kutiduri.
Aku mencoba menghubungi Pak Tito dan Marissa. Sayang, mereka tidak menggubrisku sama sekali. Praktis, aku hanya bergantung dengan Elfie yang mungkin saja tidak akan membantuku.
"Aku harus menemui Elfie."
Ia tidak berada di apartemennya. Aku menungguinya di dekat apartemen. Sesaat kemudian, ia kembali menemuiku. Awalnya ia menolakku, perlahan ia menerimaku. Setelah pembicaraan yang kulakukan dengannya, terbukti bahwa ada intrik dalam peristiwa yang aku alami.
"Jadi, seperti itukah kejadiannya."
"Aku kembali mengamati statis di video yang kau berikan. Ternyata, video itu sengaja di dihilangkan agar terkesan utuh."
"Terima kasih, Elfie. Kau sangat membantuku."
"Tapi, aku tidak bisa banyak membantu dengan karirmu. Kalaupun hasil ini ditunjukkan. Tidak akan langsung mengembalikan posisimu. Paling tidak, nama kamu bersih."
"Tidak apa, Elfie. Aku tidak masalah. Aku minta tolong kau mengirimkannya kepada Marissa dan Pak Toto serta jajaran direksi perusahaan kita."
"Segera setelah ini akan aku kirimkan."
"Aku tidak tahu harus berterima kasih. Aku tidak tahu caranya."
"Kau tidak perlu berterima kasih, Grha."
Kuamati sekilas, Elfie sebenarnya wanita yang cantik. Hanya, kacamata botol sapi yang dipakainya. Rambut panjangnya tergerai alami. Tahi lalat di pipi kanannya menarikku. Aku duduk disampingnya melepaskan kacamatanya.
"Sudah kubilang jangan memakai kacamata seperti ini. Pake contact lens dunk. Elfie itu cantik."
"Ih, apaan sih kamu, Grha."
"Coba deh aku foto kamu."
Smartphoneku dengan cepat menangkap gambar wajahnya. Sebuah wajah yang berusaha memalingkan diri.
"Tuh, liat. Kamu itu cantik, Elfie."
Ia merebut smartphoneku yang kujauhkan dari jangkauannya. Wajah Elfie nampak jelas dihadapanku. Kami berdua salah tingkah.
"Tadi, itu...."
Belum sempat Elfie meneruskan perkataannya. Kugenggam tangannya. Kubelai rambut yang menutupi wajahnya.
"Sssttt.....gak usah bilang apa - apa." Kataku mencium tangannya.
"Grha. Kamu..."



Beberapa hari setelah pertemuanku dengan Elfie, pintu apartemenku diketuk. Seorang perempuan dengan dengan pakaian rapi ala kantoran berdiri di depan pintu. Kacamata hitamnya menutupi matanya.
"Marissa?"
"Boleh aku masuk? Aku ingin bicara sesuatu?"
Aku menampar mukanya dengan keras.
"Anjing. Biadab lo. Ngejebak gue ngentotin memek busuk lo."
"Gue mau jelasin kalo...."
"Tai lo, Cha. Gak ada gunanya jelasin lagi. Selamet dah pokoknya buat lu."
Aku membanting pintunya dengan keras dihadapan Marissa.
"Grha, tolong bukain pintunya." Marissa menggedor pintu.
Aku berpikir sejenak tidak ada salahnya aku berbuat baik kepada orang yang menjahatiku. Kembali kubuka pintunya.
"Kenapa kau kesini?"
"Aku ingin bla bla bla bla bla......"
Aku tidak mengindahkan obrolannya. Parasnya masih saja bisa menghipnotisku hingga aku tidak sadar.
"Grha? Bisa ngobrol di dalem?"
"Baiklah. Silahkan masuk."
Ia duduk di sofa. Aku membuatkan minuman untuknya.
"Silahkan diminum."
"Makasih." Ia meminumnya.
Aku duduk di dekatnya menatapnya.
"Jadi, bagaimana kau tahu tempat tinggalku?"
"Ceritanya panjang. Aku kesini karena aku ingin menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kita. Aku tahu ini tidak mudah. Tetapi, aku ingin semuanya jelas."
"Semua sudah jelas. Kau menukar dokumen SPK dan menjebakku dengan video itu sebagai senjata apabila perusahaanku balik melawan."
"Aku memang melakukannya."
"Kurasa tidak perlu kau menjelaskan mengapa kau melakukannya."
"Aku menyesal telah melakukannya."
"Syukurlah jika kau menyesal. Tetapi, kau akan menyesalinya sesaat dan kau kembali melakukan hal yang sama."
"Aku tidak akan melakukannya lagi."
"Aku tidak berhak melarangmu melakukan hal tersebut. Hanya, aku tidak percaya saja kau melakukannya kepadaku."
"Apa yang harus aku lakukan?"
Ia berpindah ke lantai dan melepaskan kemeja. Payudaranya menyembul dari bra yang dikenakan. Damn, ia menggunakan tubuhnya.
"Kali ini, aku berniat meminta maaf secara tulus."
Aku sendiri hanya memakai celana pendek tanpa boxer dan kaos. Aku masih duduk di sofa.
"Tidak perlu seperti ini, Icha." Tanganku memegang bahu Marissa. Ia refleks memegang leherku dan mencium bibirku. Aku memberontak tiada guna.
"Cha....mmmppphhhh.......udah....mmmmmppphhhh..... ." Ia menciumiku dengan beringas. Kepalaku dipegangnya erat. Aku terbuai nikmat yang diberikannya. Aku mulai mengikuti permainan bibir Marissa.
"Bibir kamu ngangenin, Grha." Marissa mengusap bibir basahnya dengan jari. Dadanya masih menekan dadaku dengan kencang.
"Liat nih, mau gak toket aku? Gak mau nih? Yakin?" Payudaranya ditonjolkan di depan mukaku.
"Aaaahhh.....nafas kamu bikin toket aku sange."
Pikiranku berkecamuk. Haruskah aku mengikuti nafsuku atau aku tetap teguh dengan pendirianku.
"Lama nih. Udah ah." Mukaku di dekap di payudaranya. Kulit halusnya menyentuh wajahku yang kasar.
"Hhhmmmmpppfffffff.......hhhhhhmmmmpppppfffffff... .Ichaaaaa......"
"Ih, basah kan gara - gara iler kamu nih." Merajuk, ia melihat branya yang basah oleh liurku dan melepasnya. Payudara dengan puting yang kurindukan kini tersedia di depanku.
"Untuk ukuran seorang wanita dewasa, kau mengalahkan banyak perempuan di luar sana." Aku bermain dengan payudaranya. Kujilat aerolanya dan beranjak ke putingnya yang kugigit, kuhisap dan mencoba menelannya bulat - bulat. Tapi, payudaranya tidak muat di mulutku.
"Sssssshhhhhh........aaaaaaaaccccchhhhh......mmmmm mhhhhhh.........uuuuuuuucccchhhhh........." Ia mendesah dan menggelitiki telingaku.
"Cha, bisakah kau....."
Ia mencubit dadaku. Aku mengaduh kesakitan. Ia nampak senang.
"Apa? Mau bilang apa?"
"Sakit Cha di cubit kaya gitu."
Aku melepaskan kaos dan melemparnya ke sembarang. Marissa mengecup dan menjilati dadaku dengan mesra. Ia merangsangku dengan usahanya. Tubuhku berdesir pada setiap jilatan lidahnya. Jarinya menekan - nekan dengan lembut.
Giliranku, aku berdiri dan melepaskan rok yang Marissa pakai. Aku lepas Garter yang dikenakannya. Sama - sama bertelanjang dada, tangan Marissa masuk dalam celanaku dan menggenggam penisku.
"Lepas aja yah. Aku juga lepas CD aku."
Aku telanjang bulat. Marissa pun sama. Kami saling berhadapan dan melihat satu sama lain.
"Penisnya maju banget tuh."
"Toket kamu juga ikut - ikutan tuh."
"Kali ini, aku bakal servis kamu penuh."
Kedua tangannya di pinggangku. Lidahnya menjamahi kepala penis (lanis) dan batang penis (tanis). Sentuhan basahnya menggetarkan badanku. Dikulumnya lanisku disertai gerakan memutar. Tanisku tidak luput darinya. Tangannya mulai membantu memijat tanisku. Mula - mula, 1 tangan dan 2 tangan berikutnya.
"Sssssllllrrrrppppp........sssssslllllrrrrrrppppp. ........ffffffllllllooooooppppp..........fffffffll llloooooppppp.........ggggguuullllppppp.......gggg guuuuulllllppppp......"
Jemariku menyisir kepala Marissa.
"Udah, Cha....aku gak mau keluar duluan." Aku mencabut penisku keluar dari mulutnya. Begitu merah dan basah.
"Aku kasih kamu show gratis nih. Kamu liat aku sambil kocokin penis kamu."
Ia mengangkang dan mulai memasukkan jarinya di vaginanya. Dikocoknya dengan racauan yang menambah semangatnya. Payudaranya juga dirangsang dengan tangannya sendiri. 2 jarinya masuk ke liang vagina. Aku mengocok penisku sambil Marissa masturbasi di depanku. Pemandangan ini tidak kusia - siakan.
"Deketan dunk. Penis kamu arahin di depan vagina aku."
Lanisku mengarah persis di depan liang vaginanya. Aku masih mengocok penisku. Hingga pada akhirnya, Marissa squirt dan cairannya menyembur membasahi penis dan sekitar perutku.
"Udah dibasahin penis kamu. Punya aku juga udah basah. Yuk, main bikin anak."
Main bikin anak? Dasar sikap keibuannya terbawa. Aku mengunci kaki dan tangannya. Kudorong penisku menembus masuk. Lancar tanpa ada perlawanan. Bulu halusnya masih seperti dulu.
"Ah...ah....ah...ah....ah....ah...ah..."
"Ooooccchhh....ooooocccchhhh.....ooooccchhh....ooo occcchhhh.....oooooccchhh...."
Penisku berusaha menggapai kenikmatan duniawi di dalamnya. Setelah puas dengan posisi ini, kami berganti posisi. Ia berbalik dan aku duduk menutup rapat kedua kakiku bersila. Aku melihat punggungnya dengan jelas saat ia sibuk naik turun. Ia kembali menghadapku dan kali ini kugunakan kesempatan untuk kembali menikmati payudaranya.
"Aaaacccchhhh.......aaaaaccccchhhhh......aaaaacccc cchhhhh.......aaaaaaccccchhhh.......aaaaaacccchhhh h......"
Aku menyusu payudaranya dan penisku masih memompa masuk ke dalam vaginanya.
Aku menjambak rambutnya dan mengganti posisi lagi. Dengan doggy style, aku mengangkanginya dan penisku menyeruak masuk. Aku bersikap kasar padanya kali ini. Rambutnya kutarik - tarik tak ubahnya seperti tali kendali. Ia tetap menikmatinya.
"Aaaaaccchhhh......sakit...rambut.....aku..... "
"Bawel, kamu gak ngerasain sakitnya aku waktu dipecat."
Aku mempercepat gerakan penisku. Tidak kusadari, aku juga menganiaya punggungnya hinga bekas tanganku meninggalkan bekasi kemerahan.
Kulepaskan dia ke lantai membuangnya seperti sampah. Aku duduk di sofa dengan penis masih berdiri dan mengumpulkan tenaga sejenak. Marissa bangkit dan ia memosisikan diri memasukkan vaginanya dengan penisku.
Ia memuaskan dirinya dengan penisku. Keringatnya bercucuran dari wajahnya. Ia mencoba berbalik badan dan menggenjotnya lebih keras. Penisku mulai nyeri dan merasakan sesuatu akan keluar dari penisku. Ia berhenti menghela nafas.
"Capek. Kamu kuat banget gak keluar - keluar. Perih vagina aku nih. Panas juga."
"Udah lama gak keluar juga soalnya."
"Pokoknya mesti keluar. Titik."
Aku memegang pinggangnya dan kugenjot dengan tenaga yang kupunya. Marissa sudah pasrah dengan tubuhnya. Ia sudah capek. Kukembalikan kesadarannya dengan menamparnya.
"Keluarin kata binal kamu."
"Pejuh. Aku pengen pejuh kamu."
"Terus?"
"Perek yang cuma butuh pejuh."
"Apalagi?"
"Icha pengen dipejuhin Grha kayak perek."
Penisku berganti lubang. Mulutnya menjadi santapan terakhirku hingga aku ejakulasi.
"Aaaahhhh........Ichaaaaaa......"
Penisku berkedut menyemburkan spermaku di mukanya dan terus meluber mengotori rambut dan badannya. Ia mengulum penisku hingga lemas. Ia terdiam dengan pejuh yang masih belum dibersihkannya.
"Yuk bersihin badan kamu."
Ia menolaknya. Ia masih duduk disana.
"Gak mau. Pejuh ini kayak aku. Dibuang percuma cuma bisa ngotorin aja. Aku gak ada bedanya sama pejuh kamu."
"Kamu bicara apa sih, Cha?"
"Aku minta maaf, Grha. Sebanyak apapun pejuh kamu tumpahin ke aku, aku gak akan bisa nebus kesalahan aku ke kamu."
"Hal itu bukan berarti bikin kamu gak berharga, Cha. Mungkin, aku masih belum bisa maafin kamu secara utuh. Tetapi, jangan punya pikiran kayak gitu."
Ia langsung memakai pakaiannya dan muka penuh sperma yang mulai mengering, ia meninggalkan rumahku. Aku menahannya dan ia tidak mengindahkanku. Dalam kebingungan, aku berpikir tentang Marissa.



Beberapa hari kemudian, perwakilan perusahaanku mendatangi tempat tinggalku. Mereka meminta maaf atas kejadian yang menimpaku dan menawarkan kembali posisi yang pernah kutempati. Aku menerima permintaan maaf. Aku masih belum bisa menerima kembali ke pekerjaanku karena reputasi yang masih melekat kepadaku. Beberapa hari kemudian, rekanku menawarkan pekerjaan di sebuah perusahaan Plumbing (pemipaan) sanitasi dan rumah tangga sebagai Field Supervisor. Meski tidak senyaman pekerjaanku dahulu, aku menerimanya sebagai tantangan dan memulai membersihkan namaku.
Singkatnya, kehidupanku berangsur normal. Dan, kali ini aku bersama Kara menikmati makan malam.
"Gimana kerjaan kamu yang baru?"
"Ya begitulah, Ra. Makanya, aku sampe bisa ngajak kamu dinner."
"Sering - sering aja loh begini."
"Bisa tekor akunya."
"Hahahaha.....lain kali aku juga yang bayar."
"Terus pemipaan kamu gimana? Lancar?"
"Lancar koq. Pemipaan di beberapa lokasi udah dikerjain."
"Terus pemipaan punya kamu?"
"Maksudnya?"
Ia memberi kode dengan kakinya di bawah meja.
"Pemipaan punya kamu, Grha."
"Belum aku apa - apain. Masih belum dikerjain."
"Boleh aku kerjain biar lancar keluarnya?"
"Emang gak bosen di tempat yang sama?"
"Enggak ah. Abis ini kita sewa hotel buat malam ini. Aku juga butuh pemipaan nih biar enak."
Kami tersenyum dan malam ini akan berakhir saat sarapan pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar