Jumat, 06 November 2015

Cerita Dewasa Artis Yuni Shara 3

Ancha duduk di kursi tinggi dapurku. Sebuah pub chair yang dulu dibeli suami keduaku, Henry, yang suka minum-minum.

“Nah, sudah..”

Aku baru saja selesai membalut luka berdarah di lututnya.

Beberapa saat yang lalu, Raffi meninggalkan kami dengan mata penuh dendam. Berjalan pongah dari pintu depan rumahku, meraungkan mesin Ferrari-nya yang besar lalu pergi. Bau asap mobilnya tetap tertinggal lama setelah Raffi menghilang sepenuhnya dari pandangan dan pendengaran.

“Dia selalu begitu?”

Pertanyaan Ancha membuat dadaku sesak, teringat akan perlakuan kasar Raffi kepadaku beberapa menit yang lalu. Kutahan air mata sebisaku. Aku tidak akan menangis lagi di depan pria seumur hidupku.

“Dia kurang berpikir dan kekanakan. Temperamental. Aku seharusnya tahu, hal seperti ini akan terjadi pada akhirnya.”

“Kalian akan putus?”

“Yah, itu tidak terhindarkan.”

“Kalian akan bilang apa ke media?” Ancha menggeser duduknya saat bertanya.

Aku duduk di kursi sebelahnya. Menuang air mineral untuk kami berdua.

“Tentang itu biar manajerku yang urus. Dia selalu tahu apa yang dihendaki media.”

Angin pagi bertiup dari pintu dapur, mengembuskan aroma pagi, dan asap mobil Raffi.

“Tapi anak itu punya banyak mobil yang besar, haha..” Ancha berusaha bercanda dengan kakunya.

“Kata manajerku, mobilnya itu overcondensate..”

Ancha tertegun sejenak, lalu tertawa. Tawa yang lama dan keras sekali.

“Ih, kamu kenapa ketawa begitu?”

Ancha tertawa lagi. Aku manyun. Bingung. Dia menertawakanku? Apa karena selangkanganku terlihat lagi? Aku menunduk mengamati tubuhku. Aku sudah mengenakan legging saat mengambil kotak P3K tadi, sepeninggal Raffi. Lalu apa?

Aku masih bingung ketika Ancha berhenti tertawa. Dengan air mata menggenangi matanya, dia berkata,

“Yang benar itu overcompensate. com-pen-sa-te, kompensasi, bukan kondensasi..”

Aku malu setengah mati. Pria kasar ini tahu sebuah istilah yang aku katakan, di mana aku sendiri belum mengerti. Gara-gara Anne nih. Sial.

“Ng, emang apa itu? Aku sebenarnya emang ga tau artinya..”

Overcompensate itu perilaku manusia yang menonjolkan suatu hal pada dirinya secara berlebihan, biasanya untuk menutupi kekurangan diri.”

Tanpa sadar aku menggeser duduk ke arahnya. Berbeda dari biasanya, Ancha terlihat luwes berbicara. Dia melanjutkan,

“Biasanya pria yang jiwa kelelakiannya kurang, melakukan kompensasi berlebih dengan memamerkan koleksi gadget atau mainan maskulin yang gede-gede. Dalam kasus Raffi, ini menurut kamu tadi lho ya, kompensasinya adalah mobil gede dan mahal. Ada juga yang kompensasinya berupa bodybuilding.”

“Kayak kamu dong?” Aku memotong ucapannya.

Mataku menyapu lengannya yang berbulu. Terus ke bahunya yang kokoh, dadanya yang bidang, dan pahanya yang besar berbalut handuk. Duh, mataku kok jelalatan begini?

Ancha tersenyum,

“Menurut kamu, badanku besar?”

“Gak gede-gede amat sih, tapi lumayan..”

Aku dan mulut jablay-ku..

Ancha tertawa,

“Lalu, menurut kamu ini overcompensate-ku terhadap apa?”

“Ng, entahlah.. Titit kamu kecil, barangkali?”

Hey, dari mana aku mendapat keberanian ini?

Sejujurnya aku tersinggung dengan obrolan ini. Obrolan tentang sebuah kata yang aku mulai sendiri. Pinggulku adalah kompensasi berlebih dari dadaku yang kecil, ingat?

Bahu Ancha berguncang-guncang karena tertawa. Tangannya yang kokoh membuat meja ikut berguncang oleh tawanya. Mungkin tubuhku akan remuk jika diguncang oleh tangan itu.. Aiihh.. Kenapa pikiranku ini?

Ancha melihatku menggeleng kepala kuat-kuat. Seperti tersadar sesuatu, dia berdiri tiba-tiba.

“Aku harus pergi, terima kasih, Yun. I’m sorry about your boyfriend..” Katanya dengan English yang fasih, lagi-lagi mengejutkanku.

“It’s okay. Aku yang terima kasih. It could be worse if you weren’t there..”

“Handuknya nanti kukembalikan. Aku cuci dulu.”

“Gak usah, itu buat kamu saja.” Aku tertawa.

Ancha melangkah ke arah pintu, tapi kemudian berbalik, melangkah ke arahku. Wajahnya menunduk, mengecup singkat pipiku, lalu berbalik lagi. Aku terlalu terkejut untuk bereaksi.

“Ancha..”

“Ya?”

Hening sejenak. Ancha menunggu sesuatu yang akan kuucapkan, yang sebenarnya baru tengah kupikirkan. Dengan malu kusadari, aku hanya ingin dia di sini beberapa saat lagi. Semoga dia tidak menyadarinya, ketika akhirnya aku berujar,

“Celana kamu aku cuci dulu, nanti kukembalikan..”

“Gak usah, itu buat kamu saja.”

Ancha memanjat tangga dan pergi.

***

Aku menelepon Anne, menceritakan pertengkaranku – tepatnya perkelahian – dengan Raffi. Tentu minus cerita tentang Ancha. Anne terdengar panik, tetapi akal sehatnya segera kembali ketika kuyakinkan bahwa aku baik-baik saja.

Beberapa jam kami – sebenarnya hanya Anne – berbicara. Anne memberi petunjuk apa yang harus kulakukan, dan apa yang nantinya akan kukatakan pada media.

“Sisanya biar aku adjust ke manajernya Raffi. Kamu tunggu kabar aja, jangan keluar-keluar dulu.”

Lalu, seperti yang kalian tahu, kabar putusnya kami akhirnya beredar, dalam versi Anne, tentunya.



Courtesy by another site

***

“Hey, kamu sudah tidur?” Ancha meneleponku tengah malam, beberapa hari setelah konferensi persku.

“Belum, kenapa?” Aku bertanya.

Tidak biasanya aku senang ditelepon jam segini.

“Gak. Cuma pengen tau saja..”

“Aku belum tidur. Nah, kamu sudah tahu, kan? Trus apa?” Aku tertawa.

“Bukan itu. Aku pengen tau sesuatu yang lain..”

“Apa?”

“Kamu tidur pakai apa?”

What?? Ancha menggodaku? Gila! Tapi entah mengapa aku suka..

“Tebak sendiri..”

“Hmm.. piyama kayak tempo hari?” Ancha menebak,

Sekilas ingatanku kembali ke peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika Raffi mengamuk di rumahku. Teringat Ancha yang melihat selangkanganku. Atau lebih?

“Tebak lagi.. Hihi..”

“Gaun satin?”

“Jauh sekali.. Sudah ya, aku mau tidur sekarang. Selamat malam, Ancha.. Hihi..”

Lalu kulanjutkan,

“I’m always sleep naked..”

Klik! Kuputuskan sambungan telepon. Kuamati diriku di cermin rias, dalam balutan piyama merah muda. Aku baru saja menggoda imajinasi Ancha, tetapi mengapa malah selangkanganku yang jadi basah?

***

Aku dan Ancha semakin intens berkomunikasi. Telepon dan SMS. BBM dan whatsapp. Kami adalah dua pribadi dewasa dengan kebutuhan. Komitmen? Mungkin. Tapi satu hal yang pasti. Aku butuh sesuatu yang tidak kudapat dari Raffi.

Ancha mengundangku ke rumahnya. “Ngeteh” sore, katanya. Aku tahu sesuatu akan terjadi sore ini. Sejauh apa? Itu yang aku belum pasti.

Aku mandi, mengeringkan rambut, lalu menemukan diri memilah-milih alat make up yang tepat untuk bersolek. Aku bersolek untuk Ancha! Begitu pikirku sambil tertegun dan heran pada diriku, tetapi juga menikmatinya.

Aku selalu tidak butuh riasan tebal, kulitku masih mulus. Tetapi aku selalu butuh maskara. Bulu mataku panjang tetapi terlalu tipis, butuh maskara agar warnanya jadi kontras dan terlihat. Kubingkai mataku tipis-tipis, membubuhkan sedikit perona, sedikit pewarna merah muda di bibir, dan menyempurnakan hasilnya dengan selapis bubuk bedak transparan.

Aku tahu, aku mungkin tidak pernah bisa tampak cantik sekali, tetapi aku juga tahu, aku lebih dari sekedar “oke”. Dan hari ini aku harus “lebih dari oke” secara maksimal.

***

Tidak ada “ngeteh” seperti rencana semula. Jika memang semula ada rencana. Ketertarikan seksual di antara kami terlalu kental untuk diabaikan dengan ramah tamah bertetangga.

Ancha menarikku – atau sebaliknya? – begitu aku turun dari tangga di pekarangan belakang. Pagar jala dengan tanaman yang tidak jadi dipangkas Ancha beberapa minggu lalu menyembunyikan kami dari pandangan. Bibir kami saling melumat, saat aku menindihnya di rumput yang tebal. Kujalin jemari di sela rambutnya yang tebal, menariknya lebih dalam menyelami bibirku.

Bibir Ancha manis, di luar dugaanku semula. Ciumannya juga lembut, tidak kasar seperti kenampakan tubuhnya. Kurasakan pasta gigi di mulutnya, membuatku betah berlama-lama. Kurasakan lengannya yang besar dan berbulu merangkul pinggangku, mengelus lembut punggungku. Aku menggeliat menikmati elusannya di sana.

“Aww..”

Ancha menjerit ketika tubuhku menindih lututnya. Ah Iya! Lututnya masih terluka!

Itu tombol pause bagi kami. Yang lalu berjalan berdua ke dalam rumah Ancha. Ancha menuntunku terus masuk, melewati dapur dan ruang makan. Mataku sekilas menatap rak piring yang sepi isi.

“Aku tinggal sendirian.” Ancha menjelaskan tanpa kutanya.

Saat melewati ruang tengah, mataku tertumbuk pada ruangan dengan tiga dinding penuh buku dari lantai hingga langit-langit.

“Kerjaan kamu apa sih?”

“Siang hari aku mengajar matematika di SMA *****. Malamnya psikologi di Uni***.”

Aku terkejut. Jawabanku dikonfirmasi oleh dinding dengan jejeran piagam berbingkai dengan nama Ancha di sana; Dr. Andi Anshari, M.Psi., dan sebuah foto di meja; Ancha dalam toga dan kacamata.

“Kamu bukannya kontraktor?” Aku bertanya, terus melangkah dalam bimbingannya, menuju kamar tidur, pastinya.

“Ya, itu untuk cari uang. Lelaki harus well paid, kan?”

Tak bisa kupercaya. Pria kasar ini menyimpan terlalu banyak kelelakian dalam dirinya. Big, strong, soft and gentle. And now, suddenly, smart..

Kami berciuman di ambang kamar tidur Ancha. Lenganku terjulur, memeluk lehernya dengan longgar, memberi ruang cukup baginya untuk melepaskan gaun soreku. Dua jam memilih busana, lalu dilucuti dalam dua menit yang tidak terasa. Tapi sekali lagi, aku suka.

Aku bugil sepenuhnya. Dengan mudah diangkatnya tubuhku, dibaringkan dengan lembut di kasurnya yang berlapis seprai putih tulang. Perlahan namun mantap, Ancha menjatuhkan pakaiannya satu per satu. Kupalingkan wajah ketika mataku menangkap benda hitam di antara kedua kakinya. Duh, Gusti, besarnya..

Ancha menindihku, melumat bibirku. Ciumannya bergerak cepat ke pipi, mengigiti leherku, lalu turun ke dadaku. Jarinya yang besar menangkup kedua payudaraku. Diremasnya dengan lembut, pelan, tepat seperti yang kusuka.

“Ahhhhh.. Ancha..”

Ancha bergerak turun, memasukkan ibu jarinya ke pusarku, menggigit pinggang dan pinggulku, menyisipkan sebelah tangan ke belakangku dan meremas pantatku dengan gerakan berirama.

Aku berusaha menggapai ke bawah, menyentuh selangkangannya untuk membalas perlakuannya yang nikmat. Tetapi Ancha menepis tanganku. Dia menatapku dengan wajah menegur. Aku tersenyum.

Wajah Ancha turun lebih rendah, digigitnya pahaku sebelah dalam,

“Aaaaaahhh..” Aku terkesiap dan mendesah.

Kecupan pertama Ancha di bibir vaginaku bagai sengatan listrik yang menyebar di sekujur tubuhku.

“Anchaaaaaaa.. Aaaaaahhhhh..”

Aku menjerit, tumitku terbenam dalam kasur, punggungku melengkung dan terangkat tinggi. Ancha menangkap kedua pahaku, menarikku lebih dekat untuk mencicipiku lebih jauh di bawah sana.

Ancha menusuk vaginaku lebih dalam, dengan lidah sekaligus dua jari. Sensasi yang diberikannya begitu akut, bagaikan serbuan ombak-ombak mungil yang membuat tubuhku menegang pada setiap sentuhan.

“Ahhhhh.. Ahhhhhhh.. Anchaaa..”

Ancha mengangkat wajah dan bangkit, senyumnya berkata “oke, aku rasa cukup,” tanpa kata dan suara. Tubuhnya yang besar menindihku, wajahnya turun, menciumi payudaraku.

Sebelah tangan Ancha menahan berat tubuhnya di kasur di sampingku, sementara tangannya yang lain mengarahkan ujung batang kelelakiannya memasuki celah yang basah membanjir di antara kakiku. Dalam satu gerakan kasar, penis Ancha menghujam liangku dalam-dalam.

“Oooouhhhhhh.. Ooooooohhh..”

Aku menjerit, didera rasa baru yang begitu asing dan menghentak. Kedua tanganku terentang ke samping, kebingungan mencari pegangan.

Ancha membeku di tempat, napasnya terengah-engah di antara kedua bibirnya yang terbuka. Mata kami saling menatap. Aku tak sanggup bergerak, penisnya yang tebal memberiku rasa nikmat yang terlalu tajam, hampir menyakitkan.

“Aaahhhhhh.. Anchaaa.. Penuh.. Penuh sekali di bawah.. Ahhhhh..”

Kurasakan relung dalam tubuhku terlalu penuh, kenikmatan mendaki tubuhku dari bawah, membuncah. Aku mencengkeram bulatan pantatnya yang keras bagai batu. Liang kenikmatanku menjepit Ancha dalam tubuhku. Penglihatanku memburam, lalu sebuah serangan kenikmatan yang membutakan menghantam tubuhku, mengangkatku mencapai puncak. Dan kusadari sedikitpun Ancha bahkan belum bergerak!

“Aaaaaaaahhhh.. Anchaaaaaaa..hhhh.. Oooouuhhhhhhh..”

Ancha menarik tubuhku, membalikkannya dengan mudah, seolah aku hanya bantal berisi bulu. Aku kini berlutut dalam posisi membungkuk. Aku tahu, Ancha akan menyetubuhiku dari belakang.

Ancha berlutut tegak di belakangku, mencengkeram bulatan pantatku, meremas perlahan. Tanganku bertumpu di bingkai ranjang.

Dengan sebelah tangan kuraih glans penis-nya dari bawah, di sela kakiku, mengarahkannya tepat ke lubang vaginaku.

“Ahhh.. Yuni..” Ancha mengerang. Tanpa melihat, aku tahu Ancha memejamkan mata.

Batang penisnya kembali memasuki tubuhku perlahan. Tekstur kulitnya yang keras menggerus dinding dalam vaginaku, menimbulkan riak bagai tusukan jarum lembut, menderaku syarafku dengan cambukan-cambukan kenikmatan. Bercinta dengan Ancha dalam gaya ini kurasakan sebagai dua sisi berlawanan, primitif dan modern dalam waktu yang bersamaan.

“Ooooohhhhh.. Ancha.. Terusin.. Ahhhhh..”

Ancha mulai bergerak maju mundur. Satu tangannya terulur, menjangkau sebelah payudaraku yang menggantung. Kutegakkan tubuh depan, memberinya akses lebih mudah ke area dadaku yang kecil. Puting susuku dijepitnya, dicubit dan ditarik-tarik dengan lembut, menambah sensasi nikmat.

“Aaaaaaahhh.. Yun..”

“Ooooouhhhh..Yah.. Anchaaa.. Ahhhhhhh..”

Ancha terus bergerak memompa. Jika harus jujur, belasan orgasme kecil sudah terjadi selama gerakannya yang semakin lama semakin cepat. Aku mencapai puncak beberapa kali, kenikmatan vaginal yang hanya wanita yang dapat mengerti.

“Aaaaaahhh.. Ahhhhhhh.. Ancha, lebih keras.. lebih keras lagi..”

Sebelah tangan Ancha berpindah dari pantatku, berputar ke depan, menangkup area pubisku. Jari tengahnya bergerak nakal, menyentuh celah vaginaku, menekan klitorisku. Jarinya seperti vibrator, menggerus, menggetarkan..

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh..”

Akumulasi kenikmatan vaginal, mammal dan klitoral melontarkan kesadaranku lepas dari tubuhku.

“Oooohhh.. Yuni.. Sedikit lagii.. Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh..”

Dalam erangan panjang yang bergemuruh, Ancha melengkungkan punggung, meraungkan orgasme dengan penis berdenyut-denyut di dalam jepitanku.

Kami tumbang ke kasur bersamaan, lalu bergelung saling mencari dalam pelukan. Samar-samar kurasakan diriku menangis, walaupun tidak tahu sebabnya. Aku begitu kehabisan tenaga hingga jatuh tertidur seketika. Dalam lena, kurasakan malu, karena melanggar janjiku; lagi-lagi menangis di depan seorang pria.

***

Aku belum yakin hubungan ini akan ke mana nantinya. Suatu hal yang aku tahu, aku merasa aman kali ini. Aku memang berdosa kepada Raffi, karena telah memanfaatkannya untuk ego-ku secara pribadi. Tapi aku yakin, sebesar apapun kesalahanku padanya, perlakuannya padaku tempo hari membuatku telah membayar lebih dari yang seharusnya.

***

Sabtu pagi di kamarku. Ancha memandangiku ketika aku bangkit ke kamar mandi. Seperti biasa, kami bercinta dengan liarnya sejak sore, berlanjut malam dan dini hari, hingga kelelahan mendera seluruh tubuh kami.

Sesaat sebelum memasuki powder room, kudengar Ancha bertanya,

“Itu apa?”

Ancha sedang duduk tegak di kepala ranjang, menunjuk sebuah benda berwarna merah-silver yang mencuat dari laci meja riasku.

“Oh, itu alat rekreasional. Kau tahu, aku lama menjanda.”

Aku tersenyum dan melangkah santai ke meja rias. Kuraih alat itu, sebuah vibrator dengan port usb sebagai mekanisme charging.



“Dibelikan Anne di Jerman, waktu liburan sama anak-anak.”

Kupindahkan alat itu ke sebuah kotak di laci paling bawah, bertuliskan merk Max Vergnugen lalu kukunci.

“Auf wiedersehen, Max. Aku tidak akan membutuhkanmu dalam waktu yang lama. Mungkin selamanya.” Bisikku.

***



***

Sekali lagi, di dalamnya - nyaris - tidak ada kebenaran, hanya kebetulan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar