18.00 7 DESEMBER 2016 - HARI PERTANDINGAN- STADION BUNG KARNO
INDONESIA RAYA
MERDEKA MERDEKA
TANAHKU NEGERIKU YANG KUCINTA
INDONESIA RAYA
MERDEKA MERDEKA
HIDUPLAH INDONESIA RAYA
HIDUUUP INDONESIAA…DISINI KITA PASTI MENANG!...TOOTTT..TOOTTT.TTOOOOTTTT
Lagu Indonesia Raya telah berkumandang. Kapasitas tribun Stadion GBK 88.000 orang terisi penuh. Tidak ada warna biru Timnas Thailand di tribun. Hanya ada warna merah putih. Lautan merah putih bergemuruh meneriakkan satu kata ; menang. Sangat berbeda dengan tahun 2010. Sekarang terdengar lebih riuh. Penonton terasa begitu optimis.
Conchita belum hadir. Lima bangku tribun utama masih kosong. Tidak apa-apa. Kedatangannya kemarin beserta percintaan kami nan begitu indah terasa sudah sangat cukup. Tidak akan ada lagi tragedi seperti yang terjadi di stadion Rajamanggala. Tidak akan ada lagi.
“ HEI BOCAH!,” Bang Ferdinand Sinaga menarik kerah bajuku “ KAU MAIN YANG BENAR SEKARANG! JANGAN KAYAK KEMARIN!,” bentaknya.
“ SIAP BANG!,” jawabku “ DISINI KITA PASTI MENANG!,” teriakku.
“ PRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTT”
Peluit berbunyi. Pertandingan dimulai.
***
Awal pertandingan tidak berjalan mudah bagi kami.
Thailand memeragakan permainan power football. Kecepatan pemainnya di atas rata-rata para pemain Timnas. Aku dan Alfred harus pontang panting mengamankan lini pertahanan. Bukan hanya pontang panting, kami juga harus bergerak lebih cepat membangun serangan demi menghasilkan peluang.
Kaki para pemain Thailand juga sangat keras. Kami membuktikannya sendiri. Walau sudah terbiasa menghadapi kerasnya latihan sepak bola Inggris, menghadapi spirit bertanding serta kekuatan fisik mereka benar-benar membuat kami kelabakan.
Sudah menit 40 sekarang. Penonton terus berteriak memberi semangat tapi kami belum juga dapat memperkecil ketertinggalan.
“ PRIIIITTTTTT, CORNER CICK THAILAND!”
Kiper I Gede Wiryawan menepis bola tendangan salah seorang pemain Thailand. Kami bahkan sudah tak tau lagi siapa yang menendang bola saking derasnya mereka menyerang. Thailand menunjukkan permainan sebagai Juara Bertahan.
Menghadapi tendangan sudut, aku berdiri dekat kiper, menempel Teerasil Dangda penyerang terbaik mereka. Ini salah satu kelebihanku di Norwich. Merespon tendangan sudut tim lawan. Thailand boleh punya tim kuat dengan kemampuan skill jauh di atas rata-rata pemain kami. Tapi mereka belum tau kemampuanku.
Gelandang Thailand Lahsoh bersiap mengambil tendangan sudut. Ia mengangkat tangannya memberi isyarat. Belajar dari tendangan sudut sebelumnya, feelingku mengatakan secara jelas ke arah mana Lahsoh hendak menendang.
“ ALFRED LARI KE KIRI LUAR!,” teriakku tepat saat dia hendak menendang bola. Alfred menurutiku, ditinggalkannya man to man marking pada salah seorang pemain Thailand lalu ia berlari sendirian.
Tepat seperti dugaanku, Lahsoh mengincar sisi dekat gawang. Melalui keunggulan otot serta tinggi badan aku dengan mudah mengalahkan Dangda dalam perebutan bola.
“ GUSSSSSSSRAAAK SEEEP,” Berhasil merebut bola , lekas kukirim bola luncur ke Alfred yang berlari ke kiri luar lapangan. Para pemain Thailand menumpuk di kotak penalti kami, mereka tidak siap dengan sebuah serangan balik.
“ FERDINAND LARI VERTICAL!,” teriak Kak Boaz.
Kondisi 2 lawan 2 terjadi di setengah lapangan ; dua penyerang Timnas lawan dua penyerang Thailand.
Alfred memegang bola. Kami telah berlatih situasi yang sama di Norwich. Tidak ada dalam kepala Alfred niatan mengoper bola kepada dua orang striker timnas. Mereka hanya penarik perhatian. Alfred akan mengembalikan bola kepadaku saat pertahanan Thailand tertarik mundur.
“ KAKA…….,” bola kembali kepadaku yang terus berlari kencang. Para pemain Thailand gagal mengejarku.
Sekarang kondisi 3 lawan 2. Kehadiranku yang coming from behind membuat pertahanan Thailand, untuk pertama kalinya, kocar-kacir.
“ GUUUSRAAAAAKKKKK,” seorang pemain Tahiland melakukan sliding tekel berusaha menjatuhkanku. Tekelnya tepat mengenai pergelangan kaki.
“ UUUHHHHHGGGGG,” rasa sakit menjalar. Keseimbangan lari hampir hilang. Tapi bila aku jatuh sekarang, serangan ini berakhir.
Berusaha keras, aku menumpu kaki kanan penuh lalu kaki kiri menyusul lantas berusaha menggerakkan punggung menjaga keseimbangan. Berhasil aku masih berdiri. Sekarang tinggal lanjut berlari sprint ke dalam kotak penalti.
Kak Boaz maupun Bang Ferdinand telah berhasil lolos dari penjagaan. Pergerakan kami membuat Thailand kehilangan konsentrasi.
“TEEEEEPPPP,” bola kulepas
“ SUUUTTT TEEEEPPPP,” Kak Boaz begitu cerdik saat bola mendatanginya bersamaan dengan seorang pemain belakang Thailand, dia mengoper bola balik.
“ TEEEEEEEP,” permainan segi tiga terjadi. Posisiku lowong.
Tidak kusia-siakan ruang kosong ini. Bola kutendang di sudut yang tepat jauh dari jangkauan penjaga gawang.
“ SYUUUUUTTT PLOSSSSS GOOOLLL.”
1-0 INDONESIA.
Akhirnya GOL. Kami bisa memperkecil ketertinggalan.
“ PRRRRRRRRRRRIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTT, “ peluit panjang akhir babak pertama berbunyi.
Kak Chita belum datang. Kemarin ia bilang mau liputan di luar Stadion. Mudah-mudahan nanti dia bisa masuk melihat kami.
SKOR 1-3 – harapan kami makin ada.
***
BABAK KE DUA MENIT 75
Kami menyerang terus dengan penguasaan bola. Kuhitung sudah lebih dari dua puluh sentuhan antar pemain kami lakukan sebelum tiba di kotak penalti Thailand. Nyeri di kakiku semakin menjadi. Berusaha meringsek masuk ke kotak penalti, aku memainkan permainan segi tiga lagi dengan Bang Ferdinand. Pertahanan Thailand terlalu terfokus dengan kedatanganku dari sayap kanan mereka gagal mendeteksi kecepatan Abang satu ini.
“ BUD PASS!,” teriaknya.
“ DUUUGGG,” bola kulepas. “ SUUUUTTTTT,” lanjut berlari kencang.
“ TRAAAAAPPPP”
Tumit Bang Ferdinand mengembalikan bola kepadaku yang telah berlari mendahului dua pemain Thailand. Tinggal satu lawan satu melawan kiper.
Aku bersiap menyarangkan bola.
“ SSSEEETTT BLETAAAAKKKKKK,” sebuah tekel keras bersih menyapu bola dari samping.
“ GUSSSSRAAAAAKKKKKKK,” terguling-guling aku terjatuh mendapat tekel demikian keras.
“ PRIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTT CORNER KICK INDONESIA!,” wasit berteriak.
Masih terjatuh dalam posisi telungkup rasa sakit makin menjadi. Perjuangan dari babak kualifikasi hingga babak final tampaknya harus berakhir sekarang. Kakiku benar-benar tidak dapat lagi berkompromi.
“ COACH…COAAACHHH…,” aku meringis berusaha berdiri. Sakitnya benar-benar nyeri. Tanganku mengangkat tinggi sebagai isyarat minta diganti. Tapi, saat tanganku terangkat, di tribun utama kulihat Kak Chita sudah hadir. Berbaju merah putih ia mengangkat kedua tangannya kepadaku.
Conchita melambai kepadaku dengan kedua tangan mengepal tinggi. Dari bahasa tubuhnya ia terlihat memintaku agar terus berjuang. Kehadiranmu sangat tepat waktu Kak Chita. Saat kaki ini tak mampu lagi melangkah, semoga kedatanganmu dapat memberiku kekuatan.
“ HEI BUDI! KAMU NGAPAIN ANGKAT TANGAN???,” Coach Indera berteriak menuding ke arahku “ ADA APA????,” dia terlihat emosi. Pertandingan memang sedang memasuki fase krusial.
“ AKU MAU AMBIL TENDANGAN SUDUT INI COACH!,” teriakku. Padahal sebelumnya aku sangat ingin diganti tapi kedatangan Kak Chita telah merubah sakit menjadi semangat.
“ AMBILLAH CEPAT!,” Coach Indera berteriak gusar.
Bola kuambil lalu kuletakkan di titik sudut lapangan. Rasanya tak percaya Conchita ada di lapangan. Si cantik kini, kulihat ikut melompat-lompat meneriakkan yel-yel bersama 88.000 orang penonton di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Berlari kecil, kudekati titik sudut bersiap mengambil tendangan ini. Para pemain Timnas Indonesia tengah berjibaku beradu otot dengan pemain Thailand di dalam kotak penalti.
“ DUUG,” bola ditendang “ SYYUUUUTTTT,” lalu melintir di udara.
Tendangan sudut merupakan sebuah teknik dasar yang wajib dikuasai pemain professional. Tendangan sudutku menukik begitu tajam dengan lintasan parabola panjang. Saking tajamnya tukikan bola,semula kulihat bola akan keluar meninggalkan kotak penalti.
Kiper Thailand Kawin Thammasatchanan telah maju jauh dari gawangnya mengira aku akan memberi bola untuk disundul para pemain Timnas. Seperempat luncuran bola dari titik tendang memang memberi kesan demikian, tapi ketika bola memasuki setengah luncuran, ,masih terbang di udara, bola menukik tajam begitu cepat menuju gawang.
Para pemain Thailand berteriak lantang. Tak ada dari kami yang memahami bahasa mereka tapi kami tau mereka berteriak karena tukikan bola bersiap memasuki gawang mereka.
“ SYYYYYYYYYYIIIIIIIIIIT,” bola terus menukik sedangkan kiper telah maju begitu jauh “ PLOOOOOOOOOOSSSSSSSSSSS GOOOOOOOOOOOOOLLLLLLLLLL”
Para pemain Timnas Indonesia sempat terdiam melihat keindahan bola menukik lalu masuk ke jala gawang.
Teriakan penonton meledak di Gelora Bung Karno.
Aku bahkan merasa mendengar suara bom saking kerasnya suara penonton.
SKOR 2-3- satu gol lagi Indonesia.
***
MENIT 88 BABAK KEDUA
Pemain Thailand mulai memeragakan strategi parkir bus. Tiga lapis pemain dari bek hingga striker menumpuk di area pertahanan membentuk pertahanan grendel. Suporter makin riuh meneriakkan yel-yel agar Timnas bisa menembus pertahanan grendel mereka. waktu tinggal sedikit. Seluruh variasi serangan Tim Nasional sudah dikeluarkan tapi membentur tembok tebal.
Satu-satunya harapan terletak pada latihan rutinku bersama Alfred. Kami selalu berlatih latihan menendang di Akademi Sepak Bola Norwich. Tendangan jarak jauh merupakan senjata rahasia para gelandang. Saking seringnya berlatih aku dan Alfred tak perlu bahasa verbal guna menunjukkan kapan senjata rahasia kami harus dikeluarkan.
Sejak babak kedua dimulai tadi, pertahanan Thailand berhasil kubuat pontang panting menghadapi penetrasiku yang berlari acak kadang di sisi kiri lapangan lalu berganti menyusuri sisi kanan.
Selain terus kubombardir, kubuat pikiran mereka terbiasa menghadapi gerakan passing kepada para penyerang. Berulang-ulang pertahanan Thailang melihatku mengirim umpan crossing baik menyusur tanah mengarah menuju Kak Boaz, Kak Tibo atau Bang Ferdinand.
Naluriku kembali mengatakan ; pikiran mereka telah terbiasa hingga mengira serangan kami sekarang akan diakhiri seperti itu. Tapi mereka tidak akan mendapat serangan yang mereka harapkan. Sambil terus berlari kencang melewati penyerang Kraisorn yang kini harus turun membantu pertahanan, aku berhadapan dengan dua pemain Thailand yang lain di sisi kiri pertahanan. Mereka melakukan pengawalan ganda guna menghentikan laju akselerasiku.
“ SEEETTT DUAAAG DUAAAAGGG SEETTTTTTTT”
Berhasil !. Penguasaan bolaku sempurna. Dipepet dua orang, keseimbangan tubuh tetap dapat kujaga sambil meliuk-liuk melewati dua orang lanjut berlari menuju kotak penalti. Melihatku berhasil menerobos masuk, pertahanan Thailand panik. Formasi mereka tertarik. Terlihat ada lubang menganga besar tempat Kak Boaz berdiri. Bagi pemain amatir lowongnya pertahanan Thailand merupakan sebuah peluang emas. Tapi bagiku, ini adalah jebakan murahan. Mereka hendak menjebakku mengoper bola pada Kak Boaz, lantas mengambil bolanya dan memperlambat waktu. Tidak akan kubiarkan.
Alih-alih masuk perangkap mereka, ” DUUUGGGGGGGG,” kutendang bola luncur ke belakang. Sedikit di luar kotak penalti.
Tidak seperti biasanya, bola tidak kuantar masuk ke dalam kotak, tapi kudorong keluar hanya beberapa centi dari kotak penalti. Pertahanan Thailand terbuka lebar. Mereka tertarik ke sisi kiri tempatku melakukan penetrasi. Saat bola kuluncurkan ke tengah, benteng pertahanan mereka sudah terbuka lebar.
“ DUUUUUUUUUUUUUUUUUAAAAAAAAAAAAAAGGGGGG,” Alfred menyepak bola keras.
Alfred, bakat sepak bola asli terbaik dari Papua bertinggi tubuh 188 cm melakukan keahliannya mengesksusi tendangan jarak jauh. Bola volley sepakan Alfred begitu kuat, menggelegar menusuk menuju gawang.
“ SSSSSSYYYYYYYUUT,” Kiper Thailand Kawin Thammasatchanan melompat berusaha menghalau bola. Ia terlalu jauh dan bola begitu kencang. “ PLLLLLLLOSSSSSSSSSSSS GOOOOOOOOOOLLLLLLLLLLLLLLLL”
Barangkali ini adalah gol terindah sepanjang turnamen dan gol ini milik Alfred sahabat baikku. Tiga sama , kami berhasil menyamakan kedudukan.
***
SKOR 3-3 PERTANDINGAN MEMASUKI INJURY TIME 4 MENIT DARI 5 MENIT YANG DITENTUKAN.
“ PRRRRRRRRRRRRRIIIIIIIIIT FREE KICK FOR INDONESIA”
Wasit berteriak lantang saat pemain Thailand kembali menebasku hanya beberapa centi di depan kotak penalti. Tadinya pergerakanku begitu terbatas setelah nyeri di kaki mulai di rasakan. Tapi saat Kak Chita datang nyeri di kaki seolah menghilang. Teriakan dukungannya tentu tak akan terdengar ditelan teriakan puluhan ribu penonton tapi teriakan hatinya yang bersatu dengan ratusan juta hati orang Indonesia terdengar jelas ditelingaku.
Conchita ingin kami menang. Ratusan juta rakyat Indonesia ingin kami menang. Sekarang bola ada padaku yang ditunjuk sebagai eksekutor tendangan bebas. Kak Boaz berdoa khusyuk agar bola tendangan bebasku bisa masuk. Kami sangat menghindari perpanjangan waktu apalagi tendangan penalti. Bahkan andai saja pertandingan memasuki perpanjangan waktu, aku pasti tak sanggup lagi bertahan. Barangkali tubuhku masih sanggup, tapi rekomendasi dokter tak akan memperbolehkanku melanjutkan pertandingan.
“ PRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTT,” wasit meniup peluit agar bola segera ditendang.
Kuhirup nafas panjang bersamaan dengan sunyinya keriuhan penonton. Sama seperti tahun 2010 dimana orang tuaku menahan nafas panjang saat tendangan penalti dilakukan oleh Firman Utina, sekarang pun penonton secara bersama-sama menarik nafas panjang. Pemandangan tubuh pemain Thailand dengan keringat bercucuran dan raut wajah tegang tergambar jelas di hadapan. Pasti mereka tak menyangka Timnas Indonesia bisa mengimbangi Tim Nasional mereka.
Perlu lebih dari tenaga maupun kerja sama Tim guna mengalahkan Thailand. Perlu keyakinan ekstra besar serta cinta di luar nalar manusia untuk mengalahkan mereka. Aku melangkah perlahan besiap menendang bola. Semua perhatian terpusat pada tendanganku ini.
Kata pemain bola legendaris, perbedaan pemain bola hebat dengan pemain bola biasa terletak pada kemampuan mereka menggunakan feeling saat menghadapi situasi sulit. Perasaan para pemain bola hebat akan irama pertandingan akan menuntun mereka membuat sejarah besar.
Aku mengikuti benar tuntunan hati saat menendang bola. Aura percaya diri serta keyakinan tergambar jelas dari raut wajah serta tampilanku. . Pemain Thailand begitu ketakutan melihatku menendang penuh keyakinan. Sepak terjangku selama 90 menit pertandingan khususnya lima belas menit terakhir pasti telah membuat nyali mereka ciut.
“ HAAAAAP,” Hampir semua tembok pertahanan tendangan bebas Thailand melompat naik mengira bola tendanganku akan diarahkan melengkung naik.
Sayangnya mereka salah. Ini adalah pertandingan bola. Pemain yang bisa membuat sesuatu tak terduga pasti bisa membuat gol menentukan. Bergerak di luar perkiraan mereka, aku menendang bola keras menyusur tanah.
“ DUUUUUUAAAAAAAAAAG,” bola tendanganku menyusur deras melewati pemain Thailand yang sudah terlanjur melompat. “TRAAAAAAAAAAAAAAANGGGGGGGGG,” Kiper Kawin Thammasatchanan mati langkah. Ia bahkan tak bisa bergerak. “PLOOOOOOOOOSSSSSSSSSSSS”
HENING SEJENAK.
GOL.
Tak ada yang bisa mempercayainya.
Kemenangan akhirnya jadi milik Indonesia.
Ayah..Ibu..Kakak dan Adik-adikku serta Kak Conchita..kita menang.
Percayakah kalian kita bisa menang??.
Bahkan semua penonton terdiam.
Stadion Utama gelora Bung Karno terdiam tak percaya Timnas bisa menjadi juara lagi setelah tahun 1991.
“ Kuyakin hari ini, kita pasti menang,” jerit batinku sambil berlari lebih dulu meninggalkan Para Pemain Timnas yang masih terbisu..
“ GOOOOOOOOOOOOOOOLLLLLLLLLLLLLLLL DUEEEEEEEEEEEEEEEEEEEERRRRRR”
Akhirnya penonton sadar. ledakan kegembiraan bergemuruh di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
BAB 10
TRIBUN UTAMA STADION UTAMA GELORA BUNG KARNO
Aku datang terlambat kedalam Stadion. Tapi menjadi saksi sebuah antusiasme di luar nalar manusia terjadi sejak dari luar hingga dalam Stadion..
Tidak ada diantara kami yang bisa duduk bahkan di bangku senyaman apa pun di Stadion Utama GBK. Kami semua berdiri, melompat-lompat meneriakkan yel-yel bagi Tim Nasional kebanggaan seluruh rakyat Indonesia.
Saat tendangan penjuru Budi menghujam gawang Thailand kami semua makin histeris.
Pertandingan masih panjang. Timnas masih tertinggal tapi kami tiba-tiba memiliki harapan. Kami semua berteriak makin keras. Saling menyemangati dan melompat-lompat. Aku tak percaya dapat merasakan atmosfer yang begini luar biasa. Atmosfir yang bisa membikin merinding siapa saja.
Kegilaan kami semakin menjadi saat Alfred menyamakan kedudukan. Rasanya saat itu dengan semua perbedaan yang ada diantara kami, semuanya melebur berpadu dalam satu suka cita. Harapan kami selangkah lagi menjadi kenyataan.
Aku ikut membisu. Menarik napas panjang kala Budi mengambil tendangan bebas pada masa injury time. Deru nafas berbalut doa yang sungguh-sungguh diucapkan mengharap pertolongan Sang Pencipta pada kaki Budi dipanjatkan ratusan juta orang .
“ PLOOSSSSSSSSSSSSS”
Tanganku terkepal. Jantungku berhenti bersama luncuran bola. Saat melihat jelas bola berhasil memasuki gawang, air mataku tumpah. Tanpa alasan jelas aku menangis. Bukan hanya diriku, kulihat ribuan penonton ikut menangis. Kami semua merasakan ekstase yang sama di lapangan sepak bola.
Kami menang.
Adakah yang bisa percaya?? Indonesia bisa menjadi juara??.
Ditengah segala carut marut kisruh sepak bola Nasional. Sempat terkubur akibat ketidak becusan pengurusan sepak bola nasional. Tuhan mengirimkan dua orang pemain ini kepada kami.
Budi dan Alfred. Terima kasih banyak. Hanya itu yang bisa kami ucapkan.
Kami tak ada saat kalian bermandikan keringat di Inggris. Kami alpa saat kalian kelaparan karena Negara tidak mempedulikan sepak terjang kalian di luar negeri. Tapi sekarang kami semua hanya bisa menyampaikan rasa terima kasih yang tulus. Terima kasih karena telah membawa kami menjadi juara.
“ JGEEEEEEEEEEEEEEER GOOOOOOOOOOOOOOOOOOLLLLLLLLLLLLLLL”
Stadion meledak saat kami semua sadar Budi berhasil mencetak gol.
Waktu sudah habis.
Kami menang.
Budi berlari pertama kali menuju tempatku berada. Ia membuka kaos Timnasnya, dari jauh Budi menunjuk-nunjuk tulisan di kaos putih yang dikenakan di balik baju Tim Nasional. Aku tak sanggup membaca. Tulisan itu begitu kecil.
Budi terus menunjuk-nunjuk agar aku melihat tulisan di kaosnya. Meski sudah cukup dekat aku belum bisa membacanya. Menyadari kesulitanku, Budi berlari menuju Video kamera Stadion lalu menunjuk-nunjuk kaosnya.
Apa Budi?? apa yang hendak kau katakan?? maafkan aku tapi tulisan itu begitu kecil.
Pemain Timnas yang lain berhasil mengejar Budi. Mereka segara berguling-guling merayakan kemenangan.
“ CONCHITA!….CONCHITA!…CONCHITA!…CONCHITA…!”
“ CONCHITA!…CONCHITA!…CONCHITA!…CONCHITA!…”
Tiba-tiba puluhan ribu supporter meneriakkan namaku.
Aku bingung apa maksud penonton???.
Kenapa bukan para pemain Timnas yang mereka elu-elukan??. Kenapa justru namaku??.
“ Chit…,” Jodi menarik bajuku. Dia juga terlihat menangis gembira. “ LIhatlah layar lebar!.”
Aku melihat layar lebar dan langsung terdiam.
Layar lebar menampilkan gerakan lambat beserta zoom in dari adegan Budi yang tadi mengangkat kaos serta menunjuk-nunjuk tulisan di dada. Tulisan itu tergambar jelas kini dalam ukuran besar.
Pertahananku runtuh. Mataku berkaca-kaca ditengah pekik penonton yang terus meneriakkan namaku. Kamera Stadion telah berhasil mendapatkan posisiku lantas menyorotnya lalu mengangkatnya ke layar lebar. Sekarang seluruh penonton di stadion dan di rumah bisa menyaksikan wajah Conchita Caroline yang di zoom in sedang bercucuran air mata akibat rasa haru bercampur bahagia.
“ CONCHITA!..CONCHITA!…CONCHITA.!.,” wajahku yang terpampang layar lebar membuat penonton makin nyaring berteriak dalam suka cita.
Berusaha keras aku agar tetap sadar. Seluruh tubuh termasuk kakiku rasanya nyaris pingsan melihat tulisan di kaos Budi yang ditunjukkannya dihadapan kami semua barusan.
“ I love u too Budi,” akhirnya aku bisa menguatkan hati menjawab pernyataan cintanya kemarin. Meski ia tak bisa mendengar semoga hatinya bisa merasakan aku membalas cintanya.
Wanita mana yang sanggup menerima persembahan sedemikan indah dari seorang laki-laki??.
Wanita mana yang tidak menangis haru saat membaca kata-kata tulus yang dipersembahkan kepada seorang wanita yang dicintainya di hadapan 88.000 pasang mata di Stadion GBK dan ratusan juta orang lainnya yang menonton di televisi??.
Wanita mana yang bisa bertahan tak membalas pernyataan cinta yang pernah diutarakannya saat melihat tulisan di kaos Budi yang merupakan persembahan golnya, persembahan kemenangannya, dan persembahan seluruh perjuangannya selama ini. Tulisan dikaosnya yang membuatku merinding terselimuti oleh keindahan keagungan cinta dan disorot oleh seluruh mata orang Indonesia berbunyi ;
“ THIS IS FOR CONCHITA.”
***
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar