Freddie mencoba menerima dirinya dalam paradigma baru. Semua orang di band kini tahu tentang orientasi seksual Freddie, juga hubungan di antara kami berdua, namun kebanyakan mereka memilih untuk tidak membahasnya. Freddie mencukur rambut panjangnya, menyisirnya rapi dan menumbuhkan kumis. Ia meninggalkan kostum mewah yang biasa dipakainya di tahun 70-an, dan menggantinya dengan celana pendek ketat dan tank top yang memamerkan bulu ketiak dan bulu dada. Freddie seolah berusaha menyatakan seksualitasnya kepada publik dengan cara yang paling lugas.
Tidak ada yang berani menghalangi, tidak juga anggota Queen yang lain. “Beberapa di antara kami membencinya, tapi memang itulah Freddie dan kami tidak bisa menghentikannya,”(12) kata May dalam sebuah wawancara.
Tidak semua orang bisa menerima hal ini. Pada masa itu homoseksualitas bukanlah sesuatu yang lazim, terlebih bagi frontman band rock yang dianggap sebagai panutan oleh banyak orang. Queen dihujat, Freddie dicaci dan dimaki, terlebih lagi oleh orang-orang yang berkeberatan idolanya berlagak seperti banci.
Pernah suatu ketika seorang penonton meneriakinya ‘banci’ ketika Queen sedang bermain di Manchester. Seorang Farrokh Bulsara mungkin tidak akan berkata apa-apa jika dikatai banci. Namun kali ini yang dihina adalah Freddie Mercury, dan jangan pernah sekalipun kau berpikir untuk menghina seorang Dewa apalagi di hadapan jemaatnya.
Freddie berhenti bernyanyi, bersikeras pada kru panggung untuk menemukan bangsat yang mengatainya banci. Freddie memerintahkan lampu sorot diarahkan ke pria itu, dan berkata, “coba bilang sekali lagi, darling.”(14) Seketika kemaluan orang itu menciut seperti nyalinya, hingga tak jelas lagi yang mana banci dan yang mana lelaki sejati.
Setiap akibat pasti bermula dari sebab. Setiap aksi pasti akan menimbulkan reaksi. Keputusan Freddie kini memberikan implikasi. Freddie mulai ditinggalkan para penggemarnya. Queen mulai dihujat pers dan audiens karena bermain di negara-negara yang masih berada di bawah rezim kediktatoran. Queen dianggap berpihak pada penguasa mendukung penindasan kepada rakyat. Fuck it, kata Freddie dalam suatu wawancara dengan angkuh dan berapi-api. “Kami hanya ingin menghibur rakyat yang ditindas, dan tidak ada yang salah dengan ini. Kalian saja yang terlalu picik dan menggolongkan diri di bawah bendera dan panji-panji!”
Freddie menghadapi itu semua dengan mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan. Seorang budayawan, Karl Marx, pernah berkata bahwa, “agama adalah candu bagi masyarakat agar penderitaan mereka dapat tertanggungkan.”(15) Namun sekarang aku berpikir, keduniawian juga menawarkan eskapisme yang tak jauh berbeda. LSD, minum-minuman keras. Pemberhalaan terhadap birahi. Dan Freddie semakin tidak terkendali.
Freddie lebih memilih menjalani gaya hidup ala bintang rock. Dunia semakin cepat berputar bagi Freddie, dan aku semakin jauh tertinggal. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang ketika sibuk merayu pria dan gadis-gadis di klub malam Munich, Jerman Barat.
“Jangan lupa pakai kondom!” teriakku ketika ia dijemput oleh Mick Jagger dan anak-anak The Rolling Stones setelah take vokal di studio rekaman. Mereka rencananya akan menonton pertandingan Liga Champions antara Chelsea vs Bayern Muenchen, lalu dilanjut berpesta di villa mewah milik Keith Richards di pinggiran kota. Jelas-jelas aku tidak bisa ikut meskipun dipaksa. Sebagai produser, aku masih harus mengawasi proses rekaman, apalagi beberapa part riff gitar rencananya diulang.
“Don’t worry darling, kondom cuma buat pengecut,” jawab Freddie enteng, lalu melenggang ke dalam limosin yang sudah berisi belasan pelacur.
Tentu saja aku wajib khawatir. Di awal tahun 1980-an. AIDS mulai mewabah. Dimulai di Amerika, dan menyebar ke seluruh dunia. Kaum agamis awalnya menganggap AIDS adalah azab Tuhan untuk menghancurkan kaum homoseksual seperti dulu Dia menghancurkan Kota Sodom dan Gomorah. Dan melihat tingkah laku Freddie yang seperti remaja baru puber, siapa yang bisa tahan untuk tidak cemas.
Freddie sama sekali tidak bisa dihentikan lagi, tidak aku atau anggota band-nya yang bisa menghentikannya kali ini. Mungkin hanya Tuhan, -sayangnya selama ini aku mengingkari-Nya. Tidak ada bukti empiris yang mendukung ataupun tidak mendukung keberadaan Tuhan. Dia berada di dalam suatu ‘suwung’. Satu juta orang atheis tak akan meniadakan keberadaan Tuhan Yang Maha Ada, dan satu juta orang yang menyembah-Nya tidak akan mengadakan sesuatu bila memang tak ada. Semuanya berada di zona abu-abu, di mana bersama-Nya ikut bersemayam milyaran potensi dan posibilitas. Dan untuk pertama kalinya aku ragu. Aku ingin berdoa untuk Freddie, tapi aku tak tahu harus memanjatkannya kepada siapa.
Aku semakin terjauh dari Paradiso. Ayah menghembuskan nafas terakhirnya tanpa pernah melihat lagi matahari yang terbit dari balik Candi Borobudur di kampung halaman. Dimakamkan di samping Ibu di pemakaman umum di pinggiran Amsterdam, aku hanya sempat datang ketika prosesi Misa Requiemnya yang sederhana. Aku sedih bukan karena kehilangan orang itu. Aku sedih karena ternyata aku tidak merasakan apapun, hanya rasa hampa yang baal dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Aku mendapat kewarganegaraan Inggris tahun itu, meski sebenarnya ingin sekali aku kembali memegang paspor Indonesia. Aku tidak tahu apakah suatu saat aku bisa pulang ke firdaus yang membentang di sepanjang khatulistiwa. Aku tidak tahu apakah suatu saat aku bisa memenuhi janji masa kecilku dengan Freddie untuk mengajaknya ke kampung halamanku. Untuk pertama kalinya aku merindukan tempat berpulang. Sebuah Paradiso. Aku bisa merasakan perasaan Adam yang terusir dari Surga, dan mengalami rasa rindu yang sama akan tempat tempat kelahirannya.
“Kamu sedang memikirkan apa, darling?” kata Freddie sambil memeluk tubuhku dari belakang. Fajar mengintip dari balik cakrawala Munich yang dipenuhi gedung yang saling menjulang. Awal Februari, bumi utara baru saja memasuki awal musim semi. Salju mulai mencair, dan pucuk-pucuk pohon mulai kelihatan menghijau dari sepanjang jalan hingga menghilang di batas jarak pandang. Aku terpekur di balkon apartemen Freddie yang terletak di lantai paling atas gedung Falkenhortz, sebelum sepasang tangan kekarnya melingkar di pinggangku. Aku merasakan hangat tubuhnya yang menempel di tubuhku, sama-sama telanjang.
“Kamu tidak pernah rindu Zanzibar?”
“Aku sudah meninggalkan semua itu, my dear. Zanzibar, India... semua yang berasal dari masa lalu.”
“Termasuk aku?”
Dicubitnya pinggangku. “Bitter and sarcastic, like always. Aku tidak heran sampai sekarang kamu masih sendirian. Mungkin cuma aku yang bisa tahan sama kamu.”
Tahun 1986. 8 tahun sudah kami hidup bersama. Usia Freddie menginjak 38, sedang usiaku 37. Api cinta kami tak lagi membara, namun senantiasa hangat untuk jadi tempat berdiang. Tubuh Freddie mulai dimakan usia, akhir-akhir ini ia sering terserang meriang dan batuk berdahak. Jika kami pasangan hetero, mungkin kami berdua sudah memiliki 2 atau 3 orang anak, mengajari mereka bermain piano atau menulis puisi. Andai saja.
Aku pernah mengajak Freddie membina rumah tangga dan mengadopsi seorang anak, tapi dia hanya menanggapinya dengan setengah berkelakar dan berkata bahwa dirinya tidak bisa memasak dan tidak akan bisa menjadi istri yang baik. “Lagipula aku lebih suka kucing,”(16) pungkasnya. Maka kami pun sepakat mengadopsi beberapa ekor kucing.
Hubungan kami tidak didasari atas kontrak apapun. Tapi kami selalu tahu, hanya bersamaku, Sang Legenda bisa melepaskan kemelekatannya terhadap cahaya dan gegap gempita massa yang memujanya dan memilih kembali menjadi manusia. Di dalam pelukanku Freddie merasakan kembali sensasi kefanaan manusia. Pagi itu, kami memutuskan untuk mengawalinya dengan bercinta.
Jika erotisme yang anda cari dalam cerita ini, aku bisa menceritakannya dengan panjang lebar kepada anda sekalian, pembaca yang budiman. 8 tahun hidup bersama berarti lebih dari 2920 kali kami bisa melakukan persetubuhan, jika mengingat hampir tiap hari kami melakukannya (tak ada yang menstruasi di antara kami, sekedar mengingatkan). Dan sungguh, untuk itu akan diperlukan jutaan aksara dan bergalon-galon tinta untuk mencatat setiap detil adegan percintaan kami yang menggelora. Atas nama kebaikan bersama dan hutang budi pada pepohonan yang tak pernah tak sudi dijadikan kertas, maka aku akan menceritakan satu yang paling istimewa.
Tapi kau jangan salah mengira, karena yang akan kuceritakan bukanlah percintaan antara Eros dan Hermes yang menggelora, bukan pula Freddie Mercury dalam wujud mudanya yang mungkin membuatmu tergila-gila, melainkan tentang sepasang lelaki paruh baya yang tak lagi muda.
Tanpa pernah merasakan menjadi tua, engkau tak akan pernah mensyukuri bergolaknya masa muda. Tanpa pernah menjadi sekarat, engkau tak akan pernah mensyukuri nikmatnya sehat. Tanpa pernah mengingat kelak engkau akan mati, engkau tak akan pernah mensyukuri hidup, meski hanya sekali.
Hidup adalah sebuah gerbang pengalaman, begitu juga mati. Bersama hidup, engkau akan merasakan sensasi tumbuh, berkembang, menjadi tua, dan mungkin juga ajal. Farrokh kecil yang dulu kukenang, kini menjadi bapak-bapak berusia 38 tahun dengan perut membuncit dan dada berbulu. Keriput mulai mewarnai raut wajahnya yang diliputi kumis tebal. Namun mata itu selalu ada di sana, mata yang menatapku dengan sabar, dan senyum yang selalu tulus menemaniku selama ini.
Ciuman itu tak lagi membara seperti ciuman pertama kami di rumah Freddie 8 tahun yang lalu. Tidak dengan birahi, tapi sayang. Ada banyak cinta di antara bibir kami yang saling berpagut. Tidak diperlukan adegan rayu-merayu yang berpotensi memanjang-manjangkan cerita untuk hal ini. Cukup satu kata magis dari Freddie, “Eat me, darling.” Hingga membuat sepasang lelaki ini saling bergumul di atas kasur dengan tubuh telanjang.
Freddie menyukai warna kulitku yang sawo matang, fenotip khas ras Melayu yang mendiami kepulauan Malaka di Asia Tenggara. Freddie juga menyukai bentuk kejantananku yang tidak terlalu besar dan melengkung ke atas. Tidak terlalu sakit, tapi sekaligus menekan secara tepat pada kelenjar prostatnya. Freddie paling suka itu, ia berkata seluruh tubuhnya seolah merinding nikmat ketika ujung kejantananku menggelitik tepat di titik paling sensitif dalam lubang anusnya.
Kejantanan Freddie memang berukuran jauh lebih besar dan lebih panjang dari milikku. Freddie adalah keturunan Persia, dan masih masuk ke dalam suku bangsa Timur Tengah yang secara genetik memungkinkan untuk memiliki kejantanan yang lebih panjang dari ras Melayu. Di antara selebriti ia paling dikenal dengan stamina dan kegagahannya memompa tubuh para wanita (dan pria, tentu saja), sehingga dijuluki Dewa Seks. Namun bersamaku, Freddie lebih memilih menjadi wanita, dan merintih-rintih ketika lubang duburnya kusetubuhi.
Aku pun menyukai tubuh Freddie yang dirimbuni bulu, berbeda kontras dengan tubuhku yang mulus tanpa bulu (ya, aku mencukur habis rambut kemaluanku), sehingga memamerkan bentuk otot yang nyaris tak berlemak. Freddie paling suka menciumi sekujur otot-otot tubuhku, mengigit-gigit dan meninggalkan banyak bekas kemerahan bila diperlukan. Gemas, alasannya.
Aku menciumi bulu dadanya yang lebat, aku suka sekali ini dari dulu. Dengan ujung lidah, kugelitik putingnya yang dirimbuni bulu, sebelum beralih mengigigit-gigit perutnya yang diselimuti lemak. Rambutku dijambak.
Freddie menyukai kulumanku. Maka aku ciumi batang kejantanannya yang berukuran lebih dari 25 cm. Ujungnya yang membulat kulumat, disusul batangnya yang dipenuhi urat. Sepasang buah zakarnya mulai kendor dan mengkerut, tapi itu tak mengubah kenyataan bahwa sepasang benda menggemaskan itu tetap menyenangkan untuk dikulum dan diemut. Freddie mendesah. Lidahku jauh menjelajah ke arah bawah, sedikit jijik bagi yang belum terbiasa, namun bagi Freddie itu justru membangkitkan simpul simpul birahinya
Perut buncitnya ikut meregang ke atas dan kebawah, larut akan kenikmatan duniawi ketika ujung lidahku bergerak membelai bintang kecil di antara kedua pantatnya. Ia paling suka sekali dijilati di bagian ini. Freddie yang perkasa akan berubah tidak berdaya ketika kumainkan lubang anusnya dengan ujung jari. Ia hanya bisa merintih-rintih panjang bak perawan yang disetubuhi untuk pertama kali jika jariku sudah mulai menelusup ke dalam dibarengi dengan masuknya batang kejantanannya ke dalam mulutku, setengah saja, karena kejantanan itu terlalu panjang untuk kutelan hingga pangkal.
Jeritan panjang. Freddie yang sampai pertama. Cairan cintanya memancar ke wajahku, lalu cepat kukulum batang kejantanannya selagi masih menyemburkan cairan putih kental, karena aku ingin menelannya bulat-bulat di depan Freddie. (Freddie selalu menyukai pemandangan itu). Freddie tersenyum lemah, melihat spermanya meleleh-leleh di bibirku dan segera kujilat dengan sapuan lidah yang nakal dan menggoda.
“Ayo....” Sang Legenda merengek manja layaknya seorang gadis muda. Mengangkangkan pahanya lebar-lebar, dan menunjuk ke arah lubang analnya yang menggoda, memohon untuk segera disetubuhi.
Aku adalah lelaki-nya yang pertama, tapi Freddie adalah lelaki terakhir yang pernah kusetubuhi. Setelah percintaan pertama kami di atas karpet tempo hari, tak pernah aku bercinta dengan orang lain selain dirinya. Selalu ada yang pertama, dan aku ingat betapa sulitnya ketika pertama kali aku mempenetrasi lubang anusnya, namun seiring waktu, otot-otot analnya semakin beradaptasi menerima kejantananku, dan kami pun semakin piawai dalam bercinta dan bercumbu. Gunakan pelicin jika engkau ingin sensasi yang lembut dan mendayu-dayu, dan jangan gunakan apa-apa jika engkau menginginkan sensasi perat dan mencengkram. Dan kali ini, kami menginginkan persetubuhan yang sedikit sentimentil, maka sebotol pelumas dari bahan gel yang jadi solusi.
Aku menyetubuhinya dengan saling berhadapan, karena dengan ini aku bisa melihat ekspresi nikmatnya ketika kejantananku mulai menyesak kedalam lubang anusnya. Freddie selalu tersenyum, ia selalu tersenyum ketika aku melakukan ini.
Birahi tak lagi hadir sebagai api yang membakar, namun lebih seperti bara yang meleburkan. Bersamanya hadir desah dan erangan yang timbul setiap kali kuhujamkan kejantananku ke dalam tubuh Freddie, tidak dengan kasar tapi dengan dorongan lembut hingga akhirnya kami bersatu menjadi satu tubuh, dan itulah kenapa ia disebut bersetubuh. Aku rasakan hangat tubuh kekasihku yang mencengkeram batang kejantananku, juga kilat-kilat keringat yang meliputi tubuh telanjang kami ketika kami saling memeluk, erat.
Enggahan nafas disertai bisikan sayang yang saling membisik, lalu disusul dengan rintihan panjang ketika ujung kejantananku menekan titik lemah di kelenjar prostatnya.
Sekujur tubuhku dirambati oleh perasaan yang menyenangkan ketika otot-otot anal Freddie saling menggesek dengan pucuk-pucuk syaraf kenikmatanku.
Otot-otot tubuh kami mengejang dalam kontraksi involunter, bergetar dalam intensitas yang mencengangkan, dalam gelinjang yang berkesinambungan. Kami menggapainya bersama-sama, seluruh tubuh kami Puncak kenikmatan itu termaktub dalam sebuah erangan panjang yang menjadi pengejawantahan segala hasrat paling hewani. Selanjutnya hanya remah-remah residu orgasmik yang merupa sisa kenikmatan yang berdesir dalam aliran darah. Kami hanya bisa merasakan jejaknya, tanpa bisa mengenalinya lagi.
Adam memilih menanggalkan keabadiannya di Paradiso dengan memakan buah pengetahuan. Bersamanya ia merasakan sensasi kefanaan, di mana sel-sel tubuhmu terus membelah, mati, dan diperbaharui, dan umurmu adalah barang pinjaman yang bisa dituntut sewaktu-waktu. Dan Adam lebih memilih semua itu ketimbang menghabiskan keabadian di dalam taman Surga. Kefanaan menakutkan sekaligus indah, karena kematian memberikan arti bagi kehidupan yang engkau tahu tak berlangsung selamanya. Tak ada kehidupan setelah kematian, menjadikan setiap mili sekon sedemikian berarti. Aku hanya bisa memeluk Freddie erat-erat, menikmati sedapatnya kebersamaan yang siapa tahu esok pagi akan diklaim oleh Sang Waktu. Bersamanya aku merasakan sensasi mortalitas sekaligus imortalitas. Bersamanya aku merasa utuh, -kami merasa utuh.
Vonis mati itu akhirnya datang pada penghujung tahun 1987 berbentuk hasil pemeriksaan laboratorium. Tidak hanya satu, tapi dua, untukku dan Freddie. Kali ini, malaikat maut menyamarkan dirinya dalam bentuk kuman bernama HIV yang ikut beredar dalam darah dan menggerogoti sistem kekebalan tubuh kami.
Aku sudah merasakan firasat buruk ketika batuk berdahak Freddie seperti tidak sembuh-sembuh. Dan disusul aku yang diare parah. Merasa khawatir Mary Austin, asisten pribadi Freddie memeriksakan kami ke dokter. Aku tidak terlalu terkejut ketika hasil pemeriksasaan darah kami keluar. Dari awal aku sudah tahu ini cuma masalah waktu. Freddie juga tahu itu, tapi ia merasa dua kali lebih bersalah karena sudah ikut menulariku. Aku juga ikut bersalah dala hal ini, kataku, mencoba menghiburnya. Lagipula aku tidak mau sendirian kalau kau tinggal mati, pungkasku dengan satir.
Tubuh Freddie digerogoti Bronchopneumonia, di mana kuman menggergoti paru-parunya bak jamur yang melapukkan kayu di musim hujan. Terserang AIDS tidak serta merta membunuhmu, tapi hilangnya kekebalan tubuh bisa membuat pilek dan radang tenggorokan sederhana dapat menjelma menjadi penyakit berbahaya yang mengancam nyawa.
Aku sedikit lebih beruntung, karena darahku hanya dideteksi positif berisi kuman tanpa disertai komplikasi apa-apa. Aku segera berhenti merokok, minum-minum, dan sekalian menjadi vegetarian. Aku sama sekali tidak berkeberatan untuk mati. Mengingkari kematian sama saja mengingkari bumi yang berputar mengelilingi matahari. Namun ketika benar-benar dihadapkan pada ajal, tak ayal aku gemetar, dan ingin mengulur ajal.
“Aku harap setelah aku mati, kita bisa ketemu lagi di sana,” bisik Freddie, lirih. “Kita bisa jadi satu lagi....”
Aku memilih diam, karena khawatir terpaksa menjawab dengan ironi. Manusia membuat suatu harapan kosong dengan membayangkan di depan nanti ada kehidupan setelah kematian yang menanti. Manusia takut takut berpisah dengan orang yang paling dicintai, oleh karena itu mereka mengarang Surga dan harapan pertemuan kembali dengan orang yang dikasih. Ketika melihat Freddie yang sedang sekarat, untuk pertama kalinya aku berharap alam setelah kematian itu ada seperti apa yang selama ini kuingkari.
“Pasti...,” jawabku
“Banyak hal sebenarnya yang masih ingin kulakukan bersamamu. Aku kan belum ke negaramu... oh iya... kamu dulu pernah janji akan membuatkan aku lagu....” Dari sekian banyak kata untuk mengutuk Sang Maut, Freddie malah memilih kata-kata itu. “Aku ingin berkarya sebanyak-banyaknya sebelum mati....”
Maka malam itu hadir sebuah lagu. Satu-satunya lagu yang kutulis lirik sekaligus iramanya untuk Freddie. Queen merekamnya dalam album “Innuendo”, namun aku bersikeras agar nama Roger Taylor yang nantinya ditulis dalam sampul album. Aku tak mau nama besar Queen dicemari dengan nama seorang anak komunis.
Tahun 1989. Tubuh Freddie semakin tergerogoti oleh penyakitnya. Semua orang dalam ruang rekaman itu tahu kalau Sang Legenda sedang sekarat. Tubuhnya kurus kering, dan rambut putihnya rontok di sana sini. Namun aku tahu Freddie seperti menemukan Paradiso ketika berada di dalam studio. Ada rasa bahagia di kedua matanya, ketika melakukan hal yang paling digemarinya, menyanyi.
Seluruh tubuhnya gemetar menahan berat tubuhnya sendiri, namun berusaha tegak berdiri, dan ia mulai bernyanyi...
“Sometimes I get to feelin'
I was back in the old days, long ago
When we were kids, when we were young
Things seemed so perfect, you know?
“The days were endless,
we were crazy, we were young
The sun was always shinin',
we just lived for fun”
I was back in the old days, long ago
When we were kids, when we were young
Things seemed so perfect, you know?
“The days were endless,
we were crazy, we were young
The sun was always shinin',
we just lived for fun”
Segala kenangan bersama Freddie kembali terkilas balik bagaikan potongan film yang saling berkelebatan. Aku dan Freddie, sepasang bocah di pusaran revolusi yang berusaha menemukan kembali jalan menuju kebahagian. Kami diusir oleh Tuhan dari Paradiso ke dalam dunia yang kejam. Berdua kami menapaki jalan panjang kehidupan, berharap ada suatu ‘Paradiso’ yang menanti di ujung jalan. Berdua kami tersesat, berdua kami berusaha menemukan jalan pulang....
“Sometimes it seems like lately, I just don't know
The rest of my life's been, just a show.”
The rest of my life's been, just a show.”
Segala sebab pasti berasal dari akibat. Setiap asap bermula dari api. Dan setiap aksi pasti akan menimbulkan reaksi. Lingkaran Karma dan Samsara. Kelak aku akan memahami semua. Persis seperti permukaan air yang tenang dan kau lempari dengan batu. Timbul sebuah riak. Kemudian memicu riak berikutnya. Berikutnya. Hingga menjadi kumparan gelombang yang teramplifikasi memenuhi seluruh permukaan. Setiap perbuatanmu, sekecil apapun itu, baik ataukah buruk senantiasa akan bergaung dalam keabadian.
Setelah ini, seluruh dunia mungkin akan menghakiminya sebagai pendosa yang menerima hukuman Tuhan seperti penghuni kota Sodom dan Gomorah. Namun Freddie berusaha menerima semuanya itu, tanpa melarikan diri atau melakukan pembenaran atas kesalahannya. Freddie mengakuinya dengan ksatria. Tak ada gunanya berupaya memutar waktu. “Kesalahanku adalah tanggunganku(1)”.
Freddie berusaha menerima kematian sebagai sesuatu hal yang wajar dan tidak dapat dihindarkan, merenungkan bahwa kita semua datang sesuai perbuatan kita dan pergi sesuai dengan perbuatan kita. Freddie berusaha meraih kerelaan melepas semuanya dan menerima kematian...
“You can't turn back the clock,
you can't turn back the tide
Ain't that a shame?
I'd like to go back one time
on a roller coaster ride
When life was just a game
No use sitting and thinkin' on what you did...”
you can't turn back the tide
Ain't that a shame?
I'd like to go back one time
on a roller coaster ride
When life was just a game
No use sitting and thinkin' on what you did...”
Sebagian manusia menyongsong ajal dengan dengan bermimpi dan berharap, bahwa di seberang sana ada sebuah kehidupan baru yang lebih baik. Sebagian lagi mengutuki, memaki Tuhan yang memanggilnya secara terburu-buru....
Freddie memilih menyongsong ajal dengan keagungan layaknya seorang legenda. Ia adalah Freddie Mercury, manusia setengah Dewa yang menaklukkan jutaan manusia yang meragukannya, dan kini ia menantang Malaikat Maut yang hendak mencabut nyawanya. “Wahai Sang Maut, Izrail, Yama, atau dengan nama apapun engkau hadir. Engkau bisa mencabut nyawaku dengan cara halus atau paling kasar sekalipun. Tapi selama rohku belum tercerabut, jangan pikir engkau bisa menghentikanku untuk bernyanyi. Aku adalah Sang Legenda, dengan suaraku aku akan menggetarkan Surga dan menggemparkan Neraka. Meskipun jasadku tinggal rangka, laguku akan terus bergema di lorong-lorong sejarah, di koridor-koridor ingatan umat manusia!”
“Those were the days of our lives
The bad things in life were so few
Those days are all gone now but one thing's still true
When I look and I find, I still love you,
I still love you.”
The bad things in life were so few
Those days are all gone now but one thing's still true
When I look and I find, I still love you,
I still love you.”
Freddie Mercury menghembuskan nafasnya dengan tenang pada tanggal 24 November 1991 di atas tempat tidur di kediamannya di Kensington.
Freddie dimakamkan dalam upacara Zoroastrianisme dengan cara dikremasi. Sejarah mencatat Mary Austin, mantan kekasih Freddie yang dipercaya menyimpan abu Sang Legenda, namun tidak ada satupun yang mengetahui sehari setelahnya Mary memberikan abu Freddie kepadaku. Ia berkata bahwa aku jauh lebih layak untuk menemani sisa perjalanan Sang Legenda.
From ashes to ashes, from dust to dust. Freddie kembali menjadi serpihan-serpihan partikel mikron yang tak berarti, tersimpan rapi dalam cawan perak yang disegel dengan timah. Dan itulah aku. Kami. Sebutir debu.
Descartes berpendapat berpendapat, semesta tidak memiliki rancangan, semesta penuh dengan kekacauan dan sama sekali muskil untuk mengkonstruksi kekacauan ke dalam keteraturan.
Berbeda dengan Descartes, May, Sang Gitaris penyandang gelar doktoral di bidang astrofisika pernah berkata kepadaku bahwa Semesta bermula dari sebuah ledakan besar sebelum terus berekspansi dan berotasi membentuk bintang dan planet-planet. Sementara hukum fisika paling dasar berkata bahwa, energi tidak bisa diciptakan, tidak pula bisa dimusnahkan. Pertanyaanya, dari mana muasal energi untuk membuat ledakan besar, selain ada campur tangan yang beraksi di luar sistem, di luar hukum fisika, dan di luar nalar segala makhluk di jagat raya.
Aku mencoba menerima sisa umurku yang aku tahu tak akan lama lagi. Belajar meditasi dan merenungi. Hanya eskapisme belaka barangkali, aku mencoba merasionalisasi untuk terakhir kali, namun kali ini, Tuhan seperti menampar kesombonganku dengan menghadapkan ajal di depan mata. Menghadapi Substansi yang berada di jangkauan nalar dan kuasamu, siapa yang berani untuk menyombongkan diri? Aku menerima kekalahanku sebagai butir debu yang tak berarti di belantara semesta. Untungnya Tuhan tak marah. Tuhan tak pernah marah. Tahun itu juga, aku berdamai dengan Tuhan.
Aku mengasingkan diri ke desa kecil bernama Zhongdian, di lereng pegunangan Himalaya, ke tempat yang konon dulunya bernama Shangri-La. James Hilton (1933) pernah menulis dalam novelnya yang berjudul Last Horizon, tentang suatu tempat di sela-sela pucuk dan ngarai Himalaya timur, di mana rahib-rahibnya memperoleh suaka dengan pencerahan dan harmoni, dan mencapai usia panjang yang melebihi batas wajar. Dari biaranya yang indah dan bertingkat-tingkat aku bisa melihat puncak-puncak dunia yang berselimut salju abadi seolah melayang di atas awan.
Shangri-La berarti firdaus, Surga, Nirvana, dan juga bersinonim kata dengan Paradiso. Aku tersenyum menyadari kebetulan ini, meski aku tahu tidak ada yang kebetulan di bawah langit. Akhirnya aku menemukannya, Shangri-La dalam bentuk metafor, atau Shangri-La secara literal tentang suatu tempat setelah kematian yang terbebas dari ruang dan waktu, namun sekarang, siapa yang peduli itu semua?
Di sini aku hidup bersama para rahib, belajar meditasi, dan berhenti mengkonsumsi makhluk bernyawa. Aku berusaha melakukan penebusan dosa, -jikalau sekalipun dosa tidak bisa ditebus- setidaknya aku bisa memutus mata rantai samsara. Sungguh mengherankan, sosok sombong yang selama ini berusaha menolak eksistensi Yang Maha Kuasa, kini malah bisa tenang bersila dan membaca Sutra yang ditulis dalam bahasa Pallawa, apapun alasannya.
“Cinta antara manusia adalah bagian dari cinta yang lebih agung. Cinta bukanlah masalah agung, ataupun rendah. Setelah merasakan kepedihan, engkau bisa memahami penderitaan hidup. Dengan mengetahui nafsu, seseorang bisa menaklukkannya. Mengetahui apa yang diinginkan, seseorang bisa merelakannya.”(
Mengatasi kemelekatan dengan mengalaminya. Sang Budha, Sidharta Gautama mencapai pencerahannya saat beliau berhasil mengatasi kemelekatannya pada dunia. Herannya aku sudah mengetahui itu sejak lama. Sahabat, kekasih, dan juga belahan jiwa, mengajarkan itu semua tanpa perlu satu potongpun aksara.
Udara dingin pegunungan Himalaya, ditambah ramuan purbakala yang kuminum hampir tiap hari, membuat retrovirus yang beranak pinak dalam darahku menjadi jinak dan dorman. Clotho mau berbaik hati untuk tidak memutus benang umurku hingga 10 tahun berikutnya.
Seperti pergantian putaran roda kehidupan. Rezim militer Orde Baru jatuh pada tahun 1998, dan digantikan dengan era yang bertajuk reformasi. Seperti diriku, Indonesia berusaha memaafkan dirinya sendiri, menebus dosa masa lalu, menyembuhkan luka sejarah dengan merehabilitasi nama orang-orang yang dituduh komunis, termasuk ayahku. Pada tahun 2001, aku memperoleh kembali kewarganegaraanku.
Aku mampir sebentar ke Amsterdam, berpamitan pada ayah dan ibu, sebelum terbang dengan pesawat Garuda Indonesia jurusan Jakarta. Dari Jakarta aku naik kereta sampai Yogyakarta, Pakde dan sanak kerabat yang menjemput sedikit terkejut melihat penampilan baruku yang berkepala plontos, untungnya mereka cukup yakin bahwa yang datang bukanlah hantu.
Matahari baru saja menyembul dari balik stupa raksasa ketika mobil yang kutumpangi tiba di desa kecil di dekat Muntilan, Magelang. Jalan sudah mulus beraspal, dan sudah banyak tumbuh bangunan baru ketimbang lanskap yang pernah kuingat ketika dulu aku berlarian di sepanjang pematang sawah. Namun pemandangan itu masih sama, bentangan persawahan dengan latar belakang Candi Borobudur yang selama ini hanya berada dalam mimpiku.
Indah bukan? Langit biru dan matahari yang berpijar di atas khatulistiwa. Harum rerumput yang meruap ke udara. Gemericik riak air yang menyusup di sela dedaunan. Aku ingin menikmati semua ini bersamamu, mengalaminya ujung perjalanan ini bersama-sama. Andai saja.
“Aku ingin sekali pergi ke negaramu!”
“Tentu! Nanti kau boleh tinggal di rumahku!
“Benar?”
“Benar!”
Malam itu, dibantu dengan beberapa biksu dari Vihara setempat aku melarung abu Freddie di sungai Opak, diiringi lilin-lilin yang menyala redup. Bulan purnama bersinar penuh, memantul di atas riak-riak air, menimbulkan kilauan cahaya bak sebuah jalan menuju sebuah kehidupan baru. Sutera dibacakan dengan sederhana, dan tak perlu upacara yang megah untuk itu semua. Sang Budha mengajarkan agar kita terlepas dari kemelekatan. Jasad adalah kemelekatan. Dan molekul partikel yang menghambur bersama desau angin dan desir air hanyalah cangkang kosong yang tak lagi berarti. Aku adalah debu. Kita semua hanyalah debu.
Aku tak pernah bisa menjawab apakah kehidupan setelah kematian ada ataukah tiada. Aku juga tidak pernah tahu apakah Freddie menungguku di seberang sana ataukah hanya kehampaan yang menanti. Aku diajari, bahwa mencapai Nirvana tidak sama dengan naik ke langit. Mempertanyakan kehidupan setelah kematian adalah hal yang tak relevan. Sama tidak layaknya seperti menanyakan kemana perginya api setelah ia padam(2). Kita tidak akan bisa mendefinisikan Nirvana karena kata-kata dan konsep kita senantiasa terbelenggu dengan apa yang bisa ditangkap oleh panca indera.
“Selamat jalan,” bisikku.
The End
Love is anterior to life,
Posterior to death,
Initial of creation, and
The exponent of breath
(Emily Dickinson)
In Memoriam
Farrokh Bulsara
9 September 1946 - 24 November 1991
Jaya S would like to thank;s to:
God, The Almigthy
Admin, Admin Serep Heddot, Supmod Satpam, Momod Reditya
Dewan Juri:
Flavus. Banana, Enyas, Ulrich, Marucil, Willdick
Proofreader:
Showa, Aryosh
Narasumber:
Anova
All of Spartan Huha
Footnote
Love is anterior to life,
Posterior to death,
Initial of creation, and
The exponent of breath
(Emily Dickinson)
In Memoriam
Farrokh Bulsara
9 September 1946 - 24 November 1991
Jaya S would like to thank;s to:
God, The Almigthy
Admin, Admin Serep Heddot, Supmod Satpam, Momod Reditya
Dewan Juri:
Flavus. Banana, Enyas, Ulrich, Marucil, Willdick
Proofreader:
Showa, Aryosh
Narasumber:
Anova
All of Spartan Huha
Footnote
1. Pernyataan Freddie Mercury tahun 1984, dalam Mikael Gilmore, 2014, Tragic Rhapsody , Rolling Stone Indonesia 112.
2. Anonimus. Anekdot tentang Freddie Mercury yang beredar di internet
3. Wawancara dengan Sheroo, bibi Freddie Mercury dalam Mikael Gilmore, 2014, Tragic Rhapsody , Rolling Stone Indonesia 112, Jakarta
4. Kutipan dari Freddie Mercury, dalam website resmi FreddieMercury
5. Pengkhotbah 1:9
6. Ayu Utami, 2013, Pengakuan Eks Parasit Lajang, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
7. Rene Descartes, dalam Karen Armstrong, 2014, Sejarah Tuhan, Penerbit Mizan, Jakarta
8. Mikael Gilmore, 2014, Tragic Rhapsody , Rolling Stone Indonesia 112, Jakarta
9. Wawancara dengan Freddie Mercury, dalam Mikael Gilmore, 2014, Tragic Rhapsody , Rolling Stone Indonesia 112, Jakarta
10. Karen Armstrong, 2014, Sejarah Tuhan, Penerbit Mizan, Jakarta
11. Friedrich Nietzsche, 1968, dalam Karen Armstrong, 2014, Sejarah Tuhan, Penerbit Mizan, Jakarta
12. Wawancara dengan Brian May, dalam Mikael Gilmore, 2014, Tragic Rhapsody , Rolling Stone Indonesia 112, Jakarta
14. Freddie Mercury, dalam Mikael Gilmore, 2014, Tragic Rhapsody , Rolling Stone Indonesia 112, Jakarta
15. Karl Marx, dalam Karen Armstrong, 2014, Sejarah Tuhan, Penerbit Mizan, Jakarta
16. Wawancara dengan Mary Austin, dalam Mikael Gilmore, 2014, Tragic Rhapsody , Rolling Stone Indonesia 112, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar