Jumat, 13 November 2015

Cerita Dewasa Farah Queen dan Ririn Marinka 2

Pulau tanpa nama, Hari ke 2.
Keesokan paginya Ray bangun lebih dulu dari pada yang lain. Walau tubuh masih sedikit ngilu Ray paksakan diri untuk bangun. Ray yang merasa tubuhnya lengket lalu berjalan menuju kolam. Tanpa mempedulikan hawa dingin dia segera melepas pakaiannya dan masuk ke dalam kolam. Setelah merasa segar dia keluar dari kolam dan memakai pakaiannya kembali. Kini Ray merasa betul-betul segar.

Menyadari mereka bertiga belum makan sejak kemarin, Ray lalu berusaha mencari makanan. Ray memetik beberapa butir kelapa dan beberapa macam buah yang dia temukan di sekitar tempat itu. Sambil menunggu Farah dan Marinka bangun Ray lalu duduk di tepi pantai sambil berpikir apa yang harus dia lakukan.

Sinar matahari mulai tampak di ufuk timur saat Ray mendengar langkah seseorang mendekatinya. Ray menoleh, sedikit terkejut saat Farah berdiri di belakangnya. Bukan karena kedatangannya, tapi keadaan Farah saat itu. Pakaiannya yang robek di beberapa tempat hampir memperlihatkan seluruh tubuhnya yang seksi. Apalagi saat itu sinar mentari seperti menyorot tepat ke tubuhnya, sehingga kulitnya yang eksotis itu terlihat makin menarik.

Sebenarnya keadaan Farah itu sudah dari kemarin. Tentu saja Ray tidak sempat memperhatikan hal seperti itu disaat nyawa mereka terancam. Kini saat keadaan normal, keadaan itu tentu menarik perhatiannya. Farah sendiri cuek walau menyadari keadaan dirinya. Farah lalu duduk di samping Ray.

"Merasa baikan?" tanya Ray.

Farah hanya diam, seperti tidak mendengar pertanyaan Ray. Ray menoleh ke arah Farah. Ray menjadi khawatir melihat keadaan Farah saat itu. Pandangan mata Farah kosong, mukanya tampak sedih, lalu berubah muram, kemudian terdengar isak tangisnya, awalnya lirih lalu makin lama isaknya semakin keras terdengar.

"Kenapa Far?" tanya Ray sambil merangkul Farah mencoba menghiburnya.

Bukan jawaban yang diterima Ray, melainkan tangisnya yang semakin keras hingga bahunya terguncang. Ray lalu membiarkan Farah untuk mengeluarkan air matanya. Dia semakin mengencangkan rangkulannya pada pundak Farah. Merasa mendapat kenyamanan, Farah menjatuhkan kepalanya di dada Ray. Ray membiarkan hal itu sampai tangis Farah mereda sendiri. Hanya isak tangis yang masih sesekali terdengar.

"Kenapa Far?" Ray mengulangi pertanyaannya setelah merasa kalau Farah sudah cukup tenang.

"Aku takut Ray."

"Takut kenapa?" tanya Ray meski dia bisa menduga apa yang di maksud.

"Aku takut kita tidak bisa pulang. Kalau kita tidak bisa pulang, lalu bagaimana dengan anakku," ucap Farah dengan takut, sedih, dan gelisah.

"Tenanglah Far. Aku yakin tim SAR pasti sedang mencari kita. Semoga saja tidak lama lagi mereka akan sampai ke tempat ini," ujar Ray meyakinkan.

"Tapi bagaimana kalau tim SAR tidak pernah sampai tempat ini?" Ucap Farah dengan mata mulai berkaca-kaca lagi.

"Kalau tim SAR tidak sampai sini, mungkin akan ada kapal yang lewat perairan ini. Karena Samudera Hindia merupakan Samudera yang paling banyak dilalui untuk pelayaran," ujar Ray berusaha untuk lebih meyakinkan.

"Kau yakin? Tapi sampai kapan kita harus menunggu hal itu?"

"Aku tidak tahu Far. Tapi satu yang pasti, aku berjanji kalian berdua pasti akan pulang, bagaimanapun caranya!"

"Terima kasih, Ray. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku jika kau tidak menolongku dan Marinka."

"Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Kau pasti lapar! Aku sudah mengambil beberapa macam buah untuk kita. Ayo kita isi perut kita dengan buah itu untuk sementara."

Ray bangkit, kemudian membantu Farah berdiri. Lalu bersama-sama menuju tempat mereka tidur semalam. Sampai di goa itu Ray kembali harus menenangkan Marinka yang juga merasa ketakutan seperti yang dialami oleh Farah. Farah yang sebelumnya sudah tenang kembali terisak melihat Marinka menagis. Akhirnya dengan susah payah, Ray berhasil juga menenangkan mereka. Kemudian dengan sedikit paksaan Ray menyuruh mereka untuk sekedar mengisi perut dengan buah-buahan yang berhasil dipetiknya.

Setelah makan buah-buahan itu, Ray lalu berkata, "Kalian istirahat saja disini. Aku akan mencoba mengitari pulau ini. Siapa tahu ada penghuni, benda atau apapun yang bisa menolong kita untuk kembali ke daratan atau bertahan hidup di tempat ini. Kalau ada sesuatu kalian berteriak saja."

Setelah berkata seperti itu Ray lalu masuk ke hutan yang ada di belakang goa tempat tinggal mereka. Dengan membawa tongkat kayu yang dibawanya Ray lalu menjelajah hutan berbukit itu. Bukit itu tidak terlalu tinggi, hingga Ray dapat mencapai puncaknya kurang dari satu jam walau dia belum mengenal medan sebelumnya. Sesampainya di puncak Ray lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh arah.

Pulau itu ternyata kecil. Luasnya mungkin hanya sekitar lima puluh ribu meter persegi. Ray dapat melihat keseluruhan ujung pulau dari tempat dia berdiri. Hamparan pohon kelapa di sekitar pantai tempat mereka mendarat. Menyambung dengan hamparan pasir putih, lalu gugusan batu koral serta batu karang putih dan terakhir hamparan pepohonan yang menghijau yang kemudian menyatu dengan hamparan pohon kelapa.

Ray juga melihat banyak burung beterbangan di puncak pohon, dan sekitar batu karang mencari ikan. Ray menyadari kini mereka harus menghadapi kenyataan yang ada di depan mereka. Bahwa mereka berada di pulau tidak berpenghuni. Walau pulau ini kecil, tapi dengan keadaan pulau yang seperti ini. Mereka akan tetap bisa bertahan hidup dengan memanfaatkan semua potensi yang ada di pulau ini. Bagi dirinya mungkin tidak masalah, dia sudah hidup sebatang kara. Tapi bagaimana dengan Farah dan Marinka?

Setelah beberapa lama akhirnya Ray turun, kali ini dia turun lewat jalur lain sambil melihat sisi lain dari pulau ini. Menjelang tengah hari Ray baru sampai ke tempat dia meninggalkan Farah dan Marinka. Mereka segera memeluk Ray, begitu melihat kedatangannya.

"Kenapa?" tanya Ray membalas memeluk mereka.

"Kami takut kau meninggalkan kami," ucap Farah.

"Kenapa kau lama sekali?" sambung Marinka.

"Tenanglah. Aku tidak akan meninggalkan kalian. Mari kita duduk, aku akan berbicara dengan kalian."

Mereka lalu duduk di papan yang mereka bawa. Setelah diam sebentar, Ray lalu berkata, "Sepertinya kita harus membiasakan hidup di pulau ini sampai ada bantuan yang datang. Kabar baiknya, kita tidak akan kelaparan selama tinggal di sini. Aku tahu kalian berdua mungkin masih shock karena keadaan ini, aku juga mengalaminya. Tapi kita tidak bisa selamanya seperti ini. Kita harus menghadapi kenyataan yang ada. Sambil menunggu bantuan datang, kita harus bertahan hidup. Untuk bertahan hidup kita harus bekerja sama. Karena itu aku butuh bantuan kalian. Kalian mengerti dengan apa yang aku katakan?" ujar Ray memandang mereka berdua.

Keadaan hening untuk sementara. Hanya riak air yang terdengar dari kolam di dekat mereka. "Aku mengerti Ray. Aku akan mengikuti semua petunjukmu, karena aku percaya padamu," ucap Farah.

"Aku juga percaya padamu Ray. Karena itu aku akan menuruti semua keputusanmu," lanjut Marinka.

"Terima kasih kalau kalian mau mengerti. Untuk sementara kita tinggal di goa ini, sambil mencari tempat yang lebih baik. Ayo kita periksa barang-barang yang kita temukan, kita manfaatkan apa yang ada." ucap Ray sambil beranjak ke goa.

Dengan pisau yang ditemukan dalam salah satu koper. Ray lalu membuat tombak dari ranting pohon. Setelah itu dia menuju ke pantai yang banyak di kitari burung untuk mencari ikan. Dengan tombak yang dibawanya dia berusaha untuk menangkap ikan yang berada di sekitar perairan batu karang itu. Dengan susah payah akhirnya Ray berhasil melumpuhkan tiga ikan yang cukup besar. Karena merasa sudah cukup dia lalu berjalan kembali ke goa.

Setelah menyerahkan ikan, Ray kembali ke arah pantai. Di pasir pantai yang cukup lebar dia menulis huruf SOS dengan besar. Lalu membuat semacam umbul-umbul dari sisa kain yang mereka temukan dan menancapkannya di ke empat sisi pulau, juga di dahan pohon yang paling tinggi yang bisa dicapainya.

Setelah selesai, Ray lalu kembali. Ternyata ikan yang dibawanya telah siap santap. Enak rasanya, Walau hanya dimasak sederhana. Apalagi yang memasak adalah dua orang Chef yang terkenal. Mungkin karena sebagian penumpang adalah para Chef, maka barang yang mereka bawa berhubungan dengan dapur. Dari beberapa barang yang ditemukan terdapat satu set pisau, beberapa botol bumbu dapur, tabung gas kecil siap pakai, pemantik api, celemek dan lain sebagainya.


-00-

Pulau tanpa nama, Hari ke 3 - 7.

Hari-hari selanjutnya semuanya mulai terbiasa dengan rutinitas kehidupan di pulau itu. Mereka masih tetap tinggal di goa itu, karena Ray merasa belum menemukan tempat yang lebih baik. Dengan daun dan kain mereka membuat semacam alas tidur. Kemudian mereka membagi tugas. Farah dan Marinka akan bergantian memasak, dan yang tidak memasak akan ikut bersama Ray untuk mengumpulkan kayu, daun buat sayur, buah dari hutan. Lalu menangkap ikan dengan tombak, atau kalau beruntung bisa menangkap burung dengan jebakan yang mereka buat.

Hubungan mereka semakin akrab dan intim, jiwa mereka seakan sudah menyatu. Bahkan seakan sudah tidak ada sekat dan jarak diantara mereka. Rasa malu sudah sedikit menghilang. Ya dengan keadaan seperti itu, tidak mungkin pakaian mereka akan di pakai berhari-hari. Kadang-kadang mereka harus mencucinya, dan mau tidak mau mereka hanya memakai celemek untuk sekedar menutup tubuh mereka. Tapi makin lama ketelanjangan bukan hal yang aneh diantara mereka.

Pemandangan pulau itu cukup indah. Cuacanya juga bersahabat. Andai saat ini mereka bukan dalam keadaan terdampar, mungkin mereka akan menganggap ini adalah suatu liburan yang sangat sempurna. Terutama hal itu berlaku bagi Ray. Bagaimana tidak, dia bagai hidup di surga dengan dua bidadari di sampingnya.

Mungkin sebenarnya mereka semua sama-sama tahu apa yang ada dalam pikiran masing-masing, tapi tidak tahu bagaimana cara memulainya. Andai saja mereka berdua, entah Ray dan Farah atau Ray dan Marinka maka hubungan itu akan mudah berlangsung. Untuk Farah dan Marinka mereka mungkin bisa menyembunyikannya. Tapi bagi Ray tentu hal itu sulit sekali, apalagi ukuran penis yang besar akan mudah kelihatan saat dia merasa horny karena melihat tubuh masing-masing.


-00-


Pulau tanpa nama, Hari ke 8.

Hari itu adalah giliran Marinka yang memasak. Sementara Ray dan Farah yang mengumpulkan makanan. Setelah mengumpulkan buah dan kayu, mereka lalu menuju pantai untuk mencari ikan. Karena tempat yang biasa sudah berkurang ikannya, mereka mencari sedikit jauh.

Entah apa yang ada dalam pikiran Farah, hari ini dia seperti ingin menggoda Ray. Seperti waktu di dalam hutan, dia pura-pura terkilir kemudian minta digendong Ray. Ray tentu dengan senang hati menggendongnya, tapi akibatnya tubuh bawahnya menjadi bangun. Dan dia harus sekuat hati menahannya agar tidak terlihat Farah maupun Marinka.

Kini saat Ray sedang berusaha untuk menangkap ikan, Farah mengagetkannya hingga ikannya menjadi kabur. Dua kali dia melakukan hal itu, dan Ray tahu Farah sengaja menggodanya. Untuk beberapa saat Ray masih cuek, tapi saat Farah mendorong tubuhnya hingga terjebur ke laut, Ray melayani godaan Farah. Dia menyipratkan air ke arah Farah.

Farah berusaha lari menghindar. Mereka lalu bekejaran di tepi pantai itu. Ketika jarak sudah cukup dekat, Ray lalu menangkap lengan Farah dengan tangan kanannya, sementara lengan kirinya menarik pinggang Farah ke tubuhnya. Farah terjerambab dalam pelukan Ray, Farah berusaha melepaskan diri. Tapi Ray mencium bibir Farah, kemudian memondongnya ke tempat teduh dan membaringkannya di pasir putih pantai itu.

Farah berupaya berontak melepaskan diri, tetapi Farah tidak melakukan perlawanan atau upaya melepaskan diri yang berarti. Sepertinya hanya suatu gerakan manja yang malah makin merangsang birahi dari Ray, seperti gerakan anak perawan yang malu-malu kucing. Ray lalu menindih tubuh Farah di atas pasir yang lembut dan hangat.

Pagi ini Farah tampak sangat menggoda. Cantik dan seksi dalam pakaian hitamnya yang telah sobek di beberapa tempat. Kepalanya menengadah, seakan siap menerima sentuhan. Ray mencoba mencium lehernya, tidak ada reaksi perlawanan. Ray melanjutkan ciumannya ke arah buah dadanya, Farah hanya menggeliat sambil mencakar-cakar dan menarik baju kaos Ray satu-satunya hingga robek, sewaktu mulut Ray mulai menggelitik kedua putingnya, lalu ke bawah, turun keperut sampai ke bawah pusatnya. Persis menggigit halus gumpalan daging di atas pubisnya walaupun masih dibalik bajunya.

Farah mengerang, gigitan halus ditempat itu membuat Farah seperti kesurupan, "Ohhchh Ray, jangan siksa aku," desah Farah meminta.

"Kaulah yang menyiksaku selama ini, Far," balas Ray sambil melucuti pakaian Farah.

Farah juga aktif melucuti celana pendek Ray. Dan dia takjub saat melihat penis Ray yang begitu besar. Ray tidak membiarkan Farah mengagumi penisnya. Dia langsung mengecup bibir Farah, kemudian melumatnya. Farah tidak mau kalah, dia membalas lumatan itu dengan tidak kalah ganasnya. Sementara bibirnya melumat bibir Farah, tangan Ray bergerilya ke arah dada. Tangannya menemukan gundukan bukit besar, lalu dielus-elus dan diremasnya buah dada sambil sesekali memelintir putingnya.

"Ooh.. Ray.. ergh.. sshh..," Farah mulai mendesah menandakan birahinya yang mulai naik, sesekali Farah menelan ludahnya yang mulai mengental.

Setelah puas dengan bibir Farah, kini mulut Ray turun ke bawah. Tampaknya Ray ingin merasakan bagaimana rasanya mengulum buah dada Farah yang terkenal besar. Sejenak Ray memandangi buah dada yang kini tepat berada di hadapannya, 'Ooh sungguh indahnya, mulus tanpa cacat sedikitpun, seperti belum pernah terjamah lelaki' pikir Ray. Setelah puas memandangi, Ray lalu mulai menjilati mulai dari bawah lalu ke arah putingnya. Sedangkan buah dada kanannya tetap diremas-remasnya, sehingga semakin terasa kenyal dan mengeras di telapaknya.

"Emmh oh aarghh..!" Farah mendesah hebat ketika Ray menggigit puting susunya. Matanya merem-melek dan giginya menggigit bibir bawahnya.

Setelah puas dengan buah dada, kini jari Ray merayap ke arah selangkangan Farah. Ditempat itu Ray merasakan ada rumput yang tumbuh di sekeliling vaginanya. Lalu jari-jari Ray bergerak ke arah dalam, terasa lubang itu sudah sangat basah, tanda bahwa Farah sudah benar-benar terangsang. Ray mempermainkan jari-jarinya sambil mencari klitorisnya. Mengerakkan jari-jarinya keluar-masuk di dalam lubang yang semakin licin tersebut.

"Aargghh.. eemhh.. Ray.. oohhh..!" kata Farah meracau tidak karuan, kakinya menjejak-jejak pasir dan badannya menggeliat-geliat.

Ray tidak mempedulikan kata-kata Farah. Tubuh Farah semakin menggelinjang dikuasai nafsu birahi. Ray merasakan tubuh Farah menegang dan wajahnya memerah bercucuran keringat, Ray berpikir Farah sudah mau klimaks. Dia mempercepat gerakan jarinya didalam vagina Farah.

"Ohh.. arghh.. oohh..!" kata Farah dengan nafas tersengal-sengal dan tiba-tiba.. "Oohh aahh..!" Farah mendesah hebat dan pinggulnya terangkat, badannya bergetar hebat beberapa kali. Cairan hangat memenuhi vaginanya. "Ohh.. ohh.. emhh.." Farah masih mendesah-desah meresapi kenikmatan yang baru diraihnya.

Setelah memberi Farah waktu sejenak, untuk menikmati orgasmenya, Ray lalu berbisik di telinga Farah, "Giliranku Far."

Melihat Farah mengangguk kecil, Ray lalu kembali mencumbu Farah seperti yang dilakukannya tadi. Mulai dari melumat bibirnya, mengenyot buah dadanya, dan jari-jarinya yang kembali bermain di dalam vagina Farah.

"Aarghh.. emhh.. ooh..." terdengar Farah mulai mendesah-desah, menandakan dia telah kembali terangsang. Setelah Ray merasa cukup, dia lalu mensejajarkan tubuhnya di atas tubuh Farah. Melihat itu Farah lalu mengangkangkan pahanya, Ray kemudian mengarahkan penisnya ke vagina Farah. Perlahan-lahan Ray memasukkan penisnya, cukup mudah penis itu memasuki vagina Farah karena sudah sangat basah dan licin. Kini Ray mulai menggerakkan pinggulnya naik turun perlahan-lahan.

"Lebih cepat Ray arghh.. emhh.." kata Farah terputus-putus dengan mata merem-melek. Ray mempercepat gerakannya dan terdengar suara berkecipak dari vagina itu. "Iya.. begitu.. aahh.. ter.. rrus.. arghh.." Farah berkata tak karuan.

Keringat birahi telah melumuri tubuh mereka berdua, dan entah berapa lama pergumulan mereka. Dua anak manusia yang berada di tempat asing, yang tampaknya nafsu yang sudah lama terpendam membuat mereka berdua lupa segala-galanya. Baik tempat, waktu, maupun keadaan. Tiba-tiba Farah minta berganti posisi, kini Farah berada di atas. Dia lalu memasukkan penis Ray ke lubang vaginanya, sambil menarik tubuh Ray untuk duduk dan menyedot kedua putingnya.

Farah kemudian menggoyangkan pinggulnya naik turun. "Ray, i want to cum agains.. oohh.. ahh.. aahh.. ahh.." kata Farah sambil mendesah panjang, tubuhnya bergetar dan Ray dapat merasakan vagina Farah dipenuhi cairan hangat yang kemudian menyiram penisnya.

Remasan dinding vagina Farah begitu kuat, hingga membuat Ray merasa keenakan. Dia lalu mempercepat gerakannya, "Ohh Farr..! I want to cum, Farr..!" dan.., 'croott..' Ray juga mencapai klimaks. "Aaahh..," desah Ray membiarkan spermanya keluar di dalam vagina Farah.

Vagina Farah berdenyut ikut memeras sperma yang muncrat dari penis Ray, tak ada setetespun yang tercecer diisapnya semua, dan mereka semakin mengencangkan pelukannya sambil menikmati sisa birahi. Berciuman, berpelukan, lemas dan Farah tersenyum nikmat. Badannya masih telungkup di atas tubuh Ray, sementara penis Ray masih berada di dalam vaginanya.

"Kamu nakal Ray," kata Farah tersenyum sambil menggelitik dada Ray dengan jari-jarinya.

"Karena kau, aku jadi nakal," balas Ray juga menggelitik gundukan daging diatas pubisnya.

"Oowwhh.. Ray, stop it," teriak Farah sambil mengencangkan pelukannya.

Belum lagi keringat dan lendir yang melumuri tubuh mereka mengering, Farah tiba-tiba mencoba untuk berdiri. Tetapi Ray menahannya, "Kenapa Far," tanya Ray.

"Aku takut Marinka kemari," ucapnya pelan.

"Kenapa kalau Marinka kemari. Dia tahu juga tidak apa-apa," kata Ray sambil mengecup bibir Farah. Ray kemudian membalikan badannya, sehingga Farah sekarang terlentang dibawahnya. Lalu dengan penuh kelembutan Ray melumat bibir Farah.

"Terserah kamu Ray, Owwhh"

Setelah medapat persetujuan, Ray makin berani. Dia menggunakan lidahnya untuk membelah bibir Farah, mempermainkan lidahnya. Farah pun mulai berani, lidahnya juga dipermainkan sehingga lidah mereka saling beradu, membuat Ray semakin betah saja berlama-lama menikmati bibir Farah.

Seperti babak sebelumnya, tangan Ray juga beroperasi di dada Farah. Meremas-remas dadanya yang kenyal mulai dari lembah hingga ke puncaknya, lalu dipelintir putingnya sehingga membuat Farah menggeliat dan mengelinjang.

Dua bukit kembar itupun semakin mengeras. Farah menggigit bibir Ray, ketika Ray memelintir putingnya. Ray yang sudah puas dengan bibir Farah, kini mulutnya mengulum dan melumat buah dada Farah. Dengan sigap lidahnya menari-nari diatas bukit yang coklat mulus itu. Tangannya tetap meremas-remas buah dada Farah yang kanan. Mata Farah menjadi redup, dan dia memagut-magut bibirnya sendiri, mulutnya mengeluarkan desahan erotis.

"Oohh.. arghh.. en.. ennak Ray.. emhh.." kata Farah mendesah-desah.

Tiba-tiba tangannya memegang tangan Ray yang sedang meremas-remas dadanya dan menyeretnya ke selangkangannya. Ray paham apa yang diinginkan Farah, rupanya dia ingin Ray segera mempermainkan vaginanya. Jari-jari Ray segera bergerilya di vagina Farah. Ray menggerakkan jarinya keluar masuk dan mengelus-elus klitorisnya membuat Farah semakin menggelinjang tak karuan.

"Ya.. terruss.. aargghh.. emmhh.. enak.. oohh.." mulut Farah meracau. Setiap kali Farah terasa mau mencapai klimaks, Ray menghentikan jarinya menusuk vagina Farah, setelah dia agak tenang, Ray kembali mempermainkan vagina Farah. Hal itu dilakukan Ray berulang kali.

"Emhh Ray.. dont be me mads oohh...! kata Farah memohon.
Mendengar itu membuat Ray merasa kasihan juga, tapi tentu saja tidak akan membuat Farah klimaks dengan jarinya karena dia punya pikiran lain. Ray mengarahkan mulutnya ke selangkangan Farah. Menyibakkan rumput-rumput hitam yang ada disekeliling vagina Farah, dan terlihatlah vagina Farah yang merah dan mengkilap basah, sungguh indah dipandang. Segera Ray menjilati lubang itu, lidahnya dijulurkan keluar masuk.

"Ray.. arghh.. emhh.." desah Farah.

Ketika lidah Ray menyentuh klitorisnya, Farah mendesah panjang. Tubuhnya menggeliat tidak karuan, dan tidak lama kemudian tubuhnya bergetar beberapa kali. Tangan Farah mencengkeram pasir, akhirnya mulut Ray di penuhi cairan yang keluar dari liang kewanitaan Farah.

"Ohmm.. emhh.. ennak Ray.. aahh.." kata Farah ketika ia klimaks.

Setelah Farah selesai menikmati kenikmatan yang diperolehnya, Ray kembali mencumbunya, karena Ray juga ingin mencapai kepuasan. Setelah vagina Farah siap, Ray lalu memasukan penisnya ke dalam vagina Farah. Penis Ray kembali mengaduk vagina Farah untuk kedua kalinya. Dan Farah dengan senang menggoyangkan pinggulnya melingkar dan naik turun, sambil kedua kakinya melilit tubuh Ray. Tidak sampai disitu, Farah juga aktif mencium bibir Ray. Kemudian menarik kepala Ray dan membawa ke dadanya, sepertinya buah dada Farah juga ingin dikulum dan dikenyot.

Farah menjadi sangat agresif dan ganas. Mungkin pelampiasan dari birahinya yang terpendam setelah perceraiannya. Dan tanpa ragu-ragu Ray melayani permainan dari Farah. Sungguh nikmat dan tidak pernah ada dalam bayangan Ray, bahwa wanita yang sempurna dalam paras maupun tubuh, juga sangat sempurna dalam bercinta, kini sedang ada dalam pelukannya.

Farah meminta digendong sambil melingkarkan kakinya dipinggang Ray, agar penis Ray tidak terlepas dari vaginanya, sambil Ray melumat kedua buah dadanya bergantian dengan mulutnya sambil dionjot-onjot. Karena gaya itu sangat menguras tenaga mereka berdua, maka Farah meminta Ray untuk segera menyudahi. Ray lalu duduk di bawah pohon, kemudian mendudukkan Farah di atas selangkangannya berhadapan. Farah membuang kepalanya ke belakang memberikan kesempatan agar kedua buah dadanya dihisap dan diremas Ray.

"Auuww achhh...!" desah Farah saat mencapai orgasmenya yang kedua, dia memburu dengan mengocok vaginanya dengan tumbukan penis Ray menggetarkan seluruh tubuhnya termasuk buah dadanya.

Ray menghentikan gerakannya untuk membiarkan Farah menikmati kenikmatan yang diperolehnya. Setelah itu Ray lalu mencabut penisnya dan menyuruh Farah menungging lalu memasukkan penisnya dari belakang. Farah terlihat hanya pasrah saja terhadap apa yang Ray lakukan kepadanya.

Farah hanya bisa mendesah kenikmatan. Setelah puas dengan posisi ini, Ray menyuruh Farah rebahan kembali. Ray memasukkan lagi penisnya dan kembali memompa vagina Farah, karena Ray sudah ingin sekali mengakhirinya. Beberapa saat kemudian Farah ingin klimaks lagi, wajahnya memerah, tubuhnya menggelinjang kesana kemari.

"Ahh.. oh.. aku mau enak lagi Ray.. arrghh ahh.." kata Farah.

"Tunggu Far, ki kita bareng. Aku juga hampir," kata Ray.

"Aku sudah tidak tahan Ray.. ahh.." kata Farah sambil mendesah panjang, tubuhnya bergetar hebat, pinggulnya terangkat naik.
Cairan hangat menyiram penis Ray, dan dinding vagina Farah seakan-akan menyedot penis Ray begitu kuat. Dan akhirnya Ray tidak kuat juga, dan 'croott..'

"Ohhhhh Farr... Akhu.. jugha.. achhhhh..,"

Dan Farah hanya terdiam mendesis. Lama sekali mereka berdiam berpelukan sambil menikmati hangatnya birahi.

"You are great, honey," kata Farah tersenyum puas.

Ray mengecup mulut itu, sebelum Farah meminta Ray menggendongnya kembali ke goa. Saat melihat Farah digendong Ray, Marinka hanya tersenyum. Tampaknya Marinka tahu apa yang terjadi, tapi dia hanya diam.


-00-

Pulau tanpa nama, Hari ke 9.


Keesokan harinya Ray berteriak girang saat melihat sesuatu menuju ke arah pulau itu, saat dia sedang memeriksa jebakan untuk burung di atas pohon. Ray memberi tahu Farah dan Marinka, mereka tampak senang sekali. Lalu bersama menanti di tepi pantai untuk menyongsong hal itu. Mereka semakin gembira saat benda itu mendekat, tampak seperti perahu.

Ternyata itu memang perahu. Memang hanya perahu nelayan kecil. Tapi cukup kalau hanya untuk lima orang. Melihat hal itu mereka menjadi sedikit heran. Dan bertambah heran saat tidak melihat siapapun di atas perahu itu. Karena penasaran, Ray lalu terjun ke laut dan berenang mendekati perahu itu.

Rasa girangnya menjadi kekecewaan saat dia tahu bahwa perahu itu memang tidak ada penumpangnya. Ray lalu mencoba mendorong perahu itu ke arah pantai. Saat tahu apa yang terjadi Farah dan Marinka juga tampak kecewa dan sedih. Setelah Ray mengikat perahu itu, mereka lalu kembali ke goa. Dan Ray memahami kekecewaan mereka, sama seperti dirinya yang juga kecewwa.


-00-


Pulau tanpa nama, Hari ke 10 - 20.

Hari-hari selanjutnya kehidupan di pulau itu kembali seperti sebelum datangnya perahu yang terdampar. Farah dan Marinka sepertinya sudah sama-sama tahu, kalau saat salah seorang diantara mereka ikut mencari makanan bersama Ray maka mereka akan bercinta dengan Ray. Yang belum pernah mereka lakukan adalah bercinta secara bersama atau Thresome. Ada keinginan dalam hati mereka masing-masing untuk melakukan hal itu. Tapi mereka belum tahu bagaimana cara memulainya.

Bagi Ray tempat ini adalah surga. Bagaimana tidak, semua kebutuhan dasar manusia bisa dia dapatkan di pulau ini. sumber makanan berlebih, tempat tinggal tidak masalah, mau bercinta dia bisa memilih. Dengan Farah atau Marinka. Itu adalah keinginan Ray. Tapi dia juga tidak ingin menjadi egois. walau Farah dan Marinka tampak senang dan bahagia, tapi Ray tahu apa yang ada dalam hati mereka.

Mereka pasti menginginkan untuk bisa kembali ke daratan. Hal itulah yang menjadi pikiran Ray selama berhari-hari selanjutnya. Ray berpikir, kemungkinan bantuan dari luar tampaknya hampir nol persen. Sudah dua minggu lebih mereka di sini, tapi tidak ada tanda-tanda bantuan itu. Masalah itu membuat Ray berpikir untuk bisa mencari jalan kembali ke daratan.

Pertama Ray berusaha untuk menganalisa kejadian ini dari awal. Kapal itu besar dan canggih. Kalau kapal itu kehilangan kontak, pasti akan segera diketahui lokasi terakhirnya. Dengan diketahuinya lokasi, pertolongan akan segera datang Walau mungkin tidak dapat menyelamatkan seluruh penumpang. Dan dengan tenggelamnya kapal itu, tentu akan dilakukan pencarian besar-besaran untuk para penumpang yang hilang. Tapi kenapa pencarian itu tidak sampai ke pulau ini.

Apakah pulau ini terlalu jauh dari lokasi kejadian. Ray lalu mencoba berpikir dimana kira-kira mereka berada. Mereka mengawali perjalanan dari pelabuhan Colombo. Tujuan atau persinggahan pertama kapal pesiar itu adalah kepulauan Maladewa. Jadi tenggelamnya kapal itu pasti terjadi antara Colombo ( Srilangka ) dan Maladewa.

Ray mmencoba kembali menggunakan nalarnya. Anggap saja kejadian itu di sebelah timur dari Maladewa. Lalu kejadian itu terjadi sekitar pukul 12 malam atau 1 pagi. Kemudian mereka mendarat di pulau ini sekitar pukul 5 atau 6 sore. Itu berarti mereka terseret oleh arus laut selama 17 sampai 19 jam. Di Samudera Hindia kecepatan angin saat keadaan normal adalah 50 kilo meter perjam. Jadi kemungkinan jarak terjauh pulau ini dengan tempat kejadian adalah sejauh 950 kilo meter.

Masalahnya mereka awalnya terseret ke arah mana. Mereka tahu terseret ke arah selatan setelah empat jam dari kejadian. Yang pasti mereka tidak ke arah barat, barat daya maupun barat laut. Sementara kemungkinan yang terjadi adalah pertama mereka ke utara, lalu ke arah selatan. Yang kedua ke arah timur laut, lalu ke selatan. Ketiga adalah ke arah timur, lalu ke selatan. Keempat ke arah tenggara, lalu ke selatan dan yang terakhir adalah mereka menuju arah selatan sejak terseret pertama kali, saat terjun dari kapal.

Diarah manapun pulau ini berada kalau mau ke daratan mereka harus menuju arah barat laut, utara atau timur laut. Saat mereka terseret dan tanpa beban kecepatan mungkin bisa sampai 50 kilo meter perjam. Tapi kalau mereka berusaha menggunakan perahu yang terdampar itu entah berapa kecepatan yang bisa mereka tempuh. Apalagi perahu itu mesinnya tidak bisa digunakan, karena tidak ada bahan bakar.

Apakah mereka harus mengambil resiko untuk melakukan perjalan di samudera yang luas tanpa tahu berapa lama mereka sampai tujuan. Setelah beberapa hari berpikir, akhirnya Ray berencana untuk membicarakannya dengan Farah dan Marinka.


-00-


Pulau tanpa nama, Hari ke 21 - 35.

Hari itu adalah hari kedua puluh satu mereka berada di pulau itu. Pagi itu, sehabis sarapan Ray berkata, "Aku ingin berbicara dengan kalian," ucapnya dengan serius.

Farah dan Marinka berpandangan. "Ada apa Ray,?" tanya Farah.

"Iya, tampaknya serius," sambung Marinka.

Sesaat Ray memandang mereka berdua, kemudian berkata, "Aku tahu kalian merasa bahagia di pulau ini. Tapi itu karena keadaan yang memaksanya. Aku punya usul, bagaimana kalau kita berusaha untuk pergi dari pulau ini dan kembali ke daratan. Tapi kalian jangan senang dulu. Aku tidak menjamin kita bisa selamat sampai tujuan. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha, berharap dan yang terakhir adalah berdo'a. Bagaimana? Kalau kalian setuju dan mau mengambil resiko dengan taruhan nyawa, akan aku katakan rencanaku. Tapi kalau kalian tidak mau dan ingin tetap di pulau ini, maka aku akan menemani kalian selamanya."

"Kami terserah padamu Ray," jawab Marinka.

"Kalian jangan langsung memutuskan, berpikirlah satu atau dua hari. Setelah itu baru kalian membuat keputusan."

"Benar apa yang dikatakan Marinka, Ray. Kami sudah memasrahkan hidup kami padamu. Kau ingin mengajak kami meninggalkan pulau, kami akan mengikutimu walau dengan taruhan nyawa. Bahkan kalau kau ingin kami menemanimu seumur hidup di pulau ini, kami akan dengan sukarela melakukannya," ujar Farah.

Ray merasa terharu atas jawaban mereka. "Aku sangat berterima kasih atas kerelaan dan kepercayaan kalian yang begitu besar padaku. Baiklah, aku sudah putuskan mengajak kalian untuk berusaha mencoba kembali ke dunia kita. Aku berjanji, kita akan berusaha selamat bersama-sama. Tapi bila tidak, aku yang akan mati lebih dulu dari kalian. Baiklah akan aku ceritakan rencanaku."

Ray lalu menceritakan apa yang menjadi dasar pemikiran, pertimbangan, maupun keputusannya. Dia lalu mengutarakan rencananya, juga meminta masukan dari mereka berdua. Akhirnya setelah semuanya mengerti, Ray lalu berkata, "Baiklah, dalam dua minggu kita persiapkan semuanya. Aku akan mempersiapkan perahu, Farah mempersiapkan perbekalan, dan Marinka membantu siapa saja yang membutuhkan."

Mulai hari itu mereka mempersiapkan segalanya. Setelah merasa yakin perahu itu bisa digunakan, maka dia yang mulai belajar cara mengendalikan perahu. Lalu cara menggulung dan mengembangkan layar dengan cepat, layu mengendalikan layar itu. Bagaimana cara mengendalikan perahu saat ombak besar atau angin kencang, cara menghindari batu karang dan lain sebagainya.

Farah dan Marinka juga mempersiapkan apa yang menjadi tugasnya. Mereka mempersiapkan air tawar, lalu buah-buahan, lalu ikan dan daging yang dikeringkan, juga membantu Ray mempersiapkan perahu itu. Tentu juga persiapan fisik dan mental. Selain itu, mereka yang sangat berterima kasih terhadap segala usaha dan kerja keras Ray, setiap malam akan melayani Ray layaknya melayani kekasih atau suami mereka.


-00-

Pulau tanpa nama, Hari ke 36.

Akhirnya hari yang mereka tunggu datang juga. Pagi itu mereka mengangkat semua barang yang mungkin akan dibutuhkan saat berada di tengah samudera. Ray yang sudah mengamati pergerakan angin selama di pulau itu tahu kapan saatnya angin akan berhembus ke arah utara. Mereka kini telah bersiap dengan menggunakan jaket pelampung yang pernah menyelamatkan mereka.

"Baiklah, tampaknya sudah tiba waktunya. Sebelum berangkat kita berdo'a dulu," ucap Ray.

Setelah selesai berdoa, mereka sejenak memandang ke pulau yang pernah mereka tinggali selama lima minggu ini. "Ayo berangkat," kata Ray.

Bersama-sama mereka lalu mendorong perahu itu ke tengah laut. Begantian lalu naik ke atas perahu itu. Ray masih dilaut untuk memastikan agar perahu itu bisa terbawa oleh angin. Setelah yakin, barulah Ray naik ke atas perahu. Ray lalu menarik tali yang mengikat layar, hingga layar itu membuka lebar.

Setelah layar mengembang maka perahu itu meluncur cukup cepat ke arah utara. Wajah Farah dan Marinka tampak tegang dan gelisah, sementara Ray mencoba untuk tenang. Hari itu perjalanan cukup lancar, perahu bisa terus melaju ke arah utara. Pasti ada sedikit membelok ke timur laut atau barat laut, tapi selama tidak membelok jauh, Ray membiarkan saja.

Ketika sore menjelang malam, angin berubah arah. Ray lalu menurunkan layar, dan menggunakan dayung agar perahu tidak terseret mengikuti arah angin. Malam itu sangat indah, karena bulan hampir terlihat penuh. Dan tampak dekat sekali dengan mereka. Ray meminta Farah dan Marinka untuk bergantian istirahat, dan salah satunya menemani dirinya. Ray meminta mereka menemaninya ngobrol. Karena dia takut akan tertidur kalau berdiam sendirian.

Tentu akan sangat berbahaya kalau semuanya tertidur. Selain ancaman gelombang, bisa saja mereka tercebur ke laut. Untunglah malam itu perjalanan berlangsung aman dan lancar.


-00-

Samudera Hindia, Hari ke 41.

Hari kedua dan ketiga perjalanan lancar tanpa ada gangguan. Hari keempat mulai ada gangguan. Selain gelombang yang sedikit membesar, kodisi fisik mereka juga mulai turun. Dehidrasi adalah yang terutama. Tentu saja hal itu terjadi karena disamping harus menghemat air yang mereka bawa, juga matahari yang begitu terik saat siang, seakan membakar mereka. Selain itu mual, demam, halusinasi dan kondisi mental mempengaruhi mereka.

Hari kelima keadaan semakin memburuk, kondisi fisik Ray juga mulai turun. Hal itu mulai diperparah dengan psikis Farah dan Marinka yang semakin turun. Mereka semakin banyak melamun bahkan kadang-kadang mengigau. Hal itu membuat Ray menjadi tidak bisa beristirahat, karena takut terjadi sesuatu pada mereka.

Malamnya menjadi waktu yang paling buruk. Angin bertiup cukup kencang. Gelombang juga lebih tinggi dari malam-malam sebelumnya. Ray terpaksa mengikat Farah dan Marinka menjadi satu. Agar antara satu dan lainnya tidak terpisah. Angin semakin kencang, hingga tiang layar berderak-derak.

Berkali-kali ombak yang meninggi itu menghantam perahu hingga meninggalkan sisa air dalam perahu. Hal baiknya adalah Farah dan Marinka menjadi sedikit sadar. "Ray.. aku takut," kata Marinka sambil memeluknya.

Begitu juga Farah, dia juga memeluk Ray. Bagi Ray hal ini lebih baik, dari pada mereka hanya diam saja. "Tenanglah, kalian jangan terlalu ke pinggir. Usahakan agar perahu ini tetap stabil. Ikat kuat-kuat jaket kalian. Kita berdo'a saja semoga ada yang melihat tanda yang kita berikan. Karena aku rasa kita telah sampai di lautan yang biasa di lewati kapal yang berlayar," ujar Ray menenangkan.

Hal itu berlangsung lama, hingga apa yang di takutkan oleh ray terjadi. 'Kraaak' tiang layar berderak patah, dan jatuh ke laut, Hal itu membuat perahu oleng dan mereka bertiga hampir terlempar ke laut andai Ray tidak cepat berpegangan.

"Kalian tidak apa-apa?" tanya Ray pada mereka berdua.

"Ya," jawab mereka.

"Kalian berpegangan pada tiang ini sebentar," kata Ray, memindahkan tangan mereka yang memeluknya ke tiang layar yang telah patah.

Dia lalu berjalan mengambil tong air yang telah kosong. Mengikat tong-tong itu dan ujung satunya dia ikat pada pada tubuh Farah dan Marinka. "Ini akan jadi pelampung yang cukup baik, kalau terjadi sesua..,"

Belum sempat Ray menyelesaikan ucapannya, sebuah gelombang air laut menerpanya. Ray terjengkang dan jatuh ke laut, untung dia masih sempat berpegangan pada pingiran perahu. "Ray...!" teriak Farah dan Marinka.

Ray berusaha untuk naik dibantu oleh Farah, sementara Marinka memegangi Farah dari belakang. Dengan susah payah, akhirnya Ray bisa naik. "Kau tak apa-apa Ray," tanya Farah.

"Tidak apa-apa, terima kasih," jawabnya.

Baru saja Ray berdiri tegak, gelombang tinggi kembali datang. Kali ini gelombang menghantam Farah dari belakang. Karenanya dia terjengkang ke depan dan menabrak Ray. Ray yang tidak siap menjadi kehilangan keseimbangan, hingga dia terjengkang ke belakang dan jatuh bersama Farah.

"Ray, Far...!" teriak Marinka.

Untung bagi Farah, tong air yang telah diikat Ray membuat dia cepat naik ke atas. Ray berusaha tidak panik, dia berenang secepatnya untuk naik kepermukaan. Sampai di permukaan dia menengok kiri-kanan, Ray menjadi sedikit lega mengetahui Farah sudah di tepi perahu. Dia lalu membantu Farah naik ke perahu.

Setelah Ray berhasil kembali naik, mereka berusaha agar tidak banyak membuat gerakan. Nafas Ray sudah kembang kempis. Dia tampaknya benar-benar sudah kehabisan tenaga. Hampir dua hari tidak istirahat tentu membuat staminanya berada di titik rendah, di tambah lagi dengan keadaan ini. Hanya rasa tanggung jawab yang membuatnya tetap kuat untuk berdiri menghadapi ini.

Ray tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya mereka kembali terjatuh ke laut. Kekhawatiran Ray sedikit mereda saat gelombang mulai mengecil dan angin kembali sepoi-sepoi. Ray menghela nafas panjang dan meminta Farah dan Marinka untuk beristirahat.

Baru beberapa menit merasa lega, mendadak muka Ray berubah pucat. Dia teringat suasana sebelum peristiwa itu terjadi. Dan dia mendengar suara yang sama seperti saat itu. Suara seperti pesawat terbang, suara itu semakin semakin keras. Tiba-tiba 'Blaaar..' ombak tinggi menghantam perahu.

"Oooh... My.. Goods..," Farah dan Marinka berteriak kaget.

Perahu oleng ke kanan. Ray yang melihat gelombang lain menuju ke arah perahu segera menarik Farah dan Marinka, kemudian mengajak mereka melompat keluar. 'Byuuur..' Tepat saat mereka melompat gelombang besar menghantam perahu itu hingga terbalik. Beruntung mereka lebih dulu melompat, kalau terlambat mungkin mereka akan terjebak di bawah perahu.

Farah dan Marinka segera muncul ke atas permukaan, karena tarikan tong air. Farah dan Marinka berteriak-teriak memanggil Ray, karena Ray tidak muncul-muncul ke permukaan. Ray sendiri masih berusaha untuk berenang ke atas, tapi dia merasa tangan dan kakinya sulit untuk digerakkan. Dan tarikan arus di bawahnya menambah beban untuk dirinya berenang ke atas.

Ray terus berusaha, walau dia merasa tenaganya semakin berkurang, lehernya telah menelan beberapa teguk air laut. Kepalanya terasa berat dan matanya berkunang-kunang. Saat itulah kesadarannya menghilang, tangan dan kakinya terasa lemas dan tidak bisa digerakan. Tubuhnya terasa semakin ringan dan melayang. Saat itulah Ray berpikir, mungkin inilah saatnya dia meninggalkan dunia fana ini.

Gambaran peristiwa masa lalu melintas di matanya. Mulai dari masa kecilnya yang tidak pernah mengenal kedua orang-tuanya. Masa sekolah, masa dia bermain, belajar dan bersahabat. Masa kuliah, masa dia mengenal wanita dan mendapatkan cinta pertamanya, Cynthia. Masa kerja, saat di pulau itu dan hingga kini saatnya dia menghadapi kematian.

Tubuhnya terasa melayang semakin ke atas, saat itulah dia melihat Rangga, Dani, Gavin dan.. "Selamat tinggal semuanya," bisik Ray, dan semuanya menjadi hitam gelap.


-00-

Penutup

Ray mencoba membuka matanya, tapi dia segera menutup matanya kembali, karena silau. Setelah beberapa kali mencoba, matanya bisa menyesuaikan. Tapi hanya warna putih yang dia lihat. Apakah dia di surga atau neraka, pikir Ray. Bukan, bantahnya. Karena saat ini dia bisa merasakan sakit dan selang infus di tangannya. Tapi dimana?

"Ray, kau sudah sadar?" suara seorang wanita menegurnya.

Ray mencoba menoleh untuk melihat siapa orangnya, walau dia merasa sudah tidak asing dengan suara itu. "Kau tidak usah bergerak dulu, aku akan memanggil Pak Rangga," ucap wanita itu, yang bukan lain adalah Sarah, sekertaris dari Rangga.

Mendengar ucapan itu Ray langsung menyadari siapa wanita itu. Tidak lama kemudian Sarah kembali masuk diikuti beberapa orang. Ray menjadi tersenyum melihat siapa saja yang berdiri di depannya. Apakah waktu itu dia tidak berhalusinasi, pikir Ray.

"Syukurlah kau sudah sadar, Ray," ucap Rangga.

"Ya, kami semua sudah khawatir akan kehilangan kau," kata Dani.

"A..," Ray ingin berkata, tapi lebih dulu dipotong oleh seseorang.

"Sudahlah, kau tidak usah bicara dulu. Beristirahat saja," tegur Gavin.

Ray tersenyum mendengar kata-kata dari sahabatnya itu. Dia merasa bersyukur ternyata masih bisa selamat. Tapi dia lebih bersyukur dan bahagia, karena masih banyak orang yang peduli dan perhatian padanya.


-00-

Hari ini Ray di ijinkan untuk pulang. Semua masalah administrasi sudah diurus Sarah. Ray sudah bersiap pulang, saat Sarah yang baru masuk berkata padanya, "Ray ada orang yang ingin bertemu padamu."

Sarah lalu mempersilahkan orang itu masuk. Ternyata Farah dan Marinka. Merasa ada pembicaraan yang mungkin bersifat pribadi, Sarah lalu mengundurkan diri dan berpesan agar menghubunginya, jika Ray sudah siap untuk pulang ke rumah.

Begitu Sarah menutup pintu, Farah dan Marinka segera memeluk Ray. Ray membalas memeluk dan mengelus punggung mereka. "Bagaimana kabar kalian?" tanya Ray.

"Kami berdua baik-baik saja Ray, dan itu semua berkatmu," kata Farah, sambil melepaskan pelukannya.

"Kau sendiri bagaimana?" sambung Marinka.

"Aku baik-baik saja. Ini bukan hanya karena aku seorang. Tapi karena usaha kita semua," ujar Ray.

"Terima kasih, Ray. Sampai kapanpun aku tidak akan lupa hal ini," kata Farah.

"Apakah kita akan tetap berteman?" tanya Marinka.

"Tentu, selamanya. Mungkin kita bertiga bisa liburan lagi bersama-sama," ujar Ray.

"Oke," Jawab Farah dan Marinka berbarengan.

"Bagaimana kalau sekarang kalian ikut ke rumahku? Kita buat pesta," kata Ray sambil memeluk dan meremas pantat mereka.

"Why not," bisik mereka, sambil membalas meremas pantat Ray.

"Atau kita berpesiar di Samudera Atlantik atau Pasifik dengan Royal Carribean," ucap Ray sambil tersenyum.

Mendengar kata-kata itu mereka melapaskan pelukannya, tersenyum, kemudian serentak menjawab, "Never!"





- The End -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar