Part 1
Gedung The East, kawasan Mega Kuningan. Setelah mengurus administrasi tabungan di salah satu bank, aku menyempatkan diri ke stasiun TV di tempat ini. Berbekal informasi dari salah satu kru TV yang kebetulan mengantarku hingga meja informasi.
"Permisi, selamat siang." Aku menyapa.
"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Sambut seorang perempuan dibalik meja.
"Saya ingin menemui Ibu Zivanna."
"Sudah ada janji, Pak?"
"Saya belum membuat janji. Saya disuruh Ibu Asyifa untuk menemuinya. Saya minta tolong karena ini special request, Bu."
"Dengan Bapak Siapa."
"Grha. Pak Grha."
"Mohon tunggu sebentar. Nanti saya beritahu bapak."
"Terima kasih."
Aku duduk di sofa yang tidak jauh dari meja informasi. Cozy place to me. Tidak lama kemudian, diberitahukan kepadaku bahwa Ibu Zivanna nanti akan segera menemuinya. Bila kuingat Syifa, pikiranku selalu tertuju pada tubuhnya. Dasar, otakku harus kujernihkan. Seorang perempuan menghampiriku. Rambutnya pendek menggantung dan memakai seragam kru TV ciri khasnya. Perempuan itu menyambutku dengan saling berjabat tangan. Aku berdiri menyambut tangannya.
"Pak Grha? Dari Ibu Asyifa?"
"Iya. Saya Grha."
"Silahkan duduk dahulu. Saya Zivanna."
Kami duduk berhadapan.
"Begini, saya datang kesini oleh Ibu Asyifa untuk mengantar barang kepada Ibu Zivanna."
"Panggil Zizi aja. Jangan terlalu formal dengan aku."
"Baiklah kalo begitu, Zizi."
Aku menyerahkan sebuah kotak yang terbungkus kertas coklat rapi seukuran buku novel.
"Aku rasa kita harus berbicara di luar kantor. Bisakah?"
"Tentu saja."
Aku dan Zivanna masuk ke dalam lift dan turun menuju kantin makanan terdekat. Terlebih dahulu, Zivanna menaruh barang titipanku ke meja informasi.
"Mau pesan apa?"
"Tidak. Terima kasih."
"Aku dengar kamu seseorang yang dapat aku percaya dari Syifa."
"Maksudnya?"
"Aku dengar cerita, kamu bantuin Syifa selesein masalahnya."
"Itu masalah kerjaan aja."
"Sebelumnya kerja dimana?"
"Di perusahaan Plumbing awalnya. Karena ada suatu hal, saya resign dari perusahaan."
"Maaf, kalo aku kayak wartawan. Tapi, boleh tahu alasannya?"
"Aku keluar karena kasihan dengan pegawai yang sebelumnya yang bermasalah dengan restoran milik Syifa. Ia mengambil keuntungan demi membiayai pengobatan anaknya."
"Mengapa dilepaskan begitu aja?"
"Semua orang punya harga diri. Meskipun, orang itu pencuri. Ia mencuri hanya karena terdesak anaknya sakit."
"Aku mengajakmu ketemuan di luar karena Syifa telah cerita tentangmu. Ia terus - terusan membicarakan tentangmu. Aku punya sebuah pekerjaan. Walaupun, tidak tetap."
"Pekerjaan? Syifa memintamu memberi pekerjaan kepadaku?"
"Kau menolak untuk bekerja di restorannya kan?"
"Iya. Aku tidak ingin merepotkan dia karena ulahku sendiri."
"Udah pernah liat program special report di NET?"
"Pernah. Sesekali."
"Aku mendapat pekerjaan membuat liputan news in depth. Especially, citizen journalism. Aku berpikir untuk meliput potensi obyek wisata di Gunung Xxxxx. Yang aku dengar dari Syifa, kau sempat kesana. Kebetulan kau pernah ke tempat itu."
"Ya, aku pernah kesana beberapa kali."
"Kau bersedia ikut?"
"Boleh saja. Jika kau sudah memintaku seperti itu. Syifa sudah melakukannya untukku."
"Aku akan membayarmu segini. Belum termasuk fee liputan apabila lolos redaksi. Makanan, akomodasi dan uang saku nanti dibicarakan." Tangannya menunjukkan angka yang cukup besar untukku lewat secarik kertas.
"Aku akan membantumu karena kamu teman Syifa."
"Apa kau sedang berpacaran dengan Syifa?"
"Ah, tidak. We're just friend in work."
"Aku bisa membuat namamu terkenal lewat gossip artis."
"Nope. I don't want to. Jadi, kapan kita berangkat."
"We're leaving soon. Aku nanti kabarin kamu. Welcome to my work."
Kami berdiri dan saling berjabat tangan. Setelah itu, kami bertukar kontak dan aku pamit kembali ke rumah. Sebelum ke rumah, aku ingin berterima kasih kepada Syifa yang berada di restoran. Aku disambut Yara yang sibuk mengawasi aktivitas restoran.
"Hei, Yara. Apa kabar?"
"Baik, Kak Grha."
"Kak Syifa dimana?"
"Lagi di kantornya."
"Yaudah aku kesana."
Aku masuk ke dalam. Ia antusias menungguiku disana.
"Udah ketemu sama Zizi? Terus?"
"Ia menawariku pekerjaan sebagai kameramen temporer. Kau menceritakan apa saja?"
"Tentang kamu aja. Kecuali hubungan kita."
"Makasih udah ngebantu aku lagi."
"Sama - sama. I'm always yours. Whatever you said to me, I'll do it."
"Oiya, besok anterin aku ke pemotretan dunk."
"Iya, aku anterin koq."
Ia menggapai tanganku dan menarikku mendekati tubuhnya. Disisi ruangan, ia bersandar di dinding dengan mukaku menyentuhnya. Tangan menyusup celana kerjanya. Aku membelai vaginanya halus dan menusukinya dengan jemariku.
"Abis dicukur?"
"Biar makin kerasa aja sentuhan kamu."
Ia pun melakukan hal yang sama dengan penisku. Dikocok dan diurutnya pelan merasakan urat yang berdesir disana.
"Penis yang selalu bikin aku kangen."
Kulepaskan sebagian kancing pakaiannya. Aku meraba - raba tubuh atasnya. Kubungkam mulutnya dengan ciuman agar tidak berisik. Ritual kebiasaan kami yang tidak terlewat sekalipun di tempat ini. Payudaranya mulus di tanganku. Membuatku semakin bergairah kepada Syifa.
"Aaaaaacccccchhhhhh.........ssssssssssshhhhhhhh... ........oooooooooooocccccchhhhhhh....."
Kocokan semakin gila dan ia mahir menggunakan tangannya. Makin berantakan pikiranku untuk beralih darinya. Ia mengambil gelas sloki di dekatnya. Dikocoknya penisku tidak beraturan mengeluarkan spermaku di gelas itu.
"Aaaaaaahhhhhh......gggaaakkk....kkkuuuaaaattttt.. ....hhhhhhhnnnnnngggggggghhhhhh....."
"Ccccccccrrrrrrrooooottttttt.......cccccccrrrrrooo ooottttt........ccccccccrrrrrrooooootttt.."
Spermaku memenuhi gelas. Ia terus mengocok hingga penisku lemas. Gelas itu ditaruhnya di meja kerjanya. Ia menelepon Yara membawakan roti. Sekaligus, Jus buah untukku. Jarinya dicelup pada gelas. Kemudian, lidahnya merasakan ujung jari.
"Udah lumayan manis. Kamu ikutin saran aku kan?"
"Iya. Syifa."
Yara masuk dan membawa roti di piring. Syifa menuangkan spermaku di atas roti.
"Itu apa, Kak?"
"Obat kecantikan."
"Minta dunk, Kak."
"Gak boleh. Ini buat kakak."
"Kakak pelit sama aku."
"Iya, Iya tapi segini aja ya."
Syifa memotong roti sebagian yang terkena leleran spermaku. Dimakannya roti itu dengan pisau dan garpu.
"Kak Grha mau?"
"Enggak terima kasih."
Untuk apa aku harus mencicipi spermaku sendiri. Ponselku berdering.
"Halo."
"Ini Zizi, Grha."
"Ada apa, Zizi?"
Syifa melihatku sebentar kemudian melanjutkan makannya.
"Besok sore kita berangkat. Kita kumpul di terminal kampung rambutan. Sekalian, aku ada liputan disana."
"Baiklah. Sampai jumpa besok."
Syifa menyelesaikan makannya. Yara sendiri sudah kabur dari tadi.
"Zizi? Ngomong apa?"
"Besok aku akan keluar kota untuk beberapa waktu bersamanya."
"Jagain temen aku, Zizi. Awas kalo ada apa - apa."
"Kamu gak cemburu kan?"
"Enggak. Nanti malem, main ke rumah aku. Aku harus dipuasin sekali lagi."
Ia keluar dan menuju kamar mandi. Ia kembali dengan wajah lemas.
"Grha, aku kena mens tadi. Sebel banget kalo gini."
"Yaudah mau di anal?"
"Aku kan udah bilang berkali - kali kalo aku gak mau di anal."
"Yaudah kita mesra - mesraan aja nanti. Gak usah pake acara dimasukkin."
Lucu melihat wajah cantiknya sebal dan mengambek.
"Apa liat - liat, aku lagi PMS."
"Baru tadi keluar, udah marah - marah aja."
"Ya maaf. Namanya juga lagi PMS."
Malamnya, di tempat tidurnya, Syifa sibuk mengocoki penisku yang lemas agar menegang lagi.
"Syifa, udah 3 kali aku keluar. Masih belum puas?"
"Belom. Bawel ah udah enak gini."
Meski tidak setegang sebelumnya, penisku sudah menegang lagi. Aku sekarang melihat Syifa seperti wanita tidak terawat. Rambutnya acak - acakan. Tubuhnya bau keringat dan ia mengocokku penisku seperti orang gila akan sperma.
"Buruan ih keluarnya. Lama banget sih."
"Syifa. Udah dunk. Kalo capek istirahat aja. Besok ada pemotretan kan?"
"Ih, bawel banget sih. Udah sih buruan aja dikeluarin."
Aku sudah tidak tahan lagi. Aku menampar mukanya hingga jatuh.
"Grha??"
Wajahnya kutampari dengan penisku.
"Dasar wanita. Nih rasain penis aku ngegamparin kamu."
Penisku menampar pipi kiri dan kanannya. Penuh emosi, aku menghujamkan penisku masuk dalam mulutnya. Ia memberontak tidak kuindahkan sama sekali.
"Uuuhhhuuukkk....uuuuhhhhuukkk....uuuhhhhuuuukkk.. ..uuuuuuhhhhuuuukk.....gggggggghhhhhhh.....ggggggh hhhhhhhh........ggggggggglllllllpppppp......gggggl llllpppppp......gggggggggggggwwwwwwhhhhhhhh....ggg gggggwwwwwwhhhhh......."
"Ccccccccrrrrrrrroooooootttttt.........."
Spermaku keluar di mulutnya untuk kesekian kali. Kulepaskan Syifa. Aku beristirahat di samping badannya. Syifa menatap kosong langit - langit. Seakan ia tidak percaya apa yang terjadi tadi.
Esoknya aku mengantar dirinya menuju lokasi pemotretan, Syifa terdiam sepanjang perjalanan.
"Syifa?"
"Ah, iya Grha."
"Koq diem?"
"Enggak. Cuma gak percaya aja yang kamu lakuin kemarin."
"Maafin aku kalo aku kasar banget sama kamu."
"Bukan salah kamu. Aku terlalu maksain kamu aja. Aku pengen bikin kamu kenyang nafsunya sama aku."
"Udah kenyang koq. Tenang aja."
"Beneran?"
"Iya Syifa."
Aku sudah sampai di lokasinya.
"Ini kunci mobil kamu. Aku kesananya naik angkutan umum aja, Syifa."
"Kamu hati - hati yah."
Aku mencium kening, pipi dan bibirnya. Aku berangkat menuju terminal kampung rambutan. Sesampainya, aku mencari Zizi. Tidak aku temukan. Seorang perempuan bertopi dan berkacamata menghampiriku. Mengenakan kaos biru muda menonjolkan dada dan celana jeans yang sesuai. Dibahunya, ia menggendong tas messenger.
"Ah. Zizi. Maaf aku telat. Tadi nganter Syifa."
"Iya. Gak apa - apa. Bentar ya ada telepon."
Sementara sibuk dengan teleponnya. Aku menantinya hingga selesai.
"Maaf dari pasanganku."
"Oh tidak apa - apa. Mungkin, khawatir aja. Sudah di kabarin kan?"
"Sudah koq. Tapi gak ganggu kan?"
"Oh. Tidak. That's your privacy."
Kami naik salah satu bus AKAP yang melayani rute kesana. Semoga, pekerjaanku lancar dan tidak ada masalah. Zizi melihatku keheranan.
"Grha, ada masalah? Kau sepertinya tidak nyaman."
"Tidak. Mungkin hanya efek kelelahan saja."
"Beristirahatlah."
"Kau juga beristirahat."
Aku mencoba menenangkan diriku. Zizi tengah sibuk bermain dengan ponselnya. Entah beberapa lama, banyak yang tidak menghubungiku. Sehingga, aku bisa beristirahat tenang.
Mataku terpejam beberapa saat. Terbangun untuk melihat perjalanan telah sampai dimana.
"Kau masih tersadar rupanya, Zizi."
"Ah. Iya. Aku tidak ingin melewatkan perjalanan ini. Jarang aku naik kendaraan umum."
"Lantas, mengapa naik bus?"
"Biar beda aja sensasinya. Bosen kalo terus naik mobil sendiri."
"Sebelumnya, boleh aku bertanya lagi tentang pekerjaanku nanti? Agar lebih jelas."
"Tugasmu adalah membantuku meliput berita. Kita akan ambil peristiwa yang bagus. Kau merekamnya dengan kamera yang aku bawa. Tidak standard kamera untuk siaran. Tapi, cukup untuk ditampilkan di televisi. Mengerti? Karena awalnya, aku ingin melakukan citizen journalism."
"Aku akan berusaha mengambil gambar sebagus mungkin."
"Good. That's the spirit."
"Oh iya, gimana pasangan kamu? Gak marah kamu perginya sama orang lain?"
"Aku udah bilang. Dan, ia sudah ngerti kerjaanku. Dia juga sering begitu kalau ketemu klien."
"Aku takut salah paham saja."
"Wow, kamu sampe begitunya."
Aku hanya tersenyum. Selanjutnya, kami berbicara mengenal diri satu sama lain. Sudah lewat beberapa kota. Bus masih melaju diatas rodanya. Didukung cuaca hujan dan malam yang larut. Para penumpang lainnya mulai beristirahat. Walaupun masih ada yang sibuk sendiri. Zizi menguap di sampingku.
"Kamu ngantuk, Zizi?"
"Eh...Iya. Tadi kamu liat aku ya? Maaf gak sopan."
"Kamu istirahat gih."
Ia mengistirahatkan diri menempatkan kepalanya di sisi jendela untuk bersandar. Aku masih sedikit terjaga. Jalanan mulai tidak bersahabat. Bus menghantam lubang yang tidak sedikit.
"Uuuugggghhhh......mau istirahat malah sakit kepala kepentok kaca melulu."
"Senderin aja ke badan aku."
"Gak ah. Takut ganggu juga."
"Enggak koq. Daripada keganggu. Perjalanan kita masih jauh dari situ."
Kepala Zizi menyandar di bahuku. For a while, this is miracle. Tanganku gatal ingin mengusapnya kepalanya. Namun, urung kulakukan karena tidak ingin salah paham. Kutunggu waktu yang tepat untuk mengusap kepalanya. Saat tertidur, kuberanikan diriku untuk mengusap kepalanya. Semoga aku tidak ketahuan.
Kami turun di perempatan jalan utama provinsi. Masih kepayahan dan waktu menunjukkan pukul 3 malam. Aku dan Zizi memutuskan untuk duduk di halte di dekatnya.
"Looks like we're so early." Ucap Zizi.
"Iya. Aku tidak menyangka bisa secepat ini. Aku sudah lama tidak mengunjungi kota ini."
"Tidak adakah kendaraan lain?"
"Tidak pada jam ini. Diseberang samping Mall itu biasanya menjadi halte bayangan pada pagi hari."
"Apa tidak ada taksi disini?"
"Aku kurang tahu. Jarang ada taksi disini. Boleh pinjam kameramu? Aku ingin mengambil beberapa gambar."
"Silahkan saja."
"Pakailah jaketku. Udara luar tidak baik untukmu."
Aku melepas jaket dan menyerahkannya ke Zizi. Aku berjalan menjauh dan mengambil beberapa gambar untuk liputan. Udara dingin memaksaku untuk terus bergerak agar tetap hangat. Jalanan dilewati oleh kendaraan besar seperti truk dan bus.
Zizi hanya terduduk meraih jaketku dan kedinginan. Setelah beberapa gambar kuliput, aku kembali ke Zizi.
"Kau kedinginan? Hmmm....aku akan membelikanmu minuman hangat."
Aku memesan 2 cangkir kopi di sebuah restoran fastfood. Aku tidak menyukai kopi di fastfood ini. They just sell it.
"Gimana badan kamu?"
"Agak mendingan. Di luar anginnya kenceng banget."
"Untuk sementara, kita disini dulu. Kau butuh makan? Aku akan memesankannya."
"Gak perlu. Aku gak laper."
"Apa kita sewa hotel terus kesana nanti?"
"Sebentar lagi hari sudah pagi. Kita tunggu aja."
Ia pindah ke kursi yang berbentuk sofa. Badannya tersandar di sofa. Aku berada di sampingnya. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku.
"Makasih udah ngebolehin nyandar di bahu kamu."
"Gak apa - apa. Zizi. Tugasku juga harus menjagamu. Mastiin kamu baik - baik aja."
Kopi hangat itu menemaniku bersama Zizi. Suasananya tidak begitu ramai. Hanya sekumpulan pemuda - pemudi yang masih belum beranjak dari sini. Pramuniaga restoran sesekali sibuk membersihkan lantai dan mengisi tempat saos.
Tidak cukup disitu. Zizi juga merangkul tanganku dan terlelap. Kubiarkan ia menikmatinya. Pagi - pagi, kami keluar dari restoran dan naik bus lokal ekonomis. Sepanjang jalan, ia melihat sekelilingnya seperti orang yang bingung.
"Semuanya tumpah ruah di bus ini."
"Iya. Maklum, bus ini berjalan cukup jauh sampe Xxxx."
"Oh...gitu."
"Tunggu, Zizi. Sepertinya ada sesuatu di mata kamu."
Tanganku sigap menyeka samping matanya dengan tisu.
"Emang ada apa sih?"
"Nih. Tadi keliatan abis tidur. Sekarang udah keliatan seger."
"Makasih."
Kami turun di pertigaan awal yang menuju ke balik bukit.
"Kamu laper, Zizi.?"
"Sedikit sih."
"Yaudah kita makan."
"Emang masih jauh yah?"
"Naik bus lagi. Abis itu naik kendaraan sekali lagi. Kita udah sampai."
"Gak usah deh. Aku makan di sana aja. Makanan yang banyak disana apa ya?"
"Sate kambing muda."
Aku mengambil beberapa gambar yang bisa kuliput karena ia menyuruhku. Ia menelepon koresponden lokal TVnya disini dan menelepon pasangannya.
"Kita tunggu sebentar disini. Koresponden TV ku sedang menuju kesini ngasih peralatan tambahan."
"Baiklah."
Zizi meminjam peralatan tambahan dan tidak membuang waktu. Kami kembali melanjutkan perjalanan melewati bukit dan jalan yang berkelok naik turun.
"Kita sampai di pertigaan terakhir. Tinggal naik mobil bak terbuka disana."
Aku menunjuk salah satu mobil bak terbuka yang terparkir di sisi jalan.
"Kita naik itu?"
"Iya. Hanya itu yang tersedia."
"Tunggu. Aku akan meliput ini."
"Baiklah. Aku siap ngebantuin."
Zizi menghampiri bapak - bapak yang berada di dekat mobilnya dan meminta waktu untuk wawancara. Bapak itu antusias sekali. Hingga, ia memanggil semua temannya yang disitu untuk sekedar di shooting masuk berita. Sempat akan terjadi wawancara panjang. Namun, Zizi mengakhirinya dan berjanji akan mewawancarainya lagi secara mendalam. Akibatnya, kami mendapat tumpangan masuk secara gratis. Sampai di pos periksa, Zizi langsung berkoordinasi dengan petugas bahwa akan terjadi beberapa kegiatan pers. Kami diperbolehkan asal menemui lagi petugasnya di sekretariat yang berada di dataran atas. Mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah pelataran parkir. Seperti sebuah pusat belanja. Berjejer para pedagang yang menjual aneka macam barang dan makanan.
"Aaahhh...sudah sampai nih. Tapi, dari tadi kulihat tempat ini cukup ramai."
"Hari ini hari sabtu, Zizi. Makin malam, makin ramai. Kamu mau makan? Tuh tempatnya."
"Ayo deh kalo gitu."
Setelah memesan sate kambing muda dan sayur daging. Aku sengaja memesan minuman teh di dalam poci tanah liat.
"Loh. Ini apa?"
"Ini teh poci. Cobain deh."
Aku menuang poci ke cangkir yang juga terbuat dari tanah liat. Zizi meminumnya pelan.
"Hhhmmm...pahit sih. Tapi enak juga sih."
"Ini sebutannya Wasgitel."
"Wasgitel?"
"Wangi, panas, legit dan kentel. Seenggaknya itu yang aku denger."
"Bisa dikasih gula kan?"
"Bisa. Aku kasih gula."
Aku mengambil sebongkah gula batu dan memasukkannya di cangkir.
"Jangan pake sendok. Digoyangin aja."
Zizi menggoyangkan cangkirnya. Ia kembali meminumnya.
"Hhhmmm.....enak nih. Tehnya berasa. Anget di badan."
Zizi penasaran dengan isi poci dan membukanya dan menutupnya kembali.
"Ini ngemoci namanya. Ngeteh ala cara lokal. Gak kalah sama minum teh ala jepang."
"Harus punya nih. Bisa gak ya dibeli?"
"Bisa koq. Tuh liat. Nanti belinya di xxx aja. Aku tahu tempatnya."
"Kamu gak minum?"
"Minum koq."
Kuminum sedikit demi sedikit. Makanan telah dihantar. Kami menyantapnya ditengah udara dingin pegunungan.
"Yah...lupa. Gak difoto buat sosmed."
"Difoto yang ada aja."
"Tinggal dikit nih."
"Pesen lagi aja. Ntar aku kasih ke orang itu tuh."
Aku menunjuk seorang kakek - kakek yang menggelandang.
"Yaudah sekalian bikin liputan aja."
"Baiklah, Zizi."
Bersambung pada Post Selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar