About Karina Salim
Karina Ekaputri Salim (lahir di Jakarta, 24 Agustus 1991) adalah seorang aktris dan balerina Indonesia. Gadis manis lulusan dari salah satu universitas swasta di Jakarta ini memulai kariernya di dunia hiburan melalui pementasan Onrop! Musikal karya sutradara Joko Anwar pada tahun 2010. Kerjasama keduanya berlanjut dengan film pendek Durable Love yang ditayangkan pada hari Valentine 2012, dimana Karina tampil memukau tanpa skrip. Mempelajari balet klasik sejak umur 5 tahun, Karina berkesempatan tampil pada Dream On in Dance Musical sebagai peran utama bersama Namarina Dance Academy.
Karina lahir di Jakarta pada 24 Agustus 1991 dari pasangan Djohan Iskandar Salim (alm.) (ayah) dan Lies Kurniasih (ibu). Ayahnya merupakan keponakan dari Prof. Dr. Emil Salim yang merupakan ahli ekonomi, cendekiawan, pengajar dan politisi Indonesia. ia juga cucu dari H. Agus Salim, salah seorang pendiri Republik Indonesia dan pernah menjabat sebagai menteri luar negeri Indonesia.
Pada tahun 2013, untuk pertama kalinya Karina terlibat dalam film layar lebar yang berjudul What They Don't Talk About When They Talk About Love dibawah arahan sutradara Mouly Surya. Berperan sebagai Diana, seorang gadis 17 tahun pengidap low vision yang harus menggunakan teropong khusus untuk bisa melihat dari jarak lebih dari 2 cm. Film ini menjadi film Indonesia pertama yang berkompetisi di Sundance Film Festival. Akting Karina mengundang decak kagum dan pujian, media internasional The Hollywood Reporter menyebutnya “Salim is sublime, captivating both in her confusion and courage”. Ia juga bermain dalam film Pintu Harmonika sebuah film omnibus karya Luna Maya, Ilya Sigma dan Sigi Wimala. Setelah bekerja sama untuk film pendek, Karina kembali bekerja sama dengan sutradara Nia Dinata untuk film Kebaya Pengantin bersama Lukman Sardi dan Atiqah Hasiholan dalam rangka International Women's Day yang ditayangkan di Kuala Lumpur pada bulan Maret 2014.
Tahun 2015, Karina meluncurkan single yang berjudul “Dalam Hati Saja” ciptaan Yovie Widianto bersama Sony Music Indonesia. Karina mendapatkankan gelar “The Most Talented Female” for Fun Fearless Female 2012 yang diberikan oleh majalah Cosmopolitan Indonesia. Dan untuk pertama kali nya Karina memenangkan piala Indonesian Movie Awards 2014 untuk kategori “Pendatang Baru Wanita Terbaik”.
About Afgansyah Reza
Afgansyah Reza (lahir di Jakarta, 27 Mei 1989) adalah Penyanyi Indonesia berdarah Minangkabau. Anak kedua dari empat bersaudara pasangan Lola Purnama dan Loyd Yahya ini merilis debut albumnya berjudul Confession No.1 di bulan Januari 2008. Album yang diisi dengan 13 lagu ini kental terasa dipengaruhi pop, soul, R&B, dan jazz dan mengandalkan lagu “Terima Kasih Cinta”.
Afgan dibesarkan di tengah keluarga yang suka menikmati musik. Bahkan Afgan sejak duduk di bangku sekolah menengah sudah sering didaulat untuk menyanyi, meski selalu ditampiknya karena merasa malu. Kariernya diawali ketika ia bersama teman-temannya berkunjung ke WannaB Instant Recording Studio. Di studio ini mereka menyanyi dan merekamnya dalam CD untuk koleksi pribadi. Di luar dugaan, ternyata Afgan terpantau oleh Produser WannaB Music Production yang langsung menawarinya rekaman. Awalnya ia sempat ragu, tapi akhirnya menerima dan langsung masuk dapur rekaman.
Album pertama Afgan ternyata diminati khalayak ramai dan mampu menempati posisi tertinggi di tangga lagu hit radio dan televisi terkemuka Indonesia. Tahun 2009 Afgan mulai menjajal kemampuannya di dunia film. Namun, karena masih ragu dengan kemampuan aktingnya, dia hanya berani bermain sebagai dirinya sendiri (Cameo) dalam film layar lebar berjudul “Bukan Cinta Biasa” yang pemeran utamanya adalah seorang pendatang baru, Olivia Lubis Jensen.
About Giselle
Giselle (dalam bahasa Perancis disebut dengan Giselle, ou les Wilis) adalah sebuah seni balet romantis yang terdiri atas dua act. Koreografinya yang melegenda adalah buah karya dari Jean Coralli dan Jules Perrot. Pertama kali dipentaskan oleh Ballet du Théâtre de l'Académie Royale de Musique di Salle Le Peletier, Paris, Perancis, pada hari Senin, 28 Juni 1841, dengan balerina asal Italia, Carlotta Grissi sebagai Giselle. Setelah itu Giselle menjadi sangat populer dan dipentaskan sekaligus di seluruh Eropa, Russia, dan Amerika Serikat.
Giselle menceritakan kisah seorang gadis petani bernama Giselle, yang meninggal dunia akibat patah hati karena kekasihnya bertunangan dengan sesosok wanita lain. The Wilis, sekelompok wanita yang memiliki kekuatan supranatural, memanggil Giselle dari kuburnya, untuk membunuh sang lelaki. Namun, berkat cintanya yang begitu besar, Giselle akhirnya membebaskan mantan kekasihnya dari genggaman mereka semua.
About Muses
Muses adalah sekelompok dewa-dewi dari mitologi Yunani yang melambangkan seni. Mereka dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan dan inspirasi seni. Awalnya, hanya ada tiga orang Muses, tetapi dalam perkembangan selanjutnya, jumlah Muses bertambah menjadi sembilan.
Muses merupakan anak dari Zeus dan Mnemosyne. Muses lahir setelah Zeus tidur dengan Mnemosyne selama sembilan malam berturut-turut. Mereka adalah dewi musik, lagu, dan tarian. Musik mereka mampu memberi kebahagiaan bagi yang mendengarnya. Tiap Muses memiliki spesialisasi masing-masing. Yakni : Calliope (puisi kepahlawanan), Clio (sejarah), Erato (puisi cinta), Euterpe (sajak), Melpomene (tragedi), Polyhymnia (puisi suci), Terpischore (paduan suara dan tarian), Thalia (komedi), dan Urania (astronomi).
About Palais Garnier
Palais Garnier adalah salah satu bangunan di Paris, Perancis yang berfungsi sebagai gedung pertunjukkan opera. Bangunan ini didesain oleh Baron Haussmann pada tahun 1858, dan dibangun oleh Charles Garnier tahun 1861. Diperkirakan panggung Palais Garnier mampu menampung 450 aktor dan aktris dan auditorumnya mampu menampung 2000 orang.
Bangunan ini merupakan teater ke-13 dari Paris Opera atau Opera de Paris yang pertama dibentuk oleh raja Louis XIV sejak tahun 1669. Tetapi pembangunan Palais Garnier sendiri atas perintah Napoleon III, melalui Baron Haussman yang mengerjakan proyek rekonstruksi Great Parisian. Gedung ini dinamakan Palais Garnier karena yang membangun gedung ini adalah Charles Garnier, seorang arsitek yang memenangkan kompetisi untuk membangun gedung ini dan dikerjakan antara tahun 1860-1875.
Palais Garnier otomatis menggantikan gedung opera sebelumnya, yakni The Salle Le Peletier (terkadang juga sering disebut dengan Salle de la rue Le Peletier, atau Opéra Le Peletier) yang hancur akibat kebakaran hebat pada 29 October 1873. Gedung ini adalah hasil karya François Debret dan sempat menjadi saksi pementasan perdana 13 seni balet hebat yang nama-namanya masih terus diingat hingga saat ini. La fille mal gardée (1828), La Sylphide (1832), La fille du Danube (1836), Le diable amoureux (1840), Giselle (1841), La Péri (1843), Le diable à quatre (1845), Paquita (1846), Le corsaire (1856), Le marché des innocents (1859), Le papillon (1860), La source (1866), dan Coppélia (1870).
About Koto Gadang
Koto Gadang adalah sebuah nagari (setingkat desa) di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Nagari ini terkenal sebagai penghasil kerajinan perak dan melahirkan banyak tokoh-tokoh tingkat nasional bahkan internasional, seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Soetan Sjahrir, Haji Agus Salim, Jenderal Rais Abin, Rohana Kudus, dan banyak tokoh lainnya.
Nagari Koto Gadang terletak di dataran di antara Gunung Singgalang dan Ngarai Sianok dengan ketinggian 920 – 950 meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata berkisar antara 27 oC dan pada malam hari mencapai 16 oC. Nagari Koto Gadang memiliki luas wilayah 640 Ha dengan batas-batas sebagai berikut: sebelah Utara dengan Nagari Sianok VI Suku, sebelah Selatan dengan Nagari Koto Tuo, sebelah Timur dengan Guguak Tabek Sarojo, dan sebelah Barat dengan Nagari Koto Panjang
DISCLAIMER
Cerita ini hanyalah fiktif belaka,
jika ada kesamaan tempat, nama dan juga cerita
adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
“Nahh, selesai. Le Diable Amoureux.”
Seorang gadis cantik tersenyum puas dalam sebuah ruangan megah beraksen Yunani klasik. Hanya ada empat bohlam yang menyala redup di sana. Keempatnya sama-sama berada di sisi kanan, masing-masing bertugas menerangi empat dari total tiga belas frame raksasa yang ditempatkan dalam posisi sejajar.
Gadis itu berdiri tegap tepat di depan frame ke-4. Sesuai apa yang diucapnya barusan, ada tulisan Le Diable Amoureux di bawah frame warna emas yang tercetak jelas dengan warna serupa. Di bawahnya lagi, berderet rapi empat angka yang merujuk tahun pementasan perdana salah satu masterpiece dari Joseph Mazilier itu, 1840.
Sama seperti tiga frame lain, frame ke-4 juga berisikan sebuah karya seni yang luar biasa. Le Diable Amoureux, atau yang biasa disebut dengan Satanella, Cinta dan Neraka. Natalia Petrovna Osipova mampu memenuhi keinginan sang gadis. Semua gerakannya sangat indah, nyaris tanpa cacat. Meski raut wajah wanita kelahiran Moscow, 18 Mei 1986 silam itu malah menunjukkan ekspresi yang berseberangan.
Natalia tidak sendirian di dalam frame ke-4, ada sesosok lain yang bergerak mengiringi setiap pijakan sepatu pointe berbahan satin yang dia kenakan. Siluetnya menggambarkan sesosok jangkung menyeringai jahat. Tak seberapa jelas, hanya nampak membayang hitam. Seakan siap menenggelamkan Natalia dalam gelap, kapan saja.
“Sempurnaa!” Seru sang gadis dengan senyum kian merekah. Kini dia bergerak meninggalkan frame ke-4, menuju frame berikutnya yang masih kosong dan padam, membiarkan Natalia larut dalam keputusasaan.
Sosok gadis berambut hitam legam itu sangat anggun. Tubuhnya yang tak terlalu tinggi hanya berbalut jubah putih tipis. Paha hingga ujung telapak kakinya terbuka, sedangkan bagian sisanya terlihat samar, termasuk sepasang payudara sekal berputing merah muda yang menggemaskan. Tangan kanan gadis itu membawa sebuah Lyre cangkang penyu berpoles keemasan. Rambut panjangnya yang diikat dengan pita hijau turut bergerak kecil mengikuti langkah kakinya.
“Humm.. berikutnyaa... Giselle, yaaa..” Gadis itu mengelus dagu dengan tangan kiri, dua bola matanya yang sayu memicing.
Kini berbagai keraguan mulai mengusiknya. Giselle ada di urutan teratas dari sekian nama yang ia favoritkan. Segala tentang Giselle selalu mampu membuatnya berdecak kagum. Masalahnya, salah seorang terbaik yang dapat melambungkan ekspektasinya akan Giselle telah terabadikan dalam frame Le Diable Amoureux. Gadis itu lantas mencari nama alternatif yang dapat dia pilih untuk menyempurnakan koleksinya.
“Mia Wasikowska? Summer Glau? Zoe Saldana?” Tanyanya sendiri, yang langsung ditepis oleh beberapa kali gelengan kepala. “Engga. Nama besar tanpa kualitas yang sepadan bakal sia-sia.”
“Madison Ziegler?” Seorang pria tiba-tiba menyahut dari belakang.
Gadis itu tertawa, “Kamu bercanda? Dia masih kelewat muda.”
“Tapi dia punya semua kualitas yang kamu mau.” Sahut pria itu optimis. “Maddie bisa jadi koleksi yang luar biasa.”
“Engga, titik.” Sang gadis bersikeras dengan pendiriannya. “Kasih rekomendasi nama yang lain dong. Jangan jadi pedo gini.. hihh...”
Selama beberapa saat mendadak hening. Mereka berdua sama-sama berpikir keras, sebelum akhirnya suara berat si pria memecah sunyi.
“Karina?” Usulnya sambil membetulkan letak kacamata.
= = = = = = = = = =
Paris, 1873..
Seisi kota dilanda rasa cemas yang membuncah. Bara api terus melahap The Salle Le Peletier tanpa ampun. Nyaris setengah hari berlalu, belum ada tanda-tanda akan padamnya api yang leluasa menari membakar gedung opera megah itu.
Warga berkerumun menyaksikan pemandangan mengerikan yang tersaji di bawah langit mendung kota Paris. Beberapa nampak sibuk membantu petugas, sisanya saling berbincang. Mulai dari sekedar bertukar cerita, hingga beradu asumsi penyebab terjadinya kebakaran hebat yang benar-benar menjadi mimpi buruk mereka semua.
Antoine-Nicolas Bailly mengenakan kemeja putih lengan panjang, vest dan jas hitamnya sengaja ditinggal di dalam mobil. Dia berdiri cukup jauh dari kerumunan warga, membawa sebuah buku lusuh dengan cover hitam pekat pada tangan kanannya. Raut wajahnya datar, tak ada emosi menguar meski yang terbakar adalah gedung opera hasil karya François Debret, sesosok yang amat berjasa bagi karirnya.
“Terlahir kembali sebagai seorang arsitek hebat, lalu menghancurkan hasil karya gurunya sendiri?” Cibir seorang wanita yang baru saja berdiri mensejajarinya.
“Ahhh, Carlotta Grisi.. Bonjour...” Sapa Antoine-Nicolas begitu mengetahui siapa yang baru saja datang. “Ça va?”
Carlotta tak menjawab pertanyaan Antoine-Nicolas. Dia masih kesal dengan apa yang telah dilakukan oleh pria berusia sembilan tahun diatasnya itu. “Bukan masalah gedungnya.. Tapi, semua yang ada di sana begitu berarti untuk Jules. Terpischore pasti akan benar-benar marah padamu.”
“Konsekuensi.” Balas Antoine-Nicolas singkat. “Saat dia menciptakan satu karya seni yang luar biasa indah, adalah tugas seorang Melpomene sepertiku untuk melengkapinya dengan sebuah tragedi yang tak terlupakan.”
“Selalu..” Carlotta menghela napas panjang. “Jawaban yang sama, cerita yang terus berulang.”
“Jangan terlalu dipikir, Euterpe.. bukankah garis kita memang seperti itu? Sampai kapanpun tak akan pernah berubah, hanya terus bereinkarnasi untuk cerita yang sama.. hahaha...” Antoine-Nicolas tertawa kencang. “Lagipula, Perancis akan segera memiliki gedung opera yang baru. Yaahhh.. setidaknya, ijinkan aku turut mengucap.. au revoir, Salle de la rue Le Peletier.”
= = = = = = = = = = = = = = =
Koto Gadang, 2001..
Tidak ada yang istimewa. Bagi Karina, menghabiskan waktu di rumah akan lebih menyenangkan, ketimbang harus menempuh perjalanan jauh ke tempat yang benar-benar asing baginya. Apalagi beberapa buku Disney yang Minggu lalu dibelikan tante Lucy belum selesai ia lahap tuntas. Terletak di antara Gunung Singgalang dan Ngarai Sianok, nama daerah yang tengah dikunjungi Karina dan dua orang tuanya adalah Koto Gadang. Satu dari 11 nagari yang terletak di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.
“Nah, ini rumah kakekmu, dulu.” Ujar Djohan sesaat setelah mesin mobilnya dimatikan.
Karina membuka jendela, lalu melongok keluar. Matanya berbinar-binar menatap sebuah rumah tua yang berdiri kokoh tepat di hadapannya. Arsitekturnya memiliki ciri yang mudah diingat, yakni puncak atap yang runcing menyerupai tanduk kerbau. Dia dapat mengingat jelas bentuk khas rumah ini, sama seperti apa yang dipelajarinya saat mata pelajaran IPS di sekolah.
“Waahhh.. rumah Gadang...” Dalam sekejap Karina langsung melupakan keengganannya untuk terbang ke Sumatera Barat, tempo hari. “Persis seperti yang ada di buku, yah.. kereennn!”
Djohan dan Lies tersenyum bebarengan. Sementara di luar, ada seorang pria tengah baya yang tersenyum lebar menyambut kehadiran mereka bertiga.
= = = = = = = = = =
Namanya Pak Bayan. Alfred Bayan lengkapnya. Dia menemani Karina berkeliling menyusuri setiap jengkal rumah gadang tua yang dulu pernah ditempati oleh kakeknya, Haji Agus Salim. Sementara Djohan dan Lies masih berkunjung ke kediaman keluarga Mangiang, yang terletak beberapa meter dari sana. Karina enggan ikut, dia memilih tinggal bersama Pak Bayan untuk melihat-lihat isi rumah.
Meski terlihat sangat tua, rumah itu tak pernah ditinggal oleh kata megah. Klasik dan menarik. Semuanya tertata dengan sangat baik, tak ada sedikitpun debu yang mengusik perabotan-perabotan penuh nilai sejarah di sana. Pak Bayan pasti benar-benar memperhatikan kondisi rumah dengan sangat baik. Kata Djohan, Pak Bayan telah empat puluh tahun lebih menjalankan tugasnya sebagai penjaga rumah itu.
“Karina umur berapa sekarang?” Tanya Pak Bayan saat mereka berdua tiba di depan sebuah pigora besar berisi foto Haji Agus Salim bersama dengan beberapa tokoh besar Indonesia lain yang namanya sering di baca oleh Karina melalui buku-buku sejarah.
“Sepuluh tahun, Pak.” Jawab Karina yang masih serius mengamati foto dalam pigora terbesar yang ada di ruang tengah. “Itu siapa?” Karina menunjuk pada sesosok yang berdiri paling belakang.
Pak Bayan mengernyit, “Ohhh, yang memakai setelan jas warna putih itu?”
Karina mengangguk beberapa kali. Pak Bayan tertawa melihat ekspresi wajah polos Karina yang penuh rasa ingin tahu.
“Namanya Dionysus.”
“Dionysus?”
Suara langkah kaki terdengar dari pintu depan. Djohan dan Lies. Pak Bayan buru-buru merogoh saku jaketnya, dia mengeluarkan sebuah kunci berwarna keemasan, dan memberikannya pada Karina.
“Dionysus pernah menitipkan ini untukmu, Karina..” Bisik Pak Bayan. “Simpanlah, suatu saat nanti kamu pasti membutuhkannya.”
“Pak Bayan pernah bertemu dengannya?”
“Sering, hehe..”
Karina menerima kunci pemberian Pak Bayan, kemudian memasukkannya ke dalam tas selempang kecil yang dia pakai. Logikanya sebenarnya tak bisa menerima pernyataan Pak Bayan yang berkata bahwa dia sering berjumpa dengan Dionysus. Jika Dionysus pernah berfoto dengan Haji Agus Salim, kakeknya, bukankah berarti dia ada di masa yang jauh berbeda dengan Pak Bayan, yang baru berusia lima puluh tahunan?
“Pak Bayan engga sedang berbohong, kan?”
“Dewa tak akan pernah mati, Karina..” Pak Bayan menepuk pundak Karina dua kali.
“Dewa?”
“Jangan tunjukkan kunci ini pada siapapun.” Tambah Pak Bayan, Karina hanya mengangguk sebelum dua orang tuanya tiba di ruang yang sama.
Jakarta, 2015..
Karina Ekaputri Salim tidak pernah suka dengan kejutan. Menurutnya, kejutan bagai dua sisi mata koin yang siap memberinya berbagai hal-hal ajaib di saat tingkat kesiapannya benar-benar berada pada angka nol. Entah itu dalam konten yang baik, atau buruk. Hal yang lumrah, karena Karina adalah sesosok yang selalu well prepared. Dia punya keyakinan kuat bahwa keajaiban harusnya hanya dapat terjadi dalam buku-buku Disney yang sering ia baca sejak kecil.
Dua minggu lalu, Karina mendapat kejutan yang mendadak mengacaukan pikirannya. Sebuah undangan. Bukan undangan biasa, karena datangnya dari seseorang yang sangat tak terduga, yakni Dr. Hotmangaradja Pandjaitan, duta besar Indonesia untuk Perancis. Dr. Hotmangaradja mendapat permintaan khusus dari Benjamin Millepied untuk mengajak Karina berkunjung ke Palais Garnier. Bukan sekedar sebagai seorang wisatawan, tapi Benjamin ingin Karina turut ambil bagian dalam sebuah pementasan berjudul Giselle, awal tahun 2016 nanti.
“Giselle..” Ujar Karina pelan. Matanya menatap nanar langit-langit kamar, kemudian melirik malas ke arah jam dinding.
“Masih belum tidur?” Tanya seorang laki-laki seumuran yang berbaring di sampingnya.
“Belum ngantuk.” Jawab Karina sambil beranjak dari ranjang.
Dia menyempatkan diri untuk mengikat rambut, sebelum membuka tirai kamar. Karina memandangi gemerlap dini hari kota Jakarta sambil menenggak segelas air putih yang selalu disiapkannya menjelang tidur.
Aldy Primanda menghela napas. Dia mulai cemas dengan Karina. Akhir-akhir ini gadis berparas cantik itu memang nampak sangat terbebani oleh berbagai ekspektasi yang menumpuk pada pundaknya. Tak jarang Karina gagal tidur semalaman dan harus melewatkan waktu istirahatnya begitu saja.
“Kamu bisa sakit kalo gini terus, sayang.” Kata Aldy, yang mengikuti Karina untuk berdiri di tempat yang sama.
“Justru aku yang bakal sakitin banyak orang kalo ga bisa bener-bener maksimal.” Mata Karina berkaca-kaca.
Segala kesuksesan yang telah ia raih selama ini bukanlah hal instant yang bisa dengan mudah didapatkannya begitu saja. Karina telah berjuang dengan sangat keras, orang-orang disekitarnya juga selalu memberikan dukungan sepenuh hati padanya.
“Iya, aku ngerti.”
“Kesempatan seperti ini ga mungkin datang dua kali.”
Terlahir dalam garis keluarga yang cukup dominan dalam dunia politik, Karina justru memilih untuk berkarir di dunia hiburan. Sejak usia lima tahun, cucu dari keponakan Haji Agus Salim, salah seorang pendiri Republik Indonesia, ini telah akrab dengan balet dan seni peran. Karina benar-benar mengerti, bahwa Palais Garnier adalah salah satu destinasi impian para balerina dari seluruh dunia.
“Om Djohan pasti bangga.” Bisik Aldy sambil membelai punggung Karina. “Sekarang.. ayo tidur, istirahat, jaga kesehatanmu.”
Karina tak langsung menjawab, dia hanya memeluk Aldy erat-erat, membenamkan wajahnya ke dada bidang Aldy, yang selalu sukses memberinya rasa nyaman. “Makasih.” Bisik gadis itu dengan suaranya yang lembut.
= = = = = = = = = =
Aldy menelepon Karina saat dia baru saja menyelesaikan kelas balet siang ini. Gadis itu duduk di sudut ruangan, mengeluarkan handuk, dan bersiap untuk bebersih diri. Diusapnya perlahan peluh yang membasahi wajah cantiknya.
“Haii...” Sapa Karina dengan bersemangat.
“Belum pulang?”
“Sebentar lagi.”
“Apa kabar hari ini?”
“Baik.. haha, seperti biasa.”
Aldy melenguh. Ketika Karina berkata baik, lalu diikuti dengan tawa yang terdengar memaksa, artinya dia sedang tak berada pada kondisi baik dalam arti yang sesungguhnya.
“Ga harus berangkat ke Paris, sayang.”
Suara Aldy terdengar benar-benar cemas. Karina terkikik membayangkan ekspresi kecemasan wajah Aldy yang biasanya malah membuatnya tertawa. Lucu, mirip Donal Bebek, menurut Karina, dan diiyakan oleh beberapa orang lainnya.
“Harus, sayang.”
“Tapi.. kamu...”
“Aku gapapa, percaya deh.”
Karina buru-buru memotong pembicaraan. Dia paham benar arah pembicaraan ini akan bermuara kemana. Aldy pasti lantas overthinking, lalu mendorongnya untuk melakukan hal-hal konyol yang akan berakhir sia-sia.
“Yakin?”
“Ga pernah seyakin ini.”
“Serius? Aku susul ke Paris, ya?”
“Ga perlu, sayang.. Emir sama Mama lebih butuh kamu di Jakarta, mereka baru aja sembuh, jangan ditinggal-tinggal.”
“Tapi..”
“Aku gapapa.”
= = = = = = = = = =
Sisa tiga jam sebelum waktu keberangkatan, Karina bersama dengan Aldy masih berada di dalam mobil yang membawa mereka menuju ke Bandara Internasional Soekarno Hatta. Langit mendung memberi teduh di sepanjang perjalanan. Karina begitu bersemangat, sedangkan Aldy masih belum yakin untuk membiarkan kekasihnya itu terbang sendirian.
“Hampir empat bulan menghilang, hingga kini balerina cantik asal Russia belum juga dapat ditemukan.” Karina membaca sebuah berita yang muncul dari update news feed melalui ponselnya.
“Balerina Russia?” Tanya Aldy penasaran.
“Iya.” Mata Karina terus bergerak menjelajah tiap kalimat yang merangkai berita itu. Dia pernah mendengar nama Natalia Osipova, salah satu yang cukup sering disebut sebagai balerina terhebat dari kawasan Eropa Timur.
“Hilang dimana? Dia terkenal banget ya?” Aldy masih berusaha melegakan rasa penasarannya.
Mobil yang dikendarainya melaju melambat. Ada sebuah mobil hitam yang berada dalam posisi terbalik di sisi kiri bahu jalan. Kecelakaan? Entah kapan waktu terjadinya, yang jelas beberapa pengendara memutuskan untuk menepi dan memberikan bantuan. Aldy tak menggubris, dilanjutkannya perjalanan menuju ke Soetta.
Semetara Karina belum mau menjawab pertanyaan Aldy. Dia masih terlalu serius dengan apa yang tengah dibacanya. Bukan tanpa alasan, karena berita itu menyebutkan bahwa terakhir kali Natalia terlihat adalah di kota yang akan menjadi tujuan penerbangannya hari ini, Paris.
Seorang gadis berambut panjang berdiri bertelanjang bulat di depan cermin. Rambutnya dibiarkan menjuntai begitu saja. Sepasang matanya yang berwarna cokelat memandangi refleksi dirinya sendiri. Dia memejam, kemudian merapal beberapa kalimat panjang dalam bahasa Yunani dengan cepat.
Begitu gadis itu membuka matanya kembali, sesosok gadis yang lain berdiri menggantikan posisi dirinya di dalam cermin.
Day 1..
Paris, 2015...
“Bienvenue..” Sapa seorang warga negara Perancis pada Karina.
Pria itu adalah Issiaga Sassine, tunangan Lidya Tan, yang tadi duduk tepat di sebelah Karina selama penerbangan menuju ke Paris. Issiaga memiliki darah Guinea, nampak jelas dari kulitnya yang berwarna gelap, sangat kontras dengan Lidya yang memiliki kulit putih bersih. Meski perbedaan keduanya begitu mencolok, Issiaga - Lidya terlihat sangat serasi. Bukankah cinta memang tak harus memandang ras?
“Aku duluan yah, Karin..” Ujar Lidya dengan logat Tiongkok yang khas. “Yakin nih ga mau ditemenin dulu?”
“Gapapa kok, Mbak Lidya.. sebentar lagi juga pasti ada yang nyamperin aku.”
Karina tersenyum saat pasangan itu berjalan meninggalkannya. Dia mengamati orang-orang yang berlalu lalang di dalam Charles de Gaulle, mencoba mencari tau siapa yang akan menyambut kedatangannya.
Dr. Hotmangaradja sempat menelepon Karina beberapa jam sebelum keberangkatan, mengucapkan maaf karena tak bisa menjemput gadis itu secara langsung karena ada beberapa kesibukan yang tidak bisa ditinggalnya. Namun, Dr. Hotmangaradja juga meyakinkan Karina bahwa seseorang yang sangat spesial akan menggantikan tugasnya.
Kini Karina berusaha menerka-nerka siapakah yang dimaksud oleh Dr. Hotmangaradja. Jangan-jangan Benjamin Millepied sendiri yang akan menjemputnya? Tidak mungkin. Director of Dance dari Ballet de l'Opéra de Paris tak akan memiliki cukup waktu untuk sekedar menjemput gadis biasa sepertinya.
“Bienvenue, Karina Salim.” Suara laki-laki yang terdengar begitu berat terdengar dari belakang.
Karina buru-buru menengok, dan langsung terkejut begitu mendapati siapa yang berdiri di belakangnya. Seorang Indonesian sepertinya yang telah ia kenal dengan sangat baik. Beberapa kali Karina terlibat pekerjaan penting bersama dengan laki-laki itu. Penyanyi berbakat dengan suara yang luar biasa.
“Ya ampuuun.. Afgan!” Karina memekik histeris, tanpa menyadari ada sepasang sorot mata tajam yang mengamati mereka berdua dari kejauhan.
= = = = = = = = = =
Karina cemberut di sepanjang perjalanan, membuat Afgan mati-matian mencoba mengembalikan senyum gadis cantik itu. Andai Karina tau akan ada Afgan di Perancis, tentu dia tak perlu berselimut gelisah selama beberapa hari sebelum keberangkatannya. Ada seorang teman saat berada di tanah bangsa lain jelas lebih baik ketimbang harus menghadapi segalanya sendirian.
“Jangan marah dong..”
“Bodo!”
“Jelek loo kalo lagi marah...”
“Biarin!”
“Oya.. aku punya hadiah nih, spesial buat kamu..” Afgan mengeluarkan satu kotak warna merah dari dalam ranselnya.
“Ga peduli!” Balas Karina ketus.
“Yakin ga mau peduli? Aku kasih buat sopir taksi ini aja yah?”
Karina tetap memasang wajah jutek. Sedikit mendongak ke samping kanan atas, berseberangan dengan arah tempat duduk Afghan di sebelah kirinya. Meski demikian, mata Karina yang sayu berjuang keras untuk bisa melirik melihat hadiah apa yang ingin diberikan Afgan padanya.
“Dih, malu-malu.” Ledek Afgan sambil menyodorkan kotak merahnya tepat di depan wajah Karina. “Nihh, ambil ajaa...”
Mau tak mau Karina dapat melihatnya dengan jelas. Sebuah kotak merah dengan tulisan Maxim's de Paris warna emas. “Astagaaa, cokelat inii...”
“Masih mau ngambek?” Tanya Afgan setelah Karina merebut cokelat pemberiannya dengan cepat.
“Masih!”
Taxi yang mereka berdua tumpangi melintasi jalanan kota Paris yang ternyata tak terlalu padat seperti yang Karina duga sebelumnya. Gadis itu berdecak kagum beberapa kali saat mereka melewati beberapa bangunan dengan arsitektur klasik yang menawan.
Samar-samar, terdengar alunan indah yang berasal dari alat musik petik berdawai. Semakin dekat dengan tujuan mereka di kawasan Place de l'Opéra, alunan musik itu terdengar makin jelas. Karina menoleh ke kanan dan kiri, berusaha mencari asal muasal suara yang makin mengusiknya itu.
“Kamu kenapa?” Afgan kebingungan melihat gelagat Karina yang mendadak berubah. “Sakit perut? Nyari toilet? Sebentar lagi sampe kok.”
“Idih.. siapa yang mau ke toilet?!” Protes Karina sambil memajukan bibir. “Musik ini.. musik ini dari mana sih? Kenceng banget!”
Afgan makin kebingungan mendengar jawaban Karina, “Musik? Musik apaan? Ga ada suara apa-apa di sini.”
= = = = = = = = = =
Selama berada di Perancis, Karina akan menginap di Maison Athénée, salah satu hotel terbaik yang ada di kota Paris. Gadis itu langsung merebahkan punggung di atas ranjang, setelah sebelumnya menyempatkan beberapa menit untuk menjelajah kamarnya. Berdasar penjelasan Afgan, Benjamin Millepied sendiri yang langsung turun tangan memilihkan hotel ini untuk mereka berdua.
Hanya ada 20 kamar di hotel bintang empat yang letaknya tak jauh dari Palais Garnier itu. Sebenarnya, Karina ingin buru-buru berjalan-jalan ke sana malam ini, namun Afgan melarang, toh besok pagi mereka berdua sudah harus tiba di Palais Garnier untuk menemui Benjamin Millepied dan Dr. Hotmangaradja. Laki-laki berkacamata itu meminta Karina untuk beristirahat terlebih dahulu di malam pertamanya di Paris.
Alunan musik yang tadi didengar Karina selama berada di dalam taxi telah menghilang saat ia baru tiba di depan Maison Athénée. Karina tak mau terlalu ambil pusing lagi dengan hal itu. Dia coba mengambil kesimpulan sendiri, mungkin halusinasi musik itu muncul akibat tubuhnya terlalu lelah setelah menempuh perjalanan lintas negara berjam-jam yang cukup menguras energi.
Karina melepas sepatu. Kemudian memutar sebuah lagu dari ponselnya. Dia tertawa sendiri begitu mendengar sang penyanyi mulai melantunkan beberapa bait lirik lagu yang selalu ia putar beberapa kali dalam sehari itu.
Andai engkau tahu betapa ku mencinta
Selalu menjadikanmu isi dalam doaku
Ku tahu tak mudah menjadi yang kau pinta
Ku pasrahkan hatiku, takdir kan menjawabnya
Jika aku bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu
“Haha, jodoh pasti bertemu..” Ujarnya sambil melepas jaket. “Lalu.. kenapa aku bisa ketemu kamu? Kenapa bukan Aldy yang ada di sini? Huh..”
Karina mengenakan kaos warna tosca berbelahan dada rendah, dipadu jeans ketat warna hitam yang membuatnya tampil casual dan santai. Kini gadis itu juga melepas keduanya, menyisakan sepasang bra dan celana dalam putih yang menjadi penutup terakhir bagian tubuhnya dari ketelanjangan.
Meski tak terlalu berisi, tubuh Karina yang mungil sangat enak dipandang. Gadis itu rajin berolahraga dan berlatih balet, membentuk tubuhnya dengan sangat baik. Tangannya merayap ke belakang, membuka kaitan bra, membiarkan sepasang payudara cup B miliknya terekspos dengan jelas.
Kulit karina yang putih, berpadu dengan puting pink pada payudaranya, menghasilkan perpaduan bernilai tinggi yang tak akan rela dilewatkan begitu saja oleh lelaki dari belahan dunia manapun, termasuk Afgan, seharusnya.
Andai engkau tahu betapa ku mencinta
Selalu menjadikanmu isi dalam doaku
Ku tahu tak mudah menjadi yang kau pinta
Ku pasrahkan hatiku, takdir kan menjawabnya
Jika aku bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu
Laki-laki berkacamata itu menatap Karina sambil tersenyum. Diamatinya baik-baik kesempurnaan tubuh Karina yang kini nyaris bertelanjang bulat di depan matanya. Dia melangkah maju mendekati Karina, memeluk gadis itu tanpa berucap terlebih dahulu.
Kamar Karina tak terlalu terang, dia tidak menyalakan lampu utama setelah selesai menjelajah ruang classic berukuran 14 meter persegi itu. Hanya temaram merah yang menaungi mereka berdua.
“Yakin?” Tanya Afghan ketika bibir keduanya mulai saling mendekat.
“Iya, gapapa..” Karina mengangguk. Afgan tak membuang waktu untuk mencium bibir tipis gadis itu. Hanya sekali, kemudian ia menarik bibirnya kembali. Afgan lantas tertawa kecil melihat ekspresi kesal Karina yang merasa dibohongi. “Ga mau nih? Yaudah aku pake baju lagi.”
Karina melengos, melepaskan diri dari pelukan Afgan, lalu dia beringsut berniat memunguti kembali pakaian yang tadi telah dilepaskannya.
Baru akan menunduk, Afgan melingkarkan tangan kanannya pada perut polos Karina, sedangkan tangan kirinya mengusap-usap bagian belakang kepala gadis itu.
“Huuu, tadi katanya ga mau?” Ledek Karina yang hanya bisa berdiam membiarkan tubuhnya berada dalam pelukan Afgan.
“Kapan aku bilang ga mau?” Afgan membenamkan wajahnya pada tengkuk Karina, menghirup aroma khas tubuh gadis cantik itu. Karina mendadak tersadar akan satu hal yang dilewatkannya.
“Astagaa... aku belum mandiii!” Teriaknya, yang langsung diikuti gerakan meronta untuk kembali melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang bukan kekasihnya itu.
Afgan menahan tubuh Karina. Dipeluknya gadis itu makin erat. Rasa lelah, ditambah suhu kamar yang dingin, membuat karina tak bisa melakukan apa-apa untuk kembali berusaha melepaskan diri dari pelukan Afgan.
“Hmmhhh..” Karina menggeliat ketika bibir Afgan mulai mencumbui lehernya.
Gadis itu segera membalik badan, kembali berhadapan dengan Afgan seperti posisi awalnya. Keduanya mulai saling berciuman. Tangan kanan Afgan menyusup memasuki celana dalam Karina, mengelus-elus vagina yang ditumbuhi oleh bulu-bulu tipis itu dengan penuh gairah. Sementara tangan kirinya bergerak meremas payudara gadis yang pernah bernyanyi berduet dengannya pada sebuah konser di Balai Sarbini beberapa bulan yang lalu itu.
“Ahhh...” Karina mendesah, dia memejamkan matanya untuk menikmati setiap detik ciuman dan sentuhan jemari Afgan pada tubuh polosnya.
Laki-laki itu menuntun Karina untuk berbaring di atas ranjang, dia memelorotkan celana dalam gadis itu. Kini Karina benar-benar telanjang, tubuhnya terus dijelajahi oleh Afgan tanpa ampun, tak ada bagian yang terlewat. Bibir Afgan kini berada pada liang senggama Karina, menjilatinya dengan lembut, ia memainkan klitorisnya dengan penuh napsu.
Tak mau berlama-lama, Afgan melepas celananya, membiarkan batang kemaluannya bergerak bebas bersentuhan dengan vagina Karina yang telah kuyup akibat cairan kewanitaannya yang terus menerus keluar.
“Akkhhh..” Karina merasakan kenikmatan yang luar biasa begitu batang kemaluan Afgan menembus vaginanya. Tubuhnya bergerak seirama dengan gerakan memompa yang dilakukan Afgan.
Karina tak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Dia memang mengagumi Afgan, mengagumi sosok itu melebihi kekagumannya pada Aldy, sang kekasih. Baginya, bercinta dengan Afgan meski sebatas lewat khayal adalah hal yang terasa cukup menyenangkan.
Kini ia menenggelamkan kepalanya dalam air, membiarkan segala sisa pikiran itu terbenam hingga tak tersisa.
= = = = = = = = = =
Day 2..
Paris, 2015...
Palais Garnier. Gedung opera itu bergaya neo baroque. Sangat megah. Karina nyaris tak mengedip mengaguminya. Ada pilar-pilar marmer dan deretan patung pada bagian depan, dengan gambaran mitologi Yunani kuno. Patung-patung dan hiasan marmer tersebut, menggambarkan dewa dan dewi Yunani, serta seniman-seniman yang dikenal sebagai great composer, seperti Rossini, Auber, Beethoven dan Mozart.
Ada tiga orang yang berdiri menyambut kedatangan Karina dan Afgan. Mereka bertiga saling memperkenalkan diri. Bisa ditebak, seorang yang paling tua diantara mereka bertiga adalah Dr. Hotmangaradja Panjaitan. Usianya telah menginjak angka 62 tahun, namun duta besar Indonesia untuk Perancis itu masih terlihat tegap dan gagah.
Seorang pria asing bertubuh kurus yang berdiri tepat di tengah-tengah adalah Benjamin Millepied. Dialah yang mengundang Karina dan Afgan ke Perancis. Menurutnya, Karina dan Afgan akan menjadi perpaduan yang luar biasa untuk karya yang telah ia siapkan. Lalu terakhir, ada seorang gadis yang memiliki tinggi badan sama persis seperti Karina. Perawakan keduanya pun sangat mirip, kecuali di bagian dada, payudara gadis itu lebih besar dibanding milik Karina.
“Namaku Désirée Amalia Caron.” Gadis itu memperkenalkan diri dengan suaranya yang sedikit serak. “Panggil saja, Desi.”
“Loh, bisa bahasa Indonesia?” Tanya Karina. Suaranya terdengar lembut, amat kontras dengan suara Desi.
“Haha, bisa kok.” Jawab Desi sambil berjabat tangan dengan Karina dan Afgan. “Dulu aku kuliah di Jogja. Sebelum akhirnya diboyong sama papa untuk tinggal di Cannes, dua tahun lalu.”
“Ahhh, pantesan.. Haha...” Karina tertawa lega, kini dia makin tenang dengan keberadaan Desi disekitarnya.
Desi akan menjadi salah seorang balerina yang turut ambil bagian dalam pementasan Giselle, tahun depan. Dia tak mendapat peran utama, Desi hanya akan menjadi salah satu dari The Wilis, kelompok wanita pemilik kekuatan supranatural yang berusaha membangkitkan Giselle dari kuburnya.
Setelah dirasa cukup saling mengenal, mereka berlima berjalan bersama memasuki Palais Garnier. Interior gedung opera ini benar-benar indah. Jauh lebih indah dibanding kesan yang di tampilkan dari luar. Ada sebuah grand staircase, atau tangga setinggi 30 meter yang dibangun sangat megah, dengan marmer berwarna. Tangga ini bercabang untuk menuju ke serambi atau foyer dan auditorium. Di bagian kaki tangga terdapat 2 patung wanita yang membawa buket, dan langit-langitnya dihiasi lukisan. Di atas grand staircase, terdapat balkon-balkon yang tak kalah menawan.
“Wahhh, luar biasaaa..” Puji Karina yang masih tenggelam dalam rasa kagumnya pada bangunan megah ini. Desi dan Afgan yang melihat ekspresi Karina hanya tertawa kecil.
Bagian grand foyer atau serambi, yang diperuntukkan sebagai tempat beristirahat bagi para penonton selama jeda pertunjukan opera atau konser, memiliki bentuk ruangan yang mirip dengan Hall of Mirror di Istana Versailles. Dengan cermin berukir di kanan kiri koridor yang memberi kesan luas, lengkap dengan dekorasi mewah keemasan, dengan kubah atas dihiasi mozaik berwarna-warni, dan langit-langitnya dihiasi dengan lukisan, dan lampu-lampu kristal gantung yang cantik.
Di tengah ruangan, terdapat grand chandelier, yang disepuh perunggu dan taburan kristal. Di auditorium, tempat pertunjukan, menyediakan kursi berwarna merah untuk total 1979 penonton, dan di bagian balkon dipergunakan khusus untuk pemegang tiket yang spesial. Secara keseluruhan, interior di Palais Garnier adalah mewah dan menarik, memberi kesan elegan, berupa interior klasik pada abad pertengahan.
“Nah, sekarang, yang ingin saya katakan, adalah..” Benjamin coba membuka pembicaraan baru dengan Karina, setelah selesai memperkenalkan Palais Garnier kebanggaan kota Paris pada gadis itu. “Saya ingin kamu turut ambil bagian dalam pementasan Giselle, tahun depan.”
Karina mengangguk. Keraguan dalam dirinya sendiri hilang setelah dua kakinya menginjakkan kaki di dalam Palais Garnier. Karina masih belum berhenti mengagumi setiap detail gedung opera hasil karya Charles Garnier ini. Lagi pula, ada Afgan dan Desi yang akan menemaninya.
“Tidak hanya sekedar berpartisipasi, tapi menjadi seorang pemeran utama. Menjadi Gis...”
PRANGG!
Baru saja Benjamin akan menjelaskan pada Karina bagian terpenting dari keberadaan gadis itu di Perancis, grand chandelier yang berada di tengah ruangan mendadak terjatuh. Menimpa beberapa pengunjung yang kebetulan melintas tepat dibawahnya. Jerit histeris seketika membahana, menimbulkan kepanikan layaknya sebuah pertunjukan opera tanpa skrip dengan jalan cerita yang tragis.
Lantai tempat Karina berpijak tiba-tiba bergetar hebat. “Ge-Gempa?!” Ujar gadis itu sambil menutup mata.
= = = = = = = = = =
Getaran hebat yang mengguncang Karina terhenti setelah memaksa tubuhnya bersimpuh akibat kehilangan keseimbangan. Gadis itu membuka mata, dan langsung terkejut dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya.
Dia berada di tengah-tengah panggung. Sendirian, dan.. telanjang! Karina langsung dilanda rasa panik yang luar biasa. Entah ada berapa ribu pasang mata yang saat ini menikmati tubuh polosnya. Dengan sigap dia segera menutupi bagian vital tubuhnya dengan menggunakan tangannya. Kepalanya menunduk, rasanya dia tak sanggup memandang ke depan.
“Ka-Karin, kamu ga-gapapa?” Sebuah suara berat yang sangat dikenalnya mengajukan pertanyaan dengan terbata.
Karina segera mencari asal muasal suara. Dari atas. Dia buru-buru mendongak, dan mendapati 3 sosok pria yang dikenalnya tergantung di langit-langit gedung opera ini dengan kondisi terlilit semak belukar yang berduri tajam.
“A-Afgan! Pak Benjamin dan Pak Hotmangaradja juga!” Seru Karina panik.
Gadis itu mengamati sekitar dengan cepat. Kondisi gedung opera ini benar-benar berbeda, tak sama seperti Palais Garnier yang tadi dikunjunginya sesaat sebelum gempa. Tidak ada kemewahan yang terpancar, semuanya nampak tua, serba berkarat, dan kotor. Mata Karina menyempatkan melihat para pengunjung yang duduk dengan manis di kursi penonton. Nyaris tak ada ekspresi. Mereka semua menunjukkan wajah dingin yang sangat mengerikan. Pakaian-pakaian yang mereka kenakan pun jauh dari kata modern.
“Selamat datang di Salle Le Peletier.” Suara seorang gadis menggema di dalam gedung.
Ada sesosok yang mengenakan jubah warna merah di tengah-tengah kursi penonton. Wajahnya sama sekali tak terlihat, karena dia menutupinya dengan hoodie yang juga berwarna merah.
“Ayo, menarilah.. Giselle!” Perintah sosok berjubah itu dengan lantang.
Karina tak bergeming. Hanya menggeleng-geleng dengan tegas. Dia masih bersimpuh menutupi bagian tubuhnya yang bertelanjang bulat.
Sosok berjubah merah itu terus-menerus mengulangi permintaan yang sama. Hingga akhirnya dia lelah, dan mulai menebar ancaman, “Menarilah, atau tiga orang di atasmu harus menukarkan keenggananmu dengan nyawa mereka.”
“Ja-Jangan, Karina.” Ujar Dr. Hotmangaradja yang nampak kesulitan bernapas.
“Ahh, sial!” Umpat sosok berjubah merah kesal.
BRUKK!
Tiba-tiba saja tubuh duta besar Indonesia untuk Perancis itu terhempas kencang ke bawah. Benturan keras yang terjadi benar-benar fatal, Dr. Hotmangaradja langsung tak bergerak, dari kepalanya mengucur darah segar yang cukup deras.
Karina terbelalak. Mulutnya tak mampu mengucapkan apa-apa. Si jubah merah kembali memaksa Karina untuk menari.
“Menarilah, atau mereka berdua akan segera mengalami nasib yang sama!” Bentak si jubah merah.
Karina tak terlalu mengenal Benjamin, tapi Afgan? Dia tak ingin terjadi hal yang buruk pada laki-laki itu. Dengan terpaksa, gadis itu berdiri. Gerakannya nampak canggung. Karina harus membiarkan tubuh polosnya dinikmati oleh seluruh penonton. Dia menghembuskan napas perlahan, mengambil jeda sejenak sebelum ia meraih kakinya dan mengangkatnya di udara, sebuah pemanasan pertama untuk gerakan balet.
“Haha, sudah cukup!”
PLOK! PLOK! PLOK!
Teriakan seorang pria, dan tiga kali tepuk tangan terdengar dari kursi penonton, membuat Karina menghentikan gerakannya.
“Wah, wahh...” Sesosok pria berpakaian serba putih bangkit dari kursi penonton yang berada tepat di belakang sosok berjubah merah.
“Di-Dionysus..” Si jubah merah nampak ketakutan begitu mengetahui siapa yang kini berdiri di belakangnya. “The God of Theatre..”
= = = = = = = = = =
Dionysus mengayunkan lengan kirinya, membebaskan Afgan, dan Benjamin dari belenggu semak belukar berduri yang tadi mengikat mereka berdua dengan sangat erat. Tubuh keduanya masih dipenuhi luka-luka hebat yang terasa sangat menyakitkan. Sementara nyawa Dr. Hotmangaradja tetap tak dapat diselamatkan. Dionysus tak memiliki kuasa untuk membangkitkan kembali purnawirawan perwira tinggi TNI-AD itu dari kematiannya, ada Hades yang lebih memiliki wewenang di sana.
“A-Apaan sihh!” Bentak sesosok berjubah merah pada Dionysus.
“Kali ini kamu sudah keterlaluan, Terpischore..” Dionysus mendekati sesosok yang tubuhnya jauh lebih mungil dibanding dirinya itu. “Kamu telah merenggut nyawa seseorang yang tak berdosa.”
“Biarin, biarin!” Protes sesosok yang disebut dengan Terpischore itu dengan nada suara kekanakan. “Aku hanya ingin bersenang-senang! Jangan ikut campur!”
“Semuanya sudah berakhir.” Bisik Dionysus sambil meneguk hingga tetesan terakhir wine dari gelas kecil yang sejak tadi digenggamnya. “Pulanglah, aku akan mengirimkan kembali kuncimu yang hilang...”
Dionysus kembali mengayunkan lengan kirinya, Salle Le Peletier perlahan runtuh. Gedung opera bersejarah itu menjatuhkan puing-puing kejayaannya, yang langsung berubah menjadi debu sesaat sebelum menyentuh tanah.
Tiga berkas cahaya meluncur cepat dari celah-celah atap yang telah hancur. Ketiganya kini menyorot tubuh Afgan, Benjamin, lalu Dr. Hotmangaradja. Bersamaan dengan padamnya cahaya-cahaya itu, tubuh mereka bertiga turut lenyap.
Karina kembali kebingungan, namun Dionysus segera menenangkannya. “Tak perlu cemas, mereka kembali ke tempat mereka yang seharusnya.”
Tidak ada alasan bagi Karina untuk meragukannya, Dionysus telah membantunya hingga saat ini. Namun masih ada dua pertanyaan besar yang bersemayam dalam kepalanya.
“Désirée baik-baik saja.” Lagi-lagi Dionysus seakan mampu membaca apa yang tengah dipikirkan oleh Karina. “Dia?” Tanyanya sambil memegangi pundak sesosok berjubah merah yang masih belum puas melancarkan protes.
Dionysus membuka hoodie yang menyembunyikan sosok Terpischore yang sesungguhnya. Karina hanya terdiam begitu mendapati seseorang yang memiliki ciri fisik sama persis sepertinya berada dalam balutan jubah merah itu.
“Si-Siapa kamu?” Tanya Karina, yang tak akan terjawab, karena seberkas cahaya lain yang meluncur cepat segera membawanya pergi dari sana.
= = = = = = = = = = = = = = =
Jakarta, 2015..
Karina tersentak. Semuanya lenyap. Tak ada Salle Le Peletier yang mulai runtuh akibat kekuatan dahsyat yang dimiliki oleh Dionysus. Tak ada pula Terpischore, sosok berjubah merah yang ternyata memiliki paras sama persis sepertinya. Afgan? Desi? Benjamin? Dr. Hotmangaradja? Gadis cantik itu tak mampu melihat apa-apa, hanya terhampar kanvas putih bersih tanpa cerita.
“Karina..”
“Ya Tuhan.. Alhamdulillah...”
“Akhirnya kamu sadar, Karin.. Emir, cepet hubungin kakakmu.”
Suara-suara yang tak asing baginya terdengar samar bersahutan. Karina masih kepayahan beradaptasi dengan cahaya ruang yang terasa tak ramah bagi dua bola matanya. Setelah beberapa detik, kanvas putih itu mulai terlukis, menggaris guratan tipis empat orang yang menatapnya cemas.
“Di-Dimana?” Tanya Karina dengan nada suara lemah.
“Rumah sakit. Kemarin kamu kecelakaan, sayang.” Lies mengelus kening Karina dengan sangat berhati-hati.
“Ke-Kecelakaan?”
“Iya, waktu kamu dalam perjalanan ke Soetta.”
Jawaban Lies membuat Karina kebingungan. Bukankah dua hari kemarin dia tengah berada di Paris?
= = = = = = = = = =
Karina bangun saat bel rumahnya berbunyi. Kepalanya terasa berat, begitu pula dengan matanya. Karina berusaha memejamkan mata untuk kembali membenamkan diri dalam lelap, namun sia-sia. Bel rumahnya terus berbunyi, sangat mengganggu. Kemana semua orang?
Dengan langkah sempoyongan, gadis itu berjalan menuju pintu utama rumahnya. Karina memutar knop, lalu membuka pintu rumah sesaat setelah bel berhenti berdering. Tak ada siapa-siapa. Hanya tergeletak sebuah kunci berwarna emas tepat di depan kaki telanjangnya. Karina memungutnya, lalu menutup pintu dan berbalik badan.
Dia terkejut begitu mendapati pintu yang menuju basement di bawah tangga terbuka lebar. Bukankah tadinya pintu itu tertutup rapat?
“Duhhh, siapa sih yang iseng pagi-pagi gini?!” Karina mengomel sambil mengacak-acak rambutnya.
Kondisi gadis itu belum cukup baik, meski pihak rumah sakit telah mengijinkannya untuk pulang. Karina masih beberapa kali merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya. Langkah kakinya yang nampak masih lemah kini menyusuri setiap anak tangga yang membawanya turun ke ruang bawah tanah.
BRAKK!
“Kyaaa!”
Sebuah rak buku tua tiba-tiba terjatuh, membuat Karina terkaget setengah mati. Gadis itu menyalakan lampu, dan makin terkejut begitu ia menemukan sebuah pintu yang tersembunyi di balik rak buku tua yang baru terjatuh. Sejak kecil Karina benar-benar tak pernah mengetahui keberadaan pintu dengan knop warna emas itu.
Karina berusaha membuka pintu untuk mencari tau apa yang ada di dalamnya, namun tak berhasil. Terkunci rapat. Tiba-tiba dia mengingat sebuah kunci warna emas yang tadi ditemukannya di depan pintu. Perlahan, Karina memasukkan kunci itu dan memutarnya dengan sangat berhati-hati.
Sebuah ruangan penuh cahaya yang sangat terang benderang langsung menyambut Karina begitu pintu itu terbuka. Ruangan itu cukup luas, namun tak ada apa-apa di dalamnya, kecuali 13 frame raksasa warna keemasan dengan bohlam yang menyala terang dibawahnya mengelilingi dinding-dinding ruangan yang membentuk lingkaran itu.
“Hai..” Sapa seseorang dari pintu yang tadi dilalui Karina, suara yang tak asing.
“Aldy?” Karina menoleh, tersenyum lega begitu mendapati kekasihnya itu yang berdiri di sana. “Lihat ruangan ini.. terang sekali...”
“Ini semua hasil karyamu.” Aldy berjalan berkeliling ruangan. Langkah kakinya terhenti tepat di depan frame ke-5. Diantara 13 frame yang berada di dalam ruangan itu, frame inilah yang menyala paling terang. Ada tulisan warna emas yang dapat terbaca jelas oleh Aldy. Giselle.
Seseorang menari-nari di dalam frame itu, setiap gerakannya sangat indah. Dia tak sendirian, ada beberapa orang lain yang terus bergerak di sana. Salah satunya adalah pria berkacamata dengan lesung pipit yang nampak menonjol. Mata Karina terbelalak begitu ia turut menikmati pertunjukan indah yang ada di frame ke-5 bersama dengan Aldy. Bagaimana bisa ada dirinya sendiri di sana? Sesosok yang sama persis dengannya.
“Selamat, Terpischore.. koleksi The Salle Le Peletier milikmu telah benar-benar lengkap.”
- T A M A T -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar