Jumat, 06 November 2015

Cerita Dewasa Artis Titi Kamal

Aku... Kurniati Kamalia. Sebagai seorang perempuan, mungkin aku adalah satu dari sekian perempuan yang beruntung dalam hidup. Semua yang menjadi impian setiap perempuan di dunia ini telah aku miliki. Cantik tenar dan... pokoknya aku Oke deh.


Dan ke-Oke-an itu semakin lengkap sempurna saat aku akhirnya bertemu dia sang belahan jiwaku. Dia... Cristian Sugiono. Pemuda tampan blesteran Indo-Jerman yang sekarang telah menjadi suamiku.

Kisah perjalanan cinta kami begitu sempurna. Diawali dengan pertemuan, berkenalan, dan akhirnya... Setelah beberapa bulan pedekate, akhirnya di suatu malam yang romantis Tian mengatakan cinta.

"Yes I do." Dengan wajah memerah tersipu aku langsung mengangguk menerima cintanya. Dan fix, kamu-pun akhirnya resmi berstatus pacaran.

Titi Kamal berpacaran dengan Cristian Sugiono.

Tanpa harus menunggu lama, keesokan harinya berita seputar status pacaran kami langsung menjadi head line news di semua media baik cetak maupun elektronik. Bahagianya mereka karena gosip yang sempat mereka hembuskan akhirnya menjadi kenyataan.

Hari berlalu dan tanpa terasa sudah lima tahun kami berpacaran. Dan di sepanjang waktu itu kami hanya merasakan cinta dan bahagia. Kisah kami sempurna persis seperti kisah cinta di negeri dongeng.

Tapi sesempurnanya sebuah kisah sempurna tidak ada yang benar benar sempurna. Pasti ada warna yang akan semakin menyempurnakan kisah sempurna itu. Dan inilah kisahku. Kisah perjalanan kami menuju kisah cinta yang sempurna.


oOo

Sore ini, semakin sore aku semakin gelisah. Bukan gelisah karena resah, tapi gelisah karena grogi. Padahal aku sudah lama mempersiapkan diri untuk hari ini, tapi tetap saja... grogi itu tetap melanda bahkan semakin meraja.

Padahal seharusnya aku bahagia berbunga bunga karena sebentar lagi Tian akan datang. Tapi malah itu dia yang bikin aku grogi seperti ini. Karena kedatangan Tian sore ini bukan untuk ngapel seperti biasanya, tapi untuk melamarku.

Kyaaaaa... Aku dilamaaar. Ya biarpun belum lamaran resmi, tapi kan intinya sama saja. Titi Kamal dilamar Cristian Sugiono.

Dan kegrogianku semakin parah begitu mendengar deru suara mobil Tian. Beberapa saat aku sempat mondar mandir entahlah didalam kamar sebelum akhirnya memberanikan diri keluar menyambut Tian.

Tapi begitu sampai di teras aku langsung sewot maksimal. Grogi yang sempat melanda langsung berganti kesal. Bagaimana aku nggak sewot coba kalau pacar tercintaku ternyata sudah diserobot pembantu yang genitnya naudzubille.

Ya emang sih... Aku sadar kalau resikonya punya pacar super ganteng itu berat. Tapi ya jangan pembantu juga keles yang ikut ikutan keganjenan. Dih... nggak level bingits!

"Sore Den Tian..." Sapa Mbak Menik dengan nada yang diimoet imoetin. Terus juga itu, Iyuwh... mana matanya pakek kedip kedip lagi. Hrrrrr...!

"Sore juga Mbak." Sahut Tian dengan ramah. Eeeergh! Ngapain juga sih Tian pakek ramah ramah ama pembantu? Ngeselin! "Eh... Ibuk udah nunggu Mbak?"

"Loh kok tumben nyarinya Ibuk Den? Udah bosen ya ama Non Titi?"

Huaaaaa... Ini pembantu lama lama mulutnya minta dilakban juga ini. Celamitan! Itu matanya nggak melek apa ya kalau aku udah merengut horor kayak gini. Dih...

"Hehe..." Dan aku makin tambah sewot karena Tian malah hanya tersenyum. Nyebelin bet kan?! "Ya udah... Misi Mbak." Aaaaah! Ini tidak bisa dibiarkan. Tidak bisa!

"Genit amat sih?!" Sentak-ku galak sambil berkacak pinggang. Eh bukan-nya takut, Mbak Menik malah melengos kesel. Songong banget kan?

"Sore sayang." Sapa Tian sambil mengecup pucuk keningku.

"Seneng ya digenitin Mbak Menik?" Omelku langsung. Emosi sudah membutakan tata krama-ku bagaimana seharusnya membalas sapaan pacar dengan baik dan benar.

"Kenapa... Cemburu ya?"

"Dih... Ya iyalah cemburu. Cewek mana coba yang nggak cemburu pacarnya digenitin cewek lain. Mana kayak yang respon lagi. Sakit hati ini tau nggak?!"

"Emang Mbak Menik cewek gitu?" Goda Tian sambil iseng memainkan alisnya naik turun.

"Kenapa?! Sangsi?! Mo lihat biar yakin?!"

"Emang boleh gitu?"

"Ni!" Sahutku makin sewot sambil mengacungkan bogem lentik-ku.

"Aih... Pacarku klo sewot makin cantik deh." Ucapnya nyebelin sambil kembali mengecup keningku. "Udah ah... Dah ditungguin kan?." Lanjutnya sembari menggandengku masuk ke dalam rumah.

Aslinya kalau nggak inget sudah ditungguin Mama, aku masih pengen merengut sewot. Tapi ya... terpaksa sewotnya ditunda dulu. Kan nggak lucu kan kalau dilamar sementara akunya malah merengut sewot?

Sesampainya di ruang tamu Tian langsung salim mencium tangan Mama yang sudah duduk manis menunggu. "Sore Tante..." Sapanya ramah.

"Sore... Ayo silahkan duduk." Balas Mama tak kalah ramahnya.

Setelah kami duduk, tiba tiba susana sempat hening sesaat. Sumpah rasanya jantungku hampir copot, aku grogi setengah mati. Aku yakin Tian juga sama groginya seperti aku.

"Tante..." Sambil menggenggam jemariku Tian akhirnya buka suara. "Emmm... Begini Tante. Maksud kedatangan Tian kali ini... Tian mau minta ijin buat melamar Titi."

Omigod! Akhirnya aku resmi di lamar. Kyaaaaa...

Sekilas Mama mendesah berat sambil kemudian menatap kami bergantian. "Begini Nak Tian." Sebentar Mama berhenti sambil menyeka bulir air mata yang mengembang di sudut matanya. Entah Mama haru atau apa... entahlah. "Sebenarnya Tante berat mengatakan ini. Tapi ini harus karena ini merupakan wasiat dari almarhum Papa-nya Titi. Almarhum Om dulu sempat berwasiat ingin anak anaknya menikah dengan yang seiman. Jadi... dengan berat hati, Tante tidak bisa menerima lamaran Nak Tian."

Jegleeeeer...!

Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Sumpah aku berharap kalau itu barusan hanya halusinasi. Tapi tidak... ini nyata. Mama menolak lamaran Tian karena wasiat almarhum Papa. Omigod!

Kenapa baru sekarang mengatakan itu. Kenapa bukan dari dulu dulu sebelum kami terlanjur seperti ini. Lima tahun loh. Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar. Kenapa baru sekarang coba? Kenapa?

Tanpa terasa sepasang mataku mulai berkaca kaca. "Kenapa Ma... Masalahnya apa kalau kami beda?" Tanyaku dengan suara bergetar menahan tangis.

Sumpah aku terkejut dan tidak menyangka kalau bakal seperti ini. Ditolak hanya karena kami berbeda keyakinan. Memang apa masalahnya coba kalau kami berbeda?

Bukankah kita lahir ke dunia ini tidak bisa memilih untuk terlahir di keluarga yang mana atau yang beragama apa. Terus kenapa sekarang perbedaan itu jadi penghalang. Kenapa coba? Kita ini kan beragama cuma karena orang tua kita beragama apa. Cuma itu kan?

"Begini Ti..." Aku sudah tidak sanggup mendengar penjelasan alasan Mama. Indera pendengaranku seperti sudah mati karena terlalu dalam bergelut dengan sedih dan kecewa yang teramat sangat. Dunia ku gelap, masa depan bahagiaku telah diracun mati.


oOo

Beberapa hari ini Mama terus berusaha memberiku pengertian. Aku tau kalau Mama juga sama sedihnya seperti aku. Tapi aku sudah terlanjur kecewa. Semua dalil dalil yang Mama sampaikan sama sekali tidak bisa aku terima. Kalau hanya karena kami berbeda, maka dengan lantang aku katakan, SAMPAH!

Cinta itu tak bermata. Tak ada perbedaan dalam cinta. Suku Agama Ras dan apalah itu namanya, semua sama dalam cinta. Iya... Cinta itu buta.

Karena cinta manusia rela mengorbankan segalanya, tak terkecuali juga aku. Apapun aku rela untuk Tian, karena aku tidak bisa hidup tanpa dia. Bahkan kalau Tian meminta menyuruhku ngangkang sekalipun aku mau. Diperawanin sebelum nikah juga aku rela.

Tapi... Aku juga tidak mau jadi anak yang durhaka. Seperti ini aja aku sebenarnya sudah termasuk anak yang durhaka. Belum lagi soal dalil murtad seperti kata Mama kalau aku sampai menikah ama Tian. Aku tidak mau murtad!

Huaaaaaaa! Bingooooong!

Kata orang setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, tapi masalah ini? Tau nyempil dimana solusi untuk masalahku ini. Padahal aku sudah berlari kehutan terus belok kepantai, tapi tetap saja solusi itu masih nyempil belum jelas rimbanya.

"Susah Ti... Klo soal beginian sensitif bet sih soalnya." Ujar Dian sambil menatapku trenyuh diiringi anggukan lemas tiga sahabatku lain-nya.

"Apa loe kawin lari aja Ti?" Sambung Andinia menawarkan ide.

Kawin Lari? Aku sempat juga terlintas untuk nekat seperti itu, bahkan aku juga sempat meminta Tian membawaku kabur. Tapi Tian tidak mau karena bukan seperti itu yang dia mau. Impian Tian menikahiku baik baik dengan restu dari Mama.

"Terus loe maunya gimana Ti?" Tanya Sissy.

"Ya maunya sih jadi Nyonya Sugiono." Sahutku serak sambil mengaduk aduk minuman-ku.

"Sorry ya Ti... Kita kita nggak bisa bantu." Ujar Ladya sambil mengusap punggungku pelan.

Perlahan Dian, Sissy, Andinia, dan Ladya mengerubutiku dan kemudian memeluk-ku dengan haru. Terima kasih ya Tuhan atas karuniamu ini. Karena disaat aku rapuh, masih ada tempatku untuk berbagi keluh. Sahabat.


oOo

Fix kami tidak akan pernah menyerah! Sudah diputuskan, aku dan Tian akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan demi mendapat restu dari Mama. Bagaimanapun dan apapun caranya.

Tapi semakin kami berjuang, kami semakin bingung terombang ambing abu-abu. Bagaimana nggak abu-abu coba? Mama tidak merestui hubungan kami, tapi beliau juga tidak melarang kami tetap berhubungan. Bingung kan?

Setiap Tian datang, dia selalu diterima dengan baik seperti biasa. Mama juga tidak pernah melarang kalau aku keluar ama Tian. Bahkan hampir tiap hari Tian masih antar jemput aku kelokasi syuting. Aneh kan?

Ahaaaaay... Tiba tiba terlintas sebuah solusi brilian akan masalah kami ini. "Yan... Aku punya ide."

"Apa?" Sahut Tian sambil tetap konsentrasi menyetir menuju lokasi syuting.

"Entar aja aku kasih tau. Sekarang kita belok ke Apartement kamu aja."

"Lah... Terus syuting gimana?"

"Halah bodo! Ini lebih penting." Tian sekilas melirik-ku bingung dan kemudian memutar balik mobilnya menuju ke Apartement. Untung Jakarta sedang lancar hari ini. Jadi tanpa harus berlama lama bergelut dengan macet, kami sudah sampai di Apartement Tian.

"Ide kamu apaan?" Tanya Tian langsung sambil membuka pintu Apartement-nya.

"Dih... Masuk dulu napa. Minum dulu kek, apa kek." Sahutku sambil melenggang masuk dan langsung berbelok ke pantri. "Mo kopi nggak?"

"Boleh." Jawab Tian sambil melempar kunci mobilnya sembarang dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Masih jelas terlihar raut galau di wajah tampan pacarku itu.

Tak berapa lama kemudian kopi hitam ala Titi Kamal is Ready. "Silahkan sayang..." Ujarku centil sambil meletak-kan dua gelas kopi di meja.

Tian hanya mengangguk sambil menatap-ku tajam. Mungkin dia bingung kenapa aku bisa tiba tiba ceria seperti ini. "Udah... Sekarang kasih tau, ide brilian-nya apa?" Tanya Tian penasaran sambil kemudian menyeruput pelan kopinya.

Sekilas aku tersenyum. "Hamilin aku." Bisik-ku pelan dengan yakin.

"Hf..." Saking kagetnya Tian sampai menyemburkan kopinya. Sepasang matanya juga langsung membulat sempurna. "Edian kamu ya?"

Dih... Tian jahat banget sih. Masa pacarnya yang cantik seksi ini di kata edian. Pelanggiaran! "Seriusan ini Tian."

"Kamu ini. Klo kek gitu caranya bukan solusi itu namanya. Itu sih sama aja nyari penyakit baru."

"Mau nggak?"

"Enggak!" Jawab Tian mantap.

Sekarang ganti aku yang menatap Tian tajam. Omigod! Sakit hatiku bertambah lagi bahkan semakin bertambah sakit. Tian nolak aku. Hiks... Ini lebih menyakitkan dari pada cinta tak di restui. Sakit!

"Kenaaaapa?" Sepasang mataku perlahan mulai berkaca kaca. "Aku kurang cantik ya? Nggak nafsuin gitu buat kamu." Tanyaku serak menangis.

"Kok jadi nangis sih." Perlahan Tian menarik-ku jatuh dalam dekapan-nya. Eh tapi Tidak! Aku nggak mau dipeluk Tian. Aku benci Tian!

Lagian apa susahnya sih ngehamilin aku. Tinggal brebet brebet jleb ah uh doang kan. "Nggak usah pegang pegang!" Sentak-ku sambil mendorong Tian sampai terjengkang dan langsung berlari masuk ke kamar Tian.

"Ti..." Panggil Tian menyusulku.

"Keluaaaaar...!" Aku berteriak histeris sambil melempar bantal ke arah Tian dan kemudian membenamkan diri tengkurap menangis diatas tempat tidur Tian.

Tapi emang dasar Tian itu ganteng ganteng nyebelin. Masih dengan gayanya yang melelehkan jiwa, dia mendekat menyusul naik ke tempat tidur dan memeluk-ku dari belakang. "Udah ya... Jangan nangis. Aku jadi sedih klo kamu nangis." Bisiknya sambil semakin erat memeluk-ku.

Bodo! Aku semakin membenamkan wajahku di bantal sambil terus sesenggukan pilu. Tapi tunggu dulu! Ini apa ini? Kok ada yang keras keras nempel di bokongku. Dih munafik! Mana pakek di goyang goyangin lagi.

"Itu ngapain bokongnya goyang goyang?!" Tian tidak menjawab dan malah membenamkan wajahnya di cerukan leherku. Satu dua Tian mengecup mesra di sana yang membuatku bergidik geli.

"Ti... I love you." Bisiknya sembari menggigit mesra kupingku.

"Aku enggak!"

Iya... Sementara ini aku benci ama Tian. Benci maksimal malah. Yang namanya cowok munafik itu malesin. Ngakunya aja cinta, tapi nggak berani berbuat sesuatu demi cinta.

Padahal ide menghamili itu kan -mungkin- satu satunya ide pamungkas. Udah kebayang, kalau aku hamil pasti mau tidak mau Mama merestui dan mengijinkan kami menikah. Tapi ini... Bilang nggak mau tapi kok bokongnya goyang goyang.

"Yang..."

"Apa?!"

"Kamu serius soal yang tadi."

Iyuuuwh... Ni cowok ganteng ganteng kok sering gila. Ya iyalah aku serius. Nggak nyadar apa ya kalau aku cinta mati ama dia. Bodoh!

"Enggak! Ntar aku minta di hamilin ma cowok lain aja!" Tubuh Tian langsung terasa menegang seketika. Sepasang rahangnya terdengar gemeretak menahan emosi. Huh sukurin... Emang enak?

Sebentar Tian terdiam dan kemudian perlahan melepas pelukan-nya. "Udah sore... Ayo aku anter pulang." Ujarnya sambil beranjak turun dari tempat tidur.

Aduh aduh... Kok jadi malah dia yang marah. Jelas terlihat dari rautnya kalau kali ini dia benar benar marah. "Nggak mau. Aku nggak mau pulang."

Tian mematung menatapku tajam sambil mengerutkan sepasang alisnya. Ya Tuhan... Tian makin tambah ganteng kalau begitu. "Entar Tante nyariin loh."

"Biarin. Aku mau ngejablay aja."

Tubuh Tian semakin menegang menahan emosi, dan... Dengan kasar Tian langsung menubruk dan menyosor memagut bibirku. Dan dengan emosi juga Tian langsung menjamah sekujur tubuhku. Yes... Aku berhasil.

Aslinya sih bukan dengan cara seperti ini yang aku mau. Tapi tidak apa apa. Ini darurat dan sudah tidak ada cara lain. Aku sudah pasrah mau di apain juga. Perawanin aku Yan... Perawanin!

"Eeeemh..." Tian semakin ganas memagut bibirku sampai aku megap megap kuwalahan mengimbanginya. Breet! Tanpa ampun Tian kemudian menarik paksa semua pakaianku. Bahkan saking kasarnya dress ku sampai robek compang camping.

Sekarang aku sudah telanjang bulat, tergolek pasrah dibawah cumbuan Tian yang semakin menggila. "Eeeeeengh..." Aku melengguh semakin pasrah dan membiarkan Tian menjamah sekujur tubuh perawanku.

Puas mencumbui bibirku sampai ledeh, cumbuan Tian kemudian pindah turun keleher dan meninggalkan beberapa cupang merah disana. Sementara itu tangannya dengan kasar meremas remas dadaku yang montok.

"Eeeeeuh... Tian." Tubuhku langsung melenting kaku saat Tian tanpa aba aba mencaplok dadaku. Rasanya geli geli enak. Sementara Tian sibuk menenen, aku hanya bisa menggeliat erotis sambil mengusap rambutnya.

"Aaaaaah..." Aku yang sudah pasrah seketika langsung menegang hebat saat akhirnya jamahan Tian turun ke selangkanganku. Omigod! Jantungku langsung berdegub dag dig dug tak terkendali. Akhirnya areal pribadiku terjamah juga. Oooh... aku udah nggak perawan lagi. Eh masih belum ding.

Susah diungkapkan dengan kata kata. Sensasi yang aku dapatkan memang tak terjabarkan. Yang jelas aku merasa nikmat dan basah. "Ooooooouh..." Terlebih lagi saat Tian mengusap clitorisku. Sumpah itu enak banget seperti pengen pipis. Tiaaaan... Aku udah horny maksimal sayang.

Puas menjamah sekujur tubuhku, sebentar Tian berhenti. Tatapan-nya tajam menatapku, seakan ingin mengulutiku hidup hidup. Masih dengan raut emosi, sesaat kemudian Tian mulai menelanjangi dirinya sendiri.

Kyaaaaa... Itu itu... Ternyata itu yang tadi menempel ngeganjel keras di bokongku. Dan Omigod! Baru aku tau kalau ternyata kemaluan Tian begitu besar dan... puanjuang. Tanpa sadar aku bergidik ngeri membayangkan bagaimana rasanya kalau benda sebesar itu masuk kekemaluanku yang perawan. Hi... Ngeri.

Perlahan Tian mengangkangkan kakiku dan mulai memposisikan tubuhnya. Sumpah aku grogi setengah mati. Sekilas aku bisa melihat pentungan horor itu bergerak gerak berkedut.

"Ooooooouh..." Sekujur Tubuhku langsung meremang saat ujung kemaluan Tian menyentuh bibir kemaluanku. Seketika jantungku langsung berdegub liar di atas normal.

Perlahan Tian menggerak-kan bokongnya mengusapkan batang kemaluan horor itu di celah kemaluanku yang sudah semakin basah total. Hanya tinggal satu kali dorongan dan hilanglah sudah keperawanku.

Sejenak Tian menatapku dan langsung aku jawab dengan anggukan pasrah sambil menggigit bibir bawahku siap di perawani. Tapi... Bukan-nya menghentak menusuk, Tian malah menarik bokongnya dan langsung merebahkan tubuh disampingku.

Huaaaaa... Demi segala penghuni kebun binatang, sumpah aku kecewa maksimal. "Aku nggak bisa Ti." Ucapnya sambil melengguh berat.

Kembali sepasang mataku berkaca kaca. Rasanya hati ini sakit banget sumpah. Aku merasa terhina. Merasa rendah persis kayak jablay perempatan. Udah terlanjur di telanjangi pasrah, udah ngangkang tapi... Hiaaaa... Tian nyebelin!

Aku terdiam menatap langit langit kamar. Perasaanku hancur berkeping keping. "Bukan kek gini yang aku mau Ti. Aku nggak mau ngerusak kamu. Aku terlalu sayang ama kamu." Ah terserah! Aku sudah terlalu hancur untuk bisa mendengar atau perduli dengan alasan Tian.

Perlahan aku berusaha bangun tapi Tian langsung menarik jatuh dan memeluk-ku. "Aku pengen kisah kita sempurna Ti. Lurus tanpa pelanggaran. Itu mimpi kita kan sayang?" Lanjutnya sambil mengcium tengkuk-ku.

"Terserah." Sahutku serak.


oOo

Semangatku untuk memperjuangkan cinta ini sudah menipis. Mungkin memang aku harus menyerah. Terlalu mustahil untuk mewujudkan mimpi sempurna itu. Iya... Mungkin aku harus menerima keputusan Mama. Paling tidak dengan begitu aku bisa mewujudkan wasiat Almarhum Papa.

Tapi di saat aku akan menyerah, keajaiban itu akhirnya malah datang tanpa diduga. Entah karena apa, tiba tiba kekerasan hati Mama melunak. Mama akhirnya mau merestui hubungan kami, mengijinkan kami menikah.

"Se-serius Ma?" Tanyaku masih belum percaya.

Mama tersenyum sambil mengangguk pelan.

"Huaaaa... Terima kasih Mama." Aku langsung menghambur memeluk Mamaku tercinta. Bolak balik aku cium pipi Mama kanan kiri saking girangnya. Akhirnya aku dan Tian boleh menikah, plus direstui.

Sementara aku heboh kegirangan, Tian hanya tersenyum dengan gaya keren-nya. "Makasih Tente." Ucapnya kalem tapi terasa berbunga bunga.

Tapi masalah ternyata belum selesai sampai disini. Kami masih terhalang birokrasi negara tentang pernikahan beda agama. Iyuuuwh... Mau nikah aja kok rempong banget sih ya.

Untungnya setiap masalah itu pasti ada jalan keluarnya. Kalau sekarang kami terhalang birokrasi Indonesia, tapi tidak di luar negeri. Dan setelah berkonsultasi tanya kanan kiri, akhirnya kami memutuskan untuk menikah di Australia.

"Kyaaaa... Seriusan kamu Ti?" Jerit Andinia sambil menghambur memeluk-ku. "Selamat ya Cuin."

"Makasih..." Setelah itu berurutan, Dian, Sissy, dan Ladya turun mengucapkan selamat.

Akhirnya semua tersenyum bahagia. Dan... Sekali lagi terima kasih Tuhan. Senyum bahagia hari ini semakin berlipat karena Sissy dan Dian juga membawa kabar yang tak kalah gembiranya.

Sissy ternyata sudah dilamar Rifat Sungkar, dan sudah diputuskan kalau mereka akan menikah tahun depan. Dan seakan tidak mau kalah, Dian juga begitu. Dia juga sudah dilamar Adiguna Sutowo, dan Mereka akan menikah tahun depan-nya lagi.


oOo

Akhirnya mimpi indah kami menjadi nyata. Kami menikah secara sederhana di Perth, Australia. Sederhana karena tanpa resepsi mewah dan hanya dihadiri keluarga dekat kami saja. "Selamat ya Nak... Semoga rumah tangga kalian sakinah warohmah mawadah." Ucap Mama sambil memeluk-ku haru.

"Makasih Mama." Jawabku dengan berlinang Air Mata. "Makasih..."

Bahagiaku hari ini terlalu sulit dijabarkan lewat kata kata. Rasanya seperti mimpi bisa menikah dengan Tian dan direstui. Tapi kebahagaian hari ini langsung berubah jadi grogi saat kami masuk ke hotel, ke kamar pengantin kami. Malam ini aku pasti diperawanin suamiku.

Huaaaaa...

Hampir setengah jam aku mengurung diri di kamar mandi. Mendadak aku takut untuk keluar dan menghadapi nasibku. Aku masih ingat betapa besar dan panjang-nya milik Tian. Sssss... Pasti sakit kalau itu dimasukin.

"Ti... Sayang..." Panggil Tian sambil mengetuk pintu kamar mandi. "Ngapain aja sih di dalam? Lama amat."

"Iya bentar."

Satu dua tiga aku menarik nafas dalam memberanikan diri. Tapi keberanian itu tak kunjung datang juga. Yang ada malah kakiku terasa lemas tak berdaya.

"Saaayang... Keluar apa ih. Masa iya malah ngumpet di situ."

"Iyaaa..." Sahutku lemah sambil perlahan membuka pintu. Tepat di depan pintu Tian berdiri dengan gaya gantengnya yang melelehkan jiwa. Suamiku ganteng banget sumpah!

"Ayuk yuk..." Tian kemudian menarik lenganku ke arah ranjang pengantin kami.

"Tian Ih... Mo ngapain sih." Idih bodohnya aku. Ini kan malam pengantin kami, ya jelaslah pasti Tian minta itu. Menuntut haknya ber ah-uh ria.

"Kok ngapain? Mo diperawanin enggak?" Iyuwh... Tian bahasanya ih, cabul. Pemilihan tata bahasanya itu loh. Emang nggak ada kalimat lain yang lebih manusiawi apa. Nyebelin! "Lah kok malah merengut."

"Lagian kamunya..."

"Aaaaku... Kenapa gitu."

"Tata bahasamu itu loh... Diperawanin. Di kata aku ja..." Eh tapi emang iya itu kan ya bahasanya. Duh jadi malu aku.

"Jadi nggak ni?"

Aku mengangguk pelan dengan gelisah. Sumpah... bayangan besar dan panjang itu masih terasa begitu menakutkan. "Ya jadi. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Mmmm..." Sejenak aku ragu untuk menyebut nama si besar dan panjang itu. "I-tu nya..."

"Itu apaan?" Hadeeewh... Sumpah aku belum kuat mental mau menyebutkan nama si itu. Tian mengikuti arah tatapanku dan akhirnya mengerti. "Oooo... Kontol. Emang kontolku kenapa gitu?"

Huaaaaa... Vulgar banget sih!

"Kontolku kenapa gitu?" Ulangnya lagi masih dengan bahasa vulgar itu. Iyuuuwh... Kontol.

"Ka-kalau dikecilin dikit bisa nggak?" Ucapku malu malu.

"Uhuk!" Tian langsung tersedak kaget mendengarnya. Emang kenapa gitu? Salah ya? "Dikecilin?"

"Iya... Dikecilin. Bisa nggak?"

"Buahahahahaha..." Tian malah tertawa terpingkal pingkal sambil bergulingan di atas ranjang.

"Kok ketawa sih?"

"Ya iyalah ketawa... Kamu itu lucu tau nggak. Orang orang tu pada ngarep punya yang gede panjang kek gini." Jawab Tian sambil dengan tidak tau malunya malah melepas celananya. "Ampe di bela belain berobat ke Mak Erot segala malah. Lha ini kamu... Huaaaa... lucu."

"Huh!" Sungutku merengut kesal. "Tapi kan takut Yan... Ngeri. Nggak muat tau."

"Muaaat." Sahut Tian sambil menarik-ku jatuh menimpanya. Belum sempat aku protes, Tian langsung melumat bibirku. Eeeeeeemh...

Kali ini kami bercumbu dengan santai penuh penghayatan. Penuh nafsu tapi tidak terburu buru. Tian juga merabai sekujur tubuhku dengan lembut penuh kasih. "Yan..." Cegahku saat Tian akan menarik lepas gaun tidurku. Sekilas Tian tersenyum dan entah kenapa aku langsung seperti terhipnotis, pasrah dan menyerah.

"Indah..." Pujinya sambil mengamati setiap inci tubuh telanjangku. Aslinya aku malu. Terlebih lagi saat Tian menatap selangkanganku. Aduh... Mana bulu jembutku panjang panjang lagi.

Padahal malu. Tapi bukan-nya menutupi, aku malah tanpa sadar mengangkang memamerkan indahnya mahkotaku itu. "Yan..." Cegahku saat Tian mulai nakal menggerayanginya. "Jangan pakek tangan."

"Iya." Sahutnya mengerti dan kemudian mulai memposisikan posisinya. Iya... Aku ingin semuanya sempurna. Aku ingin perawanku terenggut dengan seharusnya. Dengan kontol besar panjang Tian, bukan dengan jari. Aku nggak boleh takut ama si besar panjang itu.

Sedetik nafasku sempat terputus saat kepala kemaluan Tian menyentuh bibir kemaluanku. Jantungku berdegub memburu dan aku menggigit bibir bawahku grogi.

"Tahan ya sayang." Aku mengangguk pelan sambil terpejam. Setelah menggesek-kan benda panjang dan besar itu, perlahan Tian mulai mendorongnya masuk.

"Tiaaaan..." Rintihku sambil mencengkeram erat lengan Tian. Padahal aku sudah basah total, tapi rasanya tetap saja sakit.

Aku sedikit bisa bernafas lega karena Tian menghentikan tusukan-nya. "Titi... Lihat aku Ti." Perlahan aku membuka mata dan menatap Tian dengan sayu. "I love you Ti." Ucap Tian sambil balas menatap-ku.

"Aku juga cin... Aaaaaaauh Tiaaaaan!" Aku menjerit sejadinya karena Tian mengehentak-kan pinggulnya kandas. "I Love you juga." Kemaluan Tian sudah menusuk sempurna, yang berarti bahwa berakhir sudah riwayat dari kesucianku.

Aku sudah tidak perawan.

Tian membenamkan diam kemaluan-nya sebentar, memberiku waktu untuk mengatur nafas. Sumpah perih banget di bawah sana. "Sakit Ti?" Aku hanya bisa mengangguk lemah.

Perlahan Tian mulai menggerak-kan pinggulnya maju mundur. Sangat pelan karena Tian tidak mau menyakitiku. Setelah beberapa saat, perih itu lambat laun berganti nikmat yang... entahlah. Sulit di jelaskan.

"Tian..." Kami kembali bercumbu mesra sambil menggeliat erotis. Desahan juga pelan mulai terdengar. "Ooooooouh... Iyaaaaaah." Keringat mengucur di tubuh kami padahal ruangan kamar be-Ac.

Semakin lama Tian semakin cepat menggoyangkan pinggulnya. Suara tumbukan selangkangan kami juga semakin terdengar jelas. Indah dan romantis. Kami tidak memakai gaya yang aneh aneh karena kami ingin malam pertama ini berjalan dengan romantis dan jujur. Seperti apa yang kami impikan selama ini.

Semakin Tian menggoyangkan pingulnya, semakin lama rasa nikmat itu semakin terasa. Semakin banyak terkumpul terakumulasi dan membuat aku merasa... pengen pipis.

"Tiaaaan..." Tanpa sadar aku memeluk Tian sekuatku saat rasa itu terlepas nikmat. Tubuhku bergetar hebat, tulang belulangku seakan keropos di lolosi. "Ooooooouh..." Inikah syurga dunia itu.
Orgasme pertama.

Tak lama berselang Tian juga bergetar sama. Goyangan-nya semakin liar semakin brutal. Hingga pada suatu titik. "Ooooooogh... Ti...." Beberapa kali Tian mengejat dan kemudian ambruk menindihku. Dapat ku rasakan beberapa semburan hangat di dalam sana.

"I Love you Ti." Ucap Tian dengan deru nafas memburu.

"I Love you to Tian." Balasku dengan keadaan yang sama.
Tipis terkembang senyum bahagia di bibirku.

Bahagia karena malam ini mimpi mimpi kami telah sempurna. Dan aku bangga bisa mempersembahkan jiwa dan ragaku suci di malam pengantin kami. Makasih Tian, kamu adalah super hero ku. Terima kasih karena kamu membimbingku ke jalan yang benar.

Tanpamu aku bukanlah apa apa. Karena mu aku bisa melalui segalanya. Sekali lagi terima kasih suamiku. Terima kasih untuk kisah sempurna perjalanan cinta kita yang tak sempurna ini. Dan karenamulah aku sekarang adalah perempuan paling sempurna. I Love you.

"Aduh... Sakit."


oOo

Mereka meragui wujudnya cinta yang sejati

Tidak hati ini

Semenjak dari mula ku yakin ada cinta

Cintalah yang memungkinkan segala


Aku rela

Biar betapa pun perih tertusuk duri

Jalan berliku tiada bertepi

Ku percaya tidak sia-sia aku diuji

Demi cinta

Tersembunyi hikmah-Nya

Pasti!

~~~oOo~~~







Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar