Minggu, 29 November 2015

Cerita Dewasa Artis Sheryl Shanafia 2

Esoknya kami bercinta untuk terakhir kalinya. Ya, pagi itu kami melakukan satu ronde yang penuh makna. Bahkan kami melakukannya dengan rasa kerinduan yang mendalam. Sebab kami sudah berjanji tidak akan bertemu sampai kami siap untuk bertemu lagi. Posisi kami saat ini adalah Sheryl bertumpu pada ranjangku dan aku berada di belakangnya. Gerakan maju mundur konstan yang tak kupercepat juga tak kulambatkan. Kami sama-sama menikmati tapi dalam hati rasanya kami sedih. Bahkan aku tak ingin orgasme itu datang, tapi akhirnya datang juga karena Sheryl menginginkannya. Pancutan-pancutan air mani yang deras kembali membasahi ruang rahimnya.

Sebuah kecupan perpisahan pun terucap pagi itu saat aku menurunkan dia tepat di depan rumahnya. Sheryl Sheinafia dengan gitar kesayangannya telah kuturunkan. Dan kini aku bekerja keras. Sebuah tanda cinta sudah kuberikan kepada dia walaupun sebagian orang akan menganggap tanda cinta itu absurd. Tentu saja, hilangnya keperawanannya adalah sebuah tanda cinta bukan? Tapi yang paling membekas adalah tanda cinta yang ia berikan kepadaku. Sulit hilang, karena sudah terukir di dalam hatiku.



Tahun 2019......

Aku sudah tidak lagi berhubungan dengan Sheryl saat terakhir kali kita bertemu. Walaupun aku tiap saat melihatnya di televisi. Walaupun hati ini bergemuruh, tapi kami sudah mengikat sebuah janji yang tidak akan pernah dimengerti bagi siapapun betapa janji ini akan aku jaga. Kini aku sudah menerbitkan banyak novel. Lebih dari sepuluh. Lima diantaranya best seller. Aku bukannya lupa terhadap janjiku, tapi aku tak punya keberanian.

Dalam diri seorang laki-laki terkadang ada rasa pengecut. Aku bahkan sampai mengutuki diriku sendiri karena itu. Di sisi lain ketika suatu saat aku melihat acara infotainment di mana Sheryl menunjukkan koleksi bukunya, dia benar-benar mengoleksi semua buku tulisanku. Bahkan dia mengatakan sangat ngefans denganku. Aku pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak mendengar. Tapi sebenarnya aku pengecut. Aku menilai diriku belum pantas untuk mendapatkannya. Namun ini sudah menjadi takdir.

Di sebuah expo, aku menjadi bintang tamu. Banyak pengunjung yang hadir waktu itu. Seminar bedah buku novel terbaruku. Judulnya “Secangkir Kopi dan Hujan”. Buku ini menceritakan pengalamanku, pengalaman hidupku selama ini. Setelah menjelaskan isi bukunya dan kujelaskan secara singkat, akhirnya kami sampai kepada sesi tanya jawab.

Moderator kemudian bertanya, “Ada pertanyaan? Sebutkan nama dulu, baru pertanyaan. Yak, mbak yang pakai topi merah?”

Seseorang mengangkat tangan. Dia seorang perempuan memakai jaket jeans dan topi berwarna merah. Kalau saja dia tidak menyebutkan nama, mungkin aku tidak akan terkejut.

“Nama saya Sheryl Sheinafia. Saya ingin bertanya tentang wanita yang ada di novel ini,” kata perempuan itu. Aku langsung mengenali suaranya.

“Y-ya, silakan,” aku gugup. Antara senang, takut dan rindu. Dia Sheryl!

Dia tersenyum kepadaku, “Apakah Anda sangat mencintainya?”

“Sangat,” jawabku.

“Seandainya sesuatu terjadi kepadanya dan dia melupakan Anda, apakah Anda akan tetap mencintainya?” tanyanya lagi.

“Aku akan tetap mencintai dia,” kataku.

“Lalu tentang janji yang Anda tulis apakah Anda sudah menepatinya?” suara Sheryl tampak gemetar. Aku tahu ia menahan tangis di sana. Maafkan aku Sher.

“Aku takut untuk bertemu dengannya. Karena lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Bisa saja dia berubah, bisa saja dia sudah bersama orang lain dan aku tak ingin merusaknya,” kataku.

“Tapi bagaimana jika wanita itu tetap menjaga janji itu? Apakah Anda mau menemuinya?”

Tanganku gemetar memegang mic, “Ya, aku akan menemuinya.”

“Lalu kenapa Anda tidak menemuinya?”

“Empat tahun aku tak menemuinya, banyak hal yang membuatku takut. Banyak hal yang membuatku gelisah. Aku sendiri masih bertanya-tanya apakah aku benar-benar menjadi seorang lelaki yang pantas untuknya, aku pun berpikir berkali-kali, andainya dia tahu keadaanku sekarang apakah dia akan memaafkanku seandainya aku takut untuk bertemu dengannya.”

“Kalau misalnya wanita itu berusaha selama ini mengikuti Anda, lalu pada saat ini baru bertemu dengan Anda menagih janji kalian, kira-kira apa yang akan Anda lakukan?”

Aku mengusap air mataku yang keluar. “Aku akan memeluknya dan aku tak akan melepaskannya lagi.”Aku segera turun dari panggung menuju ke arahnya. Semua mata tertuju ke arahku. Tangis Sheryl pecah. Kupeluk dia. “Maafkan aku. Maafkan aku.”


* * *



Hujan di sore hari tanggal 4 Desember 2019. Secangkir kopi terseduh di atas meja. Hujan sudah mengguyur ibu kota sejak tadi siang. Aku sendiri ragu Sheryl akan datang di hujan seperti ini. Aku memutar-mutar kotak cincin berwarna hitam. Kulihat Sheryl datang juga dengan baju kemeja putih bergaris hitam. Dia duduk di depanku.

“Hei, sudah lama?” tanyanya.

“Lumayan, tapi untukmu aku akan menunggu sampai kapan pun,” jawabku.

Dia membaca-baca buku menu yang berada di meja. Acara makan malam, candle light dinner yang kurencanakan untuknya, sangat spesial.

“Hari ini sungguh pas, ditemani secangkir kopi dan hujan,” kataku.

Dia menoleh keluar, ke arah hujan yang mengguyur. “Iya, sangat pas. Rasanya aku ingin hujan-hujan lagi.”

Aku menggenggam tangannya. Dia menoleh kepadaku, agak terkejut ketika aku memakaikan sebuah cincin di jari manisnya. Untuk sesaat dia kaget.

Happy Birthday dan.... will you marry me?” tanyaku.

Sheryl tertawa.

“Hei, aku serius kamu malah ketawa?” gerutuku.

You talk too much. Tentu saja aku mau. Yes, I Will,” katanya.




~ o The End o ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar