Jumat, 06 November 2015

Cerita Dewasa Artis Yuni Shara 2

“Ooooouhhh.. Max.. Hnngggghhh.. Ahhhh..”

Max terus bergerak keluar masuk di sela kakiku. Kami bergulingan di tempat tidur, memberantakkan seprai dan kasur. Pandanganku tidak lagi fokus, bola mataku berputar ke atas didera kenikmatan..

Tiba-tiba teleponku berdering. Duh, lagi enak juga.. Apaan sih.. . Kutatap layar, inisial KD terpampang di sana. Kuraih ponselku sambil mendesah menggerutu,

“Jangan berisik ya..” aku bergumam pada Max.

“Hey, apaan sih, gangguin aja pagi-pagi.”

“Mbak sih, gak balas bbm-ku, di-R doang. Pengen curhat nih..”

“Ya kan aku niatnya..”

Yanti – seperti biasa – tidak menunggu aku selesai bicara. Sejak kecil, dia tidak terbiasa menanti jawaban. Didikan ibuku memang berhasil mengajarinya meminta – ijin atau tolong – tetapi tidak cukup berhasil untuk membuatnya menjadi anak yang sabar menunggu.

Adikku terus berbicara, tentang pria-pria yang terus menerus menghubunginya. Terutama seorang pria bernama Raul, yang terang-terangan mengajaknya berselingkuh. Yanti – kembali mengulangi – bercerita, sebuah rasionalisasi bagaimana menurutnya bukan berselingkuh namanya jika hal itu diketahui oleh pasangannya.

Ya, Anang – adik iparku – memang tidak buta tentang itu. Dia tahu, ibu dari anak-anaknya ini tidak sepenuhnya setia. Tetapi kerenggangan di antara mereka memang sudah terjadi sejak lama. Berbagai pembenaran mereka buat, demi nama baik di depan media, dan demi benefit, tentunya.

Aku tahu, perceraian mereka sudah di ambang mata. Mereka berdua hanya menunggu sebuah moment dramatis yang akan menjadi pemicu. Bagi pasangan artis, berpisah baik-baik tidak akan menarik. Tidak akan menambah derajat popularitas. Pernikahan mereka dulu diabadikan dengan sebuah mini album duet, maka perceraiannya pun harus demikian. Harus melahirkan sebuah album, minimal single hits.

Kuaktifkan modus speakerphone, kuletakkan ponsel di samping kepalaku, lalu menggerakkan pinggul, menyambut – kembali – tusukan Max di celah selangkanganku yang mulai kering.

“Hmmmmmhhh.. Mmmmmhhh..”

Kutangkupkan sebelah tangan di mulutku, berusaha menahan desah.

Yanti terus berbicara, tentang Aurel dan adiknya yang sepertinya mulai tahu gelagat perceraian orangtuanya.

Max bergerak lebih cepat, menusuk lebih dalam, bergerak memutar, menyentuh seluruh relung di dalam vaginaku yang kembali basah oleh lendir senggama.

“Ahhhhh.. Ohh.. Max..”

Rintihanku keluar tak tertahan, ditingkahi suara Max yang tidak teredam. Sebentar lagi aku sampai..

“Ih, Mbak Yun kenapa? Lagi ngapain sih?”

“Nggakk..hh.. Gimana kabar Maaaax.. Eh, Aureell..hh”

“Hey! Mbak Yun lagi ngewe yah? Ih, nggilanii.. Ampun deh..”

Klik!

Bunyi statis terdengar ketika Yanti memutuskan sambungan. Persetan.

Sedikit lagi, Max..

“Aaaaaaaaaaaahhhhhhh..”

Max merenggutku terbang jauh dari bumi. Napasku terpompa kencang sekali dalam upayaku mengembalikan fungsi tangan dan kaki. Orgasme oleh Max selalu luar biasa, dia selalu menyentuhku tepat di titik yang aku suka..

***

Raffi mulai rutin meneleponku pagi-pagi, sejak malam di mana godaanku kepadanya terinterupsi. Menanyakan kabar, mengobrol tidak jelas, dan terkadang menunjukkan sikap kepemilikan dalam obrolan-obrolan santai.

Tidak berhenti di situ, Raffi mulai sering mendatangiku di tempat-tempat aku beraktivitas. Mengantarkan bunga ke tempat aerobik, atau mengikuti acara di mana aku akan tampil bernyanyi. Yah, walaupun hanya acara reuni atau pameran apartemen atau residence, di mana aku bernyanyi dan jarang yang memperhatikan.

Aku tahu apa yang diinginkan pemuda macam ini. Hanya ingin memuaskan rasa penasaran. Memang aku yang memulai pendekatan, tetapi pria dengan ego tinggi seperti ini akan selalu merasa wajib menyelesaikan. Aku tahu, penolakan-penolakan sopan hanya akan membuatnya semakin tertantang. Apalagi setelah kubikin dia merasa kentang.

Sejujurnya aku merasa tidak nyaman dengan ini. Bagaimanapun, bukan komitmen yang kuinginkan. Hanya ingin pamer, dan sudah tercapai. Tetapi Anne – manajerku – berpendapat lain ketika kutelepon dia pada suatu sabtu pagi.

“Bagus kok kalo kalian dekat. Menurutku kalian sebaiknya terang-terangan saja. Katakan pada media kalo itu cinta. Masyarakat sekarang mudah simpati pada pasangan yang berbeda dan tidak umum, tetapi berusaha bersatu karena cinta. Lumayan, kan, dongkrak jantan.. Hihi..” Anne terkikik di telepon.

“Tapi aku hampir seusia ibunya, lho..”

“Halach, usia itu hambatan minor. Lihat berita. Sekarang LGBT lagi bergerak di barat. Itu hal gender lho, bukan cuma usia. Tapi masyarakat umum, bahkan kaum straight ikutan bersuara, semuanya membela. Bayangin deh, kalo besok kalian berdua muncul di media sebagai pasangan dimabuk asmara. Keren, kan?”

“Tapi..” aku masih ragu..

“Sudahlah, sms dia gih.. kasih selangkangan. Sudah lama kering juga, kan.. Haha..”

“Apaan sih, sembarangan.. Gak, ah..” aku tidak bisa menahan senyum mendengar selorohan Anne.

Dalam beberapa hal, pendapat Anne selalu mendapat penilaian tinggi dariku. Aku tidak punya sahabat dekat. Hubunganku dengan Yanti juga tidak lengket-lengket amat. Kami mesra sebagai saudari hanya ketika media menganggap itu menarik untuk digali. Anne adalah orang yang paling mendekati definisi teman bagiku.

Semenit kemudian, kukirimkan pesan pada Raffi Ahmad..

***

Dari deru mobilnya ketika memasuki pekarangan rumahku, aku tahu Raffi ngebut ketika SMS terakhirku terbaca olehnya.

SMS-an kami tadi pagi :


Yuni : Kamu sudah sarapan?
Raff : Sudah, ini lagi di Bimasena.
Yuni : Pantesan bugar terus..
Duh, aku kecentilan kali ya kalo pake emoticon smile terus..


Raff : Iyalah, mesti kuat.. XD
Yuni : Buat apa kuat kalo gak ada lawannya..
Mati aku, bakal lari nih brondong..

Dua menit – yang terasa berjam-jam – kemudian..


Raff : Boleh dicoba kok.. :P
Duh, bales apa yah.. Duh..

Jemariku seperti bergerak sendiri,


Yuni : Kapan?
Raff : Terserah kamu..
Kembali jariku memegang otonomi,


Yuni : Anak-anak lagi di Papanya, aku sendirian di rumah..
Dan di sinilah kami pada akhirnya..

Tidak ada foreplay panjang, semua sudah dimulai beberapa hari yang lalu, di kursi depan sebuah Hummer kuning menyala.

Raffi memelukku di ruang tamu, melumat bibirku ganas, mencecap mulutku dengan lidahnya yang menari-nari dengan panas. Aku balas memeluknya, menggantungkan berat badan di belakang lehernya.

“Mmmmmmmhhh..”

Gumaman-gumaman ditingkahi desah, menguar terlontar dari dua wajah kami yang melekat menyatu, bagai dua sel yang membelah dari satu. Tangan Raffi bergerak liar, menarik tepi sport bra-ku ke bawah, menampakkan kulit dadaku yang putih jarang terpapar sinar matahari.

Bibirnya terus mencumbui bibirku, sebelah tangannya meremas pinggulku,

“Aahhh..”

Aku merintih di dalam mulutnya, mendesahkan napas, disiksa gairah yang perlahan-lahan memanas. Tangan Raffi berpindah ke depan tubuhku, menyusup dari batas atas celana yogaku, langsung menangkup area pubis dan selangkanganku.

“Aaaahhh.. Iyahh.. Di situ, Fi..”

Raffi mulai menggerakkan jari, meremas dan mengusap celah di antara kedua kakiku dengan lembut. Gerakan yang pelan, lalu berubah cepat dan memaksa. Kugenggam pergelangan tangannya, mengarahkan gerak jarinya menjadi lebih cepat, lebih nikmat.

Aku hampir tidak percaya aku melakukan ini. Begitu mudahnya mengundang lelaki ke dalam rumahku, menjamahi tubuhku. Dan bukan hanya itu, lelaki ini cukup muda untuk menjadi anakku! I mean, beberapa ibu melahirkan anak pertamanya di usia 15 tahun, bukan?

“Yuni.. Aku pengen.. tapi mungkin gak akan bertahan lama.. aku capek habis olahraga..”

Raffi menciumi leherku, membisikkan rayuannya di bahuku. Dan lagi-lagi, tanpa bisa kupercaya, aku menyambut keinginannya,

“Aku mau, Fi.. Ahhh.. Ambil yang kamu mau..”



Dengan gerak cepat, disingkapnya bra-ku ke atas, menampakkan payudaraku yang kecil. Sedikit jengah, aku merebahkan diri di sofa, menarik tubuhnya menindihku. Raffi meneruskan geraknya yang sigap, melucuti seluruh kain dari tubuhku. Kuimbangi dengan menarik turun celana trainingnya, sekaligus dengan celana dalamnya.

Aku telanjang sepenuhnya, berbaring telentang, sedikit menggantung di sofabed-ku yang besar. Kakiku mengangkang, menjepit pinggang Raffi yang kini telanjang ke bawah.

Kutarik lehernya, kuterkam bibirnya. Raffi bergerak jatuh menindihku, memposisikan penisnya tepat di ambang pintu bawahku.

Pinggulnya bergerak maju mundur, menggesekkan batang kejantanannya di celahku yang mulai basah.

“Aaahhhhh..”

Kurasakan kenikmatan yang menagih, mendesak untuk ditimpa dengan kenikmatan lain yang lebih banyak, lebih dalam.

Raffi menunduk, mencari puting susuku yang mengeras dengan mulutnya. Menggigit keras sambil meraup pantatku dengan kedua tangannya.

“Aaaakhhh.. Sakit, Fii..”

“Ups, sorry..”

Kutolak wajahnya menjauhi dadaku, kutarik kedua pipinya ke atas, menemukan wajahku kembali. Raffi merasa itu isyarat untuk melakukan penetrasi. Perlahan, kurasakan penisnya mulai membelah vaginaku, masuk inci demi inci.

“Oooouuhhhh.. Fii.. Pelan dikit, Ahhhhhh..”

Raffi meneruskan gerakan tanpa mempedulikan yang kukatakan. Napasnya memburu, hidungnya menekan bahuku.

“Aaaaahhh.. Terus, Fii, Ooooohhhh.. Jangan terlalu kencang.. Ahhhh..”

Kurasakan kenikmatan mulai merangkak dari bawah tubuhku, perlahan menanjak, seolah mencari celah di permukaan untuk meledak. Tubuhku mulai bergetar, ketika,

Plop! Raffi mencabut ujung tubuhnya dari dalam diriku, diikuti,

“Aaaaaahhhh.. Yuniiii.. Aaaaahhhhhhh..”

Tubuh Raffi menegang kaku, ketika semburan sperm membuncah membasahi tubuhku dan tubuhnya yang bergetar dalam detik ejakulasi. Raffi mendengus di leherku, membenamkan wajahnya di peluhku. Tubuhnya perlahan melemas, seiring buru napasnya yang kembali mereda perlahan.

Bagaimana denganku? Aku kentang. Tak perlu kuceritakan rasanya.

Raffi berguling ke samping, lalu mendengkur perlahan. Kuraih ponselku di meja, kuketikkan bbm kepada Anne.



Aku memang tidak menyimpan rahasia dari Anne. Hal-hal seperti ini memang sebaiknya diketahui oleh manajer atau pimpinan agensi. Sebagai tindakan antisipasi jika suatu saat terjadi hal yang membutuhkan manuver dalam publikasi. Anne tahu seluk-beluk kehidupan seksualku. Dia bahkan yang mengenalkanku pada Max ketika kami sedang pelesir ke Jerman.

***

Sesuai dugaan Anne, media menyambut berita “aku dan Raffi jadian” dengan meriah. Semua bereaksi. Semua ingin berkomentar, tetapi selalu ingin tampak netral. Aku tahu banyak yang mengutuk. Lebih banyak yang skeptis, tetapi di depan kamera, mereka akan selalu berusaha terlihat protagonis.

Semua teman – terdengar – mendukung, walaupun mereka mencibir di belakangku. Tawaran tampil berdua muncul di mana-mana, juga tawaran rekaman duet, bahkan rekaman album.

Tidak sepertiku, Raffi sepertinya menanggapi hubungan kami dengan serius. Dia mengubah penampilannya untuk mengesankan kedewasaan. Berusaha get along dengan anak-anakku, bahkan seringnya menginap di rumahku. Dia menumbuhkan cambang, berpakaian lebih rapi dan berbicara lebih sopan. Dia bahkan akan melamarku segera, tidak peduli reaksi penolakan dari ibunya.

Pada suatu kesempatan wawancara berdua, Raffi berujar pada media,

“Sebenernya sih, kalo ngeliat usia, aku ini di usia yang sudah matang..”

Kugenggam tangannya yang merangkulku mesra,

”Kasihan anak ini. Anak yang merasa diri sudah dewasa karena kini punya pacar yang lebih tua..”.

“Sebagai laki-laki yang didampingi, aku gak melihat usianya. Ya, saya jalanin sama dia, yang penting cocok, saling ngerti, bisa saling memahami.. bla bla bla bla..

“Dia begitu naif. Aku penasaran, berapa bulan hubungan ini bisa bertahan..”

Kusandarkan kepalaku di bahunya, berlaku mesra sambil mengabaikan ocehannya di depan kamera.



Courtesy by another site

***

Kalian tahu apa jadinya pasangan yang jadian setelah proses pendekatan yang terlalu singkat? Kalian tahu bagaimana rasanya menjalani hubungan yang didasari ketertarikan fisik semata? Kalian tahu juga kan, alasanku sebenarnya untuk mendekati Raffi pada kali pertama? Lalu kalian bisa membayangkan bagaimana wanita sepertiku, dengan segala “kebutuhanku” didampingi oleh pria yang belasan tahun lebih muda, dengan stamina bercinta seperti kakek-kakek tua?

Hubungan kami menjadi perhatian media setidaknya selama beberapa bulan pertama. Ketertarikan media kepada kami kemudian memudar, diikuti memudarnya kemesraan di antara kami berdua. Putus-nyambung terjadi berulang-kali. Setiap kali ditandai dengan pertengkaran hebat.

Raffi adalah pemuda yang temperamental. Aku sekarang mengerti, mengapa mantannya sedemikian banyak. Bukan karena Raffi yang player, melainkan karena para gadis yang tidak tahan dengan semua sikap kekanakan dan egoisnya.

Lalu mengapa media memberitakan sebaliknya? Ketahuilah, media selalu memihak pada berita yang sifat menjualnya jangka panjang. Pemberitaan tentang gadis-gadis yang mencampakkan seorang pria, episodenya akan sedikit, jika dibandingkan dengan sudut pandang sebaliknya; Raffi sang Cassanova. Menggelikan, sebenarnya, bagaimana kami para artis selalu bertindak dan mencitra sesuai kehendak media, pada saat penggemar melihat kami sebagai sosok yang bisa berlaku semaunya.

Puncak pertengkaran kami terjadi pada suatu sabtu pagi, ketika – lagi-lagi – percintaan kami bagiku hanya menghasilkan kentang.

***

Raffi tertelungkup di sampingku, kelelahan setelah ejakulasi, meninggalkanku yang berbaring terlentang menatap langit-langit kamar. Frustasi menyerangku. Betapa tidak, tiga tahun lamanya aku harus memalsukan orgasme, hanya untuk menyenangkan ego pria brondong yang merasa perkasa ini. Setiap saat bersamanya, aku harus merendahkan derajat berpikir, hanya agar obrolan dengannya bisa nyambung!

Kuraih ponselku,



Overcompensate? Apaan tuh?

Sedang kuketikkan balasan, sebuah pertanyaan, ketika dari pekarangan belakang terdengar keributan. Suara nyaring benda jatuh, diikuti suara benturan-benturan lain.

Raffi tidak terbangun, hanya menggeliat tetapi tetap mendengkur. Aku bangkit, mengenakan piyama lalu berlari ke belakang.

Terkejut ketika kudapati Ancha sedang duduk di pekarangan, memegangi lututnya dengan dua tangan. Aku semakin terkejut ketika kusadari Ancha berada di halamanku, bukan di halamannya. Sebuah sobekan terlihat di pagar jala, dengan kaki tangga mencuat dari sobekan itu.

“Ada apa? Kamu ngapain di sini?”

Ancha tersenyum, meringis. Tangannya teracung menunjuk ke puncak pagar jala.

“Aku tadi mau pangkas itu. Sulurnya sudah mulai sampai atap.”

Samar-samar kuingat, akulah yang memintanya melakukan itu sabtu lalu. Aku yang menanam tanaman itu, tetapi memang Ancha yang rutin memangkasnya.

“Ternyata pagarnya gak kuat disandarin tangga..” Ancha melanjutkan.

“..atau badan kamu yang terlalu berat.” Aku memotong kata-katanya sambil tertawa.

Kami berdua tertawa. Aku jadi iba melihatnya, jatuh terpelanting dari tangga dan mendarat di seberang pagar. Semua ternyata karena permintaanku pekan lalu.

Sobekan di kulit lututnya mengeluarkan darah.

“Duh.. Ini harus dibalut, tunggu bentar yah..” Kataku sambil mendekat, hendak berjongkok di depannya.

Ancha yang memandangiku maju tiba-tiba menahan tubuhku yang sudah setengah menekuk lutut di depannya.

“Jangan! Ini gak apa-apa kok, bener..”

“Gak apa-apa gimana, darahnya banyak begitu..” Kataku sambil tetap berjongkok.

Ancha seketika berdiri, memaksakan fisiknya bergerak mundur menjauh. Aku terheran-heran dengan kelakuannya.

“Ada apa sih? Aku gak gigit kok..” Aku mencoba bercanda. Kusadari wajah Ancha bersemu memerah.

Ancha menatapku lama. Lalu dengan malu-malu berkata,

“Yun, kamu gak pake cd..”

Seketika semu merah di pipi Ancha menjadi kuas yang menyapu wajahku. Kami terdiam kaku. Ancha kembali duduk di tepian lantai kayu, sedang aku masih berdiri dengan malu. Untuk memecahkan kebekuan, kukatakan padanya,

“Tunggu bentar yah, aku ambil kotak P3K.”

Ancha mengangguk singkat. Tak kusangka, di dalam penampilannya yang kasar, tersimpan pribadi yang pemalu dan sopan. Tingkahnya yang tersipu justru membuatku semakin merasa malu.

“Ohya, kemungkinan lutut kamu bakal bengkak. Kalo nanti bengkak, bakal susah lepas celana yang itu. Jadi sebaiknya buka saja sambil nunggu aku. Tuh, pake handuk yang di situ.”

Aku menunjuk handuk besar – milik Raffi – yang tergantung di jemuran belakang, lalu bergegas kembali ke kamar. Kudengar erangan pelan Ancha ketika dia berusaha melepas celananya yang ternoda bercak darah. Samar kuingat, aku pernah menyimpan kotak P3K di powder room kamarku. Sesuatu yang harus dimiliki setiap ibu sepertiku.

Ketika memasuki kamar, aku tertegun melihat Raffi di ranjangku.

Raffi sedang menatap layar ponselku, jari-jarinya bergerak mengusap perlahan, seperti mencari-cari sesuatu. Menyadari aku yang berdiri di ambang pintu, Raffi mengangkat wajah dan menatapku dengan geram,

“Max? Siapa Max?”

Gawat, Raffi membaca bbm-ku!

“Fi, kamu baca-baca bbm-ku?” Aku melontarkan kalimat pertama yang terlintas di kepalaku. Content-nya tidak penting, ini pelanggaran boundary!

“Jangan berdalih, Yun! Max itu siapa, hah?? Jawab!” Raffi meraung, seketika nampak liar dan mengancam.

“Apa urusan kamu? Siniin hp ku!”

“Jadi gini gaya kamu berkomitmen, Yun? Kamu gak puas sama aku, jadi cari cowok lain yang bisa ewe-in kamu?”

Raffi terus meraung marah. Dia membanting ponselku dan bangkit berdiri, membentak-bentak wajahku. Kurasakan semburan air liurnya ketika terus berteriak, melontarkan semua sumpah serapahnya yang begitu menyakitkan di setiap kata.

“Cukup, Fi.. Pulang sekarang, dan jangan kembali lagi..” Ucapku nyaring namun dingin.

Plak!

Aku terhuyung ketika telapak Raffi menghantam pelipisku. Tubuhku terdorong ke samping, bahuku nyeri membentur dinding. Terkejut, sakit, takut dan marah. Air mata menggenangi pipiku, perih dan denging mengisi kepalaku.

“Yun, maaf, maaf, aku gak bermaksud..”

Raffi bergerak mendekatiku, lengannya terjulur – mungkin – hendak membantuku berdiri. Tetapi gesture-nya kurasakan sebagai ancaman. Seketika aku berteriak kencang, berdiri dan berlari ke luar kamar.

Raffi bergerak mengejarku. Tubuhku tertabrak dinding, perabotan dan pintu beranda yang tiba-tiba terdorong membuka. Ancha berdiri di sana, memegang pintu dengan wajah waspada. Handuk besar melingkar di pinggangnya, darah merembes dari lekukan lututnya.

“Yun, ada apa? Kamu kenapa?” Ancha menghampiriku dengan prihatin.

Suaranya yang serak dan menenangkan membuatku merasa mendapatkan perlindungan. Dalam ketakutan, aku menghambur memeluk lengannya.

“Yun!”

Raffi tiba di ambang dapur. Terengah-engah. Matanya nanar memandangku, Ancha, handuknya, lalu kembali menatapku.

“Ooooohhh.. Jadi ini si Max? Ini gigolo kamu?”

“Raffi! Jaga mulut kamu!” Aku berteriak.

“Yun, tenang, kamu ke belakang dulu.” Ancha menyikutku lembut, lalu melanjutkan,

“Anak muda, kamu pulang dulu, kalian perlu menenangkan dir..”

“Diam! Gigolo macam kamu gak usah sok bijak! Kamu yang pergi! Dasar gak tahu diri. Pelacur laki-laki! Aku gak percaya, Yun, kamu bahkan gak nunggu aku pergi sebelum manggil dia???”

Rahang Ancha terlihat sedikit berkedut menahan geram. Dia menghela napas, suaranya terdengar dalam saat bicara kemudian,

“Raffi, sebaiknya kamu diam dan pulang, sebelum mengatakan lebih banyak hal yang akan kalian sesali.” Ancha berujar dengan tenang.

“Halaahh.. Sok kamu!”

Raffi menyambar gelas dari rak di atas wastafel, melontarkannya lurus ke wajah Ancha. Lengan Ancha bergerak sekelebat, menangkap gelas itu di udara, lalu meletakkanya dengan tenang di kusen jendela.

“Pulanglah.”

Suara Ancha yang tetap tenang membuat Raffi semakin murka. Sekali lagi disambarnya sesuatu dari rak atas, sebuah pisau dapur!

Hanya sebuah kilasan samar yang terlihat, ketika Ancha bergerak secepat kilat, bergerak ke arah Raffi yang belum juga selesai memutar tubuhnya menghadap kami. Ancha menangkap lengan Raffi yang memegang pisau, memutarnya ke belakang, terlihat santai namun pasti.

Raffi mencoba memberontak melepaskan diri. Sebelah tangannya tertekuk, mengayunkan sikunya ke belakang, lalu mengaduh ketika membentur bahu Ancha yang – ternyata – sekeras batu.

Ancha mendesis,

“Pikirkan..”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar