Rabu, 20 Januari 2016

Cerita Dewasa Artis Zivanna 4

Part 4



Ia bergegas meninggalkanku. Ah, mungkin caraku terlalu frontal. Tapi, beginilah caranya. Dengan tergopoh - gopoh, ia menghampiriku.
"Ada Mas, saya sudah telepon dan lagi disiapin tempatnya. Saya antar sekarang, Mas."
Aku diantar menjauhi penginapan menuju sebuah rumah di sisi turunan bukit.
Aku sampai disana. Tidak lama, seorang perempuan muda berdiri disana. Aku melihatnya sebentar. Wajahnya menatapku benci. Ia tidak mau pekerjaan ini. Sesuai janjiku. Aku membayarkan uangnya kepada Tukadi dan mengajaknya masuk kamar. Tukadi menungguku di luar.
Di dalam kamar, ia begitu canggung. Ia masih duduk. Aku duduk di kursi dalam kamar. Pakaiannya menampakkan kesederhanaan.
"Siapa namamu?"
"Asri."
"Berapa umurmu?"
"17 tahun."
"Masih perawan?"
"Masih. Silahkan pak dicoba."
Ia berani menatapku kuat. Walaupun, kepedihannya begitu terasa.
"Mengapa mau menerima pekerjaan ini."
"Saya butuh uang untuk melunasi hutang."
"Dengan siapa?"
"Pak Danaran. Dia juga memberikan pekerjaan ini ke saya."
"Apa benar kau dijual ke Pak Danaran."
"Banyak teman saya berada dalam masa pingitan kemudian dipekerjakan seperti ini untuk melunasi hutang."
"Masa pingitan? Jelaskan padaku."
"Keluarga meminjam sejumlah uang dan bunga. Pada jatuh tempo, di beri waktu selama 2 bulan untuk pelunasan. Jika tidak, mereka akan masuk masa pingitan dimana anak perempuan mereka yang masih perawan dijadikan peliharaan dan terpakai saat seperti ini."
"Jika tidak perawan, bagaimana?"
"Mereka akan langsung dijual ke kota besar dan menjadi pelacur. Pak Danaran hanya memilih keluarga yang memiliki anak perempuan atau laki - laki dengan hak tanah."
Kami mengobrol selama beberapa menit. Aku takut, mereka juga mengintaiku.
"Aku butuh bantuanmu. Sekarang kamu berteriaklah seakan kamu sedang aku setubuhi."
Aku duduk membelakanginya.
"Cah wadon, gak usah kakean gerak."
"Mas, ojo mas. Inyong isih cilik mas. Inyong isih perawan."
"Wis lah gak usah kakean omong. Meneng ae. Enak enak pokoke."
"Ojo mas ojooooo......"
"Dancuk.....bener perawan awakmu."
"Ojo di kenthu mas. Ojo. Loro mas loro."
"Rasakno ae, nduk. Penak penak."
Aku mengelabuinya.
"Terima kasih atas kerjasamanya."
"Mas tidak jadi setubuhi saya?"
"Aku ndak tega. Ambillah. Ada sedikit uang bisa kau pakai. Kamu punya alamat rumah?"
"Ada mas."
"Tulis di kertas ini."
Ia menuliskan alamatnya.
"Kamu tidak ada nomor telepon?"
"Tidak ada, Mas."
"Nanti. Sebulan kemudian. Pada tanggal ini. Aku minta kamu menghubungi nomor ini. Kamu ceritain apa yang terjadi denganmu tentang Pak Danaran. Kalau bisa, ajak temanmu juga. Bilang, kamu adalah temanku. Aku minta tolong dengan sangat."
"Mas siapa sebenernya?"
"Aku manusia biasa koq. Tapi, janji kamu harus hubungin nomor ini. Dia akan butuh bantuan kamu juga. Begitupun, dengan kamu."
"Makasih mas. Saya gak nyangka bisa ketemu orang kayak mas."
"Bentar, aktingmu bagus. Terusin aja di luar. Biar mereka benar - benar percaya. Sehingga kamu bisa lepas dari Pak Danaran."
Kami keluar dan Asri berakting bahwa ia telah diperawani.
"Gimana mas tadi?" Tanya Tukadi
"Berisik, Mas. Tapi, enak sih."
"Masnya sampe bikin meringis tuh anak."
"Bisa anter aku balik?"
"Monggo Mas."
Aku kembali ke penginapan. Tidak kutemukan Zizi. Tidak di acaranya maupun kamarnya. Shit, Zizi dimana?
Aku bertanya tidak ada yang mengetahuinya. Aku mencari ke penjuru OW. Tidak kutemukan Zizi. Aku berinisiatif menemui Zizi di tempat pertama kali bertemu dengan Jahri.
Aku masuk ke dalam hutan. Dengan senter, aku masuk ke dalam hutan. Kulihat, tubuh manusia di seberang mataku. Ku dekati dan itu adalah Zizi.
"Zizi, bangun. Zizi! Zizi!."



Aku membopong tubuhnya. Dan seseorang menyerangku dengan balok. Berhasil kuhindari. Samar, aku mengenalinya wajahnya. Dia adalah Jahri.
"Sudah kuduga kau akan berbuat macam - macam."
"Aku hanya menyelamatkan dia."
"Bohong, jangan mengikutkan dia dalam masalahmu."
"Masalahku adalah untuk menjauhkan dirinya dari pengaruhnya."
"Untuk apa? Kau tidak menjelaskan mengapa orang itu begitu bersalah."
"Aku melakukan sesuatu yang kuyakini."
"Yakinkan saja kau bisa menang melawanku."
Ia menyerangku dengan balok di tangan. Aku menghindari dan menjatuhkan baloknya.
"Cih....harus kuberitahu dengan cara paksa."
Ia menyerangku bertubi - tubi. Aku hanya bisa mementahkan serangan tanpa bisa membalasnya. Ia mulai kelelahan. Aku berbalik dan mencekik lehernya. Aku mengunci lehernya dan memukulkan pangkal sikutku di kepalanya 3 kali hingga ia pingsan. Aku kembali membopong Zizi yang masih tidak sadar. Kelelahan, akupun terjatuh.
Kami dibangunkan oleh keributan di dekatku. Seseorang yang tidak ku kenal menungguiku. Di sampingnya ada Pak Danaran.
"Syukurlah, kalian sudah sadar."
"Dimana ini?"
"Di rumahku. Kalian ditemukan warga di dekat pasar."
"Dimana Zizi?"
"Wanita itu? Ia berada di kamar lainnya."
"Aku harus menemuinya."
Aku keluar menuju ruangan Zizi di rawat. Ia sedang berjalan menemuiku. Aku langsung berpelukan mengenang keselamatan kami.
"Kamu gak apa, Zizi? Maafin aku."
"Aku juga gak hati - hati."
"Kali ini, kita gak boleh pisah - pisah lagi. Aku pastiin itu."
Aku terus memeluknya dan tidak akan lepas dari pengawasanku. Setelah baikan, aku kembali ke kamar.
"Zizi, mengapa kau bisa berada di sana?"
"Aku mengikuti Jahri. Saat kau memulai rencanamu, aku melihat Jahri mengawasiku. Aku mengejarnya masuk hutan dan dari belakang aku dipukul balok."
"Dia berkata sesuatu?"
"Dia hanya bilang tetap jauhi Pak Danaran karena ia berbahaya."
"Mungkin ada benarnya perkataan Jahri. Hanya saja, kita tidak memiliki bukti kuat."
"Kau mempercayai orang yang telah menyakitiku?"
"Entahlah. Perkataannya mulai terbukti. Kita harus memancing Jahri keluar dari persembunyian dan membuatnya berterus terang."
"Maksudmu, kau menemukan bukti bahwa apa yang dikatakan orang itu benar?"
"Begitulah. Tapi, cara yang dilakukan oleh orang itu berbeda. Ia pasti datang lagi."
"Aku takut, Grha."
"Tenanglah, Zizi. Untuk hari ini, kita di penginapan saja. Kita ke bukit batunya nanti."
Pak Danaran melalui utusannya memberikan kompensasi notebook yang sesuai dengan apa yang ia minta kemarin. Ia mulai kembali bekerja. Dan, aku sendiri menyerahkan sebuah kartu media simpan.
"Aku minta data ini untuk diunggah ke penyimpananmu."
"Ini data apa?"
"Nanti kau akan mengetahuinya."
Zizi mengunggah datanya ke penyimpanan virtual miliknya.
"Grha, bagaimana kau bisa menemukanku?"
"Perasaanku memberitahuku aku harus kesana."
"Semudah itukah?"
"Akan lebih mudah lagi jika kita terus bersama."
Aku menggodanya dengan mencium rambutnya.
"Hey, aku baru sembuh. Udah nakal lagi."
"Bukan nakal. Sedikit godaan bisa jadi hal yang menyenangkan 'kan?"
Ponsel Zizi berdering.
"Sebentar ya. Aku angkat telepon dulu."
"Halo iya sayang...."
Zizi melanjutkan teleponnya bersama pasangannya. Aku diam memperhatikan dan menunggunya selesai. Zizi berbalik kepadaku. Ia mencium bibirku. Tanganku diarahkannya masuk ke dadanya dan dibiarkannya aku meremasnya. Ia menahan desahannya agar tidak curiga. Giliran, kepalaku dijepitnya dengan dadanya. Aku menyusui payudaranya. Ia menggigit bantal sesekali untuk melepaskan ketegangannya. Tangan kirinya dengan cekatan melepas celanaku. Digenggamnya penisku yang masih kendur. Dikocoknya perlahan.
"Ooohhhh......"
"Ssssttttt....."
Aku kelepasan. Ia terus mengocoknya hingga tegak berdiri. Jarinya mulai menari - nari di kepala penis dan lubang kencingnya. Cairan precum ku mulai keluar membasahi ujung jari Zizi. Ia mulai menjilati penisku lembut. Ia masih menelepon pasangannya.
Digigitnya batang penisku yang berdenyut. Diciumnya tanpa jijik. Ia mengambil jeda untuk mengoral penisku. Ia berbicara dengan pasangannya dan berhenti jeda untuk mengulum penisku. Shit, sensasi ini menggantung kenikmatanku. Tangannya ikut andil mengurut penisku. Ia menyedotnya seperti sedotan.
"Ssssslllluuuuurrrrrpppppp......sssssssllllllluuuu urrrrrpppp.......sssssssslllllllluuuuuuurrrrrrrrpp ppppp........Ssssssssssllllllllloooooopppphhhhhhh. .....ssssssssllllllllooooopppphhhhh........"
Aku sampai mendorong penisku masuk mengisyaratkan aku sudah berada di ujung. Ia mengakhiri teleponnya dan menjulurkan lidahnya.
"Cccccrrrrrroooooossssss........ccccccccrrrrrroooo oossssssss........ccccccccrrrrrrooooosssssss...... "
Penisku berkedut menembakkan sperma panas di dalam mulutnya. Ia berkumur dengan spermaku. Bahkan, mengambil foto dengan mulut penuh sperma. Aku mengeluhkan nafasku. Seperti ada yang terlepas dariku.
Zizi menelan spermaku membersihkan mulutnya dari bekas sperma.
"Still more of them? I'll suck them out."



Kami mulai foreplay untuk membangkitkan gairah kami. Tidak berapa lama, pintuku digedor dengan keras. Shit, siapa yang menggangguku sih. Aku membuka pintunya.
"Permisi, Pak Grha. Pak Danaran berhasil menangkap Jahri dan sekarang sedang diarak."
"Apa? Baiklah aku kesana."
Aku menutup pintunya dan bersiap.
"Ada apa, Grha?"
"Jahri ditangkap. Aku harus melihatnya."
"Tunggu, sekalian kita meliputnya."
"Baiklah."
Kami berdua keluar dan benar saja Jahri sudah diamankan. Ia sedang diarak menuju kantor polisi. Sampai disana, ia langsung menjalani tahanan dan akan diputuskan pada pengadilan.
"Mengapa jadi seperti ini keadaannya?"
"Maksudmu, Grha?"
"Dia bisa dengan mudah mengintai kita dan mencelakaimu. Tapi, begitu mudahnya tertangkap oleh anak buah Pak Danaran."
"Semoga kecurigaanmu salah."
"Semoga saja, Zizi."
Memakai samaran wartawan ini, kami berusaha untuk dekat dengan Jahri. Kami dipersilahkan untuk mewawancarainya. Jahri mengalami lebam di seluruh tubuhnya. Sepertinya habis dihajar massa.
"Tuduhanmu adalah mencuri uang milik seorang pengelola penginapan. Begitu mudahkah kau ditangkap?" Tanyaku
"Aku benar melakukannya. Aku tidak punya uang."
"Kau mencuri orang yang salah. Apalagi, kau mencuri uang Pak Dirgo. Tidak masuk akal."
"Aku mencuri siapapun."
"Bahkan, merusakkan notebook Zizi? Bagus sekali, karena aku tidak percaya."
"Pintu kamar tidak mengalami kerusakan berarti. Dengan kata lain, kau bisa mendapatkan kunci dengan mudah. Padahal, jika kau menjual notebook itu. Kau bisa mendapat uang lebih."
"Berarti ia disuruh merusaknya?" Tambah Zizi.
"Tepat. Dan kurasa memasukkan ia di penjara adalah salah satu rencana yang dilakukan oleh 3 orang. Kau, Pak Dirgo dan Pak Danaran."
"Pak Danaran juga ikut andil?"
"Iya, Zizi. Sebaiknya kau berterus terang, Jahri."
"Aku melakukannya karena ia berjanji akan mengembalikan kekasihku. Ia telah berjanji kepadaku. Jika, aku bisa melaksanakan tugasnya maka aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan."
"Kau sudah mengaku. Kami tidak akan menuntutmu lagi."
"Kalian berhati - hati lah. Mereka sudah pasti merencanakan sesuatu untuk menahan laju kalian."
Kami keluar dari kantor polisi.
"Sebaiknya kita kemasi barang kita di penginapan dan nanti malam saat semuanya tidur kita pergi dari sini. Sementara itu, kita selesaikan liputan bukit batu untuk terakhir kali."
Kami pergi ke bukit batu dan menyelesaikan liputan terakhir kali.
"Pemandangannya indah banget. Apalagi kalo sunset. Surga pokoknya."
"Sayang yah. Datengnya siang."
"Bentar aku foto dulu buat sosmed."
Ia memotret pemandangan dengan ponselnya.
"Kita selfie berdua sekarang."
"Gak apa nih?"
"Iya. Lagian biar tahu siapa yang nemenin aku sekarang."
Kami berfoto dengan background pemandangan. Hasilnya cukup bagus.
"Zizi. Udah gak kerasa mau balik lagi ke jakarta."
"Aku juga bakal kangen dengan tempat ini. Terlebih lagi kamu."
"Aku juga, Zizi."
"Kalo ada waktu main ke stasiun TV nanti kita ketemuan bareng."
"Jaga - jaga, kamu hubungin koresponden kamu disini untuk jemput kamu di pertigaan xxx."
"Kenapa? Masih ada acara kamunya?"
"Enggak. Jaga - jaga aja. Nanti biar dia nganter kamu ke jakarta."
"Pokoknya kamu anterin aku ke jakarta. Nanti gak aku bayar kamunya."
"Iya. Nanti aku usahain."
Kami selesai di tempat itu. Dan, menuju ke penginapan. Kami makan malam terlebih dahulu. Dan kemudian beristirahat sejenak. Barang kami telah dikemas sebelumnya.
Zizi tiduran di kasurnya. Ia tidak dapat memejamkan mata. Aku berdiri di depannya.
"Kamu istirahat Zizi. Aku udah nyiapin angkutan untuk kabur."
"Kesini dunk. Temenin aku tiduran."
"Iya, Zizi."
Kami berbaring berdampingan.
"Dibuka dunk celana kamu. Pengen liat penis kamu lagi."
Kulepas celanaku. Penisku masih mengendur. Zizi beringsut melepaskan celananya juga. Vagina berbulunya menantang birahiku.
"Kita ciuman sambil muasin diri."
Kami berdua sama - sama masih memakai baju. Kemaluan kami yang terlihat.
"Mmmmmhhhhh....cup....ccccllllllluuuuuppphhhhh.... .ccccccclllllluuuuuupppppphhhhhh.....ccccccllllllu uuuuuppppphhhhh......."
Aku berciuman dengan Zizi. Tangan kami berpindah. Zizi mengocok penisku sedangkan, aku mengocok vaginanya.
"Mmmmmmhhhhhhhh........aaaaaaaaccccchhhhhhh....... .ccccccllllluuuuuuppppphhhhhh........ccccclllllllu uuuuupppphhhhh......ooooooocccchhhhh."



Kami benar benar menuju relationship goal. Kami bertatapan mata.
"Punya aku udah basah, Grha. Please yah."
"Zizi? Yakin? Aku gak mau ngerusak hubungan ini."
"Gak koq. Aku pengen banget soalnya."
Zizi membasahi penisku. Penisku menghujam keras di vaginanya.
"Oooooogggggghhhhhhh......."
Aku menggoyangkan badanku. Ia merintih kesakitan.
"Pelan....Grha....pelan...perih..."
Kudiamkan sejenak agar vaginanya bisa menerimanya.
"Buruan digerakkin." Pinta Zizi.
Aku mulai menggosok Vagina Zizi dengan penisku. Penisku berkedut merasakan nikmatnya dinding Vaginanya menekan kulit sensitif ini.
"Oooooccccchhhhhh......hhhhmmmmmm......mmmmmmmhhhh hhhh......uuuuuuuuccccchhhhhhh........sssssssshhhh hhh....."
Bosan dengan misionaris, aku menusuk penisku dengan doggie style. Pantatnya bergoyang bebas saat aku tepat memasukkan penisku.
"Oooooohhhhh.....aaaaaaaahhhhhh..........ffffffffu uuuuuucccckkkkkkk.........."
Aku menjambak rambut pendek dan kutunggangi dengan cepat.
"Clop....clop...clop....clop.....clop.....clop...c lop....cpak.....cpak....cpak....cpak....cpak...."
Giliran ia menunggangiku.
Rambutnya tergerai. Ia membelakangiku dan membiarkan pantatnya bekerja pada penisku.
"Cpok....cpok.....cpok.....cpok.....cpok...9pok... .cpok......"
Ia memutar badannya dengan penis tertancap. Ia menggiling penisku dengan goyangannya dan hujamannya.
"Aaahhh....Zizi....enak banget....."
"Cleph....cleph....cleph.....cleph....cleph....cle ph.....cleph....."
"Ooooohhhh.....yyyyyeeeeeeaaaaaahhhhh.......ffffff ffuuuuucccckkkk......meeeeee........haaaarrrddddee eeerrrrr...."
Kuremas dadanya. Ia makin menggila. Aku membantu penisku agar lebih masuk ke dalam.
"Aaaaaccchhhhh......mmmaaauuuu.....kkkkeeeelllluuu uaaaarrrrr......Grha."
"Aaaakkkuuu....jjjjuuuuggggaaaa......Zizi.."
"Tunggu..jangan....tunggu."
Kalimat terakhirnya tidak kudengarkan. Tanganku berada di pinggulnya. Penisku memuntahkan spermanya di dalam.
"Cccccrrrrrooootttttttssssss.......ccccccccrrrrrro ooooottttttsssss.....ccccccccrrrrrroooootttttttsss sssss......."
Zizi kemudian orgasme juga setelah aku ejakulasi.
"CcCccccccrrrrrsssssssssssss........."
"Grha, kamu udah keluarin di dalem. Tadi aku mau bilang kalo aku lagi subur."
"Apa? Aduh bagaimana ini. Aku gak sengaja. Aku lepas kendali."
"Udah bagaimana lagi. Kamu udah keluarin di dalem. Aku cuma bisa nerima aja."
"Maafin aku, Zizi."
"Aku seneng koq. Lagian, nanti aku pulang aku minta pasangan aku untuk keluarin di dalam. Jadi, kamu gak akan terlalu masalah. Tapi, aku potong untuk biaya hotelnya."
"Terserah kamu, Zizi."
Kubiarkan penisku tercabut dengan sendirinya. Zizi berbaring di atas badanku. Kami tertidur sebentar setelah pergumulan ini.
Tengah malam, aku membangunkan Zizi untuk mengajaknya kabur. Aku menelepon salah satu mobil pick up dan mengantar kami hingga pertigaan xxx dimana koresponden menunggu.
"Ayo, Zizi. Kita tidak punya banyak waktu."
"Iya. Aku sudah siap."
"Zizi, ada sebuah surat dariku. Jangan dibuka sekarang. Nanti kalo sudah berada di jakarta dan kita berpisah, baru kamu buka surat itu."
"Baiklah."
Kami keluar dari OW xxxx dengan aman. Disebuah jembatan, mobil kami dihentikan segerombol orang.
Kami keluar dari mobil. Supir mobil itu disingkirkannya.
"Serahin barang - barangnya atau mau nyawamu gak selamat."
Aku memunggungi Zizi.
"Zizi, sebaiknya kau berada di sisi terjauh jembatan. Aku sudah menyuruh korespondenmu menjemputmu bersama polisi."
"Kau sudah mempersiapkannya sejauh ini."
"Karena aku ada bukti yang menyebutkan Pak Danaran terlibat. Kau sudah mengunggahnya kemarin."
Ia berlari ke sisi terjauh jembatan.
"Kalian mencari buktinya kan? Ada di kartu ini. Tapi lepaskan wanita itu."
Perhatian mereka teralihkan. Segera saja mereka mengeroyokku. Aku terlibat baku hantam dengan mereka. Aku kalah jumlah. Tetap kulawan saja. Mereka berusaha untuk merebut kartu media ku.
"Grhaaaaa!" Zizi berteriak.
Perlawanan itu tidak cukup lama bertahan. Aku terdesak hingga ke tepi jembatan. Mereka terus menghajarku habis - habisan. Digeledah badanku. Aku sudah tidak bisa melawan lagi. Zizi mematung di tempatnya. Salah satu dari mereka mendapatkan kartu medianya. Dalam keadaan seperti ini, mereka mendorong badanku jatuh dari jembatan. Aliran air cukup deras saat itu. Membawaku hanyut dengan aliran sungai.
"Grhaaaaaaaaa!" Zizi mulai menitikkan air mata.
"Don't die on me, Grha."
Zizi tidak percaya bahwa Grha mengorbankan nyawa untuk keselamatan dirinya. Sirine polisi nyaring terdengar. Gerombolan ini langsung berhamburan melarikan diri. Ternyata, mobil itu dikendarai oleh koresponden yang dihubungi.
"Nona Zivanna, ayo masuk. Saya akan mengantar anda pulang."
"Tapi, Pak. Kameramen saya hanyut di sungai. Kita harus menolongnya."
"Saya tahu. Tetapi, keadaan masih tidak aman. Saya disuruhnya untuk mengantar anda."
"Enggak. Saya gak akan pulang sebelum saya lihat dia."
"Nanti, besok pagi. Akan saya panggil polisi untuk menyisir tempat ini."
Zizi meronta menolak ajakan korespondennya. Ditariknya masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, Zizi meratapi kepergian Grha. Sesenggukan itu kadang pecah menjadi air mata.
Akhirnya, liputan Zizi digunakan dalam special report. Tayangannya mendapat share tinggi. Walaupun begitu, ia masih teringat dengan Grha. Tentu saja, Syifa shock mendengar kabar ini. Mereka sempat berselisih akibat peristiwa ini. Namun, pada akhirnya mereka berbaikan karena pada dasarnya hal ini adalah sebuah tindakan dari seorang manusia.
Surat yang diberikan Grha dibaca oleh Zizi dengan haru. Dalam surat itu digambarkan betapa senangnya ia bisa bersamanya. Ia meminta maaf tidak bisa mengantarnya ke Jakarta dan mengusut keterlibatan Pak Danaran. Ia meminta kesabaran selama sebulan.
Zizi mengambil dildo kesukaannya. Ia merenggut pakaian peninggalan Grha yang berhasil ditemukan.
"Grha.....ooooccccchhhhh....."
Diciumnya pakaian yang usang itu untuk mengingatkan dirinya dengan Grha. Sementara, dildo itu terus dimasukkan ke dalam vaginanya.
Beberapa saat kemudian, ia kelelahan akibat bermasturbasi. Ia terus mengingatnya.
"Grha, aku kangen kamu."



Sebulan kemudian, Zizi sibuk bekerja dengan liputan investigasinya. Rekaman percakapan Grha dengan seorang perempuan bernama Asri di dengarnya berulang - ulang. Suara Grha masih terngiang di pikirannya. Ponselnya berdering. Dari nomor telepon rumah yang baru di lihatnya.
"Halo, dengan Zivanna."
"Ha, Halo. Saya Asri, Ibu Zivanna."
"Asri? Asri siapa ya?"
"Saya disuruh Mas Grha untuk menelepon Ibu. Katanya Ibu butuh bukti bahwa Pak Danaran berbuat kejahatan. Katanya ibu bisa membantu saya."
"Kapan bisa bertemu?"
"Saya tidak bisa kemana - mana. Paling saya cuma bisa di terminal bus kota xxx."
"Besok jam 10 pagi. Kita ketemu. Saya pakai seragam TV."
"Baik, bu. Terima kasih."
"Terima kasih."
Zizi menutup ponselnya.
"Grha, inikah yang kau rencanakan? Andai kamu masih hidup."
Zizi meminta izin untuk dinas luar dan bertemu dengan perempuan bernama Asri tersebut. Dan, ia bersemangat mengungkap kejahatan Pak Danaran.

Finally, Should I live as a monster? Or die as a good man? Or else? Who knows

Tidak ada komentar:

Posting Komentar