Kami berdua memasuki lapangan pada menit ke 40. Tak tanggung-tanggung Coach Indera melakukan double substitution bahkan sebelum babak pertama berakhir.
“ Kalian berdua hentikan kecepatan mereka!,” begitu intruksinya. Kecepatan pemain-pemain Myanmar memang membuat lini pertahanan kami morat-marit.
Seperti biasa Alfred memainkan posisi gelandang bertahan. Posisi favoritnya. Sedangkan aku memainkan posisi Playmaker menggantikan Evan Dimas. Seniorku itu terlihat sudah kepayahan mengimbangi kecapatan gelandang-gelandang Myanmar.
Keputusan Coach Indera tepat melakukan pergantian ini. Dengan kemampuan tinggi yang belum pernah dilihat orang, kami membuat permainan Myanmar secara perlahan hancur lebur. Serangan mereka tidak lagi terpola. Pelatih Alex Neill pernah berucap, “lini tengah memenangkan pertandingan.” Aku sangat sependapat dengannya.
“ GUSSRRRAAAAKKKK.”
Alfred melakukan tekel bersih menjatuhkan pemain Myanmar di menit 65. Ia berhassil merebut bola tanpa membuat pelanggaran. “ KAKAK LARI!,” dia menahan bola sebentar, langsung melakukan direct passing ke arahku.
“ SYUUUUUUUT,” bola meluncur deras.
Sebelum bola tiba di kakiku, aku telah melihat keseluruhan lapangan pertandingan. Sebuah naluri dasar seorang gelandang serang. Sebagian besar pemain Myanmar tengah berada di daerah pertahanan Indonesia, mereka hanya menyisakan dua orang menghadapi dua striker timnas di depan. Ada Kak Boaz dan Bang Ferdinand Sinaga di depan. Melalui perhitungan matang, aku mengukur sudut kosong di lapangan yang dapat dikejar oleh kecepatan tinggi Kak Boaz .
Bang Ferdinand sebaliknya, sudah begitu terlatih melakukan gerakan tanpa bola menarik pertahanan lawan mengikutinya. Sekarang tinggal bagaimana seni menempatkan bola ke sisi yang ditinggalkan pertahanan lawan akibat gerakan lari Bang Ferdinand, hingga Kak Boaz Salossa tinggal menyelesaikannya.
“ DUUUUGGG.”
Tanpa mengontrol, bola kutendang menggunakan tumit belakang. Pertahanan Myanmar terkejut dengan teknik tendangan tumit, mereka terlambat bereaksi dua detik dari penyerang terbaik Indonesia. Dua detik terlambat mengejar seorang Boaz Salossa berarti bencana bagi pertahanan tim mana saja.
Striker idolaku itu berlari vertical meninggalkan bek yang mengawalnya. Mengimbangi kecepatan luncuran bola, Kak Boaz berlari sprint cepat mendahului bola kemudian menjejak kaki kanannya di tanah lalu menendang bola melintir dengan kaki kirinya.
“ DUUGG….WUUUUUUSSSSS,” bola melintir begitu indah sejak area kotak penalti.
“ GOOOLLLLLLLL.”
Seluruh pemain Timnas Indonesia berteriak kegirangan. Begitu kontras dengan reaksi puluhan ribu penonton di Stadion Aung San yang langsung terdiam membisu. Tuan rumah kini menyadari siapa sebenarnya Timnas Indonesia. Kumpulan bakat-bakat terbaik sepak bola Nasional. Kehadiran kami berdua merubah secara total permainan Timnas. Kami bermain lebih bersemangat dan memenangkan pertandingan 2-1.
Sebuah kemenangan yang melambungkan rasa percaya diri seluruh anggota tim. Pertandingan selanjutnya terasa begitu mudah. Kami menghancurkan Laos serta Timor Leste 5-0 , lalu membalaskan dendam kekalahan tahun lalu dari Malaysia 3-0.
Tiga gol sekarang menjadi milikku sepanjang turnamen dan Alfred berhasil menceploskan dua gol. Kerja sama diantara kami berdua selalu menjadi perbincangan headline media baik Nasional maupun Internasional. Coach Alex Neill bahkan mengucapkan selamat atas kemajuan kami dan menjanjikan akan memainkan kami dalam laga Premier League saat turnamen AFF berakhir.
Sebuah kabar gembira bagi karir sepak bola kami, juga kabar baik bagi sepak bola Nasional. Saat ini sebagian besar dari peristiwa 2010 kembali terulang. Seluruh media Nasional mulai memperlakukan para pesepak bola sebagai anak emas. Bukan lagi anak pinggiran seperti sebelumnya. Liputan tentang perjalanan Tim Nasional menjadi headline news hampir tiap hari. Sekarang banyak sekali wanita cantik yang tiba-tiba mendekati kami baik dari kalangan selebritis maupun fans penggemar biasa. Alfred saja bahkan sudah gembar gembor berhasil mendapat pacar seorang selebriti. Katanya dia berhasil memacari Luna Maya. Entah benar atau tidak yang dikatakannya itu.
Bagiku sendiri, yang ada di kepala hanya Conchita Caroline. Mungkin ini namanya cinta pada pandangan pertama. Sebenarnya bukan pertama kali aku melihatnya karena telah berulang kali melihatnya di televisi. Tapi bertemu secara langsung lalu berbicara dengannya baru kualami kemarin. Meski baru kemarin bertemu tapi sudah terasa begitu lama. Aku tak sanggup melupakan kecantikan wajah serta senyumnya yang begitu indah. Pertemuan kami di Studio TV yang hanya berlangsung beberapa jam telah membuatku memimpikannya setiap malam.
“ I will became a great football player in the world with your smile Conchita.”
Demikian janjiku kepadanya, dan aku berjanji pada diriku sendiri akan mendatangi studio Kompas Tv saat kami bisa melewati semi final khusus hanya ingin bertemu dengan Conchita Caroline. Akan kubawakan padanya bola pertandingan semi final untuk membuktikan kepadanya bahwa kami bisa masuk final. Dan nanti saat pertandingan Final akan kuundang dia agar menyaksikan perjuangan kami secara langsung di tribun utama.
BAB 5
22.30 - STUDIO KOMPAS TV- 11 DESEMBER 2016
Timnas Indonesia berhasil masuk Final. Mereka berhasil mengalahkan Singapura dengan agregat 4-2.
Budi dan Alfred benar-benar berhasil menjadi pemain hebat Indonesia. Hingga sekarang banyak pemirsa yang ingin menyaksikan kembali tayangan ulang sportainment yang menayangkan wawancara mereka berdua. Aku sendiri bahkan sudah berkali-kali menonton ulang tayangan tersebut. Bagaimana pun pertemuan pertamaku dengan mereka berdua telah meninggalkan kesan di hatiku. Apalagi dengan Budi. Si ganteng dengan wibawa begitu besar.
Pertanyaannya sekarang ialah apakah kami bisa mengundang mereka berdua kembali ke studio Kompas TV??. Jodi benar saat mengatakan, kalau mereka berdua mendapat kesempatan bermain, Kompas TV tak akan lagi sanggup mengundang mereka. Padahal aku sangat merindukan candaan mereka apalagi gombalan-gombalan mereka yang bisa membuatku tersipu-sipu.
Memang popularitas Timnas sekarang meroket luar biasa. Semua stasiun televisi swasta nasional berebut mewawancara atau membuat profil tentang mereka. Bukan hanya itu, para selebriti papan atas juga mulai mendekati para pemain Timnas berusaha menarik perhatian.
Sekaranglah pembuktian apa yang kamu katakan kemarin Budi. Kemarin kamu mengatakan akan menjadi pemain terbaik di dunia dengan senyumanku. Masihkah kamu akan mengatakan kalimat yang sama saat para artis cantik mulai berebut mengejarmu??. Saat kita bertemu lagi kelak apakah kamu masih mengingat perkataanmu sendiri?? saat itu tiba nanti mungkin dirimu sudah menjadi pemain terkenal dan tak akan lagi mengingatku.
“ Ayo Cinta kita pulang! jangan melamun saja.”
Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Sesosok pria yang tingginya lebih tinggi dariku berdiri sambil memegang sebuah bingkisan.
Tersenyum sambil mengangguk aku menyambut perkataannya “ Iya Mas…Chita siap-siap dulu.”
Laki-laki ini tunanganku. Aku tak pernah menyangka bertunangan dalam usia semuda ini bisa terasa begitu menyiksa. Naluri masa mudaku ingin berteriak menentang perjodohan yang terlalu cepat. Aku ingin bebas. Mencari laki-laki yang sesuai dengan hati nurani.
Memang laki-laki di hadapanku mempunyai semuanya ; pamor, harta, status, tahta, pokoknya segala sesuatu yang bisa membuatku hidup bagai seorang tuan putri. Tapi apakah dia bisa memberiku kekuatan cinta yang dapat meruntuhkan segala tantangan kehidupan?.
“ Ayo semuanya Chita pulang dulu ya!.”
Semua kru Kompas Tv kusapa ramah saat menuruni tangga menuju lobi. Tunanganku berdiri disampingku asyik menggenggam tanganku. Barangkali dia merasakan rasa bangga bisa memegang tanganku, entahlah aku tak mengerti dunia laki-laki.
“ Chita, Mas barusan dari Paris beliin ini buat kamu,” demikian katanya saat kami tiba di depan pintu lobi.
“ Wah..apa nih Mas??,” kataku terkejut.
“ Kalung berlian, spesial buat kamu sayang.”
Tunanganku mengalungkan kalung berlian di leher. Suasana pelataran lobi sekarang relatif sepi, tapi masih banyak orang berseliweran sibuk dengan kerjaannya masing-masing.
“ Cuuuuupppp,” tiba-tiba ia berusaha mencium bibirku.
“ MMMMmmas……..apaa….apaaaaaan sihhh……..,” aku berusaha melawan. Tak senang dengan tindakannya yang berusaha menciumku di depan orang banyak. Emangnya dia tidak tau konsekuensi tindakan serampangan seperti ini bagi karierku sebagai public figure??.
“ Ayolah…..akukan tunanganmu…udah jauh-jauh belikan ini buat……,” kini ia berusaha menarik pinggangku.
“ EHEEEEEEEEEEMMM,” sebuah suara batuk keras menghentikannya.
“ YA?? ADA PERLU APA??,” tunanganku terlihat tidak senang dengan laki-laki tinggi yang berdiri tepat di dekat kami.
“ Budi???? ngapain kamu disini???.”
Begitu terkejut aku melihat siapa yang datang. Rasanya sudah begitu rindu aku ingin bertemu dengannya, rindu dengan candaannya juga rindu dengan wibawanya yang besar di dalam dan luar lapangan. Kini dia datang berdiri tegak sambil memegang sebuah bola. Wibawanya sama sekali tak berkurang.
“ Kamu kenal dia Chita???,” tunanganku menarik tanganku agar jangan mendekati Budi.
“ Iya Mas diakan……”
“ Conchita gak mau kamu cium!,” Budi berucap sambil menudingkan tangannya ke arah tunanganku.
“ APA?? EMANG APA URUSAN LOE??? DIA KAN TUNANGAN GUE!”
“ GREEEEEEBB”
Tanpa basa-basi, Budi menarik kerah baju tunanganku lalu menariknya sampai jatuh.
“ GUSSSSSSSSSRAAAAKKKKK”
“ Belajar dulu kamu cara memperlakukan wanita!,” tudingnya saat tunanganku terjatuh di pelataran lobi. “ Dia gak mau kamu cium! dan kamu….GAK PANTES CIUM DIA….”
Keributan tak terelakkan. Tunanganku segera bangkit dari jatuhnya serta merta berusaha menarik baju laki-laki pemain bola di hadapannya.
“ HEII……HEI APA-APAAN INI…..”
Mereka sempat saling dorong sebelum petugas security datang berusaha memisahkan mereka.
“ Conchita bawa tunanganmu ke dalam!,” perintah satpam berusaha menghentikan aksi saling dorong mereka.
Satpam kemudian berusaha mengerubungi Budi. Tampak berusaha menangkapnya.
“ PAK!,” mulutku berucap refleks “ JANGAN GANGGU DIA! DIA PEMAIN TIM NASIONAL INDONESIA”
Mendengar teriakanku, satpam berhenti lantas melihat baik-baik sosok laki-laki tinggi yang sebelumnya berusaha mereka ringkus. Melihat benar ia merupakan pemain Timnas yang kini tengah menjadi buah bibir, satpam mulai memperlakukannya dengan baik.
Budi menatap ke arahku. Tatapannya lembut berbeda dengan keganasan yang ditampilkannya barusan.
“ With your smile Conchita…..,” ujarnya lembut sambil memperlihatkan bola yang belum sempat diserahkannya kepadaku.
BAB 6
14 DESEMBER 2016 - 20.30- STUDIO KOMPAS TV ACARA NONTON BARENG LEG PERTAMA FINAL PIALA AFF THAILAND VS INDONESIA YANG DIMAINKAN DI STADION RAJA MANGGALA THAILAND.
“ HANCUR KITA CHIT, HANCUR PARAHH……………”
“ HUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU.”
Jodi beserta seluruh peserta nonton bareng berteriak penuh kekecewaan. Thailand sudah menjebol gawang I Ketut Wiryawan tiga kali. Pekik cemoohan terdengar jelas.
“ ITU SI BUDI MAIN MACAM ORANG BARU BELAJAR MAIN BOLA SAJA!.”
Hujatan penonton tertuju secara telak kepada Budi. Kasian dia. Sangat tidak sependapat diriku dengan hujatan para penonton. Sepak bola merupakan permainan tim. Bukan permainan individu. Sangat tidak adil menimpakan kekalahan pada seorang pemain.
“ HAJAR AJA FERDINAND BODOH KALI DIA.”
Tanganku refleks menutup mulut saat melihat drama keributan antar pemain kita sendiri terjadi di lapangan. Ferdinand Sinaga penyerang Timnas, mendorong rekannya sendiri sambil memaki-maki. Lagi-lagi si Budi korbannya. Para peserta nonton bareng terlihat amat puas melihatnya diperlakukan demikian.
“ PERMAINAN TERBURUK TIMNAS SEPANJANG TURNAMEN KENAPA HARUS SELALU DATANG DI PARTAI PUNCAK BRENGSEK!.”
Aku memandang sedih ke layar lebar. Betul kata mereka permainan Timnas benar-benar buruk. Salah umpan, kalah cepat, hingga emosi antar pemain mewarnai kehancuran Timnas.
“ Kenapa bisa begini sih Chita???,” tanya Jodi. “Si Budi terutama, kenapa dia??? apa betul gosip beredar, kalo dia ribut sama tunanganmu di lobby??.”
Aku hanya bisa menggeleng cuek “ No comment,” jawabku.
“ Wah bener dugaan gue masalah cinta anak muda nih biangnya…HAAHHH PARAH……,” Jodi beranjak menendang botol air mineral. Kami semua kesal. Kenapa pada tiap pertandingan final, kesialan selalu menimpa Timnas Indonesia.
BAB 7
17.00 20 DESEMBER 2016 STADION UTAMA GELORA BUNG KARNO-SATU HARI JELANG PERTANDINGAN LEG KEDUA INDONESIA VS THAILAND
“ Kaka! tengok dulu siapa yang datang itu!, ”Alfred datang tak diundang seperti biasa.
Semua lamunanku buyar. Padahal aku baru saja menguatkan tekad minta jangan diturunkan saat pertandingan final ke dua berlangsung. Tak ada lagi gunanya kehadiranku disini.
“ KAU MAIN MACAM TAI BRENGSEK,” teriakan Bang Ferdinand padaku di lapangan Raja Manggala masih terdengar jelas. Memang benar perkataanya, permainanku bagai kotoran. Begitu jelek sampai-sampai tim sendiri merasa jijik karenanya.
“ Ah malas Alfred!.”
“ Kaka kau lihat dolo,” Alfred memitingku memaksaku berbalik.
“ Alfred……kamu……..,” aku berontak. Sekarang bukan saat bercanda. Moodku sedang hancur.
“ Lihatlah dulu Kaka,” tenaga Alfred lebih besar. Ia berhasil memutar posisi tubuhku. “ ada cewe manis itu mau ketemu.”
Alfred benar. Ternyata Conchita sedang berdiri disana. Mengenakan baju Tim Nasional.
Seperti biasa ia sangat cantik, namun mengenakan kostum Tim Nasional membuatnya makin cantik.
“ Kaka, Alfred tidak bohong kan??” kata Alfred “ itu si manis yang buat permainan Kaka kemarin hancur sekali.”
Kusikut Alfred keras. “ Bukan karena Kak Chita Alfred! tapi salahku sendiri,” jawabku penuh perasaan galau.
“ Kaka lari dulu cepat sana, Coach Indera udah mau tiup peluit itu!”
Kesadaranku kembali. Betul kata Alfred, kami sedang latihan. Tak mungkin ada banyak waktu buatku berbincang dengan Conchita. Padahal banyak sekali kata yang ingin kurangkai dihadapannya.
Terburu-buru meninggalkan Alfred, aku berlari begitu kencang.
“ HA HA KAKA KAMU LARI MACAM DIKEJAR MACAN SAJA…,” Alfred berteriak “ COBA KAKA LARI BEGITUKAH KEMARIN, KITA GAK BAKAL KALAH!.”
Alfred benar. Kemana kecepatan kakiku saat melawan Thiland????. Menghilang ditelan kegundahan rasa patah hati. Ya, melihat Conchita telah memiliki tunangan membuat hatiku hancur. Tak ada lagi keinginan menang. Padahal profesiku pemain bola professional. Harusnya tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal non teknis. Tapi bila menyangkut masalah hati?? pemain bola juga seorang manusia.
“ UHHHUUUUYYYYYYY ADA YANG SEMANGAT KAYAKNYA NIH….DIKUNJUNGI PACARNYA,” para pemain Timnas senior ikut-ikutan berteriak.
“ COBA KAU KEMARIN SEMANGAT BEGINI BUDI! GAK BAKAL KUMAKI-MAKI KAU…….,” Bang Ferdinand Sinaga ikut berteriak. Inilah enaknya menjadi pemain bola. Kami hidup dikelilingi orang-orang sportif. Ribut atau beda pendapat hanya terjadi di lapangan. Tidak boleh berkepanjangan apalagi menjadi konflik pribadi.
“ HE HE JANGAN IRI GUYS!,” Conchita balas berteriak membelaku. Ia membalas ledekan para senior “ DON’T WORRY I LOVE TIMNAS INDONESIA!.”
“ HIDUP CONCHITA! CONCHITA! CONCHITA!,” tepuk tangan meriah berganti yel-yel menyebut namanya, secara bersamaan dilakukan seluruh pemain Timnas.
Conchita mengangkat kedua tangannya merespon yel-yel yang diberikan tanpa dikomando itu.“ THANK YOU GUYS!,” teriaknya.
“ Haiii,” ia tersenyum begitu manis melihatku datang.
“ Hai Kak Chita…,” melihatnya begitu cantik membuatku salah tingkah. Apalagi senior-seniorku terus saja mengganggu.
“ Jalan yuk! kapan lagi aku bisa ngerasaiin jalan-jalan di pinggir lapangan Stadion Utama Gelora Bung Karno,” ia menyentuh tanganku. Perasaanku makin bahagia bisa bersentuhan dengan kulitnya yang begitu mulus. Kehadirannya menghilangkan seluruh kegundahan, termasuk kebingungan akan kehadiran tiba-tibanya di tengah latihan tertutup Timnas yang seharusnya tidak boleh dihadiri siapa pun. Jangan-jangan Coach Indera sendiri dalang di balik semua ini. Ia menggunakan Kak Chita buat mengembalikan permainanku.
Kami berjalan berdua di pinggir lapangan ditemani hijaunya rumput Stadion Bung Karno. Romantis sekali. Dua puluh tahun waktu hidupku lebih dari setengahnya dihabiskan di lapangan bola. Sangat senang rasanya berjalan bersama wanita yang kucintai pada tempat dimana cucuran keringat perjuangan selalu tertumpah.
“ Kacau sekali ya kemarin??,” Conchita membuka pembicaraan.
“ Sangat…,” ujarku “ khususnya…”
“ Football isn’t matter of a player but is’t matter of a team,” sebuah pemotongan kalimat yang sangat bijaksana “ don’t worry! we can change it tomorrow, right??,” kerlingan matanya meminta jiwaku bangkit.
“ We will Kak…,” untuk pertama kali sejak melihat Conchita bersama tunangannya, api semangat dalam hatiku kembali berkobar.
“ Kita pasti menang Budi! semangat donk! lihat nih! aku sudah mengenakan kostum Tim Nasional. Siap memberi dukungan buat kalian.”
Mendengar ucapannya membuatku tersentak menyadari janji membawanya ke stadion saat pertandingan final “ Datanglah besok Kak! Berikanlah dukungan langsung ke stadion! dukunglah kami!.”
“ Di Stadion?? aku hanya dapet tugas liputan di luar Stadion Budi, tidak dapat akses ke dalam.”
“ Please Kak!, dukunglah kami! don’t worry aku punya lima tiket di Tribun Utama, sudah kupesan sejak hari pertama.”
“ Hari pertama turnamen???,” Conchita terkejut “ Berarti kamu optimis banget ya kita bisa masuk Final?.”
“ I must optimist so ia can see your smile Conchita,” kataku dengan suara bergetar, berusaha kumengendalikan diri “ datanglah… please! ajak aja tunanganmu ..gak apa.”
“ PRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTTT,” Coach Indera telah meniupkan peluit. Kami harus kembali berlatih.
“ Peluit sudah berbunyi kami harus berlatih kembali,” aku menarik nafas panjang “Gimana Kak???.”
“ Ok Budi, aku akan datang. Tapi…”
“ Tapi???.”
“ Mau gak kamu ikut kami nanti malam liputan khusus di kawasan Stadion GBK. Gak lama kok paling hanya setengah jam..paling lama juga….”
“ I will come Kak Chita,” jawabku dengan mata berlinang sangat bahagia mendengarnya bersedia datang.
“ Thanks ya Budi!,” ujarnya tersenyum.
“ Aku yang terima kasih banyak Kak Chita. You don’t know what it’s mean to my confidence. Akan kuantar tiketnya buat Kaka nanti malam!.”
BAB 8
20 DESEMBER 2016- 21.00- KAWASAN GELORA BUNG KARNO DAN HOTEL CENTURY
“ Jadi Budi optimis kita akan memenangkan pertandingan Final???.”
Berkat hubungan dekat kami berdua, aku berhasil meminta Budi menjadi nara sumber dalam liputan khusus Kompas TV pertandingan Final piala AFF. Sehabis latihan, kuajak dia menyapa ribuan supporter Timnas yang telah mulai berada di kawasan Stadion. Naluri presenterku mengatakan, mengajak Budi ke tengah supporter akan mengembalikan kepercayaan diri sekaligus memulihkan perasaan supporter kepadanya. Untunglah Jodi memiliki koneksi ke jajaran pelatih hingga Budi dapat kuculik sebentar.
“ Saya optimis berkat dukungan supporter yang begitu besar kami pasti menang! maafkanlah saya para supporter atas permainan begitu buruk kemarin. Tapi besok, Indonesia akan melihat Budi yang berbeda dan Budi pada pertandingan Final esok akan membawa INDONESIA MENJADI JUARA! KUYAKIN KITA PASTI MENANG!.”
Suporter berteriak begitu bersemangaat saat mendengar jawabannya. “ BUDI…BUDI…BUDIIIII.”
Untunglah supporter Timnas cepat memaafkannya. Tak terdengar lagi hujatan seperti saat nonton bareng. Para penonton malah begitu mengelu-elukannya tak lelah melantunkan namanya dalam yel-yel. Persis perlakuan pemain Timnas padaku di lapangan.
Budi juga sangat ramah pada penonton. Ia melayani setiap pertanyaan, permintaan tanda tangan hingga ajakan foto bareng. Berjalan bersamanya di kawasan GBK membuatku merasa berjalan bersama seorang selebritis. Seandainya saja, Jodi tidak membawa teman-teman security dari Kompas TV pastilah kami tak akan bisa kembali ke hotel. Suporter Timnas rupanya menggantungkan harapan begitu tinggi di pundak Budi dan Alfred. Bagi mereka, melihat pemain Timnas mampu bermain di tanah Inggris merupakaan kebanggaan besar.
Permainan Budi sepanjang Turnamen AFF juga sangatlah bagus. Tiga gol, lima assist, total dihasilkannya untuk membantu Timnas hingga tiba di Final kedua. Inilah sebabnya para penonton terus mengerumuni kami hingga tiba di depan lobby hotel. Belum pernah kurasakan sebelumnya bisa berjalan bersama seorang pemain bola yang memiliki karisma sedemikian besar di mata para penonton.
“ Ini kak, lima tiket…special for you,” Budi menyerahkan padaku tiket tribun utama saat mengantarku ke depan kamar. Kompas TV memberiku fasilitas kamar di Hotel Century untuk memudahkan membuat liputan kondisi di sekitaran GBK menjelang partai final dimulai. Ia sangat gentleman mengantarku hingga di depan pintu.
“ Masuklah dulu Budi, liat nih pemberitaan tentang kalian ada di semua televisi,” aku mengajaknya masuk ke kamar. Berdua kami duduk di tepi ranjang melihat siaran tv yang menyiarkan kesiapan Timnas menghadapi partai final.
“ Thank you for tonight,” kataku sambil menggenggam tangan playmaker kebanggan Tim Nasional. Tanpa sadar kusandarkan kepalaku di bahunya. Rasa terima kasih akan kebaikan hatinya membuatku merasa begitu nyaman.
“ Aku yang terima kasih Kak…hampir saja seluruh harapanku hilang saat melihatmu bersama tunanganmu di Studio Kompas Tv tempo hari.”
“ Harapan??.”
“ Iya,” Budi mempererat genggaman di tanganku “ harapanku-kan ada pada senyumanmu.”
“ Melihatku bersama tunanganku membuatmu merasa akan kehilangan itu??,” aku kembali menyandarkan kepala. Rasa nyaman semakin menyelimuti.
“ Ya….,” ujarnya malu sambil menundukkkan wajah. Sisi manusiawinya akhirnya keluar. Bukan lagi Budi penuh wibawa atau pun percaya diri. Rupanya ia bisa merasa kehilangan harapan akan seorang tempatnya menggantungkan asa.
“ Nanti,” kugenggam tangannnya berusaha menghilangkan rasa gundah “ kalo kamu bisa main di Premier Legue…”
“ Amin Kak,” Budi memotong.
“ Lalu Norwich City melawan Manchester United, kamu masih yakin masih bisa menang?? seperti kemarin kamu kemarin yakin Indonesia akan menang di AFF??”
Pertanyaanku membuatnya terdiam sejenak.
“ Kami akan menang Kak! kujamin,” senyumnya kembali mengembang. Diulanginya lagi jawaban penuh keyakinan yang pernah diutarakannya tempo hari.
“ Why???,” kepalaku tanpa kusadari bergerak semakin dekat ke bibir Budi.
“ With your smile,” jawaban percaya diri membuatnya makin terlihat ganteng.
“ They have Rooney, De Gea, Mata, Depay and another top player in the world…,” berusaha kugoyahkan jawabannya.
“ But I have you…and I will become the great football player in the world because of you Conchita.”
Kami saling bertatapan dalam posisi begitu dekat.
“ Cuuppp”
Dan terjadilah.
Semuanya berlangsung begitu cepat.
Mengalahkan lintasan pikiran, nafsu bangkit berbentuk gairah .
Tak sanggup kami berdua, masih sama-sama muda, membendung luapan hasrat.
Barangkali semua terjadi karena aku terbawa suasana.
Bisa juga Karena Budi terobati luka hatinya yang tergores.
Saat harapan melihat senyum kekasihnya hendak sirna.
Lalu kembali lagi memberinya harapan manis.
Rasa manis yang sama sekarang kurasakan di bibir saat datang cumbuannya.
Kala kedua bibir kami saling berpadu, berbagi rasa kegelisahan.
Kami saling menghisap bibir masing-masing, mencoba melenyapkan rasa duka.
Saling berbagi, saling memberi, saling menerima berbagai persoalan kehidupan.
Kehidupan senantiasa meninggalkan luka di seluruh tubuh.
Budi menggunakan tangannya menggenggam tanganku erat.
“ Serahkan padaku segala permasalahmu sayang”, bisiknya lirih.
Kulit kami bersentuhan mencoba memulihkan kembali perasaan indah yang terkubur.
Ia memelukku semakin erat, tanpa mencoba melepas ciuman atau pun genggaman tangannya.
Tubuh kami merapat dalam kehangatan yang terus terbangun dalam pelukan cinta.
Yang ada sekarang hanyalah sebuah rasa.
Akan cinta dua anak muda berlainan jenis, namun memiliki satu cita.
Kini ia membaringkanku di ranjang
Menatapku lama tanpa berusaha menyentuh, kami hanya saling memandang.
“Betapa cantik, betapa indah serta baik hatimu sayang.”
Begitu katanya terus memandang membawa sanubariku terbang.
Kami wanita sangat ingin disanjung.
Dikagumi kecantikan fisik yang terlihat dan hati yang tersembunyi.
Mendengar pujian dilontarkan pria setampan dirinya membuatku merinding.
Terdengar indah pujiannya di telinga, terasa begitu nyaman di hati.
Terus menyanjung ia berusaha melolosi seluruh pakaian yang menempel di badan.
Sempat perlawanan datang dalam diriku.
Kutolak tangannya dengan rasa malu tak percaya diri dengan bentuk tubuh penuh kelemahan.
“ You’re perfect Conchita!,” bisiknya membesarkan hatiku.
Wanita menginginkan kesempurnaan.
Secantik apa pun, seindah apa pun tubuh kami, wanita selalu merasa kurang.
Budi tidak mengharapkanku sempuna. Ia menerima kelebihanku serta mensyukuri kelemahan.
Apa pun adanya diri ini, ia menerima dengan perasaan senang.
Lembut, ia lolosi baju bagian atas serta rok pendek di bawah.
Pakaian dalamku juga dicopotnya perlahan sambil menikmati setiap detik yang terjadi.
Tatapan laki-laki ini selalu bisa membawa hatiku luluh.
Hanya ada sorot kekaguman darinya melihat setiap kulit tubuh yang jauh dari sempurna ini.
Ia pun menyusul menelanjangi diri lantas berdiri menghadapku bagai seorang pejantan.
Otot tubuhnya kekar, proporsional menggoda birahi dalam diriku.
Wajahnya ganteng, aroma tubuhnya wangi, tanpa menyentuh memulai rangsangan.
Sebentar lagi aku akan memberinya ijin, menjalankan tugasnya memberikan kenikmatan.
“Cuuuup,” ciumannya datang sambil dirinya menindihku.
Kami telah sama-sama telanjang bulat merasakan deru angin sejuk disekitar.
Bukan hanya angin, ketelanjangan kami mengantar seluruh elemen syahwat datang menyerbu.
“ Mmmmmm,” desahanku perlahan keluar, Budi mulai meletakkan tangannya melingkar.
Ujung jarinya disentuhkan ke seluruh tubuhku mencoba mencari rasa kelembutan.
Indera penciumannya tak henti menghirup aroma wangi kulit tubuhku.
Matanya terus memuja wajahku yang katanya bagai dewi kecantikan.
Indera pengecap Budi kini asyik menjelajah seluruh titik kenikmatan.
Mulai dari mulut, indera pengecapnya menuju leher menciumi mesra seluruh pori-pori.
Bergeser sedikit, ia menyusuri leher hingga tengkuk mencoba menghadirkan sensasi.
“ Ssssssss,” aku mendesah saat tanganku diangkat lalu lidahnya masuk ke ketiakku sebelah kiri.
Lidahnya menari-nari di ketiakku menghadirkan rasa geli.
“ Aaaaahh,” Budi tak mau berhenti, puas di ketiak kiri, ia bergeser ke kanan, rasa geli menjadi.
Geli menjadi-jadi berubah menjadi perasaan nikmat tak terkira.
Lidahnya terasa begitu lembut menjilati ketiak lantas bergeser ke payudara.
“ Uuuuhhhh,” dijilatinya sekeliling puting kecoklatan, lalu dihisapnya.
Tak tahan kujambak rambut sebagai penyaluran rasa.
Serangannya tak berhenti, selain lidah, giginya juga kini bekerja.
“ Srreeegg,” digigitnya kini puting payudara. Rasanya seluruh tubuhku melayang ke udara.
Diiringi lonjakan dan getaran tubuh aku merasakan klimaks hampir tiba.
Tinggal menunggu sebentar lagi.
Indera pengecap Budi terus turun mencoba merasakan rasa berbeda.
Turun lagi ia mencoba membuka pertahananku terakhir yang dihalangi kedua kaki.
Tangannya menyibak kedua kaki.
Aku memasrahkan diri.
Selangkangan tanpa bulu segera terhampar.
Melihat keindahan bibir mungil berwarna kemerahan ia makin berani.
Pada bibir mungil lidahnya mulai menari-nari.
“ AAAAAAAAAA………………..”
Mataku nanar kehilangan fokus.
Pikiran hilang dalam ruang hampa misterius.
Tanganku berusaha mencengkram bantal, mengendalikan cairan yang mengalir deras.
Perlahan ekstase, keadaan ke luar dari dalam diri, mulai muncul membuka sekat pembatas.
Wajahku naik melihat aktifitasnya di bibir mungil, kenapa bisa begitu nikmat??.
Kulihat ia tengah beraksi, matanya begitu menikmatinya.
“ lepaskan sayang,” terdengar suaranya berkata memintaku tak lagi menahan desakan syahwat.
Kukembali rebah, kini tertengadah dengan mulut terbuka.
“ AAAAAA………..”
Suaraku menghilang saat akhirnya ekstase tiba.
Masih mencengkram bantal tubuhku terlunjak-lunjak tak terkendali.
Rasanya dari bawah ledakan begitu keras terasa.
Kemudian menyebar bagai aliran darah berkecapatan tinggi mengalir ke seluruh pori-pori.
Seluruh tubuh meningkat sensitifitasnya.
Payudara, bibir, tengkuk, leher, semua mengalami klimaks sempurna.
Telah tiba ekstase puncak kenikmatan membuka batas seluruh indera.
Kesadaranku hilang musnah berganti mati rasa.
“ Huuuugggghh huuuhhhhh huuuhhhhhh”
Hanya tersisa rintihan tak jelas.
Diiringi lonjakan-lonjakan tubuh bagai tersengat aliran listrik.
Dalam kondisi terangsang hebat sembari terus mengeluarkan cairan.
Budi bangkit, mengarahkan kejantanannya masuk.
“ SLEEEEEEEEEPPPPPPPP”
“ AAAAAAAAAAAAA………..”
Persatuan diantara kami terjadilah.
Bibir mungilku hangat, basah dan menyerah.
Kejantanannya sempurna, panjang, tegak, dan kokoh.
Senjata memasuki sarungnya begitu indah.
“ Sleeeeep…sleeeeeep”
Lembut irama penetrasi terdengar.
Penetrasi masuk membawa rasa kasih menyebar ke seluruh tubuh bagian atas.
Penetrasi keluar mengantarkan rasa sayang turun ke tubuh bagian bawah.
Kedua penetrasi membawa rasa kasih sayang bergantian.
Menyelimutiku dalam keagungan cinta.
Semua terjadi memicu ekstase dalam waktu begitu lama.
Akhirnya dengan keagungan cinta pulalah kami mencapai klimaks.
Sebuah persatuan jasmani antara dua insan manusia berlainan jenis.
Bersama kami memasuki dimensi luas tanpa batas.
Persatuan jasmani membuka sekat-sekat pembatas.
Membebaskan diri kami berdua dari kungkungan keterbatasan fisik.
Memasuki sebuah dimensi di luar ruang dan waktu.
Kucengkram punggungnya.
Budi mencium bibirku.
Beragam ekspresi nikmat kami tunjukkan dalam momen ekstase klimaks.
Rasa resah menghilang.
rasa takut menyembunyikan diri.
Datanglah rasa bahagia.
Datanglah rasa senang.
“ Mmmmmmmmm”
Kami berpelukan sambil berciuman.
Merasakan badai klimaks akhirnya berangsur hilang.
Tapi rasa bahagia dan senang terus bertahan.
Untuk sesaat kami hanya tidur terlentang memejamkan mata.
Tak mempercayai pengalaman yang baru saja terjadi.
“ I love you Kak Chita,” bisiknya sambil memeluk.
Aku tak menjawab.
Belum mau menjawabnya.
Sekarang aku hanya ingin memejamkan mata.
menikmati segala rasa nikmat, bahagia, dan senang yang menyelimuti.
Merasakan diselimuti oleh keagungan cinta membuat kami berdua saling terhubung.
Kami saling membawa rasa indah ke dalam pikiran.
Berharap segala kecemasan dan ketakutan yang senantiasa datang bisa menghilang.
Tapi pikiran sedang bersembunyi.
Tak sanggup menghadapi derasnya gelombang kenikmatan.
Kami biarkan pikiran tertidur.
Kami tak ingin membangunkannya.
“ Cuuupppp,” ia kembali menciumku.
Kami kembali berpelukan menyusul pikiran yang tertidur akibat dahsyatnya kekuatan cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar