Selasa, 17 November 2015

Cerita Dewasa Artis Queen 1

Prolog
We Will Rock You!

“Buddy, you're a young man, hard man
shouting in the street,

gonna take on the world some day...”


“You got blood on your face!
You big disgrace!
Waving your banner all over the places!”

Ritme adalah simfoni paling purbakala yang diciptakan umat manusia sebelum mengenal tangga nada. Tak perlu iringan musik. Cukup hentakan kaki dan tepukan tangan dalam hitungan dua-satu; dua kali hentakan kaki, disusul satu tepukan tangan. Serempak, menghentak. Dan untuk itu, hanya diperlukan satu orang legenda guna mencuri kesadaran kolektif puluhan ribu manusia untuk ikut bergerak dalam satu euforia yang menggelora.



WE WILL...

WE WILL ROCK YOU!”


Melihat itu semua, siapa lagi yang berani memandang dengan sebelah mata? Semua orang yang berada di tempat itu tahu, bahwa Freddie berhasil mematahkan segala anggapan yang meremehkannya selama ini. Dua tahun menghilang ternyata bukan waktu yang cukup lama untuk membuat Sang Legenda kehilangan kharisma.

Banyak orang mengira karier musik Queen sudah tamat di pertengahan dekade 80-an. Berbagai skandal dan pasang surut kontroversi seolah mengikuti langkah band yang terbentuk tahun 1970 itu, dari isu homoseksualitas sang vokalis, hingga keterlibatan band tersebut dalam berbagai konser di sejumlah negara yang dianggap melakukan penindasan terhadap rakyatnya. Puncaknya adalah ketika Queen menerima undangan untuk bermain dalam acara Sun City Super Bowl di Republik Afrika Selatan yang saat itu masih menerapkan politik apartheid. Seperti yang sudah diduga, Queen langsung dihujat pers dan penggemar, bahkan dikucilkan di negaranya sendiri, Britania Raya.

Fuck it, kata Freddie. Queen adalah band apolitis(1) yang tidak menentang atau mendukung ideologi suatu negara. Kami tidak pernah bermimpi muluk-muluk untuk mengubah dunia. Kami bermain untuk menghibur umat manusia. Komunis atau kapitalis, jelata atau penguasa, semua sama, tandasnya.

Di tengah gencarnya kecaman publik, Queen diundang -atau malah ditantang? tergantung dari perspektif mana engkau memandang- untuk bermain di acara Live Aid di Wembley Stadium, London, tahun 1985. Segudang artis papan atas sudah lebih dulu mengisi acara tersebut, dari yang lebih senior seperti The Who dan Paul McCartney, David Bowie yang seangkatan, bahkan U2, pendatang baru yang mencoba menantang Sang Legenda. Dan kini Queen harus ‘bertarung’ dengan semua nama itu.

Don’t worry darling, we will rock them,” ucap Freddie pada rekan-rekannya, sebelum melangkahkan kaki dengan mantap ke atas panggung. Kilauan tata cahaya. Gemuruh teriakan penonton yang membahana, dan Freddie merentangkan tangannya, menyambut itu semua.

Anggun, flamboyan, tapi juga penuh energi androgini. Freddie tak akan ragu-ragu untuk menari berputar-putar bak balerina di atas panggung, bahkan meliuk sambil menjulurkan lidah bila perlu, tapi jangan kau salah mengira, karena di detik berikutnya ia akan berteriak dan memacu gairah penonton dengan jangkauan nadanya yang sukar dipercaya. Teatrikal, glamor, tapi juga berbahaya di saat yang sama.

Freddie menampar wajah orang-orang yang meragukannya, menghajar penonton dengan tembang-tembang berbahaya yang menginfeksi sistem neural, sehingga membuat kadar adrenalinmu melonjak dan badanmu bergerak di luar kesadaran.
Freddie tampil melebihi ekspektasi siapapun, ia berhasil membawa Queen melampaui semua jangkauan artis-artis yang hadir di acara itu. The Who, U2, semua memang bermain dengan baik, tapi Freddie terlanjur membawa permainan Queen ke dalam tatanan yang jauh lebih tinggi, ke dimensi yang benar-benar berbeda. Freddie membuktikan perkataannya, dan hari itu Queen tampil sebagai juara yang tak diduga-duga.

Berdiri angkuh di gigir panggung, Freddie seolah menantang seisi dunia dengan kepalan tangan mengacung. Memperingati orang-orang yang berani menghalang dengan sebuah jerit lantang. “Somebody better put you back in your place! OR, WE WILL... WE WILL... ROCK YOU!” jeritnya, dan diamini oleh 72.000 jiwa yang ia bakar gairahnya.

LET’S SING IT!” jeritnya lagi, memprovokasi.

WE WILL... WE WILL ROCK YOU!” Lautan massa, tunduk di bawah kharisma Sang Legenda.

Banyak orang ingin menjadi legenda. Banyak orang dengan sesumbar mengaku bahwa dirinya legenda, bahkan ada pemula yang berani menghujat bahwa Sang Legenda sudah berkarat. Pertanyaannya adalah, bagaimana engkau bisa menjadi legenda jika dirimu bukan seorang Freddie Mercury?

Feddie menjelma lebih daripada legenda. Bahkan bertahun-tahun setelah kematiannya, lagu ‘We Will Rock You’ masih akan terus bergema di sepanjang koridor sejarah umat manusia. Ia adalah seorang Dewa. Meski sampai sekarang aku selalu berkeberatan Freddie disamakan dengan Dewa. Dewa boleh jadi serba digdaya dan adikuasa. Dewa memang bisa melakukan apa saja. Tapi tetap saja, Dia bukanlah Freddie Mercury.(2)










Fragmen 1
We are The Champions


Farrokh Bulsara, kemungkinan besar tak ada satupun di antara kalian yang pernah mendengar nama itu. Namun jika di telingamu disebut nama Freddie Mercury, siapa yang berani angkat bahu? Bersama band legendaris Queen, Freddie menjelma tidak hanya sebagai mega bintang tapi juga inkarnasi Mercury, Sang Dewa Pembawa Pesan dari Romawi.

Queen didirikan oleh Freddie Mercury, gitaris Brian May, dan drummer Roger Taylor pada tahun 1970. Bassis John Deacon menyusul kemudian melalui sebuah audisi. Megah, universal, dan tak akan lekang dimakan zaman, begitulah alasan Freddie ketika bersikeras menggunakan nama Queen.

Jangan kau mengira bahwa band rock n’ roll hanya boleh berisikan oleh begundal-begundal liar yang gemar membuat onar, karena Queen adalah sebuah unit rock berkelas yang beranggotakan orang-orang terpelajar dan juga jenius dalam bermusik. Brian May, adalah penyandang gelar PhD di bidang astrofisika, Roger Taylor pernah kuliah kedokteran gigi, dan John Deacon memegang gelar Magister di bidang teknik akustik dan vibrasi. Di antara keempatnya, mungkin hanya Freddie yang menganggap musik adalah satu-satunya masa depan untuk berkarir. Sink or swim. Freddie pernah berkata bahwa, Queen adalah pertaruhan terbesarnya: menjadi pemenang atau menjadi pecundang, dan sejarah menyodorkan kenyataan yang pertama.

May yang kalem dan terpelajar, Taylor yang tampan dan rusuh, juga Deacon yang pendiam. Mereka direkatkan oleh kharisma Freddie yang paling flamboyan di antara keempatnya. Chemistry, dan itu adalah elemen terpenting bagi sebuah grup musik.

Mereka meminta aku untuk menjadi sound engineer dalam tiga album pertamanya. Queen, Queen II, dan Sheer Heart Attack, sebelum menjabat sebagai produser bayangan Queen. May berkata aku memiliki bakat alami dalam mengenali tangga nada, sementara Deacon dan Taylor memuji kepekaanku pada ritme. Anggota Queen kelima, Freddie yang memberikan julukan itu kepadaku, tiga orang yang lain langsung setuju.

Aku? Aku adalah narator tak bernama yang kemungkinan besar tak pernah tercatat dalam riwayat hidup resmi Sang Legenda. Tapi anda harus tahu sebelumnya, tanpa aku, tidak akan pernah ada Bohemian Rhapsody.















Fragmen 2
Friend Will be Friend

Semesta mempertemukanku dengan Sang Legenda dalam sebuah masa yang jauh lebih mula. Waktu itu dunia masih terbelah dalam dua kubu yang saling curiga dan mendengki satu sama lain. Barat dan Timur. Borjuis dan Proletar. Khrushchev dan Kennedy.

Freddie berasal dari Zanzibar, sebuah koloni Inggris di pulau kecil di pesisir timur benua Afrika. Sedang aku lahir lebih dekat dengan khatulistiwa, dari kepulauan bekas jajahan Belanda di mana kaum merah yang sedang pegang kuasa. Semesta memutuskan Freddie terlahir pada tanggal 7 Desember 1947, sementara aku baru menginjak dunia pada tanggal 19 Desember 1948, di menit yang sama ketika sirine peringatan serangan udara meraung di langit kota Yogyakarta, dan Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua.

Ayah Freddie seorang akuntan, sedang ayahku seorang diplomat. Keluarga Freddie menganut ajaran Zoroaster, sementara ayahku cenderung lebih skeptis dengan agama. Beliau tidak berkeberatan aku dan ibuku bersimpuh di hadapan Bunda Maria, maka disekolahkannya aku di St. Peter’s Church of Indian School di Pachagani, India. Sekolah asrama khusus laki-laki yang merupakan akademi paling bergengsi di India pada saat itu.

Aku selalu mengenang Freddie kecil sebagai bocah yang pemalu dan sedikit kemayu. Dari dulu dia sudah sering memanggil temannya dengan panggilan ‘dear. Guru-guru menganggapnya manis, tapi anak-anak lelaki kerap menyebutnya banci. Freddie bilang tidak masalah kalau dirinya dikatai banci, tapi aku tahu tak ada anak lelaki yang tidak marah jika dipanggil banci. Di minggu pertama aku bersekolah, aku sudah dipanggil ke ruang guru gara-gara berkelahi. Seorang anak tingkat atas mengerjai Freddie, untung saja bogem mentahku sempat bersarang di matanya sebelum ganti aku yang dipukuli oleh kawan-kawannya.

Mungkin cuma aku satu-satunya teman Freddie pada masa itu. Sepasang bocah yang terasing dari tanah kelahiran yang sama-sama suka musik dan melamun sendirian, tak heran kami menemukan banyak kesamaan. Kami saling melindungi dan menjaga satu sama lain. Berbagi ketertarikan dan juga kecenderungan yang sama.

Freddie heran sekali ketika mengetahui ada negeri di kepulauan gunung berapi purba yang membentang di sepanjang khatulistiwa. Freddie mengatakan, bahwa suatu saat ia ingin sekali berkunjung ke negaraku. Tentu saja, nanti kau boleh tinggal di rumahku, jawabku. Benar? Freddie membelalak tak percaya. Benar! Balasku. Lalu dipeluknya aku. Erat sekali.

Freddie lalu balik bercerita, bahwa ia cukup piawai bermain piano, bahkan ia mengaku bahwa hanya perlu sekali dengar saja bagi dirinya untuk bisa memainkan sebuah lagu(3). Tentu saja aku tak langsung percaya, anak-anak pada masa itu memang terkadang suka melebih-lebihkan sesuatu. Namun aku baru tahu bahwa ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya begitu melihat permainannya di acara peringatan Kemerdekaan India pada tanggal 15 Agustus. Sulit dipercaya, di atas panggung bocah kemayu itu menjelma menjadi anak yang benar-benar berbeda. Ditantangnya tatapan mata ratusan penonton yang menjejali aula dengan angkuh, lalu dijentikkannya jemarinya di atas leretan tuts hitam-putih, melantunkan Fantasie Impromptu, sebuah nomor dari Chopin. Denting demi denting. Irama demi irama. Membius, mempesona siapapun yang mendengarnya. Aku tak begitu ingat detilnya, karena yang kudengar berikutnya hanyalah tepukan tangan yang bergemuruh memenuhi ruangan peninggalan jaman Victoria itu. Freddie membungkukkan badannya sekali, lalu tersenyum. Sepasang matanya berbinar, menyiratkan kemenangan.

Freddie bukan manusia! Ayahnya adalah Dewa, meskipun bisa saja dia terlahir dari rahim manusia! Ya, seperti Herakles atau Perseus! Khayalan itu yang pertama kali muncul dari benakku yang masih kanak-kanak begitu mendengar permainan pianonya.

Magnificent! Itu tadi luar biasa, tahu!” kataku sambil merangkul pundaknya begitu ia turun dari panggung.

“Masa?”

“Tentu saja!”

Freddie mengekeh pelan. Tatapannya berbinar di balik bulu matanya yang lentik. “Thank’s, darling,” bisiknya malu-malu. Tangannya balas merangkul pinggangku, lebih erat dari sebelumnya.

Freddie lalu mengajakku membentuk band sekolah, namun terpaksa aku menolak.
Aku memang suka mendengar musik, tapi hanya bisa memainkan instrumen sedikit-sedikit. Tapi aku suka membaca, dan cukup pandai menulis puisi, kataku. Freddie lalu berkata, kalau suatu saat dia mencipta lagu, ia ingin aku yang menulis liriknya. Tentu saja, jawabku pasti.

“Aku tidak bakal terkejut kalau suatu saat kamu akan menjadi seorang superstar.”

“Aku tidak mau menjadi superstar,” jawab Freddie. “Aku ingin menjadi seorang legenda.”(4)

Aku tidak pernah tahu darimana anak pemalu sepertinya bisa mendapatkan kepercayaan diri untuk berkata hal yang muskil seperti itu. Namun aku tahu, hal itu akan dibuktikannya kelak, bertahun-tahun kemudian.

Aku terpaksa melewatkan banyak fragmen tak penting dalam kisah masa kecil Freddie. Kami menghabiskan 8 tahun bersama-sama dalam asrama, sampai akhirnya revolusi dan anarki yang terjadi di Zanzibar pada tahun 1964 memaksa Freddie dan keluarganya melarikan diri ke London.

Aku tidak punya banyak waktu untuk bermelankoli. Di tahun berikutnya, revolusi yang sama terjadi di Indonesia. Pengganyangan kaum merah membuat ayah terpaksa meminta suaka pada Kerajaan Belanda. Kesalahan berafilisasi pada salah satu partai politik pada masa itu bisa berakibat fatal dan kepalamu dipenggal. Dari rumah dinas mewah di Mumbai, kami harus pindah ke sebuah flat sewa kecil di jalan sempit di Amsterdam. Tak lama berselang, Ibu meninggal karena Pneumonia, tidak cocok dengan udara dingin bumi bagian utara. Aku benci ayah dan partainya yang sok kekiri-kirian, juga kepada rezim militer fasis yang membuat kami terusir dari tanah kelahiran. Aku benci Suharto dan juga Ketua Mao. Tahun itu puluhan ribu manusia kehilangan jiwanya, sebagian hanya karena pernah menulis artikel di surat kabar yang dikelola Lekra, sebagian lagi hanya karena menyimpan piringan hitam lagu Genjer-genjer di rumahnya, dan mereka melakukan pembantaian dengan bangga, atas nama membela Pancasila.

Tuhan mengusir Adam dari Paradiso, dan membiarkan keturunannya tercampak di bumi dan saling menuntut darah sesamanya. Kain, Habel dan berjuta-juta umat manusia setelah mereka. Aku selalu bertanya, untuk tujuan apa?

Nihil sub sole novum. Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari(5). Semuanya sama. Legenda Herakles, Perseus, bahkan Alkitab sebenarnya memiliki premis yang tak jauh berbeda. Tentang seseorang yang terusir dari Surga, kemudian berjuang untuk kembali menemukan kejayaannya.

Semua bermula dari Paradiso, dan akan berakhir di Paradiso(6). Paradiso adalah sebuah tujuan terakhir sekaligus segala awal mula. Sebuah titik Alfa dan Omega. Dan untuk itu ada jalan terjal yang harus didaki dan jurang-jurang kehidupan yang dilalui. Ada perjuangan panjang atas segala pencapaian yang dicapai Freddie saat ini, dan ada pula sebuah harga yang harus dibayar atas apa yang dilakukan atau tidak dilakukan. Hidup Freddie adalah kejayaan sekaligus tragedi, dan aku bertugas menceritakannya kepada anda semua. Pembaca yang budiman, cerita yang anda baca akan sangat panjang, aku harap anda semua bersabar, karena ini hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang penebusan dosa. Purgatorio.












Fragmen 3
Now I’m Here


Tahun 1967. Komunisme menyebar layaknya borok kusta, RRC, Korea Utara, dan kemudian Vietman Utara. Blok Barat terpaksa mencari cara untuk mencegah semua itu, bahkan mengamputasi lengannya sendiri bila perlu. Paduka Yang Mulia Presiden Seumur Hidup yang dianggap lebih condong ke Blok Timur diturunkan paksa pada tahun yang sama demi mencegah tersebarnya paham komunis di Asia Tenggara. Dunia sarat dengan propaganda, namun aku memilih untuk tidak peduli dengan itu semua.

Tahun itu aku berhenti ke Gereja. Aku tumbuh menjadi pemuda pemberontak yang menggemari The Beatles dan The Rolling Stones. Aku memanjangkan rambutku dan menumbuhkan jambang juga brewok tebal agar mirip Jim Morrison, vokalis The Doors. Dalam periode ini aku mulai belajar merokok, minum minuman keras, juga tidur dengan wanita sebelum merasa bahwa aku ternyata lebih tertarik kepada pria.

Di tahun berikutnya, aku mendapat beasiswa dari yayasan yang didirikan oleh Kaum Indo: serdadu bekas KNIL, dan warga Maluku Selatan yang tidak sudi bergabung dengan Republik. Tahun itu juga aku meninggalkan ayah dan Belanda, belajar filsafat di Imperial College, London, menghabiskan tahun-tahun terakhir dekade 60-an dengan menghisap ganja dan menjadi generasi bunga. Di sinilah aku bersahabat dengan Brian May, anak fakultas fisika yang jadi teman sekamarku. Ketika ia berencana membuat proyek band baru, diajaknya aku turut serta sebagai sound technician karena aku terkenal piawai dalam mengatur tata suara dalam acara-acara kampus.

Aku mulai skeptis dengan agama, dan mulai tidak percaya bahwa semesta memiliki kecerdasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Semesta penuh dengan kekacauan, dan mustahil untuk membingkai kekacauan dalam keteraturan(7). ‘Kebetulan’ adalah penjelasan yang paling masuk akal mengenai sesuatu yang disebut dengan ‘takdir’, dan bagaimana hal berikut dimungkinkan dalam sebuah sistem serba-rumit bernama alam semesta.

Suara pintu yang diketuk. May bilang, anggota band-nya akan berkumpul di tempat kami hari ini. Suara langkah kaki, sebelum berhenti dua kaki di depanku.

Bloody Hell!” orang itu tiba-tiba menjerit melihatku yang sedang memegang bong dengan asap mengepul. Perlu beberapa jenak bagi kami berdua untuk menyadari bahwa kami tidak sedang melihat hantu.

“Freddie! Holy shit! Itu benar kamu, kan!” jawabku terbatuk-batuk. Anak itu kini telah berubah menjadi pemuda tampan yang nampak berbahaya dengan berbalut jaket kulit ketat dan rambut gondrong sebahu.

Fuck! Kupikir kamu sudah mati!”

“Aku juga pikir kamu sudah mati!”

“Ke mana saja kamu, mate?

“Amsterdam!”

Bollock, jauh sekali! Haha!”

Terdengar tawa terbahak yang berderai lepas mengiringi prosesi saling tepuk bahu dan tepuk muka, seolah-olah kami sama-sama tidak yakin yang ada di depan mata adalah orang yang sama yang kami kenal 15 tahun yang lalu.

Such a small world, eh?” kata May ketika Freddie berkata bahwa aku adalah teman sekolahnya dulu di India.

Aku melintingkan ganja dan menuangkan segelas Jack Daniel’s untuk merayakan hari bahagia ini. Di tengah ruapan asap kanabis dan tawa yang tercetus berkali-kali, kami bertukar cerita, mencoba mengejar ketertinggalan selama beberapa tahun terakhir yang terlewatkan. Freddie berkata bahwa setelah revolusi, dirinya meninggalkan Zanzibar dan mengungsi ke London. Orang itu kemudian terdaftar di Ealing College of Art sebagai mahasiswa, di sinilah ia bertemu dengan Brian May yang mengajaknya membentuk band.

Aku tertawa menyadari segala kebetulan ini. Semesta memang penuh dengan kekacauan, chaos, dan mustahil untuk membingkainya dalam keteraturan, order yang biasa disebut ‘takdir’ oleh kaum agamis. Aku memang berusaha menyangkalnya, tapi diam-diam aku merasa, di antara chaos dan order terdapat sebuah ruang hampa yang penuh dengan potensi dan probabilitas. Dan di antara semua itu, aku cukup beruntung mendapatkan lotere. ‘Kebetulan’ batinku berkali-kali, mencoba meyakinkan diri.



Di tahun 1970 Queen resmi terbentuk dan menjadi band yang diperhitungkan di kancah musik rock Britania Raya.

Queen dianggap revolusioner dengan musiknya yang mewah dan rumit. “Queen memiliki bentuk lagu yang tertata rapi dengan melodi yang kuat dan terfokus cukup radikal(8)”, tulis seorang kritikus dalam majalah Rolling Stone. Freddie membawa penampilan panggung Queen ke tingkat yang berbeda dengan meyakinkan teman-temannya agar berpakaian lebih dramatis, karena menurutnya, cara berpakaian, cara bergerak, dan penguasaan panggung juga tak kalah penting. Visual dan auditory, dan selama bertahun-tahun sesudahnya, dua hal itulah yang akan membuat Queen dianggap sebagai band live terhebat sepanjang sejarah.

Pada tahun 1973, Queen merilis album debutnya, dan di tahun 1974, Queen merilis album Queen II, dan Sheer Heart Attack. Pers pada awalnya kurang menyukai aksi panggung Freddie yang terkesan dibuat-buat. Tapi Freddie menanggapinya dengan membangun chemistry tidak hanya dengan anggota band-nya, tapi juga dengan audiens. Sang frontman, tidak pernah ragu-ragu mengajak penonton untuk ikut bernyanyi, sesuatu hal yang kurang lazim pada masa itu.

“Suara saya berasal dari energi penonton,(9) tanpa penonton, saya dan Queen bukanlah siapa-siapa.” Aku pikir Freddie berusaha tampak lebih sentimentil ketika mengatakan hal ini dalam sebuah wawancara, namun saat melihat puluhan ribu jiwa secara sukarela ikut menyanyikan lirik lagu “We Are The Champions” dalam acara Live Aid 1985, barulah aku menyadari bahwa Freddie dan penonton adalah satu kesatuan. Manusia dan Semesta. Jasad dan ruh. Feddie mungkin belum menyadari, tapi menyaksikan pemandangan di mana Sang Legenda memimpin 72.000 suara untuk ikut ambil bagian dalam upacara pemujaan, adalah pengalaman yang melebihi apa yang bisa dijelaskan secara metafisika.












Fragmen 4
Under Pressure


Queen dipuja sekaligus dicaci, Freddie tahu itu sejak dulu. Ia berkata, jika ia tidak ingin dibenci, dari awal dirinya tidak akan membentuk sebuah band. Ada konsekuensi logis ketika seseorang memperoleh ketenaran. Penulis, aktris, musisi, semua sebenarnya bernasib sama. Jika ada karyamu yang dianggap bagus dan disukai oleh banyak orang, maka akan muncul pula orang-orang yang iri dan membenci karyamu. Hatters gonna hate, but rockstar keep on rollin’.

Gerakan punk yang dimotori Ramones pada tahun 1975 mulai menimbulkan perselisihan dengan generasi rock yang lebih tua, Queen salah satunya. Punk seolah secara terang-terangan meludahi musik glam rock yang diusung oleh Queen. Orkestrasi dan melodi rumit dalam “Mustapha Ibrahim” ditantang dengan lagu berlirik slenge’an dengan kunci 3 jurus. Lagu “Bohemian Rhapsody” yang berdurasi lebih dari lima menit ditantang dengan “Blitzkrieg Bop” yang berdurasi 2 menit. Gaya rambut gondrong dan kostum mewah ditantang dengan rambut spikey dan jaket belel yang penuh tambalan emblem di sana-sini.

Queen menjawab tantangan mereka dengan mengeluarkan album News of The World (1977), yang sampai kini dianggap sebagai album terbaik yang pernah dibuat oleh band itu. Dua lagu Queen paling terkenal ada dalam album tersebut, “We are The Champions,” dan “We Will Rock You”, yang juga dikenal sebagai lagu yang liriknya paling sombong dalam sejarah musik. Namun aku berpendapat, dalam hal ini Queen berhak untuk merasa sombong.

Kesuksesan yang luar biasa mulai mendorong orang-orang berhati Sengkuni untuk mulai mencari-cari kesalahan Queen. Ketika musik mereka terlalu sempurna untuk dikritisi, maka yang diserang adalah kehidupan pribadi personel-personelnya. Sudah pasti, sebagai frontman, Freddie Mercury yang paling sering diincar. Berbagai gosip tak sedap mulai beredar, termasuk isu bahwa sang vokalis adalah pecinta sesama jenis.

Tentu aku tidak akan terkejut dengan hal ini. Freddie kini memang berubah jadi lebih agresif dan berbahaya, tapi kesan kemayu itu tetap tidak bisa ditutup-tutupi. Dengan jelas, aku bisa merasakan kesan sensual yang menguar dari gerak-gerik sang vokalis. Sebagai sesama kaum pemburit, aku bisa menyadari itu hanya dengan sekali lihat, namun selama ini aku memilih untuk tidak berkomentar apapun. Freddie memang menutup jati dirinya, bahkan kepada anggota band-nya, dan itu membuatku merasa lebih tidak berhak lagi untuk mencampuri urusan pribadi sahabatku, termasuk orientasi seksualnya.

Freddie selalu geram dengan itu. Berkali-kali dia bersitegang dengan anak-anak punk yang mengatainya banci, Sid Vicious salah satunya. Namun kali ini...

“Aku baru tahu kalau anak komunis sekarang jadi simpanannya homo.” Suatu hari, seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Oxford berkata begitu pada kami di sebuah klub malam di London, dalam bahasa Indonesia tentunya.

Awalnya aku diam saja, namun ketika Freddie mengetahui artinya, ia langsung menghampiri anak itu tanpa banyak kata, lalu menghantamkan botol minuman di kepala si mahasiswa manja. Aku tak tahu Freddie marah untukku, untuk dirinya, ataukah untuk kami berdua. Yang jelas botol sudah terlanjur pecah, dan kami akhirnya harus terlibat baku hantam dengan anak-anak manja yang dibesarkan oleh rezim militer fasis.

Menginap semalam di Skotland Yard, sampai keesokan paginya kami dijemput oleh May dan Taylor yang membayar uang jaminan dan menyuap wartawan agar jangan sampai hal ini dimuat di koran.

Sampai di apartemen Freddie. Akhir musim panas ditandai dengan hujan yang mulai tercurah dari langit. Tetes-tetes air menitik dari mantel pakaian kami yang basah kuyup, karena London mulai menampakkan wajah aslinya sebagai kota yang bercuaca paling buruk di Inggris Raya. Freddie menyalakan lampu, awan mendung menutupi sebagian besar sinar matahari. Kulihat matanya yang masih membiru. Aku mengambilkan Freddie es batu lalu kubungkus serbet yang kutemukan di dapurnya. Hati-hati, kukompreskan air yang sudah membeku itu di matanya yang lebam terkena bogem. Freddie mengernyit sedikit.

“Sakit?”

Freddie tercengir, seolah pertanyaanku itu tak memerlukan sebuah jawaban. “Kamu tahu? Aku benar-benar benci jenis orang seperti itu yang hanya mengandalkan harta orang tua atau menghabiskan pajak negara untuk berfoya-foya.”

“Mereka memang moron, menurutku mereka nggak lebih dari Nazi yang fobia terhadap komunis dan homo.”

Whoa mate, wait a minute, I’m not a gay!

“Ya... ya... ya...”

“Kamu tidak percaya? Siapa bilang aku homo! Aku bukan homo!” Freddie merepet panjang, namun itu malah membuatnya seperti anak gadis yang mendadak gulana ketika dituduh cemburu. Aku tertawa dalam hati.

“Oke, aku percaya. Aku cuma tidak mau kamu going mental seperti kemarin.”

Freddie mendengus kesal, lalu melipat tangan di depan dada. “Kamu tahu, dari kecil aku sudah terbiasa dikatai banci. Tapi komunis? Oh, Come on. Aku cuma tidak bisa terima kalau orang bisa menghujat orang dari dosa yang bahkan tidak pernah dibuatnya. Biar kamu tahu, bahkan kalau Sri Ratu yang memanggilmu komunis, aku sendiri yang bakal turun tangan.”

Hatiku terenyuh, ternyata semalam Freddie membelaku. Selama ini aku merasa ia menjelma menjadi sosok yang sama sekali berbeda, flamboyan dan meledak-ledak seperti semalam, namun ketika Freddie menatapku dengan tatapan yang sama yang diberikannya padaku 15 tahun yang lalu, aku tahu kalau Bulsara yang kukenal masih tetap ada di dalam sana.

Aku mengusap pundaknya, lembut. “Thank’s...

Terdengar suara hujan menyusup masuk, mengiringi senyum yang terbit di wajah Freddie. Senyum sama yang selalu menemaniku semasa sekolah dulu. Aku merindukannya.

“Tapi aku bukan homo... orang lain boleh bilang aku homo... tapi kamu harus janji jangan pernah panggil aku homo... cuma kamu yang tidak boleh memanggilku homo...” Freddie menunduk, mencoba memungkiri dengan sia-sia. Anak itu kembali menjadi Farrokh Bulsara, bocak kemayu yang dulu sering dikerjai di masa sekolah.

“Ada apa dengan homo? Elton John homo, tapi dia orang yang baik, kamu sendiri tahu. Dia bakal tersinggung kalau mendengar ini.”

It’s disgusting,” desahnya putus asa.

“Kenapa harus jijik?”

“Tidak ada yang tidak jijik kepada homo!”

Sedikit tersinggung, kubalikkan pernyataannya. “Kalau aku homo? Kamu pasti akan jijik.”

No way!” Entah kenapa emosinya tiba-tiba tersulut. “You know, mate. Aku tidak pernah percaya dengan yang namanya manusia. Cuma kamu teman yang aku punya dari dulu sampai sekarang. Cuma kamu yang aku percaya. Kamu mau jadi komunis, homo, atheis, aku tetap tidak bakal berubah!”

Aku terdiam. Berusaha mati-matian menahan agar tidak ada air mata yang diproduksi. “Thank’s,” bisikku pelan di antara tangis yang sudah penasaran hendak meloncat keluar dari tenggorokan

“Kenapa berterima kasih?” Freddie balas menatap ke dalam mataku, aku cukup menjawab dengan senyum dan ribuan arti yang bersembunyi dari baliknya. Ada keheningan panjang yang diisi rintik hujan yang menitik di luar jendela. Membiarkan kami larut dengan isi benak barang beberapa jenak.

You’re joking, right? Jangan bilang...”

Aku cukup diam.

“.... kamu....”

Aku tetap diam.

No-fucking-way! Tidak ada ceritanya cowok semacho kamu bisa jadi homo!”

“Kamu pikir homo harus lemah lembut seperti banci?”

Bloody hell....” Wajah Freddie berubah antusias. “Sejak kapan?”

Aku mengangkat bahu. “I don’t know. Di Belanda, mungkin? Atau malah jauh sebelumnya sejak di Indonesia. Yang jelas aku mulai aktif secara seksual waktu umur 18.”

“Dan kamu berani open ke orang-orang? Kenapa anak-anak band tidak pernah tahu?” Senyum lebar seketika mengembang di wajahnya seolah baru saja menemukan pahlawan baru, pahlawan pembela kaum LGBT. Malam itu aku bercerita panjang lebar, tidak kepada Freddie Mercury, tapi kepada Farrokh Bulsara yang sejenak menanggalkan topengnya. Bandul waktu seperti diputar ulang ke 15 tahun yang lalu, di mana sepasang bocah lelaki yang sama-sama kesepian saling bertukar cerita.

Aku kira aku sudah kehilangan senyumnya yang tulus. Aku tak ingin orang lain tahu, tapi selama ini aku merindukan sahabat, dan mungkin juga belahan jiwa. Dan ketika mendapati kembali senyum itu, aku mendadak merasa utuh, penuh, itu saja.












Fragmen 5
I Want to Break Free


Freddie mengira dirinya masih bisa menyukai wanita, atau itu setidaknya yang berusaha ia buktikan pada publik dengan mengencani beberapa orang di antaranya. Mary Austin adalah yang paling terkenal dan tercatat dalam riwayat hidup seorang Freddie Mercury. Mereka sempat berkencan beberapa tahun, sebelum akhirnya Freddy merasa semakin gamang dengan identitas barunya, dengan orientasi seksual barunya.

Jijik adalah reaksi fisiologis paling umum yang bisa diberikan tubuh untuk merespon penolakan sistem otak terhadap inisiasi ide yang dianggapnya bertentangan dengan ‘norma’, lalu disusul keguncangan bila memang diperlukan. Aku pernah membaca, ide adalah parasit paling menular dan berbahaya. Ketika suatu ide baru berusaha diintroduksi dalam sistem operasi otakmu, otomatis alam bawah sadarmu akan memfiltrasi gagasan-gagasan yang dianggapnya bertentangan dengan idealisme sebelumnya, persis seperti sistem kerja sel darah putih.

Dan itulah yang terjadi pada Freddie ketika menyadari ia juga tertarik pada pria. Freddie merasa bersalah, pada dirinya, pada kekasihnya, dan pada Tuhan -kalaupun Dia ada. Freddie mengalami keguncangan serupa yang pernah kualami bertahun-tahun sebelumnya. Namun aku lebih beruntung, karena aku sudah melepaskan kemelekatanku pada agama jauh sebelum itu.

“Menurutmu, gay dan lesbian bakal masuk Neraka?” tanya Freddie suatu hari. Musim gugur sudah tiba di penghujung, dan angin Artika mulai berhembus dari Laut Utara, membawa kabut dan hawa dingin yang menusuk hingga tulang. Aku dan Freddie berdiang di depan perapian di rumahnya di Kensington. Tahun itu Freddie membeli sebuah rumah besar di pemukiman mewah yang dihuni artis dan keluarga kerajaan. Masih kosong melompong karena belum diisi perabot, hanya karpet tebal dari wol yang digelar di depan perapian, ditemani gitar dan sebotol Vodka. Kami sedang berdiskusi tentang lirik lagu untuk album ‘Jazz’ di tahun 1978, sewaktu ia tiba-tiba mengalihkan topik menjadi teologi.

“Kenapa melamun?” Freddie menyenggol tubuhku. “Menurutmu orang seperti kita bakal masuk neraka? Kan kamu yang dulu kuliah filsafat.”

“Seharusnya pertanyaanmu, ‘Neraka itu benaran ada, ataukah tidak?’”

Terdengar suara tawa Freddie yang mengekeh renyah, dan mudah-mudahan ia tidak menyesal telah bertanya, karena sekarang aku akan menjelaskan kepadanya panjang lebar.

Teologi Keterpilihan(10), kelak aku akan menyebutnya dengan itu. Keberpihakan Tuhan pada suatu kaum dan cenderung untuk memusnahkan kaum lainnya. Memasukkan golongan tertentu ke dalam Surga dan menjebloskan sisanya ke dalam Neraka. Aku selalu tidak setuju dengan itu. Aku merasa pendapat ini membuat sebagian golongan merasa lebih unggul dari golongan yang lain karena dijamin masuk Surga. Terlebih lagi, dengan ini aku merasa bahwa Substansi Metafisis Yang Maha Pengasih tidak lagi relevan, begitu juga Surga dan Neraka.

Tuhan bisa jadi kejam dan berpotensi merepresi kehidupan, Nietzsche menuliskan itu dalam bukunya, ‘Tuhan mengajar manusia untuk takut akan tubuh mereka, gairah, dan seksualitas mereka.’(11)

Aku memiliki seorang teman lesbian yang bersikeras berpendapat bahwa kaumnya juga layak untuk masuk Surga. Meski hingga kini aku belum pernah menemukan satupun dalil dari Perjanjian Baru maupun Lama yang bisa mendukung klaimnya tersebut. Ia tetap kukuh mencari pembenaran atas apa yang dilakukan para pemburit di kota Sodom dan Gomorah. Sedang aku tetap pada prinsipku bahwa apa yang dianggap salah harus tetap diterima sebagai yang salah. Jangan lantas mengarang-ngarang dalil baru untuk melakukan pembenaran, jangan pula melakukan rasionalisasi atas perbuatan yang sebenarnya dilarang.

Bagiku, pilihannya hanya dua, menerima dan tunduk pada Kitab Suci, atau sekalian menihilkan eksistensi Neraka ataupun Surga, meski hal itu tidak serta merta ikut menihilkan kemungkinan bahwa ternyata Neraka benar-benar ada, dan tidak juga menihilkan resiko engkau akan dibakar bersama-sama Darwin, Freud, dan Nietzsche. Aku sendiri berpendapat, Neraka hanyalah proyeksi. Proyeksi dari rasa ‘bersalah’ yang menghantui manusia, proyeksi yang sengaja diciptakan alam bawah untuk mengatur tingkah laku manusia agar tetap berada dalam tatanan yang berlaku. Neraka tak lebih dari kekhawatiran berlebih di otak manusia ketika melakukan tindakan yang dirasa ‘salah’ oleh sistem nilai yang sudah terlebih dulu tertanam di bawah sadar. Cogito Ergo Sum(7), aku berpikir maka aku ada.

“Jadi Neraka itu sebenarnya tidak ada?”

“Siapa bilang? Truth is singular, tapi kamu harus ingat, untuk tahu ‘kebenaran’ itu, kita harus melompat keluar dari sistem, menjadi pengamat dan bukan yang diamati. Selama kita hanya bisa melihat dari sudut pandang kita sebagai manusia yang serba terbatas, selama itu pula akan ada banyak versi kebenaran. Kamu nggak harus percaya kata-kataku juga, sebenarnya.”

Freddie terpana mendengarnya. Ide adalah parasit paling menular dan berbahaya, dan kini Freddie mulai terinfeksi. Kelak aku akan menyesali keputusanku ini, menginfeksi Freddie dengan pemahaman dan ideologi baru. Namun aku tak tahu, dan aku tak akan pernah tahu.

You sounds like Plato or Socrates,” komentarnya, lalu tersenyum.

You asked for it. Kamu tahu aku bakal bicara panjang lebar kalau sudah bicara mengenai masalah ini.”

“Kamu sebenarnya cerdas, dear. May, Taylor, Deacon juga, mungkin cuma aku yang kurang terpelajar.”

Are you kidding me? You’re The Freddie-fucking-Mercury! You are a legend... uh, pardon me... You are THE legend.

Freddie mengekeh perlahan, ditinjunya pundakku pelan. “Lepaskan segela kemelakatanku dengan semua ini, Queen, ketenaran, penggemar, The Legend. Tanpa itu semua, then what will become of me?”

Human? Farrokh Bulsara? Jangan marah, tapi aku lebih suka kalau kamu jadi Farrokh daripada jadi Freddie Mercury.”

Sebersit senyum mengembang di bibirnya.

“Cuma di depanmu, aku bisa jadi diri aku sendiri,” bisik Freddie, nyaris tak tedengar, ditenggelamkan suara gemeretek kayu bakar yang dioksidasi menjadi arang. Nyala api berwarna jingga bergoyang menimbulkan siluet di ruangan yang kini remang. Hangat bara menyusup di antara kami berdua di detik yang sama Freddie merapatkan duduknya.

“Aku hanya merasa itu sayang sekali kalau Neraka benar-benar tidak ada...” kata Freddie.

“Kenapa?”

“Kalau Neraka tidak ada, maka dengan begitu konsekuensinya Surga juga tidak ada, kan? Kalau salah satu dari kita mati, kita tidak akan bisa bertemu lagi.”

Freddie adalah orang yang tertutup dan jarang sekali bermelankoli, namun kali ini ia nampak lebih sentimentil dari biasa. Aku mendapati sorot matanya yang biasanya angkuh perlahan menghangat, dan Freddie tersenyum, senyum yang sama dari Bulsara kecil yang bersembunyi jauh di alam bawah sadar. Tulus. Aku mengusap punggung tangannya.

Ada isyarat di sepasang matanya yang coba disampaikan melalui reaksi kimia yang saling berkorespondensi. Endorfin disekresi, membanjiri pembuluh darah kami dengan hormon cinta, hingga akhirnya sistem neural memerintahkan otot-otot untuk bergerak. Semua di luar kendali, murni dorongan libidinal yang spontan dan hewani. Bibir kami saling menempel. Satu, dua, tiga detik, sebelum aku mengumpat pelan.

Shit, this is look so gay,” umpatku, tentu hanya setengah hati, karena senyum lebar sudah ingin membersit, tapi berusaha kutahan setengah mati. Bara panas dari perapian. Aku tidak tahu rasa panas di wajahku berasal dari situ ataukah rasa bahagia yang merambat tiba-tiba.

“Gay? kita dari tadi memangnya membicarakan apa?”

“Oke, aku tahu aku homo, tapi aku tidak pernah berpikir bakal melakukannya dengan kamu! Ini lebih parah dari homo, ini incest!”

Tawa Freddie lepas berderai. Orang itu keturunan Persia, jadi wajahnya nampak eksotis dengan kesan Arab dari hidung mancung dan alisnya yang tebal. Waktu itu wajahnya belum ditumbuhi kumis, dan tawa itu membuatnya bertambah tampan beratus-ratus kali di bawah sinar jingga perapian yang menerpa.

Sepasang tangannya tahu-tahu melingkar di leherku, hingga dahi kami saling bertemu. Kubalas dengan memeluk pinggangnya makin erat dan mengeecup hidungnya sekali. Senyum manis membersit, dan makin melebar di bibir Freddie.

“Terima kasih... atas pencerahannya,” bisik Freddie.

Enlightment? I beg your pardon, tapi aku malah berusaha menyesatkanmu,” aku tertawa kecil.

You’re devil... a little naughty devil...” Dia mencubit pinggangku, pelan saja, malah lebih condong ke arah menggelitik. “O Lord... jauhkan hamba dari iblis penggoda...”

“Sebenarnya siapa yang menggoda sih?” pancingku, lalu balas membelai rambutnya. Freddie hanya mengekeh lucu.

Aku ikut tersenyum. Kami berciuman sekali lagi, namun kali ini lebih dalam dan lebih membara, hingga berakhir dengan pergumulan panas di karpet tebal, satu-satunya furniture di ruang tengah Freddie yang belum diisi. Enggahan nafas. Syahwat yang memenuhi lubuk pikir. Freddie tersenyum ke arahku lalu berkata, “this... is... my first.... yo know.... Aku mau kamu jadi yang pertama.”

Dadaku terasa bergemuruh mendengar itu, terlebih ke arah ekspresinya yang pasrah tapi juga menyimpan gairah. Dari situ birahi yang pegang kuasa. Aku hanya membiarkan naluri yang mengambil alih koordinasi sistem saraf pusat untuk melepaskan helai-demi helai pakaian, sampai akhirnya kami bercinta untuk kali yang pertama. Sebentar saja, karena aku lebih mengenangnya sebagai kerinduan yang terpendam ketimbang persetubuhan yang menggelora.

Aku tidak ingat siapa yang sampai lebih dulu, aku, Freddie, ataukah kami sama-sama menggapai puncak kenikmatan dalam sebuah orgasme yang panjang dan saling bersemburan. Aku hanya ingat enggahan nafas kami yang saling bersusulan, dan raut wajah Freddie yang tersenyum manis di bawah tubuhku. Kukecup keningnya sekali. Terhirup odor khas lelaki dan tercecap asin peluh yang membasah. Di antara udara dingin musim gugur, kami berpelukan dengan tubuh yang sama-sama telanjang dan cukup membiarkan hangat tubuh Freddie saja yang membungkus tubuhku. Sepasang matanya berbinar, ada rasa bahagia, mungkin juga cinta di dalam sana.

Aku tak ingin berlama-lama dan mereduksi keagungan cerita ini menjadi kisah kasih tak sampai sesama jenis nan mendayu-dayu. Tidak, tidak sama sekali. Menambahkan sebuah kisah cinta seorang narator tak bernama dengan Sang Legenda tidak akan memberikan signifikansi berarti pada keseluruhan pada jalan cerita. Lagipula Freddie Mercury adalah seorang megabintang, mencoba mengikatnya dalam suatu hubungan jangka panjang adalah hal yang mustahil dilakukan.


Setelah itu, Freddie menjalin berbagai hubungan dengan laki-laki ataupun perempuan, artis Barbara Valentin dan pebalet laki-laki Rudolf Nureyev adalah beberapa nama yang diketahui publik, untuk itu ia akan memberikan tubuh dan vitalitas seorang Dewa Seks.
Aku tak pernah berkeberatan membagi Freddie dengan siapapun, karena aku tahu, hanya bersamaku ia dapat merasakan sensasi kefanaan sebagai manusia. Hanya bersamaku Freddie dapat mengeluarkan sisi sensitifnya sebagai manusia. Rapuh dan feminim. Freddie bilang ia menikmati bercinta bersamaku, (ia lebih memilih kata ‘bercinta’ dibanding berhubungan badan). Karena setelah sama-sama mencapai puncak, biasanya kami akan menghabiskan malam dalam percakapan panjang sambil saling belai dengan tubuh sama-sama bertelanjang.

Love is russian roulette for me,(4)” bisiknya getir. “Tapi denganmu, aku mengalami pengalaman yang lebih agung dari apa yang bisa dilabeli dengan ‘cinta’, my dear. Mungkin ini kedengaran gila, tapi bersamamu, aku merasa cinta hadir di mana-mana.”

“Transendensi cinta,” desisku tak percaya. “Cinta yang mengkondensasi ruang dan waktu.”

Freddie merajuk karena aku mulai berceloteh dengan istilah yang tak dipahaminya. Tapi dengan sebuah kecupan di bibir, kami tahu, bahwa kami sudah siap memasuki babak selanjutnya.

Kami saling mencinta dari lubuk hati, aku dan Freddie sama-sama tahu itu. Meski kami saling bersepakat untuk tidak menambahkan embel-embel apapun di atasnya. Cinta antar manusia hanyalah bagian kecil dari cinta yang lebih Agung, kelak di kemudian hari barulah aku akan mengerti itu semua. Manusia dan Semesta. Makrokosmos dan Mikrokosmos. Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Namun kali ini, aku harus mencukupkan diri dengan Freddie yang tersenyum di pelukanku dan memandangi matanya yang bersinar lebih hangat dari matahari yang menyemburat dari balik cakrawala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar