Part 3
Aku terburu - buru balik ke penginapan mengambil kamera. Zizi sudah menyetting suasananya dan kami kembali meliput berita di tengah dinginnya malam. Selesai meliput, kami melanjutkan makanan.
"Pak, asli orang sini ya?" Tanyaku.
"Iya. Saya asli orang sini." Balas penjual sate.
"Tahu kisah Jahri dan Pak Danaran?"
"Oh. Bajingan itu sudah sering menuduh Pak Danaran dengan aneh - aneh. Apalagi, ia menuduh pacarnya telah dijual oleh Pak Danaran yang tidak terbukti."
"Pak Danaran tinggal dimana? Jahri juga tinggal dimana pak?"
"Jahri menggelandang saja disini. Pak Danaran di penginapan xxx. Kudengar, akan ada acara di penginapannya. Acaranya terbuka untuk umum."
"Acara apa ya pak?" Zizi menimpali.
"Ya kumpul - kumpul aja. Bakar - bakaran aja. Oiya, Mbak. Tadi mau disiarin kapan, mbak? Biar saya kasih tahu untuk nonton saya di televisi."
"Tergantung sih pak. Nanti 2 minggu ke depan di acara special report di stasiun ini."
"Saya coba pantengin deh."
Aku kembali ke penginapan. Sepertinya, Jahri mengikutiku. Ia tidak berani untuk mendekati diriku. Aku buru - buru masuk penginapan lewat jalan lain agar tidak dibuntuti.
"Sepertinya besok kita harus ketemu Pak Danaran, Zizi."
"Iya. Aku tahu. Kita harus meminta pendapatnya juga."
Beruntung, kamarku berada di dalam sehingga tidak terlalu merepotkanku. Zizi kembali ke pekerjaannya. Sementara itu, aku mengecas semua peralatan. Ia juga sibuk telepon dengan pasangan dan rekan kerjanya. Kubiarkan saja. Tidak lupa, kubersihkan sedikit jika diperlukan.
Suasana ini membuatku terkantuk. Zizi masih berenergi dengan pekerjaannya. Aku memberi kode pada Zizi untuk tidur. Hal terakhir yang kuingat adalah ia menatapku mengatakan selamat istirahat lewat matanya.
Samar, kudengar Zizi memanggilku memaksaku tersadar dari mimpi.
"Grha, Bangun. Koq ada yang aneh?"
"Aneh gimana, Zizi?"
"Dari tadi di depan pintu kayak ada yang mondar - mandir."
"Mungkin tamu kamar lain, Zizi."
"Masa bolak - balik sih. Sampe aku kepikiran nih."
"Aku cek dulu ke luar."
"Tunggu dulu."
Zizi mencium tepat di bibirku. Aku mengintip dari balik pintu. Mudah sekali ia menciumku, pikirku. Tidak ada apa - apa. Aku keluar dari kamar dan berpesan kepada Zizi untuk mengunci kamar dan tidak membuka pintu kecuali untukku.
Seseorang nampak terburu - buru meninggalkan penginapan. Aku melihat Jahri saat ia sedang keluar dari penginapan. Aku mengejarnya, ia berlari ke arah bukit dan menghilang dalam semak. Dia benar - benar kelewatan kali ini.
"Aku sudah tahu siapa kau, Jahri. Berbicaralah kepadaku baik - baik. Keluarlah dari semak. Aku tahu kau disana."
Jahri keluar dari semak. Ia masih melihatku takut - takut.
"Mengapa kau takut? Tapi, kau bisa terus membuntutiku."
"Jangan pernah percaya Pak Danaran." Katanya.
"Mengapa aku harus percaya padamu?"
"Aku tidak bisa memberi bukti bahwa ia bersalah. Tetapi, ia bukan orang yang baik."
"Jika ini adalah sebatas dendam pribadimu. Aku tidak akan membantumu. Kau tidak lebih sama dengannya jika ia terbukti sesuai apa yang kau katakan."
"Pergi dari tempat ini demi keselamatan kalian. Pak Danaran adalah orang yang salah."
Ia masuk ke dalam hutan di dekatnya. Shit, dia kabur lagi.
"Aku harus kembali ke penginapan. Zizi menungguku."
Syukurlah. Zizi masih berada di kamar. Ia langsung memeluk badanku dan menciumku begitu sampai di rumah.
"Lama sekali, aku sampai khawatir. Aku takut terjadi sesuatu."
"Aku gak apa, Zizi. Jahri yang menguntit kita disini. Sepertinya, kita harus bertemu dengan Pak Danaran ini."
"Jangan jauh dari aku mulai sekarang. Aku takut jika ia datang lagi."
"Iya, Zizi. Aku akan jagain kamu."
Aku kembali tidur di karpet.
"Udah larut nih, Zizi. Kamu istirahat lagi."
"Tidur di deket aku aja."
"Jangan, Zizi. Aku di karpet aja."
Pagi menyingsing. Kabut masih begitu terasa ketika di luar penginapan. Pandanganku masih terbatas. Aku menghirup udara segar alami yang pernah kurasakan sebelumnya. Zizi masih tertidur tadi.
"Ih, Grha. Jahat. Aku ditinggalin pagi - pagi."
Zizi menghampiriku dengan piyama yang masih terpakai. Ia tenang memelukku dari belakang menempelkan dagunya di bahuku.
"Aku mencari udara pagi yang segar di balkon ini."
"Seger udaranya. Gak seperti di kota. Udah berpolusi."
"Sekalian buat refreshing pikiran kamu."
Zizi mencuri kesempatan dengan menghirup aroma badanku di leher dan bahu.
"Eh, Zizi. Kamu ini ya pagi - pagi. Aku belom mandi nih."
"Aku suka bau natural laki - laki. Seksi banget."
"Kamu ganti baju gih. Gak enak diliat orang. Kalo diliatin aku sih gak apa."
"Huuu.....dasar."
Kami kembali ke kamar. 2 buah gelas berisi teh panas tersaji di dekat kamar.
"Diminum yuk. Biar anget."
Baru aku mau meminumnya, aku menghirup bau yang tidak enak.
"Tunggu, Zizi. Jangan diminum."
Aku menuangkannya di tembok dan muncul busa putih di tembok.
"Damn, sudah kuduga sebelumnya."
"Ada yang sengaja mencelakai kita."
"Benar. Kita harus lebih waspada sekarang. Ada yang tidak menginginkan keberadaan kita disini."
Kami berganti pakaian dan bersiap diri. Kami menuju rumah makan yang sama dan memesan minuman yang sama.
"Grha, mungkinkah Jahri yang melakukan ini semua?"
"Aku tidak dapat menyimpulkannya, Zizi."
Dari kejauhan, Zizi melihat Pak Dirgo tengah berjalan menuju kami. Dengan pakaian batik dan celana resminya, ia menghampiri kami. Kumis putih dan rambut beruban ditutup kopiah.
"Pagi, Ibu Zivanna. Bagaimana keadaannya?"
"Baik, Pak. Ada apa ya Pak?"
"Oh, saya cuma ingin menjenguk kalian. Saya sudah ke penginapan kalian tadi. Makanya, saya mencari kalian."
Zizi menatapku. Ia ingin mengungkapkan apa yang terjadi tadi. Tapi, aku tidak mengizinkannya.
"Kebetulan juga, saya kesini sekalian mengundang kalian ke rumah Pak Danaran. Beliau ingin bertemu dengan kalian. Di penginapan xxx kalian disambut."
"Kapan pak?"
"Secepatnya. Sekarang juga bisa."
"Nanti saya kesana, Pak. Saya ingin menikmati minuman saya terlebih dahulu."
"Baiklah. Saya mohon pamit dulu."
Pak Dirgo berjalan meninggalkan kami.
"Grha, apa mungkin dia yang melakukannya?"
"Aku tidak bisa memastikan. Semuanya bisa menjadi mungkin ketika kau ke sekretariat."
"Liputan citizen journalism ini lebih kompleks dari yang kupikirkan."
"Sebaiknya enggak seperti itu. Yang aku heran. Sekretariat saja bisa dengan mudah di suruh oleh Pak Danaran. Kau tidak merasa aneh?"
"Aneh juga sih. Mengundang kita lewat sekretariat."
"Saatnya kita berkunjung kesana."
Rumah Pak Danaran ternyata bukan di penginapannya. Penginapannya murni sebuah tempat penyewaan. Kami diantar oleh anak buahnya menuju kediamannya yang terletak di belakang. Sebuah rumah cukup mewah untuk ukuran disana. Kami masuk disambut oleh Pak Danaran. Beliau masih sangat muda. Kutaksir umurnya tidak lebih dari 35 tahun.
"Selamat pagi, selamat datang di rumahku yang sederhana ini. Anda pasti wartawan kemarin yang meliput kegiatan di OW sini. Kudengar, supir angkutan kalian liput juga."
"Iya Pak. Perkenalkan saya Zivanna dan rekan saya, Grha. Salam kenal."
Kami berjabat tangan.
"Silahkan duduk. Kalian mau minum apa? Biar aku sediakan."
"Terima kasih, Pak. Lagipula, kami disini untuk memenuhi undangan dari Pak Danaran."
"Maksud saya mengundang kalian adalah meminta kesediaan rekan wartawan untuk menghadiri acara yang akan saya adakan malam ini. Acara kecil - kecilan saja."
"Apa tidak merepotkan Pak Danaran selaku tuan rumah." Kata Zizi.
"Tidak. Saya justru mengharapkan adanya kehadiran kalian."
"Kami akan mengusahakan kehadirannya di acara."
"Oh iya, sebagai hadiah saya atas kontribusinya mengenalkan wisata kami. Saya memberikan fasilitas kamar gratis di penginapan saya khusus untuk anda selama anda berada di sini."
"Maaf, Pak. Saya sudah memperpanjang pemakaian kamar kami di penginapan." Kataku singkat.
Zizi melirikku. Ia tahu aku sedang berbohong.
"Ah, jangan menolak saya. Saya tahu kalian menyewa kamar untuk 1 hari. Mohon diterima pemberian saya karena sudah saya atur untuk kalian. Ataukah anda membutuhkan sesuatu lagi agar bisa menerima pemberian saya?"
Zizi berdiskusi denganku. Apakah akan diterima tawarannya.
"Baiklah, dengan maksud yang baik. Saya terima pemberian anda." Singkat Zizi.
"Syukurlah. Saya akan minta bantuan anak buah untuk membantu anda berkemas."
"Kami bisa melakukannya sendiri. Grha, kau membutuhkan sesuatu?"
"Aku membutuhkan motor untuk disewa."
"Anda bisa memakai motor di penginapan saya." Sambut Pak Danaran.
Kami mengobrol basa - basi dan Pak Danaran begitu antusias menjelaskan tentang dirinya. Kami akhirnya berpindah ke penginapan xxx milik Pak Danaran. Kamar yang ditawarkan lebih baik. Di dalam kamar, kami berdua membereskan barang.
"Grha, mengapa kau tadi berbohong?."
"Aku mengetesnya. Ia memiliki jaringan yang lebih aku duga."
"Sekarang siapa yang akan kau curigai?"
"Semuanya nampak sama - sama mencurigakan. Tapi, kita disini bukan untuk itu."
"Lantas, mengapa kau meminta motor?"
"Aku akan mengajakmu ke lokasi air terjun yang akan menjadi potensi OW. Perjalanan kali ini, mungkin akan cukup sulit karena medannya harus menuruni tebing dan melintas sungai."
"Wow, that's challenging."
"Perlu kau tahu, OW ini sudah lama. Tetapi, tidak kunjung mendapat bantuan pemerintah layaknya tempat ini. Kau masih ingin melanjutkan."
"Hal ini gak boleh dilewatin."
"Kita kesana sekarang. Aku akan bawa kamera sekarang. Zizi, kupikir kau harus mengaktifkan security di notebook."
"Iya. Aku akan mengaktifkannya untuk berjaga - jaga."
Selesai merapikan dan mempersiapkan semuanya. Aku menuju keluar kamar.
"Tunggu. Aku belum kiss kamu hari ini."
Zizi cemberut di hadapanku. Aku memegang kedua bahunya mengarahkan wajahnya dengan tanganku.
"Hey, I'm just cameramen. Not a lover."
"We'll try to find out."
Tanpa ragu, aku mencium bibirnya, mempertemukan lidah basah kami. Kuhempaskan badannya ke kasur. Semakin panas dan gerah. Bibir kami saling berpagutan. Bergantian posisi di atas membuatku semakin kelimpungan menghadapinya.
"Cup...cup....cup....cup...cup...culp...culp...cul p...culp...culp...clup...clup....clup...cccclllluu upppphhhh......cccccccllllluuuupppphhhh......ccccc clllllluuuuuppppphhhhhh....."
Dilepasnya bajuku sehingga aku bertelanjang dada. Tangannya mencengkram badanku saat berciuman hingga muncul bercak kemerahan. Kelelahan, kupandangi wajahnya dan dadanya yang kembang kempis naik turun. Ia tersenyum.
"Disentuh aja. Aku izinin koq."
Gemetaran tanganku menyentuh dadanya. Aku meremasnya pelan, ia mendesah.
"Aaaacccchhhhhh......"
Aku menyentuh putingnya yang tercetak di pakaian dalamnya.
"Zizi, kamu gak pake bra?"
"Enggak. Buat kamu."
Titik kecil itu menyembul dan jariku lihai memainkannya. Kepalanya mendongak kesana kemari. Puncaknya, aku menyusu payudara Zizi yang masih tertutup.
"Oooooocccccchhhhhh........hhhhhhmmmmmmmm..... "
Kepalaku dibekap oleh tangannya. Selain itu, kugigit dengan mesra payudaranya. Bekas mulutku tergambar jelas di sana.
"Aku harus ganti pakaian dalem lagi nih, Grha."
Ia bangun dan menuju lemari mengambil pakaiannya. Tepat di depan cermin, aku memeluk mencium bahunya.
"So sweet, Grha."
"I'm not a lover. Right?"
"You're just my enjoyments."
Ia melepaskan pakaian dalamnya. Payudaranya terlihat jelas. Berkulit putih dengan aerola coklat berukuran sedang. Putingnya sedikit tegang.
"See, I don't have a good boobs."
"I don't need it when it's you."
Tanganku perlahan menggerayangi payudaranya. Aku melihatnya dari cermin.
"Jangan masukin sosmed yah." Candaku.
"Enggaklah. Aku gak mau ngebagi kenikmatan ini sama orang lain."
Puas memainkan payudaranya. Ia berbalik kepadaku.
"Aku pengen lihat punya kamu."
Aku melepaskan celanaku. Tersisa celana pendek tanpa CD. Tangan Zizi melepaskan celanaku. Tepat di depan mukanya, penisku hampir mengenainya.
"Mau bilang jujur ato boong?" Kata Zizi.
"Terserah kamu aja, Zizi."
"Boong, aku gak pernah liat penis. Jujurnya, aku gak pernah liat penis kaya gini."
"Maksud kamu?"
"Penis kamu hampir mirip sama pasangan aku. Tapi bedanya, ada pada ini."
Jari Zizi mengikuti urat penisku yang berada disana. Ia menyentuhnya berulang.
"Urat kamu besar - besar sampe keliatan banget."
Ia meludahi penisku dan melumurinya.
"Aku coba pijit pake dada aku."
Dadanya menjepit penisku di tengah. Penisku mulai berdentum oleh payudaranya yang menggilasnya tanpa ampun.
"Aaaahhhh....Zizi....."
"Urat kamu...berasa..."
Zizi mulai mengeluarkan tekniknya. Entah di jepit bersamaan, jepit naik turun, dan dihimpit bersamaan. Aku melihatnya kerepotan dengan semuanya.
"Huh, kamu minum apa sih?"
"Kenapa, Zizi?"
"Kuat banget. Pasangan aku aja di giniin gak sampe 5 menit udah keluar. Ini udah 10 menit loh."
Aku mulai membantunya dengan mendorong penisku. Ia juga memainkan penisku setelahnya. Beberapa saat kemudian, penisku sudah tidak mampu lagi. Penisku mundur kebelakang, Zizi tetap menyerangku. Tak kuasa penisku menyelesaikan tugasnya.
"Ccccrrroooottttt......cccccrrrrooootttt.....ccccr rrroooootttttt......."
"Iiihhh....keluarnya banyak banget nih. Sampe ke mulut juga."
Spermaku mengotori wajah dan payudaranya. Penisku tetap dijepitnya hingga lemas.
"Zizi, maafin aku. Aku gak ada maksud untuk...."
"Kamu disini buat ngejagain aku kan? Aku disini juga untuk tetap bikin kamu jagain aku."
"Hihihi..lucu punya kamu. Imut - imut kalo lemes. Udah ya, aku mandi dulu. Kamu istirahat dulu. Abis itu kita kesana ke tempat kamu tadi."
Lanjut cerita, aku telah sampai di tempat yang aku tuju. Dengan memarkirkan motor dan membayar retribusi senilai yang ditentukan aku mulai melakukan perjalanan dengan Zizi. Sambil memanggul kamera, aku meliput perjalanan ini. Zizi terkadang melakukan narasi di perjalanan. Shit, staminaku agak berkurang disini. Zizi membuatku capek tadi.
Kami sampai di pos henti untuk menentukan arah. Kami menuju air terjun yang terjauh dulu kemudian menuju ke air terjun yang terdekat.
Perjalanan air terjun pertama menguras tenagaku. Melewati sawah, sungai, dan bukit kecil untuk tiba disana. Keindahannya tidak bisa digambarkan kata - kata. Zizi melakukan liputan dan bersenang - senang disana.
"Hey, Grha. Sini main air lagi."
"Enggak, Zizi. Aku masih lelah."
Ia tidak memperdulikanku dan terus bermain. Hingga kuingatkan untuk menuju ke air terjun yang kedua.
"Gimana, Grha. Masih kuat jalannya?"
"Capek sih. Mana tadi pake dikeluarin lagi. Hadeuh..."
"Payudara aku juga panas ngegosokin penis kamu. Yuk kalo gitu."
Kami kembali ke pos awal dan menuju ke air terjun kedua. Kali ini, perjalanan tidak sesulit yang pertama. Setelah melewati pematang sawah dan sungai kecil, aku sampai disana. Aku kembali menyalakan kameraku dan meliput Zizi. Ia juga menyenangkan diri disana untuk beberapa saat. Matahari mulai terbenam. Langit sore mulai tersambut. Aku kembali ke pos retribusi dan menuju posko OW disana. Zizi memulai wawancaranya dan mereka juga beraspirasi melalui liputan ini.
"Kita kembali sekarang. Mumpung masih belum gelap." Ajakku.
"Kita ngeteh poci dulu sebelumnya."
"Tentu, Zizi."
Sampai di penginapan setelah sebelumnya minum teh poci terlebih dahulu. Saat membuka kamar, aku merasakan keanehan. Aku melihat sekitar dan berpikir setelahnya.
"Ada apa? Kau sepertinya menangkap sesuatu."
"Kamar kita telah dimasuki orang. Tadi aku menaruh potongan kertas di ujung pintu. Lemarimu juga. Sekarang tidak ada."
"Mungkin tadi dibersihin."
Aku mencium kasur yang kugunakan.
"Ini seprei masih yang tadi. Baunya juga sama. Periksa apa ada yang hilang."
Kami memeriksa kamar dan menemukan bahwa notebook Zizi sengaja di rusak.
"Grha, lihat ini. Notebookku di rusak. Harddiskku dibongkar paksa."
"Bagaimana datamu di notebook."
"Dataku telah kusimpan di Drive Cloud. Mereka berpikir dengan merusak harddisknya akan membuatku kehilangan data."
"Sebaiknya kita laporkan kejadian ini."
Petang ini, sebelum acara, kami melaporkan apa yang terjadi disana. Pak Danaran begitu menyesal apa yang telah menimpa kami. Zizi sempat ingin membawa masalah ini ke polisi. Namun, di tahan oleh Pak Danaran dan dijanjikan akan digantikan dengan barang sejenis agar masalah ini tidak sampai kantor polisi.
Zizi mengikuti sarannya. Dan, kami meminta pindah kamar. Ia memindahkanku ke kamar yang lebih aman. Aku menyarankannya untuk memasang mini action camera untuk mengawasi kamar kami. Zizi menelepon korespondennya dan akan di antar di pos gerbang OW xxx.
"Untuk sekarang kita harus mengistirahatkan diri. Acara akan dimulai jam 8 an. Kita masih punya waktu untuk bersiap."
"Aku juga ingin mandi. Capek banget."
Aku melepaskan pakaianku karena gerah.
"Kenapa gak celananya dibuka sekalian. Udah tahu juga kali isinya." Canda Zizi.
"Kamu tuh yang enak. Vagina kamu masih belum keliatan."
"Yee...maunya. Yakin mau liat?"
"Ya mau dunk."
"Puasin dulu dunk."
Kuhampiri Zizi dan menyuruhnya untuk mengangkang. Aku menghirup CDnya dari luar. Hmm....bau liang duniawi yang memabukkan. Kurangsang terus hingga CDnya basah.
"Aaaacccchhhh.........uuuuuuuuhhhhhh...."
Tanpa izin, aku melorotkan CDnya. Vagina itu tersembunyi di balik rambut tipis. Tidak sampai bergelombang.
"Jadi, seperti ini Vagina mantan Miss yang sekarang jadi news anchor."
"Itu aku belum di wax. Belum sempet."
"Aku gak peduli."
Aku memakan vaginanya luar dalam. Menyeruputnya seperti minuman enak, melahapnya seperti makan pizza, dan memainkannya seperti hal yang paling menyenangkan. Klitorisnya kujilat tipis dan tebal berkali - kali, lidahku juga masuk ke liang duniawinya untuk membiasakan diri. Kucolok - colok liangnya dengan jariku agar mengetahui seberapa jauh jariku bisa disana.
"Aaauuuuccchhh.......mmmmmhhhhh......ooooocccccchh hhh.......ampun........hhhhhhmmmmm.............sss sssssshhhhhh......ooooohhhh.......yyyyyeeeeeeaaaaa hhhh.......fffffffuuuuuuccccckkkkkkkk..........sss ssssssshhhhhh......"
Zizi menggelinjang hebat. Ia mengejang kaku dan pipis dengan sedikit tersendat - sendat.
"Zizi, kamu keluar? Jangan ditahan."
"Ampun enak banget. Ampe pegel akunya."
Zizi mengetahui penisku tegang karena ia sempat melihatnya.
"Grha, kali ini aku capek banget. Jangan dulu yah. Tapi, kamu bisa liatin aku mandi sambil masturbasi."
Vagina sudah di depan mata. Aku masih saja bermain dengan tangan. Shit as fuck. Tapi, tidak kusiakan ajakan ini. Aku beriringan masuk kamar mandi. Shower air panas itu mengguyur tubuh Zizi. Tanganku mulai aktif mengocok penisku. Ia menatapku dengan binal. Ia sedikit banyak memperlihatkan posenya yang seksi dan menantang. Tak jarang, ia bergoyang menggetarkan tubuhnya. Ia menyabuni tubuhnya yang seksi. Tiba - tiba ia meremas penisku dan menyabuninya. Karena licin, penisku langsung muncrat.
"Aaaahhh....Zizi..."
"Ccccrrrrraaassss.......cccccccrrrrrraaaaassssss.. .....cccccccrrrraaaaaassssss."
Spermaku tepat keluar di tangannya. Dipakainya itu untuk wajah dan membersihkan Vaginanya.
"Ketahuan kamunya lemah sama sabun." Godanya.
Akhirnya, kami mandi bersama saat itu. Sungguh menyenangkan hari ini bersama Zizi.
"Grha. Udah mulai jam 8 nih."
"Sebentar, Zizi. Aku anterin kamu ambil alat sama koresponden kamu."
Zizi menemui korespondennya dan kembali ke kamar. Aku segera memasangnya di pojok ruangan.
"Zizi, kau percaya omongan Jahri?"
"Tentang pelacuran itu? Percaya gak percaya sih. Tapi, belum ada buktinya."
"Mau dibuktiin?"
"Maksudnya?"
"Aku akan mencoba mencari tahu bagaimana hal ini berjalan. Kau bisa mempublikasikan hasil investigasimu atas namamu."
"Kita akan mencobanya. Aku akan membekalimu dengan peralatan yang ada."
"Zizi, tapi aku tidak bisa melindungimu."
"Aku akan menjaga diriku sendiri. Aku sudah dewasa dan menguasai beberapa jurus pertahanan diri."
"Kalo pertahanan dari nafsu aku gimana?"
"Ya pake ini dunk."
Zizi menciumku cepat.
"Kita bersama aja dulu ambil liputan. Mungkin bisa jadi hal menarik."
"Setelah itu, kamu akan mencari link untuk ini. Begitu kan?"
"Tepat. Oh iya, ambillah."
Aku memberinya sebuah semprotan merica.
"Mungkin tidak berguna. Tapi, bisa memberimu waktu untuk menghindar."
"Makasih, Grha."
Pak Danaran mengadakan acara bakar - bakaran di penginapannya. Disana juga ada komunitas anak motor dan mobil sehingga kami bisa leluasa mengambil gambar untuk liputan. Aku tidak melihat kemana Pak Danaran di acara.
Setelah liputan, sesuai rencana aku memisahkan diri dari Zizi.
Aku keluar penginapan dan nongkrong tidak jauh dari tempat itu. Aku sedikit khawatir dengan Zizi.
Dengan secangkir kopi dan batang rokok, aku menikmati malam. Tiba - tiba, seseorang duduk di dekatku.
"Mas, keliatannya suntuk banget. Padahal ada acara tuh mas."
"Mas siapa ya?"
"Saya Tukadi. Orang sini mas. Saya nyediain kebutuhan apapun untuk tamu yang nginep di wisata ini."
"Masnya mau nawarin apa aja?"
"Lha, masnya mau apa?"
"Aku butuh selimut, Mas."
"Ada mas. Orang sini, mau?"
"Jangan kalo orang sini."
"Kalo nyebrang desa, agak mahal."
"Saya bayar asal barangnya bagus. Emang yang nyediain siapa?"
"Wah, saya gak berani bilang, Mas."
"Kenapa?"
"Nanti dimarahin sama tetua sini. Masnya bukan polisi kan?"
"Bukan koq."
"Nanti saya hubungin tuan besar dulu. Mungkin ada stok."
"Begini, saya kasih 5 juta. Tunai. Cari yang masih perawan antara 17 sampe 20 tahunan. Kalo dapet sekarang, ada buat kamu 250 ribu sekalian cariin tempatnya. Tapi, jangan kasih tahu siapa saya sama tuan besar kamu."
"Sebentar kalo gitu."
Bersambung pada Post Selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar