Jumat, 06 November 2015

Cerita Dewasa Pemain Bola Indonesia 1

Yth, Para Sesepuh Forum, Panitia Penyelenggara LKTCP 2015, Dewan Juri LKTCP 2015, Para Pembaca Budiman, Para Kontestan LKTCP 2015, Para Legenda, Para Maestro, Para Suhu, Para Agan, Para Silent Reader hingga para pembaca yang tidak bisa ane sebutkan satu per satu.

Pertama-tama dengan penuh kerendahan hati, ane mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memperkenankan ane mengikuti Event LKTCP 2015. Sebagai penulis pemula dengan karya unyu-unyu seperti ane diberi kesempatan mengikuti perlombaan akbar merupakan sebuah kehormatan besar.

Perlu juga kiranya ane menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pemeran dalam kisah ane ini yang 98 persen diantaranya merupakan tokoh nyata. Maafkanlah ane bila karya ini dianggap menyinggung para Publik Figure terkenal dari dunia nyata disekitar kita.

Selanjutnya, ane juga mengucapkan permohonan maaf bila karya ane ini dirasakan jauh dari sebuah karya tulis yang layak dibaca oleh para pembaca sekalian. Sejak awal niat ane menulis karya ini hanyalah untuk mengalahkan diri ane sendiri. Bukan pada tempatnya karya ini bisa bersaing dengan karya Para Maestro Legendaris yang telah menelurkan karya bersejarah pada situs kita tercinta ini. Tapi karya ini merupakan keberhasilan ane mengatasi rintangan dari dalam diri sendiri kemudian berhasil menyelesaikan sebuah cerita tepat pada waktunya.

Apabila terdapat kesamaan tokoh, alur, maupun adegan dengan Para Kontestan sekalian ane mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Yang pasti karya ini dibuat bukan untuk menyinggung siapa-siapa, hanya sebuah karya sederhana yang ditulis dari lubuk hati ane yang paling dalam.

Akhirnya ane mengucapakan banyak terima kasih kepada Para Pembaca yang berkenan mampir meluangkan waktu untuk membaca karya sederhana ane ini. Semoga kita semua dapat mendapatkan manfaat yang terbaik dari penyelenggaraan even LKTCP 2015.

Salam Hormat

John Robert



Hanya Dengan Hati Orang Bisa Melihat Secara Benar Yang Esensial Tak Terlihat Oleh Mata”

Conchita Caroline

THIS IS FOR CONCHITA

BAB 1

5 JULI 2016, Norwich - Inggris

“ Mitra Sepak bola, Pencabutan sanksi FIFA bagi Tim Nasional Indonesia dilakukan kemarin malam oleh Sekjen FIFA Sep Blater di Jenewa. Kabar baik ini tentu langsung disambut dengan suka cita oleh seluruh penggemar sepak bola tanah air, apalagi pada bulan November mendatang akan diselenggarakan perhelatan turnamen sepak bola terbesar Asia Tenggara yaitu Piala AFF di Myanmar dan Filipina…..”

Presenter olah raga di televisi lokal Indonesia sedang membacakan sebuah berita baik. Sanksi FIFA bagi Sepak Bola Nasional akhirnya berakhir. Ratusan juta penggemar bola di tanah air dapat kembali menyaksikan penampilan Kesebelasan Nasional kebanggaan mereka.

Masih terngiang jelas dalam ingatanku, peristiwa pada tanggal 29 desember 2010 silam. Saat itu usiaku baru menginjak 14 tahun. Kedua orang tuaku mengajak seluruh anggota keluarga menyaksikan pertandingan final kedua Piala Suzuki AFF 2010. Bukan Final yang ideal bagi Indonesia, kami sudah ketinggalan 3-0 saat bertanding di Stadion Bukit Jalil. Kebetulan akhir tahun merupakan saat libur bagi para pesepak bola di Akademi Inggris, aku dapat pulang ke tanah air khusus hanya untuk menyaksikan perhelatan akbar Piala AFF.

“ Indonesia pasti bisa membalikkan keadaan! KITA AKAN MENANG 5-0,” teriak semangat ayah di tengah ribuan orang supporter yang tengah antre tiket memasuki Stadion Bung Karno.

“ HIDUP INDONESIA,” ribuan orang bersamaan berteriak menyambut teriakan ayah.

GARUDA DI DADAKU
GARUDA KEBANGGAANKU
KU YAKIN HARI INI PASTI MENANG

Lautan manusia menyanyikan bait lagu yang sama. Begitu selanjutnya, berulang-ulang, terus menerus. Kami semua bagai tersihir dengan irama penuh semangat, perpaduan harapan bertahun-tahun menjadi juara.

Irama lagu Garuda Di Dadaku terus kami nyanyikan hingga memasuki Stadion. Kami tidak berhenti bernyanyi hingga suara seorang pembawa acara mengumumkan akan dinyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Tanpa harus dikomando kami semua berdiri penuh hormat bersiap mendengarkan Lagu Sakral yang sebentar lagi berkumandang. Layar raksaksa di salah satu sudut stadion mulai menampilkan wajah-wajah pemain Timnas kebanggaan kami.

INDONESIA TANAH AIRKU
TANAH TUMPAH DARAHKU
DISANALAH AKU BERDIRI
JADI PANDU IBUKU

Aku tidak pernah menyaksikan Ayah menangis saat menyaksikan lagu Indonesia raya, tapi saat itu Beliau mencucurkan air mata. Kami sekeluarga menjadi saksi, bagaimana para supporter Timnas sangat mencintai Tim nasional. Mereka rela berkorban apa saja demi bisa datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno dan mereka siap menantikan momen bersejarah yang akan tiba sebentar lagi.

“ KUYAKIN HARI INI PASTI MENANG…..PASTI MENANG!.”

Yel-yel supporter terus berkumandang hingga peluit panjang berbunyi tanda pertandingan dimulai.

Timnas Indonesia langsung memperagakan sepak bola menyerang.

Optimisme kami semakin meninggi seiring pertandingan berlangsung. Menit demi menit berlalu, Timnas terus menekan Malaysia. Pemain kita berhasil membuat mereka menderita dengan sepak bola menyerang. Firman Utina, Irfan Bachdim, Octo Maniani, Cristian Gonzales hingga Muhammad Nasuha mengejar bola di setiap jengkal lapangan.

Mereka mengejar bola seperti tidak ada lagi hari esok. Ketika berhasil merebut bola, mereka langsung memborbardir pertahanan Malaysia. Kiper Malaysia, Khairul Fahmi benar-benar dibuat jatuh bangun oleh serangan Timnas.

Kondisi tribun penonton makin riuh. Kami makin lantang meneriakkan Yel-yel. Tidak sedetik pun, kala itu, kami meragukan lirik lagu yang dengan optimis mengatakan ; HARI INI, KITA PASTI MENANG.

“ MENANG PAK…KITA MENANG….KITA DAPAT PENALTI!.”

Aku berteriak menarik baju Ayah yang terus berjingkrak-jingkrak kegirangan. Indonesia mendapat tendangan penalti. Seorang pemain Malaysia melakukan hands ball di dalam kotak penalti. Seluruh stadion bergemuruh.

Lebih dari 88.000 orang memenuhi kapasitas Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kami semua memiliki kesamaan pikiran ; sekarang satu gol, habis ini kita bikin lagi, lalu lagi dan lagi.

“ Nak, kamu lihat cara Firman nendang! nanti kamu terapkan dalam latihanmu di Norwich,” ujar ayah keras.

Firman Utina maju sebagai eksekutor.

Tatapan wajah Firman di layar raksaksa menampilkan raut percaya diri.

Pada saat itu, di kaki Firman Utinalah, aku, beserta semua orang Indonesia menggantungkan harapan. Seluruh isi stadion bahkan sama-sama menarik nafas panjang kala Firman mulai maju melakukan penalti.

Ayah sudah menaikkan tangannya ke udara bersiap merayakan gol bahkan sebelum Firman menendang bola.

“ Pemirsa kita doakan bersama semoga Firman Utina dapat menyelesaikan tendangan penalti….,” seorang penonton menyalakan radio yang menyiarkan secara langsung pertandingan dari aplikasi ponsel.

“ FIRMAN UTINA…..,” pekik penyiar radio mengiringi loncatan kami semua dari bangku Stadion. Kami sangat yakin penalti ini pasti masuk.

“ AAAAAAAAAAAAAAAH GAGAL……..”

“HHHAAAAAAGHHHHH……”

Kami semua diam. Banyak makian terdengar. Firman Utina gagal.

Tangan Ayah mengepal di udara, Beliau tetap bersiap merayakan gol tapi wajah pucat Beliau menunjukkan gol yang dinantinya tak akan tiba. Wajah optimisnya telah kehilangan harapan. Sebenarnya kami belum kalah, namun kegagalan penalti Firman secara perlahan mengantarkan kami kalah lebih cepat.

“ MALAYSIA MENYERANG…..SAFEEE SALI GOLLLLLLLLLLLLLLLLL!.”

Kesedihan kami menjadi. Ayah menutup wajah kala Malaysia akhirnya membuat Gol lebih dulu. Seluruh harapannya menyaksikan sebuah gelar bagi Timnas Indonesia pupus sudah.

“ Nak….,” katanya sambil memegang lenganku “ Ayah salah!Kamu tidak usah belajar dari mereka! Mereka payah! Berusahalah keras berlatih di tanah Inggris, lalu bawa kemari ilmunya untuk memenangkan Timnas Indonesia!,” pesannya berurai air mata.

Momen menyedihkan bagi kehidupan keluarga kami tiba-tiba hadir kembali kala penyiar berita cantik di televisi membacakan berita. Apakah dengan pencabutan sanksi berarti prestasi bagi Sepak Bola Nasional??.

“ Pelatih Indera Syafrie…..,” presenter melanjutkan “… yang kini ditunjuk menjadi pelatih Timnas Senior menyatakan akan fokus menggunakan potensi pemain muda Indonesia. Mantan pelatih Timnas U-19 yang sebelumnya melatih Bali United ini juga menegaskan akan memanggil kembali bakat-bakat asli Indonesia yang kini tengah berlatih di Klub-Klub luar negeri.”

“ Biiing Binggg Binggg….,” Bunyi ponsel mengalihkan perhatianku dari layar televisi. Sebuah nama tertera di layar ponsel.

COACH ABDURRAHMAN

Nama pelatih waktu kami berlaga di Liga Danone U-10 tahun. Pasti ada yang penting dari telponnya sekarang. Apalagi Beliau sampai rela menelpon mantan anak didiknya yang sekarang tengah berada di luar negeri.

“ Halo Coach apa kabar lama tak jumpa??.”

“ Budi ini Coach Indera Syafrie menggunakan nomernya Coach Abdurrahman, Beliau sekarang bertindak sebagai Asistenku di Timnas.”

Mendengar nama Coach Indera membuatku mengalami déjà vu. Baru saja aku mendengarnya dari siaran televisi, sekarang Beliau sudah menelpon.

“ Iya…Coach Indera…sangat mengejutkan Coach ..ada yang bisa saya bantu??.”

“ Kamu, sama Alfred saya panggil masuk Timnas! bersiaplah kalian akan berlaga di Piala AFF!.”

“ Iya Coach, siap! kami siap membela Timnas Indonesia.”

Tanganku masih bergetar saat telpon ditutup. Mendengar panggilan masuk ke Tim Nasional membuat sebagian jiwa ini begitu tersentuh. Baru kemarin rasanya kami sekeluarga menyaksikan langsung perjuangan Timnas di Stadion GBK, sekarang tampaknya telah tiba giliranku untuk membela Tim Garuda. Mengenakan Simbol Garuda di dada.

Namun sebagian lagi bagian jiwa ini merasa perih karena baru sekarang Negara memperhatikan nasib kami, para putra-putra terbaiknya yang berusaha menjadi pemain bola di luar negeri. Begitu berat perjuangan kami guna beradaptasi dengan kultur sepak bola, bahasa, budaya hingga makanan Negara asing. Kemana mereka semua kala kami kesulitan beradaptasi?? apakah ketika kami berhasil menjadi pemain bola mereka baru datang?? serta merta menawari kami kostum tim Nasional??.

“ Kreeeeekk,” pintu kamar dibuka.

“ Kakak kenapa diam saja??? ada berita apakah???.”

Kedatangan Alfred teman sekamarku membuatku sedikit terkejut.

“ Alfred kamu masuk kamar tidak bisa ketuk pintu lagi kah????.”

Tubuh Alfred begitu tinggi, mencapai 188 cm begitu ideal bagi seorang gelandang bertahan. Berpostur tinggi seperti itu di lapangan Ia begitu kuat. Alfred memiliki kulit hitam khas Papua, di lapangan ia bisa langsung dikenali sebagai bakat sepak bola terbaik Indonesia. Anak Papua akhirnya bisa berbicara di pentas dunia.

“ Ah Kaka kamu yang melamun baru kamu salahkan saya lagi….,” candanya “ada berita apakah Kaka??.”

Senyum di wajahku selalu mengembang bila bicara dengan Alfred. Dia selalu ramah bahkan dalam situasi terburuk sekalipun. Pergulatan batinku tadi bisa disapu dengan ucapan polosnya.

“ Alfred, Coach Tim Nasional Indonesia baru saja telpon. Kita berdua masuk Tim Nasional.”

“ Ah yang benar Kaka??.”

“ Kau senangkah tidak??.”

“ Gimana Alfred tidak senang Kaka??, Alfred bisa main sama Kak Boaz, Kak Manu Wanggai, Kak Tibo, orang-orang andalan semua. Pasti to nanti orang-orang kampong liat Alfred main bola di televisi. Mereka pasti bangga sekali Kaka,” raut muka Alfred menggambarkan harapan tapi juga masih meninggalkan rasa cemas “Tapi masalahnya Kaka.., gimana cara kita ijin ke Coach Neill???.”

Aku memahami kecemasannya. Sepak bola Inggris masih kurang ramah bagi pesepak bola Asia. Walau hingga kini para pemain Asia telah banyak bermain di EPL, media Inggris hanya menganggap satu nama yang pernah bermain secara benar di Liga Mereka. Orang itu bernama Park Ji Sung. Mantan pemain Korea Selatan yang telah memenangkan hampir semua gelar bergengsi bersama Manchester United.

Menghadapi kerasnya perlakuan sepak bola Inggris terhadap pemain Asia, tersebutlah nama Coach Alex Neil pelatih klub Norwich City. Pelatih muda dengan pikiran revolusioner dalam rangka merubah Norwich City, sebuah klub kecil agar bisa bertahan selama mungkin di Liga Utama. Barangkali karena melihat postur tubuh kami yang tinggi kekar, lagi memiliki teknik tinggi, Coach Neill memberi kami kesempatan promosi dari Tim Akademi Junior ke Tim Senior.

Berada di Tim Senior menandakan kesempatan bermain di Liga Utama Inggris tinggal menghitung hari.

“ Besok kita bilang ke Coach di tempat latihan!,” jawabku singkat.

BAB 2

6 JULI 2016 STADION CARROW ROAD - MARKAS NORWICH CITY


“ FUCK OFF!….LOOK YOUR PASSING!…YOU CANNOT GIVE A PASS WITHOUT AWARE OF YOUR TEAMMATE POSITITION!.”

Teriakan pelatih botak berusia muda menggema di seluruh sudut stadion. Alex Neill masih berusia 37 tahun, bagi seorang pelatih di Premier League, ia masih begitu muda. Pada tangan pelatih muda ini, Tim Norwich City berhasil promosi kembali ke kasta tertinggi sepakbola Inggris setelah pada tahun 2014 terdegradasi secara menyakitkan.

“ BUDI, USE YOUR BODY STRENGTH TO KEEP THE BALL..THIS IS ENGLISH PREMIER LEAGUE! WE USE SPEED AND POWER EVERY TIME!.”

Dia meneriakiku begitu lantang memberi intruksi. Aku dan Alfred harus banyak bersyukur. Kami berdua berasal dari Akedemi Junior Sepak Bola Norwich, Coach Neilllah yang mempromosikan kami naik ke Tim Senior untuk bisa mencicipi panasnya persaingan Liga Utama, meski pun kami masih harus dilatih kembali selama tiga bulan ke depan agar bisa mengerti benar sistem permainan Tim Senior.

Tim Senior Norwich City memiliki tiga lapis tim cadangan di Liga Utama. Masing-masing lapis harus bermain sebaik-baiknya agar mengerti sistem permainan. Tak akan ada lagi waktu belajar sistem permainan bila Liga Inggris resmi melakukan Kick Off pertengahan bulan Agustus mendatang.

“ PRIIIITTTTTTTTTT….,” Peluit berbunyi “ OK, TAKE A BREAK!.”

Seluruh pemain berhamburan menyerbu tempat air di pinggir lapangan. Aku Menahan Alfred agar jangan dulu istirahat minum, kami harus segera menemui Coach Alex Neill sebelum ia kembali sibuk berteriak memaki anggota tim atas permainan, yang menurutnya, sangat amburadul.

“ Coach…can we talk to your for a second??.”

Coach Neil memiliki kapala botak dengan kulit putih khas bule Britania. Ia memang berasal dari Scotlandia sehingga sangat fasih dengan budaya Inggris berikut kultur sepakbolanya.

“ Catch your breath first! Budi, Alfred,” jawabnya mempersilahkan kami memulihkan nafas.

“ Thank you….huuhh….huhhhh,” sayangnya meski diberi kesempatan aku memang selalu ngos-ngosan bila tegang menghadapi situasi tertentu “ Mmm Coach.. mmm our National Team called us to joined them to face Asean Footbaal Tournamen in November until Desember.”

Pandangan Coach Neill mendelik. Ia seakan tak percaya.

“ Indonesian National Team?? After all this time???.”

Pertanyaannya membuat kami tertunduk. Hanya Beliau sebagai manajer utama Tim yang tau benar keadaan kami selama ini. Sebagian besar pendanaan kami ketika berlatih ditanggung oleh Akademi Sepak Bola Norwich. Tidak ada sedikit pun perhatian dari Negara selama kami menuntut ilmu sepak bola. Apalagi PSSI mereka bahkan sama sekali tidak tau kalo kami ada.

“ They never care about both of you, ” Coach Neill berkata kesal “ I give opportunity, because I saw potention,” Coach Neill menggunakan telunjuknya menuding wajah kami berdua. Kadang dia tidak suka dengan budaya timur kami yang suka menunduk saat diajak bicara. Tapi dia menghormati budaya itu. Hanya saja Coach Neill akan menudingkan telunjuknya di wajah kami agar kami mengangkat kepala memandangnya saat bicara.

“ And I see both of you want to give work hard for this team,” sekarang ia menepuk punggung kami seperti seorang bapak menepuk punggung anaknya.

“ Two week….,” Coach Neill mengangkat kedua jarinya “ I Just Give two week before the tournament started!, before that, two of you still under my command. I just give you a little time because I want my mildfield formation filled with both of you on januari. Until then, just try hard to understand the game we playing for!”

“ Thank You Coach…terima kasih banyak Bapak…,” Alfred menjawab dengan bahasa Inggris campur Indonesia. Dia memang sering begitu.

“ You’re welcome! Terima kasih kembali!,”Coach Neill menjawab balik dengan bahasa Indonesia kacau beraksen Inggris. Meski keras saat melatih, dia memang memiliki selera humor bagus.

Hanya dua minggu sebelum turnamen.

Itulah waktu kami bergabung dengan Tim Nasional. Bagi kami berdua, masa bodoh dengan sifat apatis pemerintah maupun PSSI. Yang lebih penting adalah Bangsa Indonesia memerlukan kebangaan di Sepak Bola. Ayahku berpesan ; “Kamu tidak usah belajar dari mereka! mereka payah! Berusahalah keras berlatih di tanah Inggris, lalu bawa kemari ilmunya untuk memenangkan Timnas Indonesia!.”

Apa pun perlakuan buruk yang harus kami terima akibat ketidak pedulian Negara kepada kami tidak akan menyurutkan tekad kami membanggakan Sepak bola Nasional.

BAB 3

1 NOVEMBER 2016 - Studio Kompas TV.


“ Chita kamu sudah tau belum ada dua pemain Indonesia yang sekarang sedang bermain di Liga Utama Inggris??.”

Seorang kameramen mendatangiku sambil membawa dua lembar amplop berwarna coklat. Sudah jam 9 malam sekarang, tayangan live Sportainment yang akan kubawakan masih tiga jam lagi. Daripada bosan menunggu, kubuka amplop yang di serahkan kameramen. Lagi pula mendengar dua orang pemain bola Indonesia bermain di Liga Utama Inggris sangatlah menarik.

Masalahnya informasi tentang mereka begitu minim. Sebagai presenter sepak bola yang sangat mengetahui berita bola baik dalam dan luar negeri aku belum pernah sekalipun mendengar tentang mereka.

“ Mmm Norwich City ; sebuah tim kecil di Liga Inggris,” batinku saat membaca profil mereka.

Yang satu bernama Budi, tinggi badan 183 cm ,umur 20 tahun kelahiran 1996 , satu tahun dibawahku. Asli dari Indonesia campuran Ayah Jawa Tengah dan Ibu Jawa Barat, bukan pemain Indo apalagi naturalisasi. Masuk Akademi Sepak Bola Norwich sejak umur 10 tahun. Dilirik pemandu bakat Norwich saat Turnamen Liga Danone U-10 tahun .

Satunya lagi bernama Alfred. Asli Papua. Lagi-lagi bukan pemain Indo apalagi naturalisasi. Tinggi badan 188 cm. Umur 19 tahun kelahiran 1997. Masuk akademi yang sama saat berusia 9 tahun. Sama-sama dilirik pemandu bakat saat Turnamen Liga Danone U-10.

Padahal Timnas sedang kebanjiran pemain naturalisasi, kenapa PSSI tidak pernah melirik mereka sebelumnya??. Padahal saat Evan Dimas dkk sedang Berjaya di U-19 mereka bisa saja diikutsertakan dalam tim sebagai alternative permainan.

“ Ok I’m interest!,” jawabku singkat.

“ Maksudnya loe mau wawancara mereka berdua??,” kameramen begitu antusias.

“ Iya gue mau….bring them to me!.”

“ YESSS!.”

“ Kenapa sih loe antusias banget sama mereka??,” melihat tingkah kemeramen membuatku bingung.

“ Otak loe masih lempeng sih Chit!,” usil dia menunjuk dahiku “ ini peluang buat Kompas TV, asal loe tau ya, dua orang ini memang belum pernah main di Premier League. Tapi sebentar lagi gue yakin.. mereka akan dapat kesempatan.. dan saat itu tiba gue yakin Kompas TV gak bakalan lagi bisa ngundang mereka berdua.”

Membayangkan dua orang asli Indonesia bermain di Liga Utama Inggris saja telah membuat bulu kudukku berdiri. Benar kata Jodi, si kameramen, mereka berdua punya potensi menggegerkan sepak bola tanah air. Hebatnya, publikasi tentang mereka hampir tidak ada.

“ Masalahnya mau gak mereka hadir jam 24 dini hari di acara gue Jod?? gue kan hanya dapat slot malam??.”

“ Beres urusan itu Chit…Agen mereka udah gue hubungi. Besok mereka tiba di Bandara Soetta. Gue sendiri yang bakal jemput lalu bawa mereka bertekuk lutut di hadapan loe!.”

Optimis!. Sifat Ini yang paling aku suka dari Jodi. Dia tidak pernah mengeluh hanya mendapat slot tengah malam saat siaran. Alih-alih mengeluh dia selalu optimis. Baginya besok selalu merupakan hari petualangan baru yang harus dihadapi dengan pikiran terbuka serta penuh rasa riang gembira.

***

21. 30 - 2 NOVEMBER 2016 – TOL DALAM KOTA JAKARTA

Lalu lintas Jakarta macet. Perjalananku dari Karawaci menuju Studio Kompas Tv terasa menjadi perjalanan paling lama di dunia. Barusan aku harus memandu acara pengundian hadiah sebuah Bank Swasta di Super Mall Karawaci. Sekarang, terjebak lalu lintas Ibu Kota aku harus kembali ke Kompas Tv. Jadwal wawancara live tengah malam dengan dua orang pemain Timnas menjadi agenda yang kusambut dengan antusias. Kami seumuran. Anak-anak yang lahir pada periode sama pertengahan tahun 90 an. Bicara dengan anak seumuran pasti seru. Apalagi bila topiknya sepak bola. My favourite.

“ Chit dimana loe sampe sekarang belum sampe studio??,” Jodi menelpon terdengar gelisah.

“ Kejebak macet Jod! lagi pula masih jam setengah sepuluh.”

“ Mereka udah dateng Chit.”

“ Ah seriusan loe Jod??? kenapa loe bawa cepet-cepet mereka ke studio??.”

“ Maunya mereka Chit! katanya supaya persiapannya mateng.”

“ Persiapan apa maksudnya??.”

“ Loe jangan lupa! bisa aja umur mereka masih dibawah loe tapi udah sepuluh tahunan mereka tinggal di Inggris. Mereka disiplin banget Chit! cepatlah loe datang. Jangan bikin gue malu!.”

“ Iya iya! don’t worry bentar lagi juga gue nyampe.”

Dua pria muda dengan usia muda tapi sudah memiliki disiplin begitu tinggi. Prospek wawancara ini terlihat semakin menarik.

***

23.00 STUDIO KOMPAS TV

“ Halo apa kabar?? saya Conchita Caroline host acara malam ini,” sapaku ramah saat akhirnya bisa menemui narasumber. Lalu lintas Jakarta malam ini benar-benar parah. Aku terjebak di tol lebih dari 2 jam.

“ HALO KAKA,” mereka berdua berdiri menjawab bersamaan.

“ Kalian kompakan ya???,” candaku berusaha mencairkan suasana.

“ Iya Kaka…kami sudah tinggal berdua 10 tahun jadi kami sudah satu hati,” yang menjawab pertanyaan adalah pemain tinggi dari Papua. Ia betul-betul tinggi juga tampak begitu kokoh. Lini tengah Indonesia pasti kuat sekali bila ia berada di dalamnya.

“ Kamu Yaya Toure dari Papua ya??,” sapaku bercanda sambil mendangak saat membuka pembicaraan sekalian menjabat tangannya.

“ Ah Kaka salah sekali… saya bukan Yaya Toure! nama saya Alfred. Nama ini Ibu saya yang kasih , Kaka tidak boleh ganti-ganti nama sembarangan….. kalo Kaka ganti-ganti nama terus, saya bisa marah toh..nanti kalo saya marah saya bisa jadi ganas sekali!.”

Wajahku menjadi pucat. Jangan-jangan perkataanku tadi telah menyinggungnya.

“ Bercanda Kak…bercanda….jangan pucat begitu!,” temannya satu lagi yang berkulit putih menepuk bahu Alfred.

“ HA HA HA KAKA KAMU KENA TOH…..HA HA HA…..KAMU PUCAT SAMPE,” Alfred tertawa begitu keras. Dasar! bisa-bisanya mereka mengerjaiku sejak dari pertemuan pertama.

“ Alfred kamu jangan bikin Kaka stress ...kamu minta maaf dulu.. Kak Conchita atas nama Alfred saya minta maaf…..maksudnya kami berdua minta maaf bila kurang sopan.”

Memandang dua orang ini seketika membuatku merasa senang. Malah begitu senang berbalut optimisme tinggi. Teman Alfred yang telah kupelajari bernama Budi ini juga tak kalah gagah dengan tubuh tinggi atletis. Aku sudah mewawancara ratusan pemain bola tapi belum pernah melihat sosok dengan fisik sebagus ini. Lebih jauh lagi belum pernah kulihat pemain bola memiliki wibawa sebesar Budi.

Perasaanku mengatakan Timnas Indonesia bisa betul-betul menjadi kuat dengan kehadiran mereka berdua. Yang lebih membanggakan mereka berdua asli produk dalam negeri.

“ Kamu Budi?? ya kan?,” sapaku kepadanya.

“ Betul Kaka Conchita Caroline…ini Kaka Budi ganteng..masih single….dan Kaka ganteng ini ngefans berat sama Kaka..isi lokernya di Stadion Carrow Road itu Kaka aduuuhh foto Kaka semua…sampe sampe kalo Kaka ini ngigau tuh dia sebut nama Conchita,” Alfred mendahului menjawab pertanyaan.

Duuuuugggg. Budi menyikut temannya keras.

“ Kamu stop tipu Alfred!,” muka Budi bersemu merah.

“ O ya??,” dibuat penasaran nih aku jadinya “ Dapat fotoku dari mana?? emang di Norwich ada yang jual???.”

Budi terdiam sejenak. “ Kak Conchita, sejak melihatmu pertama kali di televisi, kami kan juga punya saluran di Inggris sana yang tayangkan siaran dalam negeri, wajahmu selalu terbayang di hati!.” begitu percaya diri ia merangkai setiap kata dalam kalimatnya hingga membuatku sempat terpana.

“ Ah Kaka sekarang kamu yang stop tipu! kamu madu Kaka ini lagi,” Alfred balas menyikutnya membuat konsentrasi Budi beralih.

Mereka berdua kembali bercanda begitu riuh. Hubungan diantara mereka berdua memang terlihat sudah terjalin begitu erat. Pasti sudah banyak suka duka perjalanan hidup yang telah mereka alami. Sering aku merasa, mewawancarai seorang atlet sama dengan mewawancarai orang yang dipaksa menjadi lebih tua dari usianya.

Aku sempat terpana lalu tersenyum mendengar gombalannya yang meski terdengar murahan tapi menyelipkan ketulusan. Apa benar dia ngefans pada diriku??. Benarkah lemarinya dipenuhi fotoku??. Kami sebagai wanita paling senang mendengar ada pria yang mengagungkan kami seperti itu. Apalagi bila pria itu berwajah tampan dengan wibawa sebesar Budi.

***

24. 15 STUDIO KOMPAS TV

“ Baik pemirsa, perbincangan kita dengan dua pemain Timnas Indonesia masih akan berlanjut setelah pesan-pesan berikut ini..tetap di Sportainment Kompas TV,” ujarku dengan intonasi khas yang telah dikenal banyak pemirsa televisi.

Kedua nara sumber tampak menarik nafas panjang. Mereka tampak tegang. Sekarang giliranku yang harus menertawakan kegugupan mereka yang berbanding terbalik dengan sifat usil saat di ruang tunggu tadi.

“ HAYOOOOO PADA TEGANG YA???????,” ujarku keras berusaha mengagetkan mereka.

Budi tampak paling kaget. Dia bahkan hampir terjatuh dari kursi bila tidak dipegangi Alfred. Aku tertawa terbahak di dalam hati melihat reaksinya.

“ Ah Kak Chita, Kaka bikin kaget saja….,” ujarnya malu.

“ Iyo Kaka, kau usil sekali….,” Alfred menimpali.

“ Ah kalian berdua yang usil duluan baru kalian tegur saya lagi, kalian berdua stop baku tipu sudah!” tanpa kusadari keluar jawaban begitu lucu dari bibirku yang lucunya mengikuti logat bicara mereka berdua.

Budi dan Alfred saling memandang terkejut. Kemudian meraka bersamaan melihat kepadaku, lalu … “ HA HA HA HA,” kami tertawa bersamaan. Perutku sampai sakit terpingkal-pingkal tak sadar bisa-bisanya terbawa oleh narasumberku sendiri. Memang enak berbicara dengan orang seumuran . Kami seperti tersambungkan dengan sebuah koneksi waktu.

***

02.15 STUDIO KOMPAS TV

Acara sudah berakhir satu jam lalu. Tapi kami bertiga masih duduk di ruang siaran. Perbincangan ringan penuh canda tawa selalu mengisi obrolan kami. Belum pernah kurasakan bisa selepas ini dengan narasumber. Sikap ramah mereka benar-benar membuatku nyaman.

“ Alfred???.”

“ Jangan diganggu Kak Chita! dia sudah tidur,” Budi melihat temannya yang tampak duduk dalam posisi menunduk.

“ Sambil duduk??.”

“ Iya Kak, kami habis perjalanan jauh langsung dibawa kemari. Alfred pasti kelelahan.”

Aku baru menyadari mereka berdua, baru saja menempuh perjalanan London – Jakarta lantas lanjut siaran di studio kami. Pasti sangat melelahkan.

“ Maafkan aku ya, sangat asyik ngobrol dengan kalian, aku jadi lupa waktu.”

“ Ah gak apa Kak, aku sendiri sangat senang bisa ngobrol dengan Kak Chita, rasanya seperti mimpi yang jadi kenyataan.”

Perkataannya membuatku kembali tersanjung. Mudah mudahan Budi tak bisa melihat ekspresi wajahku yang tersipu-sipu mendengar perkataannya.

“ Gimana peluang kita di Piala AFF??,” berusaha menyembunyikan wajah, kualihkan topik pembicaraan.

“ Kita akan menang Kak! kujamin!.”

Optimis sekali dia. Jawaban seorang pemimpin di lapangan.

“ Yakin kamu Budi?? Kita gak punya kekuatan lho buat ngalahin Thailand-nya Kiatisuk Senamuang, bahkan buat ngalahin tuan rumah Myanmar aja kayaknya gak akan sanggup,” timpalku mendadak kembali bersemangat. Ekspresi tersipuku tadi mudah mudahan sudah hilang.

“ Ahhh Kak Chita terlalu pesimis,” jawabnya santai.

“ Eit aku gak pesimis Budi, coba kamu jawab, apa bisa hanya dengan memanggil kalian berdua bisa melahirkan perubahan bagi permainan Timnas secara keseluruhan???. Apakah ini bukan cara instan PSSI lainnya dalam menghadapi sebuah turnamen???,” kadang aku mudah terlalu bersemangat saat bicara sepak bola “ Just try to think! it’s to instant right?? I mean the way PSSI to solve the problem?? football isn’t matter of a player but is’t matter of a team.”

Budi menegakkan duduknya tampak tersengat dengan omonganku barusan “ Its true, football is about team play but great player always can change the game.”

“ NTAR..NTAR..NTAR….,” tanpa disadari aku pun tersengat dengan jawabannya “ who is the great player now! you??? they even not know about you???,” tahan Chita kamu sudah kelewatan.

“ Relax! I will made them know me!,” jawab Budi sekarang terdengar lebih santai.

“ How??”

Budi menarik nafas panjang tampak mempersiapkan jawaban “ How???,” kukejar terus dia.

“ With your smile,” jawabnya sambil tersenyum langsung menghentikan detak jantungku.

“ What??,” Jawabannya membuatku detak jantungku begitu berdebar-debar.

“ I will became a great football player in the world with your smile Conchita.”

Si Budi ini benar-benar memiliki pesona luar biasa yang bisa membuat setiap wanita jatuh cinta.

BAB 4

STADION AUNG SAN - PEMBUKAAN PIALA AFF - INDONESIA VS TUAN RUMAH MYANMAR 14 NOVEMBER 2016

“ HIDUPLAH INDONESIA RAYA…….”

Berbeda dengan tahun 2010, Lagu Indonesia Raya hanya dinyanyikan segelintir orang. Tertelan oleh suara puluhan ribu pendukung Timnas Myanmar sebagai tuan rumah. Myanmar adalah kekuatan baru sepak bola Asia Tenggara. Hingga awal tahun 2000, Indonesia selalu mampu mengalahkan mereka dengan angka telak. Sekarang tidak lagi. Kami selalu kalah bila melawan Myanmar.

“ GOOOOOOLLLLL.” Betul kan lagi-lagi kami kesulitan mengalahkan mereka bahkan kebobolan lebih dulu.

1-0 Myanmar. Penyerang Than Paing yang masih berusia 19 tahun mencetak gol cantik membuat seluruh stadion bergemuruh.

“ Budi…Alfred!,” Coach Indera Syafrie berjalan menghampiri kami yang masih duduk santai di bangku cadangan. Kami bukan pemain inti dalam pertandingan ini. Terlihat dari ekspresi wajahnya, Coach Indera menginginkan respon cepat Timnas saat tertinggal gol.

“ Siap-siap kalian turun sebentar lagi!.”

Kami bangkit dari bangku cadangan. Sepatu yang masih terikat longgar segera kukencangkan.

“ Kaka..kamu sudah siap kah??,” Alfred bertanya sambil melakukan perenggangan.

“ Aku sudah siap sejak tahun 2010 lalu Alfred. kau sudah siap??”

Alfred mengepalkan tangannya di udara. Sepuluh tahun kami berlatih setiap hari di Negeri Orang. Setiap hari memakan materi yang itu-itu saja. Tak mungkin kami tidak siap menghadapi hari ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar