Senin, 09 November 2015

Cerita Dewasa Artis Dara





*BAB I – BUNGA PETUNIA DARI JAKARTA*

Kedua gadis itu menuruni tangga dengan elok. Yang berperawakan lebih kecil melangkah dengan molek dan lugas. Dara Rizki Ruhiana, begitu nama lengkapnya. Sungguh tiap manusia fana yang melihat dara ini, biarpun sekelebatan, kan merasa mendapat rizki yang terluap-luap hingga merasuk ke dalam ruh. Sedemikian anggun dirinya, jikalau diibaratkan dengan sejenis gerabah, ia adalah guci tiongkok dari zaman dinasti Han. Dengan segala kerapuhan, menyimpan berjuta keindahan. Jangan sampai terguling jika tak ingin pecah menjadi seribu keping. Tubuhnya ramping, siluet lekuk kecil pinggulnya serta mungil dadanya terlihat dari balik kemeja tipis lengan panjang yang agak longgar. Celana denim ketat panjang yang dipakainya hanya mampu menyembunyikan mulus tungkainya, tapi tetap tak kuasa menahan indah bentuknya. Rambut patah-mayang sepunggung dibiarkannya tergerai. Adakalanya desiran angin pantai dari luar bandara ikut meniupkan beberapa helai rambut menyapu mata yang berbinar sampai ke bibirnya yang tipis merekah. Senyum tak henti tersungging disela-selanya. “Sungguh hari yang indah!”, begitu mungkin pikirnya.

Adapun gadis satunya berjalan tak sampai sepelemparan batu di samping Dara. Tiara, demikian panggilannya, walaupun aslinya jauh dari itu. Sri Purnamasari, demikian orangtuanya memberikan nama. Jikalau tak terhitung banyaknya pujangga menyebut bahwa nama adalah doa, sahih terimplementasi pada makhluk ini. Rancak denok bagai Dewi Sri, cantik molek bagai sinar rembulan menerangi gulita malam. Usianya tak terpaut begitu jauh dengan Dara, hanya lebih tua satu tahun. Tetapi posturnya yang tinggi semampai terlihat semakin menjulang jika disandingkan dengan gadis di sebelahnya yang lebih pendek hampir satu jengkal. Memakai kaos hitam ketat dengan gambar band power-metal dari Jerman, gundukan di dada yang besarnya diatas rata-rata semakin menyembul berkat tali tas-kulit-selempang yang hinggap dengan tentram diantaranya. Rambut panjang lurus yang biasanya ia sampirkan ke depan untuk menutupi volume payudara, kini digelung ke atas untuk membiarkan angin semilir menyejukkan leher. Permukaan kulitnya yang putih sehalus kapas, tanpa canggung menampakkan diri selepas batas celana-denim-setengah-paha yang dikenakannya. Sepatu boots beludru setinggi mata kaki semakin memamerkan jenjang kakinya. Pasangan gadis ini tampak serasi, seiring berdampingan, sejalan bersandingan. Yang mungil bagai kancil, lincah tegap dan tampak berseri gemerlap. Yang jenjang serupa kijang, anggun rupawan memberi impresi nan elegan.

Tiara berjalan melenggang enggan sepanjang tangga pesawat sampai ke ruang klaim bagasi. Kacamata hitam Armani yang ia pakai tidak dapat menutupi masam raut mukanya. Gairahnya berangkat dari Jakarta ke kota ini memang tidak sebesar Dara. Ia hanya menemani sahabatnya itu, teman dekat yang sudah dianggapnya adiknya sendiri, untuk menggantikan manajer Dara yang sedang berhalangan. Sedianya Dara akan menjadi salah satu juri festival band regional Kalimantan Timur yang diadakan di Bontang. Festival ini dibesut oleh salah satu produsen rokok bekerjasama dengan organisasi kepemudaan tingkat provinsi serta Pemerintah Kota. Memang, semenjak mengikuti ajang pencarian bakat dan bergabung dengan tim manajemen musik asuhan salah satu seniman kondang, kegiatan Dara sangat padat. Latihan setiap hari, konser tanpa henti, kegiatan perjumpaan dengan penggemar, serta tak terhitung aktivitas lainnya. Kali ini selain menjadi juri, agenda utamanya adalah berburu talenta tersembunyi dari anak-anak muda yang masih belum terendus oleh dunia pertunjukan. Bagai lempengan baja mentah, peran pandai besi macam seniman kondang tersebut yang bertugas menempa bongkahan tak bermakna menjadi pusaka mulia. Tiara yang hanya diminta menemani sahabat kesayangannya, tak kuasa menolak ajakan Dara. Sungguhpun berat baginya berlibur ke kota yang belum ia kenal, kasihnya terhadap sahabatnya mengalahkan segenap segan lenggana yang ia rasakan.

Setelah sejenak menunggu bagasi, kedua nona kita bergegas menemui penjemput yang telah menanti mereka. Untuk dapat mencapai Bontang, pelancong mesti melalui jalan Trans-Kaltim melewati kota Samarinda. Dibutuhkan tak kurang 250 kilometer perjalanan selama lebih dari enam jam berkendara menggunakan mobil. Entah berapa lama yang dibutuhkan jika hanya menaiki kuda. Dengan kontur jalan yang berlembah dan berkelok, berbukit dan berbelok, kuda manapun pasti akan jengah bahkan hanya dengan mendengar jalur mana yang akan dilalui, untuk kemudian memutuskan tetap di istal yang penuh jerami hangat dan rumput lezat. Pengecut memang, namun logis.

Suhu pembaca sekalian tak perlu risau, kedua nona kita tak akan menunggangi kuda. Dua orang penjemput ini datang membawa kendaraan roda empat keluaran terbaru dengan kapasitas penumpang maksimal 7 orang, memiliki fasilitas ABS+EBD, Tilt/Telescopic Steering, 2 Airbag,Full Chrome Garnish, Projector Headlamp, Double Blower A/C dan Integrated Entertainment System with Bluetooth Compatible, lengkap dengan persediaan makanan dan kudapan untuk dinikmati selama perjalanan. Sangat memadai untuk perjalanan sejauh Balikpapan-Bontang. Saking leganya, satu mayat kuda pengecut pun muat untuk diletakkan di bagasi belakang. Namun pada hari secerah ini cukuplah dua tas ransel milik kedua penjemput serta dua koper ukuran sedang milik Dara dan Tiara yang menjadi penghuni bagasi. Setelah berkenalan, keempatnya bergegas masuk ke dalam mobil. Tiara di depan menemani Pak Supir, pria paruh baya dengan setelan safari hijau zaitun dan berkalung handuk butterfly putih. Dara duduk di deret kedua bersama pemuda penjemput yang memperkenalkan diri sebagai Niko, salah satu juri pada event festival musik yang telah disebutkan di atas. Perjalanan pun dimulai dengan memanjatkan doa kepada Yang Maha Memberikan Keselamatan.

Diiringi lagu-lagu koleksi supir kita yang didominasi karya agung maestro Alm. Pance F. Pondaag dan Raden Haji Oma Irama, mobil melaju mulus sepanjang kilometer awal jalur Balikpapan-Samarinda. Si pemuda juri tak henti-hentinya melontarkan lelucon untuk menghibur kedua dara kita. Wawasannya yang luas dan otaknya yang encer membuatnya cepat saja mencari topik perbincangan. Sebetulnya ia berperawakan kecil dan kerempeng, tak lebih tinggi dari Tiara si kijang anggun. Namun caranya berbusana membuatnya terlihat rapi jali. Rambutnya kelimis berkat pomade Tancho, disisir ke belakang. Kacamata-minus KW2 berbingkai hitam dengan gagang merah yang menutupi sepasang mata sipit, bertengger gagah di batang hidungnya yang mancung. Kemeja dan celana-pensilnya disetrika rapi mengikuti garis lipatan. Sebuah ikat-pinggang-kulit coklat tua melingkar diantaranya. Sepatu kulit senada dengan warna ikat pinggang terlihat parlente, mengikuti gaya eksekutif muda masa kini. Untuk ukuran seseorang dengan postur cungkring, pemuda ini termasuk kuat bercakap-cakap. Restoran Tahu Sumedang di Km.50 sudah dilewati, belum ada pertanda cadangan liurnya akan mengendur. Hanya Dara yang luwes dengan senang hati menanggapi banyolan Niko. Pak Supir sesekali terbahak-bahak, namun lebih mencoba berkonsentrasi memperhatikan jalan. Adapun Tiara, memandang kosong ke depan dan tampak bosan. Tak secuilpun ia memerhatikan Niko, yang matanya selalu mencuri pandang dengan takjub ke dadanya, dan kerap mencoba menarik perhatiannya. Mulai lelah, Niko akhirnya berhenti dan keempat petualang kita melanjutkan sisa perjalanan menuju Samarinda dengan menikmati tembang-tembang lawas milik Soneta Grup.




*BAB II – SENJA DI SUNGAI MAHAKAM*


Samarinda yang merupakan ibukota Kalimantan Timur, terbelah menjadi dua oleh indahnya Sungai Mahakam. Samarinda Kota di sebelah utara serta Samarinda Seberang di sebelah selatan. Sebagai ibukota administratif, notabene hampir segalanya yang pelancong butuhkan, bisa didapatkan. Makanan, lokasi wisata, tempat hiburan, pasar tradisional maupun modern, kompleks kost mahasiswi, bahkan sampai deretan penjual telur penyu ilegal, dapat ditemukan dengan mudah di kota ini. Banyak peradaban kuno berawal dari kebudayaan sungai, seperti Eufrat/Tigris di Mesopotamia, Gangga di India atau Yang Tze Kiang di Tiongkok. Demikian pula halnya yang terjadi di Samarinda. Segala bentuk kehidupan masyarakat tak lepas dari Sungai Mahakam. Mulai dari sumber air, prasarana transportasi sampai potensi perikanan. Konon, lumba-lumba air tawar yang lazim disebut Pesut Mahakam berada di ambang kepunahan karena pencemaran air serta kalah bersaing dengan manusia dalam memerebutkan sumber makanan. Namun hal demikian masih jauh untuk terbersit dari pikiran Dara ketika pertama kali menyeberangi jembatan Mahakam yang tersohor itu. Matanya berbinar-binar, hatinya bergelora membayangkan kehidupan masyarakat Samarinda pra-modern. “Apa yang akan terjadi jika aku berada disini, menjadi nelayan, atau bahkan putri kepala suku yang dielu-elukan bangsaku? Sungguh penasaran!”, pikirnya menerawang. Berbeda halnya dengan Tiara. Ia ingin cepat sampai Bontang, mandi air hangat, dan membenamkan hidung di bantal yang empuk. Tubuhnya sudah penat, membayangkan masih akan menghabiskan beberapa jam perjalanan saja sudah membuatnya sumuk.

Sesampainya di Samarinda, rombongan kita singgah di Masjid Islamic Center yang berada tak jauh dari jembatan Mahakam. Masjid ini berdiri anggun di atas bekas lahan penggergajian kayu PT. Inhutani yang luas. Hanya untuk mengelilinginya saja, pelancong harus menyiapkan nafas ekstra. Atau jika kebetulan memiliki penyakit asma terpaksa harus menyewa ojek motor dengan tarif 5000 Rupiah. Dengan total menara sebanyak 13 buah yang masing-masing tinggi menjulang, bangunan megah ini sekilas tampak bagai Taj Mahal di India. Sedianya, rombongan akan melewatkan waktu maghrib sekaligus menjemput juri terakhir yang akan menunggu disini. Niko yang tadinya tenggelam dalam lamunan, sekarang tampak sibuk dengan ponselnya menghubungi seseorang, yang akan kita temui dalam waktu tak berapa lama lagi.


Masjid Islamic Center Samarinda, bangunan megah di tepi sungai



Segera setelah mobil diparkir, dari kejauhan tampak seorang pria berjalan mendekati mereka. Langkahnya efisien, tanpa mengayunkan lengan namun terlihat mantap. Sepasang sandal gunung merek lokal mengintip dari ujung celana kargo yang lebar. Badannya agak membungkuk, sedikit menutupi posturnya yang tinggi tegap. Dari sela jaket-parka-hijaunya yang dibiarkan terbuka, terlihat kaos hitam dengan sablon band yang persis sama dengan yang dikenakan Tiara, hanya berbeda motif saja. Tali ransel-carrier-30liter semakin menegaskan bahunya yang bidang. Bermacam gelang menghias di atas tangannya yang mengepal, mulai dari batu bulat, beberapa karet hitam sampai gelang-kayu bermotif Dayak. Sekilas pandang bagi yang baru pertama mengenalnya, pria ini tampak urakan dan terlihat memiliki masa lalu yang kelam. Rambut gondrongnya tak disisir, sebagian menghalangi sorot matanya yang tajam. Manusia biasa yang tak menyimpan ilmu kanuragan, jangan harap akan tahan beradu pandang dengan tatapan macam itu. Segaris codet-bekas-luka melintang dari alis sebelah kanan, melewati batang hidung sampai ke tulang pipi sebelah kiri. Air mukanya serius, lekuk mulutnya cekung ke bawah. Jika ada sesuatu yang apik dari parasnya, hanyalah wajahnya yang tanpa ornamen bulu, seolah dipangkas setiap hari. Rokok kretek yang terselip di sela bibirnya tiada mengalami pergerakan berarti saat ia hisap-hembuskan asapnya. Bahkan saat tersenyum pun, sisi bibirnya tak akan naik sampai lima derajat.

Ndilalah, senyum itu pula yang ditunjukkan saat menyalami rombongan kita. Niko tersenyum kecut, sadar betul teknik komunikasinya tak akan mempan menghadapi makhluk satu ini. Lain halnya dengan kedua gadis kita yang memiliki banyak kesamaan, yang salah satunya adalah selera ketertarikan terhadap lawan jenis. Wanita memang ganjil. Dihadapkan pada sosok yang tampak ganas dan buas bagai macan beringas, alih-alih bergidik, malah tertarik. Bukannya takut, justru terpaut. Tak kuasa mereka menolak aura ketampanan dan kelelakian yang deras terpancar dari berandal ini. Sibuk mengurusi degup jantungnya, Dara menjatuhkan ponsel kesayangannya, dan melewatkan kesempatan menyentuh tangan pria ini sebelum Tiara. Tiara yang terkesiap lantaran sang lelaki menjulurkan tangan kepadanya karena Dara masih menunduk, menjulurkan kedua tangan padanya, dan dibalas dengan salam-dua-tangan-di-depan-dada oleh pria ini. Gestur “bukan mahrom”. Riki, katanya singkat, kemudian kembali mengulurkan tangan pada Dara yang sudah siap menerima jabat tangan dengan mata berbinar. Kecewa tiada tara, Tiara spontan menarik tangan Niko menuju masjid, diikuti dengan seringai sukacita dari Niko yang tak berlangsung lama, karena Tiara kembali melepas tangannya setelah mengumpulkan ketabahan yang tadi sempat bertebaran.

Pembaca yang budiman harap bersabar, cerita ini tak akan berakhir di dalam mobil dengan tokoh kita melakukan orgy party di bangku belakang sepanjang perjalanan, ditemani Pak Supir yang melirik penuh nafsu dari kaca spion tengah, mencoba mengatur jalannya kendaraan agar tak senada dengan birama jantung tuanya yang mulai amfaal. Sayangnya tidak, masih jauh dari itu. Sebaliknya, setelah sholat maghrib Jama’ Qashar dengan Isya dan bersantap di salah satu RM Padang, perjalanan dilanjutkan kembali secara biasa. Namun bedanya, bangku baris tengah terisi penuh, dengan Dara yang sedang berbunga-bunga diapit kedua lelaki yang mengisi posisi pinggir kanan-kiri. Gaya duduk Dara sepintas jamak saja. Kedua tangan bersidekap, lutut rapat dan pandangan selalu tertuju pada ujung sepatu. Namun siapa nyana, hatinya sedang terpesona, pikirannya terlena. Setiap tikungan ke kanan yang agak tajam, bokongnya bergeser satu milimeter ke kiri, mendekati sang pencuri kalbunya yang baru. Walhasil, tak sampai setengah lap putaran jarum panjang pada arlojinya, ia telah sukses berdempetan panggul dengan Riki. Sang pejantan acuh tak acuh, bergeming pada posisinya dengan leher menoleh ke luar jendela. Tiara yang masih kecewa, memilih untuk bersandar dan memejamkan mata, menikmati samar aroma D’squared-Woods-bajakan yang berasal dari pria di belakangnya. Niko tertunduk lelah, staminanya sudah tergerus oleh perjalanan panjang yang ia lakukan sejak pagi.




*BAB III – “TAK KAN BERHENTI KU MENYAYANGI DIRIMU..”*


Kira-kira demikian yang terjadi selama dua setengah jam berikutnya, sampai rombongan kita melewati bangunan-non-SPBU pertama setelah 120 kilometer yang memiliki lampu neon lebih dari dua buah. Ialah RSUD Bontang, pertanda bahwa pengembara sudah memasuki wilayah administratif Kota Bontang. Terletak persis pada bagian “lubang hidung” Pulau Borneo, luas kota ini tak sampai seperlima Jakarta. Bahkan luas daratannya kurang dari separuh luas perairan. Hal ini yang menjadikan potensi sumber daya perikanan laut menjadi andalan. Komoditas berupa teripang, kerapu, udang, lobster, tiram dkk banyak dicari pasar luar negeri. Itu, dan pemanfaatan sumber daya alam mineral. Dua perusahaan berskala masif, PKT Bontang dan PT. Badak LNG berdomisili disini. Sejak berpuluh tahun lalu, sebagian kehidupan masyarakat Bontang bertumpu pada kedua organisasi raksasa tersebut. Tak terhitung banyaknya fasilitas umum yang dihasilkan dari kerja sama Pemerintah Kota, memanfaatkan program Corporate Social Responsibility. Stadion olahraga, food-court, sekolah, perumahan, bahkan sampai ke rambu/marka dan tanaman penghias jalan. Kecil memang kota ini, namun rapi dan teratur.

Sudah masuk sepertiga malam kedua, ketika rombongan kita tiba di salah satu penginapan terbesar di kota ini. Dara dan Tiara akan menempati kamar yang sama di lantai 3, Riki sendirian di kamar sebelahnya, sementara Niko dan Pak Supir yang penduduk lokal pulang ke rumah masing-masing. Tiara yang penat tiada terkira, langsung menuju shower untuk kemudian berkubang di bathtub yang nyaman. Dara yang terampas hak mandinya, bergegas turun menuju lobi. Sudah beberapa jam sejak makan malam ia tidak merokok, dan kini tubuhnya mulai meminta asupan nikotin kembali. Rokoknya bermerek hampir serupa dengan nama salah satu jalan di Yogyakarta. Memiliki bola mint yang bisa dipecahkan dalam filternya, asap dingin memenuhi paru-paru Dara tiap kali ia menarik nafas dalam-dalam. Belum sampai setengah batang larut dalam khayalan, tersentak ia oleh tepukan halus di pundaknya. Alamakjang! untunglah ia sedang duduk. Jika dalam posisi berdiri, mungkin sekarang ia sudah terjerembab lantaran lututnya kontan lemas demi menatap makhluk yang menepuk bahunya.

Ya, Riki. Bukan, sayangnya bukan iblis, setan atau dedemit. Jin dan sebangsanya tak akan berani mengganggu Dara yang serupa-sebangun dengan penjelmaan bidadari kahyangan di muka bumi. Masih lemas, Dara menghisap sekali lagi rokoknya sembari mencoba tersenyum simpul. “Boleh pinjam korek?”, demikian teguran resmi pertama Riki pada Dara. Rokok kretek bertengger tak sabar di bibirnya, seolah ingin ujungnya cepat terbakar sebelum ujung yang lain boncos, basah oleh liur. Dara berpikir cekatan, mencoba lebih dekat dengan pujaannya sebelum pria ini menghilang secepat ia datang. Melontarkan senyum termanis yang bisa ia buat, ia menepuk-nepuk kursi di sebelahnya, mempersilakan Riki duduk dan menikmati kepulan asap bersama. Senang bukan buatan ia, Riki menerima ajakannya. Terkesan dengan Dara yang pantang menyerah, Riki menanggalkan sebentar sikap dinginnya setelah beberapa belas jurus. Jawaban “Ya” atau “Tidak” yang biasa ia keluarkan, berganti menjadi komunikasi dua arah. Menjelang tengah malam, Dara sudah mengantongi informasi yang lebih dari cukup mengenai Riki. Masa lalu, sejarah bermusik, pengalaman manis dan pahit, serta sedikit tentang cintanya yang baru saja kandas. Memang tak dapat dipungkiri, keberhasilan proses spionase intelijen memiliki peran serta wanita cantik didalamnya. Violette Szabo, Nancy Wake, Agent Blanche sampai Mata Hari, seluruhnya berwujud wanita dalam keadaan fisik yang paling sempurna. Dara memang tak dapat disandingkan dengan perempuan-perempuan lihai tersebut. Namun mengingat teknik interogasi Dara masih amatiran, serta jantungnya yang berdebar tak keruan sepanjang percakapan, bolehlah ia berpuas diri dengan pencapaiannya malam ini.

Setelah paru-paru penuh asap dan aliran darah bergelimang nikotin, Keduanya memutuskan mengakhiri malam itu. Mereka naik bersama, dengan Dara berada beberapa langkah di depan Riki. Ketukan jantungnya semakin keras, pikirannya tak dapat dikendalikan. Nafsu berahi memang tak dapat dipisahkan dari seluk-beluk kehidupan manusia. Sejak zaman kaum Sodom hingga era pemerintahan Bill Clinton, manusia tak pernah dapat menaklukkan makhluk yang satu ini. Entah mengambil wujud iblis nista ataukah malaikat cinta, pada akhirnya tetap sama, penaklukan akal sehat atas nama kepuasan sesaat. Kurang-lebih demikian yang terjadi pada Dara, ia tidak dapat menahan hasratnya pada Riki. Begitu tiba di lantai tiga, Dara berhenti tiba-tiba, membuat Riki hampir menabraknya. Nafasnya menderu, matanya sayu, jemarinya gemetar akibat gairah asmara. Ia berbalik lalu mendekat sampai dapat merasakan hembusan nafas Riki di keningnya. Tinggi tubuhnya tak sampai sebahu pria itu, oleh karenanya ia mendongak sembari berucap lirih, “Apa yang akan dikau lakukan, jika aku tak ingin berpisah darimu malam ini?”.

Sedingin-dinginnya sikapnya, seberandal apapun tampaknya, Riki hanya pria biasa, besar kemungkinan ia takluk oleh bermacam kenikmatan duniawi. Demi melihat Dara bergulat dengan hasrat, gunung es di hatinya meleleh. Siapa yang dapat menolak permintaan bidadari semolek ini? Andaikata terdapat pangkat/golongan dalam struktur institusi kebidadarian, maka wanita ini pastilah sudah Eselon Satu, setingkat Direktur Jenderal, hanya satu jenjang di bawah Menteri. Makhluk fana macam Riki takkan mampu melawan sinar surgawi bidadari sejenis ini. Tangannya perlahan terangkat, menyentuh pipi Dara, tak kuasa menjawab pertanyaannya. Apa yang akan dikatakan orang jika tokoh publik seperti Dara kedapatan bercinta dengan pria berpenampilan bromocorah?

Namun begitulah, cinta tiada paham kasta. Asmara tak mengenal rupa. Mendapati tangan Riki mendarat di pipinya, Dara serta-merta merapat sampai kakinya berdiri di atas kaki Riki. Tangan kirinya memeluk pinggang pria itu. Tangan satunya yang gemetar, dipaksakannya menyentuh dada bidang di depannya. Sambil berjinjit, bibir tipisnya menggapai bibir Riki sampai bersentuhan. Mereka berpagutan, kedua mulut dan lidah semakin dekat bersatu. Dara membimbing tangan Riki menuju payudaranya yang kecil. Mendapati dadanya diremas dengan mesra, Dara semakin melayang kehilangan akal dalam pelukan erat Riki. Aroma jantan dari pujaannya membuat berahi semakin memuncak. hingga pada saat tak tertahankan lagi, ia menarik tangan Riki dan berjalan cepat menuju kamar Riki yang kosong.

Di dalam kamar, aura keintiman semakin menyeruak. Masih dalam posisi berdiri, keduanya kembali merangkul dan memagut, memeluk dan mengecup. Tangan Dara berkelebat melepas kemejanya yang sudah terbuka separuh, sekaligus beserta penutup payudaranya. Jelas sudah, apa yang tersimpan dibalik pakaian yang selama ini rapat melindungi tubuhnya. Kulit mulus sempurna, harum serupa nirwana. Tiada cacat yang berani bertengger pada dirinya. Payudaranya mungil namun kencang, puting dan areola berwarna merah muda tampak indah menghias di tengahnya. Perutnya langsing, sejajar dengan bagian atas pinggulnya yang ramping. Disuguhkan pemandangan serupa ini, Riki langsung menyambut dengan remasan, kecupan, gigitan, dan apapun yang dapat dilakukannya dengan tangan dan mulutnya.

Beberapa jurus kemudian, Sekujur tubuh Dara sudah terjamah oleh hasil dari imajinasi liar Riki. Seluruh pakaian mereka sudah teronggok di depan pintu toilet, dilemparkan begitu saja tanpa melihat. Tangan mereka saling meraba, ciuman mesra bersarang dimana-mana. Dara mulai bernyali menyentuh batang kemaluan Riki, digenggamnya penuh gelora dengan kedua tangan. Terhenyak ia, pegangan kedua tangannya hanya menutup separuh panjang kemaluan itu. Dara bersimpuh pada lututnya dan mulai melumat sisa batang yang tak tergenggam dengan bergairah. Beberapa waktu lamanya ia memainkan penis Riki dengan lahap. Berbagai cara untuk memuaskan kemaluan Riki ia lakukan tanpa canggung. Semakin terangsang ia ketika melirik pejantannya sangat menikmati permainan bibir dan lidah Dara. Vaginanya mulai basah, asmara kian memuncak di dalam benak. Dara berdiri, berbisik pada Riki yang telah mendekapnya lagi. “Pelan-pelan kakak sayang. Aku tak terbiasa bermain cinta”, ucapnya lirih seraya berbalik membungkuk, menumpukan tangan pada dinding dan menempatkan ujung pantatnya pada alat kelamin Riki.

Tak butuh waktu lama bagi Riki untuk mengerti. Erangan kecil spontan keluar dari bibir mungil Dara ketika Riki perlahan memasukkan penisnya ke lubang kenikmatan nona itu. Begitu sulit bagi Riki untuk menenggelamkan seluruh batang penisnya ke dalam ruang yang masih ketat dan sesak. Seperti yang sudah ia katakan, Dara sungguh tak terbiasa bercinta. Benda paling besar yang pernah masuk ke tubuhnya hanyalah tangkai kenikmatan milik kekasihnya pertamanya. Itupun tak sampai setengah ukuran pria yang sekarang berada di belakangnya ini. Setelah namanya menjadi cukup terpandang, tak dapat lagi ia bermain-main dengan pria, apalagi hingga berhubungan intim. Dara hanya dapat menikmati rangsangan seksual dari rekan satu bandnya, yang sayangnya tak dapat ia nikmati sepenuhnya karena memiliki jenis kelamin yang sama.

Butuh berkali-kali dorongan disertai rintihan dan erangan dari Dara untuk bisa memasukkan seluruh bagian penis Riki. Ketika akhirnya penis itu memenuhi seluruh rongga keintiman Dara, Riki beristirahat sejenak, membiarkan cintanya itu terengah-engah dan mengambil nafas. Seraya memeluk pinggang Dara, ia condongkan tubuhnya ke depan, diciuminya leher dan punggung nona itu. Perlahan, ia menggerakkan pinggulnya maju-mundur. Dara yang mengernyit terpejam, berkonsentrasi mengenyahkan sakit yang sejak tadi dideritanya. Ia mencoba menikmati sodokan, pelukan dan kecupan yang dilakukan pria yang sudah membuatnya terpesona ini. Setiap tusukan ia terima dengan rintihan manja. Betapapun sakit awalnya, vaginanya mulai terbiasa juga menerima hantaman batang serupa itu. Desahan demi desahan keluar tanpa ia sadari dari mulutnya, volumenya senada dengan lunak-kerasnya dorongan yang ia terima.

Selang sepuluh menit, ia membimbing Riki menuju tempat tidur tanpa melepas penis dalam rongga vaginanya. Perlahan ia terlentang, pasrah menerima setiap tusukan kemaluan penjantannya yang semakin lama semakin cepat. Dara sudah tak dapat lagi merasakan sekitarnya. Pikirannya melayang, tubuhnya meregang, bibirnya mengerang. Vaginanya berdenyut hebat. Belum begitu lama penis Riki bersarang, ia sudah merasakan nikmat tak terkira. Tak tertahankan rasa yang akan meluap dari seluruh tubuhnya. Lengkingan-lengkingan kecil mengiringi hentakan penis Riki dalam vaginanya. Sampai lengkingan itu menjadi jeritan kala getaran hebat melanda sekujur tubuhnya. Tungkainya mengejang, ujung jari kakinya meliuk tegang, mata terpejam, otot perut sampai ke bagian vitalnya berkontraksi tak terkontrol. Setelah jeritan tadi biibirnya tetap terbuka, namun tiada suara yang dapat keluar. Karunia asmara sungguh sedang menghantam gadis ini. Riki berhenti, mencoba bertahan menghadapi kenikmatan teramat sangat. Penisnya terjepit diantara otot vagina yang sedang menegang. Pemandangan didepannya sungguh luar biasa. Bidadari ini, dengan tubuh sehalus sutra tanpa sehelai benang pun di atasnya, bergetar penuh gairah karena dia. Penampakan ini akan ia abadikan dalam benaknya sampai entah berapa lama.

Enam puluh detik terasa selamanya, hingga Dara merasa tubuhnya dapat dikendalikan kembali. Terasa tangan Riki membelai rambut hingga pipinya. Matanya membuka, diturunkan jemarinya yang sedari tadi menjambak rambut Riki. Senyum pasrah terpampang di wajah sayunya. Hampir tergelak ia membayangkan betapa tadi ia tak berdaya, menggelepar dibawah pelukan Riki. Seluruh tubuhnya terasa kebas, namun ia masih belum puas, seakan tak ingin lepas. Walaupun lemas, ia menggulingkan tubuh Riki sehingga sekarang Dara berada di atas lelaki itu. Vaginanya masih terasa berdenyut, namun hasratnya tetap membara. Perlahan ia bergerak naik-turun, berusaha mengatur irama permainan. Tangannya bertumpu pada kedua belah dada Riki. Kenikmatan mulai merangkak naik, dari vaginanya, perlahan menuju pinggulnya yang bergerak konstan, terus ke dadanya yang sedang diremas oleh pria di bawahnya, akhirnya berhenti di otaknya dan tak mau pergi.

Kita tinggalkan sejenak kedua tokoh kita yang sedang berasyik-masyuk, terlena dalam atraksi romansa. Hanya berjarak satu pintu dari tempat mereka bermain cinta, Tiara sedang termangu sendiri di kamarnya. Televisi menampilkan acara kuis dengan pembawa acara berpakaian seronok. Ponselnya masih berdentang-denting memberitahukan percakapan yang masuk menyapa. Namun semua tak dihiraukannya. Sejak tadi menghabiskan waktu di kamar mandi bermain air, ia belum bertemu lagi dengan Dara. Ia maklum, kawannya itu butuh asupan nikotin setiap beberapa jam sekali. Tiara sendiri hanya perokok pasif. Pasif membeli, maksudnya. Jika sedang ingin, ia hanya meminta satu atau dua batang pada perokok terdekat. Dengan paras serupa Tiara, jangankan hanya satu batang. Sebungkus rokok plus secangkir kopi pun bisa didapatnya tanpa susah payah.

Tiara melihat jam di ponselnya. Lewat tengah malam, Dara tak kunjung masuk kamar. Ponsel Dara pun ditinggalnya, artinya temannya itu tak merencanakan akan pergi lama. Kekhawatiran muncul di benaknya. Sahabatnya bukanlah muka asing di belantika musik negeri ini. Wajahnya sering muncul di berbagai acara televisi. Bagaimana jika ada orang yang menculik Dara? Tebusan yang dihasilkan dari penculikan gadis muda terkenal pastilah sungguh menggiurkan bagi kebanyakan orang. Atau, yang lebih akut, bagaimana jika Dara disakiti, diperkosa, dipotong menjadi beberapa bagian, lalu dibuang di Selat Makassar? Oh, tidak! Tiara bergidik sendiri. Ia tak rela terjadi sesuatu pada sahabat yang dikasihinya. Kontan ia beranjak dari kamar, mencari Dara hingga ke lobi penginapan, parkiran, hingga ke tepi jalan, tak tampak jua batang hidung mancung milik temannya itu.

Terengah-engah, ia kembali masuk, menjelajahi selasar hotel, sampai tiba di depan kamarnya lagi. Seketika ia ingat begajulan tampan di kamar sebelah. Mungkin ia dapat membantu mencari Dara, pikirnya. Seberapapun sungkan ia membangunkan orang, rasa khawatir akan sahabatnya melampaui segalanya. Belum sempat ia mengetuk pintu di hadapannya, Sayup terdengar suara bagai orang berkelahi. Dari kamarnya tak terdengar suara apapun karena tertutup volume televisi. Akan tetapi, begitu ia berdiri di depan pintu, Jelas terdengar walaupun samar. Onde mande! Suara itu sangat dikenalnya! Walaupun ia belum pernah mendengar suara manja itu mengerang dan melenguh begitu rupa, namun tiada lain tiada bukan, wanita yang ada di dalam kamar itu adalah Dara. Bermacam perasaan mencuat dari pikirannya. Bahagia dan lega karena tak terjadi apapun terhadap Dara. Tercengang dan iri karena tak menyangka kedekatan Dara dan Riki sudah mencapai tahap demikian. Cemburu dan kecewa karena pria yang baru saja ia sukai bercinta dengan sahabatnya sendiri. Dengan berlinangan air mata, Tiara lekas masuk kamarnya sendiri, meninju dinding sekuat-kuatnya, dan rebah di pembaringan dengan hati pecah berserakan.

----------

Sementara dibalik dinding sebelahnya, Dara mulai bergerak liar. Puncak keintiman yang tadi dirasakannya, ingin ia meraihnya lagi dan lagi. Erangannya semakin kencang. Gerakan pinggulnya yang tadi ditahan, sekarang mulai buas. Dara menemukan sisi binalnya dalam pengaruh setan asmara. Permainan seks yang sebelumnya asing bagi Dara, kini bagaikan candu. Ia memeluk, meremas, mencium, apapun yang bisa dilakukannya dalam posisi menunggangi penis Riki. Kendali kini ada padanya. Ia memainkan tempo, membuat pria yang dikaguminya itu menjadi belingsatan. Ia ingin membalas apa yg sudah ia rasakan tadi. Ia ingin memberikan kenikmatan sepenuhnya pada pasangannya itu. Dengan cepat, ia bergerak maju-mundur, tak memberikan kesempatan pada Riki untuk mengimbanginya.

Namun apa daya, dalam keadaan normal saja, Dara tak akan dapat mengimbangi kekuatan tubuh begundal seperti Riki. Apalagi dengan situasi seperti ini, ia mulai kepayahan, dan tergeletak di atas tubuh Riki. Masih dalam posisi berpelukan, Pria itu kemudian mengambil alih komando dari bawah, dan menusuk-hunjamkan penisnya tanpa ampun. Dara otomatis melenguh sejadi-jadinya, memeluk sekuat-kuatnya. Kedua lututnya mengapit pinggul Riki, kedua tangan mereka bergenggaman erat. Setelah beberapa waktu mereka beradu alat kelamin dengan liar, Dara merasakan kenikmatan itu muncul kembali. Bahkan, kali ini lebih hebat dari yang pertama.

Dengan Riki yang mulai mengerang kehilangan kendali, Dara semakin terangsang. Tak diijinkannya Riki berhenti, digerakkan bokong indahnya setiap kali pria itu melambat. Puncak keintiman, kulminasi kenikmatan, tujuan tertinggi persenggamaan, akan diraihnya kembali. Dirasakannya kontraksi vaginanya semakin menghebat sesaat sebelum otaknya tak dapat menerima lagi rangsangan apapun. Terbang melayang, mengapung di awang-awang. Demikian orang katakan untuk keadaan trance serupa ini. Begitulah yang terjadi pada Dara. Apapun yang dilakukannya saat ini bukanlah hasil dari penelaahan otaknya, melainkan gerak refleks semata. Ekspresi syahdu pada parasnya yang cantik, tatapan sendu dari matanya yang lentik, jeritan merdu dari bibirnya yang mungil, genggaman erat dari jemarinya yang kecil, jepitan kuat dari tungkainya yang halus, serta kontraksi vaginanya yang mulus. Seluruhnya tak dapat ia atur-atur lagi.

Di sisi lain, dari ruang-hampa-bawah-sadarnya, dalam ketidakberdayaannya, samar ia mendengar lenguhan keras Riki bagai kerbau yang mengamuk ganas. Maklum bahwa pria pujaannya sedang bergumul dengan klimaksnya, Dara mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya, spontan melepas penis Riki dari vaginanya dan melontarkan diri sambil terhuyung ke belakang. Cepat-cepat ia raih batang berurat itu, dilumatnya penuh gairah dengan bibir dan lidahnya. Betul saja, tak sampai sejurus kemudian, cairan hangat membuncah di dalam mulutnya. Ia tak pernah mengecap rasa ini sebelumnya. Campuran antara asin, manis, amis dan anyir. Jika dalam kehidupan sehari-hari ia disuguhkan minuman dengan aroma serupa ini, sudah dilemparnya ke wastafel tanpa perlu dicicipi lagi. Namun, ini adalah cairan cinta Riki padanya. Ia pula yang menjadi sebab-musabab lendir ini dapat keluar dari dalam tubuh pejantannya itu. Maka dengan penuh kasih, ia menunggu sampai Riki selesai dari klimaksnya sembari terus melumat dan menelan apapun yang keluar dari penis favoritnya itu. Ya, favorit, sejak satu jam yang lalu. Mungkin untuk selamanya.

Kedua orang muda itu bergelimpangan di atas kasur. Nafas mereka masih tersengal. Keempat bola mata itu masih nanar, namun tak henti bertatapan. Jemari mereka masih bergenggaman. Dara lantas memeluk pria itu sambil berurai air mata. Perjumpaan mereka begitu cepatnya, namun perpisahan tinggal menunggu saatnya. Riki hanya membelai rambut Dara yang sudah kusut-awut. Beberapa lama mereka diam tanpa sepatahpun terucap. Seketika Dara teringat sahabatnya yang sendirian di kamar. Bermain cinta membuatnya lupa segala. Sontak ia bergegas bangun, mengenakan pakaian kembali, mengecup bibir Riki yang masih termenung dan pergi dengan janji bertemu kembali esok hari.

Ketika memasuki kamar, ia mendapati Tiara dalam posisi berbaring meringkuk dengan lutut ditekuk membelakangi pintu. Dara perlahan naik ke atas kasur, khawatir tekanan seminim apapun akan membangunkan Tiara. Setelah membenamkan punggungnya di atas tempat tidur, tersadarlah ia akan isak halus Tiara yang menggema dalam hening. Dara mendekat, berbisik dan bertanya, namun tak digubris. Dalam heran, ia lantas memeluk Tiara dari belakang, mengecup rambutnya dan membelai tangannya. Tak lama setelah Tiara membalas memeluk tangan Dara yang melingkar di perutnya, Dara pun tertidur pulas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar