Secangkir Kopi dan Hujan
“Biarlah hujan ini menjadi saksi bahwa sampai sekarang aku tetap menunggumu”
bersama
Sheryl Sheinafia (18 thn)
Orang bilang dengan kita minum kopi akan muncul sifat jujur dalam diri kita. Orang bilang juga dengan kita kumpul-kumpul sambil minum kopi maka akan ada kesan hangat bersahabat. Setidaknya itulah yang aku percayai sampai sekarang. Namaku Djaelani, tapi temen-temenku memanggilku DJ (dije). Kadang juga memanggilku Je atau Jay.
Aku seorang seniman, mungkin bisa dibilang begitu. Tapi aku tak bisa disejajarkan dengan Picaso, Michael Angelo ataupun Basuki Abdullah dalam masalah melukis, karena aku bukanlah pelukis. Aku bukan penyanyi, suaraku fals abis. Aku seorang penulis. Paling tidak nantinya aku akan jadi penulis. Itulah cita-citaku. Aku sudah menulis banyak cerita, tapi tak satupun aku terbitkan. Karena kurasa masih kurang, atau mungkin itu hanya alasanku saja bahwa aku memang tidak mampu untuk menerbitkannya. Tapi hidup ini adalah tempat kita untuk bermimpi. Bukankah kalau sudah mati kita tidak bisa lagi bermimpi melainkan melihat kenyataan? Ya, itulah kehidupan. Banyak orang tidak memelihara kehidupan, tidak menjadikan hidupnya lebih hidup, menyia-nyiakan hidup yang cuma sekali hanya untuk gengsi, hanya untuk merusak jati diri. Hingga akhirnya ketika semuanya sudah terlanjur rusak, musnahlah segala hal yang telah mereka bangun dari awal.
Aku nggak suka merokok. Benda itu sudah aku tinggalkan dua tahun yang lalu gara-gara aku terkena radang paru-paru. Pengobatannya membuatku benar-benar tersiksa sampai paru-paruku disedot airnya karena aku kena paru-paru basah. Akhirnya, kemana-mana aku selalu menghindar kalau ada asap rokok. Paling tidak mengingatkan orang agar tidak seperti aku.
Mencari kerja? Kerja apa? Aku hanya lulusan SMA, kuliahku putus. Dan aku, kerja serabutan. Setidaknya aku bisa makan tiap hari. Mulai jadi tukang ojek sampai jadi kuli bangunan aku lakuin, itu semua hanya agar aku bisa menikmati secangkir kopi di sebuah kafe langgananku di salah satu sudut kota ini.
Kedua orang tuaku sebenarnya cukup berada. Tapi aku minder di usiaku yang sudah 22 tahun ini koq masih belum punya pekerjaan. Tiap hari aku pulang, makan dan tidur. Kalau ada rejeki aku berikan uang itu semuanya ke orang tuaku, sisanya buatku. Pernah aku diterima di salah satu pabrik. Tapi karena kondisiku yang lemah akibat penyakit paru-paruku, aku pun tak bisa melanjutkannya. Sayang sekali. Dan kali ini aku hanya melakukan pekerjaan yang membuatku senang, menulis. Setiap saat aku mengupdate blog-ku. Aku juga menulis novel, beberapa sudah kukirim ke penerbit. Entah aku nulis novel yang ke berapa kali ini.
Kafe tempat aku minum kopi ini bernama “Chocholate”. Seperti namanya, maka di sini juga ada menu-menu coklat. Tapi aku lebih suka kopi, kalau punya uang berlebih saja aku kemudian memesan coklat panas atau mungkin chocholate magma cake kesukaanku.
Seorang cewek berambut panjang memakai kaos warna-warni dengan topi berwarna orange masuk ke kafe sambil membawa gitar. Wajahnya menarik, manis, dengan rambutnya yang panjang. Aku terus melihatnya karena dia memang enak untuk dilihat. Wajahnya bersahabat. Mungkin sifatnya juga bersahabat. Duduknya ada di seberangku. Dia sekilas menatapku yang memperhatikannya. Aku tersenyum kepadanya, dia membalas senyumanku. Baiklah, kutaksir dia masih berusia belasan. Baru kali ini aku melihat cewek seperti dia. Ah, dasar lo Je. Lihat cewek cakep pasti akan bilang baru kali ini. Ingat tuh, mantan-mantan lo banyak juga.
Aku hanya menghela nafas. Oke dia cakep, tapi aku tak punya keberanian untuk bisa menyapanya. Dia seperti pengunjung kafe yang lain dari mulai anak sekolah sampai anak perkuliahan yang singgah di kafe ini. Mungkin setelah ia selesai urusannya ia akan pergi.
Aku ingin kau tahu perasanku
Melewati semua tanpamu di sini
Kadang ku menyesal, ku merasa hampa
Membiarkanmu pergi meninggalkanku sendiri
Wah, dia mulai memainkan gitarnya. Dia menyanyi! Untuk sesaat aku membiarkan laptopku dan mendengarkan suaranya yang indah. Aku sepertinya pernah mengenal lagu ini.
Meski ku merasa sepi
Tapi ku tahu kamu sedang bahagia ooh
Rasa sunyi tolonglah kau pergi
Jangan kau kembali
Rasa sunyi tolonglah jangan menghantui
Ku ingin kau berhenti membuatku sedih
Ingin rasanya aku dengar suaramu
Hanya tuk sekedar redakan rinduku
Meski ku merasa sepi
Tapi ku tahu kamu sedang bahagia ooh
Rasa sunyi tolonglah kau pergi
Jangan kau kembali
Rasa sunyi tolonglah jangan menghantui
Ku ingin kau berhenti membuatku sedih
Rasa sunyi tolonglah kau pergi
Jangan kau kembali (jangan kembali)
Rasa sunyi tolonglah jangan menghantui
Ku ingin kau berhenti membuatku sedih
Setelah ia berhenti tepuk tangan pun membahana di ruangan kafe ini. Termasuk aku. Sebenarnya pengunjung kafe ini hanya ada aku dan dia saja. Yang lainnya adalah para pelayan. Memang suasana hari ini sepi. Mungkin cuaca yang mendung di luar sana.
“Terima kasih,” katanya.
“Dek Sheryl, mau pesan apa?” tanya pelayan kafe. Bukan deh, dia ini Pak Wawan pemilik kafe ini. Aku kenal baik dengan si bapak.
“Coklat panas boleh,” jawabnya.
“Segera datang,” kata Pak Wawan.
Melihatku yang terus melihatnya ia pun berdiri, pindah ke mejaku. Aku tentu saja terkejut. Seperti orang bego aku semakin bengong melihat dia tersenyum kepadaku.
“Kenapa mas?” tanyanya.
“Eh, nggak apa-apa,” jawabku.
“Sendirian saja masnya?” tanyanya lagi.
“Begitulah,” jawabku.
“Lagi ngapain mas?” tanyanya.
“Lagi nulis.”
“Nulis apa?”
“Mau tahu aja.”
“Boleh lihat?”
“Nggak. Apaan sih?”
“Mas tahu siapa saya?”
“Nggak. Tapi lagunya nggak asing deh.”
“Beneran nggak kenal?”
“Emang kamu artis?”
“Ehmm... entahlah, menurut mas?”
“Kalau toh artis gue juga nggak bakal kenal. Gue bukan orang yang selalu melihat infotainment seperti orang kebanyakan. Di otak gue cuma ada kopi dan naskah.”
“Oh, masnya penulis ya? Sudah nerbitin buku?”
“Belom.”
Dia tersenyum kepadaku sambil menopang dagu.
“Ada apa?” tanyaku penasaran.
“Gue penasaran aja, kenapa ada cowok ganteng di sini sendirian. Lagipula gue nggak suka kalau satu meja nggak ditemeni. Masih jomblo?” tanyanya balik.
“Masih, kenapa? Naksir?”
“Sembarangan. Nggak level yah.”
Aku mencibirnya. Kembali aku mengetik. Eh, sebentar mengetik apa? Aku kan ke kafe ini untuk cari ide. Hilang deh ideku. Aku menutup wajahku dan mengusapnya.
“Kenapa mas?”
“Kamu ini dari tadi tanya melulu,” kataku.
“Hahahahaha, maaf,” katanya.
“Ini dia coklat panas,” kata Pak Wawan sambil menaruh secangkir coklat panas pesenan Sheryl di mejaku.
“Kenal ama DJ?” tanya Pak Wawan ke Sheryl.
“Kami barusan kenal,” jawab Sheryl.
“Oh, baiklah. Selamat menikmati,” kata Pak Wawan meninggalkan kami.
Sheryl mengulurkan tangannya kepadaku. “Sheryl Sheinafia.”
Aku menjabat tangannya, “DJ”
“DJ? Kepanjangannya apa?” tanyanya.
Tangannya halus. Tapi aku buru-buru melepaskannya, “DJ bukan singkatan, tapi nama gue Djaelani, pakai ejaan lama. Dan teman-teman gue memanggilku DJ.”
“Oh hahahahaha,” ketawa lagi ni anak. Lama-lama senewen aku deket-deket ama dia. “Ampun Dijeeee”
Ya gurauan itu selalu aku dengar. “Ampun Dije” seolah-olah orang yang bernama DJ pasti salah, punya kuasa, powerful yang bahkan aku sendiri tak punya kekuatan seperti itu. Tapi cara Sheryl menyampaikannya membuatku sadar, terkadang namaku jadi bahan olokan secara tak langsung. Ayahku memang orang yang nyentrik, tapi usaha kenyentrikannya sudah tidak bisa aku lihat lagi. Bisnis menjual makanan ringan ditekuninya sekarang dengan ibuku yang membantu. Sebuah toko kecil menjadi satu-satunya sumber penghasilan kami. Aku, adikku dan kedua orang tuaku tentu saja.
Hujan pun datang dengan jutaan tetesan air tawar yang membasahi bumi. Beberapa talang air menampung air pemberian ilahi ini dan menyalurkannya ke tanah. Jalanan basah, rembesan-rembesan air pun bagai laksana sebuah rejeki yang tak pernah ditolak oleh bumi. Aku suka hujan, terlebih aroma tanah yang secara lugu menggelitik hidungku. Bayang-bayang tetesan air yang meninggalkan jejaknya di kaca kafe membuatku tertegun, karena membentuk sebuah jejak yang berangsur menghilang seiring hembusan udara yang mengeringkannya. Kopiku mulai dingin saat aku sudah menikmati masa-masa aku menulis lagi. Sementara itu Sheryl lebih konsentrasi memainkan gitarnya, mencatat chord, membuat sya'ir. Lagu baru mungkin. Aku tak pernah tahu lagu-lagunya, aku juga tak pernah tahu kalau dia ini artis. Artis yang humble mungkin mau dekat-dekat orang dekil seperti aku.
“Mau buat lagu baru?” kuberanikan diri untuk menyeletuk.
Dia menatapku. “Mau tahu aja.”
“Boleh nebak?” tanyaku.
“Apaan?”
“Elo ini orang yang esktrovert.”
“Sok tahu”
“Buktinya dari sya'ir lagu lo, lo nggak suka dengan sesuatu yang sunyi. Sedangkan orang introvert adalah orang yang suka dengan kesunyian.”
Sheryl tersenyum kepadaku.
“Gue juga bisa tahu kamu seorang ekstrovert ketika lo tidak mau duduk sendirian dan lebih memilih bersama gue. Biar kutebak lagi, lo tidak suka film horror, karena....”
“Orang ekstrovert tidak suka film horror,” selanya. Kami pun tertawa. “Sok tahu, tapi bener sih.”
“Ngomong-ngomong, gue tertarik dengan lagu lo itu. Mau gue tuliskan sebuah kisah?”
“Kisah? Kisah apa?”
“Entahlah, coba lo yang pilihkan untukku, kisah apa yang paling menarik?”
“Ehmm... apa ya? Gue tak pernah mengetahui kisah baik dan buruk. Gue hanya tahu kunci nada, gue hanya tahu nada mayor dan minor. Kalau engkau tanya tentang romansa dan kisah-kisah picisan, gue nggak tahu.”
Aku termenung sejenak, “Baiklah, bagaimana kalau kisah tentang secangkir kopi dan hujan?”
“Hmm? Ada apa dengan secangkir kopi dan hujan?” tanyanya penasaran.
“Secangkir kopi dan hujan itu adalah dua hal yang mempertemukan kita. Lo dan gue. Kalau tanpa dua macam hal ini kita nggak bakal ketemu,” jawabku.
Dia ngakak, “Ini ngerayu ceritanya?”
“Tergantung sudut pandang masing-masing dong. Menurutmu aku merayumu?” tanyaku.
“Sepertinya iya.”
“Wajar kan? Namanya juga usaha,” tukasku.
“Baiklah, tenang aja. Gue single koq, dirayu siapapun sih nggak masalah,” katanya. “Tapi bukan berarti gue juga suka ama elo.”
“Suka atau nggak biarlah waktu yang menentukan. Bisa jadi nanti malam elo akan memimpikan gue dalam tidur lo,” ujarku sambil nyengir kuda.
“Hahahahaha,” kami tertawa.
Hujan semakin deras rasanya kami tak akan bisa pulang kalau begini caranya.
“Lo udah punya pacar?” tanya Sheryl sambil menyeruput coklat panasnya yang mungkin sekarang sudah hangat.
“Punya, kemana-mana gue bawa. Nih!” aku mengetuk laptopku.
“Wah, langsing banget pacarmu,” katanya.
“Iya dong. Dari lahir do'i udah langsing, nggak perlu olahraga. Tiap hari padahal isinya nambah,” gurauku. Sheryl ketawa lagi. Dia makin manis kalau tertawa seperti itu.
“Sejujurnya, gue suka ama pembicaraan kita. Tapi gue kayaknya harus pergi,” ujarnya.
“Loh? Mau kemana?” tanyaku.
“Pulang, ntar dicariin bonyok,” jawabnya.
“Oh, masih anak mama rupanya,” ejekku.
“Gile, nggak kali. Yah, maklum gue anak cewek, harus laporan. Ini aja barusan bolos dari latihan vokal,” katanya.
“Kita bisa ketemu lagi?” tanyaku.
“Entahlah,” jawabnya. “Menurutmu kita bisa ketemu lagi?”
“Kalau ada secangkir kopi dan hujan, mungkin,” jawabku sambil tersenyum.
“Bye, DJ!” katanya sambil meletakkan selembar uang berwarna biru di atas meja.
“Tak usah, aku mentraktirmu hari ini,” kataku sok. Padahal duitku juga menipis.
“Wah, thanks,” katanya. Dia kemudian menenteng gitarnya keluar kafe.
Dari kejauhan kulihat dia dijemput oleh seorang cowok. Cowok itu membawa mobil. Ah, mungkin pacarnya. Tapi dia bilang tadi jomblo. Tampak perasaan tidak suka terpancar dari raut wajah Sheryl. Aku hanya menghela nafas. Aku tak mungkin ikut-ikutan urusan mereka. Aku buka kembali laptopku dan melanjutkan menulis cerita.* * *
Wajah Sheryl menghiasi layar kaca. Aku melihatnya membawakan acara di salah satu stasiun tv. Aku sempat berkata, “Ah”. Ingin aku berkata “itu dia cewek kemarin yang aku temui”. Tapi, itu terlalu norak. Aku menikmati acara yang membawakan lagu-lagu lokal dan mancanegara. Sheryl pandai memainkan gitarnya, jujur aku nggak tahu tentang musik tapi ketika dia membawakan lagu “Torn” yang pernah dinyanyikan oleh Natalie Imbrugila itu benar-benar pas dan keren. Ibaratnya kopi takarannya pas, tidak terlalu manis dan tidak terlalu pahit.
Sheryl memang mempesona. Dia memakai jaket warna coklat, selaras dengan warna topinya yang lucu, dan celana jeans yang lututnya robek. Kalau dia ada di acara tv ini agak lain dari apa yang aku lihat ketika bertemu terakhir kali dengannya. Di acara ini dia lebih plong pembawaannya. Atau memang itu sifatnya?
Tak terasa acara itu telah selesai, kemudian ponselku berbunyi. Di layar muncul sebuah nama. “Markas”.
“Halo?” sapaku.
“Kamu nggak narik?” tanya suara itu.
Aku bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan delivery service semacam Go-Jek, namanya Premium Jack. Dan orang yang menelponku ini bernama Mamat sang pemilik. Dia tahu kesibukanku yang sebenarnya nggak sibuk-sibuk amat sih. Kalau ada job biasanya dia order ke aku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Ada yang ingin dijemput tuh,” jawabnya.
“Di mana?”
“Di Kuningan.”
“Kapan?”
“Ya sekaranglah,” jawabnya.
“OK,” kataku. “Namanya?”
“Ada di apps milikmu,” katanya. Dia lalu menutup teleponnya.
Kuperiksa apps Premium Jack dan kulihat sebuah nama yang tidak asing. Sheryl. Sheryl yang itukah? Di dunia ini ada banyak nama Sheryl. Apakah ini kebetulan Atau mungkin memang takdir?
Segera aku memakai jaketku yang bertuliskan “Premium Jack” berwarna biru. Kupakai helm-ku yang warnanya selaras dengan warna jaketku. Setelah itu kuambil sepeda motorku yang ada di teras rumah. Ibuku yang melihatku langsung mengerti kalau aku ada panggilan.
“Nganter kemana?” tanyanya.
“Di stasiun tv,” jawabku. “Pergi dulu bu.”
“Hati-hati jangan ngebut,” katanya. Yang pasti aku tak pernah mengikuti nasehat beliau yang satu ini. “Oh, ya nanti jaga rumah ya, ayah sama ibu mau tidur di toko. Adikmu nggak tahu nanti pergi kemana.”
Sepeda motor kunyalakan dan dalam sekejap aku sudah kembali bermesraan dengan jalan raya. Jakarta, kota yang selalu penuh dengan kendaraan dan juga kota yang parah sekali kemacetannya. Dan sebagai seorang tukang ojek, tentunya aku harus bisa melenggak-lenggok cantik di antara celah-celah mobil. Ibaratnya aku ini seperti bermain game packman yang mana harus melewati maze yang berkelak-kelok. Sepeda motor ini baru beli setahun lalu dan cicilannya belum lunas. Bermesin injeksi, 4 tak, termasuk sepeda motor bebek yang cukup membantuku untuk ke mana-mana.
Tibalah aku di sebuah titik spot yang dituju. Di sana aku melihat seorang cewek yang mana di punggungnya ada sebuah gitar. Kalau dia memakai baju warna gelap dan cadar maka ia pasti sangat pas sekali menjadi seorang ninja. Ah, tidak. Dia adalah Sheryl Sheinafia dengan baju warna biru, jaket warna putih dengan celana jeans robek di lututnya. Dia beberapa kali menghentak-hentakkan sepatu kets warna putihnya sambil sesekali melihat arloji berwarna orange yang melingkar di tangan kirinya. Dia kaget ketika melihatku langsung mendekat ke arahnya.
Last edited by boss_kapak; 23 October 2015 at 12:11 PM.
20 October 2015, 09:42 PM #2
“Kamu? DJ?” ia sureprise. “What a coincidence.”
“Pulang atau kemana?” tanyaku.
Ia menggeleng. “Ikut yuk?”
“Kemana?” tanyaku.
“Udah ikut aja! Anterin aja, ntar aku kasih tahu tempatnya,” jawabnya.
Aku pun ikut saja. Toh aku juga dibayar atas kerjaku ini. Sepeda motor pun melaju kencang, aku turuti saja kemana dia menunjukkan jalannya. Dalam pikiranku aku teringat tentang cowok yang kemarin. Apa hubungan dia dengan cowok itu. Apakah saudaranya? Sepertinya tidak.
“Kamu itu unik ya,” katanya.
“Unik kenapa?” tanyaku.
“Kemarin kamu jadi orang yang sok sibuk ngetik nulis cerita, sekarang jadi tukang ojek,” guraunya.
“Kamu juga, kemarin katanya ngaku artis sekarang malah barusan jadi penumpang ojek,” jawabku. Kami tertawa bersama.
Sheryl menunjukkanku ke sebuah taman bermain yang sepi. Taman bermain ini tentu saja tidak ada yang datang ke sini karena masih tutup. Entah kenapa dia mengajakku ke sini. Aku mengedit apps yang ada di ponselku menjadi delivered. Ya iyalah, biar markas tahu kalau aku sudah mengantarkan pelanggan pada tempat yang diinginkan. Tak perlu khawatir soal uang, setiap pelanggan Premium Jack sudah mendepositkan saldo mereka.
“Ngapain ke sini?” tanyaku.
“Ini tempat main gue dulu waktu kecil,” jawabnya.
“Iya, tapi ngapain ke sini?” kuulangi pertanyaanku.
“Gue kepengen nostalgia aja,” katanya.
Kami berdua berjalan masuk ke dalam taman bermain itu. Di sana ada jungkat-jungkit, ada ayunan, ada pula prosotan, trampolin dan lain-lain. Dia kemudian duduk di sebuah ayunan, aku pun duduk di ayunan yang ada di sebelahnya. Diletakkannya gitar miliknya di tiang penyangga ayunan. Ada sesuatu yang dia sembunyikan, begitulah wanita. Seorang wanita yang sukar ditebak jalan pikirannya. Sifat yang melekat pada diri mereka, bahkan karena sifat itulah membuat Julius Caesar sampai takluk kepada Cleopatra.
Aku tak ingin bertanya, bukan berarti aku tak peduli. Sekedar berhati-hati kepada orang yang baru saja kukenal terlebih dia wanita. Usia Sheryl mungkin belum sampai dua puluh. Tapi aku yakin dia pasti pernah memiliki pengalaman pahit.
“Lo suka hujan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya. Wajahnya menatap langit. “Tentu saja.”
“Kenapa? Bukankah langit cerah berwarna biru tanpa awan lebih indah?” tanyanya.
“Tapi gue lebih suka hujan, sebab dia yang akan membersihkan seluruh luka yang gue rasakan,” jawabku.
“Lo pernah terluka?” tanyanya.
“Pernah, gue dulu pernah dikecewain oleh seorang cewek,” jawabku jujur.
“Oh, kenapa? Diselingkuhi?” tanyanya balik.
“Mungkin. Tapi gue lebih menganggap itu salah gue,” jawabku. “Gue selalu memberikan yang terbaik untuknya. Mentraktirnya kapan pun dia mau, memberikan dia hadiah yang dia mau. Hanya saja ia tak pernah menganggap itu semua. Sebab dia lebih memilih seorang laki-laki memberikan dia lebih baik daripada yang gue berikan kepadanya.”
“Matrealistis ya?”
“Semua sifat wanita bukankah seperti itu? Mereka harus matrealistis, sedangkan cowok harus kerja keras.”
“Gue tak setuju.”
“Hmm?”
“Lo tahu, papa gue kaya. Teman-teman gue banyak yang kaya. Tapi sekalipun begitu, gue belum pernah melihat orang yang mereka punya harta berlebih mau memberikan kasih sayang mereka dengan tulus,” katanya. “Gue juga tidak suka langit yang cerah tanpa awan. Gue lebih suka hujan.”
“Siapa pria kemarin?” tanyaku tiba-tiba. Sebenarnya ini pertanyaan bodoh. Bukan langkah yang bagus bagi orang yang baru berkenalan dengan seorang cewek. Seolah-olah aku ingin mengurusi urusannya.
“Gue pernah punya hubungan dengannya dulu,” jawab Sheryl sambil menghela nafas. Aku bisa merasakan raut wajah kecewa di wajahnya. “Anehnya, gue seperti tak bisa lepas dari dia padahal kami sudah putus. Mungkin karena dia adalah anak dari teman baik papa gue.”
“Kalian putus tapi masih bersama? Ajaib,” kataku.
“Di dunia ini bukankah banyak yang ajaib? Lo sendiri seorang novelis tapi juga tukang ojek,” katanya.
“Calon, gue belum menjadi novelis,” kukoreksi dia.
“Tapi nanti pasti lo akan jadi novelis hebat. Gue bisa lihat dari sorot matamu. Sorot mata tanpa menyerah, sorot mata seorang lelaki yang penuh kasih sayang,” katanya.
“Dari mana lo tahu kalau gue penuh kasih sayang?”
“Lo peduli ama gue,” kata-katanya ini membuatku sedikit tersanjung. Paling tidak aku menyetujui kalau aku dianggap tersanjung sekarang ini.
Kami berayun-ayun sejenak. Selama kurang lebih lima menit lamanya kami hanya membisu sambil bermain ayunan. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar seiring ayunannya bergerak. Angin membisikkan kepadaku bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Awan bergulung-gulung mulai menyelimuti bumi, menandakan bahwa sudah saatnya luka-luka di atas tanah yang kering dibersihkan agar digantikan dengan genangan-genangan dan hawa yang menyejukkan oleh butiran-butiran air dari langit.
“Sebentar lagi hujan,” kataku.
“Biarin,” katanya.
“Baiklah, gue akan nemenin lo,” kataku.
“Jangan sok jadi sukarelawan. Nggak ada bayarannya lho,” katanya.
“Terus terang terkadang jadi sukarelawan lebih membuat hati gue tentram daripada membiarkan seorang gadis sendirian hujan-hujan seperti ini,” kataku.
Sheryl menghentikan ayunannya. Dia beranjak kemudian mengambil gitarnya. Aku mengikutinya. Tanganku ditariknya menuju ke tengah taman. Tak berapa lama kemudian butiran-butiran air mulai turun. Awalnya hanya beberapa saja mengenai punggung tanganku, pipiku, hingga kemudian seluruh bajuku terkena. Kami berdua sekarang berada di tengah hujan deras.
Aku tak mengerti tentang sifat wanita. Mungkin saja untuk selamanya aku tak akan mengerti. Kulihat ada seutas kebahagiaan dalam diri Sheryl ketika hujan mengguyur kami dengan derasnya. Dia berputar-putar sambil bersenandung. Ini lagu November Rain. Sebuah lagu yang dinyanyikan oleh band legendaris yang mempunyai lambang bunga mawar dan senapan. Aku pernah mengagumi mata Gilby Clarke yang senantiasa berasap--istilahnya smokey eyes--yang legam oleh eyeliner dan maskara. Dan ajaibnya lagu ini aku sukai dan mungkin juga Sheryl.
'Cause nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain
We've been through this such a long long time
Just tryin' to kill the pain
Aku yang menemaninya di bawah guyuran hujan hanya menggeleng-geleng saja. Dia sepertinya menikmati guyuran hujan ini. Ah, andai aku tahu apa yang ada di dalam hatinya sekarang. Kubiarkan dia melepaskan kesedihannya, entah permasalahan apa yang sedang ia hadapi saat ini. Tapi mungkin rasa penasaranku melebihi apapun.
“Lo nggak perlu sembunyikan, kasih tahu gue! Gue akan dengerin lo, sebenarnya luka apa yang ingin lo hapus di hujan ini?” kataku.
Sheryl menghentikan gerakan berputar-putarnya. Gadis ini secara tiba-tiba menangis. Deraian air matanya mengalir, walaupun tak bisa kulihat jelas karena hujan sudah mengguyur tubuhnya tapi dari suaranya aku mengerti ada luka yang tak bisa sembuh sekalipun oleh hujan sederas ini.
“Andainya hujan ini bisa menghapus luka,” pikirku.
“Ayo, gue antarkan pulang!” kataku.
“Tidak, gue tidak ingin pulang dulu,” katanya.
“Maksud lo?”
“Lo bisa anterin gue ke tempat yang aman buat gue bermalam?”
“Lo mau kabur dari rumah? Ntar gue jadi tersangka bisa repot!”
“Please!” katanya dengan mata sayu. Tatapan mata yang menusuk hati, semua cowok pasti klepek-klepek kalau melihatnya. Ojo el Diablo kata orang spanyol.
“Lo nyusahin aja,” kataku.
“Ya udah kalau nggak mau nolong juga nggak apa-apa, gue cari sendiri,” katanya.
“Nyari kemana? Emang lo bawa duit? Mau nginep di hotel?” tanyaku.
“Gue....,” dia tidak meneruskan.
“Yuk, ikut!” ajakku.
“Kemana?” tanyanya. “Gue nggak mau diperkosa!”
“Gue nggak serendah itu keles,” kataku.
Setelah itu aku menggeber sepeda motorku di bawah guyuran hujan. Sheryl makin erat memelukku. Kubisa rasakan payudaranya yang sekal menekan punggungku. Kalau misalnya wanita itu terbuat dari besi, niscaya punggungku bisa-bisa bolong dan aku sudah masuk UGD sekarang ini.
Aku sampai di rumahku. Dia memang sengaja aku bawa ke sini. Ayah dan ibuku biasanya kalau hari-hari seperti ini akan tidur di toko. Adikku, entah kelayapan ke mana. Jadi otomatis aku di rumah sendirian.
“Ini... rumah lo?” tanyanya.
“Welcome, to my home,” jawabku. “Masuk aja, gue akan siapin baju ganti buatmu sambil nunggu bajumu kering!”
Sheryl masuk ke rumahku. Ini kedua kalinya aku membawa seorang cewek masuk ke dalam rumah. Rumahku kecil nggak besar. Cukup untuk tinggal empat orang. Kamarku ada di bagian depan dekat ruang tamu. Aku mengajaknya masuk. Aku mengambil baju dari lemariku, kemudian aku serahkan kepadanya, juga sebuah handuk.
“Mandi dulu sana!” perintahku. “Kamu menggigil gitu.”
“OK, thank's yah. Jangan ngintip!” katanya.
“Kalau aku ngintip teriak saja, semua satu kampung bakalan ke sini rame-rame,” kataku.
“Trus kalau sudah ke sini semua, lo diapain? Digebukin?” tanyanya.
“Nggak, kita bakalan dikawinin,” jawabku sambil ketawa.
“Yeee... ogah!” Sheryl segera menuju ke kamar mandi yang sudah aku tunjukkan.
Kami gantian memakai kamar mandi, sambil aku menyiapkan minuman teh hangat untuknya. Aku juga menyiapkan makanan kecil. Lama sekali anak itu di kamar mandi, pikirku. Aku sampai sudah nggak betah dengan rasa lengket di tubuhku. Setelah 30 menit menunggu akhirnya dia selesai juga. Sheryl kuberikan kaos dan celana trainingku. Aku menelan ludah melihatnya. Bagaimana tidak?
Kaos itu mencetak puting susunya yang mengeras, aku yakin bukan karena horni. Dan di tangannya ada pakaian dalamnya, bra dan CD. Artinya cewek cantik ini tidak mengenakan daleman. Segera kubuang pikiran kotorku.
“Makasih karena nggak ngintip,” katanya.
“Bajumu di jemur saja di situ!” Aku menunjuk ke sebuah tali yang dibentangkan di gang kecil di samping rumahku. Mirip seperti garasi kecil tempat aku menaruh sepeda motorku kalau sudah malam. Dia mengangguk. Diperasnya bajunya yang basah dan dijemur satu per satu. “Minuman teh hangat dan cemilan ada di meja.”
“Wah, makasih. Kamu baik banget!” katanya.
Aku segera masuk kamar mandi dan membersihkan diri.
Selesai mandi kulihat Sheryl menonton tv sambil memainkan gitarnya. Suara tv dia mute dan dia menyanyikan lagu. Lagi-lagi lagu itu dia nyanyikan. Sebuah judul yang selalu aku ingat. Mungkin itu curahan hatinya. Agak beda dia menyanyikannya dengan cara seperti ini.
Rasa sunyi tolonglah kau pergi
Jangan kau kembali
Rasa sunyi tolonglah jangan menghantui
Ku ingin kau berhenti membuatku sedih
Aku kemudian duduk di sebelahnya. Dia menghentikan petikan gitarnya.
“Gue bodoh,” katanya.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Gue bodoh Je,” katanya lagi mengulangi dengan menyebut namaku. “Gue bodoh telah menerima cinta dia. Dan sekarang semuanya serba salah. Serba kepalsuan. Gue dan dia berpura-pura pacaran di depan papaku. Gue takut kalau aku bilang sudah tidak ada hubungan lagi dengannya hubungan papa dengan temannya akan renggang.”
“Hanya masalah itu?” tanyaku.
“Jangan bilang hanya masalah itu, lo tidak mengerti keadaanku yang terlalu kompleks,” jawabnya ketus.
“Sorry, gue memang tak tahu. Dan maaf kalau aku terlalu banyak komentar tentang masalahmu. Apalah aku,” kataku.
Sheryl meletakkan gitarnya. “Ayah ibumu mana?”
“Mereka ada di toko, adikku nggak tahu kemana,” jawabku.
“Lo nggak salah koq, gue yang salah. Gue terlalu pengecut, gue hanya terlalu takut. Sebenarnya sih nggak apa-apa kalau gue pergi dari cowok itu, hanya saja sudah menjadi sifat gue memikirkan perasaan orang lain. Salah nggak sih gue yang seperti ini?”
“Sejujurnya, gue nggak punya jawaban tapi kalau boleh jujur gue bisa jadi lelaki lo.”
Sheryl tertawa sambil menoyor kepalaku, “Gue nggak tertarik ama lo!”
Dia tertawa untuk beberapa saat sebelum aku menampakkan wajah serius. Dia pun berhenti tertawa. “Lo serius?”
Aku mengangguk. Setelah itu dia menghela nafas. Kami pun terdiam untuk beberapa lama.
Sheryl, dia terlalu indah untuk dilihat. Terlalu indah untuk disakiti. Aku ingin berjanji untuk bisa menjaganya. Tapi aku orang biasa. Kaya juga nggak. Sheryl sekarang bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri aku seperti apa. Namun malam ini kami merasa aneh. Aku jujur suka ama dia.
“Sher, gue....,” aku mau berkata-kata tapi tak bisa.
Kami saling menatap dalam diam. Padahal jarak kami tak sejauh jarak Jakarta dan Roma. Kami bahkan lebih dekat dari pada jarak kamar mandi ke ruang tamu. Apaan sih perumpamaannya? Paling tidak aku baru sadari bahwa jarak pandangku makin menipis, hal itu bukan sebuah anomali, melainkan sebuah tarikan medan magnet antara kami berdua. Sebuah medan gravitasi yang timbul dari percikan-percikan api cinta yang saat ini bergemuruh di dalam dada kami. Hingga kami tersadar setelah kedua bibir kami menempel.
DAG! DIG! DUG!
Kalau saja sekarang ada microphone yang ditaruh di jantungku, maka itulah suaranya. Aku dan Sheryl berciuman. Emang dasar “si orang ketiga” pasti mengganggu kami untuk berbuat mesum. Awalnya aku dan dia hanya berciuman biasa, kemudian dia merangkul leherku. Setelah itu aku perlahan-lahan menubruknya. Kami melepaskan ciuman setelah kepalanya berbaring di atas sofa. Kutatap wajah Sheryl yang innocent. Aku telah banyak melihat wajah, tapi baru kali ini kulihat wajah seorang perempuan yang ngangenin dan baru saja aku mendapatkan bibirnya yang balem alias "basah-basah lembut".
Tak ada kata terucap, hanya hembusan nafasnya yang menabrak wajahku. Tubuhnya menghangat, tubuhku juga tentunya. Bahkan kami sudah tak lagi merasakan dinginnya malam yang mana hujan sedang mengguyur kota ini. Aku tak yakin bahwa baru saja mencium dia. Untuk itu sekali lagi aku menciumnya agar ragaku yakin. Bibirnya sedikit terbuka dan kukecup, namun ternyata tak cukup di situ. Lidahku suda menerobos masuk menggelitik lidahnya.
Aku beranikan diri untuk merabanya lebih jauh. Sudah kepalang tanggung menurutku lebih baik mandi basah sekalian. Aku meremas payudaranya. Dalam ciuman kami Sheryl mendengus. Tak ada penolakan. Empuk sekali buah dadanya. Bahkan bisa kuberikan jaminan bahwa buah dadanya sudah memenuhi standar seorang wanita natural tanpa suntik silikon.
“Di kamar please!” bisiknya.
Sheryl seorang yang pemalu. Aku mengerti dan sekarang mengangkat tubuhnya. Kubopong dia masuk ke dalam kamarku, kemudian kukunci kamarku agar tak ada alien, jin dan makhluk kasar maupun halus lainnya yang mengganggu. Sheryl kutidurkan pelan. Secara multitasking aku menggulung kaosnya ke atas. Aku terlalu penasaran dengan bentuk payudaranya yang sudah tercetak dengan puting nyeplak di kaosnya tadi. Sekarang aku melihatnya sempurna tanpa tabir. Sheryl pun mengangkat kaosku sehingga aku dan dia sama-sama bertelanjang dada. Tanpa diberi komando, bahasa tubuh kami kembali bericara. Tarikan gravitasi di dalam diri kami sangat kuat sehingga tubuhku sudah menempel di tubuhnya.
Secara insting kemudian kedua bibirku sudah melumat lehernya, memberikan kecupan-kecupan dan hisapan-hisapan lembut di sana. Tanganku membelai buah dadanya yang ranum. Sheryl menggigit bibirnya saat bibirku mulai memberikan stimulan ke puting susunya yang sudah mengacung. Kuhisap puting yang nantinya bakal terisi air susu kalau dia hamil. Kuhisap hingga laksana seorang bayi yang kelaparan. Betapa enaknya tanganku meremas buah dada yang empuk, kenyal seperti balon yang terisi air. Tapi sekalipun kuceritakan buah dada itu seperti balon yang terisi air, tetap tak akan sama konotasinya dengan aslinya. Aku berani bertaruh semua yang pernah memegangnya akan berkata demikian.
Sheryl benar-benar tak berkata apapun saat aku sudah meloloskan baju yang menutupinya bagian bawah. Bahkan ketika kami berdua telanjang pun dia tak protes, jengah atau kikuk. Seolah-olah ia sudah pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya. Ah, dengan pacarnya tentu saja. Betapa bodohnya aku.
“Ehhhhmmm....,” lenguhnya panjang saat bibirku sudah menyentuh sebuah garis berwarna merah yang tertutup dengan hiasan bulu-bulu halus di selakangannya.
Profesional, boleh dibilang aku memang pengoral profesional karena entah sudah berapa banyak dulu aku melakukan gaya 69 dengan pacarku. Aku memang suka menggoda wanita pada area kewanitaannya. Mereka akan liar, merasa lemah, merasa kalah apabila diperlakukan seperti ini. Mereka akan merasa bahwa pria mereka benar-benar pria yang jantan. Mau mengerti kebutuhan mereka untuk bisa dipuaskan terlebih dulu. Satu lagi yang aku suka adalah ketika seorang wanita harus berusaha jaim ketika orgasme akan melanda mereka. Maka dari itulah sang dewa cinta telah membisiku untuk menuntaskan gairah Sheryl terlebih dulu.
Tanganku terus meremas buah dada Sheryl, sedangkan mulutku sibuk menggelitik tonjolan daging yang ada di ujung kemaluannya. Sheryl mengerang, melenguh bahkan berusaha menendangku karena rasa geli yang ia terima.
“Je, udaaahhh.....,” ini adalah perkataan pertamanya setelah lama diam.
Sekalipun ia memohon, tak kuhentikan. Aku makin intens, makin kuat dan makin beringas memperlakukan kemaluan gadisku ini. Entah di masih gadis atau tidak. Sebuah sodokan lembut dari lidahku masuk ke dalam liang senggamanya membuat tubuh Sheryl melengkung hebat. Diremasnya kepalaku sebagai tanda dia orgasme pertama. Bahkan ia squirt dua kali semburan ke mulutku. Nafas Sheryl seperti seseorang lari marathon. Buah dadanya naik turun seiring nafasnya.
Aku kemudian duduk. Tak berbuat apa-apa, hanya memandangi tubuh dari bidadari cantik yang ada di depanku saat ini. Sheryl masih memejamkan matanya menikmati gelombang orgasme yang barusan ia rasakan. Dia membuka matanya beberapa saat kemudian. Dia melihatku yang tersenyum kepadanya. Senyuman penuh arti. Wajahnya merasa lega, matanya menatapku dengan sayu.
Tanpa bicara ia mengangguk. Apa maksud mengangguk? Banyak arti. Bisa saja ia mengatakan “Iya” bisa saja dia cuma sekedar mengangguk, bisa saja ini maksudnya adalah “lakukan”.
Main course? Kenapa tidak?
Sheryl memejamkan matanya lagi. Dia membuka lebar kedua pahanya. Ya, dia sudah faham maksudku dan mungkin dia sudah terlatih dengan mantan pacarnya dulu. Aku sudah siap bakal tidak dapat perawan. Karena aku tidak ingin mengotori perasaan cintaku dengan sebuah pilihan yang sulit. Perawan atau tidak bagiku tidak masalah sekarang ini. Aku yakin Sheryl adalah bidadari yang diutus untuk menemaniku.
Kemaluanku sudah berada di depan kemaluannya, berdenyut-denyut seolah-olah mengatakan ingin berkenalan dengan lawan main yang akan diterobosnya sebentar lagi. Kepalanya sudah tegang dan mengkilap. Kuatur nafasku, segera saja aku meletakkan ujungnya ke lubang yang sudah basah dengan lendir. Sheryl mengerang.
Kudorong kepala penisku masuk. Sheryl menggigit bibirnya, kenikmatan seorang wanita bisa dirasakan oleh jutaan sel syaraf di seluruh tubuhnya. Maka dari itulah wanita lebih banyak kehilangan tenaga ketika bercinta daripada seorang laki-laki. Ketika aku memasukkan batang kejantananku, perasaan geli dan nikmat bercampur jadi satu. Syaraf pinggangku dan otakku mendapatkan respon. Sheryl juga demikian sepertinya, tapi dalam bentuk yang berbeda.
“Aaaahhh....!” pekiknya.
Ada sesuatu yang menghalangi dorongan penisku. Kucoba tarik. Dia mengambil nafas lagi. Kemudian kudorong tapi kali ini lebih kuat. Lengannya kemudian mencengkram lenganku dengan kuat. Kuku-kukunya menusuk dan menggores kulitku. Aku tak percaya. Dia masih perawan? Tapi kenapa dia terlihat sangat pro?
Dia membuka matanya. Matanya berkaca-kaca. Shit, salahkah aku?
“Peluk gue Je!” pintanya.
Aku kemudian memeluknya.
“Goyang yang pelan yah, gue ingin merasakan yang lembut. Pliiiss!” pintanya.
Aku mengerti. Sheryl tak ingin kasar ternyata. Ia ingin dilembuti, sebagaimana kata-katanya bahwa ia pasti yakin ada orang yang memiliki rasa kasih sayang. Aku ingin buktikan kepada Sheryl bahwa orang seperti itu ada. Dia kutindih. Aku adalah raja yang mengendalikan permainan sekarang. Kubiarkan dia menikmati apa yang sedang aku lakukan. Pinggulku naik turun, kupertegas dengan hentakan ringan agar kami berdua sadar bahwa saat ini kami telah menyatu. Tubuh kami dipersatukan oleh pertautan dua jenis kelamin.
Sheryl mendesis, meringis, merintih-rintih saat kelamin kami bergesek. Derit ranjang tempat kami bersetubuh ini makin menambah erotis. Tidak. Lebih tepatnya memberikan kesan bahwa iya, kami bersetubuh. Sheryl sangat becek, ia menangis? Iya, dia meneteskan air mata tapi tak ingin menghentikan apa yang aku lakukan. Hingga akhirnya kami akan sampai pada puncak. Puncak di mana sesuatu yang disebut sebagai orgasme akan menyirami rahimnya. Pinggulku makin cepat menggenjot, Sheryl seolah-olah tahu dan faham apa yang akan terjadi, kakinya disilangkan ke pinggangku. Tubuhku kini dikunci dan aku tak akan lepas kecuali milyaran sel kecebongku harus disemburkan ke dalam rahimnya. Apakah aku siap untuk jadi ayah? Apakah dia siap untuk jadi ibu? Ah, persetan. Ini nikmat. Sebentar lagi orgasme dan aku tak mungkin memikirkan bagaimana cara aku untuk mendapatkan uang guna menghidupi Sheryl atau pun ribut perkara susu anak-anak kami nanti.
Tubuhku mengejat-kejat beberapa kali memuntahkan milyaran sel sperma yang dihasilkan dari saripati tulang dan darah. Kantong testisku rasanya kering, seolah-olah semua produksi sperma dihabiskan hari itu juga. Sementara batang penisku berkedut berkali-kali hingga tidak lagi mengeluarkan calon anak-anakku. Aku lemas. Lututku lemas. Kuncian Sheryl yang begitu kuat tadinya pun kini mulai mengendur.
Untuk beberapa saat lamanya kami hanya memandangi langit-langit kamar. Nafasku sudah teratur. Dia juga. Hanya saja kami masih dalam ketelanjangan. Belum, aku belum melihat apakah ada darah perawan keluar dari kemaluannya. Sebab aku tak perlu memusingkannya.
Sheryl kemudian beringsut memelukku. Kepalanya diletakkan di atas dadaku.
“Makasih, hari ini gue udah nggak perawan lagi,” bisiknya.
“Serius?” aku terkejut. “Tapi elo kayaknya tidak pertama kali melakukan ini.”
“Benar, mantan gue dulu pernah meminta gue seperti ini. Tapi gue mati-matian mempertahankan keperawanan. Itu salah satu sebabnya kami putus. Baginya mendapatkan keperawanan gue adalah hal yang paling penting sebagai komitmen,” jelasnya.
“Kalau begitu kenapa lo memberikannya ke gue?” tanyaku.
“Lo orang baik. Gue percaya kepada lo,” jawabnya.
“Jadi, atas dasar itu?”
“Entahlah, gue terlalu kompleks untuk menjelaskan jaring-jaring yang ada di dalam hati gue saat ini.”
“Gue orang biasa Sher, lo mau berhubungan ama orang biasa? Papa lo pasti tak setuju,” kataku sambil memelai punggungnya yang mulus.
“Kalau begitu berusahalah!” katanya.
“Hmmm?” aku mengangkat alisku.
“Jadilah seorang novelis ternama, buat engkau pantas untuk merebut hati gue dan papa,” katanya.
“Aku....,” aku tak melanjutkan kata-kataku karena terpotong olehnya.
“Lo cinta gue kan? Katakan kalau lo cinta ama gue!”
Aku bingung untuk menjawabnya.
“Gue tak peduli lo dari mana, sebagaimana lo tak peduli gue punya masalah apa. Lo benar-benar telah membuat gue menjadi seorang wanita yang berarti. Itu tak pernah gue rasakan selama ini. Berjanjilah!”
Aku kemudian memegang kepalanya, kecupan lembut kuberikan untuknya. Itu jawaban dariku. Dia pun membalasnya.
“Gue tak peduli sekarang, asalkan gue bisa bersama lo,” kataku.
“Je, let's go to the top,” katanya.
“Gue janji, gue akan cari elo ketika peluncuran buku gue yang kesepuluh,” janjiku.
“Dan gue akan baca buku elo selalu, gue akan beli buku-buku elo nanti,” katanya.
Entah kenapa aku jadi terharu. Bukan kepada perkataannya, melainkan terharu atas dasar rasa cinta kita yang dalam.* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar