Situs Cerita Dewasa, Cerita Sex, Cerita Basah, Cerita Lendir, Cerita Panas,Cerita Bokep,Cerita Sedarah,Cerita Tante,Selingkuh,ABG,Pasutri,2018 dengan Kisah Nyata Sedarah, Daun Muda, Fiksi dan Bergairah untuk dibaca
Rabu, 06 Januari 2016
Cerita Dewasa Artis Kara 1
Part 1
Pagi - pagi, teman sekerjaanku, Dega menghampiri mejaku. Sedikit terkantuk karena belum minum kopi. Ia langsung memberiku secangkir kopi.
"Tumben, ada apa nih ngasih gue kopi? Biasanya paling ngasih kerjaan ke gue."
"Yaelah, begitu amat sama gue sih A'."
"Kenapa lu? Kayaknya kusut banget."
"Hape gue error yang BB. Pengen ganti hape guenya. Ke Android mungkin."
"Oh, terus mau minta kasbon? Ngomong gih ma Lika."
"Gue udah ngobrol ma Lika. Gue minta temenin A' ke BCP ntar malem."
"Pacar lu kemana?"
"Ah, A'. Gue minta tolong nih."
"Iye, ngenes amat elu. Udah kerja mapan, kagak punya cowo."
"Lu juga sama, A'. Gak punya cewe juga."
"Pacaran yuk."
"Ogah sama A'."
"Kagak lah. Oiya, mau beli hape yang gimana?"
"Punya Lika kali ya?"
"Itu mah Iphone, neng. Ada uangnya?"
"Gak ada juga sih."
"Hadeuh, si eneng ini. Punya uang berapa sih?"
"500ribu aja, A'. Tapi, gak yakin juga sih dapet pinjeman."
"Ntar malem ke BCP barengan. Kalo ada yang masuk duitnya. Gue tambahin."
"Serius, A'?"
"Iya, nanti bayarnya bulan depan, ya."
"Huh, si Aa' ni. Kirain gratis."
"Makanya jadi pacar Aa'."
"Mending gue bayar bulan depan."
"Iye iye. Yaudah makasih kopinya. Coba aja kalo tiap pagi gini, kan enak guenya."
"Ngarep Aa'nya."
Dega berlalu pergi. Ah, ada - ada saja kelakuannya pikirku. Dan pekerjaanku berlanjut hingga sore hari.
Aku dan Dega sudah berada di BCP sejak petang tadi. Dasar cewek, kalau milih barang selalu lama. Aku mengikutinya berpindah - pindah konter hape.
"Ga, mau berapa konter lagi yang mau didatengin."
"Gak tahu nih, A'."
"Lah, gimana sih? Yang butuh hape kan lu bukan gue."
"Bingung A'. Banyak modelnya."
"Ntar juga gue tambahin. Tapi, gak banyak juga."
Sebuah stand hape menarik perhatianku.
"Mau liat stan itu? Kayaknya smartfren cakep tuh."
"Iya, yuk ah."
Semoga saja ini menjadi tempat terakhir. Ia masih bertanya dan memilih hape yang sesuai. Aku sibuk melihat iklan elektronik yang tersedia disamping stan itu. Sebuah wajah yang menarik untuk kusimak. Rambut pendeknya menambah kesan seksi dan boy-ish. Aku mengetahui bintang iklan itu adalah Girindra Kara. Dulu, ia berambut panjang. Sekarang, gayanya minimalis. Sejak dia bermain di serial Masalembo, aku cukup mengaguminya. Ingin sekali bertemu dengannya melalui perkenalanku dengan Gita.
"A' ngelamun aja. Punya 700 ribuan gak?"
"Aduh, neng banyak banget sih."
"Lagi promo sih, A'."
"Yaudah kalo gitu, aku mau juga lihat. Sekalian bayarnya juga."
Dega membeli hape smartfren. Dan, aku senang melihat paras cantiknya di iklan itu.
Aku dan Dega berpisah. Wajah Kara terbayang di pikiran. Sial, pasti seperti ketika ada wanita yang menarik perhatianku. Hape sudah berada di tanganku. Nomor kontak Gita tersorot. Haruskah aku menggunakan Gita untuk berkenalan dengan Girindra Kara? Kebingungan, aku memencet tombol back dan melepaskan hape-ku.
Keesokan harinya, Dega dengan riang memamerkan hapenya. Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Aku browsing tentang Kara di Internet. Tidak terlalu banyak info terbaru yang didapat. Hanya sekumpulan arsip - arsip berita dahulu. Mungkin, ia menghargai kehidupannya dengan tidak mengeksposenya secara berlebih.
Beberapa hari berlalu, dan aku tetap membayangkan parasnya di iklan seperti orang yang bodoh. Bodoh karena dia. Tidak mengapa jika harus seperti itu.
Menjadi kebiasaanku saat weekend tiba, kepalaku butuh refreshing dari penatnya kerja. Dengan motor, aku berkendara mengelilingi Jakarta. Melihat gedung bertingkat dan pusat perbelanjaan setidaknya menenangkanku. Aku berhenti di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Timur. Tidak terpikirku untuk membeli sesuatu. Aku berjalan menjelajah isi tempat tersebut. Seseorang merangkulku dari belakang. Aku berbalik badan, ia tersenyum kepadaku.
"Hai, Grha."
"Gita! Eh ngapain kesini."
"Harusnya aku yang nanyain itu ke kamu."
"Aku sih jalan - jalan aja. Pusing di rumah aja. Kamu udah jarang ngehubungin aku juga."
"Iya deh maaf. Lagi padet juga jadwal aku. Kebetulan nih ketemu, ikut yuk sama aku."
Tangan kananku ditariknya mengikuti ia berjalan. Aku senang dapat bertemu dengannya. Ia berhenti di pojok sepi dan memberi isyarat tangan mengepal seperti orang batuk dan menekan lidahnya ke pipi.
"Lagi mens nih akunya. Tapi pengen...."
"Ih, gak bosen kamunya."
"Gak dunk. Ke parkiran aja yuk. Di mobil."
Singkatnya, kami menyelesaikan urusan nafsu di dalam mobil dan kembali masuk ke dalam pusat perbelanjaan.
"Kamu belum jawab aku, Git."
"Jawab apa?"
"Cantik - cantik bloon ya. Ya kamu disini ngapain? Abis dipejuhin begini nih."
"Biarin aja. Yang penting udah dipejuhin. Aku disini nemenin temen."
"Temen ato temen?"
"Cemburu ya? Hayo ngaku."
"Dikit sih. Eh, tadi itu mobilnya Girindra Kara?"
"Iya. Aku nemenin dia jadi Ikon iklan hape itu loh."
"Smartfren?"
"Iya. Nungguin di backstage aja."
Aku sampai di booth smartfren. Promosi dan penawaran ditumpah ruahkan di tempat ini. Bersama Gita, kami menunggu di backstage.
"Kamu manggung disini juga?"
"Tadi sih. Udah selesai."
"Aku mau keliling booth boleh? Nanti aku balik loh."
"Iya. Gapapa."
Aku berkeliling booth. Alasanku sebenarnya adalah agar aku bisa melihat Kara secara langsung. Dia berada di sudut booth dengan kostum yang sama dengan iklannya. Sial, dia cantik banget. Kuperhatikan parasnya yang menawan. Berdiri disana dengan segala keindahannya. Baru beberapa aku tinggal, Gita menghubungiku. Ia tidak memiliki teman ngobrol. Ah, kenapa sih dia mengganggu saat seperti ini. Aku menemui dan menemaninya hingga Kara turun panggung. Gita menyambutnya dengan riang.
"Kara..."
"Gita....."
"Gimana tadi?"
"Begitulah. Capek. Untung ada kamu disini. Kalo gak, huh...bakalan bete."
"Iya deh iya. Oh iya, kenalin nih temen aku, dia yang pernah aku ceritain ke kamu."
Aku dan Kara bertatap pandang. Kujulurkan tanganku untuk bersalaman.
"Grha...."
"Kara. Kamu yang pernah nolongin Gita 'kan?"
"Iya, saya pernah menolongnya."
"Gimana? Ganteng 'kan?" Rayu Gita pada Kara.
"Ih, apaan sih, Git. Gak enak di dengerin orangnya."
"Terus kenapa gak lepas - lepas tuh tangan."
Spontan, kami melepaskan tangan. Kara salah tingkah terhadap Gita. Aku sendiri menyembunyikan salah tingkahku.
"Oiya, Gita, Kara. Aku keluar dulu ya. Gak enak aku nimbrung dalam obrolan kalian."
"Ikut aja disini, gapapa." Kara memandangku.
"Aku sekalian ingin ke toilet."
Aku pergi ke toilet. Aku tadi terburu - buru hingga tidak membersihkan diri.
"Sepongan Gita kayak mesin pompa. Kenceng banget." Pikirku
Penisku sedikit tegang bila mengingatnya. Kubawakan sepasang gelas berisi kopi kepada Gita dan Kara.
"Nih, Git. Ada kopi biar kamu gak ngerokok lagi."
"Makasih loh, Grha."
"Kara, nih kopi buat kamu biar ada tambahan energinya."
"Makasih juga."
Aku dan Kara saling pandang. Gita tidak menyadarinya. Mungkin, ia telah mengetahui apa yang aku lakukan terhadap temannya yang sibuk dengan hapenya.
"Grha, boleh minta tolong? Aku ada show dadakan di kawasan Jakpus. Tapi,......"
"Loh, emang gak dijadwalin sama si xxxx?" Kara memotong.
"Dia miskomunikasi."
"Iya, aku anterin koq. Koq ada tapinya?"
"Aku sama Kara cuma pakai mobil satu. Nanti, gimana Kara mau pulang?"
"Soal Kara, biar aku yang anterin ke rumah."
"Gapapa, Git. Nanti aku naik taksi aja."
"Besok kan aku show di luar jawa, Ra."
"Yaudah gini - gini. Git, aku anterin kamu sekarang. Baru setelah itu aku anterin pulang Kara."
"Ngrepotin kamu loh, Grha akunya."
"Kamu kan temen Gita. Harus dibantuin juga."
Aku mengantarkan Gita menuju tempat shownya berlangsung. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol satu sama lain.
"Sayang..."
"Baru nih manggil sayang." Kataku.
"Abisnya dari tadi manggil nama terus. Gak enak."
"Hahaha.....kan juga gak enak manggil sayang di depan temen aku."
"Besok jadwal keluar jawa ya?"
"Iya, beberapa hari sih. Berangkatnya nanti dini hari. Makanya, naik mobilnya cuma satu."
"Ati - ati disana. Jaga kesehatan juga."
"Perhatian banget sih sayang."
"Gapapa kan?"
"Gapapa koq. Gimana Kara?"
"Maksudnya?"
"Kara cantik gak?"
"Cantik koq."
"Tuh kan sayang."
"Loh koq marah? Kan nanyain Karanya kaya gitu."
"Terus kalo aku?"
"Kalo sayang sih udah cantik banget. Fuckable juga."
"Tapi kan sekarang lagi gak fuckable. Tapi nanti kalo udah balik, akunya di -fuck ya."
"Iya. Liat waktunya juga."
"Aku titip Kara juga ya, sayang."
"Aku udah diceritain ke temen kamu?"
"Udah. Dari usaha kamu bikin aku berhenti ngerokok sampe nolongin aku ganti ban."
"Oh syukur deh kalo gitu. Kayaknya udah sampe nih."
"Oh iya, udah sampe nih."
"Koq kamu sedih gitu?"
"Parkir dulu ya. Pengen jadi cewek yang fuckable buat kamu. Kan masih ada yang belakang."
"Yaudah kalo gitu."
Mobil kuparkirkan di tempat yang aman dan kami menuntaskan hasrat duniawi kami.
"Makasih ya sayang udah ngasih aku tadi."
"Kamu juga ngenakin aku banget."
"Masih sakit nih. Tapi, nikmat banget. Aku pamit yah. Jagain Kara loh."
"Iyah. Aku jagain temen kamu."
Aku kembali ke tempat dimana Kara berada. Aku menuju booth yang sudah mulai sepi dan segera ke backstage. Kara telah berganti pakaian.
"Maaf aku terlambat."
"Gak koq. Aku baru saja selesai."
"Yuk kalo gitu."
Kami beriringan jalan menuju parkiran. Dengan memakai jaket jeansnya, aku melihatnya dengan penuh kagum. Rambut pendeknya membuatku terpesona. Ia menangkapku sedang melihatnya.
"Kenapa liatinnya kaya gitu?"
"Gapapa, koq."
"Terus kenapa liatinnya aku kaya gitu?"
"Ya aku liatin kamu karena cantik."
"Semua cowok pasti bilang begitu."
"Emang kenyataannya kamu cantik."
"Oh iya, tadi Gita nitip pesen apa sama kamu?"
"Cuma nitipin pesen buat jagain kamu."
Kami berdua masuk ke dalam mobil. Aku yang menyetir dan dia duduk di kursi depan.
"Sekarang kemana?" Kataku
"Pulang aja. Udah malem. Capek aku."
"Yaudah. Kita lewat jalan tol aja."
Mobil milik Kara melaju di ruas tol Jakarta. Kami mengobrol seperlunya. Ia terlihat letih dan kecapekan. Tidak mau kupaksakan dirinya untuk mengobrol denganku. Kunyalakan GPS di samping dashboard dan mencari lokasi tersimpan. Tertulis Home pada lokasi tersimpan. Muncul perintah untuk memulai navigasi dan berkendara sesuai arahan GPS.
Kara telah tertidur pulas ketika sampai di rumahnya. Kutinggalkan ia bersama pembantu yang mengurus rumahnya. Aku pun kembali ke rumah.
Paginya, saat aku menyiapkan sarapan pagi. Kara meneleponku.
"Hei, Pagi Grha."
"Siapa ya?"
"Ini aku, Kara."
"Maaf aku tidak menyimpan nomormu? Tunggu, bagaimana kau bisa dapat nomor teleponku?"
"Aku menghubungi Gita dan memberi nomormu. Btw, makasih ya udah nganterin sampe rumah. Sampe dianterin ke dalam kamar kata si bibi."
"Iya sama - sama koq. Aku hanya melakukan apa yang diminta Gita."
"Tapi, bukan itu yang diminta Gita lho."
"Bukan itu?"
"Supir aku lagi pulang kampung. Aku ada acara jadi MC di kejuaraan Motor Trail di daerah. Bisa nyupirin gak? Aku bayar deh. Aku udah bilang ke Gita"
"Kalo udah bilang Gita yaudah berarti aku bisa nyupirin kamu. Kapan berangkatnya?"
"Sekarang sih. Kejuaraannya dimulai besok. Aku belum hafal juga daerahnya."
"Baiklah aku kesana sekarang."
Aku sampai di rumahnya. Ia nampak sibuk menyiapkan barang - barang keperluannya.
"Maaf aku baru datang."
"Tidak apa, aku baru selesai menyiapkan barang keperluanku."
"Mana barangnya? Biar aku masukkin ke mobil."
"Gak ngrepotin nih?"
"Tenang aja."
Kuangkat tas miliknya dan kutaruh di bagasi mobil. Ia berbicara kepada pembantunya untuk titip rumah
"Berangkat yuk, Grha."
"Yuk."
Mobil melaju perlahan meninggalkan rumah.
"Emang Gita ngizinin aku pergi sama kamu."
"Tentu dunk. Aku udah bilang ke dia."
"Ya, aku masih gak percaya aja."
"Percaya dunk. Lagian........"
"Lagian apa, Ra?"
"Boleh nanya sesuatu?"
"Silahkan aja."
"Hubungan kalian berdua itu apa sih?"
"Loh, bukannya Gita udah ngasih tahu ke kamu, Ra?"
"Dia ngasih tahu kalo kamu temennya."
"Emang aku temennya Gita."
Dia terdiam. Sejurus kemudian, menyalakan GPSnya. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan.
"Bisa berhenti di depan gak?"
"Bisa koq."
Aku menyetop mobil di pinggir jalan.
"Kalo gitu, bisa liat ini gak?"
GPS itu memutar video aku bersama Gita. Dalam video itu, dari kursi depan Gita mengoralku yang duduk di kursi supir. Sesekali, suara desahan terdengar. Aku terkejut bagaimana GPS ini dapat merekam peristiwa ini. Kara melihatnya dengan bergetar. Ia menahan gejolak nafsu yang membuncah dalam dirinya. Hingga, saat aku berejakulasi. Gita menelan semua pejuh dari penisku. Ia menyetop video itu.
"Kalian koq bisa begituan sih?"
"Ehm...itu...aku..."
"Kalian katane teman, tapi Gita sampe mau sepongin kamu. Ada apa?"
"Kami emang saling berteman, Ra. Itu cuma kebetulan aja."
"Kebetulan?"
Ia kembali menyalakan sebuah video. Aku menduga video ini adalah saat aku melakukan anal kepada Gita di kursi belakang. Secara tidak sadar, kami melihat video itu dengan seksama. Penisku bereaksi dan menegang. Ia memutarnya hingga aku memuntahkan pejuhku di anusnya.
"Gita nikmatin banget itunya kam u."
"I..iya sih, Ra. Aku minta maaf ngelakuin itu di mobil kamu."
"Aku sih marah aslinya. Tapi, ya udah kejadian kan?"
"Aku nyesel, Ra."
"Udah berapa kali ngeseks sama Gita?"
"Gak keitung. Kalo dia minta, aku kasih kalo gak sibuk."
"Kamu pernah minta ngeseks sama dia?"
"Pernah, tapi gak sebanyak yang Gita minta."
"Beruntung banget ya Gita. Bisa ngeseks sama kamu. Jadi pengen ngerasain gimana ngeseks sama kamu."
Kupegang tangannya. Ia meremasnya pelan. Senyum tersungging dari wajahnya. Kucium tangannya. Wajahnya memerah.
"Apaan sih, Grha pake acara cium tangan aku." Kara tersipu malu.
"Emang gak boleh?"
"Boleh sih."
Kupeluk tubuhnya yang hangat. Ia memberikan kehangatan. Bibirku mencium mesra lehernya dan menghembuskan nafasku. Ia melenguh pelan.
"Aaaahhhh......"
"Kamu terangsang liat video tadi?"
"Sebagai cewek, ngeliat sahabat aku sendiri ngeseks. Aku dah horny dari waktu nemuin video itu."
Aku mencium keningnya. Lanjut ke pipi kanan kiri dan hidungnya.
"Cewek tomboy kaya kamu bisa terangsang juga."
"Biar begini, aku juga tetep cewek biasa. Liat begituan juga ikutan horny."
Bibirku dengan bibirnya beradu dalam satu ciuman. Sementara, kami saling menukar ludah dengan lidah kami. Saling berpagutan menunjukan dominansi dan kegairahan yang ingin direguk.
"Ciuman kamu nikmat banget, Grha."
"Kamu pandai mainin lidah kamu."
"Boleh liat penis kamu gak? Gita aja sampe segitu nafsunya sama kamu."
"Jangan disini ya. Kita cari rest area di pom bensin dulu."
"Iya deh."
Aku kembali memacu mobil. Aku berhenti di sebuah rest area yang cukup lebar. Aku memarkirkan mobilku di parkiran yang tersedia.
"Pindah ke kursi belakang aja biar nyaman."
Kami berdua pindah ke belakang. Aku duduk disampingnya.
"Waktu aku nyetir kamu liatin celana aku ya?"
"Enggak koq. Enggak. Aku enggak liat koq." Kara terbata - bata.
"Mata kamu gak bisa diboongin loh."
"Udah boleh akunya?"
Aku membuka celanaku di depannya. Penisku tegang didepannya. Ia melihatnya dengan takjub sekaligus takut. Ia menyentuhnya dengan tangan tepat di lanis (kepala penis).
"Ooohhh...."
"Eh, kamu kenapa?"
"Gapapa koq. Kamu nyentuhnya pas di titik lemah aku. Jadi berasa banget sentuhan kamu."
Kara masih ragu - ragu. Ia takut sekaligus bernafsu untuk bermain dengan penisku lebih jauh.
"Aku pegang yah penisnya."
Ia memegangnya. Sensasi itu menyetrum tubuhku. Dipegangnya pelan kemudian dieratkannya.
"Penis kamu gede. Pantesan, Gita suka banget sama kamu."
Ia mengukurnya dengan jarinya. Walaupun, hal itu tidak penting.
"Dikocok aja, Ra."
Ia memulai kocokannya. Ia mengocoknya tidak beraturan. Mungkin ia pertama kali melihat penis secara langsung.
"Enak gak kocokanku?"
"Enak banget, Ra."
"Mau dijilatin penisnya. Pengen tahu rasanya."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar